8 BAB II LANDASAN TEORI 2.1.Pajak 2.1.1.Pengertian Pajak Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha harus memenuhi kewajiban

BAB II LANDASAN TEORI

2.1.Pajak

2.1.1.Pengertian Pajak

   Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha harus memenuhi kewajiban

  perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku pada negara di mana perusahaan itu menjalankan kegiatan usaha.

   Di Indonesia menganut sistem self assessment dalam pemungutan perpajakan.

  Sistem self assessment merupakan suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

  Pajak memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membangun semua pengeluaran, termasuk pengeluaran pembangunan.

  Bagi negara, pajak adalah salah satu sumber penerimaan penting yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sebaliknya, bagi perusahaan, pajak merupakan beban yang akan mengurangi laba bersih.

  Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir disebut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan UU KUP yaitu sebagai berikut: Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  2.1.2.Fungsi Pajak Adapun fungsi pajak menurut Thomas Sumarsam (2013) yaitu: a.

  Pajak sebagai sumber dana atau penerima (budgetair), yaitu pajak sebagai penghimpun dana dari masyarakat ke dalam kas negara yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah.

  b.

  Pajak sebagai pengatur (regulerend), yaitu pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur struktur pendapatan di tengah masyarakat dan struktur kekayaan antara pelaku ekonomi.

  2.1.3.Sistem Pemungutan Pajak

  Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi: a.

  Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. b.

  Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan tanggung jawab kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar.

  c.

  Withholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.

2.1.4.Asas Pengenaan Pajak

  

Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk

  mengenakan pajak adalah: a.

  Asas domisili atau asas kependudukan, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk atau berdomisili di negara atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.

  b.

  Asas sumber, berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber sumber yang berada di negara ini. c.

  Asas kebangsaan atau asas nasionalitas (asas kewarganegaraan), landasan dalam pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Pembagian pajak menurut golongan adalah sebagai berikut: a.

  Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan, contohnya Pajak Penghasilan.

  b.

  Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan ke pihak lain, contohnya Pajak Pertambahan Nilai.

  Pembagian pajak menurut sifatnya dimaksudkan pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip: a.

  Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pajak subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak, contohnya Pajak Penghasilan.

  b.

  Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contohnya PPN dan PPNBM.

  Pembagian pajak menurut pemungutan: a.

  Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan, PPN dan b.

  Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contohnya: pajak reklame, pajak hiburan, dan lain-lain.

2.2.Beban Pajak Tangguhan

  Beban pajak tangguhan diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 46 tentang Akuntansi Pajak Penghasilan. Beban pajak tangguhan dikelompokkan berdasarkan perbedaan temporer dan perbedaan permanen. pajak secara final, dan adanya non deductible expense (biaya yang tidak boleh dikurangkan).

  Perbedaan temporer adalah perbedaan yang terjadi akibat perbedaan waktu pengakuan biaya atau pendapatan dalam laba akutansi dan dalam laba fiskal.

  Perbedaan inilah yang akan menimbulkan biaya dan pendapatan pajak tangguhan dalam laporan keuangan perusahaan. Perbedaan temporer dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Perbedaan Temporer Kena Pajak (Taxable Temporary Differences) dan Perbedaan Temporer Yang Boleh Dikurangkan (Deductible Temporary

  

Differences). Jadi akibat perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dalam laporan

keuangan masa kini adalah munculnya aktiva pajak tangguhan (Deffered Tax Asset).

  Dengan demikian penurunan aktiva pajak tangguhan menunjukkan adanya beban pajak tangguhan pada laporan laporan keuangan tahun berjalan.

  Perbedaan Permanen adalah perbedaan yang sifatnya tetap, yang tidak akan hilang sejalan dengan waktu. Maka perbedaan permanen ini tidak akan menimbulkan biaya atau pendapatan pajak tangguhan. Perbedaan permanen timbul karena terdapat penghasilan yang bukan merupakan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak secara final, dan adanya non deductible expense (biaya yang tidak boleh dikurangkan.

2.3.Aset Pajak Tangguhan

  PSAK yang khusus mengatur tentang akuntansi pajak tangguhan adalah PSAK No. 46 yang menjelaskan bahwa: Aktiva pajak tangguhan adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan

  

(recoverable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer

(temporary differences ) yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian

  (berasal dari koreksi positif)”.

  “Aset pajak tangguhan adalah aktiva yang terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakhibat beban pajak menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut Undang-Undang Pa jak” dalam Waluyo (2012 : 273). Aset pajak tangguhan disebabkan jumlah pajak penghasilan terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. Besarnya aset pajak tangguhan dicatat apabila dimungkinkan adanya realisasi manfaat pajak di masa yang akan datang.

