Kontrol Sipil atas Militer dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia Pasca Orde Baru

Kontrol Sipil atas Militer dan Kebijakan Pertahanan di Indonesia Pasca Orde Baru

ADITYA BATARA GUNAWAN* 1 Program Studi Ilmu Politik, FEIS, Universitas Bakrie Jl. H. Rasuna Said Kav C-22, DKI Jakarta, 12940 Indonesia E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Artikel ini berpendapat bahwa upaya pemerintah sipil untuk mendorong perubahan kebijakan pertahanan di Indonesia pasca Orde Baru dilaksanakan melalui mekanis- me layering. Secara teoretis, mekanisme layering beroperasi dalam kondisi-kondisi institusional yang menjadi ciri khas dalam konteks transisi demokrasi yaitu besarnya jumlah veto players dalam proses pengambilan keputusan di arena politik dan kecil- nya ruang diskresi kebijakan dalam institusi yang dijadikan sebagai target perubahan. Oleh karena itu, perubahan didorong lewat penempatan elemen-elemen baru yang berdampingan dengan status quo yang berlaku di sebuah institusi. Melalui analisa deskriptif terhadap kebijakan MEF ( Minimum Essential Force) tahap I tahun 2010-2014 ditemukan bahwa penggunaan mekanisme layering lewat kebijakan MEF telah berhasil diimplementasikan tanpa adanya penolakan dari para pendukung status quo di sektor pertahanan Indonesia. Kondisi ini dimungkinan karena program modernisasi alutsista (alat utama sistem persenjataan) yang menjadi inti dari kebijakan MEF memberikan insentif tambahan terhadap status quo yang sesuai dengan preferensi TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengenai keberlanjutan organisasi mereka. Akan tetapi tulisan ini juga melihat adanya efek negatif dari penggunaan mekanisme layering tersebut yakni rendahnya derajat kepatuhan terhadap elemen baru perubahan. Sebagai akibat dari tetap utuhnya status quo, militer mempertahankan dominasinya dalam proses formu- lasi dan implementasi tanpa pengawasan efektif dari kalangan sipil. Dalam kasus MEF, kondisi ini menimbulkan inkonsistensi kebijakan yang kemudian dapat menghambat profesionalisme TNI ke depan serta memberikan celah bagi kembalinya TNI ke ranah politik praktis.

Kata kunci: kontrol sipil, layering, status quo, MEF

ABSTRACT

This article argues that civilian government effort to establish policy change on the defense sector in post-New Order Indonesia has been conducted through the so-called layering mechanism. Theoretically, layering mechanism operates in typical conditions found in transition democracy i.e. large number of veto players and lower discretion of interpretation/implementation in the targeted institution. Thus, establishing change is conducted by adding new elements alongside the existing status quo elements. By using descriptive analysis on the MEF (Minimum Essential Force) policy in the period of 2010-2014, this article finds that the application of layering mechanism through MEF policy was relatively free from resistance by the status quo defenders in Indonesia’s

*Penulis adalah Dosen di Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie dan kandidat doktor ilmu politik di Ruprecht-Karls-Universitat Heidelberg, Jerman.

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

defense sector. This was made possible since weapon modernization program that ser- ves as the core of MEF policy adds new incentive towards the existing status quo, which conforms to military preference regarding its organizational survival. Nevertheless this article highlights detrimental effect embedded within the layering mechanism i.e. low level of compliance towards the new element of change. Since status quo remains intact, the military or TNI (Indonesian National Armed Forces) maintains their domi- nation during the formulation and implementation process without effective oversight from civilian side. In the case of MEF, this condition leads to policy inconsistencies which may impede the future of TNI profesionalism and thus, provide space for TNI recurrence in political arena.

Keywords: civilian control, layering, status quo, MEF DOI: https://doi.org/ 10.7454/jp.v2i2.117

PENDA HU LUA N Kontrol sipil atas militer (civilian control of the military) telah menjadi

variabel penting dalam studi-studi mengenai transisi demokrasi (Ste- pan 1988; Przeworski 1991; Diamond dan Plattner 1996; Bruneau dan Tollefson 2006; Croissant, Kuehn, Lorenz dan Chambers 2013). Mes- kipun demikian, literatur yang menjelaskan hubungan antara kontrol sipil atas militer di negara yang baru mengalami transisi demokrasi dengan dinamika kebijakan di sektor pertahanan nasional masih sangat terbatas (Bruneau dan Matei 2012; Croissant dan Kuehn 2017, lihat juga Mushlih dan Hurriyah 2016). Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang dimulai sejak jatuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998 telah menjadi bagian integral dari agenda demokratisasi di Indo- nesia. Meskipun ada beberapa isu yang belum tuntas, konsensus yang kemudian berkembang di kalangan para perumus kebijakan dan para analis merujuk pada capaian yang sangat signifikan dalam reformasi TNI (Kompas 2008; Nugroho 2010). Bagi para perumus kebijakan, kon- sensus ini menandai adanya pergeseran paradigma dalam konteks hu- bungan-sipil militer di Indonesia pasca reformasi dari “reformasi TNI” ke arah “transformasi pertahanan” yang menekankan pada perubahan cara pandang dalam tubuh TNI-terkait doktrin, personil, organisasi, pe- latihan dan pendidikan, logistik, dan peran-untuk meningkatkan efekti- vitasnya sebagai alat pertahanan negara (Laksmana 2010, 2; Rüland dan Manea 2012). Artinya, tuntutan reformasi untuk menghapus peran so- sial-politik yang dahulu dimiliki oleh TNI diasumsikan sudah sebagian

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

199 besar dipenuhi dan sudah saatnya pemerintah mendorong penguatan

profesionalisme militer dalam tubuh TNI. Periode kedua pemerintah- an di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-selanjutnya disebut Presiden SBY-merespon dengan cepat perubahan paradigma tersebut. Dengan menerbitkan Peraturan Presiden No 41 Tahun 2010 tentang kebijakan umum pertahanan negara, Presiden SBY menawarkan kebi- jakan MEF (Minimum Essential Force) sebagai fokus dari modernisasi kekuatan tempur TNI untuk jangka panjang. Dalam perkembangan- nya, Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengklaim bahwa pelaksa- naan MEF tahap I tahun 2010-2014 telah memenuhi target renstra (rencana strategi) yang ditetapkan, bahkan melebihi (Putra 2014).

