EKSISTENSI SANAD DALAM HADIS | Zulheldi | MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

  

Zulheldi

Fakultas Tarbiyah IAIN Bonjol Padang.

  

Jl. Kampus IAIN Imam Bonjol Lubuk Lintah, Padang 25153

e-mail: zulheldi@yahoo.co.id

Abstract: The Existence of Chain of Transmitters of Prophetic

Tradition. The chain of transmitters (sanad) plays an important role not only in

determining the qualification of prophetic tradition but also in Islamic studies in

general. In addition, scholars of hadîth have regarded chain of transmitters as

citadel and mace of Muslim society. The author argues that the existence of sanad

distinguishes Islamic community from other religious groups in reconstructing

the authenticity of the teaching of the Islam. It is for this reason that scholars of

hadîth have invested a great deal of efforts and serious study on sanad until they

were finally capable of formulating a general theory that shall become guidelines

in the study of prophetic tradition. This paper is an attempt to discuss the

historical origin of sanad criticism as well as analyze the extent to which this

theory contributes to verifying the authenticity of Islamic precepts.

  Kata Kunci: sanad, matn, shahîh, hadis maudhu‘

Pendahuluan

  Secara umum, pengajaran hadis pada masa Nabi Muhammad SAW. dan beberapa periode sesudahnya, tidak menggunakan media tulisan. Para sahabat berusaha semaksimal mungkin merekam setiap ucapan, perbuatan, dan taqrîr rasul dalam memori mereka. Banyak informasi yang menegaskan bahwa hanya sebagian kecil sahabat yang membuat catatan hadis untuk dirinya. Kekhawatiran bercampurnya hadis dengan al- Qur’an merupakan alasan paling asasi dari realitas ini, karena ketika itu al-Qur’an belum dibukukan. Sahabat yang menghadiri kuliah hadis yang disampaikan secara lisan oleh nabi menyampaikan materi pelajaran yang baru didapatkan kepada mereka yang tidak hadir-sebagaimana pesan rasulullah-juga secara lisan.

  Metode pengajaran dan perekaman hadis selanjutnya di masa itu tidak hanya menyebutkan isi dari hadis (matan), tetapi juga menjelaskan siapa saja yang menjadi sumber hadis tersebut (sanad) dan bagaimana dia menerimanya. Syuyûkh al-hadîts akan mengungkapkan secara jujur, apakah dia langsung mendengar atau melihat hadis yang

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

  diajarkannya atau dia mempelajarinya dari orang lain. Format transmisi hadis dengan menyebut sumber informasi dan menjelaskan cara mendapatkannya tersebut menjadi tradisi dalam beberapa generasi.

  Tulisan ini akan mendiskusikan seberapa besar nilai dan peran sanad dalam sebuah hadis. Apakah deretan nama sebelum matan ini benar-benar dapat mengukuhkan isi pesan rasul? Atau, apakah seperti persepsi sebagian orang awam, hanya sekedar pamer ranji ala Arab yang tidak ada manfaatnya? Bahkan, mungkinkah keberadaan sanad itu hanya mengganggu, karena sementara awam sangat kesulitan menemukan pesan inti dari hadis tersebut?

Pengertian Sanad

  Secara bahasa, sanad ( ) berarti “sesuatu yang dijadikan pegangan”, “sesuatu yang tinggi dari bumi dan yang menghadang di gunung.” Kata ini juga berarti “tempat sandaran,” karena memang kata sanada, fi‘il mâdhi-nya, berarti “bertelekan” atau 1

  “bersandar.” Sedangkan menurut istilah, sanad berarti jalan matan ( ), yaitu rangkaian nama-nama perawi yang menyampaikan sebuah hadis dari sumbernya atau 2 rangkaian para perawi yang menyampaikan kepada matan ( ).

  Menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, istilah sanad digunakan dalam hal ini karena orang yang memiliki sanad senantiasa menyebutkan nama-nama perawi dalam menyandarkan

  

matan kepada sumbernya, atau para huffâzh selalu berpedoman kepada sanad dalam

  menilai apakah sebuah hadis itu shahîh atau dha’îf. Dengan demikian, dalam hal ini

  

sanad benar-benar menjadi tempat pijakan, sandaran, standar dan penentu kualitas

3 matan hadis.

