Makalah UndangUndang Pilkadadocx Contoh Makalah Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) | CONTOH MAKALAH DOCX Makalah UU Pilkada

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Selain UU MD3 yang telah disahkan pada 8 Juli 2014, saat ini ada RUU yang
juga cukup menyita perhatian publik, yaitu RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
yang telah disahkan pada Paripurna DPR RI 25 September 2014. Perdebatan
sentralnya adalah Pilkada Langsung dan Pilkada Tidak Langsung via DPRD. Untuk
membahasnya, kita akan membahasnya dari segi sejarah pembentukan, konstitusi,
konfigurasi politik dan perkembangan demokrasi.
UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3 (MPR, DPR, DPD dan DPRD) ini, diketok
palu untuk disepakati menjadi undang-undang satu hari menjelang Pilpres 2014,
tepatnya hari Selasa 8 Juli 2014. Dapat dibayangkan waktu itu, energi publik sedang
tersedot pada pelaksanaan Pilpres 2014. Akibatnya banyak hal yang luput dari
pengawasan publik terhadap revisi UU No. 27 Tahun 2009 tersebut. Karena itu, tidak
heran ada berbagai masalah dalam UU MD3 yang baru ini.
Banyaknya pihak yang mengajukan judicial review terhadap UU MD3 yang
baru ini, menjadi salah satu indikasi masih banyak permasalahan yang belum tuntas

dalam pembahasan uu tersebut. Secara sosiologis-politis, hal ini dapat dipahami
karena UU MD3 ini mengatur pembagian kekuasaan khususnya partai politik yang
masuk ke parlemen. Karenanya benturan kepentingan akan sangat terasa. Konfigurasi
politik yang ada yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Pendukung Jokowi-JK
turut memberikan andil terhadap hasil pembahasan UU MD3 ini.
2. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud UU MD3?
b. Apakah latar belakang terbentuknnya UU No.17 Tahun 2014 (MD3)?
c. Memuat tentang apakah UU No.17 Tahun 2014 (MD3)?
d. Apakah yang dimaksud UU Pilkada?
e. Bagaimana sejarah lahirnya UU Pilkada?
f. Bagaimana perspektif tentang UU Pilkada?

BAB II
ANALISA

1

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525

1. Latar Belakang Pembentukan UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3
UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama) didesain untuk
memposisikan parlemen (MPR, DPR, DPD dan DPRD) sebagai lembaga legislatif
yang kokoh dan berwibawa. Namun pada taraf implementasinya, dipandang banyak
mengandung kelemahan. Parlemen (khususnya DPR), selama 2009-2014 ini menjadi
salah satu lembaga yang paling disorot dan diberi cap “buruk”. Baik dalam kinerjanya
maupun dalam tingkah lakunya (banyak yang terjerat korupsi, ada pula yang
melakukan perbuatan tercela). Tak sedikit pula yang mengujinya di Mahkamah
Konstitusi. Karena itu tak mengherankan, dari tahun 2010 (padahal usianya baru 2
tahun), telah dimasukkan RUU Revisi ttg UU 28 Tahun 2009 dalam Prolegnas 2011
(Prolegnas Nomor 26), tahun 2012 (Prolegnas Nomor 40 ) , tahun 2013 (Prolegnas
Nomor 48), dan tahun 2014 (Prolegnas Nomor 37) untuk dilakukan perubahan.
Secara umum, kita bisa melihat nuansa kebatinan Anggota DPR yang merasa
prihatin terhadap kondisi DPR yang “terinjak-injak” menjadi bahan pergunjingan
dimedia massa dan masyarakat. Disebut sarang koruptor, tak aspiratif, dan
sebagainya. Karena sebagai pemilik kewenangan membentuk undang-undang, mereka
pun bersepakat merubah UU MD3 agar mampu keluar dari gunjingan masyarakat
tersebut.
Dalam pengantar pembahasan Revisi UU MD3 ini, Ketua Pansus, Beni K.
Harman, misalnya menyebut “Ada keinginan dari Dewan untuk mereformasi

parlemen, agar bisa kuat, akuntabel, dan kedap korupsi. Inilah desain besar dari
parlemen ke depan”, Kemudian Wakil Ketua Pansus, Ahmad Yani menyebut
“latar belakang perubahan UU MD3 di antaranya belum tertatanya alat kelengkapan
dewan di DPR. Selain itu relasi antarlembaga parlemen terutama DPR dan DPD
belum tertata dengan baik. Kesekjenan DPR juga perlu diperkuat lewat perubahan
UU MD3 ini. Argumentasi lainnya dari perubahan ini adalah MPR dan DPD selama
ini dalam menjalankan kewenangannya masih terjebak pada seremonial kenegaraan
saja. Lalu, kedudukan DPD juga masih lemah, karena menjadi bagian dari birokrasi
Pemda.”
Berikut ini ulasan terkait isu-isu yang dipermasalahkan sesuai dengan yang
menjadi fokus diskusi:

2

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525


Isu Hak untuk Mengusulkan dan Memperjuangkan Program Aspirasi
Pembangunan Daerah Pemilihan Oleh Anggota DPR

Hak ini, terdapat dalam Pasal 80 huruf (j) bahwa Anggota DPR berhak
mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihannya.
Hak ini muncul dengan berbagai alasan, yaitu



Sistem pemilu legislatif yang memilih langsung Anggota DPR, membuat Caleg
banyak mengumbar janji, sehingga harus dibukakan kanal terhadap pelaksanaan
janji tersebut. Sehingga hak ini sebagai respon Anggota DPR yang sering ditagih
konstituennya di daerah dalam memperjuangkan progam pembangunan daerah.



Sebagai respon terhadap klaim eksekutif baik pusat maupun daerah terkait
program pembangunan daerah, sehingga Anggota DPR sering dianggap tidak
dapat bekerja dan merealisasikan pembangunan daerah.
Karena itu, kita dapat melihat bahwa hak ini merupakan hak yang wajar

muncul akibat sistem pemilu dan budaya masyarakat ketika bertemu pejabat akan
menagih kemampuannya memperjuangkan pembangunan daerahnya. Apalagi,

berdasarkan studi banding dengan parlemen di Amerika Serikat, Anggota
Parlemennya memiliki anggaran khusus untuk program pembangunan.
Hak memperjuangkan program pembangunan di daerah pemilihan ini juga
merupakan implikasi sumpah Anggota DPR yang tertuang dalam Pasal 78 UU 17
Tahun 2014 ttg MD3:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua
Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh,
demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;

3

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk
mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.”

