T1 802009112 Full text

1

PENDAHULUAN
Penelitian-penelitian telah menjelaskan pentingnya Subjective Well-Being
(SWB) atau kebahagiaan bagi individu. SWB dapat berpengaruh pada kualitas
hidup seseorang mulai dari hubungan sosial, spritualitas, kesehatan, kepuasan
kerja, rasa nyaman hingga rasa aman (Diener, Kesebir, & Lucas, 2008). Sebagai
karyawan, SWB juga penting karena dapat meningkatkan produktifitas kerja,
kualitas kerja, hubungan yang baik antara pekerja dengan rekan kerjanya, serta
meningkatkan resolusi konflik (Pavot & Diener, dalam Russell, 2008). Spector
(dalam Russell, 2008) kemudian menjelaskan, pekerja yang mengaku lebih puas
dengan hidup dan pekerjaannya, biasanya lebih kooperatif dan suka membantu
teman sekerjanya, datang tepat waktu dan efisien, jarang membolos, dan menetap
pada sebuah perusahaan lebih lama dibanding dengan pekerja yang tidak puas.
Maka dari itu SWB karyawan menjadi topik penting dalam penelitian.
Akan tetapi, SWB karyawan di CV. Putra Buana dapat dikatakan kurang.
Kurangnya SWB karyawan ditunjukkan oleh ungkapan beberapa karyawan
produksi yang mengeluh karena banyaknya pekerjaan dan merasa tidak adil
dengan imbalan kerja yang diterimanya. Karyawan mengambil gaji diawal,
kemudian membayarnya dengan gaji di bulan selanjutnya karena merasa imbalan
kerja yang mereka dapatkan tidak setimpal dengan tenaga yang mereka gunakan,

serta gaji tersebut kurang mampu memenuhi kebutuhannya. Hal ini berakibat pada
kurangnya rasa antusias dalam bekerja, dan rasa tidak puas pada karyawan, serta
memicu terjadinya kecelakaan kerja akibat kurangnya perhatian atau kurang fokus
saat bekerja meskipun standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sudah ada

2

dan terpenuhi. Kecelakaan kerja tersebut tentunya juga berpengaruh pada
pembiayaan kesehatan karyawan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Maka dari itu
pada penelitian ini, penulis lebih memilih mengambil sampel karyawaan bagian
produksi dikarenakan karyawan pada bagian produksi memiliki pekerjaan yang
memerlukan tenaga lebih banyak dibanding bagian lain.
Studi empirik mencoba menjelaskan komponen yang terdapat pada SWB.
Diener, et. al. (2003) menjelaskan dua komponen yang ada pada SWB yaitu
komponen kognitif, dan komponen afektif yang kemudian menjelskan tiga aspek
pada SWB yaitu kepuasan hidup, afek positif dan afek negatif. Kepuasan hidup
merupakan komponen kognitif karena merupakan hasil evaluasi tentang hidup
seseorang. Sedangkan perasaan positif, dan perasaan negatif menjadi komponen
afektif dan mencerminkan jumlah dari perasaan senang seseorang dalam
hidupnya. Adapun beberapa faktor yang dapat memengaruhi SWB karyawan

adalah kepemimpinan transformasional (Liu, et. al., 2010; Kelloway, Weigand,
Mckee & Das, 2013; Luthans, Youssef, Sweetmans & Harms, 2013), komitmen
organisasi (Galais & Moser, 2009; Maltin, 2011; Meyer & Maltin, 2010), dan
konflik peran (Maunno, Kinnunen

& Roukolainen, 2006; Grant-Vallont &

Donaldson, 2001).
Seperti yang telah disebutkan, komitmen organisasi menjadi salah satu
faktor

yang dapat

memengaruhi SWB karyawan.

Beberapa penelitian

mengungkapkan hubungan komitmen organisasi dengan SWB karyawan. Maltin
(2011) menemukan bahwa karyawan yang mendasarkan komitmen pada
komitmen afektif, memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi daripada


3

karyawan yang mendasarkan pada komitmen berkelanjutan, selain itu karyawan
yang mendasarkan pada komitmen normatif memiliki hubungan positif dengan
kesejahteraan subjektif karyawan meskipun lebih rendah dibanding komitmen
afektif. Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa guru yang berkomitmen
secara afektif pada sekolah maupun pekerjaan melaporkan bahwa mereka merasa
lebih bahagia dan merasa lebih penuh semangat, terdedikasi, fulfilled, vital dan
puas terhadap pekerjaan, dibandingkan para guru yang berkomitmen hanya pada
sekolah atau pekerjaan. Hal ini dikarenakan, ketika kebutuhan mereka terpenuhi
dan terpuaskan, para guru merasa lebih kuat dalam berkomitmen terhadap sekolah
dan pekerjaan mengajar mereka, terutama komitmen afektif. Namun berbeda
dengan penelitian Galais dan Moser (2009) yang menemukan bahwa komitmen
organisasi pada karyawan tidak tetap (bisa disebut karyawan outsourcing) justru
merugikan kesejahteraan karyawan. Hal ini dikarenakan karyawan yang lebih
berkomitmen pada perusahaan klien dari pada perusahaan agensi, menjadikan
penugasan kembali (reassignment) menjadi stresor dan hal ini menyebabkan
penurunan kesejahteraan (SWB).
Hasil penelitian diatas masih menunjukkan hasil yang bertentangan, di satu

sisi komitmen organisasi memiliki hubungan yang positif dengan SWB karyawan
(Maltin, 2011), sedangkan disisi lain menunjukkan hubungan negatif antara
komitmen organisasi dengan SWB karyawan (Galais & Moser, 2009). Maka dari
itu, rumusan masalah pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang
signifikan antara komitmen organisasi dengan SWB karyawan pada karyawan
produksi CV. Putra Buana, Surakarta.

