Bab 6 Sifat dan Hubungan

BAB 6 SIFAT DAN HUBUNGAN

   RIYYAH ANTARNASKAH SYA$ $ 6.1. Penjelasan Umum

  Setelah mendeskripsikan secara terperinci semua naskah Sya‹‹Œ riyyah yang dijadikan sebagai sumber primer penelitian dalam bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis akan mencoba mengungkapkan sifat masing-masing naskah serta saling silang hubungan antarnaskahnya —baik hubungan antarnaskah Arab dengan naskah Melayu maupun antarnaskah Melayu dengan naskah Melayu lainnya— dengan tujuan untuk melihat keseluruhan naskah Sya‹‹Œ riyyah tersebut sebagai satu kesatuan yang tidak terpisah satu sama lain. Selain itu, pembahasan tentang hubungan antarnaskah ini juga akan ditempatkan dalam konteks saling-silang hubungan keilmuan di antara pengarang atau penulisnya.

  Seperti telah dikemukakan sejak awal, naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah yang menjadi sumber primer penelitian ini, merupakan bagian tak terpisahkan dari khazanah naskah-naskah keagamaan di dunia Melayu-Indonesia, yang dihasilkan melalui sebuah kontak intelektual, baik yang terjadi antarulama Melayu-Indonesia dengan ulama Haramayn, maupun antarulama Melayu-Indonesia dengan murid-muridnya. Dengan sendirinya, munculnya naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah tersebut, sesungguhnya menggambarkan sebuah proses transmisi ilmu pengetahuan keislaman yang pernah terjadi, dari pusatnya di Dunia Islam, khususnya Makkah dan Madinah, ke sebuah wilayah, dalam hal ini Dunia Melayu-Indonesia, yang sebelumnya sering dianggap sebagai pinggiran (peripheral). Dalam perkembangan berikutnya, wilayah yang dianggap sebagai pinggiran tersebut telah berubah menjadi sebuah “pusat” yang lain, yang telah secara produktiv menghasilkan khazanah keilmuannya sendiri.

  Sebagai tempat yang memiliki posisi dan kedudukan istimewa dalam Islam dan dalam kehidupan kaum Muslim, wajar jika selama beberapa periode tertentu, Haramayn pernah menjadi kiblat

  112 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  keilmuan Islam. Berbagai corak pemikiran dan praktek keberagamaan Islam yang berkembang di wilayah ini pun dengan segera menyebar ke berbagai wilayah lain, termasuk ke wilayah Melayu-Indonesia.

  Demikian halnya dalam konteks tarekat Sya‹‹Œ riyyah. Kendati pada mulanya tarekat ini lahir di India, namun dalam perkembangan berikutnya, yang paling bertanggungjawab dalam penyebarannya ke wilayah Melayu-Indonesia adalah para sufi yang terlibat dalam jaringan ulama Haramayn (Azra 1994). Oleh karenanya, sifat dan corak ajaran tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang berkembang di wilayah Melayu-Indonesia pun pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai “miniatur” dari tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang berkembang di Haramayn. Akan tetapi, sebagaimana lazimnya dalam sebuah proses transmisi, selain terdapat kontinuitas nilai-nilai yang ditransmisikan, dalam perkembangannya kemudian juga dijumpai adanya proses transformasi, adaptasi, penerjemahan, dan pribumisasi nilai-nilai dalam ajaran tarekat Sya‹‹Œ riyyah ketika ia sampai di wilayah Melayu-Indonesia tersebut.

  Dalam konteks transmisi keilmuan ini, tidak terelakkan bahwa sumber-sumber Arab tentang tarekat Sya‹‹Œ riyyah adalah memang merupakan sumber rujukan bagi naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah di dunia Melayu-Indonesia, tetapi satu hal yang juga tidak dapat dibantah adalah kenyataan bahwa atas sumber-sumber Arab tersebut telah terjadi proses adaptasi, transformasi, penerjemahan, dan pribumisasi, sehingga muncul pula naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah lokal yang menggambarkan sebuah “produktivitas” dalam melahirkan mozaik-mozaik Islam yang relatif baru dan berbeda.

  6.2. al-Sim‹ al-Maj¥d dan ItúŒf al- ak¥:

  ª Sumber Rujukan Ritual Tarekat Sya‹‹Œ riyyah dan Pemikiran Neo-Sufisme

dalam Naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah di Dunia Melayu-Indonesia

  Sejauh menyangkut sumber-sumber Arab yang banyak dijadikan rujukan oleh para penulis naskah Sya‹‹Œ riyyah di Dunia Melayu-Indonesia, kitab al-Sim al-Maj¥d karangan Syaikh Aúmad al-

  ª

  QusyŒ sy¥, dan ItúŒ f al- ak¥ karangan IbrŒ h¥m al-K´ rŒ n¥, bisa dianggap sebagai dua sumber yang paling representatif di antara sumber- sumber lain yang pernah ada.

  Dua sumber Arab ini jelas terhubungkan ke Dunia Melayu- Indonesia melalui hubungan keilmuan al-QusyŒ sy¥ dan al-K´ rŒ n¥ dengan Abdurrauf al-Sinkili, seorang ulama Aceh yang bisa

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  113

  dianggap sebagai tokoh yang paling bertanggungjawab dalam penyebaran tarekat Sya‹‹Œ riyyah di wilayah ini.

  Al-Sinkili adalah salah seorang murid utama al-QusyŒ sy¥ dan al-K´ rŒ n¥. Pengalaman belajar dengan al-QusyŒ sy¥ dan al-K´ rŒ n¥ merupakan bagian dari perjalanan panjang al-Sinkili ketika menuntut ilmu selama 19 tahun di Makkah dan Madinah. Dari al- QusyŒ sy¥, al-Sinkili mempelajari, khususnya, tasawuf hingga gurunya itu meninggal pada tahun 1071 H/1660 M dalam usia 77 tahun. Sebagai tanda selesainya pelajaran dalam jalan mistis, al- QusyŒ sy¥ menunjuk al-Sinkili sebagai khalifah dalam tarekat Sya‹‹Œ riyyah dan QŒ diriyyah sekaligus (Azra 1994: 195). Al-Sinkili sendiri, dalam beberapa karyanya mencantumkan silsilah dirinya dengan al-QusyŒ sy¥ melalui dua jalur tarekat tersebut (lihat, antara lain, Tanb¥h al-MŒ sy¥ h. 64-68). Adapun dari al-K´ rŒ n¥, al-Sinkili melengkapi pengetahuannya dengan berbagai pemahaman intelektual keislaman selain pengetahuan mistis-spiritual .