Namun jika kita mencermati dinamika pelaksanaan MEF tahap

I secara komprehensif, maka landasan empirik atas klaim kesuksesan tersebut patut dipertanyakan. Pengadaan alutsista dalam MEF tahap I diwarnai oleh beberapa skandal seperti terbakarnya pesawat F-16 hibah dari Amerika Serikat, pembelian ratusan MBT Leopard yang terkesan terburu-buru, dan terbongkarnya kasus korupsi yang merugikan ne- gara jutaan dolar AS dalam pengadaan hibah pesawat F-16. Kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan utama bagaimanakah sebe- narnya upaya pemerintah Indonesia mendorong perubahan di sektor pertahanan nasional lewat kebijakan MEF tahap I tahun 2010-2014? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bagian kedua tulisan menyajikan kerangka analisis yang terbagi atas dua kajian teoritik. Kajian teoritik pertama akan menjelaskan relasi antara kontrol sipil atas militer dan kebijakan pertahanan dalam konteks transisi demokrasi. Sejauh apa pemerintah sipil yang terpilih secara demokratis dapat secara leluasa memformulasikan kebijakan pertahanan menjadi fokus dalam bagian tersebut. Untuk menjelaskan mekanisme kausal antara kontrol sipil atas militer dengan arah perubahan di sektor pertahanan maka dalam kajian kedua dijelaskan tentang teori perubahan institusional secara gradual (gradual institutional change) (Mahoney dan Thelen 2010) yang men- jadi acuan teoritis. Berdasarkan teori tersebut, tulisan ini berargumen bahwa perubahan kebijakan pertahanan di Indonesia lewat kebijakan MEF pada dasarnya menggunakan mekanisme layering. Hal ini di-

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

sebabkan oleh besarnya potensi veto dalam arena politik di Indonesia dan kecilnya ruang diskresi kebijakan di sektor pertahanan. Bagian selanjutnya menjabarkan secara lebih detil argumen tersebut melalui penjelasan atas potensi veto di arena politik dan dominasi TNI dalam perumusan kebijakan di sektor pertahanan serta menelaah formulasi dan implementasi MEF tahap I dari tahun 2010 hingga 2014. Bagian akhir tulisan kemudian menyimpulkan temuan analisa secara keselu- ruhan dan potensi implikasinya terhadap kondisi hubungan sipil-militer di Indonesia.

KON T ROL SIPI L , K EBIJA K A N PERTA H A NA N, DA N PERUBA H A N I NST I T USIONA L

Secara konseptual, kontrol sipil atas militer merujuk pada kemampuan elite sipil yang terpilih secara demokratis untuk melaksanakan segala kebijakan negara tanpa intervensi dari pihak militer (Agüero 1995; Trin- kunas 2001). Artinya, seluruh keputusan negara harus diformulasikan dan diawasi pelaksanaannya oleh otoritas sipil yang memiliki legitima- si politik secara demokratis (Kohn, 1997). Croissant dkk (2013: 29-32) memformulasikan lima area kebijakan negara yang dapat dijadikan indikator kontrol sipil atas militer di negara demokratis dengan meng- ukur sejauh mana kekuasaan untuk memformulasikan dan mengambil keputusan didistribusikan antara pihak sipil dan militer, yakni: rekrut- men elite, kebijakan publik, keamanan domestik, pertahanan nasional, dan organisasi militer.

Idealnya, sebuah negara yang demokratis memiliki dominasi sipil atas militer di kelima area kebijakan tersebut. Akan tetapi, negara- -negara yang baru mengalami transisi demokrasi dianggap memiliki kebutuhan kontrol sipil atas militer yang agak sedikit berbeda. Dalam perspektif teoretis, fase transisi demokrasi di sebuah negara akan dica- pai ketika ada kesepakatan yang memadai mengenai prosedur politik untuk menghasilkan pemerintahan yang terpilih, ketika pemerintahan yang berkuasa adalah hasil dari proses pemilu yang bebas dan populer, ketika pemerintahan tersebut secara de facto memiliki kuasa untuk menghasilkan kebijakan baru, dan ketika kekuatan eksekutif, legislatif

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

201 dan yudikatif yang dihasilkan lewat proses demokratis tidak berbagi

kekuasaan dengan institusi lain secara de jure (Linz dan Stepan 1996, 3). Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa rekrutmen elite, kebijakan publik, dan keamanan domestik menjadi tiga area kebijakan yang men- desak untuk dikuasai secara penuh oleh pemerintah sipil di negara yang baru mengalami transisi demokrasi. Ketiga area ini berkontribusi besar dengan kualitas nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan sipil dan legi- timasi pemerintah lewat pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil, pe- laksanaan program-program pembangunan, serta adanya perlindungan terhadap kebebasan berpendapat oleh aparat penegak hukum (Croissant dkk 2013). Sementara itu, pertahanan nasional dan organisasi militer dianggap tidak berdampak secara langsung terhadap keberlangsungan rezim demokrasi yang baru tumbuh. Kedua area kebijakan tersebut berkaitan erat dengan fungsi utama militer sebagai alat negara yang memiliki kompetensi pengetahuan dan kemampuan khusus untuk pe- rang (Croissant dkk 2013, 40). Artinya, hak prerogatif militer di kedua bidang tersebut masih diperlukan karena terkait langsung dengan fungsi utama militer sebagai alat negara yang menangkal dan melawan segala bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara.

Namun permasalahan muncul ketika elemen-elemen lama dalam kebijakan di sektor pertahanan nasional yang dahulunya dijadikan rezim otoriter sebagai instrumen represi terhadap kebebasan politik ternyata tidak tersentuh oleh arus proses demokratisasi. Militer pada dasarnya bukan merupakan subjek dari akuntabilitas elektoral layaknya elite pemerintahan namun secara riil memiliki kuasa khusus sebagai kekuatan negara yang sah dalam menggunakan kekerasan (Valenzuela 1992). Jika instrumen-instrumen represif yang dimiliki oleh militer ma- sih menjadi bagian dari sektor pertahanan nasional maka bukan tidak mungkin proses konsolidasi demokrasi terancam gagal. Kondisi di atas terefleksikan dalam rekam jejak demokratisasi di Indonesia. Sejak tahun 1999, agenda demokratisasi di Indonesia telah berhasil melaksanakan proses pemilihan umum dan presiden secara demokratis dan berkala. Dalam konteks hubungan sipil-militer, dihapuskannya keberadaan frak- si ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dalam lembaga legis-

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

latif dan pembatasan yang lebih ketat terhadap perwira TNI aktif untuk mengisi jabatan sipil telah meningkatkan kapabilitas pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis untuk membuat kebijakan publik tanpa dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan intervensi oleh pihak militer (Mietzner 2013). Namun, struktur komando teritorial yang pada masa rezim otoritarian Orde Baru menjadi alat ampuh untuk mengawasi aktivitas politik masyarakat masih tetap dipertahankan dalam postur pertahanan negara (Mietzner 2006). Selama masih memiliki instrumen represif yang terstruktur hingga tingkat desa, maka ancaman kembali- nya TNI ke ranah politik akan tetap ada.

