Laporan Edisi 12 September 2017

BEBAN
PAJAK
K. Subroto

SYAMINA

BEBAN PAJAK
Prakondisi Jihad Diponegoro
K. Subroto

Laporan
Edisi 12 / September 2017

ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah
lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala
bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh
semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak
media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk
menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas
dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada

metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini
merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
lk.syamina@gmail.com
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

*Gambar cover: Demang (Priyayi Desa) Pemungut Pajak; Diambil dari buku The Power of Propechy, Peter
Carey

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4
BEBAN PAJAK; Prakondisi Jihad Diponegoro— 7
Java Orlog — 7
Intrik Politik Penjajah Eropa (Inggris dan Belanda) dengan Kesultanan — 8
Dukungan Prang Sabil Diponegoro Meluas — 12
Masuknya Budaya Eropa yang Merusak Moral — 13
Penjajah Memasyarakatkan Candu — 14
Meningkatnya Tindak Kejahatan — 16
Hukum Tidak Dijalankan — 16
Sistem Pertanahan — 17
Pemungut dan Penerima Pajak — 18
Kelompok Sosial dan Masyarakat Desa — 19
Kondisi Sosial Ekonomi — 21
Pajak yang Semakin Mencekik — 23
Pajak dan Sewa Tanah Era Raffles — 26
Pajak dan "Pemerasan" di Gerbang Tol — 27
Kesimpulan — 31

3


Edisi 12 / September 2017

SYAMINA

EXECUTIVE SUMMARY

De Java Oorlog (Perang Jawa) adalah perang besar dan berlangsung selama lima
tahun (1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran
terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di
Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang
berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Diponegoro.
Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah
Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Saat itulah
terjadi peralihan dari hegemoni longgar Belanda pada zaman penjajahan yang
sebenarnya, yang di Jawa bermula dengan ditaklukkannya Diponegoro pada tahun
1830.
Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa
menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa.
Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang
pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya

sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat
dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas
mencapai 200.000 orang.

4

Demi memastikan kemenangan atas orang Jawa, karena banyak korban yang
jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu
pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus
mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS
saat ini).

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Pergolakan politik di Belanda dan di tanah jajahannya di Hindia Belanda
(Indonesia) telah menguras begitu banyak sumber daya, tenaga, waktu dan biaya
yang sangat besar. VOC yang bangkrut karena korupsi kemudian dibubarkan dan
diganti pemerintahan Hindia Belanda. Di negeri Belanda sendiri terjadi perang

Napoleon yang yang menguras kas negara penjajah tersebut untuk biaya perang.
Belum lagi perang di Jawa dan sekitarnya yang kemudian dimenangkan pasukan
Inggris yang berakibat penyarahan tanah Jajahan (termasuk Jawa) pada Inggris
walaupun kemudian terpaksa dikembalikan lagi ke Belanda setelah pihak Inggris
dan sekutunya kalah perang di Eropa.
Untuk menutupi semua pengeluaran dan utang yang besar untuk biaya perang,
akhirnya pemerintah penjajah Eropa berpaling ke Jawa sebagai pulau yang paling
subur untuk menghasilkan banyak uang. Cara yang ditempuh lewat kebijakan
pertanian dan perkebunan, dengan cara menanam tanaman yang berharga tinggi
di pasaran ekspor Eropa. Disamping itu jalan pintaspun ditempuh dengan meminta
uang pada rakyat jajahan dalam bentuk pajak dan berbagai macam pungutan.
Sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda tangani Raffles dengan pihak
istana, sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap keraton Yogyakarta
adalah semua gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kasultanan diambil
alih oleh pemerintahan Eropa Inggris. Pemerintahan Inggris kemudian langsung
menyewakan seluruh aset yang diambil alih tersebut pada orang-orang Cina.
Saat pemerintahan kolonial Belanda berhasil dipulihkan pada tahun 1816,
Belanda menghadapi hutang-hutang raksasa dan pemasukan yang tidak memadai
dari pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Raffles. Belanda kemudian
memanfaatkan gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan

pajak pemerintah.
Pada masa pasca perang Jawa masih terdapat 34 jenis pajak yang dipungut dari
rakyat yang rata-rata miskin. Beberapa pungutan pajak terlihat aneh dan tidak
masuk akal antara lain pagendel, pajak untuk penggunaan gubuk di sawah, paniti,
pajak untuk sawah, paletre, pajak kepada bupati, pajak make-up ronggeng, pakeplop,
pajak untuk pertunjukan tari dan sebagainya.
Pajak yang semakin tinggi membuat rakyat semakin miskin dan menderita.
Apalagi ditambah dengan bencana alam gunung meletus dan wabah penyakit kolera
yang semakin memperburuk keadaan. Pemerintah lokal dan penjajah Belanda yang
mengontrolnya tidak peka dengan penderitaan rakyat, tetapi justru menaikkan pajak
dan berbagai jenis bea (pajak) bagi barang-barang dagangan di gerbang-gerbang tol.
Tidak hanya masyarakat kecil yang menderita, para bupati dan banyak kalangan
bangsawan istana juga menderita karena pencaplokan-pencapolokan tanah oleh
penjajah Eropa yang semena-mena. Semakin lama semakin banyak tanah yang
dikuasai oleh penjajah dengan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan. Sehingga
sumber pendapatan pendapatan mereka berkurang atau bahkan hilang sama sekali.
Kondisi ini diperparah dengan penetrasi budaya Eropa yang begitu masif.
Kebiasaan seks bebas, minum-minuman keras serta candu ditularkan dan masuk
ke dalam istana dan pedesaan Jawa. Budaya Eropa ini sengaja dimasyarakatkan


5

Edisi 12 / September 2017

SYAMINA
oleh penjajah Eropa yang salah satu tujuannya adalah motif ekonomi. Dengan
melegalkan candu contohnya, pemerintah penjajah mendapat keuntungan besar
dari perdagangan candu yang dikelola oleh para bandar cina.
Keadaan itu membuat masyarakat muak, bosan, marah, kecewa dan sedih
bercampur aduk menjadi satu terhadap pemerintah lokal dan penjajah Eropa. Mereka
merindukan perubahan, ratu adil yang membawa keadilan dan menghancurkan
kesewenangan.
Di tengah kondisi ekonomi yang sangat sulit dan masyarakat yang rusak seperti
itulah muncul Diponegoro yang mendeklarasikan jihad (prang sabil). Perlawanan
total terhadap penjajah kafir dan pada penguasa lokal Mataram Yogyakarta yang
tunduk pada penjajah Eropa. Diponegoro ingin menghancurkan negara Mataram
yang sudah kacau dan ternoda oleh ulah para penjajah dan menggantinya dengan
balad (negara) Islam Tanah Jawa yang bersih tidak ternoda dan merdeka dari segala
tekanan penjajah.


6

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

BEBAN PAJAK

Prakondisi Jihad Diponegoro

Java Orlog
Perang yang terjadi dalam satu wilayah kedaulatan negara dalam sejarah militer
disebut perang kecil (small war). Pemberontakan, revolusi atau perang saudara
adalah bentuk dari aksi politik dalam perang kecil. Perang kecil (Oorlog) dalam arti
sebagai sebuah kampanye militer yang dilakukan oleh tentara reguler terhadap
kekuatan militer bukan reguler. Formatnya digelar sebagai aksi penumpasan
pemberontak (Java Oorlog, Atjeh Oorlog), penaklukan atau aneksasi wilayah, atau
aksi penghukuman atas pelanggaran kedaulatan.
Teori tersebut mendasari pandangan Belanda terhadap perlawanan Diponegoro
dan pengikutnya sebagai aksi politik yang dilakukan oleh orang Jawa untuk merebut

kembali kedaulatannya. Menurut As’ad, ada tiga indikasi untuk sampai pada
kesimpulan tersebut: pertama, memiliki ideologi (ideological asset), yaitu jihad,
berperang untuk mendirikan negara yang berkeadilan berdasarkan agama Islam.
Kedua, memiliki organisasi dan kondisi lingkungan yang mendukung, pemimpinnya
mampu mengeksploitasi emosi masyarakat dengan tema yang abstrak. Ketiga,
“pemberontak” amat menguasai medan. Pemberontakan Diponegoro juga
merupakan kelanjutan dari perang antar kelompok feodal masyarakat Jawa pada
abad ke-19, yang oleh John Keegan disebut sebagai permanent warfare.1
Dari aspek kultural, perang Jawa juga merupakan bentuk penolakan terhadap
sistem budaya asing, termasuk sistem militer. Hal ini terlihat dalam susunan
organisasi militer pasukan Diponegoro yang berkiblat pada Turki Utsmani untuk
semakin menajamkan antipati terhadap budaya Barat.
De Java Oorlog (Belanda) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun
(1825-1830) di Pulau Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar
1

K. Mustarom, Negara Islam Tanah Jawa, Cita-Cita Jihadis Diponegoro, Laporan Khusus Syamina Edisi
XII/Juni 2014, h.8

7


SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara,
melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock yang berusaha
meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.2

Hampir seluruh
Jawa Tengah dan
Jawa Timur, serta
banyak daerah
lain di sepanjang
pantai utara Jawa
terkena dampak
pergolakan itu.
Dua juta orang,
yang arinya seperiga dari seluruh
penduduk Jawa,

terpapar oleh
kerusakan perang; seperempat
dari seluruh lahan
pertanian yang
ada, rusak; dan
jumlah penduduk
Jawa yang tewas
mencapai 200.000
.orang

Perang Jawa (1825-1830) adalah garis batas dalam sejarah Jawa dan sejarah
Indonesia pada umumnya antara tatanan lama Jawa dan zaman modern. Saat itulah
terjadi terjadi peralihan dari hegemoni longgar Belanda pada zaman penjajahan yang
sebenarnya, yang di Jawa bermula dengan ditaklukkannya Diponegoro pada tahun
1830.3 Itulah masa dimana untuk pertama kali sebuah pemerintah kolonial Eropa
menghadapi pemberontakan sosial yang berkobar di sebagian besar Pulau Jawa.
Hampir seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta banyak daerah lain di sepanjang
pantai utara Jawa terkena dampak pergolakan itu. Dua juta orang, yang artinya
sepertiga dari seluruh penduduk Jawa, terpapar oleh kerusakan perang; seperempat
dari seluruh lahan pertanian yang ada, rusak; dan jumlah penduduk Jawa yang tewas
mencapai 200.000 orang.4
Demi memastikan kemenangan atas orang Jawa, karena banyak korban yang
jatuh, Belanda harus membayar dengan sangat mahal: sebanyak 7.000 serdadu
pribuminya dan 8.000 tentara asli Belanda tewas; dan biaya perang yang harus
mereka keluarkan mencapai sekitar 25 juta gulden (setara dengan 2,2 miliar dolar AS
saat ini).5 Setelah berakhirnya perang, Belanda secara tak terbantahkan menguasai
pulau Jawa dan sebuah fase baru pemerintah kolonial Belanda dimulai dengan
diberlakukannya “sistem tanam paksa” (cultuur stelsel) pada tahun 1830-1870 oleh
Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (menjabat antara 1830-1834).
Kekalahan Diponegoro pada tahun 1830 membuka jalan bagi pengenalan
‘Cultivation System’ yang digulirkan oleh Johannes van den Bosch (1830-1877),
dimana produk Jawa dibeli oleh negara kolonial Belanda dengan harga tetap yang
rendah dan kemudian dijual di pasar dunia sesuai dengan harga internasional, sebuah
sistem yang memberikan penghasilan bersih kepada Belanda sebesar 832.000.000
gulden (setara dengan USD 75 miliar uang hari ini) sehingga meringankan beban
transisi negara tersebut menuju ke ekonomi industri modern.6 Perkembangan pasca
Perang Jawa semakin membenarkan keprihatinan Diponegoro atas ketidakadilan
perdagangan antara Jawa dan kekuasaan kolonial Belanda.7 Perang diponegoro
juga menjadi perang perlawanan besar terakhir di jawa sampai menjelang era
kemerdekaan Indonesia.

Intrik Politik Penjajah Eropa (Inggris dan Belanda) dengan Kesultanan
Pemerintahan Penjajah Belanda yang baru mewarisi struktur administratif dan
politik abad kedelapan belas yang penuh dengan korupsi. Transformasi pemerintahan
Belanda dilakukan oleh H.W. Daendels dan Thomas Stamford Raffles.
2

8

3
4
5
6
7

Peter Carey. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855). Penerjemah: Bambang Murianto.
Editor: Mulyawan Karim. Penerbit Buku Kompas Jakarta, 2014
Peter Cary, Asal Usul Perang Jawa, LkiS Yogyakarta, 2001. hal.xix

Peter Carey, The Origin of Java War (1825-1830), English Historical Review, 1976, hal. 52
De Graaf, Geschiedenis van Indonesie. ‘s-Gravenhage: Nijhof, Bandung: Van Hoeve, 1949, hal. 399
Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c.1300, Basingtoke: Macmillan, 1993, hal. 123
Laporan Khusus Syamina Edisi XII/Juni 2014

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Herman Willem Daendels adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari
tahun 1808 sampai 1811. Daendels adalah orang Prancis pendukung reformasi
politik Napoleon, yang saat itu menguasai Belanda. Daendels dengan cepat menata
ulang administrasi kolonial pusat dan daerah. Dia menciptakan Generale Secretarie
(Sekretariat Jenderal) yang membentuk pusat pemerintahannya dan merumuskan
kebijakan utama. Raad van Indië (Dewan Hindia) dilucuti dari kekuasaan legislatifnya
dan menjadi badan konsultatif. Wilayah Jawa dibagi ke dalam distrik, atau Residen,
yang dikepalai oleh seorang Residen. Residen adalah pegawai negeri Eropa,
bertanggung jawab atas banyak tugas mulai dari pertanian hingga administrasi
peradilan.
Dalam peperangan Napoleon yang di bawa ke kepulauan Indonesia, Inggris
berhasil mengambil alih wilayah kepulauan Hindia Belanda dari Belanda dan
menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal (1811-1816). Raffles
mempertahankan dan menyempurnakan administrasi modern Daendels. Dia
memperkenalkan sebuah sistem pajak baru yang akan menggantikan sistem kerja
rodi VOC, pengadaan pajak dalam bentuk barang (kebanyakan beras dan jati), dan
pengiriman produk monopoli secara paksa seperti kopi, gula, kapas, dan nila. Pada
tahun 1813 sistem sewa lahan (landrent) diperkenalkan yang mengenakan pajak atas
kepemilikan tanah, mewajibkan petani untuk menyerahkan dua per lima hasil panen
(beras) mereka baik dalam bentuk barang, atau uang tunai.8
Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, Sultan Hamengku Buwono II
dinobatkan sebagai penggantinya pada tanggal 2 April 1792. Gubernur Jenderal H.W.
Daendels telah mengeluarkan peraturan yang mensederajatkan pejabat-pejabat
Belanda seperti Residen Surakarta dan Yogyakarta dengan sultan dalam upacaraupacara resmi. Selanjutnya Daendels menuntut Patih Danureja II (kaki tangan
Belanda) yang dipecat oleh sultan supaya dikembalikan kepada posisi semula.
Tetapi sebaliknya Raden Rangga Prawiradirja III, yang menjadi Bupati-wedana
Mancanegara Yogyakarta, yang senantiasa menentang campur tangan Belanda,
untuk diserahkan kepada Belanda guna mendapat hukuman.
Tuntutan Daendels ini ditolak oleh Sultan Hamengku Buwono II, sehingga ia
mengirimkan pasukan Belanda untuk menundukkan sultan. Pertempuran terjadi
antara pasukan Belanda dengan pasukan sultan; tetapi kekalahan berakhir bagi
pasukan sultan, di mana Raden Rangga Prawiradirja gugur dalam pertempuran,
dan Sultan Hamengku Buwono II pada bulan Januari 1811 diturunkan dari tahta,
kedudukannya digantikan oleh puteranya, Adipati Anom menjadi Sultan Hamengku
Buwono III atau Sultan Raja.
Sultan Hamengku Buwono III ini adalah ayah dari Diponegoro. Pertentangan
antara Sultan Hamengku Buwono II (paman Diponegoro) dengan Sultan Hamangku
Buwono III (ayahnya sendiri), turut melibatkan Diponegoro yang pada saat itu telah
cukup dewasa yaitu berumur 26 tahun (lahir tahun 1785). Dan ia secara politik
berpihak kepada Sultan Hamengku Buwono II atau disebut Sultan Sepuh.
8

Alexander Claver, Dutch Commerce and Chinese Merchants in Java Colonial Relationships in Trade
and Finance, 1800–1942, Brill, Leiden-Boston 2014, h.15

9

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Pada tanggal 1
Agustus 1812
ditanda tangani
perjanjian baru
sebagai dasar
perampasan daerah-daerah mancanegara, termasuk perampasan
daerah Kedu yang
produkif dan kaya
serta Pacitan. Pengelolaan bandarbandar (gerbang
tol) dan pasar-pasar juga diambil alih
oleh pemerintah
.penjajah Inggris

Kemarahan Sultan Sepuh dan Diponegoro, bukan hanya karena Daendels secara
sewenang-wenang menurunkannya dari tahta kesultanan Yogyakarta, tetapi juga
disebabkan daerah-daerah seperti Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto yang selama ini
berada dibawah kekuasaan kesultanan Yogyakarta dirampas oleh Belanda.
Peran Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang kejam dan
rakus berakhir pada tanggal 16 Mei 1811, dan digantikan oleh J.W. Jansens. Jabatan
Jansens sebagai Gubernur Jenderal hanya beberapa bulan saja, sebab setelah itu
pasukan Inggris menyerbu Belanda di Jawa, di mana akhirnya Belanda menyerah
kalah di Kali Tuntang, Salatiga, Jawa Tengah. Peralihan kekuasaan antara Belanda
kepada Inggris, dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sultan Sepuh (Sultan Hamengku
Buwono II) untuk merebut kembali kesultanan Yogyakarta. Usaha ini berhasil dan
bahkan Sultan Sepuh memerintahkan agar Patih Danureja II dihukum mati, karena
persekongkolannya dengan Belanda.
Kehadiran Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal Inggris di
Indonesia, mengokohkan kekuasaan Sultan Sepuh dengan jalan tetap mengakui
Sultan Sepuh sebagai Sultan Hamengku Buwono II yang berkuasa di daerah
Yogyakarta dan menetapkan Sultan Hamengku Buwono III menjadi Adipati Anom.
Tetapi tatkala Raffles meminta daerah-daerah Kedu, Bojonegoro dan Mojokerto
sebagai warisan dari Daendels, Sultan Sepuh menolaknya; tetapi Adipati Anom
(Sultan Hamengku Buwono III) menerimanya bahkan membantu Inggris.
Pertentangan ini menjadi alasan bagi Raffles untuk mengirimkan pasukan guna
menundukkan Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II), dan berhasil. Sultan
sepuh ditangkap dan dibuang ke Penang, Adipati Anom diangkat oleh Inggris menjadi
Sultan Hamengku Buwono III pada tanggal 28 Juni 1812.9
Kraton dirampok dan dijarah oleh serdadu penjajah Inggris. Barang-barang
berharga dan naskah-naskah dicuri, termasuk isi perpustakaan Sultan yang
yang berisi babad-babad penting serta daftar tanah daerah taklukan kesultanan
Yogyakarta. Sejumlah uang dari perbendaharaan kraton diduga juga diambil dan
dikuasai oleh Raffles.
Pada tanggal 1 Agustus 1812 ditanda tangani perjanjian baru sebagai dasar
perampasan daerah-daerah mancanegara, termasuk perampasan daerah Kedu yang
produktif dan kaya serta Pacitan. Pengelolaan bandar-bandar (gerbang tol) dan
pasar-pasar juga diambil alih oleh pemerintah penjajah Inggris.10
Untuk memberikan imbalan jasa kepada para pembantu Adipati Anom dalam
mengalahkan Sultan Sepuh, maka Pangeran Natakusuma diberikan sebagian daerah
kesultanan Yogyakarta menjadi seorang yang merdeka dengan Gelar Paku Alam I;
dan Tan Jin Sing, seorang kapten Cina, diberikan pula tanah dan pangkat dengan
gelar Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813). Hal ini tentu saja suatu
pukulan hebat bagi kesultanan Yogyakarta dan bagi para bangsawannya, karena

10

9
10

Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib: Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen
Portugis Dan Belanda, Yayasan Pengkajian Islam Madinah Al-Munawwarah, Jakarta, 1999. hal.13-14
Peter Carey, Asal-usul…, op.cit. h.11

SYAMINA
kehilangan sumber penghidupannya; tanah-tanah lungguh makin susut dan banyak
yang hilang.
Seperti halnya Daendels, maka Raffles-pun menjual tanah-tanah pemerintah
kepada swasta, seperti orang-orang asing Eropa dan Cina, untuk memperoleh
penghasilan bagi penguasa penjajah Inggris. Disamping itu Raffles banyak membawa
perubahan dan pembaharuan di dalam mengatur masalah-masalah agraria, antara
lain mengadakan pajak tanah. Para petani diharuskan menyerahkan sepertiga dari
hasil buminya kepada penguasa, baik dalam bentuk hasil pertanian maupun uang.
Selanjutnya pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono III
wafat dalam usia 43 tahun; ia digantikan oleh puteranya Pangeran Adipati Anom
yang bernama Jarot sebagai Sultan Hamengku Buwono IV. Sultan ini adalah adik
Diponegoro dari lain ibu. Karena usia sultan masih sangat muda, maka dibentuklah
sebuah ‘Dewan Perwalian’ dengan Pangeran Natakusuma (Paku Alam I) sebagai
wakil sultan. Dalam priode ini, pada tanggal 19 Agustus 1816 John Fendall sebagai
wakil pemerintah kolonial Inggris di Indonesia menyerahkan kekuasaan kepada Van
der Capellen, Gubernur Jenderal Belanda sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
Sultan Hamengku Buwono IV tidak lama berkuasa, sebab pada tanggal 6 Desember
1822 wafat; ia diganti kan oleh puteranya yang masih kanak-kanak (lahir tanggal 25
Januari 1820), bernama Menol untuk menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Karena
Sultan Bamengku Buwono V masih kecil, maka dibentuk ‘Dewan Perwalian’ yang
terdiri atas: Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan), Kanjeng Ratu Kencana
(ibu Sultan), Pangeran Mangkubumi (anak Sultan Hamengku Buwono II atau paman
Diponegoro) dan Diponegoro sendiri.
Dewan perwalian, yang hampir sepenuhnya ditentu kan oleh penguasa kolonial
Belanda, yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan agama dan adat, maka
Diponegoro menolak menjadi wali model penguasa kolonial Belanda. Penolakan ini
dijadikan dasar untuk memfitnah Diponegoro oleh penguasa kolonial Belanda dan
para kolaborator dari kalangan istana bahwa Diponegoro berambisi untuk menjadi
sultan.
Peran penguasa penjajah Belanda dan Inggris yang seenaknya mengotakatik pemegang tampuk pimpinan kesultanan Yogyakarta, mengurangkan daerah
kekuasaannya dengan jalan merampas dari wilayah kekuasaan sultan serta
membebani rakyat dengan berbagai tanam paksa dan pajak-pajak yang tinggi,
adalah masalah yang susun susul-menyusul, yang menumbuhkan kebencian dan
kemarahan Diponegoro dan rakyat yang mempunyai harga diri dan cinta terhadap
kejujuran dan keadilan serta benci kepada setiap kezaliman dan tirani, baik yang
dilakukan oleh bangsa asing maupun bangsa sendiri.

Edisi 12 / September 2017

Seperi halnya
Daendels, maka
Rales-pun menjual tanah-tanah
pemerintah kepada swasta, seperi orang-orang
asing Eropa dan
Cina, untuk memperoleh penghasilan bagi penguasa
penjajah Inggris.
Disamping itu Rafles banyak membawa perubahan
dan pembaharuan
di dalam mengatur
masalah-masalah
agraria, antara lain
mengadakan pajak
tanah. Para petani
diharuskan menyerahkan seperiga
dari hasil buminya
kepada penguasa,
baik dalam bentuk
hasil pertanian
.maupun uang

Perasaan kesal dan marah tambah membengkak dengan tampilnya golongan
Cina sebagai pemegang kunci yang menentukan di dalam kehidupan ekonomi dan
sosial, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun di daerah kesultanan,

11

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Pada awal perang Diponegoro,
sebanyak 15
pangeran dari 29
pangeran yang
tersisa di Yogyakarta mendukung
perjuangan Diponegoro. Para abdi
dalem kraton dan
anggota pasukan
pengawal sultan
juga mendukung
dan bergabung
dengan pasukan
.Diponegoro

bahkan sampai ke kraton. Kapten Cina secara resmi diberikan sebagian daerah
kekuasaan sultan dengan pangkat Raden Tumenggung Secadiningrat (Maret 1813),
adalah bentuk-bentuk kekuasaan Cina yang begitu mencolok di dalam kehidupan
kesultanan Mataram dan dinasti penerusnya. Penguasaan kota-kota pelabuhan
dengan syahbandar-syahbandar yang berhak memungut bea-cukai dikuasai Cina,
penyewaan tanah yang jatuh ke tangan Cina, para tengkulak yang dimonopoli
oleh Cina, baik di daerah kekuasaan kolonial Belanda maupun sultan, menambah
kemiskinan rakyat hingga menjadi melarat dan sengsara.11

Dukungan Perang Sabil Diponegoro Meluas
Jatuhnya kraton Yogyakarta dan perjanjian-perjanjian yang dipaksakan
setelahnya, menandai suatu fase penting dalam proses mengubah kerajaan-kerajaan
Jawa menjadi sekedar Kerajaan boneka yang tergantung dan dikendalikan oleh
penjajah Eropa. Peristiwa-peristiwa itu telah membawa kesedihan dan keprihatinan
dikalangan bangsawan istana yang masih peduli dengan kedaulatan negara Islam
Jawa. Disamping kedaulatan yang hilang para pejabat istana dan keluarga bangsawan
banyak kehilangan jabatan dan tanah lungguh mereka disebabkan perampasan
wilayah yang dilakukan penjajah Eropa.
Perampasan uang perbendaharaan istana sultan juga mempercepat pemiskinan
semua orang yang kebutuhan hidupnya tergantung dengan istana. Penghinaan yang
diterima Yogyakarta tentunya dirasakan pula pada tingkat psikologis yang sangat
mendalam oleh kebanyakan orang Yogyakarta. Istana dianggap telah tercemar dan
ternoda oleh ulah penjajah Eropa dan perlu suatu upaya pemindahan tempat istana
tersebut.
Perasaan demikian membangkitkan harapan baru pada upaya-upaya
Diponegoro pada awal dilancarkannya perang Jawa yang akan menghancurkan
keraton Yogyakarta dan menggantinya dengan yang baru, yang tidak bernoda di suatu
tempat yang lain. Oleh sebab itu banyak dari kalangan bangsawan yang memihak
Diponegoro di permulaan perang Jawa.12
Pada awal perang Diponegoro, sebanyak 15 pangeran dari 29 pangeran yang
tersisa di Yogyakarta mendukung perjuangan Diponegoro. Para abdi dalem kraton
dan anggota pasukan pengawal sultan juga mendukung dan bergabung dengan
pasukan Diponegoro.
Para bupati saat itu tak kalah antusias menyambut seruan Diponegoro. Sebanyak
41 bupati dari total 88 bupati di wilayah Yogyakarta juga menyatakan dukungan
dan kesetiaannya ikut berjuang bersama pasukan Diponegoro. Banyak kepala
pemerintahan daerah ini banyak kehilangan kedudukan mereka atau menderita
akibat semakin menciutnya tanah-tanah mereka karena pencaplokan-pencaplokan
yang dilakukan oleh penjajah Eropa. Mereka dan para bangsawan Yogyakarta
yang datang ke selarong dan mendapat gelar-gelar baru. Para bupati ini kemudian
diperintahkan untuk mengorganisir dukungan di daerah mereka masing-masing.

12

11
12

Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil Versus Perang Salib, op.cit. h.14-15
Pater Carey, Asal-usul…, op.cit. h.12-13

SYAMINA
Dukungan untuk Diponegoro juga berasal dari kalangan pejabat dan pembesar
keagamaan. Para penghulu istana Yogyakarta termasuk yang memberi dukungan.
banyak guru agama dan para ulama dari pondok-pondok dan pesantren-pesantren
yang berasal dari daerah perdikan (daerah bebas pajak) yang bergabung mendukung
perjuangan Diponegoro. Para haji dan para kyai serta orang-orang yang berpengaruh
di desa-desa di wilayah Yogyakarta dan surakarta juga menggunakan pengaruh
mereka untuk membangkitkan dukungan mneggelorakan perang sabil di desa dan
wilayah mereka masing-masing.13

Masuknya Budaya Eropa yang Merusak Moral
Masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV adalah Masa ke-Emas-an
masuknya pengaruh budaya Eropa di Jawa. Pada 16 Desember 1822 selagi makan
Sultan HB IV meninggal secara mendadak. Kemudian pemerintah Hindia Belanda
mengangkat RM Menol yang masih berusia 2 tahun sebagai Sultan Hamengubuwono
V.
Ketiadaan kepemimpinan yang kuat dan disegani telah membuat wibawa keraton
menjadi hilang sehingga tingkah laku para pejabat pemerintahan Hindia Belanda
semakin menjadi-jadi, semakin mudah keluar masuk keraton dan mengadakan
hubungan gelap dengan puteri-puteri keraton. Skandal seks dan perselingkuhan
merebak di kalangan keluarga para bangsawan dan keluarga kalangan keraton.
Korupsi, penyalahgunaan jabatan dan pemerasan rakyat meluas. Tanah-tanah
milik kerajaan (Kroonsdomein) yang subur disewakan kepada orang Eropa atau
orang Cina yang mendapat dukungan dari para bangsawan keraton serta Residen
pemerintah kolonial Belanda. Pungutan pajak dan pungutan bea lainnya semakin
ditingkatkan – tanpa mengindahkan akibat yang semakin membebani kehidupan
rakyat – dengan semakin memperbanyak gerbang pajak (Tol Poorten) yang disewakan
kepada orang-orang Cina.14
Setelah tahun 1816 terjadi peningkatan pemakaian minuman keras dan
penggunaan perabot rumah tangga Eropa, kendaraan-kendaraan dan permainan
kartu di kalangan bangsawan Jawa. Sultan Hamengku Buwono IV memerintahkan
sejumlah pegawai pribadinya untuk mengenakan seragam Eropa. Sultan juga merasa
senang memakai seragam mayor Jendral Belanda saat berkendara di luar keraton.15
Hal ini membuat prihatin Pangeran Diponegoro, sehingga menginspirasikan
dirinya untuk membentuk balad Islam (negara Islam). Pangeran Diponegoro ini
merupakan anak tertua dari Sultan Hamengkubuwono III. Pangeran Diponegoro
menolak diangkat menjadi Pangeran Adipati/Putera Mahkota, sebagai penggantinya
dia menunjuk RM Ambyah. Penolakan dinobatkan menjadi putera mahkota ini
dikarenakan Pangeran Diponegoro kecewa terhadap ayahandanya (Sultan HB
III) yang dinilainya telah melakukan perbuatan durhaka terhadap orangtuanya
sendiri. Pangeran Diponegoro tidak menyetujui sikap Sultan HB III yang melakukan
pemakzulan terhadap kakeknya (Sultan HB II) dan bersikap lemah terhadap tekanan
13
14
15

Ibid. h.39-40
Djamhari, op.cit. h.57-58
Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa, LKiS Yogyakarta 2001, h.20

Edisi 12 / September 2017

Setelah tahun
1816 terjadi
peningkatan
pemakaian minuman keras dan
penggunaan perabot rumah tangga Eropa, kendaraan-kendaraan
dan permainan
kartu di kalangan
bangsawan Jawa.
Sultan Hamengku Buwono IV
memerintahkan
sejumlah pegawai pribadinya
untuk mengenakan seragam
Eropa. Sultan
juga merasa
senang memakai
seragam mayor
Jendral Belanda
saat berkendara
di luar keraton

13

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

pemerintah Hindia Belanda serta mengadopsi gaya hidup sekuler yang kebaratbaratan.

Sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian yang ditanda tangani Rales
dengan pihak istana, sebagai buah
kesuksesan operasi militer Inggris
terhadap keraton
Yogyakarta adalah
semua gerbang tol
dan pasar-pasar
di seluruh wilayah
kasultanan diambil alih oleh
pemerintahan
Eropa Inggris.
Pemerintahan
Inggris kemudian
langsung menyewakan seluruh
aset yang diambil
alih tersebut pada
.orang-orang Cina

Masa muda Pangeran Diponegoro dijalaninya dengan berkelana dari masjid ke
masjid dan berguru dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Pengembaraannya di
kalangan komunitas santri disertai pendalamannya atas sejarah Nabi Muhammad
SAW telah mengubah sikap dan gagasan-gagasannya tentang masyarakatnya. Situasi
dan kondisi masyarakat Jawa masa itu dipersepsikannya identik dengan masyarakat
Arab jaman pra Islam yang disebutnya masyarakat jahiliyah. Sehingga ia merasa
berkewajiban mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islami yang
berdasarkan tuntunan Rasulullah SAW. Untuk menyusun masyarakat baru dalam
wadah balad (negara) agama (Islam) hanya dapat dicapai melalui perang Sabil
(jihad) terhadap kafir.16
Pendirian Pangeran Diponegoro semakin teguh dan secara simbolik untuk
menegaskan idealisme sikapnya itu ia mulai menanggalkan pakaian Jawa dan
menggantinya dengan pakaian sesuai kebiasaan Nabi Muhammad, jubah dan
surban yang serba putih. “Saya bukan Diponegoro, saya adalah Ngabdul Khamid.”
Nama Ngabdul Khamid, menurut Peter Carey mengadopsi nama Sultan Turki Abdul
Hamid I (1774-1789) dan memberikan inspirasi dan motivasi yang kuat terhadap
Diponegoro untuk meneladaninya.17

Penjajah Memasyarakatkan Candu
Sesuai dengan syarat-syarat perjanjian yang ditanda tangani Raffles dengan pihak
istana, sebagai buah kesuksesan operasi militer Inggris terhadap keraton Yogyakarta
adalah semua gerbang tol dan pasar-pasar di seluruh wilayah kasultanan diambil
alih oleh pemerintahan Eropa Inggris. Pemerintahan Inggris kemudian langsung
menyewakan seluruh aset yang diambil alih tersebut pada orang-orang Cina.
Hal itu membuka jalan bagi eksploitasi pajak-pemungut pajak tetap. Saat
pemerintahan kolonial Belanda berhasil dipulihkan pada tahun 1816, Belanda
menghadapi hutang-hutang raksasa dan pemasukan yang tidak memadai dari
pengaturan penyewaan tanah yang dilimpahkan Raffles. Belanda kemudian
memanfaatkan gerbang tol sebagai sumber pemasukan untuk menutupi kekurangan
pajak pemerintah.
Meskipun pemerintahan Inggris di Jawa (1811-1816) tidak sempat menikmati
naiknya keuntungan dari bandar-bandar tol tersebut, namun merupakan awal dari
perluasan yang cepat perdagangan eceran candu. Hal itu akibat dari kemudahan
dalam impor candu secara resmi dari Bengal, setelah dihapuskannya blokade
angkatan laut Inggris atas perairan Indonesia pada bulan Agustus 1811 dan tekanantekanan keuangan atas pemerintahan Raffles.
16
17

14

Babad I, 1983, h.188, dalam: Djamhari, op.cit. h.55
Saleh As’ad Djamhari, Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830; Suatu Kajian
Sejarah Perang, Desertasi Program Pasca Sarjana bidang Ilmu Pengetahuan Budaya UI tahun 2002, h.55,
lihat: Peter Carey, “$atria and Santri, Some Notes on the Relationship Between Diponegoro’s Keaton
and Religious Supporters During the Java War (1825-30) dalam T. Ibrahim Alian, (eds) Dari Babad dan
Hikayat sampai Sejarah Kritis, 1987, hal. 271

SYAMINA
Orang-orang Cina menjadi pemain utama perdagangan candu sebagai Bandar
candu dan pengecernya di wilayah Kesultanan. Data statistik menunjukkan penjualan
candu resmi dan pemakaian candu di wilayah kasultanan Yogyakarta mengalami
peningkatan pada tahun-tahun ini. Penjualan berlipat ganda antara tahun 1802 dan
1814, saat nilai borongan satu peti candu juga mengalami kenaikan dua kali lipat.
Inilah yang kemudian menjadi sasaran kebencian rakyat pada Cina ketika keadaan
ekonomi di Jawa mulai menurun tajam akibat kemarau dan gagal panen pada tahun
1821-1825.
Selama dekade berikutnya(1814-1824) pajak dari perdagangan candu di Yogya
meningkat lima kali lipat. Dan pada tahun 1820 terdapat 372 tempat terpisah yang
mendapat ijin resmi untuk menjual candu secara eceran di wilayah Sultan, subgerbang (rangkah) dan pasar-pasar di kesultanan.
Atas dasar pemakaian candu yang dikumpulkan pada akhir abad ke-19, seorang
pejabat Belanda menyimpulkan bahwa sekitar 16% orang Jawa telah menjadi pemakai
candu. Namun angka pemakaian candu akan jauh lebih tinggi kalau dihitung dari
merebaknya pemakaian “candu orang miskin”, seperti rokok yang dicelupkan candu,
kopi yang dibumbui candu dan buah pinang yang dibubuhi candu.
Pemakaian candu juga meluas di kalangan anggota-anggota perkumpulan
pemikul barang (gladag) dan para buruh di Ibukota. Penyaluran lewat gerbang tol
menyebabkan meluasnya penyebaran kebiasaan nyandu di kalangan penduduk
pedesaan. Di pasar Klaten misalnya, di pagi hari tempat-tempat pengisapan candu
begitu ramai dengan orang yang berpakaian usang, beberapa orang bahkan hampir
tidak berpakaian dan yang lainnya hanya mengenakan kain lusuh.18
Perjudian dan candu merupakan monopoli pemerintah penjajah yang
pengelolaannya diserahkan pada para bandar Cina. Perjudian dan candu tumbuh
subur di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dan para bandar Cina yang memimpin
rumah-rumah perjudian dan tempat-tempat penghisap candu yang terdapat di
kedua wilayah tersebut. Usaha ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi
para bandar.
Monopoli kedua bidang ini menjadi tempat pelarian di tengah kesulitan
kesulitan hidup masyarakat, khususnya golongan buruh tani dan buruh panggul
(batur/gladag) yang tidak memiliki sebidang tanahpun. Mereka telah dirusak dengan
candu dan permainan judi, adu untung. Untuk mempertahankan hidup dengan
upah yang sangat sedikit (10 sen/hari) mereka akan melakukan perampokan dan
tindak kejahatan lainnya.
Ulah para bandar yang berbuat sewenang-wenang dan memetingkan
keuntungan pribadinya saja menyebabkan kebencian masyarakat pada para bandar
Cina. Serangan dan perampokan terhadap para penjaga gerbang tol meningkat
secara teratur pada tahun-tahun menjelang meletusnya perang Diponegoro.19

18
19

Peter Carey, Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa, Perubahan persepsi tentang Cina
1755-1825, Komunitas Bambu Jakarta, 2008, h.71-74
Peter Carey, Asal-usul…., op.cit. h.27

Edisi 12 / September 2017

Atas dasar pemakaian candu
yang dikumpulkan pada akhir
abad ke-19,
seorang pejabat Belanda
menyimpulkan
bahwa sekitar
16% orang Jawa
telah menjadi
pemakai candu.
Namun angka pemakaian
candu akan jauh
lebih inggi kalau dihitung dari
merebaknya pemakaian “candu
orang miskin”,
seperi rokok
yang dicelupkan
candu, kopi yang
dibumbui candu
dan buah pinang
yang dibubuhi
candu

15

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Meningkatnya Tindak Kejahatan
Tekanan hidup yang semakin meningkat seiring tidak menentunya kondisi
kehidupan di pedesaan Jawa berakibat menurunnya tingkat kemakmuran penduduk
di Jawa. Keamanan di Pedesaan Jawa pun tidak terjamin dengan meningkatnya
kejahatan yang dilakukan oleh para jawara dan jago di pedesaan jawa. Anggota jago
dan jawara kebanyakan adalah buruh tani yang beralih profesi setelah meninggalkan
desa mereka. Buruh tani beralih ke dunia kejahatan karena pertanian tidak
menguntungkan bagi mereka.
Kekacauan keamanan di pedesaan jawa benar–benar merisaukan di negaragung
pada masa itu. Pengacau keamanan bergabung dan membentuk gerombolan–
gerombolan garong yang menghantui desa. Mereka dipimpin oleh tokoh setempat
yang disegani, dikenal sebagai jago atau ayam laga yang mempunyai kemampuan,
kesaktian dan kebal terhadap senjata. Pada masa Perang Jawa banyak diantara
mereka mendukung perlawanan yang gelorakan oleh Diponegoro. Mereka menjadi
komandan tentara di wilayah masing – masing.20
Sejumlah desa yang letaknya strategis di sepanjang jalan raya, tempat
penyeberangan sungai dan daerah perbatasan dimana banyak kesempatan untuk
berbuat kejahatan dijadikan markas garong. Misalnya Desa Tempel di daerah Sleman
yang dilewati jalan raya pos Yogya–Magelang menjadi lahan operasi garong. Mereka
menjarah dan merebut barang-barang yang melewati markas mereka. Petani di desa
jawa tengah selatan juga tidak luput dari aksi para garong, mereka seringkali merebut
hasil pertanian penduduk dan meneror tanah pertanian.21
Inilah dunia dimana Pangeran Diponegoro dilahirkan, dunia yang penuh dengan
kesenjangan sosial yang tinggi dan jurang kemiskinan yang mengancam rakyat. Inilah
suatu masyarakat dimana sikep yang makmur bisa mengumpulkan harta kekayaan
dan seorang buruh tani tidak mempunyai apa-apa kecuali pakaian rombeng yang
menempel ditubuhnya.22 Tanah yang subur tidak mendatangkan kemakmuran bagi
penduduk yang sebagian besar adalah petani.
Kemakmuran hanya datang bagi mereka yang dekat dengan pejabat keraton dan
pemerintah kolonial. Tidak mengherankan jika rakyat tidak suka terhadap pemimpin
yang ada dan mereka mengharapkan adanya perubahan bagi kehidupan mereka.
Nampaknya hal ini dipahami betul oleh Pangeran Diponegoro, yang muncul sebagai
pembawa terang dan kemakmuran bagi penduduk di Jawa. Kelahirannya telah
diramalkan oleh banyak orang dan kedatangannya diibaratkan Ratu Adil Jawa.

Hukum tidak dijalankan
Penggambaran mengenai keadaan negara yang kacau akibat hukum yang tidak
ditegakkan sebagaimana mestinya di Yogyakarta terdapat dalam Babad Diponegoro
berikut:

16

20
21
22

Peter Carey, Asal-usul…, op.cit. h.41
Gilang, Peran Masyarakat Dekso Dalam Perang Jawa 1825 -1830, op.cit. hlm.38-39
Peter Carey, op.cit., hlm. 76.

SYAMINA
Adat lawas keh rusak/kang wong cilik bingung/ owah keblating negara/ keh
pitenah kampak begal kecu maling/ ngambah sajroning praja.
tan lumampah hukuming surambi/ nora ajeg adiling Pradata/ rukun – rukun
ilang kabeh / ikhtiyar kang lumaku/ myang wasesa rosa kang meksih
saru deksura nora / pinikir delarung /akeh wong pocot rineka/ ing bicara wong
liya ingkang genteni / anak wijil wong kumpra.
Banyak adat lama yang ditiadakan begitu saja dan rakyat biasa mengalami
kebingungan. Terjadi perubahan-perubahan arah yang ditempuh oleh
negara (dan) timbullah banyak fitnah, bandit, penyamun, perampok dan
pencuri dapat berkeliaran dengan leluasa di kerajaan.
Undang-undang surambi tidak dilaksanakan, demikian pula pengadilan
pradata dijalankan secara acak-acakan. Tata tertib undang-uandang
sudah tidak dihiraukan sama sekali. Tindakan-tindakan sepihak merajalela
dari mereka yang berkuasa bertindak keras, tidak sesuai dan tidak pada
tempatnya. Banyak yang diberhentikan dari pekerjaan mereka melalui caracara tipu daya (lalu) di dalam majelis kerajaan orang-orang lain mengambil
alih kedudukan mereka, orang-orang keturunan rakyat biasa.
Kutipan dari Babad Diponegoro di atas memberikan gambaran mengenai
keadaan kehidupan bernegara dalam periode sebelum meletusnya Perang Jawa.
Adat istiadat lama yang menjadi rusak, masyarakat kecil kebingungan karena
perubahan – perubahan di dalam negara dan diiringi dengan muncul banyaknya
bandit, perampok dan pencuri yang meresahkan masyarakat. Hukum dan undangundang tidak dilaksanakan dengan baik dan adil.
Keadaan masyarkat yang demikian juga diikuti dengan pemimpin kerajaan
yang bertindak keras dan tidak pantas. Secara umum, masyarakat hidup
dalam keadaan yang tidak menguntungkan, kemiskinan dan kesengsaraan
yang sangat memberatkan. Dari kehidupan yang seperti itu mulailah muncul
harapan – harapan besar akan datangnya jaman baru, jaman yang akan
membawa masyarakat ke dalam kehidupan yang lebih nyaman. Harapanharapan masyarakat tersebut secara jelas tertuju pada sosok Pangeran Diponegoro
yang dianggap sebagai ratu adil di Tanah Jawa.23

Sistem Pertanahan
Dalam sistem kerajaan Jawa sejak zaman Hindu-Budha, Raja merupakan pemilik
bagi seluruh lahan di wilayah kekuasaannya. Namun hak tersebut ia limpahkan pada
para pejabat dan anggota keluarganya supaya mereka dapat membiayai kebutuhan
hidupnya sendiri, keluarganya, pembantu, pejabat bawahan dan pengikut mereka.
Luas tanah jabatan atau lungguh berbeda-beda, tergantung pada masa
pengabdian sang pejabat atau kedekatan hubungan dengan raja. Hak-hak atas tanah
lungguh yang nyaris turun-temurun terkadang diberikan pada anggota keluarga
23

Peter Carey, Asal-usul…, op.cit. h.33-34 dan 58-59 lihat juga Peter Carey: Ekologi Kebudayaan Jawa dan
Kitab Kedung Kebo, Jakarta: Pustaka Azet 1986, hlm. 60

Edisi 12 / September 2017

Undang-undang
surambi tidak
dilaksanakan,
demikian pula
pengadilan pradata dijalankan
secara acakacakan. Tata terib
undang-uandang
sudah idak dihiraukan sama
sekali. Tindakanindakan sepihak
merajalela dari
mereka yang
berkuasa berindak keras, idak
sesuai dan idak
pada tempatnya. Banyak yang
diberhenikan dari
pekerjaan mereka
melalui cara-cara
ipu daya (lalu) di
dalam majelis kerajaan orang-orang
lain mengambil
alih kedudukan
mereka, orangorang keturunan
rakyat biasa

17

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Diantara demang dekat raja atau kepada pejabat setia yang punya hubungan keluarga dengan sultan
tersebut banyak

karena pernikahan.

Hak-hak serupa juga diberikan pada keluarga keturunan tokoh agama terkemuka
seperti keluarga pangeran Serang di Jawa Tengah Utara yang merupakan pendukung
Tionghoa. Sehingga gigih pangeran Diponegoro selama Perang Jawa. Ia juga diyakini sebagai keturunan
terkadang sulit Sunan Kalijogo, salah satu wali songo yang berjasa menyebarkan Islam di Jawa.
Namun hak atas tanah lungguh akan hilang bila seorang pejabat dipecat dari
menyembunyikan
jabatannya.24

yang dari etnis

prasangka ani

Tionghoa. Seringkali Pemungut dan Penerima Pajak
petani penggarap

Pemegang hak atas tanah lungguh yang bermukim di ibu kota keraton
menjadi korban menyerahkan penataan atas tanah mereka pada para pemungut pajak setempat
(bekel) yang memungut pajak tanah (pajeg) dan aneka cukai lain atas nama mereka.
pemerasan para Mereka berhak menerima seperlima jumlah pajak tanah dan juga sebagian pajak
demang Tionghoa. lain, termasuk pacumpleng, pajak bumi atas tanah tempat tinggal (rumah) dibangun.

Orang-orang Tiong-

Perselisihan mengenai jabatan pemungut pajak menjadi sebab paling sering
hoa sering ditunjuk terjadinya perang desa. Seorang pengelana Belanda menyebut perang desa sebagai
peristiwa sehari-hari di bulan-bulan menjelang perang Jawa.

sebagai demang

Bekel ini mempunyai atasan sebagai penghubung dengan penguasa/pemilik

karena pejabat ber- tanah jabatan yang disebut sebagai demang atau mantri desa. Setiap mantri desa
sangkutan terjerat membawahi 10-30 an bekel, tergantung luas tanah jabatan. Sebagai imbalan demang
hutang atau meng- memperoleh seperlima dari pajak yang dikumpulkan.
gadaikan tanahnya
pada mereka. Pemungut pajak Tionghoa lebih disukai
daripada orang Jawa
karena: “ketrampilan, kehematan dan
ketegaan memeras”

Diantara demang tersebut banyak yang dari etnis Tionghoa. Sehingga terkadang
sulit menyembunyikan prasangka anti Tionghoa. Seringkali petani penggarap
menjadi korban pemerasan para demang Tionghoa. Orang-orang Tionghoa
sering ditunjuk sebagai demang karena pejabat bersangkutan terjerat hutang atau
menggadaikan tanahnya pada mereka. Pemungut pajak Tionghoa lebih disukai
daripada orang Jawa karena: “ketrampilan, kehematan dan ketegaan memeras”
membuat mereka sanggup menyerahkan pungutan pajak lebih banyak.25 Kebencian
terhadap etnis Tionghoa juga ditambah dengan peran mereka sebagai pemegang
hak (yang diberikan oleh Belanda) dalam pengelolaan gerbang tol (cukai jalan dan
jembatan) dan pemegang hak perdagangan candu di Jawa.
Ketika terjadi perang Jawa terdapat 78 demang yang berasal dari wilayah-wilayah

membuat mereka pedesaan Mataram yang mendukung secara langsung perjuangan Diponegoro.
sanggup menyerah- Mereka memobilisasi penduduk desa mereka untuk mendukung perang sabil
kan pungutan pajak Diponegoro melawan melawan orang-orang kafir di Jawa. Mereka dipersenjatai
lebih banyak

18

dengan amat sederhana dengan bandul-bandul dan bambu runcing. Beberapa dari
mereka dipilih untuk masuk menjadi pasukan khusus Diponegoro, seperti bulkiobulkio, turkio-turkio arkio-arkio, nama yang terispirasi dari resimen-resimen
Janissari Kekhalifahan Turki Utsmani.26
24
25
26

Peter Carey, 2011, Kuasa Ramalan, hal.11
Ibid.hal.21
Peter Carey, Asal Usul…, op.cit. h.41

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Kelompok Sosial dan Masyarakat Desa
Setiap desa di negaragung berdiri sendiri, yang masing-masing mempunyai
pejabat dan ulama sendiri. Jumlah penduduk setiap desa antara 50 – 200 jiwa.
Menurut Rafles, rata-rata desa Jawa di negaragung mencakup sekitar 12 keluarga
yang masing-masing terdiri dari 4 atau 5 orang dewasa. Jumlah seluruh sawah yang
berpengairan yang tersedia untuk setiap desa sekitar 7 jung. Jadi untuk setiap petani
penggarap menggarap seperempat jung sawah atau satu hektar.
Menurut satu laporan surakarta tahun 1832, menyebut tiga golongan sosial
utama di Jawa:
(1) sikep (pemakai tanah), yang memikul beban pajak dalam bentuk pembayaran
pajak tanah (pajeg) yang dikenaka pada desa,
(2) ngindung, merupakan orang dekat sikep yang punya rumah dan pekarangan
sendiri tapi tidak dapat hak apapun atas sawah,

19

SYAMINA

Edisi 12 / September 2017

Di Kedu saja, Crawfurd memperkirakan jumlah kuli
panggul sebanyak
20 – 30.000 orang,
hampir 10 % dari
jumlah seluruh

(3) wong numpang, orang asing yang belum kawin yang tinggal di pekarangan atau
rumah sikep dan bertugas mengerjakan segala macam tugas untuk kepentingan
sikep.27
Golongan ketiga inilah yang paling mendekati sosok lapisan buruh tani di Jawa
saat itu. Golongan ngindung masih ada kesempatan untuk memperbaiki nasib lewat
pernikahan dengan keluarga sikep. Berbeda dengan golongan ngindung, golongan
numpang mempunyai sangat sedikit kesempatan untuk menaikkan derajat sosialnya
kecuali ia siap meninggalkan desa dan membuka sawah baru di daerah yang belum
terjamah.
Sekalipun golongan numpang mempunyai kemauan keras dan betul-betul

penduduk. Mereka berhasil membuka sawah baru di suatu tanah terlantar, namun hak pemilikannya
idak punya tem- setelah tiga kali panen tidak terjamin karena bisa jadi akan diminta kembali oleh
pat inggal yang sultan, sebagaimana ditentukan dalam peraturan agraria Jawa. Golongan numpang

dan buruh tani juga enggan dan takut mencoba menjadi petani penggarap (sikep)

menetap, meng- karena akan memikul tanggung jawab kerja rodi dan pajak yang berat.
gelandang dan
Karena itu, seorang golongan numpang yang bebas dari kemiskinan turunhidup berpindah- temurun dan penghambaan sebagai buruh tani pada keluarga sikep yang cukup
pindah. Mereka berada, terkadang akan memilih meninggalkan desa untuk selamanya. Ada yang jadi
pekerja sambilan sebagai kuli panggul di jalan-jalan niaga yang ramai, ada juga yang

orang yang malas bergabung dengan kelompok gelandangan dan garong yang merajalela di daerah
dan boros. Begitu pedalaman Jawa. Ada juga yang mengabdi pada orang yang dekat dengan bangsawan
28
menerima bayaran, berpengaruh yang memanfaatkan mereka untuk tindak kejahatan.

mereka segera
berbondongbondong menghabiskannya dalam
perjudian. Mereka
idak peduli dengan masa depan
sehingga mereka
nyaris telanjang

Di Kedu saja, Crawfurd memperkirakan jumlah kuli panggul sebanyak 20 – 30.000
orang, hampir 10 % dari jumlah seluruh penduduk. Mereka tidak punya tempat
tinggal yang menetap, menggelandang dan hidup berpindah-pindah. Mereka orang
yang malas dan boros. Begitu menerima bayaran, mereka segera berbondongbondong menghabiskannya dalam perjudian. Mereka tidak peduli dengan masa
depan sehingga mereka nyaris telanjang. Dengan kebiasaan tersebut, mereka sering
dituduh sebagai biang kerok segala macam kejahatan dan keonaran yang meluas di
pedesaan Jawa.29
Sikep atau petani penggarap jumlahnya sedikit di masyarakat Jawa saat itu namun
pengaruh yang besar. Aturan pertanahan saat itu tampaknya begitu menuntungkan
golongan ini. Mereka memegang hak atas lahan yang ditanami oleh warga desa secara
bersama-sama karena sebagai perintis (cikal-bakal) atau karena keturunan dari para
perintis. Sikep bertanggung jawab atas pajak tanah dan pajak lain serta cukai desa
tersebut terhadap penguasa tanah-jabatan (lungguh) melalui para