Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Tindakan Kesetan Kerja Dengan Kejadian Kecelakaan Kerja Pada Tenaga Keperawatan Di Ruang Rawat Klas III RSUD Aceh Tamiang Tahun 2015

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit
Menurut Undang-undang RINo. 44 tahun 2009, definisi Rumah sakit adalah
institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan
perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang
meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bertujuan memberikan
perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan
sumber daya manusia di rumah sakit. Rumah sakit harus memenuhi persyaratan
lokasi, bangunan (salah satunya ruang rawat inap), prasarana, sumber daya manusia,
kefarmasian, dan peralatan.
Undang-undang RI No. 44 tahun 2009 pasal 11 menegaskan bahwa prasarana
rumah sakit harus memenuhi standar pelayanan, keamanan, serta K3 penyelenggaraan
rumah sakit dan harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik. Pasal 12
menegaskan juga bahwa rumah sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi
tenaga medis dan penunjang medis,tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga
manajemen rumah sakit, dan tenaga nonkesehatan dan setiap tenaga kesehatan yang
bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan
rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati

hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien. Pasal 16 juga menegaskan

peralatan medis dan nonmedis harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu,
keamanan, keselamatan dan layak pakai. Hal tersebut penting diperhatikan karena
rumah sakit wajib memiliki sistem pencegahan kecelakaan dengan tujuan mencegah
terjadinya kecelakaan dalam bekerja.

2.2 Ruang Rawat Inap
Kementerian Kesehatan RI (2012) mendefinisikan ruang rawatinap yaitu
ruang untuk pasien yang memerlukan asuhan dan pelayanan keperawatan dan
pengobatan secaraberkesinambungan lebih dari 24 jam.Untuk setiaprumah sakit akan
mempunyai ruang perawatan dengan nama sendiri-sendiri sesuai dengan tingkat
pelayanan dan fasilitas yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasiennya.
Persyaratan khususnya yaitu :
1. Tipe ruang rawat inap, terdiri dari :
a. Ruang rawat inap 1 tempat tidur setiap kamar (VIP);
b. Ruang rawat inap 2 tempat tidur setiap kamar (Kelas 1);
c. Ruang rawat inap 4 tempat tidur setiap kamar (Kelas 2);
d. Ruang rawat inap 6 tempat tidur atau lebih setiap kamar (kelas 3).
2. Khusus untuk pasien-pasien tertentu harus dipisahkan(Ruang Isolasi), seperti :

a. Pasien yang menderita penyakit menular;
b. Pasien dengan pengobatan yang menimbulkan bau (seperti penyakit tumor,
gangren, diabetes, dan sebagainya);
c. Pasien yang gaduh gelisah (mengeluarkan suara dalam ruangan).

Keseluruhan ruangan ini harus terlihat jelas dalam kebutuhan jumlah dan jenis
pasien yang akan dirawat. Keselamatan bangunan ruang rawat inap rumah sakitsesuai
SNI 03–7011–2004 tentang Keselamatan pada bangunan fasilitas kesehatan dengan
memperhatikan struktur bangunan, sistem proteksi petir, sistem proteksi kebakaran
dan sumber kelistrikan serta sistem gas medik dan vakum medik untuk mencegah
terjadinya hal-hal buruk salah satunya kecelakaan kerja.

2.3 Perawat
Menurut Undang-undang No. 38 tahun 2014 definisi perawat atau tenaga
keperawatan seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang melaksanakan pelayanan keperawatan dalam bentuk
pelayanan profesional yang merupakan bagian integral daripelayanan kesehatan yang
didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu,keluarga,
kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

Praktik keperawatan dilaksanakan padafasilitas pelayanan kesehatan dan
tempat lainnya sesuai dengan klien sasarannya terdiri atas:
a. Praktik keperawatan mandiri.
b. Praktik keperawatan di kasilitas pelayanan kesehatan.
Praktik keperawatan adalah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
perawat dalam bentuk asuhan keperawatanyaitu rangkaian interaksi perawat dengan
klien dan lingkungannya untuk mencapai tujuan pemenuhan kebutuhan dan

kemandirian klien dalam merawat dirinya. Pelayanan keperawatan yang dilakukan
wajib sesuai dengan kode etik, standar pelayanan keperawatan, standar profesi,
standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
(Permenkes RI,2010).