  Ulama hadis juga menggunakan istilah isnâd ( ) untuk menyebutkan rangkaian periwayat ini. Dengan kata lain, ulama hadis menyamakan pengertian sanad dengan isnâd. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan mereka . Kadang-kadang, untuk maksud yang sama, kata asnâd dalam ungkapan di atas diganti 4 dengan asânîd. Dalam tulisan ini, sesuai pendapat jumhur ulama hadis, istilah sanad dan isnâd juga dipakai untuk pengertian yang sama. 1 Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh (Beirût: Dâr al-

  

Fikr, 1975), h. 32; Mahmud Thahhan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd (Riyâdh: Maktabah

al-Ma’ârif, 1412/1991), h. 138; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya

Agung, 1990), h. 181. 2 Ibid.; Mu hammad Mushthafa ‘Azamî, Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî (Riyâdh: Jamî’ah al- Riyâdh, 1396), h. 391. 3 4 Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 33.

   Ibid.; A hmad al-’Utsmani al-Tahanawî, Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah al-

Ghaddad (Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t.), h. 26; Akram Dhiya’ al-’Umarî,

Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4 (Beirût: Basath, 1984), h. 47.

  Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

Urgensi Sanad

  Dalam wacana urgensi sanad hadis, akan ditemukan cukup banyak qaul ulama yang dapat dijadikan referensi. Dari ungkapan mereka terlihat jelas bahwa keberadaan

  

sanad merupakan suatu keniscayaan. ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H/797 M) pernah

  mengatakan sebuah ungkapan yang sangat populer dalam khazanah ilmu hadis bahwa

  

sanad merupakan bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad, maka siapa saja akan bebas

5

  mengatakan apa yang dikehendakinya ( ). Muhammad bin Sirin (w. 110 H/728 M) juga pernah mengatakan “Sesungguhnya pengetahuan terhadap hadis adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa engkau 6 mengambil agamamu itu ( ).

  Statemen kedua ulama tersebut mengukuhkan bahwa sanad menempati posisi sangat vital. Sanad inheren dengan ajaran Islam karena hadis merupakan sumber kedua ajarannya, dan hitam-putih sanad berpengaruh secara langsung pada pilar kedua bangunan Islam itu. 7 Maka tidaklah keliru jika ‘Alî bin Madinî (w. 234 H) mengatakan (mengetahui

  

rijâl atau sanad merupakan setengah dari ilmu [agama]). Sanad juga benteng dan kebanggaan

  umat Islam yang membuat mereka berani menegakkan kepala ketika berhadapan dengan umat lain. Ia adalah senjata umat Islam, seperti yang diungkapkan oleh Sufyan al- 8 Tsaurî (w. 161 H/772 M) (isnâd adalah senjata umat Islam. Apabila seorang mukmin tidak mempunyai senjata, maka siapa saja akan mudah untuk membunuhnya).

  Sanad melindungi umat Islam dari ketergelinciran dan serangan musuh yang tidak

  diduga. Sebagaimana yang dipaparkan oleh Muhammad bahwa perumpamaan orang yang menuntut ilmu agama tanpa sanad sama halnya dengan orang yang menaiki tempat 9 yang tinggi tanpa menggunakan tangga. Syâfi’î (w. 204 H/812 M) juga mengingatkan, “Perumpamaan orang yang mempelajari hadis tanpa sanad adalah seperti seseorang yang membawa kayu bakar pada malam hari. Di dalam ikatan kayu itu ada seekor ular sangat 10 ganas yang siap menggigitnya, sedangkan dia tidak menyadari keadaan tersebut.”

  Beberapa nilai lebih sanad, sebagaimana disebutkan di atas, membuat sanad menjadi pembeda umat Islam dari umat lainnya. Sanad merupakan suatu potensi 5 Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 412; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn

  

bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matn (Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984), h. 155; al-’Umarî,

Buhûts fî Târîkh, h. 53. 6 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh; Muhammad

Muhammad Abû Syuhbah, Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah (Azhâr: Majmâ’

al-Turâts, 1969), h. 37. 7 8 Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 47. 9 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 54. 10 Ibid., h. 155.

   Ibid.

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

  kekuatan Islam yang tidak dapat ditandingi oleh umat lainnya. Dengan adanya sanad, secara umum, ajaran Islam dapat steril dari segala macam bentuk perubahan, infiltrasi dan pemutarbalikkan. Sedangkan di pihak lain, ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul selain dari Muhammad tidak memiliki imunitas semacam itu. Abû Hatim al-Radzî (w. 227 H) mengatakan, “Tidak ada satu umat pun sejak Nabi Adam as. diciptakan yang memiliki suatu standar (pegangan) untuk memelihara atsar para rasulnya selain dari umat Islam ini.” Muhammad bin Hatîm al-Mazhfar juga mengatakan, “Sesungguhnya 11 Allah SWT. telah memuliakan dan melebihkan umat Islam dengan isnâd.