4

Subjective Well-Being (SWB)
SWB sendiri didefinisikan sebagai sebuah evaluasi kognitif dan afeksi
seseorang terhadap hidupnya (Diener, Oishi & Lucas, 2003). SWB memiliki tiga
komponen yaitu kepuasan hidup, kepuasan domain, dan afektif (Diener et. al.,
2003; Schimach, 2008; Diener, Lucas, & Oishi, 2002). Komponen kepuasan
hidup diartikan sebagai evaluasi atau penilain individu mengenai hidupnya
(Andrews & Withey, dalam Diener et al., 1985). Diener et al. (1985), juga
menjelaskan kepuasan hidup sebagai proses penilain kognitif. Selain itu, Shin dan
Janson (dalam Diener et al., 1985) mendefinisikan kepuasan hidup sebagai
penilaian global seseorang terhadap kualitas hidupnya menurut kriteria yang
dipilihnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Diener et al., (1985) bahwa penilain ini

lebih kepada penilaian masing-masing individu terhadap hidupnya, bukan melalui
penilain dari peneliti. Maksudnya, meskipun kita menganggap kesehatan, energi
dan lain-lain itu penting, namun belum tentu hal tersebut penting bagi orang lain.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk menanyakan kepuasan hidup secara
keseluruhan disamping memberi pertanyaan mengenai kepuasan pada domaindomain tertentu.
Kepuasan domain juga dibagi dalam berbagai domain-domain tertentu.
Diener et al. (1999) membagi kepuasan domain menjadi pekerjaan, keluarga,
waktu luang, kesehatan, diri, dan keuangan. Schimmack, Diener, Oishi, dan Suh
(dalam Eid & Larsen, 2006) membagi tujuh domain yaitu romantis, keuangan,
keluarga, pendidikan, kehidupan sosial, rekreasi dan tempat tinggal. Lebih lanjut
Schimmack dan Oishi (dalam Eid & Larsen, 2006) menyebutkan sepuluh domain

5

yaitu pendidikan, rekreasi, romantis, keluarga/orang tua, persahabatan, kesehatan,
tempat

tinggal,

Bagherzadehniri,


lalu

lintas,

Anaya,

cuaca,

Thieme,

dan

dan

peningkatan

Batista-Foguet

tujuan.

(2013)

Loewe,
mencoba

mengkombinasikan domain-domain dari beberapa penelitan yang kemudian
menyimpulkan domain-domain yang sering disebutkan dalam beberapa penelitian
yaitu kesehatan, keuangan, sosial, diri sendiri, waktu luang, keluarga, dan
pekerjaan. Dari domain tersebut, Loewe et al. (2013) kemudian membuat alat
ukur untuk mengukur kepuasan pada domain-domain tersebut.
Komponen terakhir dari SWB adalah komponen emosi atau afektif.
Komponen emosi terdiri dari dua indikator utama yaitu perasaan positif dan
perasaan negatif. Perasaan positif dapat juga disebut dengan pleasant feelings,
merupakan refleksi keadaan suasana hati yang positif atau menyenangkan dari
seseorang. Watson, Clark, dan Tellegen (dalam Carwford, & Henry, 2004)
merincikan perasaan positif antara lain tertarik, waspada, penuh perhatian,
bergairah, antusias, bersemangat, bangga, tekun, kuat, dan aktif. Sedangkan
Diener et al. (1999) menyebutkan kesenangan, gembira, kepuasan/ kebanggaan,
cinta, kebahagiaan, dan kegembiraan yang meluap-luap merupakan afek positif
atau perasaan menyenangkan. Selanjtunya, perasaan negatif dapat disebut

unpleasant feelings atau perasaan tidak menyenangkan yang merupakan refleksi
keadaan suasana hati yang negatif. Perasaan negatif di rincikan antara lain
menderita, kecewa, merasa bersalah, malu, bermusuhan, lekas marah, gugup,
gelisah, takut, dan khawatir Watson et al. (dalam Carwford, & Henry, 2004).
Disisi lain, Diener et al. (1999) menyebutkan bersalah dan malu, kesedihan,

6

kecemasan dan marah, stres, depresi dan iri hati merupakan perasaan negatif atau
perasaan tidak menyenangkan.
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi SWB khususnya pada karyawan
telah dijelaskan melalui penelitian-penelitian sebelumnya. Adapun beberapa
faktor yang dapat memengaruhi SWB karyawan adalah kepemimpinan
transformasional (Liu, et. al., 2010; Kelloway, Weigand, Mckee & Das, 2013;
Luthans, Youssef, Sweetmans & Harms, 2013), konflik peran (Maunno, Kinnunen
& Roukolainen, 2006; Grant-Vallont & Donaldson, 2001), dan komitmen
organisasi (Galais & Moser, 2009; Maltin, 2011; Meyer & Maltin, 2010).
Komitmen Organisasi
Seperti yang telah disebutkan, komitmen organisasi menjadi salah satu
faktor yang dapat memengaruhi SWB karyawan. Menurut Meyer, Allen, dan

