MAKALAH PRAKTIKUM dasar-dasar proteksi tanaman

MAKALAH PRAKTIKUM
MK. DASAR-DASAR PROTEKSI TANAMAN (PTN 200)

oleh:
Ilham Mulia Ramadhan
A44160012
Rani Isnaniyah
A44160024
Galuh Rahma Diannisa
A44160045
Halimah Azzahra
A44160063
Medea Mega
A44169001
Dosen:
Dr. Ir.Titiek Siti Yuliania ,SU.
Asisten Praktikum:
1. Ainun Oktavia D.
2. Safira Dewinta L

A34140015

A34140032

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2018

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisan (Dendranthema grandiflora Kitam.) adalah salah satu jenis tanaman bunga yang
banyak diminati oleh masyarakat mancanegara karena daya tarik warna, bentuk, dan
ukurannya yang beranekaragam. Di Indonesia, krisan banyak dibudidayakan dalam skala
kecil oleh petani maupun dalam skala besar oleh perusahaan agribisnis terutama di daerah
sejuk di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan
Bali. Disamping untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, krisan diproduksi terutama untuk
memenuhi kebutuhan luar negeri seperti negara-negara Eropa, Jepang, dan negara Asia
lainnya. Ekspor krisan Indonesia dalam bentuk bunga potong dan stek batang.
Permintaan bunga potong dan tanaman krisan pot di pasar dalam negeri (domestik) maupun
pasar internasional makin meningkat dari tahun ke tahun. Situasi ini memberi peluang bagi

petani produsen dan pengusaha bunga krisan untuk meningkatkan kuantitas, kualitas dan
kontinuitas produksi bunga krisan yang sesuai dengan permintaan pasar (Marwoto, 2000).
Pada tahun 2004 luas panen krisan di Indonesia mencapai 154,3 Ha dengan produksi
27.683.449 tangkai, yang sebagian besar ditanam di provinsi Jawa Barat yaitu dengan luas
panen 105,6 Ha dengan produksi 23.386.679 tangkai (Direktorat Jenderal Bina Produksi
Hortikultura, 2005).

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui gejala, tanda, dan
penegndalian patogen Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) pada tanaman Dendranthema
grandiflora.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Tanaman Krisan
Krisan yang merupakan tanaman hias bunga berupa perdu dengan sebutan lain
seruni atau bunga emas (golden flower) berasal dari Cina. Tanaman ini sudah ditanam
500 tahun sebelum Masehi, yang semula hanya digemari oleh masyarakat Cina.

Sekitar abad ke-8 Masehi krisan dibawa dan dibudidayakan di Jepang. Kebanggaan
terhadap bunga krisan menyebabkan bunga ini dijadikan sebagai simbol kekaisaran
Jepang dengan sebutan Queen of The East. Tanaman krisan diintroduksi ke kawasan
Eropa pada abad ke-17. Tanaman krisan pun menyebar di kawasan Eropa, kemudian
ke Asia. Pada tahun 1753 Karl Linnaeus, ahli botani Swedia, mengkombinasikan kata
Latin chrysos yang berarti emas dengan kata anthemon yang berarti bunga, untuk
menamakan tanaman krisan. Jenis atau varietas krisan modern diduga mulai
ditemukan pada abad ke-17.
Krisan mulai dikoleksi di
Indonesia
pada tahun
1800an
dan\dikembangkan secara komersial sejak tahun 1940an. Krisan merupakan
salah satu jenis tanaman hias bunga yang sangat diminati dan memiliki nilai ekonomi
yang relatif tinggi di Indonesia serta mempunyai prospek pemasaran cerah, terutama
dijual berupa bunga potong dan tanaman hias bunga pot. Sentra produksi krisan di
Indonesia antara lain: Bandung, Cianjur, Sukabumi, Lembang, Bogor dan Garut
(Jawa Barat), Semarang, Magelang, Karanganyar dan Sukoharjo (Jawa Tengah),
Malang dan Pasuruan (Jawa Timur), dan Brastagi (Sumatera Utara). Jenis atau
varietas krisan yang dikembangkan di Indonesia umumnya krisan hibrida yang

berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang (Rukmana & Mulyana, 1997).
2.2 Gejala Infeksi
CVB atau nama lainnya adalah Chrysanthemum mild mosaic virus,
Chrysanthemum virus B, Chrysanthemum Q virus, Chrysanthemum dwarf mottle,
Chrysanthemum necrotic mottle, Gynura latent virus, dan Chrysanthemum vein
mottle virus adalah virus dari genus carlavirus (Hollings & Stone, 1972; Hakkart &
Maat, 1974).
CVB mempunyai kisaran inang yang sempit, menginfeksi tanaman krisan dan
sekitar 10 spesies pada 5 famili dikotiledon (Hollings, 1957). Pada penelitian Verma
et al. (2003), dari 22 spesies tanaman yang diinokulasi untuk uji kisaran inang, hanya
5 spesies yang terinfeksi, yaitu N. clevelandii, N. glutinosa, N. rustika, Petunia

hybrida dan Vicia faba. Sedangkan penelitian Suastika et al. (1997) menemukan
bahwa CVB mampu menginfeksi tanaman Gymnaster savateri, N. clevelandii, N.
occidentalis, P. hybrida, Helichrysum bracteatum, Zinnia elegans, C. amaranticolor,
C. quinoa, Sesamum indicum dan Tetragonia expansa. Sedangkan 13 spesies tanaman
lainnya dari 7 famili yang diuji, tidak terinfeksi.
Walaupun memiliki inang yang terbatas, tetapi CVB dilaporkan tersebar pada
pertanaman krisan di seluruh dunia. Infeksi virus ini pada tanaman krisan
menyebabkan perubahan fisiologi tanaman, yang berakibat gejala belang daun atau

pemucatan tulang daun yang sangat ringan pada beberapa kultivar. Namun demikian
sering kultivar yang terinfeksi virus ini tidak menunjukkan gejala (symptomless)
(Hollings & Stone, 1972). Beberapa varietas terinfeksi menunjukkan penurunan
kualitas bunga dibandingkan dengan tanaman yang bebas virus. Penurunan kualitas
bunga terutama karena pada tanaman terinfeksi warna mahkota bunga terputus-putus
(pecah warna), mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil dari normal. Kadangkadang pada krisan terinfeksi CVB berkembang gejala garis nekrotik pada bunga
(Hollings & Stones, 1972).
Survey Verma et al. (2003) di Himachal Pradesh (India) menemukan bahwa
tanaman krisan terserang CVB dengan gejala penebalan tulang daun, mosaik, belang,
dan pemucatan tulang daun yang ringan. Pada tanaman dengan daun menunjukkan
gejala mosaik yang keras, bunganya juga mengalami malformasi. Pengamatan
Suastika et al. (1997) pada tanaman G. savateri menemukan bahwa CVB
menyebabkan gejala belang ringan pada daun dan pecah warna pada bunga. Menurut
deskripsi Noordam (1972) kisaran inang dan gejala yang ditimbulkan oleh virus CVB
antara lain :
1. P. hybrida menunjukkan gejala bercak kuning lokal setelah 2-5 minggu,
beberapa isolat virus dari krisan menyebabkan gejala nekrotik atau bercak
hijau atau cincin kuning.
2. N. glutinosa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal setelah 2-3,5
minggu, dan gejala infeksinya non sistemik.

3. N. clevelandii menunjukkan gejala belang ringan dan pemucatan tulang
daun setelah 3 minggu.
4. T. expansa menunjukkan gejala bercak klorotik lokal memanjang dengan
diameter ± 3 mm setelah 2-5 minggu dan infeksinya tidak sistemik.

A

B

C

D

Gambar . Gejala infeksi CVB pada tanaman krisan. A : mosaik ringan dan malformasi pada
daun. B : penebalan tulang daun. C : pecah warna bunga. D : tanaman sehat.

2.3 Morfologi dan Taksonomi Krisan
Kingdom
Divisi
Subdivisi

Order
Family
Tribe
Genus

:
:
:
:
:
:
:

Plantae
Spermatophyta
Angiosperms
Asterales
Asteraceae
Anthemideae
Chrysanthemum


Tanaman krisan merupakan tanaman semusim (anual) yang berkisar 9-12 hari
tergantun varietas dan lingkungan tempat menanamnya. Tanaman krisan dapat
dipertahankan hingga beberapa tahun bila dikehendaki, tetapi bunga yang dihasilkan
biasanya jauh menurun kualitasnya. Menurut Rukmana (1997), tanaman krisan
tumbuh menyemak setinggi 30-200 cm, sistem perakarannya serabut yang keluar dari
batang utama. Akar menyebar kesegala arah pada radius dan kedalaman 50-70 cm
atau lebih. Batang tanaman krisan tumbuh agak tegak dengan percabangan yang agak
jarang, berstruktur lunak, dan berwarna hijau tetapi bila dibiarkan tumbuh terus,
batang berubah menjadi keras (berkayu) dan berwarna hijau kecoklatan, serta
berdiameter batang sekitar 0,5 cm.

Bunga krisan tumbuh tegak pada ujung tanaman dan tersusun dalam
tangkai berukuran pendek sampai panjang, serta termasuk bunga lengkap. Bunga
krisan merupakan bunga majemuk yag terdiri atas bunga pita dan bunga tabung.
Pada bunga pita terdapat bunga betina (pistil), sedangkan bunga tabung terdiri atas
bunga jantan dan bunga betina (biseksual) dan biasanya fertil (kofranek, 1980).
2.4 Nilai Ekonomi disebabkan CVB
Potensi besar Indonesia dalam mengembangkan produksi krisan terhambat
akibat adanya keberadaan CVB. Kendala ini disebabkan karena ketidaksediaan

metode deteksi CVB yang efektif. Metode vegetatif yakni stek pucuk dalam upaya
perbanyakan bunga krisan memberi peluang besar bagi penyebarluasan CVB.
Tanaman krisan yang sudah terjangkit CVB tidak dapat diobati, karena hingga
sampai saat ini, belum tersedia secara komersil komponen anti virus yang tidak
merusak sel tanaman. Pada kejadian penyakit yang cukup tinggi, tindakan eradikasi
tentu menyebabkan penurunan kuantitas produksi yang cukup besar dan merugikan.
Stek krisan bebas CVB menjadi pilihan yang rasional jika ingin mengurangi
penurunan kuantitas produksi tanaman krisan. Perbanyakan krisan dengan stek pucuk
dari induk yang tidak terjangkit CVB menjadi syarat yang krusial bagi tersedianya
bibit krisan yang sehat. Oleh karena itu, untuk menghindari kerugian yang cukup
besar, sertifikasi kesesuaian tanaman krisan harus benar-benar diperhatikan.
2.5 Pengendalian Penyakit pada Tanaman Krisan
Berikut beberapa upaya pengendalian OPT Krisan, yaitu:
1. Budidaya Tanaman Yang sehat, Pengolahan lahan yang baik, penyediaan bibit
dari indukan yang bebas OPT, pemberian pupuk organik dan anorganik secara
tepat, pendayagunaan dan pelestarian musuh alami dan pengamatan OPT
secara berkala. Tanaman yang sehat akan mampu bertahan terhadap serangan
OPT dan lebih cepat mengatasi kerusakannya. Lahan/media, bibit, dan
lingkungan tumbuh harus sehat.
2. Studi Kasus Pengalaman Pengendalian OPT secara sistem PHT pada tanaman

Krisan di Kabupaten Wonosobo sebagai salah satu sentra pertanaman krisan di
Indonesia diantaranya :

a. Cara Fisik








Sterilisasi media tumbuh, misalnya dengan uap panas agar tanaman bebas dari
OPT yang dapat ditularkan melalui media tumbuh.
Cara mekanis terutama pada hama trips dipasang perangkap dengan llikat
warna biru dan untuk penggorok daun dengan likat kuning dan aplikasi
Beauveria bassiana.
Melakukan penyiangan , penyiraman, apabila populasi hama sedikit langsung
dibunuh, terutama pada penyakit karat pada daun yang tua dirompes/
dihilangkan.

Bilamana serangga hama dijumpai dalam jumlah terbatas. Misalnya dengan
mencari dan mengumpulkan ulat tanah pada senja atau malam hari kemudian
dimusnahkan.

b. Cara Mekanis :






Proses pembibitan dilakukan pada screen house yang tertutup sehingga
terhindar dari hama
Pemasangan perangkap likat berwarna kuning untuk mengendalikan pengorok
daun, dan memasang perangkap ngengat ulat grayak berupa sex pheromon.
Sanitasi bagian tanaman yang sakit sangat penting untuk pengendalian
penyakit dan dimasukkan ke kantong plastik yang diikat dan dimusnahkan
agar patogen tidak menyebar.
Memotong bagian tanaman yang terserang berat atau yang menunjukkan
gejala penyakit, Mencabut tanaman yang terserang virus,, kemudian
dimusnahkan, seperti untuk mengendalikan penyakit karat krisan dengan
pemotongan daun pada awal pertumbuhan.

c. Kultur Teknis








Pemeliharaan tanaman perlu diperhatikan agar tanaman dapat tumbuh lebih
baik. Pergiliran tanaman dapat dilakukan untuk mengendalikan pengorok
daun dan penyakit layu Fusarium. Pemupukan yang berimbang, sanitasi
lingkungan, dan menjaga kerapatan tanaman perlu juga diperhatikan, sehingga
kelembaban lingkungan tidak memungkinkan patogen untuk berkembang.
Luka pada tanaman terutama pada saat penyiangan gulma dan pengolahan
tanah sebaiknya dihindari, demikian juga hindari menanam benih yang berasal
dari tanaman sakit.
Penggunaan varietas tahan dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit
karat yaitu CV. Puspita Nusantara
Pemeliharaan tanaman dengan , penyiraman menggunakan air yang bersih,
pada pagi / sore hari.
Pemupukan secara berimbang , pengocoran dengan agens hayati antagonis
Trichoderma sp.







Penambahan penyinaran secara teratur selama 4 jam pada pukul 22.00 s/d
02.00 dini hari selama fase vegetatif umur tanaman 30 – 40 hari setelah
tanam.
Pengaturan jarak tanam 10 x 11 atau 11 x 12 cm.
Penanaman varietas tahan seperti fiji , Puspita nusantara , sakuntala, snow
white dan varietas tahan OPT yang lain.
Pengamatan rutin dilakukan untuk mengikuti perkembangan populasi OPT
dan musuh alaminya serta untuk mengetahui keadaan tanaman. Informasi
yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar tindakan yang akan dilakukan.

d. Cara Biologis






Pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami yang potensial
merupakan tulang punggung PHT.
Di alam OPT mempunyai musuh alami yang mampu mengatur keseimbangan,
sehingga populasi OPT tidak merugikan. Jika musuh alami tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal, maka ketergantungan terhadap pestisida akan
berkurang. Aplikasi bahan pengendali hayati yang biasa dilakukan oleh petani
kisan diantaranya penggunaan PGPR, Trichoderma sp, Beauveria basiana dan
Gliocladium.
Pemanfaatan musuh alami jenis Eulophidae dan Braconidae untuk hama
pengorok daun dan Coccinellidae atau kumbang macan untuk Thrips sp.
Tanah dapat diperlakukan dengan Gliocladium sp., atau Trichoderma sp.
Sebelum tanam, benih dicelupkan ke dalam suspensi Pseudomonas
fluorescens, untuk mencegah penyakit layu Fusarium sp., dan untuk
mengendalikan penyakit karat dapat menggunakan larutan PGPR (Plant
Growth Promoting Rhizobacteria) dengan cara penyiraman atau pencelupan
benih ke dalam larutan.

e. Kimiawi






Penggunaan pestisida kimiawi adalah yang terdaftar dan diizinkan Menteri
Pertanian. Apabila pestisida tersebut belum terdaftar untuk OPT sasaran,
dapat digunakan pestisida yang diizinkan untuk OPT sejenis pada tanaman
lain.
Pilihlah jenis pestisida yang tepat dan sesuai dengan OPT yang akan
dikendalikan. Formulasi pestisida dapat berupa cairan, tepung, pasta atau
granula, sedangkan konsentrasi dan dosis penggunaan biasanya tercantum
pada tiap kemasan. Sebaiknya penggunaan pestisida dilakukan pada pagi hari
dan tidak pada waktu hujan, dengan menggunakan alat pelindung.
Penggunaan Pestisida secara Bijaksana dan memenuhi kaidah Enam tepat.







Untuk mencegah fitotoksisitas pada tanaman, maka dalam pengaplikasiannya
dicoba dulu dalam skala kecil sebelum diaplikasikan secara luas.
Teknik aplikasi yang tepat seperti menggunakan nozzle yang halus, sehingga
dapat menjangkau ke seluruh bagian bawah daun.
Sebagai pencegahan, pot atau wadah lainnya, alat-alat seperti pisau dan
gunting stek, sebaiknya setiap kali memakai alat-alat tersebut disucihamakan
dengan alkohol 70 % atau desinfektan lainnya.
Bekas atau wadah pestisida yang digunakan harus dimusnahkan.

BAB II
PENUTUP

Simpulan
Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) merupakan virus yang baru dilaporkan pada
tanaman krisan di Indonesia. CVB isolat Indonesia memiliki karakter biologi yang khusus
yaitu mengakibatkan muncul variasi gejala pada tanaman krisan yaitu belang ringan, mosaik
ringan, pemucatan tulang daun, penebalan tulang daun, malformasi pada daun dan gejala
pecah warna pada bunga; mampu menginfeksi Nicotiana benthamiana; dan cukup efisien
ditularkan oleh kutudaun Macrosiphonoiella sanborni.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. 2005. Luas Panen, Rata-rata Hasil dan
Produksi

Tanaman

Hortikultura

di

Indonesia.

Departemen

Pertanian.

http://database.deptan.go.id/bdspweb/f4-free-frame.asp [6 Jan 2006].

Hakkaart FA, Maat DZ. 1974. Variation of chrysanthemum virus B. Netherland J. Plant
Pathol. 80, 97-103.
Hollings M, Stone OM. 1972. Chrysanthemum virus B. CMI/AAB Description of Plant Viruses
No. 110.
Marwoto B, Suciantini, Sutater T. 1999. Modifikasi Pola Hari Panjang dan Intensitas Cahaya
pada Krisan untuk Efisiensi Energi. Jurnal
Hortikultura. 4 (7) : 870-879.
Noordam D. 1972. C.M.I.A.A.B. Description of Viruses No 110. Scotland : Wm. Culross and
Son Ltd.
Noordam D. 1973. Identification of plant viruses, Methods & experiments. Wageningen :
Centre for Agricultural Publh and Doc.
Rukmana HR, Mulyana AE. 1997. Krisan. Yogyakarta : Kanisius.

Suastika G, Kurihara J, Natsuaki KT, Tomaru K. 1997. A strain of Chrysanthemum B carlavirus
causing flower colour breaking on Gymnaster savatieri (Makino) Kitamura. Ann.
Phytopathol. Soc. Jpn. 63:1-7.
Verma N, Sharma A, Ram R, Hallan V, Zaidi AA, Garg ID. 2003. Detection, identification and
incidence of Chrysanthemum B carlavirus in chrysanthemum in India. Crop Protect. 22:415429.