BAB III PENANGANANAN PENGUNGSI ROHINGYA OLEH PEMERINTAH INDONESIA 3.1Kedatangan Pengungsi Rohingya di Indonesia - PENERAPAN PRINSIP NON-DISCRIMINATION BAGI PENGUNGSI ROHINGYA DI INDONESIA Repository - UNAIR REPOSITORY

BAB III PENANGANANAN PENGUNGSI ROHINGYA OLEH PEMERINTAH INDONESIA

3.1Kedatangan Pengungsi Rohingya di Indonesia

  Para pengungsi asal Rohingya tersebut keluar dari Myanmar karena mereka merasa sudah tidak aman lagi untuk tinggal di negaranya sendiri.

  Rohingya merupakan komunitas muslim yang minoritas didaerah utara Arakan, sebelah barat Myanmar. Mereka dinggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui penuh kewarganergaraan oleh pemerintah Myanmar. Masyarakat Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara dan tidak mendapatkan hak kewarganegaraan penuh.

  Peristiwa muslim Rohingya ini dimulai sejak tahun 1978 oleh Junta Myanmar, akibatnya ratusan ribu orang mengungsi kenegara-negara tetangganya dengan keadaan yang sangat memprihatinkan yang mengharuskan mereka untuk mencari perlindungan di luar negaranya. Junta Myanmar tidak hanya mengitimidasi mereka, namun menggembor-gemborkan anti islam dikalangan Budha Rakhine dan masyarakat Myanmar sebagia kampaye untuk memusuhi Etnis Muslim Rohinggya. Gerakan ini berhasil dan akhirnya Rohinggya menghadapi diskriminasi oleh pergerakan demokrasi Myanmar.

  Masalah etnis Rohingya yang awalnya masalah domestik Myanmar, akhirnya terangkat menjadi isu Regional ketika etnis Rohinggya terdampar dan mengungsi kenegara lain, sehingga dapat menggaggu keamanan kawasan negara yang dekat maupun berbatasan dengan Myanmar. Isu pengungsi Rohingya menjadi masalah bersama karena para pengungsi Rohingya tersebut membebani dan menjadi masalah baru dinegara mereka terdampar.

  Sejak itu, kerusuhan rasial di Rakhine pun meluas hingga terjadinya pembakaran perkampungan dan pengusiran etnis Rohingya. Dengan semakin meningkatnya tekanan yang dihadapi etnis Rohingya, mereka terpaksa mencari perlindungan di luar Myanmar. Bangladesh yang merupakan negara terdekat dan mempunyai hubungan sejarah dengan etnis Rohingnya menjadi tujuan utama. Tetapi, Bangladesh sendiri tidak bersedia menampung mereka dengan alasan tidak mampu. Sehingga banyak pengungsi Rohingya ke Bangladesh dipulangkan kembali begitu tiba di Bangladesh.

  Setelah etnis Rohinggya mendapatkan pengusiran dari Myanmar dan penolakan di Bangladesh, tidak sedikit etnis muslim rohingnya yang akhrinya lari dan mencari suaka di Indonesia dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di Asia Tenggara dengan harapan mereka akan mendapat perlindungan di Indonesia. Indonesia menjadi salah satu tujuan orang Rohingya karena Indonesia merupakan negara mayoritas muslim yang diharapkan dapat menjadi tempat berlindung yang aman untuk Rohingya.

  Selain itu, ada beberapa alasan mengapa para pengungsi Rohingya memilih untuk hijrah ke Indonesia, antara lain:

  1. Rohingya sampai di Indonesia setelah mereka hidup bertahun-tahun di

  Malaysia dimana alasan mereka hijrah ke Indonesia karena di Malaysia tidak bisa mendapatkan pendidikan dan berharap mendapatkan penghidupan yang lebih baik serta berharap bisa menjadi WNI dengan jalan menikahi wanita Indonesia.

  2. Perahu Rohingya terdampar di Indonesia dari Myanmar karena tujuan sebenarnya adalah negara Malaysia atau Australia.

  3. Rohingya melarikan diri dari Arakan dengan tanpa tujuan dan sampai akhirnya terdampar di Indonesia.

  Beberapa alasan kaburnya etnis Rohingya dari Malaysia karena ingin bergabung dan tinggal dengan anggota keluarganya yang merupakan WNI, berharap dapat diakui sebagai WNI, ingin menyekolahkan anak-anaknya, tekanan politis dan ekonomis dari negara yang ditinggalkannya, ingin mencari penghidupan yang lebih baik dan bermartabat, dan ingin mengalihan status pengungsi dari pengungsi UNHCRMalaysia menjadi Pengungsi UNHCR Indonesia.