2.4.Laba

  Laba (keuntungan) merupakan salah satu tujuan utama perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya. Laba yang diperoleh perusahaan akan digunakan untuk berbagai kepentingan, laba akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan perusahaan tersebut atas jasa yang diperolehnya. Adapun pengertian laba menurut para ahli yaitu yang pertama, menurut M. Nafarin (2007: 788) dalam Herdawati (2015) “Laba (income) adalah perbedaan antara pendapatan dengan keseimbangan biaya- biaya dan pengeluaran untuk periode tertentu”. Sedangkan, menurut Kuswadi

  (2005:135) dalam Herdawati (2015), menyatakan bahwa “perhitungan laba diperoleh dari pendapatan dikurangi semua biaya”. Berdasarkan uraian diatas tentang pengertian laba, maka dapat disimpulkan bahwa laba adalah keseluruh total pendapatan yang dikurangi dengan total biaya-biaya. Analisis laba merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting bagi manajemen guna mengambil keputusan untuk masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya analisis laba akan memberi manfaat dan akan banyak membantu manajemen dalam melakukan tindakan apa yang akan diambil ke depan dengan kondisi yang terjadi sekarang atau untuk mengevaluasi apa penyebab turun atau naiknya laba tersebut sehingga target tidak tercapai. Dengan demikian, analisis laba memberikan manfaat yang cukup banyak bagi pihak manajemen. Adapun menurut Kasmir (2011:303) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa ada dua jenis laba yakni: a.

  Laba Kotor (Gross Profit) artinya laba yang diperoleh sebelum dikurangi biaya- biaya yang menjadi beban perusahaan. Artinya laba keseluruhan yang pertama sekali perusahaan peroleh.

  b.

  Laba bersih (Net Profit) merupakan laba yang telah dikurangi biaya-biaya yang merupakan beban perusahaan dalam suatu periode tertentu termasuk pajak.

2.5.Manajemen Laba

2.5.1. Pengertian Manajemen Laba

  Secara umum manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk mengintervensi atau mempengaruhi informasi dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan kondisi perusahaan.

  Istilah intervensi dipakai sebagai dasar sebagian pihak untuk menilai manajemen laba sebagai kecurangan. Sementara pihak lain tetap menganggap aktivitas rekayasa manajerial ini bukan sebagai kecurangan. Alasannya, intervensi itu dilakukan manajer perusahaan dalam kerangka standar akuntansi, yaitu masih menggunakan metode dan prosedur akuntansi yang diterima dan diakui secara umum.

  Manajemen laba terjadi ketika para manajer menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan sehingga menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporakan dalam laporan keuangan. Menurut Sulistyanto (2014), beberapa definisi-definisi manajemen laba yang menggunakan terminologi berbeda namun secara garis besar definisi-definisi mempunyai pengertian serupa adalah sebagai berikut: a.

  Davidson, Stickney, dan Weil (1987) Manajemen laba merupakan proses untuk mengambil langkah tertentu yang disengaja dalam batas-batas prinsip akuntansi berterima umum untuk menghasilkan tingkat yang diinginkan dari laba yang dilaporkan.

  b.

  Schipper (1989).

  Manajemen laba adalah campur tangan dalam proses penyusunan pelaporan keuangan eksternal, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi (pihak yang tidak setuju mengatakan bahwa hal ini hanyalah upaya untuk memfasilitasi operasi yang tidak memihak dari sebuah proses).

  c.

  National Association of Certified Fraud Examiners (1993) Manajemen laba adalah kesalahan atau kelalaian yang disengaja dalam membuat laporan mengenai fakta material atau data akuntansi sehingga yang akhirnya akan menyebabkan orang yang membacanya akan mengganti atau mengubah pendapat atau keputusannya.

  d.

  Fisher dan Rosenzweig (1995) Manajemen laba adalah tindakan-tindakan manajer untuk menaikkan (menurunkan) laba periode berjalan dari sebuah perusahaan yang dikelolanya tanpa menyebabkan kenaikan (penurunan) keuntungan ekonomi perusahaan jangka panjang.

  e.

  Lewitt (1998) Manajemen laba adalah fleksibilitas akuntansi untuk menyetarafkan diri dengan inovasi bisnis. Penyalahgunaan laba ketika public memanfaatkan hasilnya.

  Penipuan mengaburkan volatilitas keuangan sesungguhnya. Itu semua untuk menutupi konsekuensi dari keputusan-keputusan manajer.

  f.