  Seperti akan kita lihat nanti, ajaran-ajaran tasawuf al-QusyŒ sy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d —terutama menyangkut tatacara zikir dalam ritual tarekat— sangat kuat mempengaruhi hampir keseluruhan apa yang disampaikan oleh al-Sinkili melalui naskah-naskah karangannya. Hal ini mudah dipahami mengingat hubungan guru- murid al-Sinkili dengan al-QusyŒ sy¥ tampaknya terjalin sedemikian erat. Di satu sisi, al-Sinkili sangat hormat dan patuh kepada gurunya, sementara di sisi lain, al-QusyŒ sy¥ juga sangat menyayangi muridnya itu.

  Dalam salah satu naskah berjudul Inilah Sejarah Ringkas

  Auliyaullah al-Syalihin Syaikh Abdurrauf (Syaikh Kuala) Pengembang Agama Islam di Aceh yang telah diperikan pada bab sebelumnya

  misalnya, diceritakan bahwa setelah tujuh tahun al-Sinkili berada di 1 Madinah , dan belajar dengan al-QusyŒ sy¥, ia pernah disuruh pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan agama Islam. Akan tetapi:

  “…mendengar kata guru yang demikian itu, tumbuhlah resah dan hiba yang sangat dalam hatinya disebabkan pergaulannya dengan guru sangat akrab, guru sayang kepadanya, dan dia sayang kepadanya, sebab 2 1 itu sangat berat olehnya meninggalkan guru…” (h. 10).

  

Kalau angka tujuh tahun yang disebut ini benar, seharusnya peristiwa tersebut terjadi

sekitar tahun 1649, karena al-Sinkili diyakini berangkat ke Haramayn pada 1642, dan

2 pulang kembali ke Tanah Rencong, Aceh, pada tahun 1661.

  

Penceritaan senada juga muncul dalam riwayat berjudul Pasal pada Menyatakan Silsilah

Tuan Syaikh Abdul Rauf tatkala Menuntut Ilmu Kepada Shaikh Abdul Qushashi , peny. Ph.

  114 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  Pada akhirnya, al-Sinkili memang baru meninggalkan Madinah setahun setelah gurunya itu wafat pada 1660. Dalam konteks hubungan antara al-Sinkili dengan al-QusyŒ sy¥ ini, informasi yang dikemukakan dalam sumber-sumber lokal di Sumatra

  Barat seperti contoh di atas memang menjadi penting untuk diperhatikan, setidaknya karena dua hal:

  Pertama , keberadaan teks-teks lokal yang berisi penceritaan tokoh

  al-QusyŒ sy¥ tersebut berarti menunjukkan adanya kesinambungan “komunikasi” antara dua tradisi yang sesungguhnya dipisahkan oleh rentang waktu yang relatif panjang. Masa hidup para penganut tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Sumatra Barat yang menulis teks-teks tersebut tentu saja berjarak ratusan tahun dengan masa hidupnya al-QusyŒ sy¥, bahkan dengan al-Sinkili sekali pun. Namun demikian, hal tersebut ternyata tidak menghalangi “komunikasi” di antara keduanya. Dalam pengalaman penelitian lapangan di Sumatra Barat, penulis sendiri beberapa kali bertemu dan bertatap muka dengan para penganut tarekat Sya‹‹Œ riyyah angkatan paling kemudian, yang dengan fasihnya menceritakan Syaikh Aúmad al-QusyŒ sy¥ sebagai tokoh sentral dalam ajaran tarekat Sya‹‹Œ riyyah.

  Kedua , dalam konteks pembahasan bab ini, informasi tentang

  kedekatan hubungan antara al-QusyŒ sy¥ dan al-Sinkili —yang sejauh ini memang tidak banyak dijumpai dalam sumber-sumber lain— tersebut pada gilirannya akan dapat menjelaskan sifat dan pola hubungan ajaran- ajaran al-QusyŒ sy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d, dengan naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah Nusantara yang hampir keseluruhannya melibatkan al- Sinkili, baik sebagai pengarang langsung, maupun sebagai penghubung tradisi tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang paling otoritatif di wilayah ini. Seperti akan kita lihat nanti, berbagai ritual tarekat yang dikemukakan al- QusyŒ sy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d, seperti tatacara zikir, baiat, talq¥n, dan pemberian ijazah kekhalifahan, muncul sedemikian rupa selain dalam naskah-naskah karangan al-Sinkili, juga dalam naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah lokal di Sumatra Barat.

  Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam sebagian naskah- naskah lokal tersebut, tidak jarang terselip penjelasan-penjelasan yang berbau mitos dan legenda. Ketika menjelaskan kedekatan hubungan guru-murid antara al-QusyŒ sy¥ dengan al-Sinkili misalnya, naskah

  Muballigul Islam menceritakan bahwa tidak seperti terhadap murid-

  muridnya yang lain, al-QusyŒ sy¥ mengajarkan semua ilmu pengetahuan keagamaannya kepada al-Sinkili melalui isyarat saja, tidak melalui proses belajar mengajar secara konvensional:

  “…kemudian disuruhlah membuka kitab itu oleh Syaikh Aúmad al-

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  115 seorang diri saja diajarkan oleh Syaikh Aúmad al-QusyŒ sy¥ kepada Syaikh Abdurrauf sekalian kitab itu adalah dengan memakai isyarat saja. Oleh karena berkat taat lagi khusu’ dan tawakkal kepada Allah beserta adab dan khidmat kepada guru, maka berlakulah qudrat dan iradat Allah Subhanahu wa taala…tidak ada lagi baginya batas, maka sekalian ilmu yang ditaslimkan oleh gurunya Syaikh Aúmad al-QusyŒ sy¥ kepada beliau, maka tersimpanlah kesemuanya ke dalam dada Syaikh Abdurrauf…” (h. 6).