  Secara lebih lugas Ibn Taimiyyah yang menyatakan, “Ilmu sanad dan riwayat adalah sesuatu yang dikhususkan Allah bagi umat Nabi Muhammad. Itulah yang akan membuat mereka selamat. Adapun ahli Kitab, mereka tidak memiliki sanad yang akan digunakan untuk meriwayatkan al-manqûlât (hadis-hadis) mereka. Orang-orang di luar Islam memiliki akidah dan pandangan yang salah, karena mereka tidak memiliki sanad yang dapat dijadikan sebagai pegangan. Mereka berkata tanpa dalil dan meriwayatkan 12 tanpa sanad. Abû Muhammad ‘Alî bin Hazm turut menegaskan hal yang sama. Beliau berkata “Penukilan suatu hadis oleh seorang yang tsiqah dari yang tsiqah lainnya sampai kepada Rasul hanya ada pada umat Islam, tidak terdapat di kalangan selainnya. Pondasi asasi Islam dan syari’ah serta segala yang terkait dengan semua itu menjadi kokoh karena 13 dinukilkan dengan menggunakan sanad.

  Dari beberapa pernyataan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa sanad merupakan karakteristik khusus umat Muhammad ini. Sebaliknya, kelemahan pokok dari umat-umat selain Islam adalah tidak adanya tradisi penggunaan sanad di kalangan mereka. Hal ini men- jadikan ajaran-ajaran yang ada pada mereka tidak bisa dipertanggung-jawabkan sampai pada tingkatan yang meyakinkan bahwa semua itu benar-benar diajarkan oleh rasul mereka.

Penggunaan Sanad Awal Penggunaan Sanad dalam Hadis

  Menurut keterangan dari Mushthafa Muhammad ‘Azamî, sanad telah digunakan secara insidental dalam sejumlah literatur pra-Islam dengan makna yang tidak jelas.

  

Sanad juga dipakai secara luas dalam periwayatan syair-syair pada zaman Jahiliyah.

  Akan tetapi, sama keadaannya dengan persoalan di atas, tidak ditemukan keterangan 14 lebih lanjut tentang realitas tersebut. 11 12 Ibid., h. 162. 13 Ibid., h. 162-163. 14 Ibid., h. 163.

  Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Studies in Hadith Methodology and Literature (Indiana:

American Truth Publication, 1977), h. 32; Ali Mustafa Ya’kub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka

Firdaus, 1995), h. 97.

  Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

  Tradisi sanad dalam Islam telah ada sejak zaman rasul. Seperti digambarkan di atas, ketika seorang sahabat mengajarkan atau menyampaikan sebuah hadis kepada sahabat lainnya, selalu disebutkan dari siapa hadis itu dipelajarinya sampai kepada Rasul sendiri. Sahabat menjelaskan apakah dia menerima langsung atau tidak, lengkap dengan cara penerimaannya. Menurut Imâm al-Nawâwî (w. 676 H/1277 M), seringkali dalam rangkaian periwayatan (silsilat al-ruwat) terdapat empat orang sahabat, dan ada juga 15 dalam sanad yang lain terdapat empat orang tabi’în.

  Dalam hal ini, al-Nawâwî ingin menegaskan bahwa sahabat dan tabi’în sangat jujur dan mementingkan deskripsi sanad secara utuh, tanpa adanya rasa rendah diri dan takut dilecehkan. Sahabat yang berguru kepada tiga sahabat lain secara bertingkat, sebenarnya “berpeluang” mengklaim bahwa dia menerima langsung dari nabi karena sezaman dan sering bertemu. Begitu juga dengan tabi’în yang melewati tiga tabi’în lainnya. Namun hal itu tidak mereka lakukan. Kejujuran ilmiah semacam ini, akhirnya, tidak menggerogoti nilai hadis, tapi memberikan nilai tambah.

  Bahkan, menurut Imâm Suyuthî (849-911 H/1445-1505 M), karena tingginya perhatian sahabat terhadap sanad, pernah seorang sahabat meriwayatkan hadis dari

  

tabi’în karena tabi’în tersebut telah menerima suatu hadis dari sahabat lain yang

16 mendengarkannya langsung dari Nabi.

  Untuk memastikan sebuah sanad, para muhadditsîn pernah melakukan perjalanan panjang, walau hanya untuk satu sanad hadis saja. Jabîr bin ‘Abd-Allâh (w. 78 H/697 M) pernah melakukan rihlah dari Mekah ke Mesir untuk menanyakan sanad hadis “

  ﺎ ـ ـ ﻨ ﻣ ﺆ ﻣ ﺮ ﺘ ﺳ ﻦ ﻣ ...” kepada ‘Uqbah bin ‘Amîr. Begitu juga halnya yang dilakukan oleh Sa’id bin Musayyab (w.