  Healy dan Wahlen (1999) Manajemen laba muncul ketika manajer menggunakan keputusan tertentu dalam pelaporan keuangan dan mengubah transaksi untuk mengubah laporan keuangan untuk menyesatkan stakeholder yang ingin mengetahui kinerja ekonomi yang diperoleh perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontrak yang menggunakan angka-angka akuntansi yang dilaporkan itu.

2.5.2.Faktor Munculnya Manajemen Laba

  Ada tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek manajemen laba yaitu:

  a. Manajemen Akrual (Accruals Management)

  Faktor ini biasanya berkaitan dengan segala aktivitas yang dapat memengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan wewenang dari para manajer (managers discretion).

  b.

   Penerapan Suatu Kebijaksanaan Akuntansi yang Wajib

  Faktor ini berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan yaitu antara menerapkannya lebih awal dari waktu yang ditetapkan atau menundanya sampai saat berlakunya kebijaksanaan tersebut.

  c. Perubahan Aktiva Secara Sukarela

  Faktor ini biasanya berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau mengubah suatu metode akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada (GAPP).

  Generally Accepted Accounting Principles

2.5.3.Teori Manajemen Laba

1. Teori Keagenan (Agency Theory)

   Konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan teori agensi (agency theory ). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa

  hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan investor (principal). Pandangan agency theory yakni adanya pemisahan antara pihak principal dan agent yang menyebabkan munculnya potensi konflik yang dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Maksud dengan principal dalam teori keagenan ini, yakni pemegang saham atau pemilik yang menyediakan fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan agent adalah manajemen yang memiliki kewajiban mengelola perusahaan sebagaimana yang telah diamanahkan principal kepadanya.

   Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata

  termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya sendiri. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga saham perusahaan. Sedangkan pihak agent termotivasi untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kompensasi. Konsep manajemen laba dapat dimulai dari pendekatan teori agensi (agency theory). Jensen dan Meckling (1976) dalam Herdawati (2015) menyatakan bahwa hubungan keagenan merupakan sebuah kontrak antara manajemen (agent) dengan investor (principal). Pandangan agency theory yakni adanya pemisahan antara pihak principal dan agent yang menyebabkan munculnya potensi konflik yang dapat mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Maksud dengan

  

principal dalam teori keagenan ini, yakni pemegang saham atau pemilik yang

  menyediakan fasilitas dan dana untuk kebutuhan operasi perusahaan sedangkan

  

agent adalah manajemen yang memiliki kewajiban mengelola perusahaan

sebagaimana yang telah diamanahkan principal kepadanya.

  Teori keagenan memiliki asumsi bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kesejahteraan dan kepentingan dirinya sendiri. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya melalui pembagian dividen atau kenaikan harga saham perusahaan. Sedangkan pihak agent termotivasi untuk meningkatkan kesejahteraannya melalui peningkatan kompensasi. Konflik kepentingan semakin meningkat ketika principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent karena ketidakmampuan

  

principal memonitor aktivitas agent dalam perusahaan. Ditambah lagi agent

  mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent dan dikenal dengan istilah asimetri informasi. Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent mendorong pihak agent untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui oleh principal dan menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada principal, terutama informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agent.

  

Konflik kepentingan yang terjadi antara manajer dengan pemegang saham

  akan mengakibatkan biaya keagenan (agency cost). Biaya keagenan dapat diminimalkan dengan suatu mekanisme pengawasan yang dapat mensejajarkan kepentingan yang terkait tersebut. Pemegang saham akan berusaha menjaga agar pihak manajemen tidak terlalu banyak memegang kas karena kas yang banyak akan merangsang pihak manajemen untuk menikmati kas tersebut bagi kepentingan dirinya sendiri.

  a.

  Teori Akuntansi Positif (Positive Accounting Theory) Teori akuntansi positif merupakan teori yang mencoba untuk membuat prediksi yang bagus dari kejadian dunia nyata. Teori akuntansi positif berkaitan dengan memprediksi tindakan seperti pilihan kebijakan akuntansi oleh manajer perusahaan dan bagaimana respon manajer tersebut terhadap standar akuntansi baru yang diusulkan (Scott, 2003) dalam Herdawati (2015). Menurut Watts dan Zimmerman (1990) dalam Herdawati (2015), Teori akuntansi positif yaitu berusaha untuk menjelaskan fenomena akuntansi yang diamati berdasarkan pada alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Maksudnya, teori akuntansi positif dimaksudkan untuk menjelaskan dan memprediksi konsekuensi yang terjadi jika manajer menentukan pilihan tertentu. Penjelasan dan prediksi dalam teori akuntansi positif didasarkan pada proses kontrak atau hubungan keagenan antara manajer dengan kelompok lain seperti investor, kreditor, auditor, pihak pengelola pasar modal dan institusi pemerintah. Selain itu, Watt dan Zimmerman (1986) dalam Herdawati (2015) juga mengaitkan

