T1 712009040 Full text
                                                                                Pendahuluan
Dalam masyarakat Timor - Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah fenomena
yang sangat menarik. Fenomena ini sering terjadi ketika ada peristiwa kematian, di
mana orang yang masih hidup dapat berkomunikasi dengan roh orang yang telah
meninggal dunia, lewat seorang medium atau perantara. Dalam bahasa Timor mereka
mengenalnya dengan sebutan Nitsae atau Nitusae.
Fenomena Nitusae ini diwariskan turun-temurun dari nenek moyang
masyarakat Timor. Nitusae atau Nitsae berasal dari kata Nitu dan Sae.1 Nitu biasanya
dalam bahasa Timor dipakai untuk istilah mayat, namun Nitu juga merupakan istilah
umum dalam bahasa Timor bagi arwah-arwah atau roh-roh yang melambangkan
kuasa kematian.2 Dan Sae mengandung arti „masuk‟ atau „naik atau memanjat‟. Jadi
Nitusae merupakan „roh yang masuk‟. Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang
hidup guna memberitahukan tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Dalam
beberapa kasus, roh itu menggunakan medium untuk berbicara kepada keluarga
tentang hal-hal yang harus diketahui oleh keluarga, baik itu bersifat privasinya atau
yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dari roh tersebut dan bagaimana perlakuan
keluarga terhadap jasad dari si mati.3
Ketika terjadinya penyampaian pesan, orang yang dirasuki itu atau orang yang
menjadi medium tidak menyadarinya, namun ada juga orang yang menjadi medium
secara sadar menyampaikan maksud dari roh orang yang sudah meninggal tersebut,
dengan merasa terdorong untuk memberitahukan pesan. Adapun respon dari keluarga
1
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 12 Maret 2012
P. Middlekoop, Atomi PAh Meto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 89.
3
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol
2
9
adalah mendengarkan dan menuruti apa yang menjadi kehendak roh orang yang telah
meninggal itu. Fenomena ini hanya berlangsung selama jasadnya belum dikuburkan
atau dalam hitungan tiga hari setelah menghembuskan nafas. Dan yang paling sering
mengalami atau kemasukan roh adalah kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.4
Fenomena Nitusae ini juga terjadi pada warga jemaat GMIT Efata Huko‟u di
desa Oesena, kecamatan Amarasi Timur, kabupaten Kupang, yang merupakan tempat
penelitian penulis. Sebagai orang Kristen mereka memandang kematian merupakan
sebuah perpisahan antara jiwa dan raga. Dimana jiwa pergi meninggalkan raga dan
langsung menuju ke tempat yang sangat damai, yaitu ke pangkuan Bapa di Sorga dan
tidak lagi bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam
kenyataanya Jemaat ini juga mempercayai dan mengalami apa yang dimaksud dengan
fenomena Nitsae atau Nitusae. Hampir di banyak peristiwa kematian yang terjadi di
jemaat Efata Huko‟u Oesena, pengalaman-pengalaman akan fenomena Nitusae selalu
terjadi. Roh orang yang telah meninggal berbicara kepada keluarga lewat setiap orang
yang diinginkan roh itu untuk menjadi medium.
Fenomena ini cukup banyak terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, maka
penulis ingin mengetahui “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya
Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena”.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penyusun mengangkat
pokok permasalahan yang akan menjadi panduan dalam penyusunan jurnal ini yakni,
apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam
kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena?
4
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th
10
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u
Oesena.
Manfaat dari penelitian ini bagi gereja yaitu, agar gereja dapat mengetahui
pengaruh kepercayaan Nitusae terhadap kehidupan warga jemaatnya, dan mengambil
sikap sehingga gereja dapat membimbing dan mengarahkan warga jemaatnya dalam
ajaran gereja yang ada.
Pendekatan penelitian yang penulis ambil adalah pendekatan Kualitatif, yaitu
pendekatan yang mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
fenomena Nitusae di dalam Jemaat Huko‟u Oesena, dusun Satu, Amarasi Timur,
Kabupaten Kupang.
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi
langsung, untuk mendapat informasi dengan melihat dan mendengarkan apa yang
dilakukan dan dikatakan para informan berdasarkan pengalaman mereka. Yang
diwawancarai informan kunci di atas yaitu orang-orang yang pernah mengalami
Nitusae, orang-orang yang pernah menyaksikan peristiwa Nitusae dan pendeta serta
juga majelis gereja. Penelitian dilakukan di Jemaat Huko‟u Oesena, Amarasi Timur,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Konsep-Konsep Tentang Fenomena Nitusae
Kematian adalah pengalaman yang tidak bisa disangkal dalam kehidupan setiap
makhluk hidup termasuk manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum dimengerti
manusia, suatu pengalaman yang tidak dapat terjejaki. Manusia merasa tidak aman
11
dan tidak berdaya bila menghadapi kematian, musuh yang begitu menakutkan, musuh
yang tidak memandang usia, kekayaan maupun kedudukan.5 Semua makhluk hidup
pada akhirnya akan mati baik itu melalui proses alamiah, mati secara tidak wajar dan
mati dengan pertolongan (atau tidak) secara medis.6
Di lingkungan orang Timor kematian dan kehidupan dialami sebagai dua kuasa
yang bertentangan, seperti dua kutub yang berlawanan, sebagai drama yang berjalan
terus, pada saat ini di sini dan pada saat lain di sana, dan yang melibatkan manusia
dalam tindakannya. Pada latar belakangnya kita temui pandangan bahwa ada suatu
keseimbangan yang statis antara kehidupan dan kematian. Atau boleh dikatakan juga:
suatu aliran timbal
balik seperti antara dua bejana yang saling berhubungan.7
Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tidak terukur,
tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita
tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar
kematian itu.
Akibat dari kematian adalah dukacita bagi semua. Dukacita (grieve) adalah
kelumpuhan emosional, tidak percaya, terkejut, putus asa, kecemasan akan
perpisahan, sedih dan kesepian menyertai karena kita kehilangan orang yang kita
cintai. (Averill, 1968 dalam Santrock). Sedangkan menurut Bowbly (Santrock) ada
empat stadium dukacita, yaitu: Stadium 1, merupakan fase awal dari keputusasaan
yang ditandai dengan mati rasa dan protes. Penolakan mungkin segera dan luapan
kemarahan dan penderitaan adalah sering. Stadium mungkin berlangsung singkat
sampai beberapa hari dan dapat dialami kembali secara berkala oleh orang yang
5
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987) , 1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kematian. diunduh tanggal 06 maret 2012. Jam 13.17 WIB.
7
P. Middlekoop, Atomi PAh Meto , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 41.
6
12
sedang berdukacita dalam keseluruhan proses berkabung. Stadium 2, adalah fase
merindukan dan mencari-cari orang yang telah meninggal. Fase ini ditandai dengan
kegelisahan fisik dan pengikatan perhatian terhadap orang yang telah meninggal. Fase
ini dapat berjalan selama beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun dalam bentuk
yang semakin melemah. Stadium 3, dalam fase ini digambarkan sebagai fase
disorganisasi dan putus asa, kenyataan kehilangan mulai menghilang. Perasaan
seperti mengadakan gerakan-gerakan adalah dominan dan orang yang berdukacita
tampak menarik diri, apatis dan tanpa gairah. Insomnia dan penurunan berat badan
dapat terjadi, demikian juga perasaan bahwa kehidupan kehilangan arti. Orang yang
berdukacita mungkin terus-menerus menghidupkan kembali kenangan akan orang
yang telah meninggal dan perasaan kecewa yang tidak dapat dihindari terjadi jika
orang yang berdukacita menyadari bahwa kenangan hanyalah kenangan. Stadium 4,
merupakan fase reorganisasi, selama mana aspek yang menyakitkan secara akurat
dari dukacita mulai menghilang dan orang yang berdukacita mulai merasa kembali ke
kehidupan. Orang yang telah meninggal sekarang dikenang dengan rasa kegembiraan
dan juga kesedihan dan bayangan orang yang telah meninggal menjadi dipendam.8
Kematian terjadi
saat di mana tubuh berhenti berfungsi, roh atau jiwa
dipercayai sebagai yang terus ada (immortality).9 Dalam kepercayaan orang Yahudi
roh ketika meninggalkan raga, roh itu akan pergi ke dalam Sheol,
dan dalam
Kekristenan roh yang meninggalkan raga akan dibawah ke dalam pangkuan Bapa
Sorgawi, dengan kata lain roh yang meninggalkan raga tidak ada lagi dalam dunia
dan tidak bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam
8
9
Santrock, J.W, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
John Hick, Philosophy of Religion , (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 121.
13
pandangan agama-agama pribumi khususnya dalam pandangan masyarakat Timor,
roh yang telah meninggalkan raga tidak serta- merta pergi jauh-jauh meninggalkan
tubuhya, bahkan mereka akan pergi menempati tempat di balik sebuah pohon. Hal ini
disebabkan karena masyarakat Timor mempercayai sewaktu-waktu kalau perlu roh
bisa masuk dalam seseorang untuk menyampaikan pesan kepada keluarganya yang
ditinggalkan.10 Dan roh yang meninggalkan raga juga dapat menjadi perantara bagi
manusia yang hidup untuk berhubungan dengan Tuhannya, karena roh tidak lagi
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Berbicara mengenai roh, kita perlu memahami animisme yang memiliki akar
kata anima yang berarti roh. Menurut Taylor, Animisme adalah suatu kepercayaan
terhadap adanya roh-roh yang berdiam pada semua benda baik itu benda hidup
maupun benda mati. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tiga macam kepercayaan
umum yang berkaitan dengan adanya roh sesudah kematian yang diambil dari
animisme dalam tahap awalnya. Pertama, adalah kepercayaan bahwa roh melayanglayang di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup, terkadang
malah mengunjungi rumahnya dulu. Kedua , kepercayaan pada metapsikosis dari roh
ke dalam makhluk-makhluk lain, manusia, hewan dan tumbuhan. Ketiga , konsep
mengenai tempat kediaman istimewa di dunia lain. Roh itu melanjutkan kehidupan
yang mirip dengan kehidupan duniawi, atau diganjar atau dihukum menurut
perbuatan-perbuatan mereka ketika hidup di dunia.11
Dunia
Roh
10
11
Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri, (Diktat Dogmatika), 225.
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), 69.
14
Skema dunia Animisme
Dunia
Fisik
Roh-roh ini dipercayai dapat menangkal kejahatan, menghilangkan musibah
atau menjamin kesejahteraan, dengan kata lain kepercayaan pada roh merupakan
suatu rasa kebutuhan, maka dari itu roh-roh dipuja dalam bentuk pemujaan roh-roh
individual atau kelompok. Orang-orang hidup dapat berkomunikasi dengan roh dan
arwah orang-orang mati, ini disebut dengan spiritualisme atau spiritualism. Dalam
ritual yang disebut séance, roh-roh atau arwah-arwah bisa diajak berdialog.
Spiritualisme ini muncul dalam berbagai bentuk diseluruh dunia. Antara lain di
Indonesia muncul dalam permainan jailangkung, nyi putut, nini towo, dan permainan
mangkuk. Dalam berbagai acara yang diadakan para spiritis, seringkali dipertunjukan
hal-hal aneh, seperti memadamkan atau menyalakan lampu listrik tanpa menyentuh
saklar dan memindahkan kursi, meja, tanpa dilakukan oleh manusia.12
Dalam masyarakat Timor, roh orang yang telah meninggal dipercayai bisa
masuk ke dalam tubuh salah satu anggota keluarga baik itu laki-laki yang dianggap
kuat maupun perempuan yang dianggap lemah dalam budaya Timor (Patriakhal).
Dalam pandangan mereka kedua gender ini rentan dijadikan medium oleh roh orang
yang telah meninggal, tanpa melihat kuat atau lemahnya orang tersebut. Namun
berdasarkan penuturan, yang paling sering mengalami atau kemasukan roh adalah
kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.