  Dalam persebaran kedatangan di Indonesia, Rohingya terdampar di beberapa wilayah di Indonesia baik karena terdampar kemudian ditangkap maupun sengaja menyerahkan diri kepada pihak Imigrasi Indonesia yang wilayahnya secara geografis dekat dengan Malaysia atau Myanmar, yaitu antara lain di Aceh, Medan, Tanjung Pinang, Batam (Kepulauan Riau), dan ada juga yang ditemukan dan ditangkap di Kupang, Serang, dan Banyuwangi. Kondisi Rohingya yang kelaparan memang membuat mereka akhirnya sengaja menyerahkan diri ke pihak imigrasi dengan harapan mendapatkan perawatan dari pihak Imigrasi Indonesia dan berharap mendapatkan perlindungan dan kondisi yang lebih aman serta penghidupan yang lebih baik.

  Pada bulan Januari 2009, sebanyan 193 pengungsi Rohingya sampai di Sabang, kemudian disusul pada bulan Februari 2009 sebanyak 198 pengungsi Rohingya terdampar di Idi Aceh. Mereka yang terdampar di Sabang menempati kamp pengungsian TNI AL, namun kebanyakan pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia selanjutnya di tampung di RUDENIM (Rumah Detensi Imigrasi). Indonesia menganggarkan dana yang minim untuk operasional RUDENIM tersebut. Oleh karenanya, Indonesia meminta bantuan dari UNHCR (United

  Nations High Commisioner for Refugee) untuk membantu mengatasi Pengungsi Rohingya.

  Walaupun Indonesia bukan negara penandatangan Konvensi 1951, namun UNHCR tetap turun tangan untuk bekerjasama dengan Pemerintah Indonesia dalam memberikan bantuan kemanusiaan sebagai bagian dari mandat yang diembannya. Bagi pengungsi Rohingya yang sudah mendapatkan status Pengungsi Internasional dari UNHCR dapat tinggal di luar RUDENIM. Setiap bulannya mereka mendapatkan bantuan dari IOM yang besarannya kira-kira 1.2

  61

  juta per orang per bulan. Mereka yang tinggal di luar RUDENIM bisa beraktifitas seperti warga biasa lainnya sambil menunggu kepastian penempatan ke negara ketiga.Sedangkan bagi mereka yang berada di dalam RUDENIM, mereka menunggu keputusan dari UNHCR dan IOM.

  Selama di RUDENIM mereka mendapatkan fasilitas makan, kesehatan, serta konsultasi dari IOM dan UNHCR.Namun, dalam kenyataan untuk mendapatkan keputsan dari IOM dan UNHCR tidaklah mudah, banyak diantara pengungsi Rohingya yang sudah ditahan di RUDENIM selama lebih dari 5 tahun dengan kondisi yang mengenaskan.

  Kendala yang dapat dikemukakakan berdasarkan data yang telah dihimpun penulis adalah:

1. Indonesia sampai dengan saat ini belum memiliki regulasi yang jelas

  mengenai penanganan pengungsi internasional dan Indonesia bukan termasuk negara peratifikasi Konvensi Wina tahun 1951 dan Protokolnya tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga Indonesia tidak mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk mengambil tindakan internasional terhadap Imigran Rohingya yang masuk ke Indonesia.Implikasinya, Indonesia hanya bisa menampung para imigran tersebut sampai batas waktu maksimal 10 (sepuluh) tahun tanpa bisa dan tidak mempunyai hak melakukan tindakan lebih lanjut terkait status imigran Rohingya yang 61 masuk ke wilayah Indonesia tersebut. Terlebih lagi Indonesia di dalam

  Indonesia4roingya.net diakses pada tanggal 4 Desemmber 2014 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi tidak mengenal istilah pencari suaka maupun pengungsi, dimana orang asing yang masuk ke wilayah Indonesia dikategorikan sebagai illegal imigrant. Implikasinya, semua orang asing yang datang ke Indonesia (pencari suaka, pengungsi, atau pelaku kejahatan) yang tidak memiliki dokumen resmi maka dikualifikasikan sebagai imigran gelap dan mereka yang tertangkap ditahan di RUDENIM.

