View of SASTRA LISAN DAWAN SEBAGAI PILAR BAHASA IBU DI TIMOR DAN KENYATAANNYA SAAT INI

   Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849

  e-ISSN : 2548-1398 Vol. 2, No 12 Desember 2017

  

SASTRA LISAN DAWAN SEBAGAI PILAR BAHASA IBU DI TIMOR DAN

KENYATAANNYA SAAT INI Erna Suminar

  Universitas Kebangsaan Bandung Email:

  Abstrak Sastra lisan Dawan adalah salah satu warisan budaya suku besar di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Kedudukan sastra lisan di zaman dahulu telah menjadi gerak dan nafas bagi masyarakat Dawan. Sastra lisan, bukan hanya dipandang sebagai sebuah ritual budaya semata, namun juga memiliki nilai religius yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi dengan Uis Pah dan Uis Neno juga arwah para leluhur serta masa depan generasi muda Dawan. Fungsi lain dari sastra lisan adalah sebagai pendidikan moral serta hiburan. Peran krusial sastra lisan ini yang tak dapat dinafikan. Keberadaanya dipandang sebagai salah satu penjaga bahasa ibu, yakni bahasa Dawan dan sarana estafet budaya. Namun, sastra lisan Dawan saat ini nyaris telah ditinggalkan generasi muda. Dan inilah yang menjadi inti dalam penelitian ini, bagaimana keadaan sastra lisan Dawan serta implikasinya pada bahasa ibu dan kenyataannya pada saat ini

  Kata Kunci: Sastra Lisan Dawan, Bahasa Ibu Pendahuluan

  Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah sebuah provinsi kepulauan yang berada di tenggara Indonesia. Provinsi multietnik dan multilingual beribukota provinsi di Kupang yang bertempat di Pulau Timor Barat. Sementara sebagian wilayah ke arah timur, telah menjadi negara tersendiri, yakni Timor Leste (RTDL). Ada beberapa pulau besar lainnya di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya yang dikenal banyak orang, diantaranya, Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Rote Ndao, Pulau Sabu, Pulau Alor, Pulau Solor, Pulau Adonara dan Pulau Lembata.

  Masih ada sekitar 1.100-an pulau lainnya di NTT, 450-an pulau yang dikenal, dan hanya sekitar 40-an pulau yang berpenghuni. Ada 49 bahasa daerah di NTT yang teridentifikasi dengan memiliki beragam dialek.

  Jumlah penduduk di NTT menurut data Biro Pemerintahan Setda Provinsi NTT tahun 2014 sebanyak 5.356.567 jiwa. Erna Suminar Berbagai suku menempati kepulauan ini. Timor Barat salah satunya, dihuni secara umum oleh beberapa suku asli:

  1. Suku Helong: Kupang Barat, Kupang Tengah dan Pulau Semau.

  2. Suku Dawan atau atoin meto (orang-orang tanah kering), menempati wilayah Amarasi, Amfoang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Malaka, perbatasan antara Belu dan TTU.

  3. Suku Tetun tinggal di beberapa wilayah di Kabupaten Malaka, Kabupaten Belu dan Timor Leste.

  4. Suku Kemak menempati beberapa wilayah kecil di Kabupaten Belu dan Timor Leste.

  5. Suku Marae (Bunak) menempati di wilayah Timor bagian tengah dan Timor Leste.

  Kontur alam Timor berbukit-bukit dan rumpil. Sebagian besar wilayah bercampur kapur daerah, kering dan tandus. Hujan yang hanya datang rerata tiga bulan dalam satu tahun, membuat orang-orang Timor lebih akrab dengan musim panas yang kering dan panjang. Karenanya, orang Dawan, sering menyebut dirinya Atoni pah Meto, atau orang dari tanah kering. Dawan, atau Rawan, adalah nama yang dilekatkan oleh orang Tetun, yang berarti orang dari gunung. Karena, sebagian besar orang-orang Dawan hidup di wilayah pegunungan.

  Sekalipun Timor dikitari oleh laut yang sangat indah dan kaya dengan ikan, tradisi suku Dawan bukanlah tradisi melaut. Masyarakat Dawan pada umumnya bekerja bertani dan beternak. Namun dikemudian hari, diantara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai negeri/swasta, pendeta dan sebagainya.