  

positive accounting theory dengan fenomena perilaku oportunistik manajer

  dengan membentuk tiga hipotesis yang melatarbelakangi perilaku oportunistik manajer tersebut, yaitu:

  1. Bonus Plan Hypothesis, menyatakan bahwa rencana bonus atau kempensasi manajerial akan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang akan membuat laba yang dilaporkan menjadi lebih tinggi.

  2. Debt (Equity) Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan yang mempunyai rasio antara utang dan ekuitas lebih besar, cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi dengan laporan laba yang lebih tinggi serta cenderung melanggar perjanjian utang apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya.

  3. Political Cost Hypothesis, menyatakan bahwa perusahaan cenderung memilih dan menggunakan metode-metode akuntansi yang dapat memperkecil atau memperbesar laba yang dilaporkannya. Konsep ini membahas bahwa manajer perusahaan cenderung melanggar regulasi pemerintah, seperti undang-undang perpajakan, apabila ada manfaat dan keuntungan tertentu yang dapat diperolehnya, manajer akan mempermainkan laba agar kewajiban pembayaran tidak terlalu tinggi sehingga alokasi laba

2.5.4.Motivasi Manajemen Laba

  Terdapat beberapa motivasi yang mendorong manajer untuk melakukan manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2000) dalam Herdawati (2015), yaitu: a.

  Bonus purposes, yakni manajer yang memiliki informasi atas laba bersih perusahaan akan bertindak secara oportunistic untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan laba saat ini.

  b.

  Kontrak utang jangka panjang, yakni semakin dekat perusahaan dengan perjanjian kredit, maka manajer akan cenderung memilih prosedur yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kemungkinan perusahaan mengalami kegagalan dalam pelunasan hutang.

  c.

  Political motivations, yakni manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba yang dilaporkan pada perusahaan publik. Jadi perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.

  d.

  Taxation motivations, yakni saat ini motivasi penghematan pajak menjadi motivasi manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak pendapatan.

  e.

  Pergantian CEO, yakni CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus mereka. Apabila kinerja perusahaan buruk, mereka akan memaksimalkan pendapatan agar tidak diberhentikan.

  f.

  Initital Public Offering (IPO), yakni perusahaan yang akan go public belum memiliki nilai pasar, sehingga mendorong manajer perusahaan yang akan go

  public melakukan manajemen laba dalam prospectus mereka dengan harapan dapat menaikkan harga saham perusahaan.

  g.

  Pentingnya memberi informasi kepada investor, yakni informasi mengenai kinerja perusahaan harus disampaikan kepada investor sehingga pelaporan laba perlu disajikan agar investor tetap menilai bahwa perusahaan tersebut dalam kinerja yang baik.

2.5.5.Bentuk-bentuk Manajemen Laba

  Bentuk-bentuk manajemen laba yang dikemukakan oleh Scott (2003) dalam Herdawati (2015), yaitu: a.

  Taking a bath, yakni dilakukan manajer dengan cara menggeser biaya akrual

  discretionary periode mendatang ke periode kini atau menggeser pendapatan

  akrual discretionary periode kini ke periode mendatang. Hal ini dilakukan manajer untuk memaksimumkan kompensasi atau bonus yang akan diterimanya pada tahun berikutnya karena menghadapi kenyataan bahwa bonus tahun ini tidak dapat diterima.

  b.

  Income minimization (minimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk keperluan c.

  Income maximization (maksimisasi laba), yakni dimaksudkan untuk memaksimumkan bonus manajer, menciptakan kinerja perusahaan yang baik sehingga dapat meningkatkan nilai perusahaan (pertimbangan pasar modal), menunda pelanggaran perjanjian utang, dan manajer dapat memperoleh kendali atas perusahaan.

  d.

  Income smoothing (perataan laba), yakni tindakan dimana manajemen memperhalus fluktuasi laba dari periode ke periode dengan cara memindahkan laba dari periode yang memiliki laba tinggi ke periode yang memiliki laba rendah.