Masalah lainnya adalah terkait dengan kemampuan untuk meres- pon dinamika lingkungan strategis secara cepat dan terukur. Ketika sebuah negara yang baru saja mengalami transisi demokrasi dihadapkan dengan bentuk-bentuk ancaman yang berbeda, maka kebutuhan untuk melakukan inovasi militer menjadi sangat mendesak. Posen (1984, 224) berpendapat bahwa inovasi di tubuh militer hanya dimungkinkan oleh dua hal, yakni ketika organisasi militer mengalami kesalahan besar (seperti kekalahan dalam perang) atau elite sipil dengan wewenang yang memiliki legitimasi kuat melakukan intervensi untuk mendorong inovasi di tubuh militer. Seperti yang dijelaskan di atas, negara yang baru mengalami transisi demokrasi secara relatif memiliki wewenang sipil yang terbatas di sektor pertahanan dikarenakan prioritas kontrol sipil atas militer lebih diutamakan pada area kebijakan yang berkaitan langsung dengan keberlangsungan sistem demokrasi. Ini kemudian me- nimbulkan pertanyaan, apakah pihak militer kemudian bisa mendorong perubahan signifikan di sektor pertahanan yang selama ini membe- rikan insentif untuk menyokong keberlangsungan organisasi mereka? Pertanyaan tersebut juga hadir dalam konteks transisi demokrasi di In- donesia. Masih dipertahankannya komando teritorial mencerminkan bahwa TNI masih berpegang teguh pada doktrin pertahanan semesta dengan model perang teritorial yang dianut sejak masa perang revolusi kemerdekaan. Singkatnya, perkembangan doktrin pertahanan Indonesia mengalami stagnansi (Widjajanto 2013). Padahal meningkatnya bentuk ancaman-ancaman non-tradisional dan potensi konflik di Laut Tiong-

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

203 kok Selatan mengisyaratkan akan pentingnya inovasi dalam tataran

doktrinal dan operasional militer. Berkaca pada kondisi tersebut, akan muncul pertanyaan seperti apakah kita menjelaskan upaya pemerintah sipil di negara yang baru mengalami transisi demokrasi untuk mendorong terjadinya perubah- an di sektor pertahanan secara sistematis. Hal yang harus dipahami sejak awal adalah bahwa kontrol sipil atas militer di rezim otoriter dan rezim demokratis memiliki perbedaan yang substansial. Rezim otori- ter seringkali menempatkan kontrol sipil atas militer melalui jaringan personal kekuasaan. Sedangkan, kontrol sipil dalam rezim demokratis harus diinstitusionalisasikan (Trinkunas 2005). Institusionalisasi dalam relasi antar aktor dapat dipahami sebagai sebuah proses normalisasi dan pemberian legitimasi atas sebuah relasi antar aktor yang kemudian menjadi sebuah konvensi politik bersama (Pion-Berlin 1997, 20). Arti- nya, institusionalisasi supremasi sipil atas militer harus bersifat formal, termaktub, dan mengakar dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan prinsip rule of law. Berangkat dari pemahaman ini, upaya menciptakan sebuah kontrol sipil yang demokratis atas militer dapat dipahami sebagai sebu-

ah proses perubahan institusional (institutional change) yang merujuk pada kapabilitas sipil untuk mengambil tindakan strategis atau meka- nisme tertentu guna menjamin adanya supremasi sipil di semua ranah pengambilan kebijakan negara (Croissant dkk 2011). Secara empiris, pilihan strategis apa yang diambil oleh otoritas sipil untuk mendorong perubahan atas dominasi militer di berbagai sektor kebijakan kemudian bergantung pada kondisi struktural yang ada di negara tersebut.

Institusi (institution) dapat didefinisikan sebagai prosedur formal atau informal, rutinitas, norma-norma, dan konvensi yang mengakar dalam struktur organisasi sebuah entitas politik (Hall dan Taylor 1996, 938). Artinya, institusi dapat dipahami sebagai sebuah aturan yang membe- rikan struktur insentif bagi bentuk perilaku yang dimungkinkan atau tidak dimungkinkan dari aktor-aktor di dalamnya (North 1990). Analisis mengenai perubahan institusional (institutional change) kemudian ter- pusat pada sejauh mana aktor-aktor berinteraksi dengan elemen-elemen

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

status quo yang berlaku di sebuah institusi untuk mendorong perubah- an. Adanya fokus terhadap institusi dan kaitannya dengan dinamika aktor-aktor di dalamnya kemudian dikenal sebagai pendekatan institusi baru (new institutionalism). Institusionalisme baru sendiri memiliki tiga varian pendekatan yakni rational choice institusionalism, sociological institustionalism, dan historical institutionalism (Hall dan Taylor 1996). Sayangnya, ketiga pendekatan ini lebih banyak menawarkan penjelasan teoretis yang menekankan pada keberlanjutan (continuity) ketimbang menguraikan proses terjadinya perubahan (institutional change) dalam sebuah institusi. Rational choice institutionalism misalnya berpendapat bahwa institusi relatif tidak akan berubah karena berfungsi sebagai me- kanisme koordinatif antara aktor-aktor untuk mencapai kondisi keseim- bangan (equilibrium) insentif. Ketika kondisi ini tercapai, maka institusi akan terkunci dan perubahan hanya dimungkinkan melalui intervensi eksternal atau dikenal sebagai exogenous shock (Greif dan Laitin 2004, 633). Meskipun berasal dari tradisi yang berbeda, sociological instituti- onalism juga mengasumsikan perubahan institusi dapat terjadi melalui intervensi eksternal melalui penetrasi kerangka interpretatif baru dari luar institusi (DiMaggio dan Powell 1983). Namun, pendekatan ini ti- dak menjelaskan lebih lanjut sejauh mana kerangka baru tersebut dapat mengarah ke perubahan institusional. Historical institutionalism yang baru berkembang dalam dua dekade terakhir juga lebih banyak mene- kankan pada aspek keberlanjutan institusi melalui konsep path-depen- dence (Thelen 1999; Mahoney 2000). Perubahan institusional, menurut pendekatan ini, dapat terjadi dalam periode critical junctures dalam alur perkembangan sejarah yang merujuk pada sebuah kondisi ketidakpasti- an (uncertainty) yang mendorong para aktor untuk mengambil sebuah keputusan dalam sebuah institusi yang kemudian mengubah arah per- kembangan institusi secara signifikan (Capoccia 2016). Permasalahan- nya, tidak ada sebuah kesepakatan teoritik mengenai operasionalisasi konsep critical junctures tersebut. Masih kaburnya argumentasi teoritik mengenai perubahan institusional kemudian melatarbelakangi lahirnya teori perubahan institusi secara gradual (gradual institutional change) oleh Mahoney dan Thelen (2010). Berakar pada pendekatan historical

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

205 institutionalism, teori ini mengklasifikasikan mekanisme perubahan

institusi berdasarkan perlakuannya terhadap status quo atau old rules yang berlaku di sebuah institusi seperti terekam dalam tabel berikut.

