T1 802009138 Full text

PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupannya mengalami beberapa periode
perkembangan, dari kanak-kanak sampai lanjut usia. Diantara
periode

tersebut,

masa

remaja

adalah

salah

satu

fase

perkembangan yang mendapat perhatian besar. Menurut Santrock
(2003), masa remaja merupakan periode transisi perkembangan

antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Pada fase ini,
remaja mengalami suatu tahap peralihan dan tidak mantap
sehingga di fase ini para remaja mudah dipengaruhi oleh
lingkungannya.
Stenberg (2002) membedakan remaja ke dalam 3 kategori,
yatu: remaja awal, remaja madya, dan remaja akhir. Periode
remaja awal berkisar antara usia 11-14 tahun, remaja madya
berlangsung pada usia 15-18 tahun, dan remaja akhir terjadi
diantara usia 18-21 tahun. Erikson (dalam Shaffer, 2005)
menyebutkan bahwa remaja awal akan mengalami kebingungan
karena mengalami perubahan dari segi fisik, kognitif, dan sosial
saat masa pubertas. Masa remaja awal yaitu pada usia 11-14
tahun, merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa sehingga perubahan yang terjadi baik secara fisik,
kognitif, dan sosial masih dirasa membingungkan oleh remaja.
Karakteristik perkembangan remaja yang meliputi perkembangan
fisik yang ditandai dengan peningkatan hormon-hormon seksual,
yang juga meningkatkan dorongan untuk melakukan perilaku
seksual. Perkembangan kognitif dimana remaja mulai berpikir


1

2

secara abstrak dan logis. Perkembangan emosional ditandai
dengan membantah orang tua, serangan agresif terhadap teman
sebaya, perkembangan sikap asertif, kebahagiaan remaja dalam
peristiwa tertentu, serta orientasi peran gender dalam masyarakat
merefleksikan peran sosial-emosional dalam perkembangan
remaja. Selain itu pada tahapan ini remaja menghadapi tugas
utama mencari dan menegaskan eksistensi dan jati dirinya,
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mencari arah
dan tujuan, menjalin hubungan dengan orang yang dianggap
penting (Sarwono, 2008).
Proses perkembangan biologis, kognitif, sosioemosional,
dan identitas yang tergolong labil tersebut, remaja menjadi
memiliki keinginan besar mengeksplorasi perilaku-perilaku di
dalam kehidupan sosialnya yang berangkat dari keingintahuan
yang besar yang dimiliki oleh remaja, salah satu perilaku yang
menjadi perhatian besar adalah perilaku seksual. Akan tetapi

perilaku seksual yang saat ini semakin marak adalah perilaku
seksual yang tidak tepat, dan hal ini menimbulkan berbagai
permasalahan pada remaja, salah satu diantaranya adalah adanya
perilaku seksual pada remaja awal. Soetjiningsih (2004)
menjelaskan bahwa perilaku seksual pada remaja adalah segala
tingkah laku remaja yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan
jenis maupun sesama jenis. Perilaku seksual mencakup
berpegangan tangan, memeluk/ dipeluk bahu, memeluk-dipeluk
pinggang, ciuman bibir, ciuman bibir sambil pelukan, meraba/

3

diraba daerah erogen (payudara, alat kelamin) dalam keadaan
berpakaian, mencium/ dicium daerah erogen dalam keadaan
berpakaian, meraba/ diraba daerah erogen dalam keadaan tanpa
berpakaian, mencium/ dicium daerah erogen dalam keadaan tanpa
berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
berpakaian, saling menempelkan alat kelamin dalam keadaan
tanpa berpakaian, dan hubungan seksual.
Jadi perkembangan pada diri remaja yang mengarah pada

eksplorasi dalam kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku
seksual. Justru mengarah pada perilaku seksual yang tidak tepat.
Menurut Sullivan (dalam Santrock, 2003) perilaku seksual pada
remaja awal secara nyata menimbulkan berbagai dampak negatif,
yaitu antara lain kehamilan pada remaja. Di Amerika Serikat,
empat dari lima remaja hamil berstatus tidak menikah, selain
kehamilan diluar nikah, dampak negatif lain yang mengikuti
adalah aborsi (Santrock). Jika kehamilan tersebut dipertahankan,
mereka juga diharuskan untuk menikah diusia sangat muda, dan
tanggung jawab secara moral, sosial, ekonomi akan dibebankan
terhadap remaja. Permasalahan-permasalahan hidup tentu akan
sangat berat dirasakan karena tanggung jawab tersebut diluar
tugas perkembangan remaja.
Di Indonesia maraknya perilaku seksual juga terus
meningkat, tak terkecuali pada usia remaja awal, seperti yang
dikatakan oleh Direktur Hotline Pendidikan, Isa Ansori, pihaknya
melakukan penelitian yang dimulai sejak September hingga