  Dalam naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah lokal tersebut, al-Sinkili memang diceritakan sebagai murid yang sangat khidmat dan takzim kepada gurunya, sampai-sampai pekerjaan sehari-hari al-Sinkili adalah menggembalakan unta milik al-QusyŒ sy¥, selain juga menggendong bulak-balik gurunya itu dari rumah ke mesjid tempat al-QusyŒ sy¥ mengajar. Justru berkat sikap khidmat dan takzim terhadap gurunya inilah, al-Sinkili diyakini mendapatkan kemuliaan pengetahuan yang luar biasa tingginya. Dalam Muballigul Islam diceritakan:

  “…karena beliau telah menjadi orang kasyaf lagi tawakkal kepada Allah, maka terbukalah hijab pada beliau sewaktu beliau memandang ke langit terang benderang penglihatannya meliputi sekalian alam hingga terus waktu itu pemandangan beliau kepada lauh mahfuz, dan sewaktu menekur yaitu jua memandang ke bawah, terus pula pemandangan beliau kepada sijjin, yaitu tempat di bawah bumi yang tujuh. Inilah suatu hidayah dan rahmat daripada Allah ‘Azza wa Jalla kepada beliau Syaikh Abdurrauf oleh karena sangat taat dan takwa kepada Allah, dan berkat sangat hormat lagi khidmat kepada guru…” (h. 8).

  Seperti penulis kemukakan pada bab pertama disertasi ini, teks-teks yang mengandung unsur cerita mitos dan legenda, dalam penelitian ini diposisikan sebagai bagian penting dan tak terpisahkan dari sumber informasi, karena cerita-cerita tersebut pada dasarnya merupakan gambaran dari pemahaman masyarakat terhadap konteks tertentu (Vansina 1965: 154-157).

  Apalagi, dalam konteks penelitian ini, berbagai riwayat tentang kedekatan hubungan antara al-QusyŒ sy¥ dengan al-Sinkili seperti tersebut di atas inilah yang pada akhirnya memudahkan dan membantu kita melacak ajaran tarekat Sya‹‹Œ riyyah yang ditransmisikan dari sumber-sumber Arab, khususnya dari kitab al-

  

Sim al-Maj¥d , ke dalam naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah lokal, baik yang

berbahasa Arab maupun Melayu.

  Ajaran dan Ritual Tarekat dalam al-Sim‹ al-Maj¥d

  Menarik dikemukakan bahwa dalam penjelasannya tentang

  116 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  seringkali mengutip pemikiran tokoh-tokoh sufi yang oleh para ulama sebelumnya dianggap saling bertentangan satu sama lain. Dalam satu kesempatan misalnya, al-QusyŒ sy¥ mengutip pemikiran 3 ImŒ m Ab´ î Œ mid al-GazŒ l¥ yang merupakan tokoh tasawuf sunni, atau tasawuf amali, dan dalam kesempatan lain, al-QusyŒ sy¥ juga 4 mengutip pemikiran Ibnu ‘Arab¥ , yang merupakan tokoh tasawuf

  

falsafi (lihat misalnya h. 113). Ini menunjukkan betapa al-QusyŒ sy¥

  bermaksud mempelajari dan memahami masing-masing kecenderungan ajaran dua tokoh tersebut, dan “mendamaikan” beberapa perbedaan di antara keduanya.

  Penjelasan al-QusyŒ sy¥ atas berbagai topik yang dikemukakan tergolong terperinci dalam kitab ini. Tentang zikir misalnya, al- QusyŒ sy¥ mengemukakan pengertian, landasan normatif dari al- Quran atau hadis, jenis-jenis, serta tatacaranya. Demikian halnya dengan baiat dan talq¥n, yang merupakan gerbang pertama bagi seseorang untuk masuk ke dunia tarekat, al-QusyŒ sy¥ menjelaskannya secara detil, bahkan al-QusyŒ sy¥ membedakan antara tatacara baiat bagi laki-laki (h. 37), perempuan (h. 50), dan anak-anak (h. 56).

  Selain itu, al-QusyŒ sy¥ sama sekali tidak menyebut bahwa tatacara zikir, baiat, dan talq¥n yang dikemukakannya adalah khusus bagi para penganut tarekat Sya‹‹Œ riyyah, melainkan bagi semua “al-

  mur¥d¥n li al-sul´ k ”, siapapun yang menempuh dunia tasawuf. Ini

  bisa dimaklumi karena —seperti akan tampak pada bagian berikut— 3 al-QusyŒ sy¥ memang bergabung dengan tidak kurang dari selusin

  Nama lengkapnya adalah Ab´ î Œ mid Muúammad ibn Muúammad ibn Muúammad $ al-GazŒ l¥ al- ´ s¥ (450-505 H). Lahir dan meninggal di Thus, kawasan Khurasan. Ia

dikenal sebagai seorang filsuf dan ulama sufi yang mendapat gelar kehormatan,

î ujjah al-IslŒ m . Ia pernah berkeliling ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu seperti

ke Naisabur, Baghdad, Hijaz, Syam dan Mesir. Karangannya tidak kurang dari dua

ratusan, antara lain: IúyŒ ’ ‘Ul´ m al-D¥n , MaqŒ §id al-FalŒ sifah , TaúŒ fut al-FalŒ sifah, al-

  ©

Munqi min al-ë alŒ l, al-Iqti§Œ d f¥ al-I‘tiqŒ d , dll. (Zarkal¥ 1980, jilid 7, h. 22, lihat juga

4 TaftŒ zan¥ 1985, h. 148-186) Nama lengkapnya adalah Muúammad ibn ‘Al¥ ibn Muúammad ibn ‘Arab¥, Ab´ Bakr

  $ Œ

al-î Œ tim¥ al- '¥ al-Andal´ s¥ (1165-1240), seorang sufi Andalusia yang lebih dikenal

dengan nama Ibnu ‘Arab¥. Gelar lainnya yang lebih masyhur adalah al-Syaikh al-Akbar

(guru yang agung). Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, kemudian

hijrah ke Seville. Ibnu ‘Arab¥ biasanya dihubungkan dengan doktrin waúdat al-wuj´ d,

karena ia dianggap sebagai pendirinya, meskipun ia sendiri tidak pernah

menggunakan istilah tersebut. Karya-karya mistiknya tidak kurang dari 239 buah,

baik dalam bentuk kitab atau risalah, antara lain: al-Fut´ úŒ t al-Makkiyyah , Fu§´ § al-

î ikam, MafŒ t¥ú al-Gaib , MŒ LŒ Budda Minhu li al-Mur¥d, Bulgah al-GawŒ §, dan lain-lain

(lebih lengkap tentang biografi Ibnu ‘Arab¥ dan karya-karyanya, lihat Noer 1995: 17-

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  117

  jenis tarekat, kendati ia lebih menonjol peranannya dalam transmisi tarekat Sya‹‹Œ riyyah ke berbagai penjuru dunia melalui murid- muridnya, termasuk ke dunia Melayu-Indonesia (Azra 1994: 89). Meski demikian, di kemudian hari —seperti akan tampak dalam pembahasan atas naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah— model zikir dan baiat yang dikemukakan al-QusyŒ sy¥ ini hampir secara keseluruhan diadopsi oleh para ulama tarekat Sya‹‹Œ riyyah di Dunia Melayu- Indonesia.