2.4 Keselamatan Kerja
Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan perhatian dan perlindungan
yang diberikan perusahaan kepada seluruh karyawannya. Keselamatan kerja adalah
keselamatan yangberkaitan dengan alat kerja, bahan dan proses pengolahannya,
tempat kerja, danlingkungannya, serta cara-cara karyawan dalam melakukan
pekerjaannya(Sutrisno, 2012). Keselamatan kerja adalah keselamatan yang berkaitan
dengan mesin, perawat, alat kerja, bahan proses pengolahannya, landasan tempat

kerja dan lingkungannya, serta cara melakukan pekerjaan (Suma’mur, 2009).
Pelaksanaan keselamatan kerja adalah berkaitan dengan upaya pencegahan
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang disebabkan oleh berbagai faktor
bahaya, baik berasal dari penggunaan mesin-mesin produksi maupun lingkungan
kerja serta tindakan pekerja sendiri.Adapun tujuan dari keselamatan kerja adalah
(Ramlan, 2006):
a. Melindungi

keselamatan

pekerja

dalam

melakukan

pekerjaannya

kesejahteraan hidup dan meningkatkan produktivitas nasional.
b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada ditempat kerja.

c. Sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan efisien.

untuk

Menurut undang-undang No. 1 tahun 1970 pasal 3 ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk:
a. Mencegah dan mengurangi kecelakaan kerja.
b. Mencegah, mengurangi dan memadamkan bahaya kebakaran.
c. Mencegah dan mengurangi bahaya-bahaya peledakan.
Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang perlindungan atas keselamatan
karyawan dijamin pada pasal 86 yaitu:
1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
a. Keselamatan dan kesehatan kerja;
b. Moral dan kesusilaan;
c. Perlakuan sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.
2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas
kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.
Tujuan keselamatan dan kesehatan kerja adalah (Mangkunegara, 2005):
1. Mendapatkan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik secara fisik, sosial
dan psikologis.

2. Dapat menggunakan perlengkapan dan peralatan kerja secara efektif dan efisien.
3. Semua hasil produksi dapat dipelihara keamanannya.
4. Meningkatan kesehatan gizi pegawai dan adanya jaminan atas pemeliharaan.
5. Meningkatkan kegairahan, keserasian kerja dan partisipasi kerja.
6. Terhindar dari gangguan kesehatan disebabkan lingkungan atau kondisi kerja.
7. Melindungi setiap pegawai dalam bekerja dan menciptakan rasa aman.

Tujuan dan pentingnya keselamatan kerja meliputi (Rivai, 2006):
1. Meningkatnya produktivitas karena menurunnya jumlah hari kerja yang hilang.
2. Meningkatnya efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih berkomitmen.
3. Menurunnya biaya-biaya kesehatan dan asuransi.
4. Tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran langsung yang lebih rendah karena
menurunnya pengajuan klaim.
5. Fleksibilitas dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari meningkatnya
partisipasi dan rasa kepemilikan.
6. Rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena meningkatnya citra perusahaan.
Perusahaan yang dapat menurunkan tingkat dan beratnya kecelakaankecelakaan kerja, penyakit dan hal-hal yang berkaitan dengan stres serta mampu
meningkatkan kualitas kehidupan kerja para pekerjanya, maka perusahaan tersebut
akan semakin efektif (Rivai, 2006).


2.5 Keselamatan Kerja Rumah Sakit
Keselamatan kerja rumah sakit termasuk bagian dari Upaya Kesehatan dan
Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) yang menyangkut tenaga kerja, cara dan
metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya ini meliputi
peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Kinerja setiap petugas
kesehatan dan non kesehatan merupakan kesinambungan dari 3 komponen K3 yaitu
kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan kerja. Penyelenggaraan K3RS agar lebih
efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen K3RS, baik bagi

pengelola maupun karyawan RS, yang bertujuan terciptanya cara kerja dan
lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman serta dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan karyawan rumah sakit.
Adapun manfaat K3RS adalah (Kepmenkes RI No. 432 tahun 2007):
1. Untuk rumah sakit
a. Meningkatkan mutu pelayanan;
b. Mempertahankan kelangsungan operasional rumah sakit;
c. Meningkatkan citra rumah sakit.
2. Untuk karyawan rumah sakit
a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK);
b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK).

3. Untuk pasien dan pengunjung
a. Mutu layanan yang baik;
b. Kepuasan pasien dan pengunjung.
Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatanpasal 165 dinyatakan
bahwa upaya K3 harus diselenggarakan di semua sektor. Maka jelas bahwa rumah
sakit termasuk ke dalam kriteria tempat kerja, dengan berbagai ancaman bahaya yang
dapat menimbulkan dampak kesehatan tidak hanya terhadap para pelaku langsung
yang bekerja di rumah sakit, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung rumah
sakit. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola rumah sakit menerapkan upaya
K3RS.

Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 tentang Penerapan Sistem
Majanemen K3 menegaskan bahwa untuk meningkatkan efektifitas perlindungan K3,
tidak terlepas dari upaya pelaksanaan K3 yang terencana, terukur, terstruktur, dan
terintegrasi melalui sistem manajemen K3 guna menjamin terciptanya suatu sistem
keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur
manajemen,

pekerja/buruh,


dan/atau

serikat

pekerja/serikat

buruh

dalam

rangkamencegah dan mengurangi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja serta
terciptanya tempat kerjayang nyaman, efisien dan produktif.

2.6 Pelayanan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit
Pada prinsipnya pelayanan keselamatan kerja berkaitan erat dengan sarana,
prasarana, dan peralatan kerja. Bentuk pelayanan keselamatan kerja yang dilakukan
adalah (Kepmenkes RI No. 1087 tahun 2010):
1. Pembinaan dan pengawasan K3 sarana, prasarana dan peralatan kesehatan yaitu:
a. Lokasi rumah sakit harus memenuhi ketentuan mengenai kesehatan,
keselamatan lingkungan, dan tata ruang, serta sesuai dengan hasil kajian

kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan rumah sakit;
b. Teknis bangunan rumah sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan
bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut;
c. Prasarana

harus

memenuhi

penyelenggaraan rumah sakit;

standar

pelayanan,

keamanan,

serta


K3

d. Pengoperasian dan pemeliharaan sarana, prasarana dan peralatan rumah sakit
harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi di bidangnya
(sertifikasi personil petugas/operator sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan
rumah sakit);
e. Membuat program pengoperasian, perbaikan, dan pemeliharaan rutin dan
berkala sarana dan prasarana serta peralatan kesehatan dan selanjutnya
didokumentasi dan dievaluasi secara berkala dan berkesinambungan;
f. Peralatan kesehatan meliputi peralatan medis dan non medis dan harus
memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan dan
layak pakai;
g. Membuat program pengujian dan kalibrasi peralatan kesehatan, peralatan
kesehatan harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh Balai Pengujian
Fasilitas Kesehatan dan/atau institusi pengujian fasilitas kesehatan berwenang;
h. Peralatan kesehatan yang menggunakan sinar pengion harus memenuhi
ketentuan dan harus diawasi oleh lembaga berwenang;
i. Melengkapi perizinan dan sertifikasi sarana, prasarana serta peralatan
kesehatan.
2. Pembinaan dan pengawasan atau penyesuaian peralatan kerja terhadap SDM
rumah sakit yaitu:
a. Melakukan identifikasi dan penilaian risiko ergonomi terhadap peralatan kerja
dan SDM rumah sakit;

b. Membuat program pelaksanaan kegiatan, mengevaluasi dan mengendalikan
risiko ergonomi.
3. Pembinaan dan pengawasan terhadap lingkungan kerja yaitu:
a. Manajemen harus menyediakan dan menyiapkan lingkungan kerja yang
memenuhi syarat fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial;
b. Pemantauan/pengukuran terhadap faktor fisik, kimia, biologi, ergonomi dan
psikososial secara rutin dan berkala;
c. Melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi perbaikan lingkungan kerja.
5. Pembinaan

dan

pengawasan

terhadap

sanitair

yaitu

manajemen

harus

menyediakan, memelihara, mengawasi sarana dan prasarana sanitair, yang
memenuhi syarat seperti:
a. Penyehatan makanan dan minuman;
b. Penyehatan air;
c. Penyehatan tempat pencucian;
d. Penanganan sampah dan limbah;
e. Pengendalian serangga dan tikus;
f. Sterilisasi/desinfeksi;
g. Perlindungan radiasi;
h. Upaya penyuluhan kesehatan lingkungan.
6. Pembinaan dan pengawasan perlengkapan keselamatan kerja yaitu:
a. Pembuatan rambu-rambu arah dan tanda-tanda keselamatan;
b. Penyediaan peralatan keselamatan kerja dan APD;