Hal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili tersebut juga merupakan
kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 81 khususnya huruf (e)[11], (i)[12] dan (j)
[13]. Karena itu, secara sistematis dengan keberadaan sumpah dan kewajiban
memperjuangkan aspirasi rakyat, maka juga diberikan hak mengusulkan dan
memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.
Selanjutnya, hal tersebut diatur dalam Tata Tertib DPR yang disahkan dalam
Paripurna DPR Selasa, 16 September 2014. Dalam Pasal 195 disebutkan:
Anggota berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
daerah pemilihan.



Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan ke dalam
program pembangunan nasional dalam APBN.



Usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari inisiatif
sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.




Dalam melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Anggota
diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi dari tiap-tiap daerah
pemilihannya selama 1 (satu) menit atau setara 1 (satu) lembar kertas A4 pada
setiap rapat paripurna DPR.



Paling lambat (1) hari sebelum rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilaksanakan, Anggota mendaftarkan usulan program sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) kepada Sekretariat Jenderal DPR.



Pimpinan DPR meneruskan usulan program sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada komisi terkait untuk dibahas dengan mitra kerja.




Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada
Badan Anggaran untuk disinkronisasikan.



Badan Anggaran menyampaikan hasil sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) kepada komisi terkait dan selanjutnya komisi terkait memberitahukan

4

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
kepada Anggota yang mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan
di daerah pemilihannya.
Anggota yang bersangkutan memberitahukan tindak lanjut usulan program
sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Melihat hak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah
tersebut, beserta mekanismenya, maka ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya
adalah terjalinnya hubungan yang erat antara wakil rakyat dengan rakyat di daerah
pemilihannya, karena setiap aspirasi dapat diperjuangkan menjadi program

pemerintah. Namun sisi negatifnya adalah (1) tidak ada standar yang dipergunakan
Anggota DPR untuk setiap program yang diusulkan, (2) sangat mungkin terjadi jual
beli program termasuk pungli terhadap masyarakat yang mengajukan program.
Ujung-ujungnya adalah hak ini bisa berujung pada tindakan koruptif yang tidak sehat
bagi pembangunan bangsa.
Dari aspek hukum tata negara yaitu teori pemisahan kekuasaan dalam 3
cabang (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), telah dipisahkan masing-masing
kewenangan. Maka kewenangan membentuk program pembangunan adalah
kewenangan eksekutif bukan legislatif. Karena itu hak mengusulkan program ini
dapat dikategorikan sebagai bentuk kekuasaan legislatif mencampuri urusan
kekuasaan eksekutif.
Parlemen dalam hal ini DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu legislasi,
pengawasan dan anggaran. Apabila DPR dengan fungsi anggarannya (memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan APBN), kemudian dijadikan
pertimbangan atau bahkan menekan eksekutif sebagai bargaining position untuk
mengakomodir usul program pembangunan dapil dari Anggota DPR, maka dapat
disebut juga sebagai penyalah gunaan kewenangan. Ini karena, hak budget parlemen
adalah hak untuk memberikan persetujuan atau memberikan persetujuan terhadap
rasionalitas APBN yang diajukan pemerintah,[14] bukan karena belum diakomodirnya
usulan program pembangunan dari Anggota DPR. Selayaknya, memperjuangkan

program pembangunan itu di eksekutif melalui Musyawarah Rencana Pembangunan
(Musrenbang) dari tingkat desa, kabupaten/kota, provinsi sampai tingkat nasional.
Kekuasaan DPR harusnya dibatasi pada koridor-koridor pemisahan kekuasaan,
sehingga dapat dihindarkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
5

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525

2. Mengenai Imunitas Hukum Bagi Anggota DPR
Terkait dengan Imunitas ini, dalam UU No. 17 Tahun 2014 ttg MD3, diatur dalam
Bab II Paragraf 6, Pasal 224 yang terdiri dari 7 Ayat:
Pasal 224
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan,
pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun
tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi
serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan,
kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena
hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.

(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan,
dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar
rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota
yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup
untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas
surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari
setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan
persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
6

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525

Dengan melihat secara utuh Pasal 224 tentang Imunitas Anggota DPR ini, maka
secara rasional kita akan mengatakan Pasal tersebut adalah benar. Karena, selaku
anggota parlemen yang tugas utama berbicara (parle = bicara), maka selayaknya tugas
berbicara tersebut dilindungi undang-undang. Titik tegasnya adalah berkaitan dengan
pelaksanaan tugas dan kewenangan konstitusional, sehingga ketika membuat
pernyataan, pertanyaan dan/atau pendapat harus diberikan kebebasan, dan tidak boleh
sembarangan untuk diproses hukum. Dapat dibayangkan apabila dalam hal
pengawasan, ada anggota DPR yang sangat keras mengkritik Presiden / Wakil
Presiden, sebagai misal dalam Kasus Bank Century, kemudian dianggap melakukan
perbuatan tidak menyenangkan, lalu diproses secara hukum.
Berbeda halnya apabila kita melihat Bagian Keenam Belas tentang Penyidikan Pasal
245:
Pasal 245
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan
untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota
DPR:
1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup;
atau disangka melakukan tindak pidana khusus.
Inilah yang menjadi permasalahan. Dan ini bukan terkait dengan imunitas,
melainkan perlakuan khusus terhadap Anggota DPR dalam hal diduga melakukan
7