Tabel 1. Mekanisme Perubahan Institusi

Drift Conversion Removal of old rules

Displacement Layering

No No Neglect of old rules

Yes

No

Yes No Changed impact/enactment of old rules

NA

No

Yes No Introduction of new rules

No No Sumber: (Mahoney dan Thelen 2010, 16).

Yes

Berdasarkan tabel tersebut ada empat bentuk interaksi yang dimungkin- kan yakni: menghapus status quo; mengabaikan status quo; mengubah dampak/implementasi dari status quo; dan menempatkan aturan/ele- men baru dalam status quo. Mekanisme displacement mengacu pada mekanisme perubahan yang mengganti (perubahan total) status quo dengan aturan baru. Secara empiris, displacement dapat terjadi secara cepat ketika institusi lama mengalami kehancuran secara masif dan di- gantikan dengan institusi baru. Selain itu, mekanisme ini dapat terjadi secara lamban ketika aktor-aktor yang dirugikan oleh status quo mela- kukan perubahan total terhadap institusi lama (Mahoney dan Thelen 2010). Meskipun berbeda secara temporal, kedua bentuk perubahan ini sama-sama berpusat pada kondisi di mana aturan-aturan tradisio- nal didiskreditkan dan dimarjinalkan sepenuhnya demi kemunculan sebuah institusi baru (Streeck dan Thelen 2005, 20). Sementara itu me- kanisme layering mengambil bentuk penambahan aturan-aturan baru pada institusi yang ada namun tanpa menghapuskan sepenuhnya status quo. Layering secara empirik hanya mengamandemen, merevisi, atau menambahkan aturan baru ke dalam status quo yang ada (Mahoney dan Thelen 2010, 16; Rocco dan Thurston 2014). Mekanisme berikut- nya adalah drift yang sama sekali tidak menghapus status quo ataupun menambahkan aturan-aturan baru. Dalam mekanisme ini, para aktor membiarkan status quo berjalan sebagai mana mestinya dan menggan- tungkan pada dinamika lingkungan sekitar untuk mengubah dampak dari aturan lama tersebut (Mahoney dan Thelen 2010; Hacker, Thelen

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

dan Pierson 2013). Terakhir, mekanisme conversion juga tidak mengha- pus atau menggantikan status quo, namun hanya mengubah dampak- nya. Berbeda dengan mekanisme drift, conversion menekankan pada pentingnya peran aktif para aktor untuk mengeksploitasi aturan yang ambigu dalam status quo sehingga dampaknya berubah demi kepen- tingan mereka (Mahoney dan Thelen 2010; Hacker, Thelen dan Pier- son 2013; Rocco dan Thurston 2014). Conversion melakukan rekalibrasi atas institusi yang ada melalui re-interpretasi, wewenang pengalihan, atau peninjauan kembali (Hacker, Thelen dan Pierson 2013, 8). Secara garis besar keempat mekanisme ini mengasumsikan bahwa perubahan institusional dapat terjadi melalui tiga tindakan: menghapus status quo dan menggantinya dengan yang baru; membiarkan status quo namun menambahkan aturan-aturan baru didalamnya; atau membiarkan status quo sama sekali. Lebih lanjut, teori perubahan institusional gradual memformulasikan dua faktor yang akan mempengaruhi pilihan aktor atas mekanisme-mekanisme diatas yakni: konstelasi veto dalam arena politik dan derajat diskresi dalam institusi yang ditargetkan (Gambar 1).

Gambar 1. Konstelasi Veto, Karakter Institusi Target, dan Mekanisme Perubahan

Characteristics of the targeted Institution Low level of discretion

High level of discretion in interpretation/

in interpretation/

Strong veto possibilities

Layering

Drift

of the political context

Weak veto possibilites

Displacement

Conversion

Sumber: (Mahoney dan Thelen 2010, 19).

Faktor yang pertama adalah konstelasi veto. Konstelasi veto menga- sumsikan bahwa potensi veto yang besar terjadi ketika secara empiris terdapat aktor-aktor yang memiliki akses untuk instrumen institusional atau extra-institusional untuk menghalangi perubahan dalam sebuah institusi (Mahoney dan Thelen 2009, 19). Ukuran potensi veto terkait erat dengan konfigurasi jumlah veto player yang ada dalam sebuah sistem politik. Tsebelis mendefinisikan veto player sebagai aktor kolektif

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

207 atau individu yang persetujuannya dibutuhkan untuk mengganti status

quo dalam proses pengambilan kebijakan (Tsebelis 2000). Dalam hal ini, konfigurasi veto player di sebuah negara dapat dilakukan dengan melihat pada desain institusional (konstitusi) yang ada -misalnya pre- siden dan parlemen- atau juga merupakan hasil dari distribusi yang partisan -misalnya jumlah partai di pihak koalisi atau dalam kondisi tertentu jumlah partai secara keseluruhan di parlemen. Secara seder- hana, potensi veto yang besar direfleksikan dari meningkatnya jum- lah veto player. Semakin banyak veto player, maka semakin sulit untuk mengubah secara radikal sebuah kebijakan yang berlaku (status quo) karena membutuhkan persetujuan semua veto player yang ada (Tse- belis 2002). Kondisi ini kemudian membatasi pilihan atas mekanis- me displacement dan conversion. Sebaliknya, mekanisme layering dan drift memiliki peluang yang lebih baik untuk mendorong perubahan institusional. Hal ini dikarenakan dalam kedua mekanisme tersebut, para aktor yang menginginkan perubahan tidak harus berorientasi pada mengganti status quo ataupun mengubah pola implementasinya. Faktor yang kedua adalah derajat diskresi dalam interpretasi/penegakan aturan dari institusi. Pertanyaan utama dari faktor ini adalah sejauh mana in- stitusi yang ingin diubah bersifat terbuka terhadap interpretasi berbeda dan variasi dalam implementasi aturannya (Mahoney dan Thelen 2009, 20). Mengacu pada tipologi mekanisme perubahan institusional yang dijelaskan sebelumnya, maka layering dan displacement berpotensi le- bih besar untuk digunakan dalam kondisi ketika terdapat sedikit sekali celah di institusi target yang mengijinkan adanya interpretasi berbeda atas status quo atau implementasinya. Sebaliknya, drift dan conversion akan berpotensi muncul pada kondisi ketika institusi target membe- rikan celah lebih besar untuk interpretasi alternatif atau modifikasi implementasi status quo.