4


November 2011,

pada siswa-siswi SMP (kisaran usia 13-15

tahun) terdiri dari 311 siswi dan 305 siswa SMP Negeri, Swasta,
dan keagamaan pada SMP yang tersebar di 25 sekolah SMP di
Surabaya,

menunjukkan hasil bahwa 45% sampel 616 siswa

berpikir, bahwa hubungan seks dalam berpacaran merupakan hal
yang wajar, dan 14% lainnya telah melakukan hubungan seksual
(Detik Surabaya Serial Online, 30 Desember 2011). Di Semarang
Jawa Tengah, berdasarkan sumber data dari Dinas Kesehatan
Kota Semarang (2008) jumlah remaja yang berusia 10-19 tahun
di wilayah kota Semarang sebesar 495.351 jiwa, jumlah remaja
terbanyak yaitu pada perempuan sebesar 53%. Untuk kasus yang
ada pada perempuan diantaranya adalah hamil diluar nikah
sebesar 0,015%, aborsi sebesar 0,017%.
Di salah satu SMP N di Salatiga, berdasarkan observasi

yang telah peneliti lakukan di SMP N 7 Salatiga, terdapat
beberapa pasangan siswa dan siswi SMP yang pulang sekolah
bergandengan tangan, memeluk dibagian bahu, memeluk
dibagian pinggang di tempat-tempat umum seperti jalan raya,
warung makan, pos ojek, dan tempat duduk umum. Menurut
pengamatan peneliti, mereka tampak terbiasa dengan apa yang
mereka lakukan, terlihat dari tidak ada perubahan posisi atau
ekspresi wajah ketika peneliti/warga melihat perilaku remaja
tersebut.
Fakta

dan

gejala-gejala

yang

ditunjukkan

tersebut


menunjukkan gambaran perilaku seksual remaja telah merambah

5

pada siswa-siswi SMP. Terdapat beberapa faktor yang dapat
memberikan pengaruh terhadap perilaku seksual. Menurut
Soetjiiningsih (2008) faktor yang mempengaruhi perilaku seksual
remaja diantaranya: faktor individual (self-esteem/ harga diri, dan
religiusitas), faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), dan
faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media
pornografi).
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, self-esteem
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual. Coopersmith (dalam Burn, 1998) mengatakan bahwa
Self-Esteem merupakan evaluasi yang dibuat individu dan

kebiasaan memandang dirinya, terutama sikap menerima,
menolak, dan indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap
kekuasaan, keberartian, kebijakan, dan kemampuan. Sedangkan

Aspek-aspek self esteem menurut Coopersmith (dalam Andarini,
dkk. 2012) antara lain kekuasaan (Power ) yaitu kemampuan
untuk mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan
orang

lain,

lalu

keberartian

(Significant)

yaitu

adanya

kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari
orang lain, hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari
orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya,

kemudian kebajikan (Virtue) yaitu ketaatan mengikuti kode
moral, etika dan prinsip-prinsip keagamaan yang ditandai oleh
ketaatan untuk menjauhi tingkah laku yang dilarang dan
melakukan tingkah laku yang diperbolehkan oleh moral, etika

6

dan agama, dan yang terakhir yaitu kompetensi (Competence)
yaitu sukses memenuhi tuntutan prestasi yang ditandai oleh
keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau
pekerjaan dengan baik.
Secara singkat, harga diri adalah “Personal judgment”
mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan
dalam sikap-sikap individu terhadap dirinya. Senada dengan hal
tersebut, Tambunan (2001) mengatakan bahwa Self-esteem
adalah suatu hasil penilaian individu terhadap dirinya yang
diungkapkan dalam sikap-sikap yang dapat bersifat positif atau
negatif. Orang yang memiliki self-esteem yang tinggi, ialah orang
yang mengalami proses hubungan positif dengan dirinya.
Memiliki perasaan positif tentang dirinya, dan mempunyai