  94 H/712 M), sebagaimana diungkapkannya sendiri, “Saya pernah berjalan siang malam 17 untuk mencari sanad sebuah hadis.” Adapun mereka yang ditanya tentang keadaan dan nilai sebuah sanad juga memberikan informasi yang benar. Dia tidak akan mengajarkan suatu hadis yang diketahuinya memiliki cacat (‘ illat) pada sanad-nya kepada orang lain, atau mau mengajarkan tetapi dilengkapi dengan penjelasan sebenarnya tentang realitas sanad hadis tersebut. Hal itu seperti yang dilakukan oleh Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H), di mana dia menjelaskan dengan terus terang bahwa di dalam sanad yang dimilikinya terdapat pemalsuan (tadlîs), 18 ketika dia ditanya tentang hal itu oleh Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H). 15 Mushthafa Siba’î menunjuk tahun 40 Hijrah sebagai batas pemisah antara kemurnian

  Rif’at Fauzi ‘Abd al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh

wa Ittijâhâtuh (Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981), h. 36-37; Abû Husain Muslim ibn Hajjaj

ibn Muslim al-Qusyairî, Shahîh Muslim (Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924), h. 83-85. 16 17 Al-Muthalib, Tautsîq al-Sunnah, h. 37. 18 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 156.

   Ibid., h. 157.

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

  hadis dengan pemalsuannya, karena saat itu terjadi perselisihan internal (politik) umat Islam, antara ‘Alî bin Abî Thalib (w. 40 H/661 M) dengan Mu’awiyah bin Abî Sufyan (60 19 H/680 M). Ketika itu, orang menjadi sangat kritis terhadap sanad sebuah ungkapan yang dikatakan sebagai hadis. Realitas seperti itu dapat dilihat dari pernyataan Muhammad bin

  Sirin bahwa “Pada mulanya umat Islam tidak begitu mempermasalahkan sanad. Namun, setelah terjadi fitnah, jika menerima sebuah hadis, mereka akan mengatakan “sebutkan

  

rijâl-mu (orang-orang yang menyampaikan hadis kepadamu)!.” Hadis itu akan diterima

20

  jika rijâl-nya adalah ahl al-sunnah dan akan ditolak jika rijâl adalah ahl al-bidâ’. Setelah terjadi peperangan Shiffin, mereka lebih berhati-hati terhadap sanad atau mulai mempertanyakan secara ketat guru-guru hadisnya dan menelitinya dengan cermat.

  Di penghujung abad pertama hijrah, ilmu sanad (dalam arti mencermati sanad hadis dengan lebih teliti) berkembang dengan pesat dan mendapat perhatian lebih. Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), misalnya, sengaja mengamati bibir Qatadah (w. 117 H) untuk bisa membedakan apakah Qatadah mendapatkan hadis itu lewat tangan pertama atau 21 kedua dengan memperhatikan lafal al-tahammul wa al-‘dâ’ yang digunakannya. Bahkan, bukan hanya para ahli hadis yang “meributkan” masalah ini, tetapi juga pernah seorang Arab Badui (A’râbî) menanyakan secara lengkap sanad sebuah hadis kepada 22 Sufyan bin ‘Uyainah (w. 194 H).

  Dalam iklim lain, studi sanad hadis di kalangan sementara orientalis lebih diarahkan kepada kapan mulainya umat Islam menggunakan sanad. Mereka terkesan menyembunyikan kenyataan dan tidak mengakui bahwa sanad sudah mulai diberlakukan sejak zaman rasul. Dengan demikian, mereka “berkesimpulan” bahwa sanad baru mulai dipakai sekitar setengah abad setelah kematian Rasulullah. Tendensi mereka dalam hal ini bisa ditebak. Logika yang ingin mereka kemukakan adalah kalau di masa nabi dan khalîfah al-râsyidîn belum digunakan sanad dalam meriwayatkan hadis nabi, berarti bangunan ajaran Islam didirikan di atas fondasi yang sangat rapuh. Jika hal ini dibenarkan, maka untuk meruntuhkan bangunan Islam itu hanyalah menjadi persoalan waktu.

  Seorang orientalis yang bernama Caetani, misalnya, mengatakan bahwa penggunaan

  

sanad baru dimulai antara masa ‘Urwah bin Zubair (w. 94 H/ 712 M) dengan Ibn Ishaq

  (w. 151 H/ 768 M). Dia menambahkan bahwa sebagian sanad yang terdapat dalam kitab-kitab hadis hanyalah hasil kreasi ulama hadis abad kedua dan ketiga Hijrah. 19 Muhammad Mushthafa al-Siba’î, Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî (Beirût: Maktab al-Islâmî, 1978), h. 75. 20 Muhammad Mushthafa ‘Azamî, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa

Ya’kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 531; ‘Abd al-Majid Mahmud, Amtsâl al-Hadîts wa

  

Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts (Kairo: Dâr al-Turâts, 1975), h. 25; al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn,

h. 152-153; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 49. 21 22 ‘Azamî, Hadis Nabawi; al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 48.