  Zikir menurut al-QusyŒ sy¥ —seraya mengutip Aúmad ibn ‘AtŒ ’ 5 AllŒ h al-Iskandar¥ — dalam al-Sim al-Maj¥d, adalah: “al-takhallu§ min

  al-gaflah wa al-nis-yŒ

  ”,

  n bi dawŒ mi úuè´ ri al-qalbi ma’a al-î aq

  “menghindarkan diri dari keadaan khilaf dan lupa dengan senantiasa menghadirkan al-î aq (Tuhan) di dalam hati” (h. 10). Pada dasarnya kalimat zikir yang terbaik adalah dengan membaca kalimat tahl¥l , yakni lŒ ilŒ ha illŒ AllŒ h .

  ©

  Secara umum, terdapat dua macam zikir, yakni: zikir lisan ( ikr

  © bi al-lisŒ n ) dan zikir hati ( ikr bi al-jinŒ n ). Menurut al-QusyŒ sy¥, zikir

  lisan merupakan tingkatan terendah dari segi bobot dan kualitasnya, sementara zikir hati adalah bentuk zikir yang paling bermanfaat, paling sempurna, dan paling mendalam, karena melalui zikir hati ini seseorang dapat memperoleh berbagai kemuliaan dan kasih sayang

  al-î aq , Allah Swt. Kendati demikian, menggabungkan antara zikir lisan dan zikir hati adalah merupakan bentuk kesempuraan zikir.

  ©

  Secara teknis, ikr bi al-lisŒ n , menurut al-QusyŒ sy¥, adalah membaca dan mengucapkan beberapa huruf atau kalimat tertentu

  ª

  melalui lidah, tanpa harus dihadirkan dalam hati. ikr al-lisŒ n bisa berbentuk bacaan yang terikat dengan waktu dan tempat (muqayyad), seperti bacaan salat, bisa juga berupa bacaan bebas tanpa terikat

  ©

  waktu dan tempat (mulaq). Selain itu, ikr al-lisŒ n bisa juga berupa

  £

  pujian ( anŒ ), berupa doa (du’Œ ), atau berupa permohonan

  ©

  perlindungan (ri’Œ yah ). Meskipun ikr al-lisŒ n ini seringkali tidak diiringi dengan penghayatan mendalam dari pelakunya (sŒ lik ), tetapi menurut al-QusyŒ sy¥, hal itu tetap merupakan perbuatan terpuji karena memiliki landasan, baik dalam al-Quran maupun hadis Nabi 5 (h. 10).

  

Nama lengkapnya adalah Aúmad ibn Muúammad Ab´ Faèl TŒ j ad-D¥n ibn ‘Abd al-

Kar¥m ibn A‹Œ ’ AllŒ h al-Iskandar¥ (w. 1309), dikenal dengan nama Ibnu ‘A‹Œ ’ AllŒ h. Ia

  ©

lahir di Mesir dan menganut tarekat SyŒ iliyyah. Karya Ibnu ‘A‹Œ ’ AllŒ h antara lain: al-

î ikam, TŒ j al-‘Ar´ sy wa Kam al-Nuf´ s, La‹Œ 'if al-MinŒ n f¥ ManŒ qib al-Syaikh Ab¥ al-‘AbbŒ s

wa Syaikhihi Ab¥ al-î asan . Buku yang disebut terakhir merupakan biografi dari sufi

  118 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  ©

  Adapun teknis ikr bi al-jinŒ n , menurut al-QusyŒ sy¥ adalah, antara lain, dengan membaca kalimat lŒ ilŒ ha mulai dari atas pusar seraya berniat untuk meniadakan (nafy¥) segala sesuatu selain Allah, kemudian kalimat illŒ AllŒ h dibaca seraya menghunjamkannya ke dalam jantung supaya makna kalimat tersebut memberikan ketetapan bahwa hanya Allah saja yang ada dalam dalam hati

  £

  sanubari (i bŒ t ), sehingga pada akhirnya keyakinan tersebut menjalar ke seluruh anggota tubuh (h. 16). Cara lain adalah dengan ist¥lŒ ’ al-

  © ma k´ r (menghadirkan yang disebut dalam zikir, yakni Allah Swt.) ke dalam hati, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun (h. 12).

  ª ikr bi al-jinŒ n ini seyogianya dilakukan dengan penuh rasa

  khusyuk dan penuh suasana khidmat (tak½¥m). Seorang sŒ lik dapat dibilang berhasil mencapai tingkat zikir ini, minimal jika ia mampu meniadakan segala sesuatu pun selain Allah dari dalam hati dan dirinya ketika ia mengucapkan kalimat lŒ ilŒ ha illŒ AllŒ h tersebut.

  ©

  Artinya, ikr bi al-jinŒ n dianggap tidak sah jika sŒ lik masih berpikir selain Allah selama ia berzikir.

  ©

  Jika ikr bi al-jinŒ n ini telah bisa dilakukan, Tuhan pun telah hadir dalam hati, maka seorang sŒ lik akan sampai pada tingkatan

  © ©

  zikir tertinggi, yakni yang disebut ikr al-sirr atau ikr khaf¥ . Dalam level ini, seseorang yang berzikir tidak berpikir lagi tentang zikirnya, atau bahkan tentang diri dan hatinya, yang ada hanyalah kehadiran Tuhannya. Jika sepintas saja ia berpaling mengingat zikirnya, atau mengingat diri dan hatinya, maka tertutuplah kehadiran Tuhan dari dirinya.