2.5.6.Peluang Manajemen Laba

  Dalam proses pelaporan yang dilakukan oleh manajemen, terdapat berbagai motivasi yang mendorong manajemen melakukan manajemen laba dan terdapat peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul saat manajemen melakukan penyusunan laporan. Peluang dari kondisi dan keadaan yang timbul, yaitu (Setiowati, 2007) dalam (Ferry, 2013): a.

  Kelemahan yang inheren dalam akuntansi itu sendiri. Fleksibilitas dalam menghitung angka laba disebabkan oleh:

  1. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk mencatat suatu fakta tertentu dengan cara yang berbeda.

  2. Metode akuntansi memberikan peluang bagi manajemen untuk melibatkan subyektivitas dalam menyusun estimasi. b.

  Informasi asimetri antara manajer dengan pihak luar manajemen relatif lebih tinggi. Mustahil bagi pihak luar (termasuk investor) untuk dapat mengawasi semua perilaku dan semua keputusan manajer secara detail.

2.5.7.Faktor-faktor Manajemen Laba 1. Ukuran Perusahaan

  Brigham dan Houston (2006:117) dalam Siti (2016) menyatakan bahwa ukuran perusahaan adalah perusahaan dengan rata-rata total penjualan bersih untuk tahun yang bersangkutan sampai beberapa tahun. Perusahaan yang berada pada pertumbuhan penjualan yang tinggi membutuhkan dukungan sumber daya perusahaan yang tingkat pertumbuhan penjualan rendah kebutuhan terhadap sumber daya perusahaan juga. Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan sumber

  intern sudah digunakan semua, maka tidak ada pilihan lain bagi perusahaan

  untuk menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan. Hal ini akan berpengaruh terhadap manajemen laba. Pihak manajer akan cenderung melakukan manajemen laba dengan pola peningkatan laba (income increasing) agar mendapat sumber dana yang berasal dari luar perusahaan, baik dengan tujuan untuk memperoleh pinjaman atau menarik investor baru.

2. Kepemilikan Manajerial

  Shleifer dan Vishny (1997) dalam Dewa dan Made (2016), menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Secara teoritis ketika kepemilikan manajemen rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat. Kepemilikan manajemen terhadap saham perusahaan dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan manajemen (Jansen dan Meckling, 1976) dalam Dewa dan Made (2016). Sehingga permasalahan keagenen diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer adalah juga sekaligus sebagai seorang pemilik.

3. Perencanaan Pajak

  Pada teori akuntansi positif dalam hipotesis ketiga yaitu The Political Cost Hypothesis (Scott, 2003) dalam Ratna dan Titik (2016), menjelaskan bahwa perusahaan yang berhadapan dengan biaya politik, cenderung melakukan rekayasa penurunan laba dengan tujuan meminimalkan biaya politik yang harus mereka tanggung, misal: melakukan pergeseran pajak, dengan mentransfer beban pajak dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya, melakukan kapitalisasi, dengan melakukan pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli. Merekayasa usaha dan transaksi wajib pajak supaya kewajiban perpajakan berada dalam jumlah yang minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam meminimalisasi laba.

  4. Beban Pajak Tangguhan

  Beban pajak tangguhan timbul akibat perbedaan temporer antara laba akuntansi (laba dalam laporan keuangan menurut SAK untuk kepentingan pihak eksternal) dengan laba fiskal (laba menurut aturan perpajakan Indonesia yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak). Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.

  5. Aset Pajak Tangguhan

  Menurut Waluyo (2014) dalam Inasa (2015) menyatakan bahwa aset pajak tangguhan (deferred tax asset) adalah jumlah pajak penghasilan yang terpulihkan (recovered) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kerugian yang dapat dikompensasi. Hal tersebut merupakan tindakan manajemen dalam melakukan motivasi penghematan pajak.

2.5.8.Pengukuran Manajemen Laba

  Dalam pengukuran manajemen laba secara umum ada tiga pendekatan antara lain: a.

  Model berbasis aggregate accrual merupakan model yang menggunakan

  discretionary accruals sebagai proksi manajemen laba. Model ini

  dikembangkan oleh Healy (1985), DeAngelo (1986), Jones (1991), serta Dechow, Sloan dan Sweeney (1995). b.

  Model berbasis specific accruals, yaitu pendekatan yang menghitung akrual sebagai proksi manajemen laba dengan menggunakan item laporan keuangan tertentu dari industri tertentu pula. Model ini dikembangkan oleh McNichols dan Wilson, Petroni, Beaver dan Engel, Beneish, serta Beaver dan McNichols.

  c.