penilaian yang positif terhadap dirinya. Pengalaman dan proses
hubungan yang positif inilah yang kemudian melahirkan sikap
dan tindakan yang positif (Tambunan).
Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak
berhadapan dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orangorang di lingkungan sekitarnya. Interaksi secara minimal
memerlukan

pengakuan,

penerimaan

peran

yang

saling

tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak bicara.
Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri,
identitas, dan pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk

penilaian individu terhadap dirinya sebagai orang yang berarti,

7

berharga, dan menerima keadaan diri apa adanya sehingga
individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).
Menurut Leary, Schreindorfer, & Haupt, 1995 (dalam
Santrock, 2003), dalam kebanyakan kasus, self-esteem yang
tinggi memiliki konsekuensi yang positif, sementara self-esteem
yang rendah memiliki efek sebaliknya. Remaja yang memiliki
self-esteem yang tinggi cenderung memperkuat inisiatif, daya

tahan, dan perasaan senang (Baumeister, Champbell,Kreuger,
&Vohs, dalam Santrock 2003), sedangkan remaja yang merasa
tidak dibutuhkan dan tidak dihargai (self-esteem rendah) akan
memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami penyimpangan
perilaku karena ia merasa bahwa dirinya tidak penting di mata
orang lain (Santrock). Selaras dengan hal tersebut Kartono
(1995), menyatakan adanya rasa tidak mampu akan dicoba untuk
ditutupi oleh remaja dengan melakukan suatu tindakan atau
perilaku tertentu, terutama perilaku yang menyimpang.
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat
dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang, Dalam perspektif
perilaku menyimpang masalah

sosial terjadi karena terdapat

penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial ataupun
dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang
dapat

dianggap

sebagai

membahayakan tegaknya

sumber

masalah

karena

dapat

sistem sosial. Kenakalan-kenakalan

yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun

sangat

beragam. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur dari

8

rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan,
sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan
kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti;
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian
obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering
diberitakan media- media massa (Rahardjo, 2009).
Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa seks bebas
adalah salah satu bentuk kenakalan remaja, dan perilaku seksual
pada remaja awal merupakan bagian dari perilaku seks bebas
yang kini marak terjadi. Remaja yang merasa tidak mampu (Selfesteem rendah) akan mudah terlibat dalam perilaku seksual

karena remaja ingin meningkatkan rasa mampunya dan
meningkatkan penilaian pada dirinya. Remaja dengan harga diri
yang rendah akan cenderung mencari pemuasan kebutuhan keluar
dari keluarga, misalnya teman sebaya, geng dan cenderung
terlibat dalam aktivitas bersama orang lain yang dianggap dapat
memberikan perhatian dan penghargaan pada remaja, akibatnya
banyak remaja yang terjebak dalam perilaku kenakalan termasuk
di dalamnya adalah perilaku seksual pada remaja awal (Kartono,
1995).
Menurut penelitian Hidayat (2013) dalam penelitian yang
berjudul “Pengaruh Harga Diri dan Penalaran Moral terhadap
Perilaku Seksual Remaja Berpacaran di SMK Negeri 5
Samarinda” dengan hasil harga diri memiliki pengaruh terhadap
perilaku seksual remaja berpacaran, namun berbeda halnya

9

dengan penelitian yang dilakukan oleh Goodson, et al (2006)
dalam penelitiannya yang dilakukan di Texas dengan judul “Selfesteem and

adolescent

sexual

behaviors,

attitudes,

and

intentions: a systema tic review” yang menghasilkan tidak adanya

hubungan antara self-esteem

dengan intensitas, sikap, dan

perilaku seksual pada remaja, senada dengan hal tersebut Sanjaya
(2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara selfesteem dengan kecenderungan melakukan perilaku seksual

dalam jurnalnya yang berjudul “Hubungan Antara Self-Esteem
dan Kualitas Persahabatan dengan Kecenderungan Melakukan
Hubungan Seks

pada Remaja”. Beberapa penelitian tersebut

menunjukkan terdapat perbedaan hasil penelitian mengenai selfesteem dengan perilaku seksual.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji adanya hubungan
antara self-esteem dengan perilaku seks pada remaja awal.
Hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual pada
remaja awal.
Hipotesis
Hipotesis Empirik
Berdasarkan dinamika hubungan yang telah diuraikan di
atas, dalam penelitian ini peneliti mengajukan hipotesis, terdapat
hubungan negatif antara self-esteem dan perilaku seksual pada
remaja awal, jadi semakin tinggi self-esteem maka semakin
rendah perilaku seksual

dan begitu pula sebaliknya semakin

10

rendah self-esteem maka semakin tinggi perilaku seksual pada
remaja awal.
Hipotesis Statistik
Ho

: rxy ≥ 0, berarti tidak terdapat hubungan negatif antara

self-esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.