12
Dr. Surya Kusuma, S.Th., M.Min, Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen (Yogyakarta: Andi, 2012), 56.
15
Secara psikologi, laki- laki dan perempuan yang dianggap sebagai dua gender
yang rentan dijadikan sebagai medium oleh roh orang meninggal tersebut, memiliki
perbedaan yaitu; laki-laki gemar menjelajah dan menyelidiki alam sekitarnya, suka
mencoba, mencari, dan melihat-lihat. Aktif, mengambil inisiatif, suka mengkritik dan
memprotes, rasio dan logika lebih utama. Lebih melihat garis besar. Sedangkan
perempuan suka menyayangi, merawat mengatur, Perhatiannya untuk sesama
manusia. Reaktif, menanggapi, lebih mudah terpengaruh dan menyayangi, perasaan
lebih utama. Perhatiannya sampai kepada yang detail-detail.13
Menurut Dagun (1992), laki-laki dan perempuan memiliki berbagai perbedaan
sifat. Perbedaan sifat tersebut antara lain, laki-laki sangat agresif, sangat bebas, tidak
emosional hampir memendam emosi, tidak mudah terpengaruh, sangat percaya diri,
sangat objektif, tidak ada ketergantungan dan tidak suka berbicara. Sedangkan
perempuan tidak agresif, tidak bebas, sangat emosional, tidak memendamkan emosi,
mudah terpengaruh, tidak percaya diri, sangat subjektif, tergantung dan sangat suka
berbicara. Selain itu laki-laki dan perempuan juga berbeda dari segi fisik, emosi,
perilaku seksual dan kecerdasan.14
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga dijelaskan oleh Bill & Pam
Farrel (2002) serta John Gray (2001) dalam masing-masing bukunya. Menurut Bill &
Pam Farrel, Laki-laki memproses kehidupan dalam kotak-kotak. Sama seperti kue
Wafer yang tersusun atas kotak yang dipetak-petak yang saling terpisah dan berdiri
sendiri, demikian juga para laki-laki memproses hidupnya.15
13
Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14.
Dagun, M.S, Psikologi keluarga (PT. Rineka Cipta, 1992)
15
Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 4.
14
16
Pikiran, perasaan dan tanggapan laki-laki terhadap kenyataan hidup terbagi
dalam kotak-kotak. Tiap masalah atau perasaan ada ruangnya sendiri dan tidak punya
sangkut paut langsung dengan masalah atau perasaan lain. Ia seolah-olah melupakan
rumah dan keluarganya. Ketika seorang laki-laki berada di tempat kerja, ia bekerja
dan tidak peduli dengan hal-hal lain. Ketika sedang berada di garasi, ia tidak
memusingkan diri dengan hal lain. Ia benar-benar ada di garasi. Itu sebabnya laki-laki
biasa terlihat asyik sendiri dengan dunianya (menghabiskan waktunya di kotak itu)
dan tidak memusingkan diri dengan hal lain yang terlepas dari kotak itu.16
Berbeda dengan
laki-laki, Bill & Pam Farrel (2002:6) mengibaratkan
perempuan sebagai Bakmi. Jika kita memperhatikan Bakmi dalam sebuah piring,
guratan mie yang satu berkait atau bersentuhan dengan guratan mie lainnya. Karena
itu akan kewalahan jika mencoba untuk menelusuri satu guratan mie dari ujung yang
satu ke ujung yang lain, karena guratan-guratan itu bertumpang-tindih. Akibatnya kita
bisa saja berpindah ke guratan mie lainnya. Beginilah cara perempuan berpikir dan
mengelola perasaan dan tanggapan-tanggapan lainnya atas sebuah masalah. Dengan
demikian setiap pemikiran dan persoalan mereka berkaitan dengan pemikiran dan
persoalan lainnya.17
Sebagian besar perempuan berusaha mengkaitkan kotak hidup yang satu
dengan kotak yang lain dalam menimbang dan membuat keputusan. Cepat-cepat
memecahkan satu masalah yang kait-mengait dengan banyak masalah lain adalah
16
17
Ibid
Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 5.
17
tindakan penyangkalan. Dalam percakapan perempuan bisa menyatukan aspek logika,
emosi, estetis, religius bahkan juga interpretasi.18
John Gray pun menjelaskan dalam bukunya Mars and Venus Together
Forever mengibaratkan Laki-laki dari Mars dan Perempuan dari Venus, bila sedang
menghadapi persoalan. Penduduk Planet Mars, kata John Gray, tidak pernah
membicarakan apa yang merisaukan hatinya. Mereka juga tidak membutuhkan
nasehat orang lain untuk keluar dari persoalan. Orang-orang di Mars akan masuk ke
dalam ''gua'' pribadinya untuk merenungkan masalahnya, mengunyahnya terus
menerus demi mencari penyelesaian sendiri. Laki-laki suka menyendiri saat mereka
memiliki persoalan. Jika sudah menemukan jalan keluar, mereka akan keluar dari
''gua'' itu dan bekerja lagi. Kalau pemecahan masalah tidak ditemukan, orang-orang di
Mars akan melakukan sesuatu untuk melupakan kesulitan-kesulitan itu, misalnya
membaca surat kabar atau permainan. Dengan melepaskan pikiran-pikiran dari
masalah itu, lambat laun ia dapat beristrahat. Berbeda dengan penduduk di Venus,
bila penduduk Venus sedang menghadapi masalah atau tegang, mereka akan mencari
seseorang untuk menceritakan secara detail masalah-masalahnya. Setelah berbagi
perasaan mengenai kebingungannya, penduduk Venus akan merasa lebih enak.
Mereka senang jika mempunyai teman-teman yang penuh cinta, yang dapat berbagi
perasaan serta kesulitan-kesulitan. Mereka menceritakan persoalan kepada orang lain
bukan untuk mencari pemecahan masalah, melainkan mencari keringanan. Mereka
membutuhkan seseorang untuk mendengar dengan setia dan empati. Orang-orang di
Venus merasa dirinya dihargai dan dicintai jika perasaan-perasaannya didengarkan.
Mereka tidak butuh nasehat pada waktu menceritakan persoalan-persoalan, mereka
18
Ibid
18
hanya mengharapkan orang lain (suami) mendengar dengan setia dan empati.19
Perbedaan sifat-sifat demikian tidaklah mutlak, melainkan secara relatif lebih
menonjol.20
Perbedaan-perbedaan ini juga dijelaskan oleh APA (American Psychological
Association). Menurut APA perempuan memiliki kecenderungan hampir dua kali
lebih besar dari pada laki-laki untuk mengalami depresi. Perbedaan gender sebagian
besar juga disebabkan karena jumlah stress yang dihadapi perempuan lebih besar.
Perbedaan gaya coping juga dapat membantu menjelaskan lebih besarnya kerentanan
perempuan untuk terkena depresi. Ketika depresi laki-laki lebih cenderung
mengalihkan pikirannya sementara perempuan lebih cenderung memperbesar depresi
dengan cara merenungkan perasaan dan kemungkinan penyebabnya. Ketika depresi,
perempuan akan lebih cenderung duduk di rumah dan berpikir tentang perasaan
mereka sementara laki-laki akan pergi keluar rumah untuk mengalihkan pikiran
mereka dan laki-laki juga seringkali beralih ke alkohol (Nevid, dkk, 2005).21
Dengan demikian semakin jelas untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya fenomena Nitusae yang dialami oleh jemaat Efata Huko‟u Oesena.
Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena
Kondisi Geografis
Dusun Satu, desa Oesena merupakan salah satu wilayah yang berada dalam
pemerintahan kabupaten Kupang kecamatan Amarasi Timur. Wilayah tersebut
19
John Gray, Mars and Venus Together Forever (Jakarta: Gramedia, 2000)
Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14.
21
Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their Depression Diagnosed by Their
Primary Care
Doctors. http://achpr.gov/research
20
19
merupakan wilayah didataran tinggi dan merupakan daerah dingin. Jarak tempuh dari
jalan utama Oesao untuk sampai ke desa Oesena kira-kira memakan waktu 25-30
menit, dikarenakan kondisi jalan yang berliku-liku serta keadaan fisik jalan yang
berlubang-lubang. Jalan yang menghubungkan antara tiga dusun di dalam desa
Oesena masih merupakan jalan tanah dan juga berbatu-batu.
Keadaan lingkungan desa Oesena masih sangat hijau dengan banyaknya
pohon-pohon. Desa ini juga berada dekat dengan wilayah Hutan Lindung. Dalam
kepercayaan orang Timor hutan merupakan tempat tinggalnya arwah atau roh,
sehingga hutan akan dijaga dengan sangat baik oleh mereka. Letak rumah warga yang
satu dengan yang lainnya juga cukup berjauhan,
hal ini disebabkan karena
pekarangan rumah setiap keluarga sangat luas. Ketika pada malam hari desa Oesena
khususnya dusun Satu ini sangatlah gelap dan sepi disebabkan karena jarak rumah
yang berjauhan, banyaknya pepohonan dan penerangan di daerah ini sangat kurang.
Berbeda dengan keadaan siang hari.
Ekonomi, Sosial - Budaya, Pendidikan, Agama
Bercocok tanam adalah mata pencaharian utama di dusun Satu, desa Oesena.
Menurut penuturan bapak Miklon Elimelek Tofas selaku kepala dusun Satu, dari
penduduk 527 jiwa hanya 2 orang yang profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil,
sisanya rata-rata adalah sebagai petani yang menggarap lahannya sendiri. Tanaman
yang digarap dilahan atau sawah bermacam-macam jenisnya, misalnya padi,
singkong, cabai, jagung dan lain sebagainya. Hasil dari penggarapan lahan atau
sawah tersebut, sebagiannya akan mereka gunakan sebagai makanan sehari-hari
20
mereka, dan sebagiannya lagi akan mereka jual ke pasar untuk mendapatkan uang
sebagai pengerak ekonomi mereka. Pada saat musim panen, hasil panen mereka juga
akan dilelangkan di gereja sebagai persepuluhan mereka. Pada bulan-bulan tertentu
seperti bulan April, masyarakat setempat akan memulai menenun kain ikat untuk
pergelaran acara adat dan juga untuk dijual. Kegiatan penenunan ini didominasi oleh
kaum perempuan, dan yang merupakan tugasnya seorang perempuan Timor untuk
dapat membuat tenun ikat. Dari mata pencaharian diatas, rata-rata warga dusun Satu
memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah.
Warga dusun Satu desa Oesena, rata-rata berpendidikan Sekolah Menengah
Atas, hanya ada 14 orang yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Namun beberapa dari mereka seusai menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi,
mereka mencari pekerjaan di kota Kupang dan menetap disana demi pekerjaan
mereka, hanya sesekali mereka kembali ke kampung halaman untuk berlibur atau
menjenguk keluarga.
Budaya yang paling melekat dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena
adalah gotong-royong di antara mereka. Mereka dengan senang hati saling membantu
dalam menyiapkan apapun yang dibutuhkan oleh keluarga yang lain dalam
menggelarkan acara, baik itu pernikahan, acara adat ataupun kematian. Diundang
ataupun tanpa diundang mereka akan berbondong-bondong datang membantu, ada
yang datang dengan membawa barang-barang atau makanan yang dibutuhkan
ataupun hanya sekedar menyumbangkan tenaga. Kegotong-royongan ini tidak
terlepas dari adanya perkawinan yang terjadi diantara orang-orang di desa Oesena
21
tersebut, sehingga hubungan sosial mereka sangatlah tinggi dikarenakan adanya
hubungan kekeluargaan.