  Menurut al-QusyŒ sy¥, jika seorang sŒ lik telah sampai pada tahap

  © ikr khaf¥ , berarti dia telah mencapai tujuan akhir dari zikir itu sendiri,

  yakni fanŒ dalam arti sesungguhnya. Seseorang yang mencapai hakikat fanŒ berarti fanŒ dari dirinya sendiri dan dari segala sesuatu di luar dirinya. Ia telah “pergi” kepada Tuhannya, bahkan jika benar- benar telah fanŒ , ia akan fanŒ dari fanŒ nya itu sendiri (al-fanŒ ‘an al-

  © fanŒ ). Inilah makna dari firman Allah: “Inn¥ Œ hibun ilŒ rabb¥ sayahd¥ni ”, sesungguhnya aku pergi kepada Tuhanku, Dia akan

  memberiku petunjuk (h. 13).

  Berikutnya, al-QusyŒ sy¥ menjelaskan tentang etika atau sopan santun pelaksanaan zikir (h. 15-17). Etika zikir ini dibagi menjadi tiga bagian: pertama, etika yang harus dipersiapkan sebelum zikir; kedua, etika yang harus dilakukan ketika zikir; dan ketiga, etika yang harus dilakukan setelah selesai pelaksanaan zikir. Namun, penting ditegaskan bahwa menurut al-QusyŒ sy¥, etika zikir yang disebutkan

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  119 ©

  ini hanya berlaku bagi para sŒ lik yang melaksanakan ikr bi al-lisŒ n ,

  © © tidak bagi mereka yang melakukan ikr bi al-jinŒ n atau ikr bi al-qalbi .

  Adapun beberapa hal yang harus dilakukan sebelum berzikir

  ©

  adalah: bertaubat, membersihkan jiwa (tah ¥b al-nafs), berpakaian yang halal, bersih, dan wangi, serta membersihkan batin dengan cara memakan hanya makanan yang halal.

  Kemudian, di antara hal yang harus dilakukan saat melakukan zikir adalah: ikhlas, memberi wangi-wangian pada tempat zikir, duduk bersila dengan menghadap kiblat, meletakkan kedua tangan di atas paha, memejamkan mata, membayangkan kehadiran syaikhnya seraya meyakini bahwa keberadaan syaikhnya itu sama dengan keberadaan Nabi, karena pada dasarnya syaikh adalah pengganti (nŒ ’ib ) Nabi.

  Terakhir, menurut al-QusyŒ sy¥, setelah selesai melakukan zikir hendaknya seorang sŒ lik diam sejenak untuk merasakan keheningan. Al-QusyŒ sy¥ menamakan keadaan ini sebagai al-naumah, yang berarti tidur.

  Pada bagian berikutnya, al-QusyŒ sy¥ menjelaskan tentang talq¥n, yakni salah satu langkah awal yang harus ditempuh oleh seseorang jika hendak masuk pada dunia tarekat (suluk). Di antara tatacaranya adalah terlebih dahulu ia harus menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syaikhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudlu). Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan salat sunat sebanyak enam rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama dari dua rakaat pertama, setelah surat al-fŒ tiúah , membaca surat al-

  

qadr enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-fŒ tiúah ,

  membaca surat al-qadr dua kali. Pahala salat tersebut dihadiahkan kepada Nabi Saw, seraya berharap mendapat pertolongan dari Allah Swt. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surat al-fŒ tiúah membaca surat al-kŒ fir´ n lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-fŒ tiúah membaca al-kŒ fir´ n tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para Nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surat al-fŒ tiúah membaca surat al-ikhlŒ § empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-fŒ tiúah membaca surat al-ikhlŒ § dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian salat sunnat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan salawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.

  Selain talq¥n, hal yang harus ditempuh oleh seorang sŒ lik menurut al-QusyŒ sy¥ dalam al-Sim al-Maj¥d adalah baiat. Secara

  120 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  dan penyerahan diri dari seorang mur¥d secara khusus kepada syaikhnya, dan secara umum kepada lembaga tarekat yang dimasukinya (h. 36). Seorang mur¥d yang telah mengikrarkan diri masuk ke dalam dunia tarekat, tidak dimungkinkan lagi untuk kembali keluar dari ikatan tarekat tersebut (h. 33). Dalam dunia tarekat, pada dasarnya baiat memiliki konsekuensi adanya kepatuhan mutlak dari seorang mur¥d kepada syaikhnya, karena — seperti telah dikemukakan— syaikh adalah perwakilan dari Nabi yang diyakini tidak akan membawa kepada kesesatan. Kendati demikian, jika seorang syaikh ternyata menyalahi kaidah-kaidah syariat, maka al-QusyŒ sy¥ tidak menganjurkan untuk mematuhinya, karena masuk ke dalam dunia tarekat sama artinya dengan masuk pada kewajiban syariat (h. 83; lihat juga Azra 1994: 129).

  Secara teknis, menurut al-QusyŒ sy¥, baiat dilakukan, antara lain, dengan cara mur¥d meletakkan kedua tangan di bawah tangan syaikh, yang diiringi dengan ikrar kesetiaan dari mur¥d (h. 37). Kemudian syaikh menggenggam kedua tangan mur¥d sebagai tanda menerima kehadirannya, lahir dan batin, dunia akhirat. Setelah itu, syaikh menasihati mur¥d agar bertaubat dengan mengucapkan istigfŒ r (permohonan ampun), membacakan talq¥n 3 kali, mengusap kopiyah atau bagian dari pakaian mur¥d sebagai simbol berpindahnya keadaan mur¥d menjadi anggota tarekat, menyuruh mur¥d agar bersalaman dengan seluruh jamaah yang hadir sebagai simbol masuknya mur¥d ke dalam jamaah tarekat, dan terakhir syaikh memberikan nasihat, agar mur¥d menjauhi hal-hal yang haram dan makruh, mencintai segala perbuatan sunat, seperti puasa dan salat sunat Terakhir, syaikh mengingatkan agar mur¥d tidak mengingkari janji yang telah diikrarkannya, karena hal itu merupakan perbuatan murtad (h. 38).