H1

:

rxy < 0, berarti terdapat hubungan negatif antara self-

esteem dengan perilaku seksual pada remaja awal.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian
korelasional, yaitu penelitian yang dirancang untuk menentukan
tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu
populasi. Pengukuran korelasional digunakan untuk menentukan
besarnya arah hubungan (Sevilla, dkk, 1993).Lalu Metode
penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang yang mengumpulkan informasi mengenai
suatu gejala yang ada, yaitu gejala menurut apa adanya pada saat
penelitian dilakukan (Arikunto S, 2003). Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kuantitatif adalah penelitian dengan hasil
data yang berbentuk angka-angka dan dianalisis menggunakan
statistik (Sugiyono, 2011)
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMPN 7
Salatiga. Selanjutnya sampel yang digunakan dalam penelitian ini

11

berjumlah 83 siswa. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah accidental sampling yaitu pengambilan dampel pada
siapa saja yang kebetulan bertemu dengan peneliti, dapat
digunakan sebagai sampel bila orang yang ditemui cocok sebagai
sumber data

(Sugiyono. 2004), pengambilan jumlah sampel

mengacu pada rumus Yamane (dalam Sukandarrumidi, 2006.

Metode Pengambilan Data
Metode pengambilan data, peneliti menggunakan metode
skala, yaitu skala yang pertama yaitu self-esteem peneliti
menggunakan skala yang dibuat oleh Coopersmith (dimodifikasi
oleh Rayden, dalam Coopersmith Self-Esteem Inventory, nd)
yang terdiri dari 58 item pertanyaan dalam bentuk skala Likert.
Skala yang kedua adalah skala perilaku seksual mengacu pada
tahapan perilaku seksual yang diungkapkan oleh Soetjiningsih
(2008), yaitu tahapan perilaku seksual dengan

memodifikasi

Diagram Group dalam buku sex: A user’s manual, dalam bentuk
skala Guttman.
Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan untuk melihat ada
tidaknya hubungan antara self-esteem dengan perilaku seksual,
peneliti menggunakan analisis korelasi product moment. Analisis
korelasi product moment untuk penelitian ini menggunakan
bantuan program SPSS for windows versi 16.0.

12

HASIL PENELITIAN
Pengujian validitas pada penelitian ini dilakukan proses
validasi skala dengan menggunakan validitas isi. Azwar (2004)
mengatakan

bahwa

relevansi

item

dengan

indikator

keperilakukan dan dengan tujuan ukur sebenarnya sudah dapat
dievaluasi lewat nalar dan akal sehat yang mempu menilai apakah
isi skala memang mendukung konstrak teoretik yang diukur.
Proses ini disebut dengan validasi logik sebagai bagian dari
validasi isi. Proses ini pun tidak hanya didasarkan oleh penilaian
penulis sendiri, tetapi juga dibantu dengan kesepakatan penilaian
dari beberapa penilai yang kompeten (expert judgement) yaitu
para dosen pembimbing sebagai peneliti ahli.
Pengujian

reliabilitas

dan

daya

diskriminasi

item

menunjukan bahwa jumlah item untuk skala self-esteem yang
memiliki daya diskriminasi baik adalah 40 item sesuai dengan
batas koefisien korelasi item total ≥ 0, 3 (Azwar, 2012) dengan
nilai reliabilitas sebesar 0,927 yang berarti sangat reliabel. Untuk
skala perilaku seksual menunjukan bahwa seluruh item sebanyak
12 item memiliki daya diskriminasi yang baik dengan nilai
reliabilitas sebesar 0,933 yang berarti sangat reliabel
Penelitian selanjutnya adalah uji asumsi, yang pertama
adalah uji normalitas untuk mengetahui normal atau tidaknya
distribusi

data

penelitian

pada

masing-masing

variabel.