2. Kondisi RUDENIM yang secara fisik tampak seperti Lembaga

  Permasyarakatan sehingga terlihat sebagai bentuk perlakuan yang melanggar HAM. Padahal mereka datang ke Indonesia untuk tujuan mencari suaka dan bukan karena melakukan tindakan kriminal. Seharusnya dibentuk dan ditetapkan sebuah alternative detention seperti kawasan khusus Pengungsi yang diberikan kepada pengungsi asal Vietnam sebelumnyaatau konsep RUDENIM yang lebih manusiawi sehingga pengungsi bisa menjalankan aktivitasnya seperti bekerja dan bersosialisasi sebagaimana manusia pada umumnya.

  62 Selain kendala dari dalam, kendala dari luar yaitu antara lain:

  1. Sulitnya proses pemulangan atau repatriasi imigran Rohingya ke Myanmar karena kondisi keamanan yang makin memburuk;

  2. Kedutaan Myanmar di Indonesia sama sekali tidak peduli dan tidak mengakui Rohingya sebagai warga Negara Myanmar;

  3. Rohingya tidak mau dipulangkan karena kondisi keamanan di Myanmar;

  4. Belum ada negara ketiga yang mau menampung pengungsi Rohingya;

  5. Rohingya bukanlah imigran yang menjadi prioritas IOM sehingga 62 memperlambat proses penilaian status sebagai pengungsi;

  Indonesia4rohingya.net diakses pada 4 Desember 2014

  6. Lamanya Rohingya ditampung di Indonesia menjadi beban negara;

  7. Rohingya banyak yang menikah dengan wanita Indonesia dan mempunyai anak dan berharap bisa menjadi WNI;

  8. Banyak Rohingya yang memiliki kartu pengungsi UNHCR palsu; dan

  9. Imigran Rohingya tidak bisa berbahasa Melayu maupun Inggris sehingga sulit dalam melakukan tindakan keimigrasian. Dari penjelasan permasalahan yang dialami oleh Indonesia dalam menangani

  Pengungi Rohingya ini pemnerintah telah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal tentunya perbaikan penanganan imigran Rohingya di Indonesia baik dari aspek regulasi maupun kebijakan.Secara eksternal tentunya membantu dan berkontribusi dalam penyelesaian akar konflik di Myanmar sehingga Rohingya bisa kembali ke Myanmar dan diakui sebagai bagian dari bangsa Myanmar.

3.2 Kerjasama Indonesia dan UNHCR dalam Menangani Kasus Pengungsi

3.2.1Penetapan Status Pengungsi di Indonesia

  Permasalahan pengungsi di Indonesia dijelaskan secara singkat di dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Pada Pasal 27 ayat 1 menntukan bahwa: “Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”. Penjelasan mengenai pasal tersebut adalah:

  Pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan, sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya hubngan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu.Indonesia memberikan kerja samanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah pengungsi itu.

  Merujuk pada penjelasan pasal tersebut maka pemerintah Indonesia akan melakukan kerjasama dalam penanganan masalah pengungsi di Indonesia.

  Kerjasama baik dengan negara asal pengungsi maupun dengan lembaga-lembaga kemanusiaan yang berkaitan dengan masalah pengungsi.

  Sementara itu, merujuk pada ketentuan UNHCR, UNHCR menjalankan prosedur Penentuan Status Pengungsi yang dimulai dengan registrasi atau pendaftaran terhadap para pencari suaka. Setelah diregistrasi, UNHCR akan melakukan wawancara individual dengan masing-masing pencari suaka, dengan didampingi oleh seorang penerjemah yang kompeten. Proses ini melahirkan keputusan yang beralasan yang menentukan apakah permintaan status pengungsi seorang diterima atau ditolak dan memberikan masing-masing individu sebuah kesempatan (satu kali) untuk meminta banding apabila permohonan ditolak.

  Mereka yang teridentifikasi sebagai pengungsi akan menerima perlindungan selama UNHCR mencarikan solusi jangka panjang, yang biasanya berupa penempatan di negara lain. Untuk tujuan ini, UNHCR berhubungan erat

  63 dengan negara-negara yang memiliki potensi untuk menerima pengungsi.

  Selain itu, Indonesia merumuskan ketetuan hukum atau perundang- 63 undangan nasional mengenai pengungsi yang didasarkan pada standar-standar

  http://www.unhcr.or.id/id/tugas-a-kegiatan/penentuan-status-pengungsi diakses pada 11 November 2015 internasional.Hal ini merupakan kunci yang melengkapi lembaga suaka, membuat perlindungan lebih efektif, dan memberikan landasar bagi pencairan solusi bagi persoalan yang dihadapi oleh pengungsi.

  Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967, namun dalam perjanjian internasional lain, Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap prinsip-prinsip fundamental hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Piagam PBB dan mencatat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 sebagai standar pencapaian bersama bagi

  64

  semua rakyat dan bangsa. Maka dari itu, Indonesia menyerahkan penanganan pengungsi pada UNHCR yang melakukan aktifitasnya berdasarkan mandat yang ditetapkan dalam statutanya tahun 1950 di negara-negara yang bukan pihak penandatangan pada konvensi tahun 1951 dan Protokol tahun 1967.

  Konteks normatif di Indonesia terkait dengan suaka telah ditegaskan dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen ke-4 tahun 2000) pada Pasal 28 G ayat (2) menyatakan:“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak untuk memperoleh suaka politik dari negara lain”

  Meskipun terdapat rumusan normatif dalam konstitusi maupun paraturan perundang-undangan lainnya tentang hak memperoleh suaka politik di Indonesia, hingga saat ini implementasi tentang hak pencari suaka ini belum ada aturan

64 Wagiman, Op.Cit, h. 127

  65

  operasionalnya yang jelas. Situasi ini terjadi karena hingga saat ini Indonesia belum memasukkan instrumen hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional.Indonesia sampai saat ini tidak mempunyai perundang-undangan yang

  66 secara khusus mengatur permasalahan pengungsi.

  Dalam instrumen internasional telah dijelaskan mengenai mekanisme penanganan dan penentuan status pengungsi, yaitu: Melaporkan kepada kepolisian setempat

  Kepolisian setempat akan melaporkan ke MABES POLRI MABES POLRI memberitahukan ke Kementrian Luar Negeri

  Kementrian Luar Negeri memberitahukan Perwakilan UNHCR di Indonesia Petugas UNHCR akan melakukan wawancara dan menempatkan mereka di suatu tempat atas biaya UNHCR

  Sumber: Hukum Pengungsi Internasional, Wagiman, 2012

65 Stephane Jaquement, Mandat dan Fungsi dari Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-

  

Bangsa Urusan Pengungsi, artikel dimuat dalam Jurnal Hukum Internasional Vol. 2 No. 1,

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, h. 20 66 Satu-satunya rujukan dalam menangani masalah pengungsi dan mencari suaka di Indonesia dewasa ini adalah Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No. F-IL.01.10-1297 tentang

  Penanganan Terhadap Orang Asing yang Menyatakan Diri Sebagai Pencari Suaka atau Pengungsi, Tanggal 30 September 2002

3.3.2 Kerjasama Indonesia dan UNHCR

  UNHCR mendirikan kantor cabang perwakilan di Jakarta pada tahun 1979 yang sekarang ini telah menjadi kantor regional yang mewakili wilayah kerja melputi Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. UNHCR merupakan lembaga internasional yang diberi mandat untuk memberikan perlindungan internasional terhadap pengungsi dan memberikan solusi yang permanen terhadap para pengungsi dengan jalan membantu pemerintah- pemerintah, pelaku-pelaku lainnya ataupun organisasi-organisasi kemanusiaan yang terkait untuk memberikan fasilitas pemulangan (repatriation)bagi para pengungsi. Penjelasan lebih lengkap mengenai sejarah, fungsi, tugas, dan peranan UNHCR telah dijelaskan oleh penulis di bab sebelumnya.

  Negara-negara anggota mengakui bahwa tugas badan ini bersifat non politis. Tugas yang berupa tanggung jawab sosial dan bersifat kemanusiaan itu dibebakan kepada UNHCR agar dapat dilaksanakan dalam kerangka hukum yang disetujui oleh semua negara, yaitu hukum internasional untuk pengungsi, dan pedoman (atau perundang-undangan nasional) yang dirancang oleh negara-negara itu untuk membantu UNHCR mengidentifikasikan apa yang harus mereka

  67 lakukan untuk melindungi dan membantu pengungsi.

  Kerjasama yang dilakukan Indonesia dengan UNHCR pertama kali dilaksanakan pada tahun 1975, ketika ribuan pengungsi Vietnam berdatangan ke Indonesia.Kantor Regional UNHCR di Jakarta bekerjasama dengan pemerintah 67 Achmad Romsan, Op.Cit, h 168 Indonesia dalam memproses pencari suaka dan pemohon pengungsi di Indonesia.Hal tersebut dilakukan agar para pengungsi tidak dikembalikan

  68

  kenegara asalnya dan guna mendapatkan perlindungan internasional. Setelah kerjasama tersebut, Pemerintah Indonesia selalu melakukan kerjasama mengenai pemasalahan pengungsi yang masuk ke Indonesia.