  Model berbasis distribution of earnings, yaitu pendekatan dengan melakukan pengujian secara statistik terhadap komponen-komponen laba untuk mendeteksi faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan laba. Model ini dikembangkan oleh Burgtahler dan Dichev, Degeorge, Patel, dan Zeckhauser, serta Myers dan Skinner. Pendekatan distribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnings thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah

  earnings thresholds akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan

  melakukan manajemen laba. Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba dengan pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak eksternal, khususnya para investor, bank, dan supplier menggunakan batas pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa terdapat dua macam earnings thresholds, yaitu: 1.

  Titik pelaporan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menggunakan pendekatan ini dengan membandingkan antara tahun perusahaan yang memiliki tingkat laba berskala nol atau positif dengan et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa peningkatan dalam beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan laba untuk menghindari pelaporan kerugian.

  2. Titik perubahan laba nol, yang menunjukkan usaha manajemen laba untuk menghindari penurunan laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menggunakan titik perubahan nol untuk mengetahui indikasi praktik manajemen laba. Adanya upaya praktik manajemen laba dilakukan dengan membandingkan perusahaan yang perubahan labanya negatif. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menunjukkan bahwa peningkatan beban pajak tangguhan dan perencanaan pajak meningkatkan peluang pengelolaan laba untuk menghindari penurunan laba, yang mendukung bahwa beban pajak tangguhan berguna dalam memprediksi manajemen laba.

  Akan tetapi dari ketiga model diatas hanya model berbasis aggregate accrual yang dinilai sebagai model yang memberikan hasil paling kuat dalam mendeteksi manajemen laba. Alasannya karena model empiris ini sejalan dengan akuntansi berbasis akrual yang digunakan oleh dunia usaha dan model empiris ini menggunakan semua komponen laporan keuangan dalam mendeteksi rekayasa keuangan. Adapun beberapa model empiris berbasis aggregate accrual untuk mendeteksi manajemen laba yakni : a.

  Model Healy (1985), yaitu mendeteksi manajemen laba dengan menghitung nilai total akrual dengan cara mengurangi laba akuntansi yang diperoleh selama satu periode tertentu dengan arus kas operasi periode yang bersangkutan. Perhitungan nondiscretionary accruals model Healy dengan membagi rata-rata total akrual dengan total aktiva periode sebelumnya. Ada kelemahan mendasar dalam model Healy yang diindikasikan oleh Dechow et al. (1995) yaitu bahwa total akrual yang digunakan sebagai proksi manajemen laba mengandung

  nondiscretionary accruals . Padahal nondiscretionary accruals merupakan

  komponen total akrual yang tidak bisa dikelola atau diatur oleh manajer seperti halnya komponen discretionary accruals.

  b.

  Model DeAngelo (1986), yaitu mengukur manajemen laba dengan

  nondiscretionary accrual dengan cara menghitung total akrual sebagai selisih

  antara laba akuntansi yang diperoleh suatu perusahaan selama satu periode dengan arus kas atau dihitung dengan menggunakan total akrual akhir periode yang diskala dengan total aktiva periode sebelumnya. Seandainya

  nondisdretionary accrual selalu konstan setiap saat dan discretionary accruals

  mempunyai rata-rata sama dengan nol selama periode estimasi, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual tanpa kesalahan. Akan tetapi, apabila nondiscretionary accrual berubah dari periode ke periode, maka kedua model ini akan mengukur discretionary accrual dengan kesalahan.

  c.

  Model Jones (1991), yaitu dalam model ini tidak lagi menggunakan asumsi bahwa nondiscretionary accrual adalah konstan. Namun, model ini menggunakan dua asumsi sebagai dasar pengembangan yaitu akrual periode implisit model Jones mengasumsikan bahwa pendapatan merupakan

  nondiscretionary . Apabila laba dikelola dengan menggunakan pendapatan discretionary accrual , maka model ini akan menghapus bagian laba yang

  dikelola untuk proksi discretionary accrual.

  d.

  Model Jones Dimodifikasi (Dechow, Sloan dan Sweeney,1995), yaitu modifikasi dari model Jones yang didesain untuk mengeliminasi kecenderungan untuk menggunakan perkiraan yang bisa salah dari model Jones untuk menentukan discretionary accruals ketika discretion melebihi pendapatan.

  Sama halnya dengan model manajemen laba berbasis aggregate accrual yang lain, model ini menggunakan discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba. Kelebihannya, model ini memecah total akrual menjadi empat komponen utama akrual, yaitu discretionary current accrual, discretionary long term

  accrual, dan nondiscretionary long term accruals. Discretionary current accrual dan nondiscretionary current accrual merupakan akrual yang berasal

  dari aktiva lancar. Sedangkan discretionary long term accrual dan nondiscretionary long term accruals merupakan akrual dari aktiva tidak lancar.