c. Membuat SOP peralatan keselamatan kerja dan APD;
d. Melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap kepatuhan penggunaan
peralatan keselamatan dan APD.
7. Pelatihan dan promosi/penyuluhan keselamatan kerja untuk SDM rumah sakit
yaitu:
a. Sosialisasi dan penyuluhan keselamatan kerja bagi seluruh SDM rumah sakit;
b. Melaksanakan pelatihan dan sertifikasi K3RS untuk petugas K3RS.
8. Memberi rekomendasi/masukan mengenai perencanaan, desain/lay out pembuatan
tempat kerja dan pemilihan alat serta pengadaannya terkait keselamatan dan
keamanan yaitu:
a. Melibatkan petugas K3RS dalam perencanaan, desain pembuatan tempat kerja,
serta pemilihan dan pengadaan sarana, prasarana, peralatan keselamatan kerja;
b. Mengevaluasi dan mendokumentasikan kondisi sarana, prasarana dan peralatan
keselamatan kerja dan membuat rekomendasi sesuai dengan persyaratan yang
berlaku dan standar keamanan dan keselamatan.
8. Membuat sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya yaitu:

a. Membuat alur pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka;
b. Membuat SOP pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris celaka
dan celaka.
9. Pembinaan dan pengawasan terhadap Manajemen Sistem Pencegahan dan

Penanggulangan Kebakaran (MSPK). Manajemen menyediakan sarana dan
prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran yaitu:

a. Membentuk tim penanggulangan kebakaran;
b. Membuat SOP;
c. Melakukan sosialisasi, pelatihan pencegahan, dan penanggulangan kebakaran;
d. Melakukan audit internal sistem pencegahan dan penggulangan kebakaran.
10. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan

kerja yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan unit teknis terkait di
wilayah kerja rumah sakit.

2.7 Kecelakaan Kerja
Keselamatan kerja berkaitan dengan kecelakaan kerja, yaitu kecelakaan yang
terjadi di tempat kerja. Pengertian kecelakaan adalah cacat dan kematian sebagai
akibat kecelakaan kerja. kecelakaan akibat kerja berhubungan dengan hubungan kerja
pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti bahwa kecelakaan terjadi
dikarenakan oleh pekerjaan atau pada waktu melaksanakan pekerjaan. Maka dalam
hal ini kecelakaan adalah akibat langsung pekerjaan atau kecelakaan terjadi pada saat
pekerjaan sedang dilakukan (Suma’mur, 2009).
Terjadinya kecelakaan kerja disebabkan oleh faktor manusia dan faktor fisik.
Faktor manusia

yang

tidak

memenuhi

keselamatan

misalnya kelengahan,

kecerobohan, mengantuk, dan kelelahan sedangkan kondisi lingkungan yang tidak
aman misalnya lantai licin, pencahayaan kurang, silau, dan mesin terbuka
(Notoatmodjo, 2007).

Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian
materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses produksi
secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada
masyarakat luas (Kepmenkes RI No. 1087 tahun 2010).
Menurut Frank Bird dan Loftus, pakar ilmu keselamatan kerja dalam Muluk
(2009) mengemukakan teori penyebab kecelakaan sebagai berikut :
1. Perencanaan
a. Organisasi;
b. Pimpinan;
c. Pengawas.
2. Sebab-sebab utama
a. Faktor manusia(Human factor)
1. Pengetahuan kurang;
2. Motivasi kurang;
3. Keterampilan kurang;
4. Problem/stress fisik atau mental;
5. Kemampuan yang tidak cukup secara fisik dan mental.
b. Faktor pekerjaan(Job factor)
1. Standar mutu pekerjaan yang tidak memadai;
2. Design dan maintenance yang tidak baik;
3. Pemakaian yang tidak normal dan lain-lain.

3. Penyebab langsung
a. Tindakan yang tidak aman;
b. Keadaan kerja yang tidak aman.
4. Peristiwa (Incident)
Terjadinya kontak dengan sumber energi (energi kinetik, elektrik, akustik,
panas, radiasi, kimia dan lain-lain) yang melebihi nilai ambang batas kemampuan
badan atau struktur, misalnya beban berlebih, kontak sumber energi berbahaya.

Kurangnya
pengawasan

Sebab
mendasar

Sebab
pemicu

Tidak
mengikuti
standar

SDM buruk
atau faktor
tugas

Tindakan
atau kondisi
tidak aman

Kecelakaan

Kerugian

Insiden/
kecelakaan

Korban jiwa,
properti atau
produksi

Gambar 2.1 Model Domino Bird dan Loftus (Muluk, 2009)
2.7.1 Klasifikasi Kecelakaan Kerja
Klasifikasi kecelakaan kerja menurut ILO dalam Suma`mur (2009) adalah:
1. Klasifikasi menurut jenis kecelakaan
a. Terjatuh;
b. Tertimpa benda jatuh;
c. Tertumbuk atau terkena benda-benda, terkecuali benda jatuh;
d. Terjepit oleh benda;
e. Gerakan-gerakan melebihi kemampuan;
f. Pengaruh suhu tinggi;

