Kata kunci: madrasah, otonomi daerah Pendahuluan - View of POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

POTRET MADRASAH DALAM KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

  Syamsul Arifin Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia

  E-mail: syaif18@gmail.com

  Abstrak

  Madrasah merupakan sebuah lembaga pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling tergantug dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam member kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan. Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat menimbulkan pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat diwujudkan dengan menyebarluaskan dan memanfaatkan beberapa keunggulan yang dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan, namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi masyarakat di era otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan madrasah.

  Kata kunci: madrasah, otonomi daerah Pendahuluan

  Islam bukanlah sekedar sistem teologi semata, tetapi juga sebagai peradaban yang lengkap, salah satunya adalah mengandung aspek pendidikan. Pengalaman pembangunan di negara-negara maju, khususnya negara-negara di dunia barat, membuktikan betapa besar peran pendidikan dalam proses pembangunan. Secara umum telah diakui bahwa pendidikan merupakan penggerak utama (prima mover)

  1

  bagi pembangunan. Lahirnya pendidikan karena adanya masyarakat, jadi pendidikan pada mulanya berfungsi sebagai sarana mensosialisasikan nilai dan tradisi yang dianut oleh masyarakat, sehingga wajar ketika keduanya saling mempunyai keterkaitan. Pendidikan dalam pembahasan ini adalah pendidikan Islam yang merupakan salah satu unsur dalam sistem pendidikan masyarakat, yang berhubungan secara timbal balik dan saling tergantung dengan unsur-unsur lainnya. Pendidikan Islam memberi

1 Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004), 1.

  Syamsul Arifin kontribusi terhadap berbagai masalah dalam masyarakat, baik dalam bentuk gagasan

  2 konsepsional maupun dalam bentuk aksi kemasyarakatan.

  Adanya kemitraan antara pendidikan Islam dengan masyarakat, mempunyai kedudukan sejajar dan saling menghormati. Wawasan demikian dapat menumbuhkan pandangan dan sikap egaliter serta terbuka dalam masyarakat. Pendidikan Islam peduli terhadap pemeliharaan dan pengembangan masyarakat daerah, yang dapat dimiliki. Adapun pihak masyarakat dibantu mengenai pengembangan potensi yang telah ada dalam masyarakat dan menggali potensi yang belum ada. Pengkajian tentang hubungan antara pendidikan Islam dengan masyarakat telah lama dilakukan, namun pembicaraan itu tetap relevan, dalam rangka perkembangan potensi masyarakat di era otonomi daerah. Pertanyaan ini penting oleh karena dewasa ini muncul gagasan tentang keterkaitan dan kesepadanan pendidikan dengan masyarakat daerah, tercermin pemilihan kurikulum menjadi dua macam yaitu kurikulum inti berlaku secara nasional dan kurikulum lokal dengan pertimbangan daerah, keseluruhan kedua kurikulum itu disebut kurikulum utuh. Kurikulum lokal dirumuskan oleh pengelola pendidikan dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kesepadanan dengan potensi yang tersedia, dan tuntutan ekosistem (alam dan sosial)

  3 dalam masyarakat di daerah.

  Sejak disahkannya Undang-Undang Otonomi Daerah Tahun 1999, prinsip pembangunan nasional mengalami pergeseran orientasi. Daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada masa otonomi diberi kewenangan dan tanggungjawab penyelenggaraan kepentingan daerahnya sendiri. Dalam undang- undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Otonomi Daerah mengisyaratkan kepada kita semua mengenai kemungkinan-kemungkinan pengembangan suatu wilayah dalam suasana yang lebih kondusif dan dalam wawasan yang lebih demokratis. Termasuk pula di dalamnya, berbagai kemungkinan pengelolaan dan pengembangan bidang pendidikan. Pemberlakuan undang-undang tersebut

  2 Mahfud Djunaedi, Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 133.

  3 Ibid., 134-135.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  menuntut adanya perubahan pengelolaan pendidikan dari yang bersifat sentralistik

  4

  kepada yang lebih bersifat desentralistik. Dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional, namun pelaksanaan pendidikan agama di daerah masih saja mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerah. Pendidikan dan agama pada Undang-Undang tersebut banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewewenangan pemeritah daerah adalah pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk Madrasah dan sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan.