2.6.Tinjauan Pustaka

  Sebelumnya sudah banyak penelitian yang dilakukan dengan topik yang sama, antara lain:

  No. Peneliti Variabel

  Penelitian Tujuan Penelitian Hasil Penelitian

  1 Anjar Wahyuningtyas (2017)

  Perencanaan pajak, beban pajak tangguhan

  Menguji pengaruh perencanaan pajak dan beban tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.

  Perencanaan pajak dan beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba

  2 Esti Mustika Sari (2016)

  Aset pajak tangguhan, beban pajak tangguhan, perencanaan pajak, asimetri informasi, dan leverage terhadap earnings management

  Menguji pengaruh aset pajak tangguhan, beban pajak tangguhan, perencanaan pajak, asimetri informasi, dan leverage berpengaruh terhadap earnings management

  Aset pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan terhadap earnings management, beban pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan terhadap earnings management, perencanaan pajak tidak berpengaruh signifikan terhadap earnings management, asimetri informasi tidak berpengaruh signifikan terhadap earnings management, dan leverage berpengaruh signifikan terhadap earning management.

  3 Margaretha Aset pajak Menguji aset pajak Aset pajak tangguhan Angela Purba tangguhan tangguhan dan berpengaruh negative (2016) dan beban beban pajak dan tidak signifikan pajak tangguhan terhadap manajemen tangguhan berpengaruh laba, sedangkan terhadap beban pajak manajemen pajak. tangguhan berpengaruh positif dan signifikan terhadap manajemen laba.

  4 Inasa Aset pajak Menguji pengaruh Aset pajak tangguhan Singkianti tangguahn, aset pajak tidak berpengaruh (2015) beban pajak tangguhan, beban terhadap manajemen tangguhan, pajak tangguhan, laba untuk dan dan perencanaan menghindari laporan perencanaan pajak tangguhan rugi pada perusahaan pajak terhadap dengan nilai manajemen laba. signifikansi sebesar

  0,490 > 0,05, (2) Beban pajak tangguhan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba untuk menghindari laporan kerugian pada perusahaan dengan nilai signifikansi sebesar 0,538 > 0,05, (3) Perencanaan pajak tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dengan nilai signifikansi sebesar 0,677 > 0,05.

  5 Widyasenja Tax Planning Menguji pengaruh Perencanaan pajak dkk (2015) dan beban tax planning dan yang diproksikan pajak beban pajak dengan tingkat retensi tangguhan tangguhan pajak berpengaruh terhadap terhadap manajemen manajemen laba. laba, tetapi beban pajak tangguhan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

  6 Herdawati Perencanaan Menguji pengaruh Perencanaan pajak (2015) pajak dan perencanaan pajak memiliki pengaruh beban pajak dan beban pajak positif dan tidak tangguhan. tangguhan signifikan terhadap terhadap manajemen laba, hal manajemen laba. tersebut juga sama dengan beban pajak tangguhan berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap manajemen laba.

  7. Dewi Aktiva pajak Menguji pengaruh Beban pajak Pindiharti tangguhan, aktiva pajak tangguhan dan akrual (2011) beban pajak tangguhan, beban memiliki pengaruh tangguhan, pajak tangguhan, positif dan signifikan dan akrual. dan akrual terhadap earning terhadap earning management,

  management. sedangkan aktiva

  pajak tangguhan tidak memiliki pengaruh signifikan.

2.7.Kerangka Pemikiran

  Laporan keuangan menyajikan semua informasi mengenai perusahaan salah satunya yaitu laba perusahaan. Hal ini peran manajemen sangat berpengaruh dalam menentukan laba. Beban pajak tangguhan dan aktiva pajak tangguhan merupakan bagian yang menetukan laba. Yuliani (2018) mengatakan semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap total beban pajak perusahaan menunjukkan standar akuntansi yang semakin liberal. Beban yang besar akan menurunkan tingkat laba yang diperoleh suatu perusahaan, dan sebaliknya beban yang sedikit akan menaikkan tingkat laba yang diperoleh perusahaan. Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan. Aset pajak tangguhan yang jumlahnya diperbesar oleh manajemen dimotivasi adanya pemberian bonus, beban politis atas besarnya perusahaan dan minimalisasi pembayaran pajak agar tidak merugikan perusahaan. Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan antara aktiva pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar maka semakin tinggi kesempatan manajemen melakukan manajemen laba (earnings management).