g. Terkena arus listrik;
h. Kontak dengan bahan-bahan berbahaya atau radiasi;
i. Jenis-jenis lain termasuk kecelakaan yang belum masuk klasifikasi tersebut.
2. Klasifikasi menurut penyebab
a. Mesin.
1) Pembangkit tenaga, terkecuali motor-motor listrik;
2) Mesin penyalur;
3) Mesin-mesin untuk mengerjakan logam;
4) Mesin-mesin pengolah kayu;
5) Mesin-mesin pertanian;
6) Mesin-mesin pertambangan;
7) Mesin-mesin lain yang tidak termasuk klasifikasi tersebut.
b. Alat angkat dan angkut.
1) Mesin angkat dan peralatannya;
2) Alat angkutan diatas rel;
3) Alat angkutan yang beroda kecuali kereta api;
4) Alat angkutan udara;
5) Alat angkutan air;
6) Alat-alat angkutan lain.
c. Peralatan lain.
1) Bejana bertekanan;
2) Dapur pembakar dan pemanas;

3) Instalasi pendingin;
4) Instalasi listrik, termasuk motor listrik, kecuali alat-alat listrik (tangan);
5) Alat-alat listrik (tangan);
6) Alat-alat kerja dan perlengkapannya kecuali alat-alat listrik;
7) Tangga;
8) Perancah;
9) Peralatan lain yang belum termasuk klasifikasi tersebut.
d. Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi.
1) Bahan peledak;
2) Debu, gas, cairan dan zat-zat kimia, terkecuali bahan peledak;
3) Benda-benda melayang;
4) Radiasi;
5) Bahan-bahan dan zat-zat lain yang belum termasuk golongan tersebut.
a. Lingkungan kerja.
1) Di luar bangunan;
2) Di bangunan;
3) Di bawah tanah.
b. Penyebab-penyebab yang belum termasuk golongan-golongan tersebut.
1) Hewan;
2) Penyebab lain.
c. Penyebab lain yang belum termasuk golongan tersebut atau data tidak
memadai.

3. Kasifikasi menurut sifat luka atau kelainan
a. Patah tulang;
b. Dislokasi;
c. Renggang otot/urat;
d. Memar dan luka dalam yang lain;
e. Amputasi;
f. Luka-luka lain;
g. Gegar dan remuk;
h. Luka bakar;
i. Luka dipermukaan;
j. Keracunan akut;
k. Akibat cuaca dan lain-lain;
l. Mati lemas;
m. Pengaruh arus listrik;
n. Pengaruh radiasi;
o. Luka-luka yang banyak dan berlainan sifatnya.
4. Klasifikasi menurut letak kelainan atau luka di tubuh.
a. Kepala;
b. Leher;
c. Badan;
d. Anggota gerak atas;
e. Anggota gerak bawah;

f. Banyak tempat;
g. Kelainan umum;
h. Letak lain yang tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi tersebut.
Jenis pekerjaan mempunyai peranan besar dalam menentukan jumlah dan
macam kecelakaan, demikian pula jumlah dan macam kecelakaan di berbagai
kesatuan operasi dalam suatu proses, seterusnya pada berbagai pekerjaan yang
tergolong kepada suatu kesatuan operasi (Suma`mur, 2009).
2.7.2 Sebab Kecelakaan Kerja
Penyebab kecelakaan kerja di berbagai negara tidak sama, namun ada
kesamaan umum yaitu kecelakaan kerja disebabkan oleh (Matondang, 2007):
1. Kondisi berbahaya (unsafe condition)
a. Mesin, peralatan, bahan, dan lain-lain;
b. Lingkungan kerja;
c. Proses kerja;
d. Sifat pekerjaan;
e. Cara Kerja.
2. Perbuatan berbahaya (unsafe action) dari manusia
a. Sikap dan tingkah laku yang tidak baik;
b. Kurang pengetahuan dan ketrampilan;
c. Cacat tubuh yang tidak terlihat;
d. Keletihan dan kelesuan.