  Maka dari itu pendidikan pada UU No.22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara ekplisit pelaksaannnya tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Dengan kata lain implementasi pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah baik dalam

  5

  konteks bimbingan dalam konteks subsidi pendanaan biaya pendidikan. Hal ini tentunya memerlukan pembahasan, diskusi, dan sumbangan pemikiran dari berbagai pakar pendidikan secara serius agar perpindahan tidak memiliki dampak negatif bagi kelangsungan madrasah dan umat Islam sebagai pilar utamanya.

  Dari beberapa faktor tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Kebijakan tentang madrasah setelah keluarnya Undang-Undang tentang otonomi daerah.

  Pengertian Kebijakan Tentang Madrasah Dalam Otonomi Daerah

  Kata madrasah dalam bahasa Arab adalah bentuk kata keterangan tempat (zharaf makan) dari akar kata darasa. Secara harfiah madrasah diartikan sebagai tempat belajar para pelajar, atau tempat untuk memberikan pelajaran. Dari akar kata

  

darasa juga bisa diturunkan kata midras yang mempunyai arti buku yang dipelajari

  atau tempat belajar. Kata al-midras juga diartikan sebagai rumah untuk mempelajari kitab Taurat. Kata madrasah juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu darasa, yang berarti membaca dan belajar atau tempat

  4 Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. III, 2007), 1-2.

  5 Suwito dkk, Sejarah Sosial Pedidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 298.

  Syamsul Arifin duduk untuk belajar. Dari kedua bahasa tersebut, kata madrasah mempunyai arti yang sama yaitu tempat belajar. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata madrasah memiliki arti sekolah kendati pada mulanya kata sekolah itu sendiri bukan

  6 berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola.

  Dengan keterangan tersebut dapat dipahami bahwa madrasah tersebut adalah penekanannya sebagai suatu lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. akan tetapi di Indonesia ditujukan untuk sekolah-sekolah yang mempelajari ajaran- ajaran Islam.

  Pada saat sekarang ini sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan di madrasah memadukan antara sistem pada pondok pesantren dengan sistem pendidikan yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Hal ini dikarenakan pengaruh dari ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, bahkan kemudian lahirlah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern seperti Madarash Ibtidaiyah sama dengan SD, Madrasah Tsanawiyah sama dengan SMP, dan Madrasah Aliyah sama dengan SMA. Perkembangan selanjutnya, pengadaptasian tersebut demikian terpadunya sehingga boleh dikatakan hampir kabur perbedaannya, kecuali pada

  7 kurikulum dan nama madrasah yang diembeli dengan Islam.

  Tampaknya kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang, di antaranya:

  1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.

  2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah sistem pendidikan yang lebih memungkinkan lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum. Misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan memperoleh ijazah.

  6 Abd. Mujib Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: Penerbit Trigenda Karya, 1993), 305.

  7 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 170-171.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  3. Adanya sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka.

  4. Sebagai upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang

  8 dilakuakan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.

  Otonomi Daerah

  Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya

  9 untuk melakukan apa saja secara mandiri.

  Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

  Salah satu dampak positif dari reformasi bidang pemerintahan adalah terjadinya pergeseran paradigma politik pemerintahan dari sentralistis kepada desentralistik, yang diwujudkan dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Lahirnya produk hukum tentang otonomi daerah tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah di dalam kerangka negara kesatuan RI, karena otonomi tersebut tidak dapat diartikan sebagai suatu kebebasan absolut tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional secara

  10 keseluruhan.

  Dalam Undang-Undang No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam undang-undang ini diuraikan juga beberapa hal yaitu penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberi

  8 Ibid., 305 .

  9 A. Ubaedillah, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah), 170.

  10 Ibid., 290.

  Syamsul Arifin kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dalam peraturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Diuraikan juga bahwa pelaksanaan otonomi daerah itu dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Disini sangat dituntut adanya peran masyarakat.

