ProdukHukum PekerjaanUmum

BANJIR JABODETABEK
DITINJAU DARI ASPEK DAYA DUKUNG LAHAN WILAYAH
Oleh : Siswoko
Direktur Jenderal Sumber Daya Air
Departemen Pekerjaan Umum

Pendahuluan
Tulisan ini disusun untuk keperluan
pendidikan kedinasan di lingkungan Departemen
Pekerjaan Umum, sekedar memberi gambaran
tentang masalah banjir di wilayah Jabodetabek
ditinjau dari aspek daya dukung lahan pada kondisi
saat ini. Seperti di ketahui masalah banjir di wilayah
Jabodetabek merupakan masalah kronis. Upayaupaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah tampak
menjadi kurang berarti karena akumulasi penyebab
banjir yang terus bertambah. Diperlukan upaya yang
lebih serius, menerus, berjangka panjang secara
komprehensif dan terpadu dari semua pihak
pemangku kepentingan.
Dalam hal pengelolaan sumber daya air
pendekatan yang disyaratkan oleh Integrated Water

Resources Management (IWRM) adalah pendekatan
ekosistem. Sumber daya air bukan hanya diperlukan
untuk kehidupan manusia saja melainkan diperlukan
oleh seluruh sistem alam, kehidupan flora dan fauna
baik teristrial maupun akuatik. Sejalan dengan
pendekatan ekosistem tersebut, telah muncul konsep
baru dalam perencanaan sungai yaitu agar sungai
dikelola kembali secara alami dengan konsep
pemulihan sungai (renaturing the river atau river
restoration).
Dalam tulisan ini masalah banjir di
Jabodetabek akan ditinjau dari aspek kemampuan
lahan/wilayah memodifikasi besaran banjir.
Seperti diketahui penyebab banjir di
Jabodetabek secara garis besar adalah karena
kurang lancarnya pengaliran ke laut, terganggunya
drainase lokal dan makin bertambahnya aliran dari
hulu karena berkurangnya infiltrasi.
Gambar 1 adalah peta wilayah kerja Balai
Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane.

Berturut-turut akan ditinjau kemampuan
mengalirkan banjir ke laut, kemampuan mengalirkan
drainase lokal dan kemampuan meredam banjir dari
hulu. Sebagai penutup ditinjau pula kemampuan
wilayah memulihkan sungai kembali alami.
Kemampuan Mengalirkan Banjir ke Laut
Di daerah yang berbatasan dengan laut,
wilayah Jabodetabek didominasi oleh dataran rendah
yang cukup luas. Di DKI Jakarta saja ada sekitar

40 % dari luas wilayahnya tergolong dataran rendah.
Air hujan yang jatuh di atas lahan dengan elevasi di
bawah + 2.00 m di daerah ini tidak lagi dapat
mengalir ke laut secara gravitasi, sehingga
memerlukan rekayasa drainase dengan timbunan
atau pemompaan (Master Plan NEDECO, 1973).
Di daerah dataran rendah ini alur sungai
umumnya bertanggul baik secara alami (natural
levee) maupun buatan, sehingga air hujan lokal perlu
pemompaan untuk mencapai sungai.

Karena perubahan tata guna lahan di
daerah hulu dari lahan terbuka hijau menjadi
perkerasan dan atap bangunan, menyebabkan
terjadinya kenaikan debit banjir tahunan. Karena
aliran permukaan semakin besar, erosi lahan juga
membesar membawa sedimen dan sampah ke hilir
yang mengendap dan memperdangkal alur-alur
sungai di wilayah Jakarta. Selain itu gangguan oleh
bangunan-bangunan baik yang legal (bangunan
silang) maupun yang illegal ( perumahan tepi sungai)
juga semakin menghambat aliran banjir ke laut.
Sementara banjir-banjir besar umumnya bersamaan
dengan kejadian pasang purnama air laut.
Alur sungai yang semakin dangkal dan
sempit dan tidak mampu mengalirkan debit banjir
rencana tercermin dalam tabel 1 terlampir.
Dari tabel tersebut tampak bahwa
kemampuan mengalirkan air ke laut secara gravitasi
masih belum memadai. Upaya memperbesar
kapasitas alur (normalisasi) yang telah dilakukan oleh