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
Test, data menunjukkan dari variabel self-esteem menujukkan

13

nilai K-S-Z sebesar 1,018 dengan nilai sign. = 0,251 (p > 0,05),
dan pada variabel perilaku seksual memiliki nilai K-S-Z sebesar
1,264 dengan nilai sign. = 0,082 (p > 0,05) dengan demikian
kedua variabel tersebut berdistribusi normal.
Selanjutnya dilakukan pengujian linearitas, pada variabel
self-esteem dan perilaku seksual dapat diketahui nilai F beda

sebesar 0,977 dengan signifikansi sebesar p = 0,531 (p > 0,05 )
yang menunjukan hubungan antara kedua variabel tersebut sejajar
atau linear.
Pengujian terakhir adalahuji uji korelasi produst momentPearson diperoleh r = -0,446 dengan sig. = 0,000 (p < 0,05). Hal

tersebut menunjukkan adanya korelasi negatif dan signifikan
antara self-esteem dengan perilaku seksual . Hasil tersebut dapat
dilihat pada tabel tersebut:
Correlations variabel
Self_esteem
Self_esteem

Pearson
Correlation

Perilaku_seksual
1

Sig. (1-tailed)
N
Perilaku_

Pearson

seksual

Correlation
Sig. (1-tailed)
N

-.446

**

.000
83

83

**

1

-.446

.000
83

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

83

14

Pembahasan
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi product momentPearson antara variabel self-esteem dengan perilaku seksual

menunjukan r = -0,446 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p <
0,05). Hasil tersebut menandakan H0 ditolak dan H1 diterima dan
menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif dan signifikan
antara self-esteem dengan perilaku seksual.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa variabel X (selfesteem) dan variabel Y (perilaku seksual) memiliki hubungan

negatif dan signifikan. Hubungan tersebut dapat terjadi karena
remaja dengan self-esteem yang tinggi, ialah remaja yang
mengalami proses hubungan positif dengan dirinya. Memiliki
perasaan positif tentang dirinya, dan mempunyai penilaian yang
positif terhadap dirinya begitu pula sebaliknya. Pengalaman dan
proses hubungan yang positif inilah yang kemudian melahirkan
sikap dan tindakan yang positif (Tambunan, 2001). Remaja yang
memiliki self-esteem yang tinggi cenderung memperkuat inisiatif,
daya tahan, dan perasaan senang (Baumeister & Dkk, 2003 dalam
Santrock 2003), sedangkan remaja yang merasa tidak dibutuhkan
dan tidak dihargai (self-esteem rendah) akan memiliki risiko yang
lebih besar untuk mengalami penyimpangan perilaku karena ia
merasa bahwa dirinya tidak penting di mata orang lain
(Santrock).
Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat
dikategorikan ke dalam perilaku menyimpang. Kenakalan-

15

kenakalan yang dilakukan oleh remaja di bawah usia 17 tahun
sangat beragam. Bentuk kenakalan remaja tersebut seperti: kabur
dari rumah, membawa senjata tajam, dan kebut-kebutan di jalan,
sampai pada perbuatan yang sudah menjurus pada perbuatan
kriminal atau perbuatan yang melanggar hukum seperti;
pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, seks bebas, pemakaian
obat-obatan terlarang, dan tindak kekerasan lainnya yang sering
diberitakan media-media massa (Rahardjo, 2009). Seperti yang
telah disebutkan bahwa seks bebas adalah salah satu bentuk
kenakalan remaja, dan perilaku seksual

pada remaja awal

merupakan bagian dari perilaku seks bebas yang kini marak
terjadi.
Berdasarkan penjelasan di atas, siswa SMPN 7 Salatiga
diketahui memiliki self-esteem tinggi maka ia mempunyai
pengalaman dan proses hubungan yang positif tentang dirinya
yang kemudian melahirkan tindakan positif, sehingga ia pun akan
cenderung tidak melakukan perilaku yang dianggap negatif atau
perilaku-perilaku

menyimpang,

salah

satu

perilaku

yang

dikategorikan perilaku menyimpang adalah perilaku kenakalankenakalan remaja, salah satu bentuk kenakalan remaja tersebut
adalah perilaku seks bebas, dan perilaku seksual pada remaja
awal merupakan bagian dari perilaku seks bebas.
Selain itu

menurut Coopersmith (dalam Andarini, dkk.

2012), aspek-aspek yang membentuk self-esteem antara lain
kekuasaan (Power ) dalam hal ini merupakan kemampuan untuk

16

mengatur dan mengontrol tingkah laku diri sendiri dan orang lain,
lalu Keberartian (Significant) dalam hal ini merupakan adanya
kepedulian, perhatian, dan afeksi yang diterima individu dari
orang lain. Hal tersebut merupakan penghargaan dan minat dari
orang lain dan pertanda penerimaan dan popularitasnya,
kemudian Kompetensi (Competence) dalam hal ini merupakan
sukses

memenuhi

tuntutan

prestasi

yang

ditandai

oleh

keberhasilan individu dalam mengerjakan berbagai tugas atau
pekerjaan dengan baik dari level yang tinggi dan usia yang
berbeda, dan terakhir Kebajikan (Virtue) dalam hal ini merupakan
ketaatan mengikuti kode moral, etika dan prinsip-prinsip
keagamaan yang ditandai oleh ketaatan untuk menjauhi tingkah
laku

yang dilarang dan melakukan

tingkah laku

yang

diperbolehkan oleh moral, etika dan agama.
Jika ditinjau dari setiap aspek tersebut diatas, siswa SMPN 7
Salatiga dapat mengontrol diri mereka sendiri karena mereka
merasa bahwa mereka yakin pada diri mereka sendiri dan
cenderung menyaring dirinya dari pengaruh negatif yang datang
dari dirinya maupun dari luar dirinya (lingkungan) sehingga
mampu mengalihkan pengaruh dari orang lain. Lalu siswa SMPN
7 Salatiga cenderung melihat diri mereka berharga. Artinya, pada
umumnya siswa SMPN 7 Salatiga merasa yakin bahwa dirinya
itu berharga dibandingkan dengan orang lain dan mampu untuk
berinteraksi dengan orang lain, hal ini juga dipengaruhi oleh
sekolah yang mengajarkan kepada siswanya untuk saling

17

menghargai baik antar siswa maupun antara siswa terhadap
gurunya atau guru terhadap siswanya. Selanjutnya dalam hal
prestasi secara umum para siswa berhasil mengerjakan tugas
sekolah maupun mengembangkan bakatnya dengan baik, karena
dari pihak sekolah menerapkan sistem yang seimbang antara
prestasi akademik maupun non akademik, sehingga masingmasing siswa dapat mengembangkan prestasi baik dalam bidang
akademik maupun non akademik. Siswa SMPN 7 Salatiga juga
merupakan siswa yang secara umum mematuhi kode moral, etika
dan agama. Hal tersebut terlihat dari dipatuhinya peraturanperaturan yang dibuat oleh pihak sekolah, selain itu walaupun
SMPN 7 Salatiga merupakan sekolah negeri namun penanaman
moral, etika dan agama cukup memadai.
Berdasarkan penjelasan tersebut siswa SMPN 7 Salatiga
yang merasa dirinya berharga, yakin terhadap kemampuan
dirinya, dan memiliki konsentrasi terhadap prestasinya baik
akademik maupun non akademik serta bekal penanaman moral,
etika maupun agama sehingga mereka mampu menyaring dirinya
dari pengaruh negatif yang datang dari dirinya maupun dari luar
dirinya (lingkungan), termasuk pengaruh negatif dalam hal
perilaku seksual. Siswa dengan perasaan dihargai, percaya pada
kemampuan dirinya akan cenderung bertindak positif, fokus
terhadap prestasi yang ingin diraihnya, serta mereka mengetahui
bahwa perilaku seksual merupakan perilaku yang dilarang baik
secara moral, etika maupun agama.

18

Hasil temuan ini mendukung penelitian sebelumnya yang
pernah dilakukan oleh Hidayat (2013) dalam penelitian yang
berjudul “Pengaruh Harga Diri dan Penalaran Moral terhadap
Perilaku Seksual Remaja Berpacaran di SMK Negeri 5
Samarinda” dengan r = -0,493 dengan signifikansi sebesar 0,000
(p < 0,05), yang berarti harga diri memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap perilaku seksual remaja berpacaran. Selain itu
temuan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soetjiningsih
(2008) bahwa self-esteem
seksual

merupakan prediktor bagi perilaku

yang berarti menunjukan bahwa variabel self-esteem

berpengaruh terhadap munculnya perilaku seksual .
Hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa self-esteem
yang dimiliki oleh siswa SMPN 7 Salatiga tergolong ke dalam
kriteria yang tinggi dengan persentase 72,2%. Sehingga siswa
SMPN 7 Salatiga cenderung memiliki kepercayaan diri yang
tinggi, merasa dihormati, dan merasa memiliki kemampuan, serta
cenderung puas dengan karakteristiknya, tidak terpaku pada
kesukaran-kesukaran personal individu, selain itu juga memiliki
keajegan persepsi dan pandangan, serta mampu mengalihkan
pengaruh dari orang lain (Coopersmith, dalam Andarini, dkk
2012). Maka dari itu perilaku seksual siswa SMPN 7 Salatiga
tergolong ke dalam kriteria sedang dengan persentase 32,5%.
Berdasarkan perhitungan uji korelasi juga ditemukan bahwa
self-esteem

memiliki sumbangan sebesar 19,89% terhadap

munculnya perilaku seksual , maka sisanya yaitu 80,11%

19

penyebab munculnya perilaku seksual dapat disebabkan oleh
faktor-faktor lain misalnya faktor

individual lainnya yaitu

religiusitas, faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja), serta
faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya dan media
pornografi), (Soetjiningsih, 2008).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah
disampaikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.

Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara variabel
self-esteem dengan perilaku seksual pada siswa SMPN 7

Salatiga dengan r = -0,446 dengan sig. = 0,000 (p > 0,05).
2.

Berdasarkan

perhitungan

uji korelasi juga ditemukan

bahwa self-esteem memiliki sumbangan sebesar 19,89%
terhadap munculnya perilaku seksual, maka sisanya yaitu
80,11% penyebab munculnya perilaku perilaku seksual
dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain misalnya faktor
individual lainnya yaitu religiusitas, faktor keluarga
(hubungan orang tua-remaja), serta faktor di luar keluarga
(tekanan negatif teman sebaya dan media pornografi).
3.

Self-esteem yang dimiliki oleh siswa SMPN 7 Salatiga

termasuk kedalam kriteria yang tinggi dengan persentase
72,2%, sedangkan untuk perilaku seksual siswa SMPN 7
Salatiga tergolong ke dalam kriteria yang sedang dengan
persentase 32,5%.

20

Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai, serta
mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini,
maka peneliti memberikan beberapa saran sebagai berikut:
1.

Saran bagi siswa
Berdasarkan

hasil

peneitian

perilaku

seksual

siswa

tergolong sedang, sehingga diharapkan dapat semakin
mengembangkan diri dalam hal positif, dapat memilih
lingkungan bersosialisasi yang positif, mengenali diri
sendiri dan teman-teman sepergaulan sehingga dapat
memaksiamalkan prestasi belajar di sekolah dan dapat
terhindar dari perilaku seksual.
2.

Saran bagi sekolah
Berdasarkan hasil penelitian, perilaku seksual yang dimiliki
siswa SMPN 7 Salatiga tergolong sedang dengan presentase
32,5%, dan telah muncul perilaku-perilaku seksual sesuai
tahapan

perilaku

seksual

yang

dikemukakan

oleh

Soetjiningsih (2008) dan terdapat 7 siswa yang sudah
sampai pada tahap terakhir perilaku seksual yaitu telah
melakukan

hubungan

seksual

layaknya

suami

istri,

mengingat bahwa usia siswa masih berada pada usia remaja
awal dan masih duduk di bangku sekolah menengah
pertama, hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Oleh
sebab itu bagi pihak sekolah untuk dapat memberikan
perhatian dan pengawasan yang lebih baik lagi terhadap

21

siswa siswinya misalnya dengan memberikan seminar
mengenai bahaya perilaku seksual dan dilakukan pelatihan
mengenai pengembangan diri. Sehingga perilaku seksual
oleh siswa dapat diminimalisir.
3.

Saran bagi Peneliti selanjutnya
Penelitian ini masih terbatas, karena hanya meneliti
hubungan self-esteem terhadap perilaku seksual. Dengan
demikian masih ada variabel lain yang turut memberi
pengaruh pada perilaku seksual yang belum dijelaskan dan
diteliti, maka direkomendasi untuk penelitian selanjutnya
yaitu menambah seperti faktor individual lain yaitu
religiusitas, faktor keluarga (hubungan orang tua-remaja),
serta faktor di luar keluarga (tekanan negatif teman sebaya
dan media pornografi).
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa terdapat 7
siswa yang telah melakukan hubungan seksual, sehingga
disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk dapat melakukan
penelitian mendalam dengan menggunakan pendekatan
kualitatif.