   Ibid., h. 54.

  Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

  Pendapat yang tidak memiliki dasar dan tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara ilmiah 23 ini didukung oleh seorang orientalis lainnya, Sprenger.

  Di lain pihak, orientalis Horovitz berpendapat lain. Dia mengatakan bahwa sanad sudah mulai dipakai pada penggal ketiga abad pertama Hijrah (sekitar tahun 70-an Hijrah). Sedangkan J. Robson mengatakan bahwa mungkin saja sanad sudah mulai digunakan pada pertengahan abad pertama Hijrah. Puncak dari kekeliruan kajian sanad dari orientalis ini terlihat dari pendapat Josept Schacht yang mengusung teori the projecting back. Menurutnya,

  

sanad hanyalah produk imajinasi orang-orang yang datang belakangan dengan mencoba

24 mengaitkan hadis-hadis yang didapatkannya kepada tokoh-tokoh terdahulu. 25 Menanggapi pendapat orientalis semacam ini, Muhammad Mushthafa ‘Azamî mengatakan bahwa kesalahan besar mereka berasal dari kesalahan metodologi yang

  mereka gunakan, suatu ironi terjadi di kalangan sarjana Barat yang mengklaim diri mereka sebagai pelopor studi ilmiah. Kesalahan mereka itu, menurut ‘Azami, adalah meneliti sanad hadis dari objek yang keliru. Mereka mengkaji hadis dari kitab-kitab sejarah, biografi dan fiqih yang kebetulan banyak memuat hadis-hadis nabi. Mereka tidak melakukan studi hadis secara langsung dari kitab-kitabnya.

Beberapa Usaha dalam Studi Sanad

  Para ulama hadis telah melakukan upaya yang relatif maksimal dalam mengkoreksi dan mengkritik setiap ungkapan yang dikatakan sebagai hadis Nabi, baik dari segi sanad ataupun matan. Semua itu mereka lakukan dengan penuh keberanian, keikhlasan dan tanggungjawab.

  Muhadditsîn abad kedua Hijrah sangat selektif dalam menerima hadis, di antaranya

  Abû Ishaq al-Sa’bî (w. 126 H/ 742 M), Ibn Syihâb al-Zuhrî (w. 125 H/ 741 M), Hisyam bin ‘Urwah (w. 146 H) dan al-A’masî (w. 147 H). Mereka selalu kritis dalam memandang sanad hadis, apakah ittishâl (bersambung) sampai kepada Nabi dan di dalamnya terdapat orang- 26 orang yang berkompeten. Begitu juga dengan ‘Abd-Allâh bin Mubârak (w. 181 H) yang sangat kritis ketika Abû Ishaq Ibrâhîm bin ‘Isya al-Thalaqanî yang menyampaikan hadis 27 tentang shalat dan puasa yang dilakukan oleh seorang anak untuk kedua orang tuanya.

  Keseriusan ulama abad kedua Hijrah ini terhadap studi sanad dapat dibuktikan dengan munculnya kitab-kitab musnad (jamaknya al-masânîd) di awal abad itu. Kitab- kitab tersebut yang masih dapat dijumpai pada masa sekarang, di antaranya, musnad 23 24 ‘Azamî, Hadis Nabawi, h. 532; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 99. 25 Ibid., h. 533; Ali Mustafa Ya’cub, Kritik Hadis, h. 100. 26 Ibid., h. 582. 27 Ibid., h. 583.

  Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 153-155.

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

  Ma’mar bin Rasyîd (w. 152 H) dan musnad al-Tayalisî (w. 204 H), yang dijadikan salah satu pegangan penulis kitab kutub al-sittah yang ditulis pada abad ketiga Hijrah. Begitu juga dengan kitab musnad al-Humaidî (w. 219 H), musnad Ahmad bin Hanbâl (w. 241 H) 28 dan musnad Abû Ya’la al-Maushilî (w. 307 H).

  Muhadditsîn menganalisa sanad, di antaranya, dengan cara membandingkan

  beragam versi sanad, sehingga menghasilkan kesimpulan yang tepat, apakah sanad hadis yang bersangkutan dapat diterima atau tidak. Mereka menyusun kaedah penelitian sanad yang bisa dibuktikan keilmiahannya, membuat klasifikasi sanad dari segi diterima atau ditolaknya, dan membuat istilah-istilah khusus untuk memudahkan dalam upaya identifikasi sanad. Ulama hadis juga mengelompokkan para periwayat menjadi ahl al-

  

sunnah (orang yang riwayatnya dapat diterima) dan ahl al-bidâ’ (orang yang, secara

umum, riwayatnya harus ditolak).

  Ulama hadis memutlakkan adanya kebersambungan sanad (ittishâl al-sanad) sebagai 29 salah satu syarat hadis shahîh, sekalipun terdapat berbagai pandangan tentang kriteria sanad yang disebut dengan ittishâl tersebut. Menurut Imâm Bukharî (194-256 H/810-870 M),

  

sanad dapat dikatakan bersambung jika seorang periwayat dengan periwayat lain yang

  dekat dengannya terbukti hidup dalam satu zaman (mu’âsharah) dan pernah bertemu walaupun hanya satu kali. Sementara menurut Imâm Muslim (206-261 H/821-875 M), menurut kesimpulan beberapa ulama hadis yang mengkaji kitab Muslim, menekankan 30 pada mu’âsharah-nya saja, sedangkan pertemuannya tidak mesti dapat dibuktikan.

  Untuk membuktikan bersambung-tidaknya sanad, ulama hadis harus mengkaji dengan tekun biografi setiap periwayat. Mereka juga melakukan kajian yang mendalam terhadap lafal-lafal yang digunakan untuk menghubungkan seorang periwayat dengan periwayat lainnya yang terdekat (seperti haddatsanâ, ‘an akhbaranâ dan sebagainya).

  Pendeknya, ulama hadis mengkaji sanad dari berbagai dimensi sehingga setiap kebohongan, sampai kepada hal-hal kecil sekalipun, dapat terdeteksi dan diangkat ke permukaan. Seperti yang dituturkan oleh al-Tsaurî (w. 161 H/772 M) bahwa “Jika seorang periwayat berbohong, maka kita akan mengujinya dengan menggunakan pendekatan 31 historis” ( ). Maksudnya, jika seorang periwayat mengatakan bahwa dia berguru kepada seseorang dan menerima hadis darinya, maka hal itu harus dibuktikan dengan hasil kajian sejarah-otentik. Dari kajian historis terhadap keduanya (mengenai biografi, siapa saja guru dan murid, penilaian orang-orang yang 28 29 Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 56. 30 Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.

  Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan

dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 108; ‘Abd al-Mun’im al-Nimr,

Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Wasalat Ilainâ (Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987), h. 102.

31 Jamila Syaukat, Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, vol. VI, h. 20.

  Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

  hidup pada masa itu dan sebagainya) akan dapat dibuktikan apakah di antara keduanya memang pernah terdapat relasi guru-murid.

  Melihat besarnya usaha ulama dalam melakukan studi sanad, sangatlah beralasan apa yang diungkapkan oleh Muhammad Mushthafa ‘Azamî, “Kitab-kitab hadis yang ditemui sekarang selalu siap untuk diperiksa, dikoreksi dan diteliti kembali sepanjang hal itu memenuhi kriteria ilmiah dan objektif, bukan dimotivasi oleh rasa kebencian dan bermodalkan 32 ketidaktahuan.” Ini merupakan tantangan bagi setiap orang yang meragukan validitas hadis.

  Pengaruh Kualitas Sanad terhadap Nilai Hadis 33 Ijma’ di kalangan ulama hadis, seperti ditulis Mu hammad Luqmân al-Salafî, bahwa

sanad sangat penting artinya bagi sebuah hadis. Tidak mungkin adanya matan tanpa

  sebuah sanad, sebagaimana tidak mungkin adanya sebuah bangunan tanpa fondasi atau jasad yang hidup tanpa roh. Urgensi sanad terhadap hadis sama dengan pentingnya nasab bagi seseorang. Sanad sangat berperan dalam menentukan nilai sebuah hadis. 34 Pernyataan yang sama dikemukakan oleh al-A’masî, Syu’bah dan Bahz bin Asad.

  Sanad menjadikan ukuran yang sangat menentukan dalam menerima dan menolak sebuah hadis. Hadis tersebut akan diterima jika rijâl-nya adalah orang-orang yang tsiqah.

  Menurut Imâm al-Nawawî bahwa “Jika sanad suatu hadis berkualitas shahîh maka hadis 35 itu dapat diterima. Akan tetapi, jika sanad hadis tersebut tidak shahîh maka hadis itu ditolak.” Secara logika, lemahnya sanad suatu hadis belumlah menjadikan hadis tersebut secara absolut tidak berasal dari Rasulullah. Hanya saja, sanad yang tidak shahîh dari sebuah hadis tidak dapat memberikan bukti yang meyakinkan bahwa hadis itu memang benar-benar berasal dari Rasul. Karena hadis merupakan salah satu dasar yang pokok dari ajaran Islam, maka dia mesti steril dari segala macam bentuk keraguan, termasuk ketidakyakinan seperti ini. Jadi, hadis yang sanad-nya tidak shahîh ditolak karena dia diragukan berasal dari Rasul.

  Dengan demikian, sanad hadis yang dapat diterima itu adalah yang muttashil (bersambung), bukanlah sanad yang tergolong sebagai munqathi’ (terputus atau adanya mata rantai yang hilang) dengan segala ragamnya. Sanad hadis yang diterima harus terdiri atas orang-orang yang benar-benar terbukti keamanahannya dan ketangguhan intelektualnya (al-‘adl wa al-dhabth atau tsiqah). Mereka bukanlah orang-orang yang

  majhûl (tidak jelas) dan matrûk (ditinggalkan). 32 33 ‘Azamî, Hadis Nabawi. 34 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn., h. 157. 35 Al-’Umarî, Buhûts fî Târîkh, h. 53-54.

  Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim, h. 88; Muhammad Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 24.

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

Sanad dan Hadis Maudhû’

  Sesuai dengan makna bahasa, yaitu sandaran, pegangan, referensi, pengaman dan benteng, sanad merupakan pengayom matan hadis. Eksistensi matan, apakah diterima atau ditolak, sangat tergantung pada kualitas dan kemampuan sanad dalam mempertahankan, melindungi dan membentenginya. Apalagi, jika sebuah matan tidak memiliki sanad, maka keberadaannya tidak bisa dipertahankan, atau matan itu harus ditolak dan disingkirkan dari perbendaharaan hadis.

  Sebagai sebuah benteng, sanad sangat berperan melindungi hadis nabi dari segala macam bentuk serangan. Sebuah ilustrasi yang bagus dikemukakan oleh Imâm al-Syafi’î, seperti dikemukakan pada bagian terdahulu. Pada intinya, menurut Syafi’ î, jika tidak ada sanad maka akan terbuka peluang yang sangat besar untuk menyerang dan memporak-porandakan hadis Nabi. Karena, tanpa sanad, hadis telah mengidap cacat internal yang sangat fatal, sewaktu-waktu bisa menjatuhkan hadis itu sendiri sekalipun tanpa serangan yang berarti dari luar. Dalam bahasa Syafi’î bahwa “(bahaya itu) seperti seekor ular ganas yang berada dalam ikatan kayu bakar yang dibawa oleh seorang 36 petani. Ular itu telah bersiap-siap mematoknya, sedang petani itu tidak menyadarinya.”

  Hadis maudhû’ merupakan salah “korban radikalisasi” muhadditsîn dalam penerapan uji-sanad. Berbagai penipuan dan pemalsuan yang terdapat di dalam “hadis” tersebut dapat dibongkar karena sanad yang membentenginya sangat rapuh. Maka “hadis-hadis” itu berguguran satu demi satu dalam umur yang tidak panjang. Kriteria kritik sanad yang tidak mengenal kompromi merupakan salah satu tembok penghalang yang sukar ditembus oleh “hadis-hadis” ini.

  Dengan mengetatkan penggunaan sanad (dalam arti mempertanyakan keabsahan

sanad secara tajam), ternyata sangat efektif dalam meredam gerakan pemalsuan hadis.

Seperti yang dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib bahwa salah satu usaha untuk membela sunnah dari pemalsuannya adalah dengan memperketat penggunaan

  

sanad. Sahabat, tabi’în dan generasi setelah mereka sangat menuntut eksistensi sanad

  dari seseorang yang mengajarkan hadis kepadanya, dan mereka selalu menggunakan 37 sanad dalam mengajarkan hadis kepada orang lain.

  Memang benar bahwa bukanlah kritik sanad satu-satunya instrumen untuk mengetahui hadis palsu, tetapi bisa juga dengan kritik matan. Sekalipun demikian, kontribusi kritik

  

sanad sangatlah signifikan dalam membongkar gerakan makar terhadap hadis nabi

  tersebut. Salah satu bukti sahihnya adalah bahwa kritik sanad diterapkan pertama kalinya dengan ketat sebagai reaksi keras atas munculnya hadis-hadis palsu pada masa itu. 36 Dari studi sanad akan dapat diketahui orang-orang yang menciptakan jalur sanad sendiri 37 Al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn, h. 155.

  Al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, h. 305.

  Zulheldi: Eksistensi Sanad dalam Hadis

  untuk dipasangkan pada “matan hadis” yang diciptakannya. Dan juga, dari studi ini akan diketahui lebih lengkap keadaan seorang perawi, berkenaan dengan siapa saja guru dan muridnya, kemana saja dia melakukan rihlat al-hadîts, berapa banyak hadis yang diriwayat- kannya beserta kualitas masing-masingnya, terutama kualitas sanad dan sebagainya. Dengan adanya data yang relatif lengkap ini, maka akan sangat membantu menanggapi setiap informasi tentang perawi yang diketahui itu dan akan segera terdeteksi manakala nama seorang perawi terkenal dipasang seenaknya pada sebuah jalur ‘sanad’ imajinatifnya.

Penutup

  Sanad memiliki peran vital dan menentukan dalam sebuah hadis nabi. Dalam

  kaitan ini, al-Nawâwî memberikan sebuah ilustrasi yang menarik. Katanya bahwa 38 “hubungan hadis dengan sanad-nya ibarat hubungan hewan dengan kakinya.” Hal itulah yang menyebabkan ulama hadis, sejak zaman rasul, terlihat sangat concern terhadap sanad. Mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadap bidang ini.

  Hasil kerja mereka itulah, di antaranya, yang membuat bangunan ajaran Islam tetap berdiri kokoh hingga hari ini.

  Formulasi metodologi kritik sanad telah sampai pada tahap yang meyakinkan dan, meminjam istilah ‘Azami, tahan banting. Perjalanan intelektualisme Islam, terutama kajian ilmu hadis dan sejarah, telah membuktikan kesahihan formulasi tersebut. Realitas tersebut semakin menjustifikasi dan mengukuhkan peran sentral sanad dalam hadis dan membuktikan kecemerlangan kultur distribusi informasi bertuan (menyebutkan sumbernya) yang dimiliki masyarakat Islam awal.

  Adalah sebuah anti-klimaks petualangan intelektual Barat (baca: orientalis) ketika mereka memasuki ranah sanad, terutama tentang masa awal penggunaannya. Kesimpulan kajian mereka “memaksa” penulis menyimpulkan bahwa mereka memiliki keawaman, bahkan niat yang tidak terpuji, terhadap Islam. Dengan mengatakan bahwa pada masa rasul dan khalifah yang empat belum dipergunakan sanad, berarti mereka sedang mencoba menggoyang bangunan ajaran Islam, karena sanad merupakan salah satu nyawa dari fondasinya. Namun, nampaknya mereka kekurangan bukti yang dapat mendukung berbagai kesimpulan tersebut. Bahkan, berbagai kajian kontemporer membuktikan adanya something wrong pada metodologi yang digunakan.

  Pustaka Acuan Abû Syuhbah, Muhammad Muhammad. Fî Rihâb al-Sunnah al-Kutub al-Shihhâh al-Sittah. 38 Kairo: Majmâ’ al-Turâts, 1969.

  Muslim ibn Hajjaj, Shahih Muslim; Ismail, Metodologi.

  MIQOT Vol. XXXIV No. 2 Juli-Desember 2010

  ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawî. Riyâdh: Jamî’ah al-Riyâdh, 1396 H. ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. Indiana: American Truth Publication, 1977. ‘Azamî, Muhammad Mushthafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’cub. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Ismail, Muhammad Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988. Ismail, Muhammad Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992. Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Musthalâhuh. Beirût: Dâr al- Fikr, 1975. Mahmûd, ’Abd al-Majîd. Amtsâl al-Hadîts wa Taqdîmat fî ‘Ulûm al-Hadîts. Kairo: Dâr al- Turâts, 1975. Al-Muthalib, Rif’at Fauzî ‘Abd. Tautsîq al-Sunnah fî al-Qarn al-Tsânî al-Hijrî Ushushuh wa Ittijâhâtuh. Mesir: Maktabah al-Khanjî, 1981. Al-Nimr, ‘Abd al-Mun’im. Ahâdîts Rasûl-Allâh Kaifa Washalat Ilainâ. Beirût: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1987. Al-Qusyairî, Abû Husain Muslim ibn Hajjaj ibn Muslim. Shahîh Muslim. Kairo: Mathba’ah al-Mishriyyah, 1924. Al-Salafî, Muhammad Luqman. Ihtijâj al-Muhadditsîn bi Naqd al-Hadîts Sanad wa Matan.

  Riyâdh: Maktabah al-Riyâdh, 1984. Al-Siba’î, Mushthafa. Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî Tasyrî’ al-Islâmî. Beirût: Maktab al- Islâmî, 1978.

  Syaukat, Jamila. Isnad dalam Literatur Hadis, terj. Yanto Mustafa, dalam al-Hikmah, no.

  14, vol. VI, 1995. Al-Tahanawî, Ahmad al-‘Utsmanî. Qawâ’id fî ‘Ulûm al-Hadîts, ed. ‘Abd al-Fattah al- Ghaddad. Beirût: Maktab al-Mathbû’ah al-Islâmiyyah, t.t.

  Thahhan, Mahmûd. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsat al-Asânîd. Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, 1991. Al-‘Umarî, Akram Diya’. Buhûts fî Târîkh al-Sunnah al-Musrifah, cet. 4. Beirût: Basath, 1984. Ya’cub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.