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
tindak pidana. Ketika akan dipanggil dan dimintai keterangan dalam penyidikan harus
mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan. Disini terdapat
perlakuan istimewa yang dianggap bertentangan dengan prinsip hukum “equalitiy
before the law”/ persamaan dihadapan hukum. Untuk memahami hal ini, maka perlu
kiranya membedahnya dari aspek hukum konstitusi dan hukum pidana.
Asas persamaan di hadapan hukum (Equality before the law principle)
merupakan salah satu asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dianut
pula dalam UUD 1945. Asas ini mengandung arti bahwa “semua warga harus
mendapat perlindungan yang sama dalam hukum – tidak boleh ada diskriminasi
dalam perlindungan hukum ini”. Prof. Mardjono[15] mengatakan kata kuncinya
adalah “perlindungan”. Pendapat yang berbeda adalah yang menafsirkan bahwa
persamaan yang dimaksud adalah untuk “perlakuan”. Perbedaan kata kunci ini dapat
membawa kepada penafsiran yang berbeda dari makna asas ini bagi HAM.
Dengan kata-kunci “perlindungan”, maka yang dituju adalah perintah kepada
negara/pemerintah untuk memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness)
kepada warganya. Dan dalam sebuah negara dengan masyarakat majemuk atau
bersifat multi-kultural seperti Indonesia, ini mengandung makna perlindungan
terhadap kelompok minoritas (terhadap kemungkinan ketidakadilan dari kelompok
mayoritas). Mencegah adanya diskriminasi dalam perlindungan dan rasa aman
kelompok minoritas. Diskriminasi yang dilarang adalah yang merugikan kelompok
tertentu.
Namun, kalau dipergunakan kata-kunci “perlakuan”, maka penafsiran yang
berkembang dalam masyarakat Indonesia adalah perintah kepada negara/pemerintah
untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara warganya. Dan dalam
masyarakat yang terstruktur dalam “kelas”, maka ini mengandung makna jangan
memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas tertentu. Khususnya dalam
beberapa kasus bahwa “kelas pejabat Negara” dan/atau “kelas orang kaya” mendapat
perlakuan khusus/istimewa dalam proses peradilan pidana. Diskriminasi yang dilarang
di sini adalah menguntungkan kelas tertentu.
Karena itu, kita Prof. Mardjono menganalisis terhadap persoalan Pasal 245
dalam ayat (1) mengecualikan Anggota DPR dari prosedur KUHAP dalam proses
penyidikan, karena penyidik memerlukan izin terlebih dahulu dari Mahkamah
8

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
Kehormatan Dewan(MKD). Ayat-ayat berikutnya merupakan “tata-cara”
melaksanakan “hak-istimewa” anggota DPR itu.
Apakah ini bertentangan dengan asas persamaan dalam hukum? Dijawab
“Ya”, kalau asas tersebut ditafsirkan sebagai “perlakuan”, dan pasal ini ditafsirkan
sebagai diskriminasi yang “menguntungkan” anggota DPR. Tetapi dapat juga dijawab
“Tidak”, kalau asas tersebut ditafsirkan “perlindungan”, karena tidak ada
diskriminasi yang“merugikan” kelompok non-anggota DPR.
Lebih lanjut, Prof Mardjono mengatakan: “Suara “protes” mengkaitkan ini
juga dengan kemungkinan tersangka “menghilangkan barang-bukti”, menghalangi
penyidikan, terlalu dicari-cari sebagai alasan. Pendapat yang mengatakan ini
bertentangan dengan asas peradilan “cepat, sederhana, biaya ringan” juga, menurut
saya, tidak tepat. Karena asas terakhir ini ditujukan untuk menguntungkan/melindungi
seorang tersangka, agar penyidik jangan “mengulur-waktu” perkara.
Dengan Pasal 245, memang tersangka/anggota DPR lebih beruntung, karena
kasusnya akan dinilai dahulu oleh MKD (apakah cukup ditangani secara internal,
melalui Kode Etik, ataukah memang beralasan ditangani oleh Penyidik). Pada
dasarnya setiap Organisasi Profesi (Dokter, Advokat, Akuntan,Psikolog, dan lain-lain)
mengatur demikian untuk anggota profesinya. Mengapa kita harus curiga untuk
Anggota DPR?
Pertanyaan sekarang adalah apakah “hak istimewa” (prerogative right) ini
perlu atau pantas diberikan kepada anggota DPR. Menurut saya, kalau kita mengakui
bahwa anggota DPR adalah wakil-wakil rakyat yang “mempersonifikasikan”
kedaulatan rakyat, maka “perlakuan istimewa” ini, adalah sudah sepantasnya kita
berikan. Kita menghormati lembaga DPR dan menurut saya kita juga tidak ingin
anggota-anggotanya dapat begitu saja dipangil oleh Penyidik untuk pelangaran hukum
yang tidak-serius. Dan bukankah ayat (3) sudah menyempitkan/membatasi hak
istimewa ini, dengan tiga perkecualian atas hak-istimewa dalam ayat (1)?
Berbeda halnya dengan pendapat dari Koalisi Masyarakat Sipil yang
mengajukan protes terhadap keberadaan Pasal 245 ini, karena menganggap adanya
“perlakuan” yang berbeda kepada Anggota DPR dalam penyidikan tindak pidana.
Setelah disahkan menjadi undang-undang, Koaliasi Masyarakat Sipil pun
9

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dengan Nomor Perkara 76 dan
83/PUU-XII/2014. Dalam pandangannya, Koalisi Masyarakat Sipil
mempermasalahkan keberadaan Pasal 245 ini, dengan mengatakan bertentangan
dengan prinsip negara hukum dan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Bahkan sudah
ada Putusan MK No. 73/PUU-IX/2011 yang menyebutkan keberadaan Pasal yang
mengharuskan izin dari Presiden dalam Proses Penyidikan (Kepala Daerah),
menghambat proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem
penegakan keadilan.
Dengan melihat analisis-analisis tersebut, maka kita dapat melihat dua
pemahaman yang berbeda dalam melihat prinsip persamaan dihadapan hukum. Secara
psikologis, sebenarnya kita bisa melihat dan merasakan, mengapa Anggota DPR
memberikan “perlindungan” atau “perlakuan” khusus untuk mereka, yaitu agar tidak
mudah diproses pidana dalam berbagai kasus pidana. Dari aspek sikap, masih banyak
anggota DPR yang bertindak sok berkuasa sehingga terkadang berlaku seenaknya.
Doktrin “power tend to corrupt, absolutely power corrupt absolutely” dari Lord
Acton, kiranya dapat menjadi pertimbangan kemungkinan penyalahgunaan
kekuasaan. Karena itu secara pribadi saya melihat Pasal 245 ini potensial
disalahgunakan DPR dan Anggotanya untuk berlaku seenaknya, sehingga layak untuk
didukung dihapuskan.
3. Penghapusan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN)
Pada UU No. 27 Tahun 2009 ttg MD3 (UU MD3 Lama), BAKN merupakan
salah satu alat kelengkapan DPR (diatur dalam Pasal 110-116). BAKN bertugas:
1. Melakukan penelaahan terhadap temuan hasil pemeriksaan BPK yang
disampaikan DPR;
2. Menyampaikan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada
komisi;
3. Menindaklanjuti hasil pembahasan komisi terhadap temuan hasil pemerikasaan
BPK atas permintaan komisi; dan
4. Memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan,
hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan.
Dengan melihat tugas tersebut, maka BAKN dibuat untuk mempertajam fungsi
pengawasan DPR khususnya dalam pengelolaan keuangan negara. Namun,
10