  Selama ini perhatian pemerintah daerah terhadap penyelenggaraan pendidikan agama banyak disebabkan oleh pemahaman, interpretasi, dan implementasi yang tidak komprehensif mengenai keberadaan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana pasal 10 ayat 3 poin (f) yang didalamnya memuat tentang sentralisasi masalah agama oleh Pemerintah (pusat). Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan urusan agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh pemerintah kepada daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan dalam menumbuh kembangkan kehidupan keagamaan.

  Atas dasar pasal tersebut, banyak pemerintah daerah yang memahami bahwa penyelenggaraan pendidikan agama dianggap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat cq. Kementerian Agama Republik Indonesia. Padahal jika merujuk pada pasal 14 ayat (1) yang dikaitkan poin (f) dalam pasal tersebut adalah penyelenggaraan pendidikan. Karena keterbatasan kemampuan Pemerintah Pusat dan adanya anggapan bahwa pendidikan agama bukan wewenang Pemerintah Daerah, menyebabkan pendidikan agama menjadi terabaikan, dan cenderung tidak diperhatikan, baik dalam konteks pembinaan tenaga guru, tenaga kependidikan, desain kurikulum dan juga pendanaan penyelenggaraan pendidikan agama di daerah.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  Dengan demikian masalah pendidikan agama dan keagamaan yang dikelola Kementerian Agama menjadi posisi yang remang-remang sehingga dapat merugikan berbagai pihak, terutama para penyelenggara dan peserta didik di lingkungan Kementerian Agama.

  Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan adanya diskrimansi pemerintah pusat terhadap satuan pendidikan madrasah, atau kebijakan diskriminasi pemerintah direspon secara demonstratif-negatif oleh pengelola madrasah, karena lebih 95% penyelenggaraan madrasah adalah swasta, dan mayoritas madrasah swasta adalah

  11

  dirintis d an didirikan oleh para ulama’/kiai pengasuh pondok pesantren. Tidak mungkin seorang kiai meskipun didzalimi akan menuntut hak dengan cara melakukakan demonstrasi memperjuangkan keadilan bagi anak bangsa yang sedang belajar di madrasah. Saya sangat khawatir, diamnya para kiai memang pertanda sebuah perlawanan dengan cara diam membisu, karena sudah dilemahkan, sudah kehabisan kata-kata karena secara terus menerus menyaksikan para pemimpin yang dipilihnya melakukan diskriminasi terhadap pendidikan madrasah. Akhirnya mereka hanya mengadu dan berdoa’a kepada Allah SWT. Asal dan akhir segala sesuatu, agar pengabdian yang penuh dengan keterbatasan terhadap anak-anak bangsa yang studi di madrasah, agar selalu diberi kekuatan lahir batin.

  Hubungan Madrasah Dengan Otonomi Daerah

  Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan kreativisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu dihargai adanya sisi perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan masyarakat mejemuk itu

11 Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari ordonansi guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 126.

  Syamsul Arifin menuntut untuk adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk tumbuhnya kreativitas dan inovasi.

  Dengan dilaksanakannya otonomi daerah di bidang pendidikan ini, bisa dicapai tiga tujuan, seperti yang dikutip oleh Imam Prihadiyoko ketika menjelaskan tentang sekolah dan masyarakat, yaitu: 1.

  Untuk mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat.

  Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas.

  3. Peningkatan peran serta masyarakat serta mengembangkan peran dan fungsi

  12 DPRD.

  Selain itu otonomi daerah juga memberikan peluang kepada pengelola pendidikan untuk mengembangkan lembaga pendidikan. Setidaknya dalam hal-hal sebagai berikut: 1.

  Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk merumuskan tujuan institusi masing-masing mengacu pada tujuan nasional.

  2. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk merumuskan dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan tujuan dan kebutuhan masyarakat suatu daerah.

  3. Pengelola pendidikan memiliki peluang untuk menciptakan situasi belajar dan mengajar yang mendukung pelaksanaan dan pengembangan kurikulum yang telah ditetapkan.

  4. Pengelola pendidikan memiliki otonomi untuk mengembangkan sistem evaluasi yang dipandang tepat dan akurat, baik terhadap prestasi belajar siswa maupun terhadap keseluruhan penyelenggaraan pendidikan.

  Adapun strategi pengembangan otonomi daerah dalam dunia pendidikan hendaknya pembuat kebijakan pengembangan kurikulum mengacu pada filosofi daerah setempat dan memperhatikan asas masyarakat, ilmu pengetahuan dan

  13 psikologis. 12 Keberadaan madrasah pasca Undang-Undang Otonomi Daerah 13 Imam Priyahadiyoko, Kompas, 2000, 10-17.

  Ibid., 151.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  Sejalan dengan perkembangan Indonesia, madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam juga terus berkembang namun perkembangan itu cukup eksklusif, di mana aksentuasi (penekanan) pada pengetahuan keagamaan (Islam) lebih diutamakan. Hal ini juga yang menyebabkan perkembangan madrasah hanya pada kantong-kantong masyarakat Islam. Ekspansi yang dilakukan pun hanya berkisar di daerah pedesaan sedangkan untuk di perkotaan sangat jarang. Dan hal ini juga yang pembaruan sistem pendidikan, baik secara kelembagaan maupun sistem dari proses

  14 pembelajaran itu sendiri.

  Kebijakan pengelolaan pendidikan Islam, sejatinya tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan pelaksanaan pendidikan secara umum, karena sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan Islam di derah masih saja mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerah. Hal ini banyak disebabkan masih belum komprehensifnya pemahaman pemerintah daerah pada terminologi pendidikan dan agama yang termuat dalam kedua Undang-Undang tersebut, sehingga banyak memunculkan penafsiran secara parsial bahwa yang menjadi kewenangan pemerintah daerah adalah pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara, pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Agama yang berbentuk madrasah dan sekolah agama lainnya belum banyak diterima sebagai bagian dari pendidikan. Dengan diberlakukannya UU otonomi daerah, maka secara eksplisit pelaksanaan pendidikan tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat tetapi juga sudah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, baik dalam konteks bimbingan maupun dalam konteks subsidi pendanaan pendidikan.

  Dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, pendidikan memerlukan pola pembiayaan yang tidak diskriminatif dan harus mencerminkan keadilan. Hal ini dapat ditempuh dengan cara melakukan subsidi silang, imbal swadaya, block grant, dan menerapkan formula subsidi kontekstual. Subsidi silang harus dilakukan pemerintah

14 Ibid., 292.

  Syamsul Arifin pusat untuk menghindari timbulnya kesenjangan antara sekolah (madrasah) daerah miskin dan daerah kaya. Imbal swadaya dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah untuk mendorong berkembang dan meningkatnya program-program yang menjadi unggulan pussat dan daerah. Block grant dapat diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas program yang memiliki prospek untuk berkembang lebih lanjut dengan cara berkompetisi. berdasarkan pada UU no. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama terkait dengan pendanaan dan pembiyaan pendidikan. Berdasar UU tersebut, maka kebijakan pengelolaan pendidikan dasar dan menengah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, yang sebelumnya hanya pendidikan dasar (SD/MI, SMP/MTs) yang berada di bawah naungan pemerintah daerah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

  Bertolak dari arah baru paradigma pendidikan, maka perlu pemberdayaan

  

15

  madrasah yang dapat dilaksanakan lewat: 1.

  Pemberdayan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, Kepala Sekolah, Guru, Tenaga Administrasi dan lain sebagainya sehingga siap memasuki era management berbasis sekolah.

  2. Pemberdayaan sistemnya dari sistem top down ke sistem bottom up atau sentralisasi ke desentralisasi.

  3. Pemberdayaan kebijakan, dari kebijakan yang memarjinalkan madrasah kepada kebijakan yang membawa madrasah ke center.

  4. Pemberdayaan masyarakat, di mana melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, yaitu dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akuntabilitas.

  Ada beberapa pendapat tentang kedudukan madrasah di era otonomi daerah ini, di antaranya:

  1. Madrasah tetap di bawah naungan Kementerian Agama. Semangat ini didasari atas idealisasi yang tinggi. Selain dari itu bahwa Kementerian Agama adalah

  15 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), 62.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  kementerian yang tidak diotonomikan, maka termasuk jugalah di dalamnya pendidikan agama. 2. di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan

  Madrasah Kebudayaan/Pemerintah Daerah. Argumennya adalah karena masalah pendidikan sudah diotonomikan, maka dikhawatirkan pendidikan di lingkungan madrasah yang selama ini sudah tertinggal dibanding dengan sekolah umum akan semakin Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan/Pemerintah Daerah agar memperoleh fasilitas dan perhatian Pemerintah Daerah sama seperti yang diberlakukan Pemerintah Daerah terhadap sekolah.

3. Adanya pembagian wewenang antara Kementerian Agama dan pemerintah Daerah, yang teknis-teknisnya akan diatur tersendiri.

  Pemberdayaan Madrasah

  Madrasah biasanya tumbuh berdasarkan potensi yang ada dari suatu kelompok masyarakat, atau pihak tertentu yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Demikian pula pengembangan selanjutnya sangat ditentukan oleh sejauh mana pihak penyelenggara mampu secara terus menerus menggali potensi tersebut, serta melipat gandakan kekuatan-kekuatan yang sudah ada di madrasah.

  Sikap ketergantungan kepada bantuan, serta pemberian bantuan yang tidak tepat sasaran selama ini, justru sangat merugikan perkembangan madrasah. Oleh karena itu pola bantuan yang mulai diterapkan sejak tahun 1997/1998, lebih diarahkan kepada tumbuhnya upaya strategis yang mendorong seluruh jajaran Pembina dan penyelenggara madrasah, agar meningkatkan kemampuannya menggali potensi dan kekurangan yang ada pada madarasah.

  Arah baru paradigma pendidikan mengalami perubahan. Dari sentralistik ke desentralisasi, kebijakan yang top down ke arah kebijakan bottom up. Orientasi pengembangan parsial pendidikan ke orientasi pengembangan holostik, pendidikan untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya. Peranan pemerintah sangat dominan untuk meningkatkan peran masyarakat secara Syamsul Arifin kualitatif dan kuantitatif. Lemahnya peran institusi nonsekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, keluarga, LSM, pesantren, dan dunia usaha.

  Bertolak dari arah baru ini maka pemberdayaan madrasah dilaksanakan lewat pemberdayaan manajemen, meliputi pemberdayaan SDM, manusia pengelola pendidikan, kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengawas, dan lain sebagainya dan siap memasuki era manajemen berbasis sekolah. Orientasi Pembinaan kepada

  Pemberdayaan melalui bantuan Pembinaan secara terpadu. Pemberdayaan masyarakat, melibatkan unsur-unsur masyarakat untuk ikut serta di dalam pemberdayaan madrasah, dengan cara meningkatkan peran serta stakeholder dan akuntabilitas.

  Kebijakan Pembinaan Madrasah

  Reposisi terhadap madrasah sebagaimana dijelaskan sekaligus merespon dan mengantisipasi adanya perubahan sistem pemerintah RI dari sentralisasi kepada otonomi, dekonsentrasi, desentralisasi. Rasionalisasi pemikiran tentang madrasah ini berkaitan lansung dengan sistem pemerintah kedepan sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.25 Tahun 1999 perlu ditetapkan kebijakan bahwa :

  1. Penyelenggarahan madrasah tetap dilakukan masyarakat, beberapa hal mengenai penyelengarahan menjadi tanggung jawab pemerinahan daerah, terutama pada aspek pembiayaan, kelembagaan dan manajerial sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Sedangkan penyiapan dan pengembangan materi pembelajaran yang bersifat substansi keagamaan dan ciri kekhususan keislaman tetap dikelola oleh Kementerian Agama.

  2. Pengelolaan dan penyelengaraan madrasah dilakukan oleh pemerintah Daerah dalam satu atap pengelolaannya, yaitu dengan membentuk Kementerian Pendidikan dan kebudayaan sedangkan Kementerian Agama kabupaten/kota berfungsi sebagai tugas pengendalian dan tugas-tugas agama.

  3. Melalui perubahan ini maka madrasah berada pada arena persaingan yang berorientasi kepada kualitas produknya. Berdasarkan kalkulasi sosial budaya masyarakat Indonesia, madrasah seperti di atas akan lebih mudah diterima dan

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  mendapat dukungan dari masyarakatnya. Di sisi lain, segala dinamika yang terjadi dalam umat Islam akan dengan mudah diserap oleh madrasah terutama dinamika di bidang ilmu pengetahuan, sebab madrasah mendapat kontrol langsung dari masyarakat pendukungnya.

  Sebagai institusi pendidikan agama, maka madrasah harus bergerak dalam mekanisme organisasi yang profesional, dalam formulasi pengorganisasian dan

  1. Pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dalam arti penataan dan pengaturan seluruh komponen pendidikan yang memungkinkan tercapainya tujuan institusional, secara bertahap dilimpahkan kepada pihak madrasah (school

  based management) dan didukung oleh masyarakat (community based education)

  2. Organisasi pengorganisasian dan pengeloaan madrasah diarahkan kepada terciptanya hubungan imbal balik antara madrasah dan masyarakat dalam rangka memperkuat posisi madrasah sebagai lembaga pendidikan.

3. Struktur pengoranisasian dan pengelolaan madrasah bersifat fleksibel sesuai dengan tuntutan kebutuhan madrasah.

  4. Pengelolaan madrasah dikembangkan melalui pendekatan profesional yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya segenap potensi madrasah, sehingga mampu mengimplementasikan prinsip-prinsip school Based management yang secara historis telah ada pada kultur madrasah.

  5. Pengelolaan madrasah bersifat terbuka dan demokratis. Pengelola diberi kesempatan untuk menumbuhkembangkan nilai-nilai demokratis dan hak asasi manusia (HAM) dalam membina tata hubungan kerja di madrasah.

  6. Manajemen madrasah diberi peluang yang memungkinkan terciptanya kerja sama dengan unsur dan unit kerja lain dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan.

  7. Pengeloaan madrasah perlu pengembangan konsep keterpaduan yang mencakup keterpatuan lingkungan pendidikan (keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan ketebukaan.

  Syamsul Arifin

  8. Pengawasan atau kontrol pengorganisasian dan pengelolaan madrasah dilakukan oleh suatu badan sekolah yang memiliki kompetensi sebagai pendamping pengelola madrasah.

  9. Perlu dipersiapkan perangkat atau tindakan hukum bagi mereka yang melanggar atau menyimpang dari prosedur dan etika pengelola dan pengorganisasian madrasah.

10. Diperlukan adanya upaya bersama untuk mengembalikan image madrasah sebagai lembaga pendidikan umum yang bercirikan khas Agama Islam.

  Kesimpulan

  Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa madrasah, sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang lahir dari bagian masyarakat menjadi sebuah dilema manakala keberadaannya tidak diperhatikan. Walaupun banyak persoalan menyangkut keberadaan madrasah, baik menyangkut kesiapan SDM, manajemen, pembiayaan dan sebagainya, namun semua itu dapat diatasi ketika semua pihak bersatu padu memberikan kontribusi positif demi sebuah kemajuan bersama. Ide pengembangan tersebut tidak saja diperlukan dari masyarakat setempat, namun dari semua lapisan masyarakat di penjuru Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, orang tua siswa, dan terlebih lagi sikap pemerintah dalam membuat kebijakan tidak lagi diskriminatif, karena bagaimanapun juga madrasah adalah bagian integratif dari pendidikan nasional.

  Referensi

  Djunaedi, Mahfud. Rekonstruksi Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Muhaimin, Abd. Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Trigenda Karya, 1993. Mansur. Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2004. Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009. Soebahar, Abd. Halim. Kebijakan Pendidikan Islam dari ordonansi guru sampai UU SISDIKNAS. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

  Potret Madrasah dalam Kebijakan Otonomi Daerah

  Suwito. Sejarah Sosial Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008. Sam M. Chan, Tuti T. Sam. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.

  Suwito, dkk. Sejarah Sosial Pedidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2008.