Dalam dusun ini juga terdapat kebiasaan yang unik ketika musim panen tiba,
jemaat dan gereja akan bersepakat melaksanakan kebaktian di lahan atau sawah,
sebelum melakukan panen raya. Kebiasaan tersebut muncul karena pada waktu-waktu
sebelumnya ketika musim panen tiba secara khusus pada hari minggu gereja kosong
disebabkan jemaat pergi ke ladang untuk memanen. Maka dari itu Gereja mulai
menyikapinya dengan mengadakan ibadah kontekstual, yang berupa kebaktian panen
raya di ladang terbuka tempat biasanya para petani memanen.
Mayoritas masyarakat dusun Satu desa Oesena merupakan anggota Gereja
Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena.
Kekerabatan Jemaat Efata Huko’u Oesena
Jemaat Efata Huko‟u Oesena merupakan jemaat yang berada dalam wilayah
desa Oesena. Desa Oesena sendiri terbagi atas tiga dusun, dusun satu, dusun dua dan
dusun tiga. Dalam dusun satu inilah Jemaat Efata Huko‟u Oesena berada. Jumlah
penduduknya yang tergolong sedikit yaitu 527 jiwa, menyebabkan terjadinya
interaksi sosial yang sangat tinggi. Hubungan kekerabatan di antara mereka juga
tidak terlepas dari adanya pernikahan antara anggota keluarga dalam desa atau dusun
tersebut, dan tidak juga menutup kemungkinan terjadinya pernikahan antara warga
dusun tersebut dengan orang luar dusun atau desa. Sebagai contoh ada beberapa
anggota keluarga yang mengambil pasangannya dari luar wilayah tersebut bahkan
dari suku yang berbeda.
22
Di antara mereka juga terjadi pernikahan sedarah, kurang lebih empat sampai
lima keluarga mengambil pasangan di antara anggota keluarganya sendiri atau dalam
istilah mereka disebut „istri rumah‟, dan hal ini dianggap biasa oleh warga jemaat
tersebut.
Bukti tingginya hubungan kekerabatan di antara mereka terlihat pada saat
terjadi perayaan pernikahan, kematian atau acara adat, yang melibatkan semua warga
jemaat untuk turut serta mengambil bagian dalam peristiwa tersebut. Mereka datang
dengan atau tanpa diundang untuk membantu menyukseskan atau membantu
melancarkan kegiatan yang diadakan oleh keluarga dalam dusun tersebut. Hubungan
kekerabatan ini juga dapat terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, yaitu ketika
mereka bertemu satu dengan yang lainnya dalam perjalanan melewati dusun atau
dimanapun mereka bertemu, mereka akan saling menyapa dengan kata “Salamat atau
selamat”.
Kebiasaan mengucapkan kata “salamat atau selamat” ini sebagai bentuk dari
rasa kekeluargaan, yang pada kenyataannya dilatarbelakangi juga oleh adanya
hubungan pernikahan antara anggota keluarga dalam dusun tersebut atau pernikahan
sedarah. Hal lain yang melatar belakangi sikap saling menyapa tersebut juga
disebabkan karena adanya faktor pekerjaan yang sama, yaitu bertani dan berkebun
serta juga warga dusun satu ini memiliki tempat beribadah yang sama, yaitu Gereja
Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena.
23
Fenomena Nitusae
Dalam setiap peristiwa kematian ada prosesi (tahap-tahap) yang dilakukan
sebelum penguburan jenazah, waktu penguburan dan setelah penguburan. Bagi orang
Timor, secara khusus dusun Satu desa Oesena, prosesi atau tahap-tahap itu perlu
dilakukan demi menghormati yang meninggal dan juga sebagai bagian penguatan
bagi keluarga. Untuk melaksanakan prosesi itu pihak keluarga inti akan
mengumpulkan segenap anggota keluarga untuk membicarakan apa-apa saja yang
diperlukan untuk prosesi pemakaman, kapan penguburannya, dan juga berapa banyak
dana yang harus dikeluarkan untuk prosesi itu dan untuk mengadakan acara ucapan
syukur (mengucap syukur bagi berpulangnya salah satu anggota keluarga kehadirat
Tuhan). Biasanya dalam peristiwa kematian, penguburan jenazah akan dilakukan
pada hari ketiga setelah yang meninggal menghembuskan nafasnya, hal ini dilakukan
untuk memperpanjang waktu bagi keluarga yang belum hadir agar dapat melihat
wajah dari yang meninggal untuk terakhir kalinya.22
Selama tiga hari tersebut (atau lebih) pada setiap malamnya selalu ada
kegiatan mete atau begadang. Para keluarga, tetangga dan kerabat akan datang dan
duduk-duduk sambil menyanyikan lagu-lagu rohani untuk menghibur keluarga
hingga larut malam, bahkan tidak menutup kemungkinan hingga subuh. Kedatangan
mereka untuk menghibur ini, akan ditanggapi pihak keluarga inti yang berduka untuk
menyediakan minuman dan makanan (kue), bagi para pelayat yang datang untuk
menghibur hingga larut malam. Dalam kebiasaan orang Timor, hampir semua
anggota keluarga yang perempuan akan selalu berada di dekat jenazah, ketimbang
22
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013
24
kaum laki-laki. Dalam banyak kasus kematian yang terjadi di desa Oesena,
perempuan-perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara
menangis sambil berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada
keluarga, tetangga atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai
pertanyaan masygul, seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh
mo bilang apa le (mau bagaimana lagi, sudah terjadi). Dalam kesempatan ini gereja
akan mengambil waktu dua (2) malam (atau lebih sebelum jenazah dikebumikan)
secara berturut-turut untuk mengadakan ibadah penghiburan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Lamanya hari dan prosesi atau tahap-tahap ini memungkinkan kejadian
Nitusae terjadi.23 Seperti yang dialami oleh Yawan Damaris Mnir (24) dan Elsy
Renate (27) dengan pengalaman Nitusae yang berbeda. Nitusae yang dialami Yawan
Damaris Mnir anak perempuan dari bapak almarhum Marthen Mnir, merupakan
Nitusae yang terjadi pada saat meninggalnya bapak Marthen Mnir. Dituturkan bahwa
bapak Marthen Mnir meninggal dunia karena kanker mulut. Kematian ini
menimbulkan duka yang amat dalam bagi keluarga Mnir khususnya bagi Yawan,
anak perempuan yang paling dekat dengan almarhum bapak Marthen Mnir.
Fenomena Nitusae dialami oleh Yawan sejak ayahnya menghembuskan nafas terakhir
sampai pada saat penguburan, Yawan selalu mengeluarkan kata-kata “lidah sakitlidah sakit” dalam ketidaksadaran dirinya.24 Fenomena Nitusae yang terjadi pada saat
ada persitiwa kematian juga dialami oleh Elsy Renate, dimana ayahnya yang bernama
Ayub Tofas meninggal dunia, karena sakit. Namun dalam fenomena ini Elsy
dimasuki oleh dua (2) roh, roh yang pertama adalah ayahnya Ayub Tofas dan roh
23
24
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013
Hasil Wawancara dengan Sovia Masneno pada tanggal 24 April 2013
25
yang kedua adalah almarhumah ibunya Margaretha Tofas-Renate. Masing-masing
roh ini bergantian mengunakan tubuh
Elsy sebagai medium untuk memberikan
pesan-pesan atau nasehat-nasehat kepada keluarganya, antara lain (pesan dari roh
almarhum bapak Ayub Tofas)“kalian harus saling basayang di dalam keluarga,
kaka-adik harus saling basayang, apa yang pernah bapa buat (yg baik) itu juga yang
harus di lakukan,” (Pesan dari roh almarhumah ibu Margaretha Tofas-renate
)“sayang basong punk adik elsy”. “katong pigi sudah”.25
Kebanyakan fenomena Nitusae dipercayai terjadi pada saat peristiwa
kematian berlangsung, namun pada kenyataannya tidak demikian, karena ada
fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada saat peristiwa kematian itu berlangsung.
Ada fenomena Nitusae yang terjadi pada kegiatan adat dan pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini penulis temukan terjadi pada keluarga bapak Herman Yulius
Masneno, yang terjadi sehari setelah acara adat berlangsung, yaitu acara adat Nasa
Eba Nonoh, Nasa Nut Nonoh, yang diterjemahkan menjadi “Menaikan Marga dan
Menurunkan Marga” atau “Melepaskan Marga dan Mengganti Marga”. Acara adat ini
dilakukan karena kedua anak perempuan bapak Herman Yulius Masneno, semenjak
kecil hingga berumur 24 tahun dan berumur 16 tahun tidak mengenakan marga
Masneno sebagai marga mereka dalam sistem Patriakhal. Namun mereka
mengenakan marga ibu sebagai marga mereka. Hal ini terjadi karena semenjak kecil
kedua anak perempuan bapak Herman sering mengalami sakit-sakit, sehingga
memaksa bapak Herman untuk memberikan marga istrinya kepada kedua anak
perempuannya. Setelah mereka dewasa, barulah marga bapak Herman Masneno
25
Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal 24 April 2013
26
dikenakan pada kedua anaknya. Acara ini berlangsung di rumah almarhum ayah dari
bapak Herman Masneno.26 Fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada peristiwa
kematian juga dialami oleh ibu Dortia Teriposa Tofas. Ketika itu keluarga ibu dortia,
memiliki rencana untuk membangun “rumah” bagi almarhumah mamanya yang telah
meninggal dua tahun yang lalu. Namun pembicaraan mereka hanya sekedar
pembicaraan. Tanpa diduga beberapa bulan kemudian terjadilah fenomena Nitusae
pada ibu Dortia, yang kala itu sedang mengalami sakit panas bahkan seluruh
keluarganya sedang sakit panas yang sama.27 Fenomena Nitusae yang berlangsung
pada saat tidak ada peristiwa kematian, merupakan fenomena yang terjadi karena
masih adanya janji atau rencana yang belum terpenuhi dari orang yang hidup kepada
orang yang telah meninggal.28
Secara umum fenomena Nitusae terjadi dengan gejala awal, seorang medium
atau yang akan mengalami Nitusae tiba-tiba pingsan atau tidak menyadarkan diri.
Pada saat seseorang tidak menyadarkan diri dan diduga akan mengalami Nitusae,
orang yang berada di sekitarnya akan mencoba menyadarkannya dengan cara
mencubit-cubit, mengelitik, mengajak berbicara dan sebagainya. Hal tersebut
dilakukan karena ingin membuktikan apakah orang tersebut benar-benar tidak
menyadarkan diri. Jika memang demikian orang yang mengalami ketidaksadaran diri
tersebut tidak bereaksi karena sakit dicubit dan merasa digelitik, namun merespon
dengan mulai berbicara. Di saat itulah fenomena Nitusae dipercayai terjadi, dengan
26
Hasil wawancara terhadap bapak Herman Yulius Masneno pada tanggal 24 April 2013
Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal
28
Hasil wawancara terhadap bapak Miklon E. Tofas pada tanggal 24 April 2013
27
27
bukti orang yang mengalami Nitusae mulai berbicara dengan suara dan intonasi yang
sama dengan orang yang meninggal.29
Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang hidup akan memberitahukan
tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Orang yang dimasuki roh orang
yang telah meninggal ini akan menyampaikan pesan atau keinginan hatinya yang
belum tercapai atau belum sempat dikatakan kepada keluarga.
Setelah Nitusae terjadi, orang yang mengalaminya akan segera sadar namun
ada pula yang membutuhkan waktu beberapa saat untuk tersadar. Ketika dia telah
sadar kembali, yang dia rasakan hanyalah rasa sakit karena cubitan, dan jika
ditanyakan kembali apa yang dia katakan ketika mengalami Nitusae, dia tidak
mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya (pada saat hilang kesadaran).
Faktor-Faktor Terjadinya Fenomena Nitusae
Peristiwa kematian merupakan sebuah misteri bagi kebanyakan orang.
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan. Apa yang terjadi di balik kematian
masih menjadi misteri dan perdebatan banyak orang. Namun pada umumnya manusia
mempercayai bahwa di balik kematian masih ada dunia lain.