  Tidak terlalu banyak variasi jenis pepohonan dan tanaman yang tumbuh dengan baik di Timor, namun bukan berarti tidak bisa ditanami. Di sebagian besar Timor, kemarau yang panjang tidak banyak menyediakan air untuk tumbuhnya tanaman. Diperparah dengan sebagian masyarakat masih ada yang melakukan ladang berpindah dengan cara membakarnya telebih dahulu, membuat pepohonan yang menyangga air turut musnah. Dengan demikian, mereka hanya berharap pada kemurahan alam berupa hujan, untuk menyiram ladang-ladang mereka

  Namun demikian, bukan berarti sebagian besar masyarakat Dawan tidak mengerti tentang kearifan-kearifan menjaga alam di sekitar mereka tinggal. Di daerah-

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu daerah tertentu, tetap dikenakan tempat-tempat hutan larangan untuk menebang dan berburu. Sebagian di antara mereka, telah mengarap sawah dan ladang dengan menetap. Jagung dan sorgum, sebagai salah satu makanan pokok, tetap ditanam para penduduk di ladang dan pekarangan sekitar rumah.

  Kearifan-kearifan lokal masyarakat Dawan yang melekat pada alam di masa lalu salah satunya; tidak boleh menebang pohon yang sedang berbuah/berbunga serta pepohonan di sekitar hutan-hutan sumber air, tidak boleh mengambil buah yang belum masak, tidak boleh berburu burung, dan memanen belut atau ikan yang sedang bertelur dan masih kecil-kecil. Dan ada periode tertentu yang diperbolehkan anggota masyarakat Dawan memanen ikan-ikan tersebut. Alam diperlakukan masyarakat Dawan dengan rasa hormat.

  Kehidupan suku Dawan bergantung kepada alam. Alam pikiran mereka melekat pada alam. Mereka berusaha hidup harmoni dengan alam. Untuk menjaga keseimbangan hidup mereka dengan alam, tradisi sastra lisan Dawan dituturkan untuk menjadi pegangan hidup setiap anggota masyarakat Dawan.

  Masyarakat Dawan hidup dengan membentuk koloni-koloni. Tempat tinggal antara koloni satu dengan yang lainnya berjauhan. Itu sebabnya, bahasa Dawan memiliki banyak dialek yang disebabkan oleh topografi dan geografi wilayahnya adalah pegunungan dan lembah. Setiap koloni, dipimpin oleh kepala suku. Dan, kepala suku inilah yang diperkenankan adat menuturkan sastra lisan Dawan dalam upacara magis ritual. Melalui sastra lisan Dawan pula, salah satunya etika hidup dan bahasa ibu terjaga.

  Suku Dawan memiliki bahasa pemersatu yang sering disebut sebagai Uab Meto. Dalam Ethnologue Languages of The World, Uab Meto memiliki nama alternatif: Atoni, Meto, Orang Gunung, Timol, Timor, Timoreesch, Timoreezen, Timorese, Uab Atoni Pah Meto, Uab Pah Meto, Dawan, Rawan, Timor Dawan. Bahasa Dawan masuk ke dalam klasifikasi: Austronesian, Malayo-Polynesian, Central-Eastern Malayo- Polynesian, Timor-Babar, Nuclear Timor. Bahasa Dawan memiliki jumlah penutur sekitar 600.000 ribu orang. Sedangkan dialek dalam bahasa Dawan diantaranya adalah: Amabi, Amfoan, Amfuang, Fatule’u, Amanuban, Amanatun, Mollo, Miomafo, Biboki, Insana, Kusa, Manea, Manlea. Erna Suminar Bahasa memiliki peran yang strategis di tengah kehidupan manusia pun dalam masyarakat Dawan. Bahasa menjadi alat interaksi sosial dan identifikasi diri seorang

  

atoni Timor, sekaligus identitas budaya. Bahasa menjadi salah satu pengikat emosi dan

  alat komunikasi antar manusia untuk saling mendekatkan diri dan mencoba mengatasi perbedaan dalam merujuk sebuah makna, seperti pada nama-nama benda, sikap emosi tertentu dan lainnya. Aktivitas bahasa merupakan ciri khas manusia, dan melalui bahasa itu pula manusia dapat melaksanakan refleksi dan kebebasannya (Paul Chauchard, 1983:11).

  Sastra lisan Dawan berakar dari bahasa dan budaya Dawan. Sastra lisan Dawan dibedakan atas dua jenis, yakni: Pertama, sastra lisan ritual, yang biasanya dipakai dalam upacara-upacara adat, misalnya dalam upacara kematian, kelahiran, perkawinan, dan membangun rumah adat. Untuk jenis sastra lisan, hanya kepala suku yang diperkenankan menuturkannya. Kedua, sastra lisan non ritual. Untuk jenis ini, masyarakat umum menuturkannya sebagai hiburan.

  Sastra lisan Dawan berkait langsung dengan kreatifitas masyarakatnya dalam menafsirkan alam dan kehidupan. Gerak tingkah manusia dalam bingkai kearifan lokal yang direkonstruksi dalam pesan-pesan yang di dalamnya bercampur baur dengan mitologi. Alam mitos masih melekat di beberapa sudut-sudut kehidupan masyarakat Dawan hingga saat ini, sekalipun di sebagian kehidupan yang lainnya perubahan karena perkembangan zaman dan masuknya pengaruh-pengaruh luar menjadi fenomena yang tidak terelakan.