Smith (dalam Lambert, Hogan & Jiang, 2008), pekerja dapat berkomitmen pada
manusia atau organisasi dalam hidup mereka, seperti organisasi dimana mereka
bekerja, gereja, kelompok sosial, dan sebagainya. Komitmen organisasi sendiri
didefinisikan sebagai keadaan psikologis seseorang, di mana keadaan tersebut
dapat menjelaskan keanggotaan seorang karyawan dengan perusahaannya dan
juga dapat berimplikasi terhadap keputusan apakah ia akan tetap tinggal atau pergi
meninggalkan perusahaan tempat ia bekerja (Allen & Meyer, 1997).
Komitmen organisasi memiliki tiga komponen yaitu komponen komitmen
afektif, komitmen berkelanjutan, serta komitmen normatif, yang mana memiliki
hubungan positif dengan SWB (Meyer & Maltin, 2010; Maltin, 2011). Komitmen
afektif diartikan sebagai keterikatan emosional, identifikasi, dan keterlibatan yang

7

karyawan miliki dengan organisasi. Komitmen afektif menjelaskan mengenai
komitmen karyawan pada suatu perusahaan karena ia memang menginginkannya
(I want to). Karyawan yang memiliki komitmen afektif pada suatu organisasi
memiliki kedekatan secara emosional dan rasa memiliki pada organisasi dimana ia
bekerja.
Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang didasarkan

pada kerugian yang karyawan hubungkan dengan meninggalkan organisasi.
Komitmen berkelanjutan menjelaskan mengenai komitmen karyawan pada suatu
perusahaan karena ia membutuhkannya (I need to). Sehingga karyawan yang
memiliki komitmen berkelanjutan akan memikirkan dampak dan resiko ketika ia
meninggalkan perusahaan tempat ia bekerja. Karyawan pada komitmen
berkelanjutan biasanya memiliki ketertarikan pada upah atau pendapatan dan
keuntungan yang diterima dari perusahaan.
Komitmen normatif didasarkan pada perasaan berkewajiban yang dimiliki
karyawan untuk tetap tinggal bersama organisasinya. Komitmen normatif
menjelaskan mengenai komitmen karyawan karena ia harus bekerja pada
organisasi tersebut (I have to). Karyawan yang memiliki komitmen normatif akan
dipandu oleh kebiasaan bekerja, loyalitas, dan merasa wajib bekerja kepada
perusahaannya.
Hubungan antara komitmen organisasi dengan SWB
Hubungan komitmen organisasi

dengan SWB dapat disebabkan oleh

pengalaman kerja yang positif. Pengalaman kerja yang positif sendiri didapat dari
aktivitas yang dilakukan di organisasi. Pengalaman kerja positif seperti


8

mengalami kepuasan kerja, menyebabkan kualitas pengalaman yang baik (Maltin,
2011). Ketika seorang karyawan berkomitmen, maka ia mengalami pengalaman
kerja yang positif seperti kepuasan kerja. Hal ini mengakibatkan karyawan
mengalami kepuasan dalam kehidupannya meski hanya dalam bidang pekerjaan.
Meski demikian, kepuasan kerja memiliki korelasi yang kuat dengan kepuasan
hidup. Hal ini didukung dengan pendapat Russell (2008) yang mengatakan hampir
setengah kehidupan orang dewasa dihabiskan di dunia kerja, sehingga kepuasan
kerja dapat menggambarkan kepuasan hidup seorang karyawan.
Jika dilihat dari masing-masing komponen, komitmen organisasi sendiri
memiliki komponen komitmen afektif, dimana karyawan memiliki kedekatan
secara emosional dengan organisasinya, sehingga karyawan akan menggunakan
potensinya demi kemajuan organisasi tempat ia bekerja. Keberhasilan dari
organisasi tempatnya bekerja, akan menjadi keberhasilan bagi karyawan itu
sendiri. Hal ini mengakibatkan karyawan mengalami afek positif ketika hal-hal
positif juga menimpa organisasinya. Sehingga komitmen afektif ini berhubungan
positif dengan afek positif. Jika dilihat dari komponen komitmen normatif,
dimana karyawan merasa berkewajiban untuk bekerja bagi perusahaanya, maka
karyawan pun merasa harus memenuhi kewajibannya untuk tetap bersama dengan
perusahaan tempat ia bekerja. Karyawan memiliki kesempatan untuk memenuhi
kewajibannya. Jika kebutuhan untuk memenuhi kewajiban tersebut terpenuhi,
maka karyawan akan merasa puas dan merasa lebih bahagia. Namun, dari
komponen komitmen berkelanjutan, nampaknya sedikit berbeda. Pada komponen
ini, komitmen karyawan yang didasarkan pada keuntungan yang didapat dari

9

perusahaan, memiliki hubungan yang positif dengan stres, yang kemudian
berpengaruh pada kebahagian atau kepuasan karyawan tersebut. Karyawan yang
merasa tidak mendapat keuntungan dari perusahaan, disisi lain juga bergantung
pada perusahaan tersebut, akan merasa cemas, dan merasa stres, yang kemudian
dapat mempengaruhi SWB-nya. Meski demikian, jika karyawan merasa telah
mendapat imbalan dari perusahaan secara sepadan maka karyawan akan merasa
puas (Maltin, 2011).
Karyawan sendiri memiliki kebutuhan-kebutuhan lain yang hanya dapat
dipenuhi di tempat kerjanya. Kebutuhan dalam hal pengembangan diri, mampu
menggunakan kemampuan serta kreativitas yang mereka miliki secara maksimal,
kesempatan untuk belajar, serta kebutuhan serupa lainnya, mampu terpenuhi di
dunia kerja. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut terpenuhi, maka dapat membuat
karyawan merasa terdedikasi, lebih semangat dalam bekerja, fulfilled, vital, dan
puas terhadap pekerjaannya (Maltin, 2011). Artinya, ketika seorang karyawan
berkomitmen pada sebuah organisasi, karyawan tersebut memiliki kesempatan
untuk memenuhi kebutuhan akan hal-hal tersebut, dan sebagai hasilnya SWB
karyawan meningkat.
Berdasarkan penjelasan serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka
penulis ingin mengetahui hubungan antara komitmen organisasi dengan SWB
karyawan pada karyawan CV. Putra Buana, Surakarta, serta diharapkan, penelitian
ini dapat memberikan tambahan informasi kepada instansi terkait mengenai SWB
karyawan karyawan serta dapat memberikan informasi lebih lanjut terkait
hubungan komitmen organisasi dengan SWB karyawan. Hipotesis dari penelitian

10

ini adalah “terdapat hubungan yang positif signifikan antara komitmen organisasi
dengan SWB karyawan”. Artinya semakin tinggi komitmen organisasi, maka
semakin tinggi SWB karyawan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah
komitmen organisasi, maka semakin rendah pula SWB karyawan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara komitmen organisasi
dengan SWB karyawan pada karyawan CV. Putra Buana, Surakarta.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan kuantitatif dengan
desain korelasional. Variabel dependen pada penelitian ini adalah SWB,
sedangkan variabel independen pada penelitian ini adalah komitmen organisasi
Partisipan
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah karyawan bagian
produksi yang bekerja di CV. Putra Buana Surakarta yang berjumlah 40 orang.
Hampir seluruh karyawan perusahaan ini merupakan karyawan lepas, yang berarti
tidak ada hal-hal yang mengikat antara perusahaan dengan karyawannya seperti
kontrak kerja. Hal ini dapat menyebabkan karyawan maupun perusahaan dapat
memutuskan hubungan kerja kapan saja dan secara sepihak. Partisipan yang akan
digunakan sebagai sampel pada penelitian ini adalah karyawan CV. Putra Buana
khususnya bagian produksi, dengan tingkat pendidikan rata-rata adalah lulusan
Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Akhir (SMA).
Pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan mesin pemotong, alat-alat berat,

11

mencetak kardus, hingga pengepakan barang, menjadikan karyawan bagian
produksi didominasi dengan karyawan berjenis kelamin laki-laki.
Prosedur Sampling
Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah sampel jenuh dimana
partisipan dari penelitian ini adalah karyawan CV Putra Buana yang bekerja di
bagian produksi. Karena populasi pada penelitian ini memiliki jumlah yang kecil,
maka sampel yang digunakan adalah seluruh karyawan bagian produksi yaitu 40
orang.
Instrumen Alat Ukur
Terdapat empat jenis skala psikologis untuk pengukurannya. Untuk
mengukur SWB digunakan tiga skala psikologis yang akan dimodifikasi oleh
penulis dengan mengacu pada dua skala SWB yaitu Satisfaction With Life Scale
(SWLS) untuk mengukur kepuasan hidup secara keseluruhan seperti “saya puas
dengan kehidupan saya, sejauh ini saya telah mendapatkan apa yang diinginkan
dalam diri saya.” (Diener, Emmons, Larsen, & Griffin, 1985), 20 aitem untuk
mengukur kepuasan domain seperti “saya lebih sering mengalami sakit dibanding
orang lain, saya puas dengan kehidupan keluarga saya, saya puas dengan temanteman yang saya miliki” (Loewe et al., 2013), dan Positive and Negative Affect
Schedule (PANAS) untuk mengukur perasaan positif dan negatif dengan aitemaitem seperti “bermusuhan, antusias, penuh perhatian, lekas marah” (Crawford
& Henry, 2004). Dari keempat skala yang digunakan, maka terbentuklah 2 skala
psikologis untuk mengukur SWB. Skala 1 merupakan gabungan dari SWLS dan
20 aitem pengukur kepuasan domain, dan skala 2 yaitu PANAS. Sedangkan untuk

12

mengukur Komitmen Orgnisasi akan menggunakan skala psikologis yang
mengacu pada Organizational Commitment Questioneire (OCQ) yang dibuat oleh
Allen dan Meyer (1991), yang mana terdapat tiga skala yang akan mengukur tiga
komponen komitmen organisasi yaitu Affective Commitment Scale (ACS) untuk
mengukur komitmen afeksi ”saya memiliki keterikatan secara emosional pada
parik ini”, Continuance Commitment Scale (CCS) untuk mengukur komitmen
berkelanjutan “kehidupan saya akan menjadi terganggu apabila saya
meninggalkan pekerjaan saya sekarang”, serta Normative Commitment Scale
(NCS) untuk mengukur komitmen normatif “saya percaya bahwa nilai kesetiaan
pada tempat kerja harus dijaga ”. OCQ kemudian menjadi skala 3 untuk
mengukur komitmen organisasi. Maka dari itu, dalam skala psikologis yang akan
dibagikan pada partisipan terdapat 3 skala terpisah.
Uji coba skala psikologis pada penelitian ini menggunakan try out
terpakai. Melalui penghitungan-penghitungan yang dilakukan, maka muncul
aitem-aitem yang gugur atau tidak layak untuk digunakan karena korelasi aitem
total dari aitem-aitem yang ada tidak mencapai 0,30. Terdapat 2 aitem yang tidak
memenuhi syarat minimal setelah dilakukan dua kali pengujian pada skala 1,
sehingga total aitem yang baik digunakan berjumlah 29 aitem. Sedangkan pada
skala 2 terdapat 3 aitem yang tidak memenuhi syarat minimal, maka jumlah aitem
yang baik digunakan pada penelitian ini adalah 17 aitem. Tiga kali pengujian
dilakukan untuk menguji daya diskriminasi aitem untuk skala 3, sehingga didapat
11 aitem yang tidak memenuhi syarat minimal, maka dari itu jumlah item yang
digunakan pada skala ini sebanyak 18 aitem. Setelah menyeleksi aitem-aitem yang

13

gugur, kemudian dilakukan penghitungan dengan bantuan Alfa Cornbach untuk
mendapatkan reliabilitas skala yang digunakan sebagai alat ukur. Dari hasil
penghitungan tersebut, didapat hasil reliabilitas skala 1 yaitu kepuasan sebesar
0,946, skala 2 yaitu afektif sebesar 0,879, dan skala 3 yaitu komitmen organisasi
sebesar 0,875, sedangkan reliabilitas SWB sebesar 0,947.
Prosedur pengumpulan data
Penelitian ini dimulai dengan pembuatan skala psikologis. Pembuatan
skala psikologis ini mengalami proses bimbingan yang kemudian menghasilkan
tiga skala pengukuran. Skala 1 mengukur variabel SWB untuk komponen
kepuasan hidup dan kepuasan domain dengan jumlah 31 aitem. Skala 2 berjumah
20 aitem untuk mengukur komponen afektif variabel SWB, dan skala 3 untuk
mengukur variabel komitmen organisasi dengan jumlah 29 aitem. Setelah proses
bimbingan menemui kesepakatan, maka penulis mendapat ijin melakukan
penelitian pada tanggal 6 Agustus 2014. Jumlah skala psikologis yang dibagikan
sesuai dengan populasi penelitian, dikarenakan penelitian ini menggunakan teknik
sampel jenuh yaitu berjumlah 40 skala psikologis. Pengambilan data dilakukan
pada tanggal 7 Agustus 2014. Dari 40 skala psikologis yang dibagikan, hanya 38
skala yang diterima oleh penulis. Hal ini disebabkan dua orang karyawan masih
mengambil cuti lebaran. Maka dari itu, jumlah partisipan pada penelitian ini
berjumlah 38 orang karyawan CV. Putra Buana Surakarta bagian produksi.
Setelah dilakukan pengambilan data, maka dilakukan penghitungan reliabilitas
dan korelasi antar aitem, uji asumsi, dan uji hipotesis menggunakan bantuan
program SPSS ver. 16.00.

14

Teknik analisis data
Penghitungan pada penelitian ini menggunakan bantuan program statistik
komputer SPSS for windows ver. 16.00. untuk menguji daya deskriminasi aitem
maupun reliabilitas pada penelitian ini menggunakan teknik Alfa Cornbach.
Pengujian normalitas pada penelitian ini menggunakan Kolmogorov-Smirnov,
untuk uji linearitas digunakan ANOVA table of linearity, sedangkan pengujian
hipotesisnya menggunakan Pearson’s product momment.
HASIL PENELITIAN
Sebelum melihat apakah terdapat hubungan antara komitmen organisasi
dengan SWB, maka dilakukan uji asumsi diantaranya uji normalitas dan uji
linearitas agar memastikan data yang diperoleh bisa dan layak untuk digunakan
dalam penelitian ini. dari hasil penghitungan melalui Kolmogorov-Smirnov SPSS
16.00, di dapatkan bahwa skor K-S-Z SWB dengan signifikansi sebesar 0,520
(p>0,05) sedangkan skor K-S-Z komitmen organisasi dengan signifikansi sebesar
0,518 (p>0,05). Dari hasil tersebut, maka data kedua variabel dapat dikatakan
berdistribusi normal.
Uji linearitas dilakukan agar mengetahui hubungan antar variabel memiliki
hubungan secara linear atau tidak secara signifikan. Dari hasil uji linearitas yang
dilakukan dengan menggunakan ANOVA table of linearity, maka didapatkan
hasil Fbeda dengan signifikansi sebesar 0,426 (p>0,05). Artinya SWB dan
komitmen organisasi memiliki hubungan yang linear.
Setelah dilakukan uji asumsi, maka stastistik deskriptif dilakukan, untuk
mengetahui kategorisasi tiap variabel. Sebelum melakukan statistik deskriptif, Z-