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
berdasarkan evaluasi Pansus MD3, dimana ada keinginan besar supaya komisi
lebih berdaya,[16]sehingga BAKN dihapuskan dan memberikan kewenangan
lebih kepada Komisi, yang tersebut dalam Pasal 98 Ayat (3) UU MD3 Baru:
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
1. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang
termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
2. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang
berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
3. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja
pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan
kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
4. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
5. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
Dengan demikian, komisi diberikan tugas untuk memperdalam setiap laporan
hasil pemeriksaan BPK, yang kemudian dijadikan bahan untuk melakukan evaluasi
kinerja pemerintahan. Agar berdaya, maka hasil rapat kerja komisi atau rapat
gabungan dengan pemerintah tersebut bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan
pemerintah.[17] Apabila tidak dilaksanakan, maka komisi dapat mengusulkan
penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota
mengajukan pertanyaan sesuai peraturan perundang-undangan.[18] Pejabat
pemerintah yang tidak menjalankan hasil rapat tersebut dapat direkomendasikan
diberikan sanksi kepada presiden.[19]
Pengaturan mengikatnya hasil rapat kerja komisi tersebut yang menjadi
pembeda dengan yang diatur dalam UU MD3 lama. Hal inilah yang menjadi salah
satu semangat Revisi UU MD3. Karena itu, secara rasional, penghapusan BAKN
dapatlah diterima. Namun demikian, patut untuk terus dipantau dan diawasi, jangan
sampai komisi tidak fokus dalam mempertajam analisis pengelolaan keuangan negara,
akibat dihapuskannya BAKN tersebut. Setiap komisi harus membentuk Panitia Kerja
yang fokus membahas pengelolaan akuntabilitas keuangan negara untuk kemudian
dibawa ke Komisi dan dibahas dalam rapat pengawasan. Dari aspek badan penunjang
keahlian, semestinya dibentuk sebuah badan yang berisikan pakar dan professional
11

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
dibawah DPR sebagai Pusat Pengkajian dan Analisis APBN serta Pengelolaan
Akuntabilitas Keuangan Negara, sebagai contoh di Amerika Serikat mempunyai
Congressional Budget Office (CBo).[20]
4. Turunnya Angka Kuorum Pengambilan Keputusan DPR Dalam Hal Hak
Menyatakan Pendapat
Turunnya angka kuorum pengambilan keputusan DPR dalam hal Hak Menyatakan
Pendapat (HMP) terdapat dalam Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru sebagai Perubahan
Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama.
Pasal 184 Ayat (3) UU MD3 Lama

Pasal 210 Ayat (3) UU MD3 Baru

Usul sebagaimana dimaksud pada ayat

Usul sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) menjadi hak menyatakan pendapat

(1) menjadi hak menyatakan pendapat

DPR apabila mendapatkan persetujuan

DPR apabila mendapatkan persetujuan

dari rapat paripurna DPR yang dihadiri

dari rapat paripurna DPR yang dihadiri

paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari

paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari

jumlah anggota DPR dan keputusan

jumlah anggota DPR dan keputusan

diambil dengan persetujuan paling

diambil dengan persetujuan paling

sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah

sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah

anggota DPR yang hadir.

anggota DPR yang hadir.

Latar belakang turunnya angka kuorum ini adalah pengalaman DPR Periode
2009-2014 yang kesulitan untuk melanjutkan Hasil Hak Angket Kasus Bail Out Bank
Century (yang menyatakan Bail Out Bank Century tidak dibenarkan dan dinyatakan
telah terjadi pelanggaran pidana) untuk dibawa Hak Menyatakan Pendapat (HMP).
Untuk itu diperlukan penurunan angka kuorum.
Apabila dicermati, dalam Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, disebutkan
“Pengajuan permintaan Dewan perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat”.
12

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
Pasal 7B Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 inilah yang menjadi acuan,
mengingat untuk proses “impeachment” saja syaratnya 2/3 hadir dan didukung 2/3
yang hadir, mengapa HMP harus dinaikkan menjadi ¾ hadir dan didukung ¾ yang
hadir. Jadi keberadaan syarat HMP pada UU MD3 lama sebenarnya sudah menyalahi
konstitusi, oleh karena itu juga sudah seharusnya dirubah.
Selain isu-isu tersebut, ada beberapa isu lain yang muncul, yaitu[21]:
Pertama, minimnya ruang pengawasan, transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan DPR dengan menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi
kinerja anggotanya, dan melaporkan kepada publik. Tidak hanya itu. Kewajiban DPR
melaporkan pengelolaan anggaran kepada publik dalam laporan kinerja tahunan
sebagaimana diatur sebelumnya dalam Pasal 73 ayat 5 UU No 27 Tahun 2009 pun
turut dihapus. DPR juga masih akan mempertahankan berlangsungnya rapat-rapat
tertutup apabila disetujui peserta rapat.
Kedua, soal Tren Penambahan Kewenangan MPR. Jika diamati sejak UU No 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
Susduk) hingga UU MD3 yang baru (sebagaimana yang disahkan pada 8 Juli 2014),
ada kecenderungan penambahan kewenangan MPR. Sebagian besar penambahan
kewenangan praktis hanya untuk kepentingan sosialisasi dan ini tentu saja akan
berdampak pada pembengkakan anggaran. Selain itu, potensi penganggaran ganda
bisa ditemui pada pelaksanaan tugas MPR berupa penyerapan aspirasi masyarakat
berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945. Mengingat anggota MPR terdiri dari
anggota DPR dan anggota DPD yang pada saat bersamaan mendapatkan pula alokasi
anggaran untuk kegiatan menyerap aspirasi dari masyarakat.
Ketiga, soal Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR. Tidak konsistennya pengaturan
mekanisme pemilihan pimpinan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
menunjukkan bahwa Pansus RUU MD3 tidak mempunyai visi yang jelas terhadap
desain kelembagaan pimpinan lembaga legislatif. Selain itu, mekanisme pemilihan
pimpinan DPR yang telah ditetapkan dalam UU MD3 yang baru merupakan daur
ulang mekanisme lama yang sudah terbukti mengakibatkan kinerja DPR periode
2004-2009 khususnya pada tahun pertama menjadi terhambat. Hal itu disebabkan
tarik ulur kepentingan yang terpolarisasi melalui Koalisi Kerakyatan dan Koalisi
Kebangsaan. Naskah Akademik, suatu dokumen rujukan yang memuat asal usul atau
13