pemerintah belum sepenuhnya menjangkau seluruh
sungai.
Kemampuan Mengalirkan Drainase Lokal
Drainase lokal adalah drainase yang
diperlukan untuk mengalirkan air hujan yang jatuh di
dalam wilayah Jakarta. Seperti telah disampaikan di
atas bahwa karena daerahnya berupa dataran
rendah, air hujan yang jatuh di daerah ini tidak
mampu mengalir secara gravitasi ke laut. Upaya
yang dilakukan untuk menangani drainse lokal
adalah dengan membuat sistem pompa, air
genangan dipompa ke arah sungai Pada kejadian
banjir-banjir besar, sistem pompa sering terganggu
karena sungai tempat outflow justru meluap
menenggelamkan pompa sehingga pompa tidak
dapat bekerja. Ke depan pembuatan system pompa

perlu diupayakan agar dapat langsung membuang ke
laut
Gambar 2 menunjukkan jumlah dan lokasi

sistem pompa di DKI Jakarta
Sistem drainase lokal juga banyak
terganggu oleh penurunan muka tanah karena
pengambilan air tanah secara berlebihan dan
menerus. Muka tanah yang turun memperberat
upaya drainase lokal wilayah DKI Jakarta.
Gambar 3 menunjukkan peta kontur
penurunan muka tanah di DKI Jakarta.
Kemampuan Meredam Banjir dari Hulu
Wilayah Jabodetabek sesuai konturnya
memiliki banyak tampungan alam (situ) khususnya
daerah di sekitar Serpong, Pamulang, Cinere, Depok,
Pondok Gede, dan Cilangkap. Tampungan alam
(situ-situ) ini telah banyak yang hilang akibat didesak
pemakaian lain khususnya perumahan. Situ-situ
kebanyakan tidak terhubungkan dengan alur sungai
sehingga kurang dapat dimanfaatkan secara
optimum sebagai detention basin / parkir air. Selain
itu volumenya juga kecil sehingga pada awal musim
hujan umumnya situ-situ ini telah penuh terisi air.

Upaya menghubungkan tampungan dengan alur
sungai telah dicoba dengan pembuatan waduk Halim
yang dihubungkan dengan alur sungai Sunter.
Meskipun secara kuantitas situ kurang berperan
dalam pengurangan puncak banjir namun ia dapat
berperan sebagai tampungan pengendali /
pengendap sedimen dari catchment area.
Perlu diketahui bahwa di daerah tengah
yaitu daerah antara Depok-Bogor memanjang dari
barat ke timur telah terjadi perubahan tata guna lahan
yang sangat masif dan cepat. Perubahan tersebut
telah mengakibatkan lonjakan debit banjir yang
significant, tampak dari catatan muka air di Depok
yang cenderung naik dari tahun ke tahun. Upaya
peredaman banjir dengan menerapkan konsep
source control terhadap air hujan perlu dikenalkan
dan dilaksanakan secara luas di daerah ini.
Pengertian source control adalah air hujan tidak
segera dihubungkan ke selokan drainase melainkan
harus dilewatkan daerah porous agar ada

kesempatan air untuk meresap terinfiltrasi ke dalam
tanah. Dengan melalui daerah porous (taman,
resapan vertical atau horizontal, saluran bervegetasi,
dll) air hujan dikendalikan dari dekat sumbernya
Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya
dari prinsip source control, hampir semua saluran
dari talang rumah langsung dihubungkan ke selokan
dan selokannya pun terbuat dari pasangan kedap air.
Meskipun pemerintah telah melakukan rehabilitasi
beberapa situ dan membangun dam parit untuk

menambah resapan di daerah hulu, kemampuan
meredam banjir dari hulu masih kurang memadai dan
perlu terus ditingkatkan.
Gambar 4 menujukkan lokasi situ-situ di
wilayah Jabodetabek.
Kemampuan
Restoration)