  Mengenai kasus-kasus permohonan pengungsi di Indonesia, mengingat Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, maka pihak pemerintah Indonesia melimpahkan persoalan ini sepenuhnya kepada UNHCR.Selanjutnya lembaga ini melakukan serangkaian prosedur tetap guna penentuan status pengungsi pemohon.UNHCR mengidentifikasi sesuai kebutuhan perlindungan mereka. Pihak UNHCR akan memberikan izin tinggal di Indonesia dengan sepersetujuan Pemerintah Indonesia sampai dengan mereka mendapatkan penempatannya.

  Dalam melaksanakan tugasnya, UNHCR melaksanakan kerjasama dengan mitra kerjanya yang memiliki perwakilan di Indonesia. Bantuan yang diberikan oleh UNHCR kepada pengungsi di Indonesia antara lain berupa makanan, kesehatan, konseling serta kebutuhan lainnya yang diperlukan. Jika dijelaskan dengan bagan, tugas pokok UNHCR di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:

68 Wagiman.Op.Cit, h. 190

  United Nations High Commissioner for Refugees

  (UNHCR)

  A subsidiary organ of The United Nations General Assembly Primary mandate Responsibility is the protection of refugees And solution to the Problems of refugees

  Sumber: Hukum Pengungsi Internasional, Wagiman, 2012

  Kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan UNHCR akan terus terjalin selama masih ada konflik Internasional serta masih ada banyak korban yang merasa dirugikan dari adanya perang tersebut. Sebisa mungkin Pemerintah Indonesia dan UNHCR akan selalu memberikan bantuan serta perlindungan bagi seluruh masyarakat Internasional yang membutuhkan perlindungan hukum yang berada di wilayah teritorial Negara Indonesia, agar para korban merasa aman dan nyaman untuk bertempat tinggal sementara di Indonesia sebelum mereka ditempatkan ke negara ketiga atau jika dimungkinkan dapat dikembalikan ke negara asalnya.

3.3 Peranan Pemerintah dalam Penyelesaian Persoalan Pengungsi Rohingya di Indonesia

  Letak geografis Indonesia sangat strategis sebagai negara transit bagi para pengungsi lintas batas negara. Hal tersebut tidak terlepas dari letak Indonesia yang memiliki banyak pelabuhan kapal laut yang berbatasan dengan negara lain, terutama perbatasan Kalimantan Barat dengan Sabah Malaysia, Australia di bagian selatan, juga bagian timur dengan Negara Timor Leste. Terdapat 79 pintu perbatasan legal yang terdapat di Indonesia di luar jalur-jalur tikus.Terdapat dua rute yaitu jalur barat dan jalur timur. Jalur barat melalui Medan, Jambi, Batam,dan

  69 Lampung. Rute jalur timur melalui Bau-Bau Sulawesi Tenggara.

  Banyaknya pengungsi yang masuk ke Indonesia yang tinggal cukup lama di Indonesia membuat pemerintah Indonesia dipaksa untuk segera menyelesaikan persoalan ini. Kerjasama banyak dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Imigrasi, Kanwil Hukum dan HAM dengan polda-polda serta Kedutaan Besar Perwakilan Negara sahabat terkait dengan penekanan angka

  70 penyelundupan dan perdagangan manusia.

  Fungsi polisi dalam struktur kehidupan masyarakat adalah sebagai pengayom masyarakat, penegakkan hukum serta memiliki tanggung jawab secara khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan kejahatan transnasional maupun pencegahan kejahatan transnasional. Hal tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 2 tahun 2002

  71 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

  Dengan dilandasi oleh peran dan tanggung jawab sebagai pemelihara keamanan tersebut, Polri memiliki tugas-tugas yang mencakup sejumlah tindakan yaitu bersifat pre-emptif (penangkalan), preventif (pencegahan), dan represif 69 70 Wagiman, Op.Cit, h. 166 71 Kompas, 13 Mei 2009 Lihat Undang-undang No. 2 tahun 2002 pasal 5 ayat (1)

  (penanggulangan) yang sesuai dengan fungsi polisi dalam konteks

  72

  universal. Tugas pre-emptif diarahkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dengan caramencermati atau medeteksi lebih awal, seperti faktor-faktor korelatif kriminogen yang berpotensi menjadi penyebab, pendorong, dan peluang terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di masyarakat.

  Tugas preventif lebih mengarah pada mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban melalui kehadiran polisi di tengah masyarakat.Sedangkan tugas represif adalah pada upaya penindakan hukum jika gangguan keamanan dan ketertiban tersebut terlanjur terjadi guna mengembalikan

  73 pada situasi yang kondusif.