Secara sederhana Nitusae selalu berkaitan dengan peristiwa kematian menurut
kepercayaan masyarakat setempat. Fenomena Nitusae tidak pernah diduga datangnya
dan pada siapa yang akan mengalaminya, namun walaupun demikian aspek
kepercayaan seseorang dan aspek psikologisnya sangat menentukan terjadinya
fenomena Nitusae.
29
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th pada tanggal 27 April 2013
28
A. Faktor Kepercayaan
Dalam masyarakat Timor khususnya dusun Satu desa Oesena, terdapat
kepercayaan bahwa pada waktu seseorang menghembuskan nafas terakhir, roh-nya
tidak serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan jazadnya, tetapi masih berada di
sekeliling jazadnya selama kurun waktu tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke
balik pohon. Pohon atau hutan dipercayai sebagai tempat tinggal bagi roh-roh atau
jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal.
Nitusae merupakan salah satu kepercayaan yang masih dipegang oleh dusun
Satu desa Oesena. Kepercayaan tersebut berkaitan dengan kematian seseorang yang
melibatkan roh dari orang yang meninggal dan yang dapat masuk ke dalam raga
seseorang dalam waktu-waktu tertentu, dengan tidak memandang siapa yang akan
mengalami Nitusae tersebut. Siapa pun dapat mengalami Nitusae.
Pada kenyataan yang terjadi, memang agak sulit untuk membedakan antara
orang-orang yang benar-benar mengalami Nitusae dengan orang yang hanya
mengalami ketidaksadaran diri. Berdasarkan satu konsep sederhana mengenai
kepercayaan masyarakat tentang roh orang yang telah meninggal masih tetap
bersemayam di sekitar raganya walaupun “ia” telah meninggal dunia. Konsep
pemikiran masyarakat Dusun Satu Desa Oesena sama dengan konsep di atas
mengenai kepercayaan orang yang telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Dipercayai bahwa roh masih berada di sekitar jasadnya, maka dari itu ketika ada
seseorang yang kehilangan kesadaran diri dan tidak dapat mengendalikan diri secara
penuh, orang tersebut dianggap mengalami kemasukan roh atau dalam masyarakat
Oesena dikenal dengan Nitusae.
29
Konsep pemikiran tersebut memang tidak dapat disalahkan, karena dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah mewarisi kepercayaan yang
menganggap bahwa roh yang telah meninggalkan raga masih akan tetap berada di
sekitar raganya dalam kurun waktu tertentu.
Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu
bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan, menghilangkan
musibah atau menjamin kesejahteraan. Komunikasi dengan yang adikodrati menjadi
suatu nilai pada dirinya sendiri. Komunikasi dengan roh mengambil bentuk pemujaan
roh-roh individual atau kelompok-kelompok roh. Menurut Taylor,
dalam
kepercayaan umum yang berkaitan dengan adanya jiwa sesudah kematian
mempercayai bahwa jiwa melayang-layang di atas bumi dan mempunyai kepentingan
dengan yang hidup, terkadang malah mengunjungi rumahnya dulu.
B. Faktor Psikologi
Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang membutuhkan orang lain
untuk mengisi kehidupannya agar dapat terus maju. Manusia tanpa sesamanya
tidaklah mampu untuk tetap bertahan dalam menjalani harinya, sehingga hubungan
antara manusia dan sesamanya menyebabkan adanya saling ketergantungan. Kondisi
seperti ini terlebih lagi dirasakan di dalam hubungan antar keluarga atau di dalam
keluarga inti, yaitu kakek, nenek, ayah, ibu serta anak dan cucu. Hubungan keluarga
inti selalu menimbulkan rasa saling memiliki, merasa saling bertanggung jawab untuk
mendatangkan kebaikan bagi seluruh anggota keluarga dan terutama mengalami
pengalaman mental yang saling terkait.
Keintiman sebuah keluarga memiliki dampak yang sangat baik bagi
kehidupan setiap anggotanya, namun ternyata keintiman sebuah keluarga juga dapat
30
menimbulkan perasaan negatif ketika keintiman itu diperhadapkan pada peristiwa
kematian dari salah satu anggota keluarga. Rasa penolakan akan sebuah kenyataan
kematian dari anggota keluarga yang lain menandakan bahwa rasa memiliki itu
sangat tinggi. Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi
tidak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan
seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak,
semakin terasa wajar kematian itu.
Dalam meresponi sebuah peristiwa kematian di dalam sebuah keluarga, setiap
anggota keluarga – laki-laki dan perempuan – mengekspresikannya dengan berbedabeda. Sebagai seorang laki-laki – anak atau cucu dari orang yang meninggal, suami
atau menantu – yang dikenal lebih mengutamakan logika atau rasio akan
meresponnya dengan tindakan yang lebih tegar, dibandingkan dengan perempuan –
anak atau cucu dari orang yang meninggal, istri atau menantu – yang terkenal lebih
mengutamakan perasaan mereka, maka ketika ada anggota keluarga yang meninggal
akan lebih meluapkan perasaan mereka dengan menangis, walaupun hal tersebut
bukanlah hal yang mutlak dan bahkan dapat terjadi sebaliknya. Namun dalam kasus
yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, hampir semua anggota keluarga yang
perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara menangis sambil
berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada keluarga, tetangga
atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai pertanyaan masygul,
seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh mo bilang apa le
(mau bagaimana lagi, sudah terjadi).
31
Berdasarkan fenomena Nitusae yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena,
penulis menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami Nitusae dibanding
laki-laki. Hal ini juga ditegaskan oleh Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th.
Rentannya perempuan yang mengalami Nitusae dikarenakan perempuan lebih
mengutamakan perasaannnya. Seperti yang dijelaskan oleh Dagun mengenai
perbedaan sifat laki-laki dan perempuan. Perempuan sangat emosional, ia tidak
memendam emosi, mudah terpengaruh dan suka berbicara. Sifat ini berbanding
terbalik dengan laki-laki.
Jadi ada dua (2) faktor penyebab terjadinya fenomena Nitusae. Pertama
dikarenakan oleh faktor kepercayaan terhadap roh yang meninggalkan raganya, tidak
serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan raganya atau jazadnya, selama kurun waktu
tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke balik pohon. Kepercayaan ini telah
mengakar dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena. Kedua faktor psikologi, secara
umum Fenomena Nitusae dapat dialami oleh semua orang, baik itu laki-laki maupun
perempuan. Namun yang paling sering mengalami fenomena Nitusae di dusun Satu
desa Oesena adalah perempuan, dikarenakan perempuan lebih mengutamakan
perasaan, mudah terpengaruh, dan sangat suka berbicara dibandingkan laki-laki.
Kesimpulan
Kematian merupakan hal yang mutlak akan terjadi atau dialami oleh setiap
makhluk yang bernafas, tidak terkecuali manusia. Setiap orang baik itu orang tua atau
pun orang muda, kaya atau pun miskin, pintar atau pun bodoh, berhikmat ataupun
tidak berhikmat, semuanya akan mengalami yang namanya kematian. Seperti yang
dikatakan oleh kitab Pengkhotbah 2:16b yang berbunyi; “Dan, ah, orang yang
32
berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh!”. Semua orang diperhadapkan pada
kenyataan yang memilukan, yaitu kematian.
Bagi sebagian orang kematian itu menakutkan, dan bagi sebagiannya lagi
kematian itu bahagia. Semuanya itu tergantung pada pandangan masing-masing
pribadi dalam memandang kematian. Setiap orang akan mengambarkannya berbedabeda sesuai dengan pengalaman mental di seputaran kematian, seperti halnya
fenomena Nitusae.
Fenomena Nitusae adalah keyakinan terhadap roh orang mati yang masuk
kedalam tubuh orang yang masih hidup. Nitusae ini berkaitan dengan keadaan
psikologis seseorang yang diperkuat dengan kepercayaan masyarakat sekitar.
Nitusae berpengaruh dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena karena
mereka masih percaya bahwa roh orang mati bisa masuk kedalam tubuh orang yang
masih hidup dan dapat berkomunikasi dengan keluarganya. Dari
fenomena ini
penulis melihat bahwa terdapat hal yang positif dan juga yang negatif. Positifnya
ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang baik bagi keluarga dan
negatifnya ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang tidak baik bagi
keluarga dan juga dampak negatif dari Nitusae adalah banyak orang semakin
terpengaruh dengan kepercayaan terhadap roh yang masih berada di sekitar jazadnya.
Saran
Penulis menyarankan kepada semua pihak untuk tetap jeli dalam menyingkapi
fenomena Nitusae, karena fenomena Nitusae dapat menghasilkan hal yang positif dan
juga hal yang negative.
33
Bagi gereja, penulis menyarankan agar dapat memberikan pemahaman dan
arahan kepada jemaat mengenai kepercayaan Nitusae yang mempengaruhi kehidupan
kekristenan jemaatnya. Sehingga jemaat dapat
34
DAFTAR PUSTAKA
Bill & Pam Farrel. Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi. Jogjakarta:
Andi, 2002.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama . Penerbit Kanisius: Yokyakarta,
2002.
Ghazali, A.Muchtar. Antropologi Agama . Bandung: Alfabeta, 2011.
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan
Laporan Penelitian. Malang: UMM Press, 2004.
Hick, John. Philosophy of Religion. New Jersey: Prentice Hall, 1990.
Hunt, Gladys. Pandangan Kristen Tentang Kematian . Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1987.
Honing, Jr. A.G. Ilmu Agama . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Keuskupan Agung Semarang. Hidup Berkeluarga . Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2007.
Koentjaraningrat. Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
1981.
Kusuma, Surya. Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen. Yogyakarta: Andi,
2012.
P. Middlekoop. Atomi PAh Meto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
35
Pals, Daniel L. Seven Theories Of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011.
Santrock, J.W. Life Span Development: Perkembangan asa Hidup. Jakarta: Balai
Pustaka, 2002.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Solso, Robert L. dkk. Psikologi Kongnitif. Jakarta: Erlangga, 2008.
Timo, Ebenhaizer I Nuban. Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri. (Diktat
Dogmatika)
Usman, Husaini. Purnomo. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Van Peursen. C. A. Tubuh Jiwa Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM,
1986.
Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their
Depression Diagnosed by Their Primary Care Doctors. http://achpr.gov/research
Kematian. http://id.wikipedia.org/wiki/. diunduh tanggal 06 maret 1012. Jam 13.17
WIB.
36
                                            
                Dalam masyarakat Timor - Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah fenomena
yang sangat menarik. Fenomena ini sering terjadi ketika ada peristiwa kematian, di
mana orang yang masih hidup dapat berkomunikasi dengan roh orang yang telah
meninggal dunia, lewat seorang medium atau perantara. Dalam bahasa Timor mereka
mengenalnya dengan sebutan Nitsae atau Nitusae.
