MAKALAH SEJARAH SASTRA . docx

MAKALAH SEJARAH SASTRA
PADA PERIODE 1950-1965

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada periode 1950-1965 mengalami masa impase, polemik,
politisasi kebudayaan, dan pada akhir periode orang melakukan
perlawanan dengan menggunakan sastra.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana impase pada sejarah sastra periode 1950-1965?
2. Bagaimana polemik pada sejarah sastra periode 1950-1965?
3. Bagaimana politisasi kebudayaan pada sejarah sastra periode 19501965?
4. Bagaiman perlawanan pada sejarah sastra periode 1950-1965?

C. Tujuan
Tujuan penulis, dalam menyusun makalah ini adalah:
1. Untuk memenuhi tugas sejarah sastra.
2. Untuk memberi pengetahuan kepada pembaca tentang impase,
polemik, politisasi kebudayaa, dan perlawanan pada sejarah sastra

periode 1950-1965.

D. Manfaat Penulisan
1. Memberi pengetahuan kepada pembaca mengenai sejarah sastra
periode 1950-1965.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Impase Sejarah Sastra Periode 1950-1965
Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah
symposium tentang “kesulitan – kesulitan zaman peralihan sekarang”.
Dalam simponsium yang diselenggarakan oleh golongan – golongan
kebudayaan Gelanggang, Lekra, Liga Komponis, PEN-Club Indonesia dan
Pudjangga baru itu telah dibahas kesulitan – kesulitan jaman peralihan,
ditinjau dari sudut sosiolohi, psikologi dan ekonomi. Diantara pembicara
adalah St. sjahrir, Moh. Said, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Prof. Dr.
Slamet Imam Santoso, Dr. J. Ismael, Sutan Takdir Alisjahbana, Boejoeng
Saleh dan lain-lain. Dalam simponsium itu dilontarkan istilah “krisis
akhlak”, “krisis ekonomi”, dan krisis lainnya.
Tahun berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan

sebuah symposium tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain berbicara
dalam simponsium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr.
Werthein dan lain – lain. Disinilah untuk pertama kalinya dibicarakan
tentang “impasse” dan “krisis sastra indoensia sebagai akibat dari gagalnya
revolusi Indonesia”. Tetapi persoalan tetnag krisi baru menjadi bahan
pembicaraan yang ramai betul ketika tabit majalah Konfrontasi pada
pertengahan tahun 1954.
Dalam esainya itu Soedjatmoko melihat adanya krisis sastra
sebagai akibat dari krisis kepemimpinan politik. Ia mengatakan bahwa
sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis halnya
cerpen – cerpen kecil yang “ berlingkar sekitar psikologisme perseorangan
semata – mata”. Sitor Situmorang dalam sebuah tulisanya yang berjudul
‘Kris H,B Jassin’ dalam majalah Mimbar Indonesia (1955) mengemukakan
bahwa yang ada bukanlah krisis sastra, melainkan krisis ukuran menilai
sastra.

B. Polemik pada Periode 1950-1965
Pada tahun 1960-an taerjadi polemik antara Lekra dengan
Manikebu, menilik sastra Indonesia pada tahun 60-an, tentu akan selalu
menarik membahas polemik yang terjadi di antara Lembaga Kebudayaan

Rakyat (Lekra) dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Saat itu,
Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan bernaung di bawah Lekra.
Mereka selalu berbeda pandangan dengan HB Jassin dan lainnya di bawah
kelompok Manikebu.
Pertentangan itu, bagi masyarakat sastra di Indonesia pasti
mempunyai pandangan-pandangan yang amat beragam. Polemik tersebut
bukan saja mengetengahkan sikap seniman dan sastrawan terhadap visi
mereka dalam berkarya. Namun, lebih kepada sikap politik saat itu. Lekra
disebut sebagai organisasi kiri di bawah naungan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Dan, Manikebu adalah sekelompok sastrawan yang menentang
ideologi Lekra. Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (Suara Senyap
Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965) karya Rhoma Dwi Aria
Yuliantri dan Muhidin. M Dahlan tertera Mukadimah Lekra pada Kongres
Lekra I tahun 1959 di Solo. Isinya: Garis umum sikap berkebudayaan yang
diambil Lekra adalah seni untuk rakyat dan politik adalah panglima di
seluruh bidang kehidupan bangsa, termasuk kegiatan-kegiatan kebudayaan.
Mukadimah tersebut dipersingkat dan dikenal dengan frasa “Politik adalah
Panglima”.

C. Politisasi Kebudayaan

Pada masa kehidupan sekeliling dipaksa untuk memelihara slogan
“politik sebagai panglima”. Sastra menjadi tempat berkumpul orang-orang
yang hendak mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada
tanggal 17 Agustus 1963 diumumkanlah “Manifes Kebudayaan” yang
disusun dan ditandatangani oleh sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta.
Manifes ini segera mendapat sambutan dari seluruh pelosok tanah
air. Para budayawan, seniman dan para pengarang yang hidup terpencil di
kota-kota lain yang selama itu hidup dalam suasana mental di terror oleh
Lekra beserta kompanyonnya, melihat Manifes Kebudayaan ini sebagai
juru selamat. Maka segera mereka berlomba-lomba menyatakn dukungan
terhadap manifest itu yang dipublikasikan orangorang yang selama ini
mereka anggap sebagai musuh. Orang-orang yang anti komunis dan
menentang lekra di setiap daerah yang tadinya sulit dipukul oleh lekra
secara terbuka, sekrang muncul ke permukaan air. Menifes kebudayaan
segera dijadikan sasaran utama lekra. Ketika itu pers hamper seluruhnya
dikuasai oleh orang-orang PKI. Maka pers pun digunakan secara beramairamai untuk menghantam manifest kebudayaan yang secara popular
mereka singkat menjadi “manikebu”.
D. Masa Perlawanan
Segera perkataan ‘manikebuis’ menjadi istilah yang popular untuk
menuduh sesorang “kontra revolusi, anti manipol, anti usdek, anti

nasakom” dan sebaginya.situasi seperti itu memberikan ciri kepada karyakarya sastra yang dihasilkan pada periode ini . Di tengah-tengah sajaksajak, cerpen-cerpen dan esai-esai yang menyanyikan kemenangan
pejuangan yang ditulis oleh pengarang lekra, timbullah perlawanan para
pengarang yang ingin membela martabat manusia. Yang ingin membela
kemerdekaan manusia yang diinjak-injak oleh tirani mental dan fisik.
Sajak-sajak dan cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis pada masa
itu banyak yang merupakan protes sosial dan protes terhadap penginjakinjakan martabat manusia.

Puncak dari sastra perlawanan ini ialah sajak-sajak Taufiq Ismail,
Mansyur Samin, Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto dan lain-lain yang ditulis
ditengah-tengah demonstrasi-demonstrasi mahasiswa dan pelajar pada
awal tahun 1966. Maka jelaslah kiranya bahwa sebenarnya “sajak-sajak
demonstrasi” yang dikumpulkan Taufiq Ismail dalam Tirani dan Benteng
(keduanya 1966) bukanlah merupakan suatu permulaan dari suatu
angkatan, tetapi merupakan suatu klimaks pertama dari serangkaian
klimaks yang lain. Tetapi dengan peristiwa itu jelas kiranya, bahwa para
pengarang Indonesia tanpa usah masui salah satu partai atau organisasi
poliyik, dapat aktif melalui karya-karyanya dalam kegiatan politik praktis.
Para penggarang dan penyair Indonesia tidak hanya memperhatikan
kehidupan sastra melulu, tetapi juga kehidupan bangsa dan martabat
kemanusiaan umunya.


BAB III
KESIMPULAN
Dalam simponsium pada bulan April 1952 dilontarkan istilah “krisis
akhlak”, “krisis ekonomi”, dan krisis lainnya.
Tahun berikutnya, tahun 1953, di Amsterdam diselenggarakan sebuah symposium
tentang kesusastraan Indonesia. Antara lain berbicara dalam simponsium itu Asrul
Sani, Sultan Takdir Alisjahbana, Prof. Dr. Werthein dan lain – lain.
Kemudian Pada tahun 1960-an taerjadi polemik antara Lekra dengan
Manikebu, menilik sastra Indonesia pada tahun 60-an, tentu akan selalu menarik
membahas polemik yang terjadi di antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)
dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Pada masa kehidupan sekeliling dipaksa untuk memelihara slogan “politik
sebagai panglima”. Sastra menjadi tempat berkumpul orang-orang yang hendak
mempertahankan otonomi seni dalam kehidupan. Pada tanggal 17 Agustus 1963
diumumkanlah “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani oleh
sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta.
Pada periode masa perlawan dengan cepat perkataan ‘manikebuis’ menjadi
istilah yang popular untuk menuduh sesorang “kontra revolusi, anti manipol, anti
usdek, anti nasakom” dan sebaginya.situasi seperti itu memberikan ciri kepada

karya-karya sastra .

DAFTAR PUSTAKA

Rosidi, Ajip. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Bina Aksara, 1988
Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta : Bina Cipta,
1986