Secara umum, teori perubahan institusi gradual yang dikemukakan di atas memberikan sebuah kerangka konsep yang lebih sistematis me- ngenai mekanisme perubahan institusi. Yang tidak kalah pentingnya, teori ini mengakomodasi secara eksplisit faktor-faktor yang memung- kinkan terjadinya perubahan dari pihak eksternal (konstelasi veto pla-

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

yer) dan internal institusi (derajat diskresi dalam institusi). Berdasarkan kerangka teoretis tersebut, artikel ini berpendapat bahwa pemerintah Indonesia mendorong perubahan kebijakan pertahanan di era pasca Orde Baru melalui mekanisme layering sebagai akibat dari adanya po- tensi veto yang besar dan celah diskresi yang kecil di sektor pertahanan seperti yang diuraikan secara lebih rinci dalam penjelasan selanjutnya.

METODE PEN EL I T I A N Untuk mendeskripsikan seperti apa penggunaan mekanisme layering

dalam mendorong perubahan kebijakan pada sektor pertahanan Indo- nesia pada masa pasca Orde Baru lewat kebijakan MEF maka tulisan ini menggunakan pendekatan studi kasus (case study). Secara operasi- onal, pendekatan studi kasus melakukan investigasi empirik terhadap sebuah fenomena (atau kasus) secara mendalam dan kontekstual (Yin 2014, 16). Tujuan utamanya adalah memberikan penjelasan kualitatif mengenai sebuah fenomena sosial (kasus) sesuai proposisi teoretis yang diformulasikan (George dan Bennet 2005; Gerring 2007). Teknik pe- ngumpulan data dalam penelitian ini adalah studi literatur. Data yang dikumpulkan berupa dokumen pemerintah, hasil riset sebelumnya yang terkait dengan topik, dan pemberitaan media massa online.

V E T O DA N DISK R ESI DA L A M SEK T OR PERTA H A NA N I ND ON ESI A

Literatur utama dalam studi hubungan-sipil militer menyepakati bahwa salah satu prasyarat bagi keberhasilan kontrol sipil atas militer di negara- -negara yang bertransisi menuju demokrasi adalah tingkat kohesivitas yang tinggi antar kelompok sipil di dalam pemerintahan demokratis yang berkuasa (Avant 1994; Pion-berlin 1997; Desch 1999; Croissant dkk 2013). Meskipun demikian, prasyarat ini seringkali menimbulkan situasi dilematis ketika transisi demokrasi justru membuka keran ke- bebasan politik seluas-luasnya. Akibatnya, demokratisasi melahirkan konfigurasi veto player yang memiliki potensi besar untuk mengurangi tingkat policy decisiveness sebuah sistem politik.

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

Tabel 2. Pemilu dan ENPP di Indonesia

Pemilu

Jumlah Parpol di Parlemen

Sumber: (Kartawidjaya dan Aminuddin 2015).

Salah satu pendekatan sederhana yang digunakan untuk melihat se- berapa besar potensi veto dalam sistem politik adalah dengan melihat kekuatan relatif dari partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen melalui rumusan ENPP (effective number of parliamentary party) (La- akso dan Taagepera 1979). Indonesia memiliki angka ENPP yang besar dan memiliki tren meningkat sejak pemilu tahun 1999 (Tabel 2). Ini artinya, upaya untuk membentuk koalisi pemerintahan yang stabil sa- ngatlah sulit. Jika angka ENPP ini dicocokkan dengan klasifikasi sistem kepartaian yang diformulasikan oleh Siaroff (2000), maka sejak tahun 1999 Indonesia memiliki sistem multipartai yang ekstrem dengan ca- tatan pada tahun 1999 merupakan model extreme multiparty with two main parties dan sisanya adalah extreme multiparty with balance among the parties. Kekuatan partai-partai di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) semakin berimbang dan menghambat konsistensi koalisi untuk men- dukung kebijakan pemerintah yang berkuasa seperti yang tercermin dari dua periode kepemimpinan Presiden SBY. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan untuk mendorong perubahan signifikan di segala bidang, tidak terkecuali di sektor pertahanan. Perubahan kebijakan yang substansial di sektor pertahanan dapat terjadi jika status quo di sektor pertahanan Indonesia saat ini, yaitu doktrin Sishanta (sistem pertahanan semesta) diubah agar lebih sesuai dengan konteks geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang dimiliki atau maraknya bentuk-bentuk ancaman asimetris. Doktrin Sishanta sendiri lahir pada masa perang kemerdekaan dan masih bertahan hingga sekarang. Doktrin pertahan- an ini menekankan pada pada mobilisasi sumber daya nasional, gelar kekuatan defensif aktif, model pertahanan berlapis, strategi pertahanan teritorial dan perang gerilya yang secara historis lebih banyak bertumpu pada pertahanan darat (Widjajanto 2010). Perubahan doktrin Sishanta, misalnya, dapat dilakukan dengan merevisi substansi dari UU No 3

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan UU No 34 tahun 2004 tentang TNI. Tentunya, revisi tersebut membutuhkan dukungan koa- lisi yang stabil untuk dapat diloloskan sebagai legislasi baru. Dengan komposisi veto players yang banyak dan relatif berimbang, tarik-menarik kepentingan sudah pasti terjadi dan proses revisi akan berlarut-larut dengan ongkos politik yang tinggi. Di sisi lain, upaya untuk mendo- rong perubahan radikal di sektor pertahanan tentunya juga menghadapi masalah lain, yakni potensi penolakan dari tubuh TNI. Harus diakui bahwa peran politik praktis TNI sudah sangat dibatasi sejak reformasi TNI menghasilkan adanya UU Pertahanan Negara dan UU TNI. Akan tetapi, peraturan perundang-undangan yang disebut terakhir menem- patkan posisi Panglima TNI sejajar dengan kementerian lainnya di dalam kabinet. Artinya, selain partai politik di pemerintah dan DPR, Panglima TNI pun memiliki kapabilitas untuk melakukan suspension veto baik itu di dalam kabinet dengan menunda upaya perubahan sta- tus quo di pihak pemerintah, maupun dalam relasinya dengan DPR sebagai mitra kerja ketika usulan perubahan muncul melalui legislasi (lihat misalnya Mietzner 2013, 104).

Hambatan untuk mendorong perubahan substansial terhadap status quo di sektor pertahanan kemudian juga dapat dilihat dari desain ke- lembagaan di sektor pertahanan. Kementerian Pertahanan (Kemhan) dan Markas Besar (Mabes) TNI merupakan aktor yang utama dalam proses formulasi dan implementasi kebijakan di sektor pertahanan. Mes- kipun demikian, agenda reformasi TNI yang digulirkan sejak jatuhnya rezim otoriter Orde Baru tidak mampu menginstitusionalisasikan corak sipil yang lebih kuat dalam organisasi Kementerian Pertahanan. Prinsip kontrol sipil atas militer menegaskan bahwa kementerian pertahanan di negara-negara demokratis seharusnya menjadi aktor utama dalam sektor pertahanan yang berperan untuk menerjemahkan preferensi kebijakan pemerintah sipil kepada komando militer. Menurut Pion-Berlin (2009, 564) birokrasi pertahanan bukan hanya sebatas locus dari hubungan sipil-militer, namun merupakan instrumen kekuasaan yang mampu menghadirkan supremasi sipil yang demokratis atas militer. Kehadiran sipil yang signifikan dalam posisi-posisi strategis di tubuh kementeri-

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

211 an pertahanan sebuah negara menjadi sebuah keharusan karena ke-

menterian pertahanan menggambarkan relasi kuasa antara pihak sipil dan militer dalam tingkatan yang lebih operasional (Pion-Berlin 2009; Croissant dkk 2013). Artinya, keberadaan sipil dalam jabatan-jabatan strategis di birokrasi pertahanan diperlukan untuk menetapkan sejauh mana militer memiliki hak prerogatif terkait kebijakan di sektor perta- hanan dan mengevaluasi sejauh mana preferensi pemerintah dijalankan oleh militer.

Asumsi ideal ini bertolak belakang dengan kondisi di Kementerian Pertahanan di Indonesia (selanjutnya disebut Kemhan) sejak masa re- formasi (lihat Tabel 3). Komposisi sipil dan militer dalam posisi Men- teri Pertahanan mungkin lebih berimbang, terutama jika diasumsikan bahwa purnawirawan bukanlah perwira aktif. Sejak tahun 1999, dari sembilan posisi Menteri Pertahanan, lima di antaranya berlatarbelakang sipil dan sisanya adalah purnawirawan TNI. Akan tetapi, tidak ada aturan dalam UU Pertahanan Negara yang mewajibkan posisi Mente- ri Pertahanan diisi oleh kalangan sipil. Artinya, sewaktu-waktu posisi tersebut dapat diisi oleh perwira aktif.

Apabila kita melihat ke level strategis yang berada langsung di bawah menteri maka dominasi perwira tinggi TNI dalam birokrasi Kemhan sangat terlihat nyata pada level strategis setingkat Eselon 1 (Tabel 3). Kondisi tersebut dimungkinkan karena pasal 47 (butir 2 dan 3) dalam UU TNI memperbolehkan prajurit aktif TNI untuk mengisi posisi di kementerian/lembaga negara yang terkait dengan sektor pertahanan dan penegakan hukum apabila diminta oleh kementerian/lembaga negara yang bersangkutan. Sebagai prajurit TNI, para perwira tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Mabes (Markas Besar) TNI. Konflik kepentingan terkait posisi perwira TNI dalam tubuh Ke- mhan tentunya tidak dapat dihindari. Apabila merujuk pada prinsip garis komando dalam struktur organisasi kemiliteran maka loyalitas terkuat para perwira akan berpusat pada Panglima TNI. Secara strate- gis, melalui dominasi perwira pada birokrasi Kemhan, TNI dapat lebih leluasa untuk mempertahankan status quo yang ada dari agenda-agenda perubahan baik itu di tingkat formulasi maupun implementasi kebijak-

Tabel 3. Komposisi Jabatan Strategis di Kementerian Pertahanan 1999-2015

Dirjen Strategi Pertahanan a Tahun

Menteri Pertahanan

Inspektur Jenderal

Sekretaris Jenderal

S/M

Pangkat Tahun

Pangkat Tahun

S/M Pangkat

M Mayjen 2000-2001

1999-2000 S

n/a

1999-2002

Letjen (Mar) 1999-2001

Letjen

2001-2005

M Mayjen Juli-Agustus 2001

M Mayjen Agustus 2001-Agustus 2003 S

M (purn) b Jend

M Mayjen Agustus 2003-2004

M Mayjen 2004-2009

M (purn) b Letjen

2007-2009

Letjen (Mar) 2010-2013

Marsdya 2013-2014

M Mayjen 2009-2014

2010-2014 (Wamenhan) c M (purn)**

2014-… M (purn)

JU R Dirjen Perencanaan Pertahanan a Dirjen Potensi Pertahanan a Dirjen Kekuatan Pertahanan a Dirjen Sarana Pertahanan a,d

N A Tahun

S/M

Pangkat Tahun

Pangkat Tahun

S/M pangkat

LP

M Mayjen L O 2001-2005

1999-2001 M

M Mayjen IT 2005-2007

M Marsda IK 2007

M Marsda O V , 2007-2010

M Laksda L 2010-2012

M Mayjen . 2, 2012-2013

M Laksda NO 2013-2014

M Laksda . 2014-…

Ket: S(sipil), M(militer)

Sumber: (Gunawan 2017, 137-138).

I 20 17

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

213 an pertahanan khususnya dari pihak eksternal TNI. Hal ini kemudian

terekam dalam dinamika formulasi dan implementasi kebijakan MEF tahun 2010-2014 pada masa Pemerintahan Presiden SBYseperti yang diuraikan sebagai berikut.

FOR MU L A SI DA N I M PL EMEN TA SI MEF 2010 -2014 Dalam periode kepemimpinannya, Presiden SBY berhadapan dengan

dua kondisi yakni besarnya potensi veto di arena politik dan rendahnya derajat diskresi dalam interpretasi atau implementasi kebijakan perta- hanan. Meskipun berlatar belakang militer dan memiliki karir yang cemerlang selama mengabdi di TNI, Presiden SBY tetap tidak mampu mendorong perubahan kebijakan yang sangat substansial dalam sektor pertahanan. Dengan belum dibentuknya Dewan Pertahanan Nasio- nal yang diamanatkan oleh UU Pertahanan Negara sebagai penasihat presiden di bidang pertahanan dan keamanan, maka secara praktis formulasi kebijakan pertahanan negara hanya melibatkan Presiden, Ke- mhan, dan Mabes TNI. Pada tahun 2008, Kemhan menerbitkan Buku Putih Pertahanan negara yang mencakup doktrin, strategi, kebijakan pertahanan, dan proyeksi pengembangan postur pertahanan. Berse- lang dua tahun kemudian, Presiden SBY menerbitkan sebuah Perpres tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara tahun 2010-2014. Secara substansial Perpres tersebut tidak jauh berbeda dengan Buku Putih 2008 yang diterbitkan oleh Kemhan. Dikarenakan proses formulasi ke- bijakan di sektor pertahanan sebagian besar dilakukan oleh Kemhan -yang didominasi oleh perwira TNI- maka tidak ada perubahan radikal dalam orientasi kebijakan pemerintah di sektor pertahanan. Doktrin dasar pertahanan negara “sishanta” hanya mengurangi kata “keaman- an rakyat” dari doktrin “sishankamrata” yang digunakan semasa rezim Orde Baru. Artinya, para perumus kebijakan pertahanan di Indonesia masih tetap berpegang teguh pada pertahanan semesta dengan strategi perang teritorial yang sebagian besar berporos pada kekuatan pertahan- an darat dan mobilisasi rakyat sipil untuk menghadapi musuh (Widja- janto 2013). Singkatnya, status quo dalam kebijakan negara di bidang pertahanan tetap dipertahankan. Idealnya, inovasi doktrin pertahanan