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
latar belakang kenapa butuh UU MD3 yang baru, tidak pernah mencantumkan
kebutuhan untuk mengubah mekanisme pemilihan pimpinan DPR.
Keempat, soal Mahkamah Kehormatan. Dalam konteks tugas dan wewenang,
keberadaan Mahkamah Kehormatan mengalami perluasan dibandingkan Badan
Kehormatan. Jika Badan Kehormatan hanya pada ranah kode etik, keberadaan
Mahkamah Kehormatan masuk hingga ranah penegakan hukum melalui adanya izin
pemanggilan dan pemeriksaan.
5. Sejarah Lahirnya RUU Pemilihan Kepala Daerah
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebelumnya diatur dalam UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Mengingat ada banyak pasal yang diatur
khusus mengenai mekanisme Pilkada yakni 63 Pasal (Pasal 56 – Pasal 119), maka
dalam revisinya, Pilkada ini dipisahkan dari UU Pemda. Dalam Prolegnas sejak tahun
2011 sudah dimasukkan dengan No. 42, Prolegnas tahun 2012 No. 52, Prolegnas
tahun 2013 No. 3, Prolegnas tahun 2014 No. 3. Ini artinya sudah 4 tahun RUU ini
dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional dimana RUU disiapkan pemerintah
selama 2 tahun, kemudian dibahas bersama di DPR selama 2 tahun. Sehingga dari sisi
waktu memang sudah waktunya untuk disahkan.Pilkada secara langsung sejak 1 Juni
2005 telah melahirkan beberapa yang menyebabkan pemerintah mengusulkan Revisi
RUU Pilkada, antara lain[22]:


Pilkada langsung dibeberapa tempat melahirkan konflik horizontal antara sesama
masyarakat. Benturan masyarakat ini tentu menjadi keprihatinan yang mendalam,
karena ketidaksiapan menang atau kalah.



Pilkada langsung secara biaya cukup menyedot anggaran, baik pusat maupun
daerah.



Berdasarkan data dari Mahkamah Konstitusi, disetiap Pilkada langsung,
dipastikan akan gugatan sengketa Pemilukada ke MK, termasuk juga ketika
sengketa Pilkada di Mahkamah Agung.[23]



Sering terjadinya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif khususnya
dalam bentuk money politik dan vote buying, sehingga memberikan pelajaran
demokrasi yang buruk pada masyarakat.



Terjadinya politisasi birokrasi pemerintahan daerah.

14

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525


Penegakan hukum dank ode etik tidak berjalan.



Partisipasi pemilih yang rendah (rata-rata dibawah 70%).



Banyak kepala daerah terjerat korupsi.[24]



Kepala daerah tidak akur dengan wakil kepala daerah.



Kepemimpimpinan lemah, manajemen rendah, dan birokrasi amburadul, serta
terjadi politik transaksional dalam menjalankan roda pemerintahan.



Pemerintah tidak efektif.

Atas pertimbangan tersebut, maka Pemerintah sebagai pihak yang diberi tugas
menyiapkan Drat RUU Pilkada melakukan langkah memberi usulan revoluioner
berupa mengubah Pilkada langsung menjadi Pilkada tidak langsung via DPRD.
6. Perspektif Konstitusi terhadap Pemilihan Kepala Daerah.
Dalam UUD NRI Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (4) disebutkan kepala daerah
dipilih secara demokratis. Untuk memahaminya, maka salah satu caranya adalah
dengan membuka original intent Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Untuk melihat
hal tersebut, dapat dilihat dalam Risalah Pembahasan UUD 1945, yang dapat diunduh
lewat www.mahkamahkonstitusi.go.id tentang Naskah Komprehensif Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara
Jilid 2. Dalam risalah tersebut khususnya Bab V (hlm. 1107-1432) diulas secara
khusus pembahasan Perubahan UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah.
Ketika itu, draft naskah perubahan dari Badan Pekerja adalah kepala daerah
dipilih secara demokratis, namun Prof Bagir Manan mengusulkan pemerintahan
daerah mengakomodir pemilihan kepala daerah secara langsung.[25] Atas draft
tersebut, beberapa Fraksi memberikan klarifikasi dan komentar, seperti Soedijarto dari
Fraksi Utusan Golongan mengklarifikasinya dengan mengatakan:[26]
“…mengenai pemilihan Gubernur, walikota yang langsung disarankan dipilih
langsung sedangkan konsepnya kan sangat demokratis, dan masih tergantung
perkembangan pemilihan presiden dan sebagainya. Indonesia belum pernah
berpengalaman memilih pemimpun langsung kecuali Kepala Desa yang praktiknya
main uang, dan semua pemimpn sekarang termasuk ketua partaipun tidak dipilih oleh
anggota partai, kok sedang Gubernur sudah mau dipilih rakyat. Apakah ini tidak
15

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
riskan karena budaya demokrasi kita belum tumbuh, karena itu saya ingin kembali
kepada asalnya yaitu dipilih secara demokratis, …. Konstitusi tidak mendikte kepada
daerah supaya dipilih langsung”.
Kemudian Pataniari Siahaan dari F-PDIP megusulkan agar kepala daerah “…
dipilih secara demokratis sebagaimana diatur undang-undang. Jadi demokratisnya
bukan oleh rakyat”.[27] Atas beberapa pendapat tersebut, Prof Bagir Manan
menyerahkan kepada anggota rapat, apakah dipilih langsung oleh rakyat atau dipilih
secara demokratis.[28]Pada akhirnya draft yang disepakati dan dibawa ke Rapat
Paripurna ke-9, 18 Agustus 2000 adalah Pemilihan kepala daerah dipilih secara
demokratis.
Hamdan Zoelva, memberikan pandangan terdapat dua prinsip yang terkandung
dalam rumusan “kepala daerah dipilih secara demokratis”, yaitu pertama: kepala
daerah harus “dipilih”, tidak dimungkinkan untuk langsung
diangkat. Kedua, pemilihan dilakukan secara demokratis, maknanya tidak harus
dipilih langsung oleh rakyat, akan tetapi dapat juga bermakna dipilih oleh DPRD yang
anggota-anggotanya juga hasil pemilihan demokratis melalui Pemilu.[29]
Atas pertimbangan tersebut, maka klausul pemilihan kepala daerah dipilih
secara demokratis memiliki makna harus adanya proses pemilihan yang dapat
langsung oleh rakyat dan dapat juga melalui DPRD. Untuk itu, klausul ini disebut
sebagai open legal policy secara konstitusi. Kedua opsi yang sedang diperdebatkan
dalam draft RUU Pilkada saat ini sama-sama konstitusional.[30]
7.