  Direktorat Jenderal Imigrasimenyediakan rudenim yang tersebar di beberapa daerah untuk menampung sementara para pengungsi. Fungsi pengawasan Ditjen Imigrasi dilakukan untuk mencegahterjadinya pelanggaran

  74 hukum yang dilakukan oleh pengungsi.

  Negara mempunyai tanggung jawab atas seluruh warga negara yang berada dalam wilayahnya, termasuk warga negara asing yang masuk tanpa izin resmi untuk masuk ke dalam wilayahnya. Menurut ketentuan Hukum HAM Internasional, setiap orang mendapatkan kebebasan tanpa adanya tekanan dari 72 pihak lain untuk melanjutkan hidupnya. Oleh karena itu, pengungsi yang berada di

  Dinda.Lock.Cit., hlm. 24; Lihat juga Djanisius Djamin. 2007. Pengawasan dan Pelaksanaan Undang-Undang Lingkungan Hidup: Suatu Analisis Sosial. Jakarta: 73 Yayasan Obor Indonesia. P 54 74 Ibid.

  Hasil wawancara non-formal dengan Ibu Masniati, S.H. (Kepala Seksi Administrasi dan Registrasi Rumah Detensi Imigrasi Kab. Gowa) wilayah Indonesia harus mendapatkan perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia.Pemerintah Indonesia seharusnya dapat bersikap adil dalam menyikapi banyaknya pengungsi yang banyak masuk ke wilayah Indonesia.

  Sesuai dengan ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang telah disepakati oleh banyak negara termasuk Indonesia, semua orang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi dan dijaga serta tidak dapat dirampas oleh orang lain. Sehingga seluruh pengungsi ini tanpa terkecuali seharusnya mendapatkan perlindungan yang layak dari pemerintah Indonesia.

  

3.4 Penerapan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Tambahan 1967

Terkait Perlindungan Hukum bagi Pengungsi di Indonesia

  Indonesia merupakan negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 serta Protokol Tambahan 1967. Sehingga, dalam kaitannya menangani permasalahan pengungsi di Indonesia, pemerintah menggunakan prinsip-prinip hukum umum serta perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai pengungsi yang berada di Indonesia.

  Namun, meskipun belum meratifikasi, keberlakuan kedua sumber hukum internasional ini harus dihormati dan wajib dilaksanakan oleh semua negara termasuk Indonesia.Karena perjanjian internasional tersebut berisi mengenai prinsip hukum umum yang mengatur mengenai hak dasar setiap individu yaitu HAM yang keberadaannya tidak dapat dicabut oleh siapapun. Sehingga berdasarkan prinsip tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara yang menjunjung tinggi HAM harus dapat melaksanakan tugas perlindungan bagi para pengungsi yang berada di Indonesia sesuai aturan yang dijelaskan dalam Konvensi Pengungsi 1951. Di Indonesia didirikan sebuah badan untuk melindungi hak-hak dasar setiap individu yang berada di Indonesia, lembaga ini benama Komisi HAM.Komisi HAM didirikan dengan tujuan untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia.

  Lembaga ini tidak hanya melindungi HAM Warga Negara Indonesia saja, namun juga dapat melindungi Warga Negara Asing yang berada di Indonesia agar tidak ada perlakuan diskriminasi yang dilakukan oleh oknum pemerintah Indonesia.

  Dalam pelaksanaan menegakan HAM di dunia internasional, sering muncul beberapa kendala yang menyebabkan suatu perjanjian internasional di

  75

  bidang HAM tidak dapat dilaksanakan oleh negara setelah diikuti, yaitu:

  1. Perancangan dan pembentukan berbagai perjanjian internasional di bidang HAM yang sangat terdeviasi oleh kerangka berpikir dari perancang, bahkan perancang kerap tidak memperhatikan infrastuktur pendukung bagi implementasi yang efektif;

  2. Kendala pada saat perjanjian internasional diperdebatkan;

  3. Tujuan pembentukan perjanjian internasional di bidang HAM yang dibuat tidak untuk tujuan mulia menghormati HAM melainkan untuk 75 tujuan politis; dan

  Ibid, h. 71

  4. Perjanjian internasional di bidang HAM setelah diikuti kerap hanya mendapatkan perhatian secara setengah hati oleh negara berkembang.

3.5 Penyelesaian Masalah Pengungsi Rohingya di Indonesia

  

3.5.1 Penerapan Prinsip Non-discrimination bagi Pengungsi Rohingya di

Indonesia

  Dalam hukum internasional, khususnya hukum humaniter internasional yang melindungi hak asasi manusia, terdapat sebuah hal fundamental dalam sistem penyamarataan perlakuan internasional bagi para pengungsi (refugee) seperti pengungsi perang, pengungsi yang terancam keselamatannya dalam suatu nergara berkonflik, dan pencari suaka (asylum seeker), hal tersebut adalah prinsipnon-discrimination Prinsip Non-Discrimination merupakan salah . satu prinsip hukum internasional yang paling penting dalam penerapan Hukum Pengungsi Internasional. Prinsip Non-Discrimination dijelaskan dalam beberapa instrumen hukum internasional, antara lain:

  Dalam Pasal 2 DUHAM dijelaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa pengecualian apapun”.

  Dalam Pasal 2 ICCPR 1966 dijelaskan pula bahwa:“Setiap negara pihak dari kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pa da wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun.”

  Dalam pembukaan Konvensi Pengungsi 1951 disebutkan bahwa negara diharuskan untuk memberikan perlindungan atas hak-hak dasar para pengungsi

  76

  dan memberikan kebebasan tanpa adanya diskriminasi. Namun dalam keberlakuannya, prinsip ini dapat berkembang dan dinamis sesuai perkembangan zaman serta pada kasus-kasus baru.

  Penerapan prinsip Non-Discrimination dalam kaitannya dengan perlindungan pengungsi yang berada di Indonesia adalah, setiap warga negara yang berada di dalam yurisdiksi wilayah Indonesia wajib mendapatkan perlindungan serta perlakuan yang sama oleh pemerintah Indonesia tanpa terkecuali. Pemberian perlindungan serta tidak adanya diskriminasi bagi seluruh warga negara juga merupakan salah satu contoh penerapan dari hukum hak asasi manusia internasional yang saat ini telah menjadi salah satu hukum kebiasaan internasional.

  Dalam kaitannya dengan penerapan prinsip Non-Discriminationdalam Hukum Pengungsi Internasional, menurut penulis, semua masyarakat Internasional saat ini memiliki hak dasar yang harus dihormati dan hak tersebut tidak dapat dirampas oleh siapapun, hak dasar tersebut adalah Hak Asasi Manusia.

  Hak Asasi Manusia inilah yang seharusnya menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap semua warga negara asing yang masuk ke Indonesia tanpa terkecuali dan tanpa membedakan status mereka.

76 Erika Feller, International Refugee Protection 50 years on: The Protection Challenges of

  the Past, Present and Future, ICRC, September 2001, Vol. 83, No. 843, h. 594

  Sebagai salah satu negara yang cinta damai, penerapan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang wajib dilakukan oleh Pemerintah Indonesia.Penghormatan atas Hak Asasi Manusia ini harus dilakukan dengan sebaik mungkin.

  Prinsip non-discrimination adalah prinsip yang sangat dibutuhkan oleh para pengungsi dan pencari suaka yang pergi meninggalkan tempat asal mereka untuk mencari tempat yang lebih aman. Dengan prinsip yang didukung dan diterima oleh masyarakat internasional, para pengungsi dan pencari suaka bisa mendapatkan perlindungan internasional dibawah negara tempat mereka mengungsi. Prinsip ini seharusnya diterapkan untuk seluruh pengungsi yang membutuhkan bantuan dan perlindungan, karena masih banyak pengungsi di dunia ini yang kabur dari zona konflik belum mendapatkan perlindungan yang mereka butuhkan. Prinsip non-discrimination ini harus diterapkan secara adil dan rata tanpa adanya pengecualian apapun

  .

3.5.2 Jaminan Perlindungan Hukum Bagi Pengungsi Rohingya di Indonesia

  Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh penulis, di dalam hukum internasional terdapat hukum mengenai Hak Asasi Manusia, di dalamnya terdapat beberapa dasar hukum mengenai perlindungan HAM internasional baik dari perjanjian, konvensi, maupun hukum kebiasaan internasional. Jaminan perlindungan keamanan bagi Pengungsi Rohingya dan pengunsi lainnya yang berada di Indonesia diatur didalam peraturan perundangan Indonesia.Indonesia memiliki Undang-Undang mengenai HAM, didalamnya tercantum hak-hak yang diperoleh oleh seorang individu diantaranya adalah hak untuk hidup dan hak untuk merdeka tanpa adanya tekanan dari salah satu pihak.

  Ada beberapa instrumen hukum Indonesia yang kemudian dapat diterapkan bagi pengungsi internasional yang berada di wilayah Indonesia, yakni:

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

  Pasal 2 : “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia”

  Pasal 170 : (1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terdahap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (2) Yang bersalah diancam:

  1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;

  2. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;

  3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian

  Pasal 113:

  “Setiap orang yang dengan sengaja masuk atau keluar wilayah Indonesia yang tidak melalui pemeriksaan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

  3. Surat Edaran Dirjen Imigrasi Nomor F-IL.01.10-1297, tanggal 20 September 2002, Perihal Penanganan Terhadap Orang Asing yang Menyatakan Diri sebagai Pencari Suaka dan Pengungsi

  a) Secara umum melakukan penolakan kepada orang asing yang datang memasuki wilayah Indonesia, yang tidak memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

  b) Apabila terdapat orang asing yang menyatakan keinginan untuk mencari suaka pada saat tiba di Indonesia, agar tidak dikenakan tindakan keimigrasian berupa pendeportasian ke wilayah negara yang mengancam kehidupan dan kebebasannya; c) Apabila diantara orang asing dimaksud diyakini terdapat indikasi sebagai pencari suaka atau pengungsi, agar saudara menghubungi organisasi internasional masalah pengungsianatau United Nations

  High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk penentuan statusnya.

  Berdasarkan prinsip HAM Internasional, semua Warga Negara tanpa terkecuali mendapatkan hak-hak dasarnya untuk hidup bebas dan merdeka tanpa mendapatkan tekanan dari pihak manapun.Hukum HAM Internasional dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap hak-hak individu atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran, terutama yang dilakukan

  77 oleh pemerintah atau aparat suatu negara.

  Oleh karenanya, perlindungan hak asasi manusia dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal, antara lain: 77 Rudi M. Rizki, Pokok-Pokok Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Seri Bahan

  

Bacaan Kursus HAM Tahun 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, h. 1

  1. Perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata;

  2. Perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa; dan

3. Perlindungan terhadap pengungsi baik IDP‟s maupun pengungsi lintas

  78 batas.

  Pengajuan suaka ataupun permohonan pengungsi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Hal tersebut dijelaskan di dalam Article 13 Paragraph 2

  Universal Declaration of Human Right 1948 yang menyebutkan “Everyone has the right to leave country, including his own, and to return to his country”. Selain

  itu, hak kebebasan untuk memilih tempat tinggal atau negara juga dijelaskan pada

  Declaration of Territorial Asylum 1967 yang menyatakan: 1.

   Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution.

  2. This right may not be invoked in the case of persecutions genuinely arising from non-political crimes or acts contrary to the purposes and principle of the United Nations.

  Selain itu, Konvensi Pengungsi 1951 mencantumkan daftar hak dan kebebasan asasi yang sangat dibutuhkan oleh pengungsi.Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi wajib melaksanakan hak-hak dan kewajiban tersebut walaupun Indonesia belum meratifikasinya karena konvensi tersebut berubah menjadi kebiasaan intenasional yang harus ditaati semua negara. Dari penjelasan beberapa pasal mengenai perlindungan HAM bagi para pengungsi ini maka Indonesia sebagai salah satu negara yang disinggahi oleh beberapa golongan 78 Koesparmo Irsan, Pengungsi Internal dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi HAM,

  Jakarta, 2007, h. 6-7 pengungsi hendaknya tetap memperlakukan mereka sesuai dengan HAM Internasional yang mereka memiliki tanpa melihat dan mendiskriminasikan status personal mereka.

  Selain dari aspek HAM Internasional, faktor penting lainnya adalah Pemerintah Indonesia dalam rangka pemberian perlindungan terhadap para pengungsi juga wajib bekerjasama dengan negara asal pengungsi maupun lembaga-lembaga kemanusiaan yang berkaitan dengan masalah pengungsi. Hal ini bertujuan agar para pengungsi mendapatkan perlakuan serta keputusan yang terbaik bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, kerjasama dengan lembaga internasional ini juga harus dikedepankan pertimbangan kemanusiaan tanpa adanya kepentingan politik.

  Jaminan perlindungan hukum bagi semua pengungsi yang berada di dalam wilayah territorial Indonesia dituangkan juga dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang berisi bahwa apapun alasan dan latar belakang terjadinya pengungsian, pemerintah perlu segera mengupayakan dan penanganannya secara cepat, tepat, terpadu, dan terkoordinasi melalui kegiatan pencegahan, penyelamatan, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Sehingga dengan didirikannya badan ini, para pengungsi yang berada di wilayah Indonesia segera mendapatkan penghidupan serta perlindungan hukum yang layak tanpa memandang latar belakang mereka.