Fenomena Nitusae ini diwariskan turun-temurun dari nenek moyang
masyarakat Timor. Nitusae atau Nitsae berasal dari kata Nitu dan Sae.1 Nitu biasanya
dalam bahasa Timor dipakai untuk istilah mayat, namun Nitu juga merupakan istilah
umum dalam bahasa Timor bagi arwah-arwah atau roh-roh yang melambangkan
kuasa kematian.2 Dan Sae mengandung arti „masuk‟ atau „naik atau memanjat‟. Jadi
Nitusae merupakan „roh yang masuk‟. Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang
hidup guna memberitahukan tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Dalam
beberapa kasus, roh itu menggunakan medium untuk berbicara kepada keluarga
tentang hal-hal yang harus diketahui oleh keluarga, baik itu bersifat privasinya atau
yang berkaitan dengan kehidupan keluarga dari roh tersebut dan bagaimana perlakuan
keluarga terhadap jasad dari si mati.3
Ketika terjadinya penyampaian pesan, orang yang dirasuki itu atau orang yang
menjadi medium tidak menyadarinya, namun ada juga orang yang menjadi medium
secara sadar menyampaikan maksud dari roh orang yang sudah meninggal tersebut,
dengan merasa terdorong untuk memberitahukan pesan. Adapun respon dari keluarga
1
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 12 Maret 2012
P. Middlekoop, Atomi PAh Meto (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 89.
3
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol
2
9
adalah mendengarkan dan menuruti apa yang menjadi kehendak roh orang yang telah
meninggal itu. Fenomena ini hanya berlangsung selama jasadnya belum dikuburkan
atau dalam hitungan tiga hari setelah menghembuskan nafas. Dan yang paling sering
mengalami atau kemasukan roh adalah kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.4
Fenomena Nitusae ini juga terjadi pada warga jemaat GMIT Efata Huko‟u di
desa Oesena, kecamatan Amarasi Timur, kabupaten Kupang, yang merupakan tempat
penelitian penulis. Sebagai orang Kristen mereka memandang kematian merupakan
sebuah perpisahan antara jiwa dan raga. Dimana jiwa pergi meninggalkan raga dan
langsung menuju ke tempat yang sangat damai, yaitu ke pangkuan Bapa di Sorga dan
tidak lagi bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam
kenyataanya Jemaat ini juga mempercayai dan mengalami apa yang dimaksud dengan
fenomena Nitsae atau Nitusae. Hampir di banyak peristiwa kematian yang terjadi di
jemaat Efata Huko‟u Oesena, pengalaman-pengalaman akan fenomena Nitusae selalu
terjadi. Roh orang yang telah meninggal berbicara kepada keluarga lewat setiap orang
yang diinginkan roh itu untuk menjadi medium.
Fenomena ini cukup banyak terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, maka
penulis ingin mengetahui “Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya
Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena”.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penyusun mengangkat
pokok permasalahan yang akan menjadi panduan dalam penyusunan jurnal ini yakni,
apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam
kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena?
4
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th
10
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya fenomena Nitusae dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u
Oesena.
Manfaat dari penelitian ini bagi gereja yaitu, agar gereja dapat mengetahui
pengaruh kepercayaan Nitusae terhadap kehidupan warga jemaatnya, dan mengambil
sikap sehingga gereja dapat membimbing dan mengarahkan warga jemaatnya dalam
ajaran gereja yang ada.
Pendekatan penelitian yang penulis ambil adalah pendekatan Kualitatif, yaitu
pendekatan yang mendiskripsikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
fenomena Nitusae di dalam Jemaat Huko‟u Oesena, dusun Satu, Amarasi Timur,
Kabupaten Kupang.
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data wawancara dan observasi
langsung, untuk mendapat informasi dengan melihat dan mendengarkan apa yang
dilakukan dan dikatakan para informan berdasarkan pengalaman mereka. Yang
diwawancarai informan kunci di atas yaitu orang-orang yang pernah mengalami
Nitusae, orang-orang yang pernah menyaksikan peristiwa Nitusae dan pendeta serta
juga majelis gereja. Penelitian dilakukan di Jemaat Huko‟u Oesena, Amarasi Timur,
Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Konsep-Konsep Tentang Fenomena Nitusae
Kematian adalah pengalaman yang tidak bisa disangkal dalam kehidupan setiap
makhluk hidup termasuk manusia. Kematian adalah sesuatu yang belum dimengerti
manusia, suatu pengalaman yang tidak dapat terjejaki. Manusia merasa tidak aman
11
dan tidak berdaya bila menghadapi kematian, musuh yang begitu menakutkan, musuh
yang tidak memandang usia, kekayaan maupun kedudukan.5 Semua makhluk hidup
pada akhirnya akan mati baik itu melalui proses alamiah, mati secara tidak wajar dan
mati dengan pertolongan (atau tidak) secara medis.6
Di lingkungan orang Timor kematian dan kehidupan dialami sebagai dua kuasa
yang bertentangan, seperti dua kutub yang berlawanan, sebagai drama yang berjalan
terus, pada saat ini di sini dan pada saat lain di sana, dan yang melibatkan manusia
dalam tindakannya. Pada latar belakangnya kita temui pandangan bahwa ada suatu
keseimbangan yang statis antara kehidupan dan kematian. Atau boleh dikatakan juga:
suatu aliran timbal
balik seperti antara dua bejana yang saling berhubungan.7
Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi tidak terukur,
tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan seseorang, semakin kita
tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak, semakin terasa wajar
kematian itu.
Akibat dari kematian adalah dukacita bagi semua. Dukacita (grieve) adalah
kelumpuhan emosional, tidak percaya, terkejut, putus asa, kecemasan akan
perpisahan, sedih dan kesepian menyertai karena kita kehilangan orang yang kita
cintai. (Averill, 1968 dalam Santrock). Sedangkan menurut Bowbly (Santrock) ada
empat stadium dukacita, yaitu: Stadium 1, merupakan fase awal dari keputusasaan
yang ditandai dengan mati rasa dan protes. Penolakan mungkin segera dan luapan
kemarahan dan penderitaan adalah sering. Stadium mungkin berlangsung singkat
sampai beberapa hari dan dapat dialami kembali secara berkala oleh orang yang
5
Gladys Hunt, Pandangan Kristen Tentang Kematian , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987) , 1.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kematian. diunduh tanggal 06 maret 2012. Jam 13.17 WIB.
7
P. Middlekoop, Atomi PAh Meto , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 41.
6
12
sedang berdukacita dalam keseluruhan proses berkabung. Stadium 2, adalah fase
merindukan dan mencari-cari orang yang telah meninggal. Fase ini ditandai dengan
kegelisahan fisik dan pengikatan perhatian terhadap orang yang telah meninggal. Fase
ini dapat berjalan selama beberapa bulan atau bahkan bertahun-tahun dalam bentuk
yang semakin melemah. Stadium 3, dalam fase ini digambarkan sebagai fase
disorganisasi dan putus asa, kenyataan kehilangan mulai menghilang. Perasaan
seperti mengadakan gerakan-gerakan adalah dominan dan orang yang berdukacita
tampak menarik diri, apatis dan tanpa gairah. Insomnia dan penurunan berat badan
dapat terjadi, demikian juga perasaan bahwa kehidupan kehilangan arti. Orang yang
berdukacita mungkin terus-menerus menghidupkan kembali kenangan akan orang
yang telah meninggal dan perasaan kecewa yang tidak dapat dihindari terjadi jika
orang yang berdukacita menyadari bahwa kenangan hanyalah kenangan. Stadium 4,
merupakan fase reorganisasi, selama mana aspek yang menyakitkan secara akurat
dari dukacita mulai menghilang dan orang yang berdukacita mulai merasa kembali ke
kehidupan. Orang yang telah meninggal sekarang dikenang dengan rasa kegembiraan
dan juga kesedihan dan bayangan orang yang telah meninggal menjadi dipendam.8
Kematian terjadi
saat di mana tubuh berhenti berfungsi, roh atau jiwa
dipercayai sebagai yang terus ada (immortality).9 Dalam kepercayaan orang Yahudi
roh ketika meninggalkan raga, roh itu akan pergi ke dalam Sheol,
dan dalam
Kekristenan roh yang meninggalkan raga akan dibawah ke dalam pangkuan Bapa
Sorgawi, dengan kata lain roh yang meninggalkan raga tidak ada lagi dalam dunia
dan tidak bersentuhan dengan kehidupan orang yang masih hidup. Namun dalam
8
9
Santrock, J.W, Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup (Jakarta: Balai Pustaka, 2002)
John Hick, Philosophy of Religion , (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 121.
13
pandangan agama-agama pribumi khususnya dalam pandangan masyarakat Timor,
roh yang telah meninggalkan raga tidak serta- merta pergi jauh-jauh meninggalkan
tubuhya, bahkan mereka akan pergi menempati tempat di balik sebuah pohon. Hal ini
disebabkan karena masyarakat Timor mempercayai sewaktu-waktu kalau perlu roh
bisa masuk dalam seseorang untuk menyampaikan pesan kepada keluarganya yang
ditinggalkan.10 Dan roh yang meninggalkan raga juga dapat menjadi perantara bagi
manusia yang hidup untuk berhubungan dengan Tuhannya, karena roh tidak lagi
dibatasi oleh ruang dan waktu.
Berbicara mengenai roh, kita perlu memahami animisme yang memiliki akar
kata anima yang berarti roh. Menurut Taylor, Animisme adalah suatu kepercayaan
terhadap adanya roh-roh yang berdiam pada semua benda baik itu benda hidup
maupun benda mati. Selanjutnya ia menjelaskan tentang tiga macam kepercayaan
umum yang berkaitan dengan adanya roh sesudah kematian yang diambil dari
animisme dalam tahap awalnya. Pertama, adalah kepercayaan bahwa roh melayanglayang di atas bumi dan mempunyai kepentingan dengan yang hidup, terkadang
malah mengunjungi rumahnya dulu. Kedua , kepercayaan pada metapsikosis dari roh
ke dalam makhluk-makhluk lain, manusia, hewan dan tumbuhan. Ketiga , konsep
mengenai tempat kediaman istimewa di dunia lain. Roh itu melanjutkan kehidupan
yang mirip dengan kehidupan duniawi, atau diganjar atau dihukum menurut
perbuatan-perbuatan mereka ketika hidup di dunia.11
Dunia
Roh
10
11
Ebenhaizer I Nuban Timo, Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri, (Diktat Dogmatika), 225.
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), 69.
14
Skema dunia Animisme
Dunia
Fisik
Roh-roh ini dipercayai dapat menangkal kejahatan, menghilangkan musibah
atau menjamin kesejahteraan, dengan kata lain kepercayaan pada roh merupakan
suatu rasa kebutuhan, maka dari itu roh-roh dipuja dalam bentuk pemujaan roh-roh
individual atau kelompok. Orang-orang hidup dapat berkomunikasi dengan roh dan
arwah orang-orang mati, ini disebut dengan spiritualisme atau spiritualism. Dalam
ritual yang disebut séance, roh-roh atau arwah-arwah bisa diajak berdialog.
Spiritualisme ini muncul dalam berbagai bentuk diseluruh dunia. Antara lain di
Indonesia muncul dalam permainan jailangkung, nyi putut, nini towo, dan permainan
mangkuk. Dalam berbagai acara yang diadakan para spiritis, seringkali dipertunjukan
hal-hal aneh, seperti memadamkan atau menyalakan lampu listrik tanpa menyentuh
saklar dan memindahkan kursi, meja, tanpa dilakukan oleh manusia.12
Dalam masyarakat Timor, roh orang yang telah meninggal dipercayai bisa
masuk ke dalam tubuh salah satu anggota keluarga baik itu laki-laki yang dianggap
kuat maupun perempuan yang dianggap lemah dalam budaya Timor (Patriakhal).
Dalam pandangan mereka kedua gender ini rentan dijadikan medium oleh roh orang
yang telah meninggal, tanpa melihat kuat atau lemahnya orang tersebut. Namun
berdasarkan penuturan, yang paling sering mengalami atau kemasukan roh adalah
kaum perempuan ketimbang kaum laki-laki.
12
Dr. Surya Kusuma, S.Th., M.Min, Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen (Yogyakarta: Andi, 2012), 56.