Perspektif Konfigurasi Politik
Konfigurasi Politik di DPR sangat berpengaruh dalam pembahasan RUU
Pilkada. Pada tahun 2012 ketika draft RUU Pilkada dimasukkan Pemerintah ke DPR,
klausulnya pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Klausul tersebut didukung
mayoritas partai politik dengan jumlah kursi besar seperti Partai Demokrat, Partai
Golkar, dan PKB. Sementara itu, PKS karena jumlah kursinya tidak besar menolak
usulan Pilkada melalui DPRD.
Berbicara konfigurasi politik tersebut, mengapa pemerintah mengajukan opsi
Pilkada melalui DPRD dapat dimaklumi, karena partai politik penguasa pemerintahan
yakni Partai Demokrat merupakan partai terbesar dengan 148 anggota dari 560
anggota.

16

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah sebenarnya hampir
menemui titik temu, yaitu; pertama tetap dilakukan pemilihan
langsung; keduapelaksanaan dilakukan secara serentak antara Pilkada Gubernur dan
Pilkada Bupati/Walikota dalam rangka penghematan anggaran dan memperjelas
konfigurasi politik didaerah sehingga rakyat lebih rasional dalam memilihnya.
Namun, perhelatan Pemilu Presiden 2014 dengan 2 (dua) calon pasangan,
berimbas pula pada konfigurasi politik setelah Pilpres. Koalisi Merah Putih (KMP)
yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, PPP, PAN dan PKS termasuk juga Partai
Demokrat (6 partai dengan jumlah 421 kursi DPR) pada 9 September 2014 bersepakat
mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Koalisi penyokong Calon PresidenWakil Presiden Jokowi JK yang terdiri dari PDIP, PKB dan Partai Hanura (3 partai
degan jumlah 139 kursi DPR) mendukug Pilkada langsung.
Polarisasi konfigurasi politik tersebut merupakan konsekuensi sistem
multipartai yang dianut di Indonesia, dimana partai-partai politik sangat cair dalam
ideologi dan dalam penentuan dukungan politik. Hal ini tidak hanya berpengaruh pada
dinamika RUU Pilkada, tetapi juga berpengaruh pada RUU MD3 yang telah dibahas
sebelumnya.
Terakhir, 19 September 2014 kemarin, Fraksi Partai Demokrat balik badan
mendukung Pilkada Langsung, sehingga mengubah konfigurasi politik yang pro
Pilkada langsung menjadi 4 partai dengan 287 kursi di DPR, dan yang pro Pilkada
melalui DPRD menjadi 5 partai dengan 273 kursi di DPR.
8. Perspektif Perkembangan Demokrasi
Apabila kita mempelajari mengenai demokrasi sebagai pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat dari awal mula zaman Yunani Kuno sampai dengan zaman
sekarang (modern dan postmodernisme), maka kita akan menemui uniknya
perkembangan demokrasi.
Pada awalnya demokrasi di Yunani Kuno masih bersifat polis-polis atau the
Greek Stateyaitu pada mula pertamanya merupakan suatu tempat dipuncak suatu
bukit.[31] Lama kelamaan orang-orang banyak yang tinggal di tempat itu dengan
jalan mendirikan tempat tinggal bersama, berupa rumah-rumah dan kemudian tempat
tersebut dikelilinginya dengan suatu benteng tembok untuk menjaga serangan dari
luar.
17

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
Pemerintahan dalam polis merupakan hal yang tinggi, karena di atas polis
tidak ada lagi suatu organisasi kekuasaan lain yang menguasai dan memerintah polis
itu. Inilah letak keistimewaan dari polis. Organisasi yang mengatur hubungan antar
orang se-polis itu tidaklah hanya mempersoalkan hubungan organisasinya saja
melainkan juga mempersoalkan mengenai hidup kepribadian orang-orang yang hidup
disekitarnya. Oleh karena itu terdapat campur tangan organisasi yang mengatur polis.
Karena polis disamakan (identik) dengan masyarakat negara atau negara, maka polis
merupakan negara kota (standstaat atau citystate).
Sehubungan dengan itu, dikalangan pemerintahan lazimnya berwujud
demokrasi langsung atau direct democracy, rakyat di dalam polis ikut serta secara
langsung menentukan beleid kebijaksanaan pemerintah atau adanya direct
government by all the people.[32]
Dalam episode Yunani Kuno tersebut, dapat kita temui beberapa pemikir hebat
yang sampai saat ini masih dipelajari, seperti Plato, Aristoteles, Polybios dan lain-lain.
Misalnya yang menarik adalah pendapat Polybios,[33] yang menjelaskan bahwa
sebagai bentuk negara yang tertua ialah monarki, pemerintahan dijalankan oleh
seorang pemimpin negara, karena orang tersebut mempunyai bakat kepandaian dan
keberanian dari yang lain-lainnya sehingga merupakan primus iner pares atau yang
pertama diantara yang sama. Ia memerintah dengan tujuan baik dan ditujukan demi
kepentingan umum berlandaskan keadilan. Akan tetapi para penggantinya kemudian
bertindak menyeleweng, memerintah demi kepentingan diri pribadi dan bertindak
sewenang-wenang. Karena itu timbulah tirani.
Dari bentuk negara tirani ini lama kelamaan para warganya memberontak
karena tidak tahan akan penderitaan dan penindasan yang dilakukan oleh seorang
tiran itu. Hasil perlawanan itu, para warga memilih beberapa orang dari golongan
ningrat cerdik pandai, yang diberi kepercayaan memerintah, dengan demikian
timbulah negara aristokrasi.
Kemudian aristokrasi mengalami proses kemunduran dan kemerosotan karena
pimpinan negara bertindak demi kepentingan mereka yang memerintah, bertindak
main hakim sendiri secara semena-mena, hal yang demikian mengakibatkan
terbentuknya negara oligarkhi.
Dari bentuk negara oligarkhi pun mengalami nasib yang sama seperti tirani,
akrena tindakan sewenang-wenang dan memperkosa hukum, menimbulkan
perlawanan dari para warganya terhadap beberapa pimpinan negara itu. Dalam
18

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
perjuangan itu para warganya mengambil alih kekuasaan pemimpin negara, maka
mereka, yaitu para warga atau rakyat memegang pemerintahan, sehingga timbulah
negara demokrasi.
Apabila bentuk negara demokrasi ini dalam prosesnya mengalami
kemunduran, disebabkan warganya atau rakyat tidak tahu sedikitpun tentang
pemerintahan dan tanpa pendidikan turut campur dalam pemerintahan, maka
timbullah pemerintahan secara liar dari rakyat gembel yang hina. Karena itu timbulah
negara okhlokrasi.
Setelah pemerintahan okhlokrasi menimbulkan kebejatan dan kebobrokan dari
demokrasi, maka para wargapun sadar dan menginginkan adanya pemerintahan yang
baik dan adil. Karenanya muncul seorang warga yang berani maju kedepan dan
mengambil alih pimpinan negara. Timbulah negara monarkhi.
Pemikiran tersebut kemudian sering disebut siklus Polybios. Pemikiran
mengenai adanya bentuk-bentuk negara yang bertujuan untuk kepentingan umum,
disertai pula bentuk pemerosotannya memberikan pelajaran berharga dalam
perjalanan bernegara. Khususnya mengenai demokrasi, akan menjadi bentuk
pemerosotan apabila rakyat tidak memiliki pendidikan dan kemampuan mengelola
negara, sehingga negara akan roboh akibat salah atur.
Demokrasi langsung yang berlaku di Yunani Kuno dianggap salah satu bentuk
pemerintahan yang baik. Namun, karena perkembangan negara yang meluas dan
lintas polis, sehingga demokrasi langsung sulit diterapkan. Karenanya timbul
demokrasi tidak langsung (indirect democracy) melalui pelembagaan badan
perwakilan rakyat.
Perkembangan demokrasi berikutnya berlangsung di Romawi Kuno dengan
keberhasilan rezimnya menetapkan konstitusi yang memadukan bentuk-bentuk
pemerintahan antara monarkhi, aristokrasi dan demokrasi. Bentuk pemerintahan itu
kemudian disebut dengan republic. Terminologi republik berasal dari Bahasa Latin
yang terdiri dari dua suku kata yakni res yang berarti kejadian atau peristiwa
dan publicus yang berarti publik. Jika kedua kata digabungkan secara peristilahan
akan membentuk suatu pengertian yang menunjukkan kepemilikan rakyat.[34]
Dengan melihat demokrasi tidak langsung merupakan perkembangan
demokrasi langsung, maka klaim perdebatan dalam RUU Pilkada, bahwa Pilkada
melalui DPRD adalah kemunduran demokrasi kuranglah tepat. Karena derajat maju
19

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
mundurnya demokrasi subtantif sebenarnya tidak diukur dari prosedur bentuk
langsung atau tidak langsungnya saja.
Dalam perkembangan demokrasi modern ini, baik demokrasi langsung
maupun tidak langsung adalah sebuah keniscayaan. Karenanya, diperlukan perpaduan
yang saling melengkapi agar pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan
dengan efektif.
Demokrasi subtantif saat ini sering disebut dengan istilah demokrasi
partisipatif sebagai bentuk perlawanan demokrasi elitis. Partisipasi masyarakat dalam
hal ini merupakan cerminan demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B.
Gibson, bahwa:[35]
“… that the purpose of democracy is to ensure that decisions are made by
individuals who will be affected. The requirements of this democracy are fully met
only if all individuals are enables and encouraged to participate ini the decisions
which will affect their lives. Thus, in participatory theory, the sphere of democracy
encompasses all areas of collective action and decision, regardless of the arbitrary
divisions of social, economic, and political concern. Participatory theory purposes
democratic societies, not just democratic government.”
Bagaimanapun dengan terpilihnya wakil rakyat tidak menghilangkan peran
masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat
itu sendiri. Kalau dalam demokrasi elit, partisipasi masyarakat begitu dibatasi, dalam
demokrasi partisipatoris keterlibatan masyarakat yang luas dan bermakna merupakan
keniscayaan. Argumentasinya, makna hakiki dari demokrasi adalah memberi
dorongan bagi masyarakat berperan serta dalam pembuatan keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka. R. B. Gibson menambahkan, demokrasi
partisipatori tidak hanya berupaya mewujudkan pemerintahan yang demokratis
(democratic government), tetapi juga masyarakat yang demokratis (democratic
societies).[36]
Hal tersebut tentunya berbeda dengan demokrasi elit yang merupakan lawan
dari demokrasi partisipatoris, sebagaimana disebutkan R.B. Gibson, yaitu[37]
“… that the main purpose of the democratic aspect of government is to ensure
that the elite leaders who are charged with making governmental decisions do not
vary too far from general interests of the electorate. In the elite theory the sphere of
democracy is confined to the elective positions of public government. The
20