Tresnaningsih (2007) mengemukakan beberapa contoh kecelakaan kerja
terjadi di laboratorium yang merupakan salah satu sarana dimiliki rumah sakit yaitu:
1. Terpeleset dan terjatuh adalah bentuk kecelakaan kerja yang dapat terjadi
dilaboratorium. Terpeleset biasanya karena lantai licin, akibatnya: ringan (memar),
dan berat (fraktura, dislokasi, memar otak, dan lain lain).
Pencegahan:
a. Pakai sepatu anti slip;
b. Jangan pakai sepatu dengan hak tinggi, tali sepatu longgar;
c. Hati-hati bila berjalan pada lantai yang sedang dipel (basah dan licin) atau tidak
rata konstruksinya;
d. Pemeliharaan lantai dan tangga.
2. Cedera pada punggung oleh karena mengangkat beban yang cukup berat, terutama
bila mengabaikan kaidah ergonomi.
Pencegahan:
a. Beban jangan terlalu berat;
b. Jangan berdiri terlalu jauh dari beban;
c. Jangan mengangkat beban dengan posisi membungkuk tapi pergunakanlah
tungkai bawah sambil berjongkok;
d. Pakaian penggotong jangan terlalu ketat sehingga pergerakan terhambat.
3. Tertusuk jarum suntik saat mengambil sampel darah/cairan tubuh lainnya,
akibatnya tertular virus HIV.

Pencegahan:
a. Gunakan alat suntik sekali pakai;
b. Jangan tutup kembali atau menyentuh jarum suntik yang telah dipakai tetapi
langsung dibuang ke tempat yang telah disediakan (sebaiknya menggunakan
destruction clip);
c. Bekerja di bawah pencahayaan yang cukup.
4. Terjadi kebakaran yang bersumber dari bahan kimia, kompor, bahan desinfektan
yang mungkin mudah menyala (flammable) dan beracun. Kebakaran terjadi bila
terdapat 3 unsur bersamaan yaitu: oksigen, bahan mudah terbakar, dan panas.
Akibatnya luka bakar dari ringan sampai berat, kematian, dankeracunan akibat
kurang hati-hati.
Pencegahan:
a. Konstruksi bangunan yang tahan api;
b. Sistem penyimpanan yang baik terhadap bahan-bahan yang mudah terbakar;
c. Pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya kebakaran;
d. Sistem tanda kebakaran seperti:
1) Manual yang memungkinkan seseorang menyatakan tanda bahaya segera;
2) Otomatis menemukan kebakaran dan memberikan tanda secara otomatis;
3) Jalan untuk menyelamatkan diri;
4) Perlengkapan dan penanggulangan kebakaran;
5) Penyimpanan dan penanganan zat kimia yang benar dan aman.

2.8. Bahaya Pekerjaan di Rumah Sakit
Bahaya potensial berdasarkan lokasi dan pekerjaan di rumah sakitdapat dilihat
pada tabel 2.1 yaitu(Kepmenkes RI No. 432 tahun 2007 tentang Pedoman
Manajemen K3 di Rumah Sakit):
Tabel 2.1 Potensi Bahaya Berdasarkan Lokasi dan Pekerjaan Di Rumah Sakit
No
1.

Bahaya Potensial
FISIK:
Bising
Getaran
Debu

Panas
Radiasi

2.

KIMIA:
Disinfektan
Cytotoxics
Ethylene oxide
Formaldehyde
Methyilmethacrylate
Hg (amalgam)
Solvents
Gas-gas anaestesi

3.

BIOLOGI:
AIDS, Hepatitis B
dan Non A-Non
BIGD
Cytomegalo virus
Rubella
Tuberculosis

Lokasi

Pekerja yang paling beresiko

IPS-RS, laundri, dapur, CSSD,
gedung genset-boiler, IPAL
Ruang mesin dan peralatan
penghasil getaran (ruang gigi)
Genset, bengkel kerja, lab gigi,
gudang
rekam
medis,
incinerator
CSSD,
dapur,
laundri,
incinerator, boiler
X-Ray, OK yang menggunakan
carm, ruang fisioterapi,unit gigi

Karyawan yang bekerja di
lokasi tersebut
Perawat, cleaning service

Semua area
Farmasi, tempat pembuangan
limbah, bangsal
Kamar operasi
Laboratorium, kamar mayat,
gudang farmasi
Ruang pemeriksaan gigi
Laboratorium, bengkel kerja,
semua area di RS
Ruang operasi gigi, OK, ruang
pemulihan (RR)
OK, ruang pemeriksaan gigi,
laboratorium, laundri
Ruang kebidanan, ruang anak
Ruang ibu dan anak
Bangsal, lab, ruang isolasi