  Fenomena perubahan demi perubahan yang dialami oleh suatu masyarakat, secara sosiologis dianggap sebagai bagian keniscayaan dalam kehidupan. Manusia hidup akan melakukan gerak dan perubahan. Perkembangan sebuah masyarakat tidak dapat dikontrol oleh aturan-aturan perseorangan, atau mengandalkan sebuah kharisma tertentu dalam masyarakat Dawan, misalnya saja oleh seorang kepala suku yang dianggap memiliki kekuatan magis. Dan inilah sebuah kenyataan sosial.

  Kenyataan sosial adalah sesuatu yang mencakup seluruh rangkaian kenyataan kenyataan. Kenyataan sosial adalah setiap cara bertindak yang ditentukan maupun tidak, yang memiliki kemampuan menguasai individu dengan tekanan eksternal, atau setiap cara bertindak yang umum di seluruh masyarakat tertentu, namun pada saat yang sama berasa mandiri bukan dari manisfestasi individualnya. (Durkheim, 1964, dalam Muhni).

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu Kenyataan sosial pada masyarakat Dawan adalah terjadinya pergeseran- pergeseran budaya, dan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi, yang berdampak langsung pada pemeliharaan sastra lisan Dawan sebagai artefak budaya yang menjadi salah satu pilar bahasa ibu.

  Metodologi Penelitian Metodologi yang digunakan di dalam penelitian ini adalah pendekaan kualitatif.

  Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2011: 4) menyebutkan bahwa prosedur penelitian kualitatif adalah proses penelitian yang menghasilkan data berupa rangkaian kata baik itu tertulis maupun lisan yang diperoleh langsung dari objek yang diteliti. Dalam pelaksanaan penelitian peneliti menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan pendekatan etnografi. Memasuki pendekatan etnografi, berarti memasuki upaya untuk memerhatikan makna tindakan dan kejadian pada objek yang ingin diteliti. Beberapa makna ini terekspresi langsung dalam bahasa. Banyak yang diterima dan disampaikan secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan (Spradley, 2006 : 3-5).

  Secara umum, pendekatan etnografi lebih condong ke arah deskripsi dan interprestasi dari budaya, sistem juga kelompok-kelompok sosial (Harris dalam Creswell, 1998: 58). Penelitian dengan pendekatan etnografi pada kegiatan umum merupakan penelitian dengan waktu yang panjang. Produk penelitian dengan pendekatan etnografi umumnya adalah sebuah buku. Dalam prosesnya, penelitian dengan pendekatan etnografi akan melewati masa observasi yang amat panjang. Lebih dari itu, pada tahap observasi, peneliti juga tidak segan untuk melebur dan bergabung dengan keseharian kelompok tertentu. Hal tersebut dilakukan untuk memelajari perilaku, bahasa juga interaksi kelompok yang sedang diteliti.

Hasil dan Pembahasan A. Kondisi Sastra Lisan Dawan

  Evolusi bahasa lisan merupakan satu titik yang menentukan dalam prasyarat manusia. Berbekal dari bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai dunia jenis baru di alam dunia kesadaran yang mawas diri dan dunia yang kita ciptakan serta nikmati bersama orang lain yang kita sebut budaya. Bahasa menjadi alat kita dan budaya ruang tempat kita hidup (Leackey, 2003 :155). Hanya bahasa yang bisa menerobos sekat- Erna Suminar sekat yang memenjarakan pengalaman langsung dimana semua makhluk lain terkurung, yang melepaskan kita ke dalam kebebasan ruang dan waktu yang tidak terhingga (Bickrton dalam Leackley, 2003:156) Bahasa dijadikan alat untuk mengintegrasikan, mempersatukan para individu dalam kelompok besar sosial mereka.

  Sastra lisan Dawan adalah salah satu sastra daerah yang hidup di Pulau Timor. Sastra lisan Dawan datang para leluhur masyarakat Dawan, yang menjadi jembatan yang menghubungkan budaya leluhur dengan generasi muda Dawan. Sastra lisan menerobos sekat-sekat masa lalu untuk tetap tumbuh dalam alam pikiran generasi sesudahnya. Sastra lisan Dawan mempersatukan masyarakat Dawan dalam ikatan budaya. Yang menghubungkan antara masa lalu dan masa depan. Menghubungkan dunia mistis dengan alam realitas. Sastra lisan di masyarakat Dawan menjadi gerak nafas bagi mereka.

  Umumnya, masyarakat primitif nyaris tidak mengenal budaya tulis. Demikian pula masyarakat Dawan kuno. Namun mereka memiliki bahasa. Dengan bekal bahasa, masyarakat Dawan menciptakan dunia yang dihayati terhadap alam dan sekelilingnya secara verbal. Interpretasi kepada kehidupan membawa meraka pada dunia kesadaran. Dunia kesadaran yang mawas diri dan dunia yang kita ciptakan serta dinikmati bersama orang lain disebut sebagai budaya. Bahasa menjadi alat kita dan budaya tempat kita hidup (Leackey, 2003 :155)

  Alam pikiran Dawan dipenuhi oleh mitos, dan hal-hal yang berkenaan dengan dunia magis. Banyak hal di dalam kehidupan yang tak mampu mereka jangkau. Serba misteri. Ada Yang Ilahi disana yang menguasai dalam seluruh kehidupan mereka. Mitos mengacu pada segala keyakinan yang maknanya sangat dekat dengan jalan hidup orang yang tak pernah mempertimbangkan pengajuan pertanyaan, “Benar atau

  

salahkah ini?” (Palmaquis, 2007:28) Masyarakat Dawan percaya, pada Uis Neno,

  Tuhan Langit, atau Dewa Langit, Yang Tertinggi. Masyarakat Dawan juga menyakini adanya Uis Pah, Dewa Bumi, yang menguasai alam semesta. UisNeno dan Uis Pah adalah dwi tunggal, dengan dua sisi karakter yang berbeda.

  Dalam masyarakat Dawan, benda-benda di alam, seperti batu besar, pepohonan besar semacam beringin, samudera dan lainnya, dianggap ada penghuninya. Binatang, seperti buaya, diperlakukan dengan rasa hormat. Ada mitos bahwa di zaman dahulu kala, ada buaya yang sekarat kemudian ditolong oleh seorang anak. Buaya tersebut lalu

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu dibawa ke pantai. Manakala buaya dibawa ke laut, naiklah permukaan air laut. Buaya meminta Sang Anak naik kepunggungnya untuk melindunginya agar aman. Buaya membiarkan anak tersebut dan keturunannya berada di punggungnya sampai kematiannya, hingga kemudian buaya tersebut membentuk dirinya menjadi Pulau Timor.

  Buaya menjadi sosok sentral dan keramat dalam kehidupan di Pulau Timor yang gersang, sebagai representasi penguasa air dan tokoh utama yang berkorban atas terselanggaranya kehidupan manusia Timor. Air adalah inti kehidupan, dan sangat dihargai di Pulau Timor yang tandus dan gersang. Dalam upacara ritus ritual untuk memuja buaya, orang-orang di suku Dawan melakukan upacara persembahan dengan mempersembahkan binatang ternak kepada penguasa Timor tersebut sebagai tanda penghormatan dan syukur. Untuk selanjutnya, buaya menjadi binatang yang tidak diperbolehkan untuk dibunuh. Pada beberapa kejadian, ada orang yang dimangsa oleh buaya, maka orang tersebut dianggap memiliki kesalahan besar, karena Sang Buaya tidak berkenan dan marah pada orang tersebut.

  Kepala suku (usif) atau tetua adat di dalam masyarakat Dawan adalah tokoh yang sangat dihormati. Para kepala suku dianggap memiliki kemampuan magis yang dapat menghubungkan kehidupan masa kini dengan roh-roh para leluhur. Usif dipercaya dapat meramalkan kejadian-kejadian yang akan datang. Kepercayaan kepada para usif yang mampu menghubungkan ke dunia supranatural, membuat kepala suku mendapatkan kepatuhan sedemikian rupa dari anggota masyarakat. Di samping itu, ada sosok lainnya, yaitu dukun, yang menjadi salah satu rujukan anggota masyarakat Dawan untuk berobat berbagai penyakit atau bertanya sesuatu.

  Tafsir-tafsir terhadap alam dan kepercayaan pada roh-roh yang memasuki benda-benda pada alam sekitar membuat masyarakat Dawan perlu mengambil hati para roh-roh dengan melakukan ritus ritual, misalnya saat memulai masa mempersiapkan lahan, waktu memulai menanam dan masa panen. Usif hadir untuk memberikan pemberkatan itu pada anggota masyarakatnya. Kehadiran usif dalam ritus ritual lainnya, saat upacara-upacara adat menjadi sosok yang sangat penting dan menentukan, misalnya dalam upacara kematian, kelahiran, pernikahan atau pembuatan rumah adat.

  Dalam upacara-upacara adat inilah sastra lisan yang berdaya magis hadir untuk dituturkan oleh usif. Selain kepala adat, tidak boleh ada yang menuturkannya, karena Erna Suminar dipercaya akan mengundang kutukan. Sastra lisan dihadirkan dalam upacara yang sangat sakral. Oleh sebab itu, masyarakat Dawan mendengarkannya dengan khusyuk dan penuh rasa hormat.

  Sebelum sastra lisan Dawan dituturkan, biasanya terlebih dahulu diadakan upacara adat. Hampir dalam setiap upacara mensyaratkan benda-benda atau sesajen. Bahan-bahan sesajen untuk memulai penuturan sastra lisan ini biasanya adalah sirih pinang, sopi, ayam dan bahan makanan lain. Mereka juga mengenakan baju adat.

  Sirih pinang biasanya disuguhkan dalam tempat sirih pinang (

  oko ‘mama), dan dimakan bersama-sama.

Oko ‘mama disisipi uang perak dan dipersembahkan kepada

  penutur utama. Lalu, mereka bersirih pinang, minum sopi dan makan ayam bakar serta makan sejenis sup jerohan ayam bakar cincang yang berkuah darah ayam bersama- sama.

  Setelah itu, mereka memulai berdiri untuk melakukan upacara adat. Peserta membentuk lingkaran sembari mengaitkan lengan di siku-siku, dan melakukan gerakan ke arah kanan. Tua-tua ada mengangkat tangannya, mempertemukan ujung-ujung jari dan mendekatkan di hidung. Sastra lisan Dawan dituturkan dengan kepala menunduk. Ada beberapa variasi lain saat menuturkan sastra lisan ini, dengan menggunakan alat musik tradisional Timor, lalu mereka menari.

  Saat ini, hampir tidak lagi ditemukan upacara-upacara adat dengan ritus ritual dengan cara yang sedemikian ketat dalam penuturan sastra lisan. Bahkan, sesungguhnya sastra lisan Dawan sudah nyaris punah. Hanya satu tempat yang masih melestarikan budaya Dawan dengan sangat militan di mana penulis sempat menyambanginya, yakni di masyarakat suku Dawan, yakni di Kerajaan Boti yang berada di Desa Boti, Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Namun demikian, penulis belum berkesempatan melihat tata upacara mereka, karena datang ke sana dalam keadaan sedang tidak ada upacara adat.

  Para tetua adat adalah tokoh sentral, yang mendapatkan kedudukan dan kepatuhan sedemikian rupa dari anggota masyarakat. Dalam kadar tertentu, para kepala suku dianggap memiliki kemampuan magis. Dalam upacara-upacara ritual saat sastra lisan dituturkan, para tetua adat lah yang boleh menuturkannya. Hanya tetua adat yang boleh mendaraskannya. Sistem yang anut masyarakat Dawan saat itu sangat feodalistik, dimana struktur masyarakat berpusat pada tetua adat.

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu Sastra lisan Dawan ini memiliki posisi yang sangat strategis, sebagai gerak nafas bagi masyarakat Dawan, sekaligus menjadi salah satu identitas budaya dan alat pengendali secara sosiologis para tua-tua adat kepada anggota masyarakatnya. Keberlangsungan estafet budaya dari generasi tua ke generasi muda Dawan, secara langsung maupun tidak langsung dimungkinkan salah satunya oleh tradisi sastra lisan Dawan.

  Beberapa yang peneliti dapatkan di lapangan dan di dalam penelitian literatur memberikan keterangan; Sastra lisan Dawan, tak lazim didokumentasikan. Terutama karena alasan-alasan tabu. Penelitian pertama kali secara serius tentang sastra lisan Dawan ini, dilakukan oleh Tarno (1990), dengan judul Sastra Lisan Dawan. Sementara, penelitian mengenai sejarah, dilakukan oleh Middelkoop, dengan judul, Head Hunting in Timore: and Its Historical Implications (1963).

  Sastra lisan Dawan, memiliki keunikan dibandingkan tradisi sastra lisan lainnya di Indonesia terutama, karena tidak sembarang orang boleh menuturkannya, terutama untuk sastra lisan yang bernilai ritus religius. Sastra lisan, ditempatkan masyarakat Dawan dengan nilai yang sangat tinggi. Penutur yang diperbolehkan membawakannya hanya tetua adat, atau kepala suku. Dan kemampuan bertutur ini dipercaya tidak diperoleh dengan cara belajar, melainkan diperoleh secara mistik.

  Sastra lisan Dawan memiliki nilai ritus religius, dan dituturkan dalam upacara- upacara adat dan bernilai magis. Menuturkan melampaui kewenangan, dipercaya masyarakat Dawan akan berakibat fatal, yakni mendapat kutukan. Penuturan sastra lisan ini diikuti secara khidmat dan rasa hormat masyarakat, sebagai warisan budaya leluhur mereka yang menyambungkan mereka kepada Uis Pah dan Uis Neno, arwah para leluhur, makhluk lainnya, dan masa depan generasi Dawan.

B. Sastra Lisan Dawan sebagai Pemelihara Bahasa Ibu

  Sastra lisan Dawan memiliki empat macam fungsi, yaitu fungsi religius, fungsi kependidikan, fungsi sosiologis, dan fungsi hiburan (Tarno, 1992 :20-27). Pada penuturan yang bersifat religius, biasanya sastra lisan Dawan didaraskan dalam upacara kematian untuk menghormati arwah (nitu). Masyarakat Dawan percaya, nanti arwah-arwah akan menemui dan bersama-sama dengan arwah-arwah moyangnya dan memasuki benda-benda di alam. Selain menyembah nitu, Suku Dawan percaya kepada Uis Neno dan Uis Pah sebagai penguasa hidup mereka. Dari sastra lisan ini, Erna Suminar Suku Dawan menjaga dirinya agar tidak berbuat kesalahan dalam menjalani hidup. Berikut contoh dari dari sastra lisan yang berfungsi religius:

  Ho huma maita ko ben Ho huma kolo ko ben Ho mbi pahes ma nifu besen Ho mbi bianelen

  Artinya: Wajah dan mata Anda telah berubah Wajah dan mata Anda telah bersembunyi Anda telah pergi ke tempat lain Dalam fungsi pendidikan, sastra lisan Dawan dalam bentuk

  nu’u dan dalam

  bentuk tonis matsaos memiliki peran yang strategis. Para penutur menceritakan mengenai dongeng-dongeng yang di dalamnya penuh dengan kekayaan nasihat-nasihat dan keteladanan dalam menjalankan hidup. Sastra lisan yang dituturkan dalam bahasa Dawan ini mengandung pendidikan mendasar yang kelak membentuk pandangan hidup.

Untuk jenis nu’u seperti ini, hanya atonis yang boleh mendaraskannya

  Sastra lisan Dawan memiliki fungsi pengendalian sosial masyarakat. Dengan demikian, folklore ini memiliki fungsi sosiologi, dimana di dalamnya mengandung hukum-hukum adat, soal perintah dan larangan dan efek dari perbuatan yang kelak akan mendapatkan kutukan. Ketakutan-ketakutan pada kutukan itu membuat masyarakat Dawan berpikir berulang-ulang untuk melawan adat.

  Ada pula sastra lisan yang dapat dituturkan oleh masyarakat umum, yakni sastra lisan yang besifat hiburan. Biasanya, dituturkan bersama dengan upacara-upacara adat atau pertemuan-pertemuan untuk memeriahkan suasana, sehingga seluruh peserta yang hadir merasakan kegembiraan.

  Namun kemudian, setelah datang para penyebar agama Kristen, dan berkembang hampir di seluruh Timor hingga ke pedalaman-pedalamannya, sastra lisan ini semakin terpinggirkan. Terlebih, dengan pergantian pada keyakinan yang baru yang berbeda dengan nenek moyang sebelumnya, sastra lisan semakin ditinggalkan, karena banyak ajaran di antaranya bertentangan dengan iman Kristiani.

  Sastra lisan yang dituturkan dalam bahasa ibu, sesungguhnya memiliki peran yang sangat mendasar untuk memelihara uab meto. Namun kini sudah hampir sulit di

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu ditemui, keuali di kerajaan primitif Boti memelihara secara utuh tradisi Dawan, dan anggota masyarakatnya memegang teguh pada kepercayaan pada ajaran nenek moyang. Disini, orang-orang tidak diperkenankan sekolah, untuk memelihara kemurnian ajaran nenek moyang. Dan mereka tidak menggunakan bahasa lain, selain bahasa Dawan.

C. Penyusutan Penurut Bahasa Dawan

  Kehadiran para pendatang dari berbagai pulau-pulau di Nusa Tenggara Timur dan dari berbagai suku di Indonesia di Timor membuat bahasa perantara (lingua

  

franca) menjadi sangat penting. Bahasa Indonesia menjadi bahasa utama sebagai

  pengantar dalam pendidikan di sekolah, khotbah-khotbah di gereja dan dalam pemerintahan. Dengan demikian, otomatis, kemampuan berbahasa Indonnesia, memungkinkan seseorang dapat berbaur dengan masyarakat yang lebih luas dan menyerap pengetahuan-pengetahuan baru.

  Diterimanya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional secara nasional membuat bahasa Indonesia sukses menjadi perekat bangsa dan perekat suku-suku. Bahasa Indonesia menjadi salah satu obat yang mengikis egoisme kedaerahan dan kesukuan. Bahasa Indonesia juga menjadi jawaban bagi problema untuk mengatasi multilingual.

  Kemampuan berbahasa Indonesia memiliki posisi strategis lainnya ditinjau dalam sisi ekonomi, bagi para pelaku ekonomi di daerah, seperti Nusa Tenggara Timur. Kemampuan berbahasa Indonesia dapat memecah hambatan dalam komunikasi bisnis.

  Kemampuan berbicara bahasa Indonesia, berbanding lurus dengan parameter kelas sosial dan kelas pendidikan seseorang. Muliono, Anton (1998) menenggarai, ada sebuah korelasi pada antara kemampuan berbahasa Indonesia dengan kemiskinan dan status pendidikan berdasar sensus BPS 1990 di mana angka pemakai BI sangat mengesankan. Ada 27 juta orang Indonesia yang belum paham BI dengan angka jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Dan terlihat adanya korelasi antara kemahiran berbahasa dengan tingkat pendidikan angkatan kerja Indonesia. Makin tinggi tingkat pendidikan orang, makin baik potensinya berbahasa Indonesia. Karenanya, semakin seseorang mahir berbahasa Indonesia di kalangan masyarakat lokal, maka akan semakin meningkatkan kepercayaan dirinya.

  Ini sebuah petanda, bahwa kemampuan berbicara bahasa Indonesia, bukan hanya bisa dipandang secara politis, tetapi juga telah memasuki ranah psikogis. Erna Suminar Bagaimana bisa seseorang memandang rendah, kampungan, saat orang lebih senang berbahasa daerah? Untuk memelihara harga dirinya, sebagian orang-orang akhirnya semakin menjauhi bahasa ibunya. Padahal, menjauhi bahasa ibu, berarti menjauhi induk budayanya sendiri. Semakin minim seseorang memiliki pengetahuan tentang budayanya sendiri, maka akan semakin sulit memahami jati dirinya.

  Memasuki pinggiran Kupang dan ibu kota kabupaten di Timor Barat, banyak orang-orang setempat sudah mengganti bahasa ibu dengan bahasa Indonesia atau Melayu Kupang. Di ibu kota-ibu kota kabupaten di Timor Barat, seperti Soe, Betun, Kefamenanu dan Atambua cakupan wilayah orang-orang yang berbahasa daerah semakin menyempit. Dan proses pengikisan senang berbahasa ibu tak terkecuali ikut menerpa suku Dawan.

  Anak-anak muda Dawan di perkotaan lebih menyukai berbahasa Indonesia, atau bahasa Melayu Kupang sebagai bahasa pergaulan dengan sesama mereka. Mereka perlahan-lahan menukar bahasa ibu dengan bahasa yang menjanjikan mereka meningkatkan eksistensi dirinya karena luasnya pergaulan. Akibatnya, keterampilan berbahasa anak-anak muda Dawan sudah tidak lagi sebaik para orangtua mereka. Bagi yang sudah tinggal di kota dari kecil, sebagian dari anak-anak suku Dawan sudah tidak lagi menggunakannya. Jika mengerti Bahasa Dawan, mereka tak lebih dari pendengar yang pasif. Bahasa Dawan praktis hanya dituturkan oleh para orang tua dalam percakapan lisan. Dan hanya anak-anak dari pedalaman saja yang masih menuturkan dan mengerti bahasa Dawan. Pada taraf tertentu, penggunaan bahasa Dawan dianggap kampungan. Itulah sebabnya mengapa anak-anak muda Dawan semakin menjauh dari bahasa ibunya. Padahal bahasa adalah pengikat ikatan sosial dari sebuah etnik, dan pintu budaya bagi orang di luar untuk memahami alam pikiran di dalam etnis tertentu. Dalam bahasa juga terkandung perilaku manusia.

  Bahasa Melayu Kupang adalah bahasa yang paling mudah diterima dalam pergaulan karena praktis dan tidak repot dengan tatakrama bahasa. Kemampuan berbahasa Melayu Kupang atau Bahasa Indonesia menunjukkan wilayah pergaulan dan lebih kekinian. Keadaan ini, mirip dengan hasil penelitian Tondo, Fanny Henry (2006) pada suku Hamap di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Bahasa Melayu Alor dipilih sebagai bahasa pergaulan sehari-hari, bahasa pasar, lebih diminati oleh anak-anak muda karena dianggap lebih bergengsi dan memiliki cakupan pemakaian yang lebih luas

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu daripada Bahasa Hamap. Akibatnya, Bahasa Hamap yang diperkirakan hanya tinggal 1000 orang penuturnya sedang menuju kepunahan. Demikian pula yang terjadi pada anak-anak muda suku Dawan. Keengganan mereka menggunakan bahasa Dawan umumnya karena malu dianggap bahasa kampungan. Penggunaan bahasa Melayu Kupang di kalangan anak-anak muda Dawan dapat dikatakan sebagai petunjuk yang mengindikasikan sikap gegar budaya.