Pemulihan


Sungai

(River-

Konsep pemulihan sungai muncul sebagai
koreksi dari penanganan sungai selama ini yang
cenderung menggunakan konsep rekayasa semata
dan kurang memperhitungkan pengaruh secara
ekosistem dalam jangka panjang. Sungai tidak lagi
dilihat sebagai alur geometri tempat air mengalir,
namun sebagai alur ekosistem tempat berlangsung
habitat kehidupan flora dan fauna. Seperti diketahui
bahwa ada hubungan erat antara debit air (dan
sediment) dengan geometri alur sungai.
Debit pembentuk alur (bankfull discharge dominant discharge) umumnya berhubungan dengan
debit Q1.5 sampai Q2. Salah satu upaya penting
dalam pemulihan sungai adalah ‘mengembalikan’
agar hubungan tersebut tercapai lagi (Ann L. Riley,
Restroring Streams in Cities, 1998).

Jika melihat Tabel 2 kemampuan pemulihan
sungai dapat dilakukan dengan memperbesar
kapasitas alur sungai atau memperkecil debit-debit
banjir Q2 atau kegiatan keduanya secara bersamasama. Memperbesar kapasitas alur sungai dilakukan
dengan normalisasi, memperkecil debit banjir
dilakukan dengan kegiatan memperbanyak fungsi
resapan di daerah dulu.
Penutup
Demikian keynote speech ini disusun
semoga dapat memancing diskusi yang hangat dan
maju untuk kebaikan kita bersama.
Konsep daya dukung lahan (land carrying
capacity) terkait dengan tujuan penggunaan lahan
agar diperoleh manfaat yang optimum. Makna daya
dukung ada bermacam-macam tergantung tujuan
penggunaan yang ingin diperoleh. Ada daya dukung
menurut ukuran estetika, rekreasi, hayati, ekologi,
ekonomi, social. psikologi dan kehidupan
margasatwa. Daya dukung lahan dinilai menurut
ambang batas kesanggupan lahan sebagai suatu

ekosistem menahan keruntuhan akibat dampak
penggunaan. Makin jauh posisi penggunaan lahan di
bawah ambang batas, jaminan keselamatan lahan
makin besar namun efektifitas penggunaannya
makin rendah (disarikan dari Tejoyuwono, Seminar
Kriteria Kerusakan Lahan, 1999).

Tabel 1. Data Umum Wilayah JABODETABEK

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.

12.

KETERANGAN
Luas Wilayah (Km2)
Penduduk (x 1000)
- Tahun 1995
- Tahun 2005
Kenaikan Penduduk (% / th)
Kepadatan Penduduk (Org/km2)
- Tahun 1995
- Tahun 2005
Kotamadya
Kabupaten
Kecamatan
Sungai
Luas daerah rawan genangan (Ha)
Yang telah ditangani (Ha)
Jumlah situ (bh/Ha)
Yang telah ditangani (bh/Ha)

DKI JAKARTA
650

BODETABEK
5.500

JABODETABEK
6.150

8.964
10.487
1,58

11.365
16.434
3,76

20.329
26.921
2,85

13.561
15.865
5
43
13
24.000
9.000
17
7

2.069
2.991
3
3
58
8
120.000
184
39

3.305
4.374
8
3
101
21
144.000
9.000
201
46

Tabel 2. Kondisi Kapasitas Alur Sungai Existing terhadap Q2
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Nama Sungai
S.Mookervaart
S.Angke
S.Pesanggrahan
S.Krukut
S.Ciliwung
S.Sunter
S.Buaran
S.Jatikramat
S.Cakung

Lokasi Pengamatan
Cengkareng Drain
Cengkareng Drain
Cengkareng Drain
Banjir Kanal Barat
Manggarai
Banjir Kanal Timur
Banjir Kanal Timur
Banjir Kanal Timur
Banjir Kanal Timur

Sumber : Quick Reconnaissance Study, NEDECO, 2002

Kapasitas Alur
Existing m3/det
30
30
30
50
120
10
7
2
5

Debit Rencana
Q2 m3/det
50
80
100
70
360
55
10
40
20

GAMBAR 1

GAMBAR 2

GAMBAR 3

GAMBAR 4