Petugas sanitasi, teknisi gigi,
petugas IPS dan rekam medis
Pekerja dapur, pekerja laundry,
petugas sanitasi dan IP-RS
Ahli radiologi, radioterapist
dan radiografer, ahli fisioterapi
dan petugas roentgen gigi
Petugas kebersihan, perawat
Pekerja
farmasi,
perawat,
petugas pengumpul sampah
Dokter, perawat
Petugas kamar mayat, petugas
laboratorium dan farmasi
Petugas/ dokter gigi, dokter
bedah, perawat
Teknisi, petugas laboratorium,
petugas pembersih
Dokter gigi, perawat, dokter
bedah, dokter/perawat anestesi
Dokter, dokter gigi, perawat,
petugas laboratorium, petugas
sanitasi dan laundri
Perawat, dokter yang bekerja di
bagian ibu dan anak
Dokter dan perawat
Perawat,
petugas
lab,
fisioterapis

Tabel 2.1 (Lanjutan)
4.

5.

ERGONOMI:
Pekerjaan
yang
dilakukan
secara
manual
Postur yang salah
dalam
melakukan
pekerjaan
Pekerjaan
yang
berulang

Area
pasien
dan
tempat
penyimpanan barang (gudang)

Petugas yang menangani pasien
dan barang

Semua area

Semua karyawan

Semua area

Dokter
gigi,
petugas
pembersih, fisioterapis, sopir,
operator
komputer,
yang
berhubungan dengan pekerjaan
juru tulis

PSIKOSOSIAL:
Sering
kontak Semua area
dengan pasien, kerja
bergilir,
kerja
berlebih, ancaman
secara fisik

Semua karyawan

2.9 Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup
mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,
karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud
dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari
manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya.
Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun
yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2010).

Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap
stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan, dan minuman serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku
kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu (Notoatmodjo, 2010):
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance)
Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseoranguntuk
memelihara kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhanjika sakit.
Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek yaitu:
a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta
pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit;
b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu
dijelaskan di sini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari itu
orang yang sehatpun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang
seoptimal mungkin;
c. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat
memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya makanan
dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan seseorang,
bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung pada perilaku
orang terhadap makanan dan minuman tersebut.
2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Sistem atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Perilaku ini sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking
behavior) yang menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita

penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati
sendiri (self treatment) sampai mecari pengobatan keluar negeri.
3. Perilaku Kesehatan Lingkungan
Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan,
baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, sehingga lingkungan tersebut tidak
mempengaruhi kesehatannya. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2010) membuat
klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan yaitu:
a. Perilaku hidup sehat adalah perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan
seseorang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya.
b. Perilaku sakit (illness behavior) mencakup respon seseorang terhadap sakit dan
penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala
penyakit, dan pengobatan penyakit.
c. Perilaku peran sakit (the sick role behavior) yaitu orang sakit (pasien)
mempunyai peran, yang mencakup hak-hak orang sakit (right) dan kewajiban
sebagai orang sakit (obligation). Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh
orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya
disebut perilaku peran orang sakit (the sick role).
Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi 2
faktor yaitu:

a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional,
jenis kelamin, dan sebagainya.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi, dan politik. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang
dominan yang mewarnai perilaku seseorang.
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalah
merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil
bersama atau kesinambungan antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun
eksternal. Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) membagi perilaku manusia itu
ke dalam 3 domain, ranah atau kawasan yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif
(affective), dan c) psikomotor (psychomotor). Ketiga domain ini dapat diukur dari:
1. Pengetahuan terhadap materi yang diberikan (knowledge).
2. Sikap atau tanggapan terhadap materi yang diberikan (attitude).
3. Tindakan yang dilakukan sehubungan dengan materi yang diberikan (practice).
2.9.1 Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010).

a. Proses Adopsi Perilaku
Penerimaan suatu inovasi biasanya seseorang melalui sejumlah tahapan yang
disebut tahapan putusan inovasi yaitu:
1. Tahapan pengetahuan, yaitu seseorang sadar dan tahu adanya inovasi.
2. Tahap bujukan, yaitu seseorang sedang mempertimbangkan atau membentuk
sikap terhadap inovasi yang telah diketahuinya.
3. Tahap putusan, yaitu seseorang membuat putusan menerima atau menolak
inovasi tersebut.
4. Tahap implementasi, yaitu seseorang melaksanakan keputusan yang telah
dibuatnya.
5. Tahap pemastian, yaitu seseorang memastikan atau mengkonfirmasikan
putusan yang telah diambilnya itu.
Penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut
akan berlangsung lama. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
b. Tingkat Pengetahuan dalam Domain Kognitif
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif, yaitu (Notoatmodjo, 2010):
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya, termasuk mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab

itu, tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja
untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan terhadap
objek yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat diartikan
sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat
dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan.

5. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan
kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan,
dan menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaianterhadap suatu objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu
kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada.
2.9.2 Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional
terhadap stimulus sosial. Sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan bertindak, dan
bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan
atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu
masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku
yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).

a. Komponen Pokok Sikap
Menurut Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2010), sikap mempunyai 3
komponen pokok, yaitu: 1) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap
suatu objek; 2) kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek; dan 3)
kecenderungan untuk bertindak.Ketiga komponen ini secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh. Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
b. Tingkatan Sikap
Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2010):
1. Menerima (receiving)
Subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
4. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.9.3 Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk
mewujudkan sikap menjadi perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau
kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas. Selain fasilitas, juga diperlukan
faktor dukungan dari pihak lain.
Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2010):
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan tindakan yang akan diambil.
2. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai dengan contoh.
3. Mekanisme (mecanism)
Otomatis dapat melakukan sesuatu dengan benar, atau sudah menjadi kebiasaan.
4. Adopsi (Adoption)
Praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik yaitu tindakan sudah
dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan.
Tresnaningsih (2007) menyatakan bahwa tidak mungkin menghilangkan
kecelakaan kerja hanya dengan mengurangi keadaan tidak aman, karena pelaku
kecelakaan kerja adalah manusia. Para ahli belum dapat menemukan cara yang jitu
untuk menghilangkan tindakan karyawan yang tidak aman. Tindakan tersebut seperti:
1. Melempar atau membuang material;
2. Mengoperasikan dan bekerja pada kecepatan yang tidak aman, apakah itu terlalu
cepat ataupun terlalu lambat;

3. Membuat peralatan keselamatan dan keamanan tidak beroperasi dengan cara
memindahkan, mengubah pengaturan, atau memasang kembali;
4. Memakai peralatan yang tidak aman atau menggunakannya secara tidak aman;
5. Menggunakan prosedur yang tidak aman saat mengisi, menempatkan, mencampur,
dan mengkombinasikan material;
6. Pada posisi tidak aman di bawah muatan yang tergantung seperti menaikkan lift
dengan cara yang tidak benar;
7. Pikiran kacau, gangguan penyalahgunaan, dan kaget.
Tindakan seperti ini dapat menyebabkan usaha tempat kerja meminimalkan
kondisi kerja yang tidak aman menjadi sia-sia. Oleh karena itu,sebaiknya penyebab
tindakan dapat diidentifikasi dengan cara karakteristik pribadi karyawan, karyawan
yang mudah mengalami kecelakaan, daya penglihatan karyawan, usia karyawan,
persepsi dan keterampilan gerak karyawan, minat karyawan (Tresnaningsih, 2007).

2.10Landasan Teori
Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) membagi perilaku manusia itu ke
dalam 3 domain yakni: a) kognitif (cognitive), b) afektif (affective), c) psikomotor
(psychomotor). Ketiga domain ini dapat diukur dari Pengetahuan terhadap materi
yang diberikan (knowledge), Sikap atau tanggapan terhadap materi yang diberikan
(attitude), dan Tindakan yang dilakukan sehubungan dengan materi yang diberikan
(practice).

Undang-undang No. 1 tahun 1970 dalam Ramli (2013) menjelaskan bahwa
keselamatan kerja dalam suatu tempat kerja mencakup berbagai aspek yang berkaitan
dengan kondisi dan keselamatan sarana produksi, manusia dan cara kerja dalam hal
ini yang dimaksud adalah perilaku. Perilaku tentang mencegah dan menggendalikan
timbulnya penyakit akibat kerja baik fisik, maupun psikis, keracunan dan penularan
yang dihubungkan dengan aspek kesehatan kerja.
Human error dalam pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi merupakan
kejadian yang dilandasi oleh perilaku K3 individu yang buruk. Meskipun perilaku K3
adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar
organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada
karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti
meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang
berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda
disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi 2
yakni determinan internal seperti tingkat kecerdasan dari pendidikan yang didapat,
jenis kelamin, pengetahuan, aktivitas fisik, persepsi, dan sikap; serta determinan
eksternal seperti lingkungan sosial, budaya, ekonomi, tempat kerja, dan lainnya
(Notoatmodjo, 2010).

2.11 Kerangka Konsep
Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut :
Pengetahuan tentang Keselamatan Kerja

Sikap terhadap Keselamatan Kerja

Kejadian Kecelakaan Kerja

Tindakan terhadap Keselamatan kerja
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian