Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna prurien), dan Tepung Sagu (Metroxilon sago)

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

OPEN ACCESS

Indonesian Journal of Human Nutrition
P-ISSN 2442-6636
E-ISSN 2355-3987
www.ijhn.ub.ac.id
Artikel Hasil Penelitian

Karakteristik Organoleptik Biskuit Berbasis Tepung Labu Kuning
(Cucurbita moschata), Tepung Kacang Koro (Mucuna prurien), dan
Tepung Sagu (Metroxilon sago)
(The Organoleptic Characteristics of Biscuit Formulation with Curcubita moschata,
Mucuna prurien, and Metroxilon sago Based)
Rachmawati1*, Rosi Novita1, Ampera Miko1
1

Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Aceh
*Alamat Korespondensi, Email: rachma_gz@yahoo.com


Diterima: / Direview: / Dimuat: April 2016/ April 2016/ Juli 2016

ABSTRAK
Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa prevalensi status gizi anak balita di Provinsi
Aceh berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan BB/TB di atas prevalensi nasional, yaitu berturutturut 25%, 40%, dan 15%. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi masalah
gizi adalah pemberian makanan tambahan pada anak balita. Pengembangan produk biskuit dari
bahan pangan lokal dapat dijadikan salah satu alternatif makanan tambahan untuk meningkatkan
status gizi anak balita. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik organoleptik
biskuit berbasis pangan lokal dari tepung labu kuning (Cucurbita moschata), tepung kacang
koro (Mucuna prurient) dan tepung sagu (Metroxilon sago). Desain penelitian yang digunakan
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu kombinasi penggunaan
tepung labu kuning, tepung kacang koro, dan tepung sagu dalam formulasi biskuit. Pengujian
sifat organoleptik metode hedonik merupakan parameter yang digunakan untuk menentukan
formulasi biskuit yang paling disukai. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih
sebanyak 30 orang. Hasil analisis sidik ragam ketiga formulasi biskuit terhadap parameter
warna dan rasa biskuit menunjukkan hasil berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% (α =
0,05), sedangkan untuk parameter aroma dan tekstur tidak memberikan hasil yang berbeda
nyata. Berdasarkan karakteristik organoleptik, formulasi biskuit yang lebih disukai oleh panelis
adalah biskuit dengan kombinasi tepung labu kuning 20 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan
tepung sagu 20 gram.

Kata kunci : biskuit, tepung labu kuning, tepung kacang koro, tepung sagu, organoleptik
Abstract
Riskesdas (2013) shows that prevalance of children undernutrition in Aceh province
based on index weight for age, height for age, and weight for height are above National
prevalency, comprising 25%, 40%, and 15% respectively. One of the efforts conducted to
reduce nutrition problem is the adminstration of supplementary food for children. Development
of biscuit from local food can be used as supplemetary food to help the unfortunate children.

91

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

92

This research was aimed to study the organoleptic characteristic of biscuit formulation based on
local food pumpkin flour (Cucurbita moschata), koro bean flour (mucuna prurien) and sago
flour (Metroxilon sago). The research design used was one factor complete randomized design,
with the combination of pumpkin flour, koro bean and sago in biscuit combination. The quality
of the biscuits was assessed organolepticaly using 30 semi trained panelists. The result of the
analysis of variance of colours and flavour paramaters showed a significant difference at 95%

confident interval. The analysis of variance resulted in confident interval 95% (α=0,05), while
from the smell and texture parameter it does not show a significantly different result. Based on
the characteristic of organoleptics, the preferrred biscuit formulation chosen by panelists is
biscuit with the combination of 20 g pumpkin flour, 10 g koro bean flour and 20 g sago flour.
Keywords : biscuit, pumpkin flour, koro bean flour, sago flour, organoleptic

PENDAHULUAN
Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa
prevalensi status gizi anak balita di Provinsi
Aceh berdasarkan indeks BB/U, TB/U, dan
BB/TB di atas prevalensi nasional, yaitu
berturut-turut 25%, 40%, dan 15% [1]. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengurangi masalah gizi adalah pemberian
makanan tambahan anak balita berupa biskuit
dari bahan pangan lokal.
Hal ini sesuai dengan rekomendasi
WHO/UNICEF untuk mencapai tumbuh
kembang optimal bagi bayi dan anak yaitu
pertama dengan memberikan air susu ibu (ASI)

kepada bayi segera setelah lahir, kedua
memberikan ASI tanpa makanan dan minuman
lain (ASI ekslusif) sejak lahir sampai bayi
berusia 6 bulan, ketiga memberikan makanan
pendamping ASI (MP-ASI) sejak bayi berusia
6 bulan sampai dengan 2 tahun, dan keempat
tetap meneruskan pemberian ASI sampai anak
berusia 2 tahun atau lebih. Rekomendasi
tersebut juga menekan bahwa MPASI
sebaiknya dibuat dari bahan pangan lokal
dengan pertimbangan lebih murah dan mudah
diperoleh di daerah setempat [2].
Biskuit adalah sejenis makanan yang
dibuat dari tepung terigu dengan penambahan
bahan makanan lain, dengan proses pemanasan
dan pencetakan. Biskuit merupakan jenis kue
kering yang mempunyai rasa manis, berbentuk
kecil, dan umumnya dibuat menggunakan
bahan dasar tepung terigu, margarin, gula
halus, dan kuning telur [3]. Biskuit merupakan

jenis makanan yang disukai oleh anak–anak
maupun orang dewasa.

Labu kuning (waluh), kacang koro, dan
sagu merupakan bahan pangan lokal dan
mudah diperoleh di Provinsi Aceh. Labu
kuning (Cucurbita moschata) mengandung
beta karoten yang cukup tinggi yaitu sebesar
1.569µg/100g [4]. Selain itu, protein yang
terkandung dalam tepung labu kuning memiliki
daya cerna sebesar 99%, sehingga sesuai untuk
dikonsumsi bayi [4].
Pemanfaatan labu kuning, kacang koro,
dan sagu masih sangat terbatas. Pemanfaatan
bahan pangan lokal dalam bentuk biskuit
diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif
dalam menangani masalah gizi pada anak
balita. Bahan pangan yang digunakan,
formulasi, dan metode pengolahan selain
berpengaruh terhadap kandungan zat gizi juga

dapat mempengaruhi sifat fisik serta daya
terima dari produk biskuit yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu
kombinasi tepung labu kuning, tepung kacang
koro, dan tepung sagu sebagai bahan baku
pembuatan biskuit MP-ASI. Penelitian terdiri
dari 3 taraf perlakuan (formulasi) dan 3 kali
ulangan dengan jumlah unit percobaan adalah 9
unit. Penyusunan formula biskuit dalam
penelitian ini berpedoman pada persyaratan
biskuit MP-ASI.
Penelitian diawali dengan proses
pembuatan tepung labu kuning dan tepung
kacang koro yang akan digunakan dalam
pembuatan biskuit, sedangkan tepung sagu

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97


diperoleh dari pasar tradisional Peunayong.
Pembuatan biskuit dilakukan di Laboratorium
Teknologi Pangan Jurusan Gizi Poltekkes
Aceh, sedangkan analisis proksimat tepung
labu kuning, tepung kacang koro, dan tepung
sagu dilakukan di Laboratorium Pusat
Penelitian
Sumberdaya
Hayati
dan
Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.
Pengujian karakteristik organoleptik
biskuit dilakukan dengan metode hedonik
meliputi parameter warna, rasa, aroma dan
tekstur biskuit. Panelis yang digunakan adalah
panelis semi terlatih yaitu mahasiswa tingkat
akhir Jurusan Gizi Poltekkes Aceh sebanyak 30
orang. Skala hedonik yang digunakan adalah 5
skala, yaitu 5 (sangat suka), 4 (suka), 3 (agak

suka), 2 (tidak suka), dan 1 (sangat tidak suka)
[5]. Analisis statistik yang digunakan adalah
analisis sidik ragam (Anova) dan jika hasil uji
berbeda nyata maka dilakukan uji lanjut
Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) [6].
HASIL PENELITIAN
Biskuit yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah biskuit MP-ASI berbahan baku
pangan lokal yang ditujukan untuk anak balita
usia 12 – 24 bulan dan dapat dijadikan salah
satu makanan tambahan alternatif dalam
penanganan masalah gizi pada anak balita.
Pemilihan pangan lokal sagu, kacang koro dan
labu kuning yang digunakan dalam pembuatan
biskuit didasarkan atas beberapa pertimbangan
yaitu: (1) bahan relatif mudah didapat, (2)

93

harga terjangkau, (3) lebih dapat diterima oleh

masyarakat setempat, dan (5) sesuai dengan
kearifan lokal. Pada penelitian ini penggunaan
tepung terigu sebagai sumber karbohidrat
dalam
pembuatan
biskuit
sepenuhnya
digantikan oleh tepung sagu.
Persyaratan nilai gizi biskuit MP-ASI
adalah kandungan energi minimal 400 kkal,
protein 8-12 gram, dan lemak 10-18 gram
dalam 100 gram biskuit [7]. Pembuatan biskuit
diawali dengan penyusunan formula biskuit
untuk mendapatkan komposisi yang secara
perhitungan nilai gizi memenuhi syarat biskuit
MP-ASI. Perhitungan kandungan energi,
protein, dan lemak pada tahap formulasi biskuit
dihitung dari bahan-bahan penyusunnya
menggunakan hasil analisis proksimat tepung
sagu, tepung kacang koro, dan tepung labu

kuning penelitian serta Tabel Komposisi
Pangan Indonesia [8].
Analisis
kadar
protein
tepung
menggunakan metode Kjeldahl, analisis kadar
lemak menggunakan metode Soxhlet, dan
analisis kasar karbohidrat menggunakan
metode by difference. Besarnya kandungan
energi suatu produk pangan tergantung kadar
lemak, protein, dan karbohidrat dalam bahan.
Kadar lemak memberikan nilai energi sebesar 9
kkal/gram, sedangkan protein dan karbohidrat
memberikan energi sebesar 4 kkal. Hasil
analisis proksimat tepung sagu, tepung labu,
dan tepung kacang koro disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Tepung Sagu, Labu Kuning, dan Kacang Koro
(per 100 gram bahan)

Komponen
Energi (kkal)
Kadar air (%)
Protein (gram)
Lemak (gram)
Karbohidrat (gram)
Serat kasar (gram)
Abu (gram)

Sagu
360, 26
9,90
0,18
0,30
89,22
0,07
0,34

Tepung koro yang dihasilkan dalam
penelitian ini berwarna putih kekuningan,
mempunyai tekstur halus yang lolos ayakan 60

Kandungan Gizi
Labu Kuning
286,58
18,02
4,84
0,76
65,11
5,03
6,25

Kacang Koro
319,89
13,97
21,47
1,41
55,34
1,07
6,75

mesh, sedangkan tepung labu kuning berwarna
kekuningan, berbau khas labu kuning,
mempunyai butiran halus, lolos ayakan
60

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

mesh, dan mengandung kadar air 18,02%
(Tabel 1).
Menurut Gardjito (2006) dalam
Gardjito (2013), tepung labu kuning adalah
tepung dengan butiran halus, lolos ayakan 60
mesh, berwarna kekuningan, berbau khas labu

94

kuning, dengan kadar air sekitar 13% [9].
Tepung labu kuning hasil penelitian memiliki
butiran halus dan lolos ayakan 60 mesh namun
kadar airnya masih terlalu tinggi, hal ini
kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan jenis
labu kuning yang digunakan.

Tabel 2. Formulasi Biskuit
Bahan

Formula biskuit
F02
20
10
20
15
25
20
16
1
0,5
0,5

F01
30
10
10
15
25
20
16
1
0,5
0,5

Tepung sagu (g)
Tepung kacang koro (g)
Tepung labu kuning (g)
Tepung susu skim (g)
Gula halus (g)
Margarin (g)
Kuning telur (g)
Vanili (g)
Soda kue (g)
Garam (g)

F03
20
20
10
15
25
20
16
1
0,5
0,5

*Keterangan: F01 = (T.Sagu 30 g : T.Koro 10 g : T.Labu 10g); F02 = (T.Sagu 20 g : T.Koro 10 g :
T.Labu 20 g); F02 = (T.Sagu 20 g : T.Koro 20 g: T.Labu 10 g).
Menurut Laksmi (2012) dalam Dewi et
al. (2014), uji organoleptik dilakukan pada
empat parameter yaitu warna, aroma, rasa, dan
tekstur karena suka atau tidaknya konsumen
terhadap suatu produk dipengaruhi oleh warna,
bau, rasa, dan rangsangan mulut [10]. Hasil uji
organoleptik menunjukkan bahwa rata–rata
panelis memberikan penilaian agak suka
terhadap parameter warna, aroma, dan tekstur
untuk ketiga formulasi biskuit, selengkapnya
yang dapat dilihat pada Gambar 1.
Uji organoleptik terhadap parameter rasa
biskuit menunjukkan bahwa rata-rata panelis

5
4

memberikan penilaian suka (4,03) terhadap
rasa biskuit F02 dengan kombinasi tepung sagu
20 gram, tepung kacang koro 10 gram, dan
tepung labu kuning 20 gram, sedangkan untuk
biskuit F01 dengan kombinasi tepung sagu 30
gram, tepung kacang koro 10 gram, dan tepung
labu kuning 10 gram serta biskuit F03 dengan
kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung kacang
koro 20 gram, dan tepung labu kuning 10 gram,
rata–rata panelis memberikan penilaian agak
suka, dimana biskuit F01 (3,16) dan F02 (2,84).

4,03

3,29

3,24
3,16 3,07

3,71
3,03
2,79

2,83

3,093,09
2,84

3
2
1

1

2

3

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

95

Gambar 1. Hasil Uji Organoleptik Biskuit
Hasil analisis sidik ragam (Anova)
tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat
biskuit menunjukkan hasil berbeda nyata pada
menentukan, sehingga warna dijadikan atribut
selang kepercayaan 95% (α=0,05) untuk
organoleptik yang penting dalam suatu bahan
parameter warna dan rasa biskuit, sedangkan
pangan. Warna dapat menentukan mutu bahan
untuk parameter aroma dan tekstur tidak
pangan, dapat juga digunakan sebagai indikator
memberikan hasil yang berbeda nyata. Biskuit
kesegaran bahan makanan, baik tidaknya cara
F02 yaitu biskuit dengan kombinasi tepung
pencampuran atau pengolahan. Suatu bahan
sagu 20 gram, tepung kacang koro 10 gram,
pangan yang disajikan akan terlebih dahulu
dan tepung labu kuning 20 garam lebih disukai
dinilai dari segi warna. Meskipun kandungan
dari segi rasa biskuit daripada biskuit F01 dan
gizinya baik namun jika warnanya tidak
F02.
menarik dilihat dan memberikan kesan telah
menyimpang dari warna yang seharusnya maka
konsumen akan memberikan penilaian yang
PEMBAHASAN
kurang baik.
Warna
Warna merupakan salah satu faktor yang
menentukan mutu dan secara visual warna