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
requirements of democracy will be met if citizens are allowed to choose leaders freely
from the ranks of competing elites.”
Demokrasi elit cenderung menisbikan peran masyarakat setelah proses
pemilihan umum selesai, yaitu dengan terpilihnya wakil rakyat. Jika warga negara
telah melaksanakan hak pilihnya dalam pemilihan umum, maka seterusnya
penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada mereka yang terpilih menjadi
anggota lembaga legislatif. Hal ini berpotensi pada pengabaian atau juga upaya
melupakan kepentingan masyarakat yang mengitari anggota legislatif tersebut. Gibson
menambahkan, masyarakat lebih cenderung memikirkan diri sendiri sehingga sering
terjadi perbedaan kepentingan yang dapat menimbulkan konflik.[38]
Uraian tersebut menunjukkan bahwa negara demokratis partisipatoris dan elit
menunjukkan juga kualitas demokrasi perwakilan yang dibangun. Selain demokrasi
partisipatif, dewasa ini berkembang juga demokrasi deliberatif yang dikembangkan
Jurgen Habermas.[39] Bagi Habermas, perkembangan demokrasi saat ini berbeda
dengan zaman Yunani Kuno yang masyarakatnya kecil berupa polis-polis, menjadi
masyarakat yang besar (gigantis), dipenuhi dengan pluralitas masyarakat yang
kompleks yang juga terglobalisasi. Dalam demokrasi deliberatif yang memiliki peran
besar adalah komunikasi antara pemimpin yang dipimpinnya.
Deliberatif atau bahasa Latinnya deliberation, bahasa
Inggrisnya deliberation, berarti “konsultasi”, mengacu pada prosedur formasi opini
dan aspirasi masyarakat secara demokratis. Dalam demokrasi deliberatif bukanlah
jumlah kehendak individual atau juga kehendak umum yang menjadi sumber
legitimasi. Yang menjadi sumber legitimasi adalah proses formasi deliberatif
(konsultasi), argumentative-diskursif suatu keputusan politis yang ditimbang bersamasama senantiasa bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.
Dengan ungkapan lain, legitimasi kebijakan publik bukan terletak pada hasil
komunikasi politik, melainkan pada prosesnya. Semakin diskursif proses, yakni
semakin rasional dan terbuka terhadap pengujian publik, makin terlegitimasi pula
hasilnya.[40]
Pemahaman demokrasi partisipatif dan deliberatif sekaligus perlawanan
terhadap demokrasi elitis tersebut, menjadikan dasar untuk menilai apakah Pilkada
Langsung atau Pilkada Lewat DPRD dapat dikatakan meningkatkan kualitas
demokrasi atau tidak.
21

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525
Apabila dicermati mengenai pelaksanaan Pilkada Langsung sejak 1 Juni 2005,
maka saat ini telah memasuki periode ke-3 Pilkada Langsung. Pada periode pertama,
Pilkada Langsung masih banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin stok lama yang
belum mampu memberikan perubahan dalam pemerintahan. Namun, dalam periode
kedua, mulai terpilih Kepala Daerah yang mampu menjalankan fungsi
kepemimpinannya secara baik, termasuk juga membangun komunikasi yang intensif
dengan masyarakat. Ditambah teknologi yang mendukung melalui social media,
twitter, facebook, path, dan lain-lain, sehingga mendekatkan pemimpin dengan rakyat
secara langsung. Periode kedua ini menghasilkan pemimpin-pemimpin yang menjadi
idola publik, apakah itu Jokowi, Ridwan Kamil, Risma, Ahmad Heriawan, dan lainlain. Model kepemimpinannya sudah lebih partisipatif bahkan deliberatif, dengan
mengajak warga yang dipimpinnya untuk bersama membangun daerah. Dengan
melihat fakta tersebut, maka Pilkada langsung adalah salah satu sarana memperoleh
pemimpin yang partisipatif dan deliberatif.
Namun, tidak semua kepala daerah yang dipilih langsung berprestasi. Padahal
anggaran untuk Pilkada langsung lebih besar dibandingkan dengan Pilkada tidak
langsung. Sebagaimana disebut sebelumnya, banyak Kepala Daerah yang tersangkut
korupsi pula, selain juga banyak ekses negatif akibat Pilkada langsung tersebut.
Karenanya model Pilkada melalui DPRD bisa dipertimbangkan, dengan syarat
DPRD khususnya Partai Politik siap menjalankan partisipasi dan deliberasi dalam
pemilihan kepala daerah. Mekanismenya, pertama, semua calon dapat terakomodir
dalam Pilkada melalui DPRD, termasuk juga calon independen. Kedua, calon kepala
daerah harus kapabel dan berintegritas. Ketiga, partai politik di DPRD melakukan
proses konsultasi kepada masyarakat dengan cara membuka diskusi dan perdebatan
bahkan melalui mekanisme konvensi. Keempat, partai politik di DPRD harus
menjalankan hasil konsultasi tersebut untuk kemudian dijadikan dasar dalam
pemilihan kepala daerah.
Permasalahannya, wakil-wakil rakyat kita saat ini masih bertindak sebagai elit
yang sering melupakan rakyatnya. Karenanya kita perlu mengungkap pendapat
Gilbert Abcarian sebagai mana dikutip Max Boboy yang membagi empat tipe
hubungan antara wakil dengan yang diwakili sebagai berikut:[41]

22

Nama : Widiandika Triwibowo
NIM : B.131.13.0525


Sang wakil bertindak sebagai wali (truste), dimana wakil bebas bertindak
berdasarkan pertimbangannya sendiri tanpa harus berkonsultasi dengan yang
diwakilinya;



Sang wakil bertindak sebagai utusan (delegate) yakni sang wakil bertindak
sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya sehingga sang wakil senantiasa
mengikuti perintah atau instruksi serta petunjuk dari yang diwakili dalam
melaksanakan tugas;



Sang wakil bertindak sebagai politico artinya kedudukan wakil terkadang
bertindak sebagai wali (truste), dan kadang kala bertindak sebagai utusan
(delegate). Hal itu tergantung pada issu dan pembahasan di tingkat lembaga
perwakilan; dan



Sang wakil bertindak sebagai partisan. Posisi wakil dalam persoalan ini cenderung
kepada kehendak atau aspirasi partainya, sedangkan hubungan dengan konstituen
pemilihnya setelah pemilihan tidak terlalu nampak.

Selain itu juga, A. Hoogerwerf membagi lima model hubungan antara wakil dengan
yang diwakili sebagai berikut:


Model utusan (delegate) yakni wakil bertindak sebagai diperintah atau kuasa
usaha yang menjalankan perintah dari yang diwakili;



Model wali (truste) yakni sang wakil bertindak sebagai orang yang diberi kuasa
penuh dari yang diwakili sehingga memiliki kebebasan bertindak berdasarkan
pendiriannya;



Model politicos yakni model yang memungkinkan sang wakil bertindak kadang
sebagai delegasi dan kadang sebagai kuasa penuh;



Model kesatuan yakni model yang mengonsepsi anggota parlemen sebagai wakil
rakyat seluruhnya; dan



Model penggolongan (diversifikasi) yakni keanggotaan wakil di parlemen
dipandang sebagai wakil kelompok territorial, k