  Cara lain melakukan baiat adalah mur¥d meletakkan telapak tangannya dalam keadaan terbuka di bawah tangan syaikh. Jika jumlah mur¥d yang melakukan baiat lebih dari satu orang, maka tangan syaikh diletakkan paling atas di antara seluruh tangan mur¥d. Kemudian, syaikh membacakan lafaz baiat, yakni kutipan ayat ke-10 dari al-Quran surat al-Fatú:

  ﺎﻤﻧإ ﻚﻧﻮﻌﻳﺎﺒﻳ ﻦﻳﺬﻟا نإ ﻢﻴﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ ﻢﻴﺟﺮﻟا نﺎﻄﻴﺸﻟا ﻦﻣ ﷲﺎﺑ ذﻮﻋأ ﺎﻤﺑ ﻰﻓوأ ﻦﻣو ﻪﺴﻔﻧ ﻰﻠﻋ ﺚﻜﻨﻳ ﺎﻤﻧﺈﻓ ﺚﻜﻧ ﻦﻤﻓ ﻢﻬﻳﺪﻳأ قﻮﻓ ﷲا ﺪﻳ ﷲا نﻮﻌﻳﺎﺒﻳ . ﺎﻤﻴﻈﻋ اﺮﺟأ ﻪﻴﺗﺆﻴﺴﻓ ﷲا ﻪﻴﻠﻋ ﺪهﺎﻋ

  [A’´ zu bi AllŒ hi min al-syai‹Œ n al-raj¥m, bismi AllŒ hi al-raúmŒ ni al- raú¥mi, inna al-la©¥na yubŒ yi’´ naka innamŒ yubŒ yi’´ na AllŒ h, yadu

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  121 AllŒ hi fauqa aid¥him, fa man naka£a fa innamŒ yanku£u ‘alŒ nafsihi,

wa man aufŒ bi mŒ ‘Œ hada ‘alaihi AllŒ hu fa sayu’t¥hi ajran ‘a½¥mŒ ]

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk. Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barangsiapa yang melanggar janjinya, maka akibat melanggar itu akan menimpa dirinya sendiri. Dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.

  Setelah itu, syaikh mengajak mur¥d untuk mengucapkan kalimat berikut:

  ﺎﻴﺒﻧ ﻢﻠﺱو ﻪﻟﺁو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﺪﻤﺤﻣ ﺎﻧﺪﻴﺴﺑو ﺎﻨﻳد مﻼﺱﻹﺎﺑو ﺎﺑر ﷲﺎﺑ ﺖﻴﺿر ﺎﻴﺑﺮﻣو ﺎﺨﻴﺵ ﺦﻴﺸﻟا يﺪﻴﺴﺑو ﺎﻧاﻮﺧإ ءاﺮﻘﻔﻟﺎﺑو ﺔﻠﺒﻗ ﺔﺒﻌﻜﻟﺎﺑو ﺎﻣﺎﻣإ نﺁﺮﻘﻟﺎﺑو . ﻼﻴﻟدو

  [raèitu bi AllŒ hi rabbŒ , wa bi al-IslŒ mi d¥nŒ , wa bi sayyidinŒ Muúammadin §allŒ AllŒ hu ‘alaihi wa Œ lihi wa sallama nabiyyŒ , wa bi al-qurŒ ni imŒ mŒ , wa bi al-ka’bati qiblatŒ , wa bi al-fuqarŒ ’i ikhwŒ nŒ , wa bi sayyidinŒ al-syaikh syaikhŒ wa murabbiyŒ wa dal¥lŒ ] “Aku rela Allah Tuhanku, Islam agamaku, Muhammad Nabiku, al- Quran pemimpinku, ka’bah kiblatku, orang fakir saudaraku, serta syaikh sebagai guru, pembimbing, dan panutanku”.

  Disusul dengan bacaan berikut sebanyak tiga kali dengan suara keras:

  .

  ﻪﻴﻟإ بﻮﺗأو مﻮﻴﻘﻟا ﻲﺤﻟا ﻮه ﻻإ ﻪﻟا ﻻ يﺬﻟا ﷲا ﺮﻔﻐﺘﺱأ [astagfiru AllŒ ha al-la©¥ lŒ ilŒ ha illŒ Huwa al-î ayyu al-Qayy´ mu, wa at´ bu ilaihi] “Aku memohon ampun kepada Allah, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, yang Mahahidup dan Maha Berdiri, aku bertaubat kepada-Nya”.

  Setelah itu, membaca kalimat tahl¥l berikut juga sebanyak tiga kali:

  .

  ﷲا ﻻإ ﻪﻟا ﻻ ﷲا ﻻإ ﻪﻟا ﻻ ﷲا ﻻإ ﻪﻟا ﻻ [lŒ ilŒ ha illŒ AllŒ ha lŒ ilŒ ha illŒ AllŒ ha] “Tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada Tuhan selain Allah”.

  122 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  Kalimat tahl¥l di atas dibaca dengan nada panjang dengan penuh penghayatan akan maknanya. Terakhir, syaikh membaca doa untuk mur¥dnya sebagai berikut:

  ﻚﺋﺎﻴﺒﻧأ ﻰﻠﻋ ﻪﺘﺤﺘﻓ ﺎﻤآ ﺮﻴﺧ ﻞآ بﺎﺑ ﻪﻴﻠﻋ ﺢﺘﻓاو ﻪﻨﻣ ﻞﺒﻘﺗو ﻪﻨﻣ ﺬﺧ ﻢﻬﻠﻟأ .

  ﻦﻴﺤﻟﺎﺼﻟا كدﺎﺒﻋو ﻚﺋﺎﻴﻟوأو [AllŒ humma khu© minhu wa taqabbal minhu wa iftaú ‘alaihi bŒ ba kulli khairin ka mŒ fataúahu ‘alŒ anbiyŒ ika wa auliyŒ ika wa ‘ibŒ dika al-§Œ lih¥na] “Ya Allah, terimalah ia, bukakan pintu setiap kebaikan kepadanya sebagaimana Engkau telah bukakan pintu kebaikan kepada para Nabi, para wali, dan hamba-hamba-Mu yang salih”.

  Terakhir, syaikh menyuruh mur¥d untuk bersalaman dengan seluruh jamaah yang hadir, dan memberinya nasihat agar senantiasa berbuat kebaikan dan melakukan zikir setiap saat (h. 39).