15
Secara psikologi, laki- laki dan perempuan yang dianggap sebagai dua gender
yang rentan dijadikan sebagai medium oleh roh orang meninggal tersebut, memiliki
perbedaan yaitu; laki-laki gemar menjelajah dan menyelidiki alam sekitarnya, suka
mencoba, mencari, dan melihat-lihat. Aktif, mengambil inisiatif, suka mengkritik dan
memprotes, rasio dan logika lebih utama. Lebih melihat garis besar. Sedangkan
perempuan suka menyayangi, merawat mengatur, Perhatiannya untuk sesama
manusia. Reaktif, menanggapi, lebih mudah terpengaruh dan menyayangi, perasaan
lebih utama. Perhatiannya sampai kepada yang detail-detail.13
Menurut Dagun (1992), laki-laki dan perempuan memiliki berbagai perbedaan
sifat. Perbedaan sifat tersebut antara lain, laki-laki sangat agresif, sangat bebas, tidak
emosional hampir memendam emosi, tidak mudah terpengaruh, sangat percaya diri,
sangat objektif, tidak ada ketergantungan dan tidak suka berbicara. Sedangkan
perempuan tidak agresif, tidak bebas, sangat emosional, tidak memendamkan emosi,
mudah terpengaruh, tidak percaya diri, sangat subjektif, tergantung dan sangat suka
berbicara. Selain itu laki-laki dan perempuan juga berbeda dari segi fisik, emosi,
perilaku seksual dan kecerdasan.14
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga dijelaskan oleh Bill & Pam
Farrel (2002) serta John Gray (2001) dalam masing-masing bukunya. Menurut Bill &
Pam Farrel, Laki-laki memproses kehidupan dalam kotak-kotak. Sama seperti kue
Wafer yang tersusun atas kotak yang dipetak-petak yang saling terpisah dan berdiri
sendiri, demikian juga para laki-laki memproses hidupnya.15
13
Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14.
Dagun, M.S, Psikologi keluarga (PT. Rineka Cipta, 1992)
15
Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 4.
14
16
Pikiran, perasaan dan tanggapan laki-laki terhadap kenyataan hidup terbagi
dalam kotak-kotak. Tiap masalah atau perasaan ada ruangnya sendiri dan tidak punya
sangkut paut langsung dengan masalah atau perasaan lain. Ia seolah-olah melupakan
rumah dan keluarganya. Ketika seorang laki-laki berada di tempat kerja, ia bekerja
dan tidak peduli dengan hal-hal lain. Ketika sedang berada di garasi, ia tidak
memusingkan diri dengan hal lain. Ia benar-benar ada di garasi. Itu sebabnya laki-laki
biasa terlihat asyik sendiri dengan dunianya (menghabiskan waktunya di kotak itu)
dan tidak memusingkan diri dengan hal lain yang terlepas dari kotak itu.16
Berbeda dengan
laki-laki, Bill & Pam Farrel (2002:6) mengibaratkan
perempuan sebagai Bakmi. Jika kita memperhatikan Bakmi dalam sebuah piring,
guratan mie yang satu berkait atau bersentuhan dengan guratan mie lainnya. Karena
itu akan kewalahan jika mencoba untuk menelusuri satu guratan mie dari ujung yang
satu ke ujung yang lain, karena guratan-guratan itu bertumpang-tindih. Akibatnya kita
bisa saja berpindah ke guratan mie lainnya. Beginilah cara perempuan berpikir dan
mengelola perasaan dan tanggapan-tanggapan lainnya atas sebuah masalah. Dengan
demikian setiap pemikiran dan persoalan mereka berkaitan dengan pemikiran dan
persoalan lainnya.17
Sebagian besar perempuan berusaha mengkaitkan kotak hidup yang satu
dengan kotak yang lain dalam menimbang dan membuat keputusan. Cepat-cepat
memecahkan satu masalah yang kait-mengait dengan banyak masalah lain adalah
16
17
Ibid
Bill & Pam Farrel, Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi (Jogjakarta: Andi, 2002), 5.
17
tindakan penyangkalan. Dalam percakapan perempuan bisa menyatukan aspek logika,
emosi, estetis, religius bahkan juga interpretasi.18
John Gray pun menjelaskan dalam bukunya Mars and Venus Together
Forever mengibaratkan Laki-laki dari Mars dan Perempuan dari Venus, bila sedang
menghadapi persoalan. Penduduk Planet Mars, kata John Gray, tidak pernah
membicarakan apa yang merisaukan hatinya. Mereka juga tidak membutuhkan
nasehat orang lain untuk keluar dari persoalan. Orang-orang di Mars akan masuk ke
dalam ''gua'' pribadinya untuk merenungkan masalahnya, mengunyahnya terus
menerus demi mencari penyelesaian sendiri. Laki-laki suka menyendiri saat mereka
memiliki persoalan. Jika sudah menemukan jalan keluar, mereka akan keluar dari
''gua'' itu dan bekerja lagi. Kalau pemecahan masalah tidak ditemukan, orang-orang di
Mars akan melakukan sesuatu untuk melupakan kesulitan-kesulitan itu, misalnya
membaca surat kabar atau permainan. Dengan melepaskan pikiran-pikiran dari
masalah itu, lambat laun ia dapat beristrahat. Berbeda dengan penduduk di Venus,
bila penduduk Venus sedang menghadapi masalah atau tegang, mereka akan mencari
seseorang untuk menceritakan secara detail masalah-masalahnya. Setelah berbagi
perasaan mengenai kebingungannya, penduduk Venus akan merasa lebih enak.
Mereka senang jika mempunyai teman-teman yang penuh cinta, yang dapat berbagi
perasaan serta kesulitan-kesulitan. Mereka menceritakan persoalan kepada orang lain
bukan untuk mencari pemecahan masalah, melainkan mencari keringanan. Mereka
membutuhkan seseorang untuk mendengar dengan setia dan empati. Orang-orang di
Venus merasa dirinya dihargai dan dicintai jika perasaan-perasaannya didengarkan.
Mereka tidak butuh nasehat pada waktu menceritakan persoalan-persoalan, mereka
18
Ibid
18
hanya mengharapkan orang lain (suami) mendengar dengan setia dan empati.19
Perbedaan sifat-sifat demikian tidaklah mutlak, melainkan secara relatif lebih
menonjol.20
Perbedaan-perbedaan ini juga dijelaskan oleh APA (American Psychological
Association). Menurut APA perempuan memiliki kecenderungan hampir dua kali
lebih besar dari pada laki-laki untuk mengalami depresi. Perbedaan gender sebagian
besar juga disebabkan karena jumlah stress yang dihadapi perempuan lebih besar.
Perbedaan gaya coping juga dapat membantu menjelaskan lebih besarnya kerentanan
perempuan untuk terkena depresi. Ketika depresi laki-laki lebih cenderung
mengalihkan pikirannya sementara perempuan lebih cenderung memperbesar depresi
dengan cara merenungkan perasaan dan kemungkinan penyebabnya. Ketika depresi,
perempuan akan lebih cenderung duduk di rumah dan berpikir tentang perasaan
mereka sementara laki-laki akan pergi keluar rumah untuk mengalihkan pikiran
mereka dan laki-laki juga seringkali beralih ke alkohol (Nevid, dkk, 2005).21
Dengan demikian semakin jelas untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya fenomena Nitusae yang dialami oleh jemaat Efata Huko‟u Oesena.
Fenomena Nitusae di Jemaat Efata Huko’u Oesena
Kondisi Geografis
Dusun Satu, desa Oesena merupakan salah satu wilayah yang berada dalam
pemerintahan kabupaten Kupang kecamatan Amarasi Timur. Wilayah tersebut
19
John Gray, Mars and Venus Together Forever (Jakarta: Gramedia, 2000)
Keuskupan Agung Semarang, Hidup Berkeluarga (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007), 14.
21
Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their Depression Diagnosed by Their
Primary Care
Doctors. http://achpr.gov/research
20
19
merupakan wilayah didataran tinggi dan merupakan daerah dingin. Jarak tempuh dari
jalan utama Oesao untuk sampai ke desa Oesena kira-kira memakan waktu 25-30
menit, dikarenakan kondisi jalan yang berliku-liku serta keadaan fisik jalan yang
berlubang-lubang. Jalan yang menghubungkan antara tiga dusun di dalam desa
Oesena masih merupakan jalan tanah dan juga berbatu-batu.
Keadaan lingkungan desa Oesena masih sangat hijau dengan banyaknya
pohon-pohon. Desa ini juga berada dekat dengan wilayah Hutan Lindung. Dalam
kepercayaan orang Timor hutan merupakan tempat tinggalnya arwah atau roh,
sehingga hutan akan dijaga dengan sangat baik oleh mereka. Letak rumah warga yang
satu dengan yang lainnya juga cukup berjauhan,
hal ini disebabkan karena
pekarangan rumah setiap keluarga sangat luas. Ketika pada malam hari desa Oesena
khususnya dusun Satu ini sangatlah gelap dan sepi disebabkan karena jarak rumah
yang berjauhan, banyaknya pepohonan dan penerangan di daerah ini sangat kurang.
Berbeda dengan keadaan siang hari.
Ekonomi, Sosial - Budaya, Pendidikan, Agama
Bercocok tanam adalah mata pencaharian utama di dusun Satu, desa Oesena.
Menurut penuturan bapak Miklon Elimelek Tofas selaku kepala dusun Satu, dari
penduduk 527 jiwa hanya 2 orang yang profesinya sebagai Pegawai Negeri Sipil,
sisanya rata-rata adalah sebagai petani yang menggarap lahannya sendiri. Tanaman
yang digarap dilahan atau sawah bermacam-macam jenisnya, misalnya padi,
singkong, cabai, jagung dan lain sebagainya. Hasil dari penggarapan lahan atau
sawah tersebut, sebagiannya akan mereka gunakan sebagai makanan sehari-hari
20
mereka, dan sebagiannya lagi akan mereka jual ke pasar untuk mendapatkan uang
sebagai pengerak ekonomi mereka. Pada saat musim panen, hasil panen mereka juga
akan dilelangkan di gereja sebagai persepuluhan mereka. Pada bulan-bulan tertentu
seperti bulan April, masyarakat setempat akan memulai menenun kain ikat untuk
pergelaran acara adat dan juga untuk dijual. Kegiatan penenunan ini didominasi oleh
kaum perempuan, dan yang merupakan tugasnya seorang perempuan Timor untuk
dapat membuat tenun ikat. Dari mata pencaharian diatas, rata-rata warga dusun Satu
memiliki tingkat perekonomian menengah ke bawah.
Warga dusun Satu desa Oesena, rata-rata berpendidikan Sekolah Menengah
Atas, hanya ada 14 orang yang melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.
Namun beberapa dari mereka seusai menamatkan pendidikannya di perguruan tinggi,
mereka mencari pekerjaan di kota Kupang dan menetap disana demi pekerjaan
mereka, hanya sesekali mereka kembali ke kampung halaman untuk berlibur atau
menjenguk keluarga.
Budaya yang paling melekat dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena
adalah gotong-royong di antara mereka. Mereka dengan senang hati saling membantu
dalam menyiapkan apapun yang dibutuhkan oleh keluarga yang lain dalam
menggelarkan acara, baik itu pernikahan, acara adat ataupun kematian. Diundang
ataupun tanpa diundang mereka akan berbondong-bondong datang membantu, ada
yang datang dengan membawa barang-barang atau makanan yang dibutuhkan
ataupun hanya sekedar menyumbangkan tenaga. Kegotong-royongan ini tidak
terlepas dari adanya perkawinan yang terjadi diantara orang-orang di desa Oesena
21
tersebut, sehingga hubungan sosial mereka sangatlah tinggi dikarenakan adanya
hubungan kekeluargaan.
Dalam dusun ini juga terdapat kebiasaan yang unik ketika musim panen tiba,
jemaat dan gereja akan bersepakat melaksanakan kebaktian di lahan atau sawah,
sebelum melakukan panen raya. Kebiasaan tersebut muncul karena pada waktu-waktu
sebelumnya ketika musim panen tiba secara khusus pada hari minggu gereja kosong
disebabkan jemaat pergi ke ladang untuk memanen. Maka dari itu Gereja mulai
menyikapinya dengan mengadakan ibadah kontekstual, yang berupa kebaktian panen
raya di ladang terbuka tempat biasanya para petani memanen.
Mayoritas masyarakat dusun Satu desa Oesena merupakan anggota Gereja
Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena.