  Gambar 2. 1. Kerangka Pikir

  Beban Pajak Tangguhan (X

  1 )

  Manajemen Laba

  (Y) Aset Pajak Tangguhan

  (X

  2 )

2.8.Hipotesis

2.8.1.Pengaruh Beban Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba

  Semakin besar persentase beban pajak tangguhan terhadap total beban pajak perusahaan menunjukkan standard akuntansi yang semakin liberal (Yulianti ;2005:118). Selain itu, perbedaan antara laba akuntansi dengan laba fiskal memiliki hubungan positif dengan insentif pelaporan keuangan seperti financial distress dan pemberian bonus dengan adanya hal tersebut. Dan dapat dimungkinkan manajer dapat memperkecil jumlah beban pajak tangguhan yang diakui dalam laporan laba/rugi. Selisih negatif antara laba akuntansi dan laba fiskal mengakibatkan terjadinya beban pajak tangguhan (Djamalludin ,2008 : 58 ).

  Berdasarkan penelitian Philips et al. ( 2003) dalam Ferry Aditama (2013) membuktikan adanya praktik manajemen laba dengan menggunakan beban pajak tangguhan. Penelitian yang dilakukan Yulianti (2005) juga menemukan bukti empiris bahwa beban pajak tangguhan memiliki hubungan positif signifikan dengan probabilitas perusahaan untuk melakukan manajemen laba guna menghindari kerugian perusahaan. Manajemen laba merupakan peluang bagi manajemen untuk merekayasa besarnya beban pajak tangguhan guna menaikan dan menurunkan tingkat labanya. Beban pajak tangguhan mengakibatkan tingkat laba yang diperoleh menurun dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan laba yang lebih besar di masa yang akan datang dan mengurangi besarnya pajak yang dibayarkan. Berdasarkan penelitian di atas, penulis menghipotesiskan: H1 : Beban pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.

2.8.2.Pengaruh Aset Pajak Tangguhan terhadap Manajemen Laba

  Menurut Kiswara dalam Suranggane (2007) besaran aset pajak tangguhan yang terdapat di neraca dicatat apabila ada kemungkinan terealisasi di masa yang akan datang. Banyak peneliti dan para profesi akuntan berpendapat bahwa aset pajak tangguhan dapat terealisasikan di periode yang akan datang apabila probabilitas realisasi lebih dari 50% dan jika kurang dari 50% maka harus dilakukan penilaian kembali untuk mengurangi atau menurunkan saldo akun tersebut.

  Burgstahler, et al. (2002) dalam Yulianti (2005) menguji pengaruh asset pajak tangguhan terhadap manajemen laba selama tahun 1993-1998 terhadap 482 perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asset pajak tangguhan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian lain oleh Suranggane (2007) mengatakan bahwa aset pajak tangguhan dijadikan proksi sebagai indikator dari praktik manajemen laba yang dilakukan perusahaan.

  Mengacu pada pernyataan tersebut, maka diekspektasikan adanya peranan antara aset pajak tangguhan yang dapat dimungkinkan dapat digunakan sebagai indikator adanya manajemen laba. Jika jumlah aset pajak tangguhan semakin besar maka semakin tinggi manajemen melakukan manajemen laba (earning management), untuk itu dibuat hipotesis sebagai berikut: H2 : Aset pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba.

2.8.3.Pengaruh Beban Pajak Tangguhan dan Aset Pajak Tangguhan secara bersama-sama terhadap Manajemen Laba

  

Pengaruh beban pajak tangguhan dan aset pajak tangguhan terhadap manajemen

  laba dijelaskan dengan teori pendekatan distribusi laba. Pendekatan destribusi laba mengidentifikasikan batas pelaporan laba (earnigs thresholds) dan menemukan bahwa perusahaan yang berada di bawah earnigs thresholds akan berusaha untuk melewati batas tersebut dengan melakukan manajemen laba. Philips et al. (2003) dalam Ferry Aditama (2013) menyatakan bahwa para manajer melakukan manajemen laba dengan pendekatan distribusi laba dikarenakan manajer sadar bahwa pihak eksternal, khususnya para investor, bank, dan supplier menggunakan batas pelaporan laba dalam menilai kinerja manajer. Pendekatan ini dapat diukur dengan dua cara, yaitu: titik pelaporan laba nol (usaha manajemen laba untuk menghindari pelaporan kerugian) dan titik perubahan laba nol (usaha manajemen laba untuk menghindari penurunan laba). Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

  

H3: Beban pajak tangguhan dan aset pajak tangguhan secara bersama-sama

berpengaruh terhadap manajemen laba.