  Dalam bagian yang lain, al-QusyŒ sy¥ memberikan catatan bahwa jika mur¥d yang melakukan baiat adalah perempuan, maka kontak tangan tidak perlu dilakukan, cukup melalui nasihat lisan dari syaikh saja (h. 50). Adapun baiat bagi anak-anak yang masih di bawah umur, menurut al-QusyŒ sy¥, seraya mencontohkan apa yang pernah dilakukan Nabi, adalah dengan cara mengusap kepalanya, mendoakannya, dan berkurban seekor kambing yang ditanggung oleh keluarganya (h. 56).

  Pada bagian berikutnya (mulai h. 67), al-QusyŒ sy¥ mengemukakan silsilah yang menghubungkan dirinya dengan guru- guru tarekat Sya‹‹Œ riyyah, dan guru dari beberapa jenis tarekat lain dimana al-QusyŒ sy¥ bergabung dan menerima ijazah darinya, seperti tarekat QŒ diriyyah, Khalwatiyyah, Naqsybandiyyah, Jishtiyyah, Firdausiyyah, KubrŒ wiyyah, SuhrŒ wardiyyah, dan lain-lain. (khusus tentang silsilah Syaikh Aúmad al-QusyŒ sy¥ dalam tarekat Sya‹‹Œ riyyah, akan dikemukakan pada bagian lampiran).

  Melalui beberapa silsilah tarekat yang dikemukakannya dalam

  al-Sim al-Maj¥d , tampak bahwa al-QusyŒ sy¥ adalah seorang ulama yang memiliki hubungan keilmuan dengan para guru sufi terkenal.

  Apalagi, pada bagian berikutnya, al-QusyŒ sy¥ juga mengemukakan hubungan keilmuan dirinya dengan guru-guru utama di bidang hadis, sehingga ini semakin mengukuhkan al-QusyŒ sy¥ sebagai seorang ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan Islam.

  Keterlibatan al-QusyŒ sy¥ dalam sejumlah jenis tarekat tampaknya memang merupakan fenomena umum dan menjadi ciri

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  123 yang paling mencolok dari para pengikut tarekat periode abad ke-17.

  Tentang hal ini, Azra (1994: 128) menulis:

  “…tidak ada batasan-batasan jelas di antara berbagai tarekat yang jumlahnya cukup banyak itu, baik dalam doktrin-doktrin maupun praktik-praktik (peribadatan dan upacara) atau “keanggotaan” mereka. Para syaikh dan murid-murid sufi tidak harus setia pada satu tarekat saja; mereka bisa menjadi pemimpin dan dan murid dari sejumlah tarekat. ….kenyataan ini, tak pelak lagi, menjelaskan lebih jauh karakter kosmopolitanisme para ulama kita di dalam jaringan”.

  ª Ajaran dan Doktrin Mistiko-filosofis dalam ItúŒ f al- ak¥

  Seperti telah diisyaratkan di atas, selain al-Sim al-Maj¥d karangan al-QusyŒ sy¥, sumber Arab yang banyak menjadi rujukan dalam naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah di Dunia Melayu-Indonesia

  ª

  adalah ItúŒ f al- ak¥ karangan IbrŒ h¥m Al-K´ rŒ n¥. Berbeda dengan al-

  Sim al-Maj¥d yang menjadi rujukan naskah-naskah Sya‹‹Œ riyyah ª

  tersebut dalam hal ritual dan tatacara zikir, ItúŒ f al- ak¥ merupakan sumber rujukan berkaitan dengan berbagai ajaran dan doktrin mistiko-filosofisnya.

  ª

  Dalam naskah ItúŒ f al- ak¥ , Al-K´ rŒ n¥ berusaha menjelaskan doktrin-doktrin tasawuf (‘ilm al-î aq¥qat), yang ia definisikan sebagai:

  ﺮهﺎﻈﻤﻟا ﻰﻓ ﻩرﻮﻬﻇ ﺚﻴﺣ ﻦﻣو ﻮه ﺚﻴﺣ ﻦﻣ دﻮﺟﻮﻟا لاﻮﺣأ ﻦﻋ ﺚﺣﺎﺒﻟا ﻢﻠﻌﻟا [al-‘ilmu al-bŒ hi£u ‘an aúwŒ li al-wuj´ di min hai£u Huwa wa min hai£u hiri] ½uh´ rihi f¥ al-ma½Œ “Ilmu yang mempelajari tentang Wuj´ d Tuhan, dan perwujudan-Nya di alam raya”.

  Dalam kitab ini —dan dalam karangannya yang lain semisal al-

  JawŒ bŒ t al-Garawiyyah ‘an al-MasŒ 'il al-JŒ wiyyah al-Jahriyyah , yang, 6

  sayangnya, tidak pernah dijumpai — al-K´ rŒ n¥ berusaha keras menjelaskan doktrin-doktrin yang maha rumit tersebut dengan didasarkan atas tuntunan al-Quran dan hadis Nabi. Dalam konteks inilah, al-K´ rŒ n¥ mendasari pembahasannya pada tujuh butir penting:

  Pertama , al-K´ rŒ n¥ menegaskan bahwa al-Quran adalah sumber

  hukum dan sumber rujukan yang harus didahulukan sebelum sumber-sumber yang lain, bahkan kitab-kitab suci lain semisal Taurat dan Injil sekalipun. Setelah itu, hadis Nabi berada di urutan

  124 Tarekat Sya‹‹Œ riyyah

  berikutnya. Al-K´ rŒ n¥ sangat menekankan konsistensi umat Islam, termasuk mereka yang mempelajari tasawuf, untuk benar-benar memperhatikan hukum-hukum yang tersurat dan tersirat dalam keduanya (h. 6v). Ia bahkan mengingatkan untuk tidak menggubris doktrin-doktrin atau pun praktik-praktik ritual, baik yang berasal dari ulama fikih, yang oleh al-K´ rŒ n¥ disebut sebagai ahl al-na½r, maupun dari ulama sufi, atau ahl al-kasyf, jika bertentangan dengan al-Quran dan hadis. Sedikitnya ada dua model argumentasi yang dikemukakan al-K´ rŒ n¥: pertama argumentasi Qurani (dal¥l naql¥), dan kedua argumentasi akal (dal¥l ‘aql¥). Yang pertama, al-K´ rŒ n¥ menyodorkan, antara lain, firman Allah:

  ( ٣ : فاﺮﻋﻷا ) ءﺎﻴﻟوأ ﻪﻧود ﻦﻣ اﻮﻌﺒﺘﺗ ﻻو ﻢﻜﺑر ﻦﻣ ﻢﻜﻴﻟإ لﺰﻧأ ﺎﻣ اﻮﻌﺒﺗا [ittabi’´ mŒ unzila ilaikum min rabbikum wa lŒ tattabi’´ min d´ nihi auliyŒ ’a]

  “Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian, dan janganlah mengikuti para pemimpin selain Dia”.