Kekerabatan Jemaat Efata Huko’u Oesena
Jemaat Efata Huko‟u Oesena merupakan jemaat yang berada dalam wilayah
desa Oesena. Desa Oesena sendiri terbagi atas tiga dusun, dusun satu, dusun dua dan
dusun tiga. Dalam dusun satu inilah Jemaat Efata Huko‟u Oesena berada. Jumlah
penduduknya yang tergolong sedikit yaitu 527 jiwa, menyebabkan terjadinya
interaksi sosial yang sangat tinggi. Hubungan kekerabatan di antara mereka juga
tidak terlepas dari adanya pernikahan antara anggota keluarga dalam desa atau dusun
tersebut, dan tidak juga menutup kemungkinan terjadinya pernikahan antara warga
dusun tersebut dengan orang luar dusun atau desa. Sebagai contoh ada beberapa
anggota keluarga yang mengambil pasangannya dari luar wilayah tersebut bahkan
dari suku yang berbeda.
22
Di antara mereka juga terjadi pernikahan sedarah, kurang lebih empat sampai
lima keluarga mengambil pasangan di antara anggota keluarganya sendiri atau dalam
istilah mereka disebut „istri rumah‟, dan hal ini dianggap biasa oleh warga jemaat
tersebut.
Bukti tingginya hubungan kekerabatan di antara mereka terlihat pada saat
terjadi perayaan pernikahan, kematian atau acara adat, yang melibatkan semua warga
jemaat untuk turut serta mengambil bagian dalam peristiwa tersebut. Mereka datang
dengan atau tanpa diundang untuk membantu menyukseskan atau membantu
melancarkan kegiatan yang diadakan oleh keluarga dalam dusun tersebut. Hubungan
kekerabatan ini juga dapat terlihat dalam kehidupan mereka sehari-hari, yaitu ketika
mereka bertemu satu dengan yang lainnya dalam perjalanan melewati dusun atau
dimanapun mereka bertemu, mereka akan saling menyapa dengan kata “Salamat atau
selamat”.
Kebiasaan mengucapkan kata “salamat atau selamat” ini sebagai bentuk dari
rasa kekeluargaan, yang pada kenyataannya dilatarbelakangi juga oleh adanya
hubungan pernikahan antara anggota keluarga dalam dusun tersebut atau pernikahan
sedarah. Hal lain yang melatar belakangi sikap saling menyapa tersebut juga
disebabkan karena adanya faktor pekerjaan yang sama, yaitu bertani dan berkebun
serta juga warga dusun satu ini memiliki tempat beribadah yang sama, yaitu Gereja
Masehi Injili di Timor jemaat Efata Huko‟u Oesena.
23
Fenomena Nitusae
Dalam setiap peristiwa kematian ada prosesi (tahap-tahap) yang dilakukan
sebelum penguburan jenazah, waktu penguburan dan setelah penguburan. Bagi orang
Timor, secara khusus dusun Satu desa Oesena, prosesi atau tahap-tahap itu perlu
dilakukan demi menghormati yang meninggal dan juga sebagai bagian penguatan
bagi keluarga. Untuk melaksanakan prosesi itu pihak keluarga inti akan
mengumpulkan segenap anggota keluarga untuk membicarakan apa-apa saja yang
diperlukan untuk prosesi pemakaman, kapan penguburannya, dan juga berapa banyak
dana yang harus dikeluarkan untuk prosesi itu dan untuk mengadakan acara ucapan
syukur (mengucap syukur bagi berpulangnya salah satu anggota keluarga kehadirat
Tuhan). Biasanya dalam peristiwa kematian, penguburan jenazah akan dilakukan
pada hari ketiga setelah yang meninggal menghembuskan nafasnya, hal ini dilakukan
untuk memperpanjang waktu bagi keluarga yang belum hadir agar dapat melihat
wajah dari yang meninggal untuk terakhir kalinya.22
Selama tiga hari tersebut (atau lebih) pada setiap malamnya selalu ada
kegiatan mete atau begadang. Para keluarga, tetangga dan kerabat akan datang dan
duduk-duduk sambil menyanyikan lagu-lagu rohani untuk menghibur keluarga
hingga larut malam, bahkan tidak menutup kemungkinan hingga subuh. Kedatangan
mereka untuk menghibur ini, akan ditanggapi pihak keluarga inti yang berduka untuk
menyediakan minuman dan makanan (kue), bagi para pelayat yang datang untuk
menghibur hingga larut malam. Dalam kebiasaan orang Timor, hampir semua
anggota keluarga yang perempuan akan selalu berada di dekat jenazah, ketimbang
22
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013
24
kaum laki-laki. Dalam banyak kasus kematian yang terjadi di desa Oesena,
perempuan-perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara
menangis sambil berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada
keluarga, tetangga atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai
pertanyaan masygul, seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh
mo bilang apa le (mau bagaimana lagi, sudah terjadi). Dalam kesempatan ini gereja
akan mengambil waktu dua (2) malam (atau lebih sebelum jenazah dikebumikan)
secara berturut-turut untuk mengadakan ibadah penghiburan bagi keluarga yang
ditinggalkan. Lamanya hari dan prosesi atau tahap-tahap ini memungkinkan kejadian
Nitusae terjadi.23 Seperti yang dialami oleh Yawan Damaris Mnir (24) dan Elsy
Renate (27) dengan pengalaman Nitusae yang berbeda. Nitusae yang dialami Yawan
Damaris Mnir anak perempuan dari bapak almarhum Marthen Mnir, merupakan
Nitusae yang terjadi pada saat meninggalnya bapak Marthen Mnir. Dituturkan bahwa
bapak Marthen Mnir meninggal dunia karena kanker mulut. Kematian ini
menimbulkan duka yang amat dalam bagi keluarga Mnir khususnya bagi Yawan,
anak perempuan yang paling dekat dengan almarhum bapak Marthen Mnir.
Fenomena Nitusae dialami oleh Yawan sejak ayahnya menghembuskan nafas terakhir
sampai pada saat penguburan, Yawan selalu mengeluarkan kata-kata “lidah sakitlidah sakit” dalam ketidaksadaran dirinya.24 Fenomena Nitusae yang terjadi pada saat
ada persitiwa kematian juga dialami oleh Elsy Renate, dimana ayahnya yang bernama
Ayub Tofas meninggal dunia, karena sakit. Namun dalam fenomena ini Elsy
dimasuki oleh dua (2) roh, roh yang pertama adalah ayahnya Ayub Tofas dan roh
23
24
Hasil Wawancara dengan Pdt. Dody Dally, S.Si-Teol pada tanggal 26 April 2013
Hasil Wawancara dengan Sovia Masneno pada tanggal 24 April 2013
25
yang kedua adalah almarhumah ibunya Margaretha Tofas-Renate. Masing-masing
roh ini bergantian mengunakan tubuh
Elsy sebagai medium untuk memberikan
pesan-pesan atau nasehat-nasehat kepada keluarganya, antara lain (pesan dari roh
almarhum bapak Ayub Tofas)“kalian harus saling basayang di dalam keluarga,
kaka-adik harus saling basayang, apa yang pernah bapa buat (yg baik) itu juga yang
harus di lakukan,” (Pesan dari roh almarhumah ibu Margaretha Tofas-renate
)“sayang basong punk adik elsy”. “katong pigi sudah”.25
Kebanyakan fenomena Nitusae dipercayai terjadi pada saat peristiwa
kematian berlangsung, namun pada kenyataannya tidak demikian, karena ada
fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada saat peristiwa kematian itu berlangsung.
Ada fenomena Nitusae yang terjadi pada kegiatan adat dan pada waktu-waktu
tertentu. Hal ini penulis temukan terjadi pada keluarga bapak Herman Yulius
Masneno, yang terjadi sehari setelah acara adat berlangsung, yaitu acara adat Nasa
Eba Nonoh, Nasa Nut Nonoh, yang diterjemahkan menjadi “Menaikan Marga dan
Menurunkan Marga” atau “Melepaskan Marga dan Mengganti Marga”. Acara adat ini
dilakukan karena kedua anak perempuan bapak Herman Yulius Masneno, semenjak
kecil hingga berumur 24 tahun dan berumur 16 tahun tidak mengenakan marga
Masneno sebagai marga mereka dalam sistem Patriakhal. Namun mereka
mengenakan marga ibu sebagai marga mereka. Hal ini terjadi karena semenjak kecil
kedua anak perempuan bapak Herman sering mengalami sakit-sakit, sehingga
memaksa bapak Herman untuk memberikan marga istrinya kepada kedua anak
perempuannya. Setelah mereka dewasa, barulah marga bapak Herman Masneno
25
Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal 24 April 2013
26
dikenakan pada kedua anaknya. Acara ini berlangsung di rumah almarhum ayah dari
bapak Herman Masneno.26 Fenomena Nitusae yang tidak terjadi pada peristiwa
kematian juga dialami oleh ibu Dortia Teriposa Tofas. Ketika itu keluarga ibu dortia,
memiliki rencana untuk membangun “rumah” bagi almarhumah mamanya yang telah
meninggal dua tahun yang lalu. Namun pembicaraan mereka hanya sekedar
pembicaraan. Tanpa diduga beberapa bulan kemudian terjadilah fenomena Nitusae
pada ibu Dortia, yang kala itu sedang mengalami sakit panas bahkan seluruh
keluarganya sedang sakit panas yang sama.27 Fenomena Nitusae yang berlangsung
pada saat tidak ada peristiwa kematian, merupakan fenomena yang terjadi karena
masih adanya janji atau rencana yang belum terpenuhi dari orang yang hidup kepada
orang yang telah meninggal.28
Secara umum fenomena Nitusae terjadi dengan gejala awal, seorang medium
atau yang akan mengalami Nitusae tiba-tiba pingsan atau tidak menyadarkan diri.
Pada saat seseorang tidak menyadarkan diri dan diduga akan mengalami Nitusae,
orang yang berada di sekitarnya akan mencoba menyadarkannya dengan cara
mencubit-cubit, mengelitik, mengajak berbicara dan sebagainya. Hal tersebut
dilakukan karena ingin membuktikan apakah orang tersebut benar-benar tidak
menyadarkan diri. Jika memang demikian orang yang mengalami ketidaksadaran diri
tersebut tidak bereaksi karena sakit dicubit dan merasa digelitik, namun merespon
dengan mulai berbicara. Di saat itulah fenomena Nitusae dipercayai terjadi, dengan
26
Hasil wawancara terhadap bapak Herman Yulius Masneno pada tanggal 24 April 2013
Hasil wawancara terhadap ibu Dortia Teriposa Tofas pada tanggal
28
Hasil wawancara terhadap bapak Miklon E. Tofas pada tanggal 24 April 2013
27
27
bukti orang yang mengalami Nitusae mulai berbicara dengan suara dan intonasi yang
sama dengan orang yang meninggal.29
Roh yang masuk ke dalam tubuh orang yang hidup akan memberitahukan
tujuan dan maksudnya yang belum tersampaikan. Orang yang dimasuki roh orang
yang telah meninggal ini akan menyampaikan pesan atau keinginan hatinya yang
belum tercapai atau belum sempat dikatakan kepada keluarga.
Setelah Nitusae terjadi, orang yang mengalaminya akan segera sadar namun
ada pula yang membutuhkan waktu beberapa saat untuk tersadar. Ketika dia telah
sadar kembali, yang dia rasakan hanyalah rasa sakit karena cubitan, dan jika
ditanyakan kembali apa yang dia katakan ketika mengalami Nitusae, dia tidak
mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya (pada saat hilang kesadaran).
Faktor-Faktor Terjadinya Fenomena Nitusae
Peristiwa kematian merupakan sebuah misteri bagi kebanyakan orang.
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan. Apa yang terjadi di balik kematian
masih menjadi misteri dan perdebatan banyak orang. Namun pada umumnya manusia
mempercayai bahwa di balik kematian masih ada dunia lain.