15

skor SWB terlebih dahulu dicari. Z-skor SWB didapat dengan cara menjumlahkan
t-skor dari kepuasan (skala 1) dan t-skor afektif (skala 2). Dengan demikian, total
aitem untuk mengukur SWB sebanyak 46 aitem. Dari hasil statistik deskriptif,
maka ditemukan total skor minimun pada variabel SWB sebesar 47,63 total skor
maksimum sebesar 143,46 dengan mean 100,00, dan standart deviasi 17,612.
Hasil statistik komitmen organisasi menunjukkan bahwa total skor minimum pada
variabel ini adalah 36, total skor maksimal 61, dengan mean 49,37, dan standar
deviasi 6,528. Melalui hasil analisis statistik deskriptif tersebut, maka dilakukan
pengkategorisasian berdasarkan 5 jenjang yaitu sangat tinggi, tinggi, cukup,
rendah, dan sangat rendah. Terdapat 5 alternatif jawaban pada skala 1 dan skala 2,
sehingga didapatkan kemungkinan pembagian skor tertinggi 230, sedangkan skor
terendah 46. Berbeda dengan pengkategorisasian pada komitmen organisasi,
dimana terdapat 4 alternatif jawaban pada skala 3. Berdasarkan penghitungan
yang dilakukan, maka kemungkinan pembagian skor tertinggi pada komitmen
organisasi adalah 72, sedangkan skor terendah 18. Melalui pengkategorisasian
yang dilakukan, maka SWB karyawan dapat dikategorisasikan rendah, sedangkan
komitmen organisasi pada karyawan dapat dikategorisasikan cukup.

Interval
193,2 < x ≤ 230

Tabel 1
Kategorisasi SWB
Kategori
Frekuensi

%

Sangat Tinggi

0

0%

156,4 < x ≤ 193,2

Tinggi

0

0%

119,6 < x ≤ 156,4

Cukup

4

7,8%

82,8 < x ≤ 119,6

Rendah

30

76,3%

46 ≤ x ≤ 82,8

Sangat
Rendah

4

15,8%

Mean

SD
17,108

100,00

16

Interval
61,2 ≤ x ≤ 72

Tabel 2
Kategorisasi Komitmen Organisasi
Kategori
Frekuensi
%

Mean

Sangat Tinggi

0

0%

50,4 ≤ x ≤ 61,1

Tinggi

12

31,5%

39,6 ≤ x ≤ 50,3

Cukup

22

57,89%

28,8 ≤ x ≤ 39,5

Rendah

4

10,5%

18 ≤ x ≤ 28,7

Sangat
Rendah

0

0%

SD
6,528

49.37

Setelah mengetahui kelayakan data yang diperoleh melalui uji asumsi yang
dilakukan, maka dilakukan uji hipotesis dengan mengggunakan Pearson’s
product momment untuk mengetahui arah korelasi kedua veriabel. Uji korelasi
yang dilakukan menemukan bahwa korelasi antara SWB dengan komitmen
memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 0,538 (p>0,05) dan signifikansi sebesar
0.000 (p0,05).
Tabel 4
Hasil Regresi Berganda
Coefficientsa
Unstandardized
Coefficients
Model
1

B
(Constant)

Standardized
Coefficients

Std. Error

28.627

18.155

4.232

1.262

.306
-1.726

komitmen_afektif
komitmen_berkelanjutan
komitmen_normatif

Beta

t

Sig.

1.577

.124

.679

3.352

.002

.907

.058

.337

.738

1.821

-.164

-.948

.350

a. Dependent Variable: SWB

PEMBAHASAN
Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan positif signifikan antara
komitmen organisasi dengan SWB. Artinya, maikin tinggi komitmen organisasi
karyawan, maka makin tinggi pula SWB karyawannya. Hal ini dapat disebabkan
oleh beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah komitmen organisasi.
Karyawan dengan komitmen organisasi akan memiliki ikatan dengan organisasi
tempat ia bekerja, sehingga memiliki tingkat stres yang cenderung rendah
(Khatibi, Asadi, & Hamidi, 2009).
Kemungkinan lain dapat disebabkan oleh masing-masing komponen
komitmen organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif, akan memiliki ikatan
emosi yang kuat dengan tempat dimana ia bekerja. Hal ini menyebabkan
karyawan memberikan dedikasi tinggi terhadap organisasi, serta memberikan

18

kemampuan terbaik yang ia miliki untuk organisasi tanpa merasa tertekan. Maka
dari itu, karyawan dengan komitmen afektif akan merasa puas dan fulfilled saat ia
dapat terus bersama dengan organisasi tempat ia bekerja (Maltin, 2011)
Karyawan dengan komitmen berkelanjutan akan memikirkan dampak yang
ia dapatkan jika mereka meninggalkan organisasinya. Dengan memikirkan
dampak tersebut, karyawan dengan sendirinya akan terus melanjutkan aktifitasnya
bersama dengan organisasi tempat mereka bekerja didasari dengan rasa
membutuhkan pekerjaan tersebut (Allen & Meyer, 1991). Disamping itu, imbalan
atau timbal balik yang karyawan dapatkan dari organisasi juga menjadikan
karyawan berkomitmen dengan organisasinya. Timbal balik yang seimbang antara
karyawan dengan organisasi akan menjadikan karyawan merasa puas dan
memiliki tingkat stres yang rendah (Coetzee & Rothmann, 2005).
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Maltin
(2011), serta Meyer dan Maltin (2010), yang juga menemukan adanya hubungan
positif antara komitmen organisasi dengan SWB karyawan. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa karyawan yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi
juga akan memiliki SWB yang tinggi pula.
Hasil pengkategorisasian menunjukkan bahwa SWB karyawan berada
pada kategorisasi rendah, sedangkan komitmen organisasi berada pada kategori
sedang. Melalui pengamatan penulis selama proses pengambilan data, hal ini
dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya dapat disebabkan
karena persaingan yang kurang sehat antar karyawan, sehingga terjalin suasana
kerja kurang menyenangkan yang kemudian dapat berpengaruh pada emosi

19

karyawan. Selain itu hal ini juga dapat disebabkan hubungan yang kurang terjalin
dengan baik antara karyawan dengan staff pabrik, serta perasaan mendapatkan
timbal balik yang kurang seimbang antara karyawan dengan pihak instansi.
KESIMPULAN
Mengacu pada hasil penelitian yang telah didapatkan, maka kesimpulan
dari penelitian ini adalah:
1. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara komitmen organisasi
dengan SWB karyawan. Makin tinggi komitmen organisasi karyawan,
makin tinggi pula SWB karyawannya, atau sebaliknya makin rendah
komitmen

organisasi

karyawan,

makin

rendah

pula

SWB

karyawannya.
2. Sebagian besar (76,3%) karyawan pada penelitian ini memiliki SWB
pada kategori rendah dan sebagian besar (57,89%) karyawan memiliki
Komitmen organisasi pada kategorisasi cukup.
Dari kesimpulan tersebut, maka penulis menyarankan pada pihak instansi
agar:
1. Lebih memperhatikan SWB karyawannya dengan cara memberikan
reward pada karyawan yang memiliki prestasi kerja yang baik,
sehingga dapat meningkatkan SWB karyawan dikarenakan timbal
balik antara karyawan dan pabrik seimbang.
2. Diadakan evaluasi setidaknya satu bulan sekali dengan tujuan agar
instansi dapat mengetahui serta mengerti kebutuhan karyawan dalam

20

hal kesejahteraan, seperti kesehatan, membangun hubungan baik
antara staff dan karyawan, dan lain-lain.
3. Mengadakan program-program yang dapat memberikan dampak
positif bagi karyawan maupun bagi instansi sendiri melalui hasil
evalasi yang diadakan.
Bagi karyawan, penulis menyarankan agara :
1. Penulis menyarankan agar karyawan menjalin hubungan yang sehat
antar karyawan, sehingga dapat terjadi persaingan secara sehat antara
karyawan, yang kemudian dapat membangun suasana kerja yang
menyenangkan.
2. Karyawan

dapat

mencoba

untuk

menikmati

dan

mencintai

pekerjaanya maupun perusahaannya khususnya di CV.Putra Buana
Surakarta.
3. Karyawan dapat bekerja lebih giat dan meningatkan kualitas serta
produktifitas kerjanya. Dengan kontribusi yang baik serta timbal balik
yang diberikan perusahaan pada karyawan, diharapkan komitmen
karyawan dapat mengalami peningkatan
Untuk penelitian selanjutnya, penulis memberi saran agar:
1. penelitian selanjutnya menggunakan jumlah partisipan yang lebih
banyak dari penelitian ini agar hasil penelitian yang didapatkan lebih
kuat.
2. Dapat dilakukan penelitian serupa pada gabungan organisasiorganisasi lain di Surakarta dan sekitarnya.

21

3. Dapat melihat perbedaan SWB karyawan ditinjau dari komitmen
organisasinya.
Penelitian ini memiliki kelebihan maupun keterbatasan.Kelebihan dari
penelitian ini adalah penelitian ini dapat menggambarkan kesejahteraan maupun
komitmen organisasi pada karyawan CV. Putra Buana secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena teknik sampling yang digunakan adalah sampel jenuh, dimana
38 dari 50 karyawan menjadi partisipan pada penelitian ini, dengan kata lain
sekitar 80% karyawan CV. Putra Buana adalah partisipan di penelitian ini.
Keterbatasan pada penelitian ini adalah banyaknya aitem pada skala 3
yang tidak memenuhi batas minimum uji deskriminasi aitem, sehingga
menjadikan aitem-aitem yang ada kurang dapat menggali lebih lagi mengenai
komitmen organisasi pada penelitian ini. Jumlah partisipan yang terlalu sedikit
juga menjadi keterbatasan pada penelitian ini, sehingga penelitian ini hanya dapat
digunakan bagi satu instansi saja. Maka saran-saran yang telah dipaparkan pada
penelitian ini hanya dapat di aplikasikan di CV. Putra Buana Surakarta.

22

DAFTAR PUSTAKA
Allen, N. J., & Meyer, J. P. (1990). The measurement and antecendents of
affective, continuance and normative commitment to the organization.
Journal of Occupatuonal Psychology , 63, 1-18.
Arshadi, N. (2011). The relaionship of perceived organizational support (POS)
with organizational commitment, in-role performance, and turnover
intention: Mediating role of felt obligation. Social and Behavioral
Sciences, 30,1103-1108.
Coetzee, S., & Royhmann, S., (2005). Occupational stres, organizational
commitment and ill-health of employees at a higher education institution
in south Africa. SA Juornal of Industrial Psychology. 31(1), 47-54.
Crawford, J. R., & Henry, J. D. (2004). The positive and negative affect schedule
(PANAS): Construct validity, measurement properties and normative data
in a large non-clinical sampel. British Journal of Clinical Psychology , 43,
245-265.
Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., & Griffin, S. (1985). The satisfaction
with life scale. Juornal of Personality Assessment , 49(1), 71-75.
Diener, E., Suh, E. M., Lucas, R. E., & Smith, H. L. (1999). Subjective wellbeing: Three decade of progress. Psychological Bulletin, 125(2), 276-302.
Diener, E., Kesebir, P., & Lucas, R. (2008). Benefits of accounts of well-being for
societies and for psychologcal science. Applied Psychology: An
International Review , 57, 37-53.
Diener, E., Lucas, R. E., & Oishi, S. (2002). Subjective SWB: The science of
happiness and life satisfaction. In C. R. Snyder, & S. J. Lopez (Eds.),
Handbook of positive psychology (pp. 63-73). New York: Oxford
Univerity Press.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R. E. (2003). Personality, cuture and subjective
SWB: emotion and cognitive evaluations of life. Annu. Rev. Psychol ,54,
403–425.
Galais, N., & Moser, K. (2009). Organizational commitment and the SWB of
temporary agency workers: A longitudinal study. Human Relations, 62,
589-621. Retrived from http://hum.sagepub.com/content/62/4/589
Grant-Vallone, E. J., & Donaldson, S. I. (2001). Consequences of work-family
conflict on employee SWB over time. Work & Stres, 15 (3), 214-226.
Retrived from http://www.cgu.edu/include/consequences%20of%20workfamily%20conflict.pdf

23

Kelloway, E. K., Weigand, H., McKee, M. C., & Das, H. (2013). Positive
leadership and employee SWB. Journal of Leadership & Organizational
Studies, 20, 107. Retrived from http://jlo.sagepub.com/content/20/1/107
Khatibi, A., Asadi, H., & Hamidi, M. (2009). The relationship between job stres
and organizational commitment in national olympic and paralympic
academy. World Journal of Sport Sciences, 2(4), 272-278.
Lambert, E. G., Hogan, N. L., & Jiang, S. (2008). Exploring antecedents of five
types of organizational commitment among correctional staff: It matters
what you measure. Criminal Justice Policy Review, 19, 466. Retrived from
http://cjp.sagepub.com/content/19/4/466
Liu, J., Siu, O. L., & Shi, K. (2010). Transformational leadership and employee
SWB: The mediating role of trust in the leader and self-efficacy. Applied
Psychology: An International Review, 59 (3), 454–479.
Loewe, N., Bagherzadehniri, M., Anaya, L., Thieme, C., & Batista-Foguet, J. M.
(2013). Life domain satisfaction as predictors of overall life satisfaction
among chilean workers. Manuscript submited for publication. Retrived
from
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4
&cad=rja&uact=8&sqi=2&ved=0CDgQFjAD&url=http%3A%2F%2Fww
w.umayor.cl%2Ffacultad-emprendimiento-y-negocios%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2013%2F10%2FLoewe_Bagherzadehniri_ArayaCastillo_ThiemeBatista2013.pdf&ei=Y9HEU46cA82MuASQ7oCwDQ&usg=AFQjCNE3xIA5GtQaPnSge8lfV2k8RXxkA&bvm=bv.70810081,d.c2E
Luthans, F., Youssef, C. M., Sweetman, D. S., & Harms, P. D. (2013). Meeting
the leadership challenge of employee SWB through relationship PsyCap
and health PsyCap. Journal of Leadership & Organizational Studies, 20,
118. Retrieved from http://jlo.sagepub.com/content/20/1/118
Maltin, E. R. (2011). Workplace commitment and employee SWB: A meta-analysis
and study of commitment profiles (Doctoral thesis, University of Western
Ontario). Retrived from
http://ir.lib.uwo.ca/cgi/viewcontent.cgi?article=1416&context=etd
Mauno, S., Kinnunen, U., & Ruokolainen, M. (2006). Exploring work- and
organization-based resources as moderators between work-family conflict,
SWB, and job attitudes. Work & Stres, 20 (3), 210-233.
Meyer, J. P., & Maltin, E. R. (2010). Employee commitment and well-being: A
critical review, theoretical framework and research agenda. Journal of
Vocational Behavior, 77, 323-337.
Russell, J. E. (2008). Promoting subjective SWB at work. Journal of Career
Assessment, 16(1), 117–131.

24

Schimmack, U. (2008). The structure of subjective SWB. In M. Eid, & R. J.
Larsen (Eds.), The science of subjective SWB (pp. 97-123). New York:
The Guilford Press.