  .( : ) ٧١ مﺎﻌﻧﻷا ﻦﻴﻤﻟﺎﻌﻟا بﺮﻟ ﻢﻠﺴﻨﻟ ﺎﻧﺮﻣأو ىﺪﻬﻟا ﻮه ﷲا ىﺪه نإ [Inna hudŒ All´ hi huwa al-hudŒ , wa amaran´ li nuslima li rabbi al- ‘Œ lam¥na] “Sesungguhnya petunjuk Allah adalah petunjuk yang benar, dan kami diperintah untuk berserah diri kepada-Nya.”

  Dalam argumentasi kedua, al-K´ rŒ n¥ menegaskan bahwa seorang ahl al-na½r adalah juga manusia, yang bisa benar dan bisa salah, sehingga hasil dari pemikirannya pun bersifat nisbi belaka; sementara wahyu Allah adalah mutlak kebenarannya, dan tidak mungkin muncul kekeliruan darinya. Adapun tentang ahl al-kasyf, menurut al-K´ rŒ n¥, pengetahuan mereka yang benar pada dasarnya selalu didasarkan pada al-Quran dan sunnah; logikanya, jika dijumpai doktrin atau ajaran yang menyimpang dan bertentangan dengan kedua sumber tersebut, maka hal itu sudah sepatutnya dipertanyakan, dan bahkan ditolak (h. 6r). 7 Al-K´ rŒ n¥ memperkuat argumentasinya itu dengan mengutip 7 pernyataan beberapa sufi terkemuka semisal Ibnu ‘Arab¥ dan al-

  

Kebiasaan al-K´ rŒ n¥ mengutip Ibnu ‘Arab¥ dan al-Junaid ini dalam mengemukakan

pandangan-pandangannya adalah persis seperti yang dilakukan oleh al-QusyŒ sy¥

seperti telah dikemukakan. Di satu sisi, Ibnu ‘Arab¥ adalah salah seorang tokoh

tasawuf falsafi yang sering diidentikkan dengan gagasan-gagasan mistiko-filosofis

yang dianggap berlebih-lebihan, sementara al-Junaid dikenal sebagai seorang tokoh

Bab 6. Sifat dan Hubungan

  125 Junaid. 8 Ibnu ‘Arab¥ dalam Al-Fut´ hŒ t al-Makkiyyah misalnya mengatakan: ﻪﺑﺎﺘآو ﷲا ﻦﻋ ﻲﺣﻮﻟا ﻦﻣ لﻮﺱﺮﻟا ﻪﺑ ءﺎﺟ يﺬﻟا ﻦﻋ ﻲﻟﻮﻟا ﻢﻠﻋ جﺮﺨﻳ ﻻ ﻪﻟﻮﺱﺮﺑ ﻖﻳﺪﺻ ﻲﻟو ﻞﻜﻟ ﻚﻟذ ﻦﻣ ﺪﺑ ﻻ ﻪﺘﻔﻴﺤﺻو

  .

  [lŒ yakhruju ‘ilmu al-waliyyi ‘an al-la©¥ jŒ ’a bihi al-ras´ lu min al-waúyi ‘an AllŒ hi wa kitŒ bihi wa §ah¥fatihi lŒ budda min ©Œ lika li kulli waliyyin §Œ diqin bi ras´ lihi] “Pengetahuan seorang wali (baca: sufi) itu tidak akan menyimpang dari wahyu Allah, serta dari kitab dan sahifah-Nya yang dibawa oleh Nabi. Karenanya, seorang wali harus mengikuti Rasulnya”.

  Demikian halnya al-Junaid, ia mengatakan:

  ﻤﻠﻋ ﺔﻨﺴﻟاو بﺎﺘﻜﻟﺎﺑ ﺪﻴﻘﻣ اﺬه ﺎﻨ [‘ilmunŒ hŒ ©a muqayyadun bi al-kitŒbi wa al-sunnati] “Pengetahuan kami ini (baca: tasawuf) dibatasi oleh al-Quran dan sunnah”.

  Demikianlah, al-K´ rŒ n¥ sangat hati-hati dan bersungguh- sungguh dalam memposisikan al-Quran sebagai sumber rujukan pengetahuan, baik pengetahuan lahir (syariat) maupun pengetahuan batin (tasawuf).

  Persoalannya kemudian, seringkali muncul kebingungan di kalangan Muslim awam karena para ahl al-kasyf tadi juga pada kenyataannya banyak mendasarkan doktrin-doktrin mistis mereka —yang seringkali dianggap membingungkan— pada al-Quran dan hadis Nabi, kendati dengan interpretasi versi mereka sendiri. Hal ini seringkali menimbulkan satu pertanyaan tentang siapa sesungguhnya yang harus diikuti? Para ahl al-na½r dengan

  £

ungkapan ganjil (syatahŒ t ). Dengan mengutip keduanya, seolah al-K´ rŒ n¥ ingin

menunjukkan bahwa bukan hal yang mustahil untuk menggabungkan atau

mendamaikan aliran-aliran pemikiran tasawuf yang berbeda-beda, yang sering

dianggap bertentangan satu sama lainnya oleh para ulama sebelumnya (lihat

TaftŒ zan¥ 1985: 113; lihat juga Azra 1994: 132). 8 Nama lengkapnya adalah Ab´ al-QŒ sim al-Junaid al-BagdŒ d¥ al-KharrŒ z (w. 298

H/911 M). Ayahnya berasal dari Nahawand, Persia; ia sendiri lahir dan meninggal di

  

Bagdad. Al-Junaid dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki berbagai karangan di

bidang tauhid, ketuhanan, fanΠdan masalah-masalah keagamaan lainnya. Al-Junaid

dapat dimasukkan ke dalam kelompok sufi yang konsisten mengajarkan perpaduan

ilmu syariat (fikih) dan ilmu hakikat (tasawuf) dan tidak suka mengeluarkan

ungkapan-ungkapan ganjil (syaaúŒ t ). Karya-karyanya antara lain: DawŒ ' al-ArwŒ ú, al-