Secara sederhana Nitusae selalu berkaitan dengan peristiwa kematian menurut
kepercayaan masyarakat setempat. Fenomena Nitusae tidak pernah diduga datangnya
dan pada siapa yang akan mengalaminya, namun walaupun demikian aspek
kepercayaan seseorang dan aspek psikologisnya sangat menentukan terjadinya
fenomena Nitusae.
29
Hasil Wawancara dengan Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th pada tanggal 27 April 2013
28
A. Faktor Kepercayaan
Dalam masyarakat Timor khususnya dusun Satu desa Oesena, terdapat
kepercayaan bahwa pada waktu seseorang menghembuskan nafas terakhir, roh-nya
tidak serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan jazadnya, tetapi masih berada di
sekeliling jazadnya selama kurun waktu tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke
balik pohon. Pohon atau hutan dipercayai sebagai tempat tinggal bagi roh-roh atau
jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal.
Nitusae merupakan salah satu kepercayaan yang masih dipegang oleh dusun
Satu desa Oesena. Kepercayaan tersebut berkaitan dengan kematian seseorang yang
melibatkan roh dari orang yang meninggal dan yang dapat masuk ke dalam raga
seseorang dalam waktu-waktu tertentu, dengan tidak memandang siapa yang akan
mengalami Nitusae tersebut. Siapa pun dapat mengalami Nitusae.
Pada kenyataan yang terjadi, memang agak sulit untuk membedakan antara
orang-orang yang benar-benar mengalami Nitusae dengan orang yang hanya
mengalami ketidaksadaran diri. Berdasarkan satu konsep sederhana mengenai
kepercayaan masyarakat tentang roh orang yang telah meninggal masih tetap
bersemayam di sekitar raganya walaupun “ia” telah meninggal dunia. Konsep
pemikiran masyarakat Dusun Satu Desa Oesena sama dengan konsep di atas
mengenai kepercayaan orang yang telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Dipercayai bahwa roh masih berada di sekitar jasadnya, maka dari itu ketika ada
seseorang yang kehilangan kesadaran diri dan tidak dapat mengendalikan diri secara
penuh, orang tersebut dianggap mengalami kemasukan roh atau dalam masyarakat
Oesena dikenal dengan Nitusae.
29
Konsep pemikiran tersebut memang tidak dapat disalahkan, karena dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat tersebut telah mewarisi kepercayaan yang
menganggap bahwa roh yang telah meninggalkan raga masih akan tetap berada di
sekitar raganya dalam kurun waktu tertentu.
Kepercayaan pada roh biasanya termasuk suatu rasa kebutuhan akan suatu
bentuk komunikasi dengan mereka untuk menangkal kejahatan, menghilangkan
musibah atau menjamin kesejahteraan. Komunikasi dengan yang adikodrati menjadi
suatu nilai pada dirinya sendiri. Komunikasi dengan roh mengambil bentuk pemujaan
roh-roh individual atau kelompok-kelompok roh. Menurut Taylor,
dalam
kepercayaan umum yang berkaitan dengan adanya jiwa sesudah kematian
mempercayai bahwa jiwa melayang-layang di atas bumi dan mempunyai kepentingan
dengan yang hidup, terkadang malah mengunjungi rumahnya dulu.
B. Faktor Psikologi
Pada dasarnya manusia adalah makluk sosial yang membutuhkan orang lain
untuk mengisi kehidupannya agar dapat terus maju. Manusia tanpa sesamanya
tidaklah mampu untuk tetap bertahan dalam menjalani harinya, sehingga hubungan
antara manusia dan sesamanya menyebabkan adanya saling ketergantungan. Kondisi
seperti ini terlebih lagi dirasakan di dalam hubungan antar keluarga atau di dalam
keluarga inti, yaitu kakek, nenek, ayah, ibu serta anak dan cucu. Hubungan keluarga
inti selalu menimbulkan rasa saling memiliki, merasa saling bertanggung jawab untuk
mendatangkan kebaikan bagi seluruh anggota keluarga dan terutama mengalami
pengalaman mental yang saling terkait.
Keintiman sebuah keluarga memiliki dampak yang sangat baik bagi
kehidupan setiap anggotanya, namun ternyata keintiman sebuah keluarga juga dapat
30
menimbulkan perasaan negatif ketika keintiman itu diperhadapkan pada peristiwa
kematian dari salah satu anggota keluarga. Rasa penolakan akan sebuah kenyataan
kematian dari anggota keluarga yang lain menandakan bahwa rasa memiliki itu
sangat tinggi. Kematian berarti keterpisahan dan jarak yang ditimbulkannya menjadi
tidak terukur, tak terbatas. Semakin dekat jarak fisik dan emosi kita dengan
seseorang, semakin kita tidak bisa menerima realitas kematian. Semakin jauh jarak,
semakin terasa wajar kematian itu.
Dalam meresponi sebuah peristiwa kematian di dalam sebuah keluarga, setiap
anggota keluarga – laki-laki dan perempuan – mengekspresikannya dengan berbedabeda. Sebagai seorang laki-laki – anak atau cucu dari orang yang meninggal, suami
atau menantu – yang dikenal lebih mengutamakan logika atau rasio akan
meresponnya dengan tindakan yang lebih tegar, dibandingkan dengan perempuan –
anak atau cucu dari orang yang meninggal, istri atau menantu – yang terkenal lebih
mengutamakan perasaan mereka, maka ketika ada anggota keluarga yang meninggal
akan lebih meluapkan perasaan mereka dengan menangis, walaupun hal tersebut
bukanlah hal yang mutlak dan bahkan dapat terjadi sebaliknya. Namun dalam kasus
yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena, hampir semua anggota keluarga yang
perempuan akan lebih banyak meluapkan kesedihannya dengan cara menangis sambil
berbicara. Kesedihan mereka akan semakin bertambah ketika ada keluarga, tetangga
atau kerabat yang datang untuk melayat dengan berbagai-bagai pertanyaan masygul,
seperti; kapan? bagaimana? kok bisa? kasian eh (kasihan ya), eh mo bilang apa le
(mau bagaimana lagi, sudah terjadi).
31
Berdasarkan fenomena Nitusae yang terjadi di jemaat Efata Huko‟u Oesena,
penulis menyimpulkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami Nitusae dibanding
laki-laki. Hal ini juga ditegaskan oleh Pdt. Daniel Thimotius Tafetin, S.Th.
Rentannya perempuan yang mengalami Nitusae dikarenakan perempuan lebih
mengutamakan perasaannnya. Seperti yang dijelaskan oleh Dagun mengenai
perbedaan sifat laki-laki dan perempuan. Perempuan sangat emosional, ia tidak
memendam emosi, mudah terpengaruh dan suka berbicara. Sifat ini berbanding
terbalik dengan laki-laki.
Jadi ada dua (2) faktor penyebab terjadinya fenomena Nitusae. Pertama
dikarenakan oleh faktor kepercayaan terhadap roh yang meninggalkan raganya, tidak
serta-merta pergi jauh-jauh meninggalkan raganya atau jazadnya, selama kurun waktu
tiga hari sebelum akhirnya roh itu pergi ke balik pohon. Kepercayaan ini telah
mengakar dalam masyarakat dusun Satu desa Oesena. Kedua faktor psikologi, secara
umum Fenomena Nitusae dapat dialami oleh semua orang, baik itu laki-laki maupun
perempuan. Namun yang paling sering mengalami fenomena Nitusae di dusun Satu
desa Oesena adalah perempuan, dikarenakan perempuan lebih mengutamakan
perasaan, mudah terpengaruh, dan sangat suka berbicara dibandingkan laki-laki.
Kesimpulan
Kematian merupakan hal yang mutlak akan terjadi atau dialami oleh setiap
makhluk yang bernafas, tidak terkecuali manusia. Setiap orang baik itu orang tua atau
pun orang muda, kaya atau pun miskin, pintar atau pun bodoh, berhikmat ataupun
tidak berhikmat, semuanya akan mengalami yang namanya kematian. Seperti yang
dikatakan oleh kitab Pengkhotbah 2:16b yang berbunyi; “Dan, ah, orang yang
32
berhikmat mati juga seperti orang yang bodoh!”. Semua orang diperhadapkan pada
kenyataan yang memilukan, yaitu kematian.
Bagi sebagian orang kematian itu menakutkan, dan bagi sebagiannya lagi
kematian itu bahagia. Semuanya itu tergantung pada pandangan masing-masing
pribadi dalam memandang kematian. Setiap orang akan mengambarkannya berbedabeda sesuai dengan pengalaman mental di seputaran kematian, seperti halnya
fenomena Nitusae.
Fenomena Nitusae adalah keyakinan terhadap roh orang mati yang masuk
kedalam tubuh orang yang masih hidup. Nitusae ini berkaitan dengan keadaan
psikologis seseorang yang diperkuat dengan kepercayaan masyarakat sekitar.
Nitusae berpengaruh dalam kehidupan Jemaat Efata Huko‟u Oesena karena
mereka masih percaya bahwa roh orang mati bisa masuk kedalam tubuh orang yang
masih hidup dan dapat berkomunikasi dengan keluarganya. Dari
fenomena ini
penulis melihat bahwa terdapat hal yang positif dan juga yang negatif. Positifnya
ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang baik bagi keluarga dan
negatifnya ialah ketika fenomena Nitusae itu memberikan pesan yang tidak baik bagi
keluarga dan juga dampak negatif dari Nitusae adalah banyak orang semakin
terpengaruh dengan kepercayaan terhadap roh yang masih berada di sekitar jazadnya.
Saran
Penulis menyarankan kepada semua pihak untuk tetap jeli dalam menyingkapi
fenomena Nitusae, karena fenomena Nitusae dapat menghasilkan hal yang positif dan
juga hal yang negative.
33
Bagi gereja, penulis menyarankan agar dapat memberikan pemahaman dan
arahan kepada jemaat mengenai kepercayaan Nitusae yang mempengaruhi kehidupan
kekristenan jemaatnya. Sehingga jemaat dapat
34
DAFTAR PUSTAKA
Bill & Pam Farrel. Laki-laki seperti Wafer – Perempuan seperti Bakmi. Jogjakarta:
Andi, 2002.
Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama . Penerbit Kanisius: Yokyakarta,
2002.
Ghazali, A.Muchtar. Antropologi Agama . Bandung: Alfabeta, 2011.
Hamidi. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan
Laporan Penelitian. Malang: UMM Press, 2004.
Hick, John. Philosophy of Religion. New Jersey: Prentice Hall, 1990.
Hunt, Gladys. Pandangan Kristen Tentang Kematian . Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1987.
Honing, Jr. A.G. Ilmu Agama . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.
Keuskupan Agung Semarang. Hidup Berkeluarga . Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2007.
Koentjaraningrat. Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1967.
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
1981.
Kusuma, Surya. Okultisme: Antara Budaya vs Iman Kristen. Yogyakarta: Andi,
2012.
P. Middlekoop. Atomi PAh Meto. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
35
Pals, Daniel L. Seven Theories Of Religion. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011.
Santrock, J.W. Life Span Development: Perkembangan asa Hidup. Jakarta: Balai
Pustaka, 2002.
Sarwono, Sarlito Wirawan. Pengantar Umum Psikologi. Jakarta: Bulan Bintang,
1976.
Solso, Robert L. dkk. Psikologi Kongnitif. Jakarta: Erlangga, 2008.
Timo, Ebenhaizer I Nuban. Allah Menahan Diri Tapi Pantang Berdiam Diri. (Diktat
Dogmatika)
Usman, Husaini. Purnomo. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Van Peursen. C. A. Tubuh Jiwa Roh. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983.
Walgito, Bimo. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM,
1986.
Bertakis, K.D. 2001. Women Are Far More Likely Than Man To Have their
Depression Diagnosed by Their Primary Care Doctors. http://achpr.gov/research
Kematian. http://id.wikipedia.org/wiki/. diunduh tanggal 06 maret 1012. Jam 13.17
WIB.
36