Gambar 2. Biskuit Formulasi F01, F02, dan F03
Warna suatu produk pangan dipengaruhi
oleh warna dari bahan yang digunakan. Biskuit
yang dihasilkan berwarna coklat kekuningan
dikarenakan warna
yang dihasilkan oleh
tepung sagu dan tepung labu kuning. Biskuit
F02 (kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung
koro 10 gram, tepung labu kuning 20 gram)
berwarna lebih coklat dibandingkan biskuit
F01 (kombinasi tepung sagu 30 gram, tepung
koro 10 gram, tepung labu kuning 10 gram)
dan F03 (kombinasi kombinasi tepung sagu 20
gram, tepung koro 20 gram, tepung labu kuning
10 gram).
Proporsi tepung labu kuning yang lebih
banyak pada biskuit F02 menyebabkan warna
biskuit menjadi lebih gelap atau coklat,

dikarenakan warna dari tepung sagu dan tepung
labu kuning serta pengaruh protein yang
bergabung dengan gula atau pati dalam suasana
panas akan menyebabkan warna menjadi gelap.
Warna coklat pada biskuit disebabkan oleh
pigmen karotenoid yang terdapat pada tepung
labu kuning, kuning telur dan margarin yang
merupakan bahan dalam pembuatan biskuit.
Pigmen karotenoid adalah kelompok pigmen
yang berwarna kuning dan larut dalam lemak.
Warna coklat juga dipengaruhi oleh reaksi
Maillard selama proses pemanggangan.
Rasa
Rasa lebih banyak melibatkan panca
indera lidah. Bahan makanan yang mempunyai

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

sifat merangsang syaraf perasa akan
menimbulkan perasaan tertentu. Tekstur atau
konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi
cita rasa yang dtimbulkan oleh bahan tersebut
[8]. Cita rasa makanan merupakan salah satu
faktor penentu bahan makanan. Makanan yang
memiliki rasa yang enak dan menarik akan
disukai oleh konsumen.
Secara umum ketiga formula biskuit
mempunyai rasa yang manis dan gurih. Hasil
uji organoleptik rasa biskuit menunjukkan
bahwa rata-rata panelis memberikan penilaian
suka terhadap rasa biskuit F02 dan penilaian
agak suka terhadap rasa biskuit F01 dan F03.
Rasa manis biskuit F02 lebih dominan
dikarenakan rasa manis yang berasal dari
tepung labu kuning, dimana jumlah
penggunaan tepung labu kuning pada biskuit
F02 lebih banyak (20 gram) dibandingkan
biskuit F01 (10 gram) dan F03 (10 gram).
Menurut Kriswidyatni (1990) dalam Gardjito
(2013), kandungan gula tepung labu kuning
cukup tinggi, yaitu 50,49% dari total
karbohidrat sehingga tepung labu dapat
berperan dalam memberikan rasa manis pada
produk olahannya [9].
Aroma
Aroma makanan banyak menentukan
kelezatan makanan tersebut, oleh karena itu
aroma merupakan salah satu faktor dalam
penentuan mutu. Pada umumnya bau yang
diterima oleh hidung dan otak lebih banyak
merupakan berbagai ramuan atau campuran
empat bau utama yaitu harum, asam, tengik,
dan hangus. Aroma makanan menentukan
kelezatan bahan pangan tersebut. Dalam hal ini
aroma lebih banyak sangkut pautnya dengan
alat panca indera pencium. Aroma yang khas
dan menarik dapat membuat makanan lebih
disukai oleh konsumen sehingga perlu
diperhatikan dalam pengolahan suatu bahan
makanan.
Aroma biskuit dari ketiga formula biskuit
adalah aroma biskuit pada umumnya. Aroma
biskuit dipengaruhi oleh aroma dari bahan
penyusunnya dan juga aroma yang dihasilkan
dari proses pemanggangan. Tepung sagu,

96

kacang koro, dan labu kuning masing–masing
memiliki aroma yang khas.
Tekstur
Tekstur pada produk biskuit berhubungan
dengan komposisi dan jenis bahan baku yang
digunakan.
Tepung
terigu
merupakan
komponen utama pada sebagian besar adonan
biskuit, sereal, dan kue kering. Memberikan
tekstur yang elastis karena kandungan
glutennya dan menyediakan tekstur padat
setelah dipanggang.
Pati merupakan komponen lain yang
penting pada tepung terigu dan tepung lainnya.
Air terikat oleh pati ketika terjadi gelatinisasi
dan akan hilang pada saat pemanggangan. Hal
inilah yang menyebabkan adonan berubah
menjadi renyah pada produk panggang. Tekstur
suatu bahan pangan merupakan salah satu sifat
fisik dari bahan pangan. Menurut Mervina
(2009) dalam Dewi et al. (2014), tekstur
merupakan salah satu atribut organoleptik yang
mempengaruhi penerimaan panelis terhadap
biskuit [10].
Ketiga formula biskuit memiliki tekstur
yang agak disukai oleh rata-rata panelis dan
tekstur biskuit F02 lebih disukai daripada F01
dan F03. Menurut Hendrasty (2003) dalam
Gardjito (2013), tepung labu kuning
mempunyai kualitas tepung yang baik karena
mempunyai sifat gelatinisasi yang baik, dengan
demikian dapat membentuk adonan dengan
konsistensi, kekenyalan, viskositas maupun
elastisitas yang baik [9].
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa perbedaan kombinasi
penggunaan tepung sagu, kacang koro, dan
labu kuning pada pembuatan biskuit
memberikan hasil yang berbeda nyata pada
selang kepercayaan 95% (α=0,05) untuk
parameter warna dan rasa biskuit, sedangkan
untuk parameter aroma dan tekstur biskuit
tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
Formulasi biskuit yang lebih disukai oleh
panelis adalah biskuit F02, yaitu biskuit
dengan kombinasi tepung sagu 20 gram, tepung

Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2016, Vol.3 No.1 Suplemen : 91 – 97

kacang koro 10 gram, dan tepung labu kuning
20 gram.
DAFTAR RUJUKAN
1. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Kesehatan RI. RISKESDAS
2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI;
2013. 415 – 425.
2. World Health Organization. Interpretation
Guide Nutrition Landscape Information
System (NLIS) Country Profile Indicator.
Geneva, Switzerland: WHO Press; 2010.
3. Badan Standarisasi Nasional (BSN).
Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor
01-2973-1992 (Internet), 2011 [diakses
5 Oktober 2015].
4. Rustanti N, Noer ER, Nurhidayati. Daya
Terima dan Kandungan Zat Gizi Biskuit
Bayi sebagai Makanan Pendamping ASI
dengan Subtitusi Tepung Labu Kuning
(Cucurbita moschata) dan Tepung Ikan
Patin (Pangasius spp). Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan. 2012; 1(3): 1–2.
5. Setyaningsih D, Apriyantono A, Puspita
MS. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press; 2010.
7–12.
6. Somali L, Karina SM, Amrihati ET.
Formulasi BMC Meningkatkan Kadar
Protein Kue Kering dengan Penambahan
Tepung Ikan. Jurnal Gizi Indonesia. 2014;
36 (1): 45–56.
7. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor:
224/Menkes/SK/II/2007
tentang
Spesifikasi Teknis Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (Internet), 2007 [diakses
7 Juni 2014].
8. PERSAGI. Tabel Komposisi Pangan
Indonesia (TKPI). Jakarta: PT. Gramedia
Elex Media Komputindo; 2009. 1–10.
9. Gardjito
M.
Pangan
Nusantara:
Karakteristik
dan
Prospek
untuk
Percepatan Diversitifikasi Pangan. Jakarta:
Kencana Perdana Media Group; 2013.
320–355.
10. Sari DK, Marliyanti SA, Kustiyah L,
Khomsan
A,
Gantohe
TM.
Uji

97

Organoleptik
Formulasi
Biskuit
Fungsional Berbasis Tepung Ikan Gabus
(Ophiocephalus
striatus).
Jurnal
AGRITECH. 2014; 34(2): 4–5.