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

dilaksanakan secara berkala sebagai bentuk respons terhadap kondisi lingkungan strategis dan dinamikanya. Dalam kasus Indonesia, modal geografis sebagai negara maritim seharusnya mendapatkan perhatian lebih banyak dalam pengembangan postur pertahanan di masa depan. Namun dominasi matra darat di tubuh TNI dan Kemhan yang sangat kuat telah menyebabkan rendahnya prioritas untuk melakukan moder- nisasi kekuatan tempur di wilayah maritim (Raymond 2017). Bahkan sejak tahun 1999 Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan yang memiliki tupoksi untuk merumuskan strategi pertahanan negara dan analisa ling- kungan strategis dalam organisasi Kemhan dipimpin oleh para perwira dari Matra Darat (Tabel 3).

Akan tetapi Presiden SBY mencoba menambahkan elemen baru dalam kebijakan pertahanan negara 2010-2014 yakni mendorong mo- dernisasi kemampuan tempur TNI melalui kebijakan MEF. Perpres 41/2010 menyebutkan bahwa kebijakan MEF memiliki tiga prioritas yaitu: peningkatkan kemampuan mobilitas setiap matra dalam tubuh TNI untuk memenuhi misi utamanya; pembentukan pasukan pemukul reaksi cepat (striking force); dan pembentukan pasukan siaga (standby force) untuk misi darurat (bencana alam) atau misi perdamaian dunia. Ketiga prioritas ini dilaksanakan guna mencapai apa yang disebut se- bagai kekuatan pokok minimum atau standar kekuatan militer dalam tingkatan minimum yang harus dipersiapkan untuk menunjang pe- laksanaan tugas pokok dan fungsi TNI dalam menghadapi ancaman aktual secara efektif. Kebijakan MEF kemudian secara strategis dilaksa- nakan dalam tiga tahap yakni: tahap I (2010-2014); tahap II (2015-2019); dan tahap III (2020-2024).

Pilihan untuk mengambil tingkatan minimum sendiri digunakan oleh pemerintah untuk menyesuaikan dengan kondisi anggaran negara yang belum mampu mendukung secara optimal pengembangan pos- tur yang ideal (Prabowo 2013). Dalam konteks keterbatasan tersebut, maka para perumus kebijakan pertahanan memperkenalkan model “flash-point” untuk menjembatani pengembangan postur militer me- lalui MEF dengan kondisi ancaman aktual. Dalam model flash-point tersebut, Kemhan pertama-tama mengembangkan lima (5) skenario

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

215 ancaman yang bervariasi, mulai dari keterlibatan kekuatan militer asing

dalam gerakan separatis domestik hingga kehadiran kekuatan militer asing untuk melawan terorisme di dalam wilayah kedaulatan Indonesia. Kemudian, kelima skenario tersebut didistribusikan ke 12 zona flash- -point seperti Aceh, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Selat Malaka, Papua, dan lain-lain (Laksmana 2011, 104). Kebijakan MEF dalam bentuk modernisasi alutsista TNI secara keseluruhan diharapkan dapat memenuhi operasionalisasi pertahanan model flash-point tersebut.

Hingga akhir tahun 2008, kesiapan kekuatan TNI dinilai masih jauh dari kondisi yang ideal (Bappenas 2010). Matra darat hanya me- miliki tingkat kesiapan yang rata-rata mencapai mencapai 68.85 %. Untuk matra laut sendiri tingkat rata-rata kesiapan kekuatan hanya se- kitar 46,27% dan matra udara 78,93%. Rendahnya kesiapan tempur tersebut disebabkan sebagian besar alutsista yang dimiliki TNI telah berusia tua atau memiliki usia pakai yang pendek. Sesuai RPJMN (Ren- cana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah, Kebijakan MEF pada tahap I (2010-2014) yang menjadi fokus periode analisis dalam penelitian ini diarahkan untuk moderni- sasi alutsista serta penggantian alutsista yang umur teknisnya sudah tua dan membahayakan keselamatan prajurit (Bappenas 2010, 7-23). MEF tahap I diharapkan dapat memenuhi porsi sebesar 25-27,5% dari postur kekuatan pokok minimum TNI yang mampu melaksanakan operasi gabungan trimatra dan memiliki efek gentar. Amanat dari RPJMN ini kemudian secara detail diatur dalam Peraturan Menteri Pertahanan No. 3 tahun 2010 tentang Rencana Strategis Pertahanan Negara tahun 2010-2014. Sayangnya, substansi yang diatur dalam Renstra tersebut tidak dapat diakses publik karena termasuk dalam daftar informasi yang dikecualikan di lingkungan Kemhan sejak 2011 untuk kurun waktu selama 15 tahun (3 renstra).

Secara garis besar, usulan MEF dalam kebijakan pertahanan nega- ra tidak mengalami banyak resistensi baik itu dari kekuatan politik di dalam eksekutif dan DPR maupun TNI di sektor pertahanan nasional. Komisi I DPR yang membidangi urusan pertahanan misalnya, sepakat mendukung implementasi renstra MEF tahap I yang diajukan oleh

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

Kemhan dan TNI dan tambahan anggaran yang dibutuhkan untuk memenuhi target akuisisi alutsista (Burhani 2010). Pihak TNI sebagai komponen utama dalam pertahanan negara juga bersikap akomoda- tif bahkan proaktif terhadap usulan kebijakan MEF. Alasan utamanya adalah kebijakan MEF tidak menegasikan survival interest dari TNI sebagai sebuah organisasi. Secara teoretis, preferensi militer terhadap sebuah kebijakan akan dipengaruhi oleh motivasinya untuk bertahan (survive) sebagai sebuah organisasi yang dimandatkan oleh negara untuk bertangggungjawab di bidang pertahanan nasional (Alagappa 2001; Hunter 2001; Trinkunas 2005). Dalam upaya mempertahankan survi- val interest tersebut, maka perilaku militer pada dasarnya dipengaruhi oleh dua orientasi yakni bagaimana memenangkan pertempuran dan bagaimana menjaga otonomi sebagai sebuah organisasi yang memiliki kemampuan khusus dalam pertahanan negara (Feaver 2003, 63). Ori- entasi pertama menekankan bahwa militer, di negara manapun, meng- inginkan kemenangan dalam setiap pertempuran, dan oleh karenanya segala kebijakan negara di sektor pertahanan harus selaras dengan cara pandang militer terkait ruang lingkup dan tempo peperangan di masa depan. Dalam kasus kebijakan MEF, status quo di sektor pertahanan, yakni doktrin pertahanan semesta dan strategi perang teritorial yang dipegang teguh oleh TNI sejak awal kemerdekaan, tidak mengalami perubahan yang substansial. Kedua elemen tersebut merupakan sum- bangan pemikiran dari TNI terhadap pertahanan negara yang dianggap merupakan model peperangan paling efektif di bawah kendali TNI untuk menghadapi segala macam bentuk ancaman sejak masa revo- lusi kemerdekaan (Sebastian 2006). Akibatnya, relatif tidak ada resis- tensi dari tubuh TNI terhadap kebijakan MEF. Tujuan yang kedua menyangkut otonomi organisasi militer. Pada dasarnya, pengetahuan dan kemampuan bertempur adalah elemen integral dari militer sebagai sebuah organisasi dan profesi. Memiliki otonomi untuk memutuskan dan mengorganisir kebijakan internal keorganisasian-dengan intervensi minimal dari kelompok sipil-adalah prioritas utama setiap organisasi militer (Alagappa 2001, 35). Kebijakan MEF sendiri tidak menghapus otonomi dari TNI dalam mengatur internal organisasi mereka. Seba-

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

217 liknya, kebijakan MEF malah memberikan insentif bagi pihak TNI

melalui program modernisasi alutsista yang dapat diatur kebutuhan dan targetnya secara mandiri oleh Mabes TNI. Hal ini dimungkinkan melalui regulasi Kemhan terkait mekanisme anggaran pertahanan yang memberikan otonomi luas kepada setiap matra dalam organisasi TNI untuk menyusun rencana kerja atau programnya sendiri secara inde- penden (Kementerian Pertahanan RI 2010; Kementerian Pertahanan RI 2012b).

Meskipun memiliki keunggulan, mekanisme layering yang digu- nakan pemerintah Indonesia untuk mendorong perubahan kebijakan di sektor pertahanan ternyata juga memiliki kelemahan dalam konteks implementasi. Kelemahan ini adalah minimnya derajat kepatuhan (compliance) dari pihak-pihak yang mengimplementasikan kebijakan. Mekanisme layering pada dasarnya tidak mengubah secara radikal rela- si kuasa dalam institusi yang ditargetkan untuk berubah. Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru, sektor pertahanan secara de facto masih didominasi oleh Mabes TNI dengan Kemhan hanya sebatas melakukan koordinasi. Dalam kasus MEF, hal ini tercermin dari proses pengadaan alutsista yang bersifat reaktif dan tidak terencana dengan baik. Ada kecenderungan bahwa keputusan Kemhan dan TNI untuk mengaku- isisi alutsista baru lebih banyak didorong oleh faktor emosional -untuk mengimbangi kapabilitas alutsista negara-negara tetangga- ketimbang menyesuaikan dengan karakter geografis Indonesia, ancaman aktual dan kesesuaian dengan platform alutsista lain yang sudah dimiliki un- tuk mendukung operasi gabungan (Seno 2012; Supriyanto 2016; Agastia 2016). Kemhan dalam evaluasinya menyatakan bahwa sistem manaje- men pertahanan yang berlaku masih menggunakan sistem tradisional dengan mengutamakan pengambilan keputusan bersifat perorangan atau pejabat dari pertimbangan sistem yang telah ditentukan (Kemen- terian Pertahanan RI 2012a, 12). Lebih lanjut, ditegaskan juga bahwa absennya regulasi yang mengatur mengenai daftar belanja (shopping list) MEF menjadi sumber inkonsistensi pengadaan alutsista.

Ada dua kasus yang merefleksikan masalah-masalah pengadaan alut- sista di atas yaitu: pengadaan jet tempur F-16 refurbished dari Amerika

JURNAL POLITIK, VOL. 2, NO. 2, FEBRUARI 2017

Serikat pada tahun 2011 dan Tank Leopard dari Jerman pada tahun 2012. Tahapan MEF yang pertama merencanakan adanya akuisisi enam pesawat F-16 baru dengan jenis generasi terbaru. Rencana ter- sebut berubah pada tahun 2011 ketika Pemerintah Amerika Serikat menawarkan hibah 24 unit F-16 yang sudah tidak beroperasi (grounded) kepada Pemerintah Indonesia. Pembicaraan antara kedua pemerintah soal hibah tersebut diinisasi pada tahun 2010 ketika Presiden Obama berkunjung ke Jakarta (Bin Saju 2010). Syaratnya, pemerintah Indonesia harus menggelontorkan dana sekitar US$ 400 juta untuk melakukan rekondisi (upgrading) terhadap jet-jet tempur yang sudah berumur lebih dari tiga dekade tersebut agar daya jelajah dan kemampuan tempur- nya bisa disamakan dengan generasi F-16 terbaru. Usulan hibah ini kemudian ditanggapi secara kritis oleh DPR dan kalangan akademisi. Sebagian besar mempertanyakan motif di balik tawaran tersebut dan perbandingan antara membeli pesawat baru dengan menerima hibah pesawat bekas. Dalam rapat dengar pendapat di Komisi I pada bu- lan Januari 2011, KASAU Marsekal TNI Imam Sufaat menyatakan bahwa biaya untuk mengakuisisi pesawat hibah jauh lebih murah dari membeli unit baru. Selain itu, pesawat-pesawat hibah tersebut masih memiliki usia pakai yang cukup lama hingga 20-25 tahun. Dalam la- porannya, DPR kemudian merekomendasikan Kemhan dan Mabes TNI untuk menerapkan asas kehati-hatian dalam mempertimbangkan tawaran hibah tersebut (DPR RI 2011). Kemhan dan DPR akhirnya bersepakat untuk menerima tawaran hibah tersebut yang dinamakan Peace Bima Sena II dengan persyaratan adanya mekanisme transfer teknologi dengan industri strategis dalam negeri di perjanjian hibah. Meskipun secara ekonomis pengadaan pesawat hibah lebih murah di- bandingkan dengan pengadaan unit baru, keputusan menerima hibah pada dasarnya menunjukan inkonsistensi dalam pelaksanaan program kebijakan MEF. Secara riil, ada pengingkaran terhadap kesepakatan awal dalam renstra MEF untuk menghadirkan alutsista udara dengan standar baru. Inkonsistensi kebijakan tersebut kemudian membuahkan dampak yang negatif. Pada April 2015, terjadi sebuah insiden kecelaka- an yang melibatkan F-16 hibah dari AS. Satu pesawat F-16 mengalami

KONTROL SIPIL ATAS MILITER DAN KEBIJAKAN PERTAHANAN

219 kebakaran pada mesin dan roda kiri terlepas ketika akan melakukan