22

DAFTAR PUSTAKA
Andarini, dkk. (2012). Hubungan antara “self esteem” dengan
derajat stres pada siswa Akselerasi SDN Banjarsari 1
Bandung. Jurnal Sosial, Ekonomi, dan Humaniora , 3,
1
Diunduh
30
September
2013,
dari
http://prosiding.lppm.unisba.ac.id/index.php/sosial/art
icle/view/229
Atkinson, R L., Atkinson, R. C, & Hilgard, E. R. (1983).
Pengantar psikologi. Editor: Agus, D & Michael, A.
Jakarta: Erlangga
Azwar, S. (2004). Validitas dan reliabilitas. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Branden, N. (1999). Kiat jitu meningkatkan harga diri. Jakarta:
Pustaka Delaprasa
Burn, R. B.
(1998). Konsep diri: Teori, pengukuran,
perkembangan dan perilaku. Alih bahasa. Eddy.
Jakarta: Arcan
Coopersmith self-esteem inventory, nd. Self-report measures for
love and compassion research: Self-esteem. Fetzer
Institute. Diunduh pada 10 September 2014, dari
http://fetzer.org/sites/default/file/images/stories/pdf/se
lfmeasures/Self_Measures_for_SelfEsteem_COOPER
SMITH_SELF-ESTEEM_INVENTORY.pdf
Damayanti . (2010, 12 Februari). 5 dari 10 pelajar DKI lakukan
seks pranikah. Detik Surabaya . Diunduh 12 Juli 2013,
dari
http://m.detik.com/news/read/2010/02/12/100013/230

23

7078/486/5-dari-10-pelajar-DKI-lakukan-sekspranikah
Hidayat, K. (2013), Pengaruh harga diri dan penalaran moral
terhadap perilaku seksual remaja berpacaran di SMK
Negeri 5 Samarinda. Ejournal Psikologi, 1(1), 80-87.
http://ejournal.psikologi,fisip-unmul.ac.id
Hurlock, E. (1991). Perkembangan anak, edisi keenam. Alih
Bahasa : Meitasari Tjandrasa. Jakarta: Erlangga
Kartono, Kartini. (1995). Perkembangan remaja. Bandung:
Mandar Maju
Rahardjo, W. (2009). Konsumsi alkohol, obat-obatan terlarang
dan perilaku seks beresiko: Suatu studi meta analisis.
Jurnal Psikologi, 35(1), 80-100. Diunduh 20 Juli
2013.http://wahyu_r.staff.gunadarma.ac.id/Publicatio
ns
Sanjaya, E. L. (2013). Hubungan Antara Self-Esteem Dan
Kualitas Persahabatan Dengan Kecenderungan
Melakukan Hubungan Seks Pranikah Pada Remaja.
Ejournal Psikologi. Diunduh 19 Juli 2013, dari
http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/7969836582_a
bs.pdf
Santrock, J. W. (2003). Adolescence: Perkembangan Remaj.
Jakarta: Erlangga
Sarwono, S. W. (2008). Psikologi Remaja . Jakarta: Rajawali Pers.
Shaffer, D. R. (2005). Social and personality develeopment.
USA: Thomson

24

Soetjiningsih. (2004). Tumbuh kembang remaja
permasalahannya . Jakarta: Sagung Seto

dan

Soetjiningsih, C. H. (2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku seksual pranikah pada remaja . Diunduh
pada
10
juni
2013,
dari
http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/824_RD0906004.
pdf
__________. (2008). Remaja usia 15-18 tahun lebih banyak
lakukan perilaku seksual pranikah. Diunduh tanggal
20 Januari 2013 dari http://ugm.ac.id/id/berita/551dr.soetjiningsih:.remaja.usia.15..18.tahun.banyak.laku
kan.perilaku.pranikah
Shaffer, D. R. (2005). Social personality development. USA:
Thomson
Sinaga. (2009, 27 April 2013). Hasil survei, 31% remaja di
kupang pernah berhubungan seks. Kompas, h.4
Sukandarrumidi. (2006). Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis
Untuk Peneliti Semula . Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Stuart & Sundeen (1998). Principle and practice of psychiatric
nursing. 6th. Ed. Philadelphia: C V Mosby.
Tambunan, R.( 2001). Harga diri remaja. Jurnal Psikologi.
Diunduh
2
juli
2013,
dari
http://www.epsikologi.com/artikel/individual/hargadiri-remaja