  Penyusutan cakupan wilayah penutur bahasa-bahasa daerah ditenggarai, bukan saja terdesak oleh penggunaan bahasa Melayu Kupang dan Bahasa Indonesia, tetapi juga penyebaran agama Kristen. Sebagai contoh, pemakaian sastra lisan Dawan yang berakar pada kepercayaan primititif (Tarno.dkk, 1990 :12). Dan salah satu sastra lisan Dawan yang nyaris musnah itu adalah bonet,yang berkaitan erat dengan upacara keagamaan. Musnahnya bonet menyebabkan heta, tonis dan

  nu’u turut musnah.

  (Tarno dkk. 1990 : 122) Padahal, salah satu upaya kelestarian sebuah bahasa diperkuat oleh tradisi sastra lisan yang secara estafet diperdengarkan dari generasi ke generasi. Tidak lagi ada penuturan sastra lisan adalah sebuah indikasi memudarnya ikatan sosial di dalam suku tersebut.

  Kehidupan ini dinamis. Perubahan akan selalu terjadi. Kualitas psikologi pikiran manusia yang tanpa kenal lelah terus berjuang untuk mendapatkan kesenangan baru dan keadilan, mewujudkan kreativitas, semangat pembaruan dan imajinasi. Tidak ada yang terlepas dari kecenderungan semacam itu, termasuk tradisi. (Sztompka:2003:73)

  Dan pada akhirnya, kita tidak lagi bisa mendudukan Bahasa Indonesia versus bahasa-bahasa daerah sebagai lawan yang berseberangan. Keduanya tetap penting. Sebagai bahasa ibu yang mulai banyak ditinggalkan, kita perlu melindungi dan menyelamatkan bahasa ibu dari kepunahan, melalui kebijakan pendidikan, kebijakan politik, dan lainnya.

  Sebagai alat persatuan bangsa, efektifitas bahasa Indonesia sudah diakui keberadaannya untuk menumbuhkan nasionalisme. Sebagai bangsa yang besar, semua telah menyepakati agar tidak memberi peluang egosentrisme kedaerahan, dan kesukuan. Kita lebur bersama dalam satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Namun sebuah kesepakatan bangsa ini juga yang tertuang dalam undang-undang, bahwa bahasa daerah tetap dijunjung, diakui keberadaannya dan dilestarikan. Erna Suminar

  Kesimpulan

  Sastra lisan Dawan saat ini sudah nyaris punah, terutama sastra lisan yang berkaitan erat dengan ritus religius. Kepunahan ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat Dawan telah mengikuti ajaran Kristiani. Khotbah-khotbah di gereja juga sudah didominasi dalam bahasa Indonesia, akibatnya bahasa ibu terpinggirkan.

  Kendala yang lainnya yang turut mempercepat kepunahan satra lisan Dawan adalah monopoli para penutur yang harus tunduk pada hukum-hukum adat. Karenanya, penutur sastra lisan Dawan menjadi manusia yang sangat langka. Saat ini yang peneliti temukan, penutur sastra lisan Dawan dan mempertahankan sastra lisan yang paling militan hanya tinggal di Kerajaan Boti. Di sisi lain, pendidikan, pemerintahan dan bahasa perantara telah digantikan dengan bahasa Indonesia. Di sisi lain, ada rasa malu dari sebagian kalangan generasi muda Dawan, jika berbicara dalam bahasa ibu dianggap kampungan.

  Sastra Lisan Dawan sebagai Pilar Bahasa Ibu

  

BIBLIOGRAFI

  Anton, M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

  Chauchard,Paul. 1983. Le Langage et La Pensee: Bahasa dan Pikiran. diterjemahkan oleh Widya Martaya. Yogyakarta: Kanisius. Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing Among

  Five Traditions. California: Sage Publication Durkheim, Emile. 1964. The Division of Labour in Society. New York: Free Press.

  Leackey, Richard. 2003. Asal Usul Manusia. Jakarta: KPG Liliweri,Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:

  LKiS Moleong, J. Lexy. 2011. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT

  Remaja Rosdakarya Offset Mulyana, Deddy. 2004. Komunikasi Efektif. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyana, Dedy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar.Bandung: Remaja

  Rosdakarya Nuruddin. 2004. Komunikasi Massa. Malang: Penerbit Cespur Palmaquis, Stephen. 2007. Pohon Filsafat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Spradley, James. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana Sztompka,Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada.

  Tarno dkk. 1993. Sastra Lisan Dawan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan