M01710
PERBEDAAN KUALITAS INFORMASI AKUNTANSI
SEBELUM DAN SESUDAH PENGADOPSIAN PENUH IFRS
DI INDONESIA
(Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2013)
Oleh:
Debbie Dita Shevilla
(Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
Yeterina Widi Nugrahanti
(Staff Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
ABSTRACT
The purpose of this research was to examine the difference of accounting information quality
before and after the adaption of International Financial Reporting Standart (IFRS) in Indonesia. The
variables which were used to measure the accounting information quality, such as earning management,
relevance, and conservatism. The samples which were used in this research was gathered using purposive
sampling technique from a manufacture company that listed at Indonesian Stock Exchange from 2010 to
2013. This research was analyzed with Paired Sample T-Test and Adjusted R2 statistical method. The
result of this research indicated that there are differences of accounting information quality before and
after the adoption of IFRS in Indonesia, which is showed the increases of earning management, relevance,
and conservatism.
Key Word : International Financial Reporting Standards, Earning Management, Relevance, and
Conservatism.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi, dunia usaha dituntut
untuk mampu meningkatkan transparansi informasi
dalam laporan keuangan. Transparansi informasi
tersebut ditujukan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan seperti investor maupun pihak lain
yang terkait, yang digunakan sebagai sarana
pengambilan keputusan investasi. Banyaknya standar
akuntansi yang diterapkan diberbagai negara
menjadikan suatu kendala dalam dunia bisnis yang
bersifat global, sehingga dibutuhkan satu standar
pelaporan akuntansi yang berkualitas yang berlaku
secara internasional.
IFRS (International Financial Reporting
Standards)
menjawab
tantangan
bagaimana
pelaporan keuangan harus dilakukan. IFRS
merupakan suatu upaya untuk memperkuat arsitektur
keuangan global dan mencari solusi jangka panjang
terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan
(Dian dan Titik, 2012). Indonesia merupakan bagian
dari IFAC (International Federation of Accountant)
yang harus tunduk pada SMO (Statement
Membership Obligation), yang salah satunya adalah
dengan menggunakan IFRS sebagai accounting
standard. Selain itu konvergensi IFRS adalah salah
satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai
anggota forum G20 (Narendra, 2013). Manfaat
penerapan IFRS secara umum adalah: 1)
Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan
dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan
yang dikenal secara internasional. 2) Meningkatkan
arus investasi global melalui transparansi. 3)
Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang
fund raising melalui pasar modal secara global. 4)
Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
5) Meningkatkan kualitas laporan keuangan (Martani,
2011).
Salah satu manfaat yang diharapkan dari
penerapan IFRS di Indonesia adalah meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan. Fanani (2009)
mengatakan terdapat 7 atribut pengukuran yang dapat
menilai kualitas pelaporan keuangan. Atribut kualitas
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pelaporan keuangan tersebut terdiri dari 4 atribut
berbasis akuntansi dan 3 atribut berbasis pasar.
Atribut berbasis akuntansi meliputi kualitas akrual,
persistensi, prediktabilita, dan perataan laba. Untuk
atribut berbasis pasar meliputi relevansi nilai,
ketepatwaktuan, dan konservatisme.
Saat ini standar yang digunakan di Indonesia
telah konvergen dengan IFRS, dimana standar
akuntansi menjadi berbasis prinsip (principle based)
bukan lagi berbasis aturan (rule based). Perbedaan
rule based dan principle based adalah pada rule based
sistem akuntansi dapat memperoleh petunjuk
implementasi secara detail sehingga mengurangi
ketidakpastian dan menghasilkan aplikasi aturanaturan yang spesifik dalam standar secara mekanis.
Sementara principle based, akuntan akan membuat
sejumlah
estimasi
yang
harus
di
pertanggungjawabkan dan mensyaratkan semakin
banyak professional judgment (Qomariah, 2013).
Principle based standards mungkin menyebabkan
keterbandingan laporan keuangan sedikit menurun
yakni bila penggunaan professional judgment
ditumpangi dengan kepentingan untuk mengatur laba
(Narendra, 2013). Di Indonesia, praktik perataan laba
pada perusahaan manufaktur pada tahun 2008 sudah
mencapai angka yang cukup tinggi yakni 56%
(Susanti, 2008). Dengan demikian, bisa saja praktik
manajemen laba semakin meningkat setelah
diterapkannya IFRS.
Barth, et al. (2008) berargumen bahwa IFRS
sebagai principle based standards lebih dapat
meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi.
Hal tersebut dikarenakan pengukuran dengan
menggunakan fair value lebih dapat menggambarkan
posisi dan kinerja ekonomik perusahaan, yang dapat
digunakan untuk membantu investor dalam
mengambil keputusan investasi. Selain itu model
ekspektasi rasional Ewert dan Wagenhofer (2005)
menunjukkan bahwa laba IFRS lebih dapat
merefleksikan kinerja ekononomik perusahaaan.
Penelitian yang dilakukan di luar negeri
untuk menguji efek penggunaan IFRS terhadap
kualitas akuntansi sudah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang beragam. Barth, et al.(2008)
dan Bartov, et al. (2005) menunjukkan bahwa setelah
adopsi IFRS, kualitas akuntansi dalam laporan
keuangan mengalami peningkatan ditandai dengan
penurunan praktik manajemen laba dan relevansi
nilai data akuntansi yang mengalami peningkatan.
Namun di sisi lain penelitian Ball, et al. (2003)
menunjukkan bahwa standar berkualitas tinggi tidak
selalu menghasilkan informasi akuntansi berkualitas
tinggi. Penelitian Jeanjean dan Stolowy (2008)
menghasilkan bahwa praktik manajemen laba setelah
pengadopsian IFRS di Negara Australia, Prancis, dan
UK tidak mengalami penurunan bahkan meningkat di
Prancis. Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan
oleh Sianipar dan Marsono (2012) namun hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan antara relevansi nilai, pengakuan kerugian
tepat waktu dan manajemen laba pada periode
sebelum dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Salah satu atribut berbasis pasar yang
digunakan untuk mengukur nilai kualitas pelaporan
keuangan adalah konservatisme (Fanani, 2009).
PSAK yang sebelumnya berkiblat pada US GAAP
(Generally Accepted Accounting Principles),
mengatur bahwa pengakuan pendapatan hendaknya
mempertimbangkan prinsip konservatisme. Disisi
lain, IFRS sebagai standar akuntansi yang baru lebih
menekankan pada relevansi dan mengutamakan
orientasi masa depan, yang bertujuan membantu para
investor dan pihak lain yang terkait dalam
pengambilan
keputusan
investasi.
IFRS
memperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan
prudence sebagai pengganti prinsip konservatisme.
Prudence dalam IFRS, terutama sehubungan dengan
pengakuan pendapatan adalah pendapatan boleh
diakui meskipun masih berupa potensi, sepanjang
memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue
recognition) dalam IFRS (Yustina, 2011). Dengan
demikian, bisa saja praktik konservatime akuntansi
menurun setelah diterapkannya IFRS.
Piots,et al. (2010) membuktikan adanya
perubahan konservatisme setelah adanya adopsi
IFRS. Mereka menemukan bahwa prinsip
konservatisme menurun setelah adanya adopsi IFRS.
Namun hasil penelitian Gassen dan Sellhorn (2006),
Zhang (2011) menyatakan hasil yang bertolak
belakang yaitu konservatisme akuntansi meningkat di
Jerman dan New Zealand setelah adanya adopsi
IFRS. Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan oleh
Wardhani (2009). Namun penelitian ini tidak dapat
membuktikan bahwa konvergensi IFRS pada suatu
negara akan berpengaruh secara positif terhadap
tingkat konservatisme akuntansi.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menganalisis perbedaan kualitas
informasi akuntansi pelaporan keuangan di Indonesia
pada periode sebelum dan sesudah komitmen
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pengadopsian penuh IFRS. Ketua DPN Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI), Prof Mardiasmo
mengatakan bahwa Indonesia melalui IAI telah
berkomitmen untuk mengadopsi IFRS pada tahun
2012 (www.bpkp.go.id). Dengan adanya statement
tersebut dapat diasumsikan bahwa Indonesia telah
mengadopsi IFRS secara penuh pada tahun 2012.
Sehingga dalam penelitian ini menggunakan data
keuangan tahun 2010 dan 2011 sebagai periode
sebelum pengadopsian penuh IFRS, kemudian data
tahun 2012 dan 2013 sebagai periode sesudah
pengadopsian penuh IFRS. Dalam penelitian ini
atribut kualitas pelaporan keuangan yang digunakan
adalah manajemen laba untuk mewakili atribut
berbasis akuntansi, sedangkan relevansi nilai
akuntansi dan konservatisme untuk mewakili atribut
berbasis
pasar.
Penelitian
ini
merupakan
pengembangan atas penelitian yang dilakukan oleh
Sianipar dan Marsono (2012). Penelitian tersebut
menggunakan variabel manajemen laba, relevansi
nilai, dan pengakuan kerugian tepat waktu untuk
menilai kualitas informasi akuntansi. Hasil penelitian
Sianipar dan Marsono (2012) menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan kualitas informasi akuntansi
sebelum dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu
mengganti variabel pengakuan kerugian tepat waktu
dengan variabel konservatisme untuk menilai kualitas
informasi akuntansi di Indonesia. Alasan peneliti
memasukkan variabel konservatisme karena
konservatisme dan relevansi nilai merupakan 2
komponen aribut berbasis pasar yang dapat
membentuk kualitas pelaporan keuangan faktorial
(Fanani, 2009).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada investor dan pihak lain
yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan
investasi, terkait kualitas informasi akuntansi setelah
diterapkannya IFRS.
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Teori Regulasi
Adanya berbagai krisis dalam penentuan
standar mendorong munculnya kebijakan regulasi.
Permintaan terhadap kebijakan atau standar semacam
itu didorong oleh krisis yang muncul, pihak penentu
standar akuntansi menanggapi dengan cara
menyediakan kebijakan tersebut (Ghozali dan
Chariri, 2007). Teori regulasi menyatakan bahwa
perekonomian terpusat adalah alasan dalam
melindungi kepentingan umum atau publik. Dalam
teori ini legislatif membuat aturan untuk melindungi
pengguna laporan keuangan dengan meningkatkan
kinerja ekonomi. Teori regulasi ini muncul sebagai
jawaban dari teori yang ada sebelumnya yaitu teori
pasar efisien yang beresiko gagal dan merugikan
publik. Di dalam teori pasar efisien laporan keuangan
merupakan barang publik yang dapat digunakan oleh
siapa saja, sehingga perusahaan hanya melaporkan
hal yang perlu dan membuat laporan keuangan
tersebut menjadi bias. Biasnya informasi akuntansi
yang terdapat dalam laporan keuangan tersebut dapat
mempengaruhi keputusan investasi yang diambil oleh
calon investor maupun kreditor. Dengan demikian
diperlukan regulasi dari pihak pemerintah yang
diharapkan dapat melindungi publik dari bias laporan
keuangan (Godfrey, et al. 2010).
Para ahli teori menyatakan bahwa hampir
tanpa kecuali regulasi itu terjadi sebagai reaksi
terhadap suatu krisis yang tidak dapat diidentifikasi.
Pembentukan regulasi tersebut terkait dengan
beberapa kepentingan. Kepentingan tersebut terkait
dengan konsekuensi yang akan diterima pengguna,
atas pembentukan dari suatu regulasi. Argumentasi
yang umum diajukan terhadap kebijakan akuntansi
baru (IFRS) adalah bahwa banyak fakta yang
menyatakan setiap perubahan dalam standar akan
mempengaruhi arti rasio keuangan dan angka
keuangan dari setiap aktivitas keuangan serta
mempengaruhi kualitas akuntansi secara keseluruhan.
Menurut Hendriksen (2005) yang menyatakan bahwa
perubahan standar yang berlaku memiliki pengaruh
yang nyata pada operasi keuangan. (Hendriksen 2005
dalam Sianipar dan Marsono, 2012).
International Financial Reporting Standards
(IFRS)
IFRS
merupakan
standar
akuntansi
internasional yang diterbitkan oleh International
Accounting Standard Board (IASB). Standar
akuntansi internasional ini disusun oleh empat
organisasi utama dunia yaitu Badan Standar
Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat
Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal
(IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional
(IFAC). Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan
Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia
melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012
(www.iaiglobal.or.id). Penerapan standar ini
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
bertujuan agar daya informasi laporan keuangan di
Indonesia dapat terus meningkat sehingga laporan
keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat
dengan mudah digunakan baik bagi penyusun,
auditor, maupun pengguna lain.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi
IFRS di Indonesia, yaitu: (1) Tahap Adopsi (2008 –
2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS
diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang
diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang
berlaku. (2) Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam
tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan
infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan
penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis
IFRS. (3) Tahap Implementasi (2012), berhubungan
dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara
bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap
dampak penerapan PSAK secara komprehensif
(Husin, 2008).
Manfaat penerapan IFRS secara umum
adalah: 1) Memudahkan pemahaman atas laporan
keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi
Keuangan yang dikenal secara internasional. 2)
Meningkatkan arus investasi global melalui
transparansi. 3) Menurunkan biaya modal dengan
membuka peluang fund raising melalui pasar modal
secara global. 4) Menciptakan efisiensi penyusunan
laporan keuangan. 5) Meningkatkan kualitas laporan
keuangan (Martani, 2011).
Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa
laporan keuangan dan laporan keuangan interim
perusahaan untuk periode-periode yang dimaksud
dalam laporan keuangan tahunan, mengandung
informasi berkualitas tinggi yang transparan bagi para
pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode
yang disajikan, menyediakan titik awal yang
memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada
IFRS dan dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak
melebihi manfaat untuk para pengguna. Setelah
merumuskan tujuan menyeluruh pelaporan keuangan,
FASB melalui statement of Financial Accounting
Concept No. 2 (Kieso dan Weygandt, 2007:37-38)
menetapkan karakteristik kualitatif informasi
akuntansi sebagai berikut : relevansi, reliabilitas,
komparabilitas dan konsistensi.
Manajemen Laba
Cahyati (2011) mendefinisikan manajemen
laba sebagai intervensi dari pihak manajemen untuk
mengatur laba yaitu dengan menaikkan atau
menurunkan laba akuntansi dengan memanfaatkan
atau kelonggaran penggunaan metode dan prosedur
akuntansi.
Karena
standar
akuntansi
memperbolehkan perusahaan untuk memilih metode
akuntansi. Manajemen laba akan mengakibatkan laba
tidak sesuai dengan realitas ekonomi yang ada
sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi
rendah. Hal tersebut dapat dikarenakan keinginan
manajemen untuk memperlihatkan sedemikian rupa
kinerjanya sehingga dapat terlihat baik (Dian dan
Titik, 2011).
Relevansi Nilai
Francis dan Schipper (1999) dalam
Cahyonowati dan Ratmono (2012) mendefinisikan
relevansi nilai informasi akuntansi sebagai
kemampuan
angka-angka
akuntansi
untuk
merangkum informasi yang mendasari harga saham,
sehingga relevansi nilai diindikasikan dengan sebuah
hubungan statistikal antara informasi keuangan dan
harga atau return saham. Kualitas informasi akuntansi
yang tinggi diindikasikan dengan adanya hubungan
yang kuat antara harga/return saham dengan nilai laba
serta nilai buku ekuitas, karena kedua informasi
akuntansi tersebut mencerminkan kondisi ekonomik
perusahaan (Barth et al.2008).
Pengukuran nilai laba didasarkan pada
Earnings Per Share (EPS). EPS adalah keuntungan
yang diberikan kepada pemegang saham untuk setiap
lembar saham yang dipegangnya. Semakin tinggi
EPS yang dihasilkan akan semakin disukai oleh
investor, EPS merupakan informasi akuntansi yang
ada dalam urutan beberapa informasi yang sering
menjadi pertimbangan oleh investor (Lawrence dan
Kercsmar, 1999). EPS yang dikaitkan dengan harga
pasar saham dapat memberikan gambaran tentang
kinerja perusahaan (IAI, 2009).
Untuk pengukuran nilai buku didasarkan
pada Book Value Per Share (BPS). Nilai Buku (book
value) per lembar saham menunjukan aktiva bersih
(net assets) per lembar saham yang dimiliki oleh
pemegang saham (Hartono, 2003). Aktiva bersih
adalah sama dengan total ekuitas pemegang saham,
maka nilai buku per lembar saham adalah total ekuitas
dibagi dengan jumlah saham yang beredar. Nilai buku
per lembar saham ( book value per share ) tidak
menunjukan ukuran kinerja saham yang penting,
tetapi nilai buku per lembar saham dapat
mencerminkan berapa besar jaminan yang akan
diperoleh oleh pemegang saham apabila perusahaan
penerbit saham (emiten) dilikuidasi.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
Konservatisme
Basu (1997) mendefinisikan konservatisme
sebagai praktik mengurangi laba (dan mengecilkan
aktiva bersih) dalam merespon berita buruk (bad
news), tetapi tidak meningkatkan laba (meninggikan
aktiva bersih) dalam merespons berita baik (good
news). Praktik konservatisme bisa terjadi karena
standar akuntansi yang berlaku di Indonesia
memperbolehkan perusahaan untuk memilih salah
satu metode akuntansi dari kumpulan metode yang
diperbolehkan pada situasi yang sama. Misalnya,
PSAK No. 14 mengenai persediaan, PSAK No. 17
mengenai akuntansi penyusutan, PSAK No. 19
mengenai aktiva tidak berwujud dan PSAK No. 20
mengenai biaya riset dan pengembangan. Akibat dari
fleksibilitas dalam pemilihan metode akuntansi
adalah terhadap angka-angka dalam laporan
keuangan, baik laporan neraca maupun laba-rugi.
Penerapan metode akuntansi yang berbeda akan
menghasilkan angka yang berbeda dalam laporan
keuangan.
Watts (2003) menyatakan konservatisme
dapat diukur dengan beberapa ukuran, ada 3 cara
pengukuran konservatisme, yaitu: (1) Earning/ stock
return relation measures: Pengukuran ini didasari
adanya stock market price yang berusaha untuk
merefleksikan perubahan nilai aset pada saat
terjadinya perubahan baik rugi ataupun laba dalam
nilai aset, stock return tetap berusaha untuk
melaporkannya sesuai dengan waktunya (Sari dan
Adhariani, 2009). Basu (1997) menyatakan bahwa
konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang
merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi
dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu
pengakuan). Hal ini disebabkan karena salah satu
definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian
yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi
perusahaan dan harus segera diakui sehingga
mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi
dalam laba dibandingkan kabar baik. Basu (1997)
memprediksikan bahwa pengembalian saham dan
earnings cenderung merefleksikan keuntungan lebih
cepat daripada earnings. (2) Earning/ accrual
measures. Ukuran konservatisme yang kedua ini
menggunakan akrual, yaitu selisih antara laba bersih
dan arus kas. Givoly dan Hyan memfokuskan efek
konservatisme pada laporan laba rugi selama
beberapa tahun. Mereka berpendapat bahwa
konservatisme menghasilkan akrual negatif yang
terus menerus. Akrual yang dimaksud adalah
perbedaan
antara
laba
bersih
sebelum
depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan operasi.
Semakin besar akrual negatif maka akan semakin
konservatif akuntansi yang diterapkan. Dengan kata
lain,
jika
suatu
perusahaan
mengalami
kecenderungan akrual yang negatif selama beberapa
tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya
konservatisme dalam perusahaan tersebut. (3) Net
asset measures. Net asset measures diukur
menggunakan market to book ratio yang
mencerminkan nilai pasar relatif terhadap nilai buku
perusahaan (Beaver dan Ryan, 2000). Rasio yang
bernilai lebih dari 1, mengindikasikan penerapan
akuntansi yang konservatif karena perusahaan
mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari pasarnya.
Pengembangan Hipotesis
Peningkatan Praktik Manajemen Laba Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Penelitian untuk menguji apakah terdapat
perbedaan atas terjadinya praktik manajemen laba
setelah diterapkan IFRS di luar negeri sudah banyak
dilakukan. Jeanjean dan Stolowy (2008) meneliti
dampak keharusan mengadopsi IFRS terhadap
manajemen laba dengan mengobservasi 1146
perusahaan dari Australia, Prancis, dan UK mulai
tahun 2005 hingga 2006. Penelitian tersebut
menemukan bukti bahwa manajemen laba di negaranegara tersebut tidak mengalami penurunan setelah
adanya keharusan mengadopsi IFRS, dan bahkan
meningkat untuk Prancis. Chen, et al. (2010) meneliti
pengaruh penerapan IFRS terhadap kualitas akuntansi
di 15 negara anggota Uni Eropa. Chen, etal. (2010)
menemukan bukti bahwa perusahaan di Uni Eropa
yang menerapkan IFRS secara mandatory lebih
banyak
melakukan
perataan
laba
setelah
diterapkannya IFRS dan perusahaan lebih tidak tepat
waktu dalam mengakui kerugian yang nilainya besar.
Begitu juga dengan Ahmed, et al. (2010) yang
membandingkan 20 negara yang mengadopsi IFRS
pada tahun 2005 dengan perusahaan yang berasal dari
negara yang tidak mengadopsi IFRS. Hasilnya,
perusahaan yang berasal dari negara pengadopsi
IFRS menunjukkan praktik perataan laba yang lebih
tinggi dan penurunan pengakuan kerugian dibanding
perusahaan yang berasal dari negara yang tidak
mengadopsi IFRS.
Pengadopsian penuh IFRS di Indonesia
dimulai tahun 2012. Pengadopsian ini merubah
standar akuntansi Indonesia (GAAP) yang semula
mengacu pada rule based (berbasis aturan) menjadi
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
principle based (berbasis prinsip). Pengaturan
berbasis prinsip bertujuan untuk memenuhi tujuan
dari IFRS yaitu meningkatkan kualitas informasi
akuntansi yang terdapat pada laporan keuangan. Teori
regulasi mengutamakan perlindungan bagi para
pengguna laporan keuangan. Diharapkan dengan
adanya satu standar pelaporan yang berkualitas,
mampu menyajikan nilai laba yang sebenarnya untuk
meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Nilai
laba yang sebenarnya dapat dilihat dengan
menggunakan konsep fair value sebagai dasar
penilaian. Dalam konsep fair value, penilaian yang
digunakan adalah harga pasar saat transaksi terjadi.
Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif, dapat
digunakan estimasi berdasarkan informasi yang
tersedia untuk menilai aktiva. Pada praktiknya
standar akuntansi berbasis prinsip lebih menekankan
pada sejumlah estimasi yang harus dipertanggung
jawabkan dan mensyaratkan semakin banyak
professional judgment (Qomariah, 2013). Estimasi
inilah yang dapat memicu meningkatnya praktik
manajemen laba setelah penerapan IFRS. Dengan
demikian perubahan standar akuntansi yang semula
berbasis aturan menjadi berbasis prinsip mungkin
menyebabkan keterbandingan laporan keuangan
sedikit menurun jika penggunaan professional
judgment ditumpangi dengan kepentingan untuk
mengatur laba (Narendra, 2013). Hal ini dapat
menyebabkan praktik manajemen laba dalam
perusahaan meningkat setelah penerapan IFRS.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H1 : Terdapat indikasi adanya peningkatan
manajemen laba sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Peningkatan
Relevansi
Nilai
Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Barth et al. (2008) dan Bartov et al. (2005)
melakukan pengujian untuk menguji efek
penggunaan IFRS terhadap kualitas akuntasi dan
relevansi nilai laporan keuangan pada perusahaan
yang berasal dari berbagai negara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah adopsi IFRS, kualitas
akuntansi mengalami peningkatan ditandai dengan
penurunan praktik manajemen laba dan relevansi
nilai data akuntansi yang mengalami peningkatan.
Suatu informasi dikatakan relevan apabila
informasi tersebut dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan ekonomi para pengguna laporan keuangan.
Sehingga informasi tersebut dapat membantu para
pengguna dalam mengevaluasi kejadian masa lalu,
masa kini atau masa depan. Kualitas informasi
akuntansi yang tinggi diindikasikan dengan adanya
hubungan yang kuat antara harga/return saham
dengan nilai laba serta nilai buku ekuitas, karena
kedua informasi akuntansi tersebut mencerminkan
kondisi ekonomik perusahaan (Barth et al.2008).
PSAK 16 yang mengatur mengenai aset tetap
memiliki perbedaan dasar penilaian sebelum dan
sesudah IFRS. IFRS dengan principles based
standards lebih dapat meningkatkan relevansi nilai
informasi akuntansi melalui penilaian dengan
menggunakan fair value. Hal ini berbeda dengan US
GAAP yang menggunakan historical cost sebagai
dasar penilaian. Historical cost menilai aktiva sebesar
kas yang dikeluarkan untuk memperoleh aktiva atau
harga saat perolehan aktiva tersebut. Penilaian
menggunakan historical cost ini mempunyai
kelebihan lebih objektif dan verifiable namun kurang
relevan untuk mencerminkan kondisi saat ini
(Cahyati, 2011). Sebagai contoh sebuah perusahaan
membeli sebuah tanah seharga Rp 100 juta, bertahuntahun kemudian di dalam nilai buku harga tanah
tersebut sebagai aset akan tetap tertulis Rp 100 juta
jika masih menggunakan konsep historical cost
meskipun di pasaran harganya sudah naik tiga sampai
lima kali lipat. Dengan kondisi pasar yang makin
dinamis dan berkembang cepat, pada akhirnya konsep
historical cost dianggap tidak relevan lagi, karena
tidak mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya.
Sebagai gantinya digunakanlah konsep fair value.
Pengukuran menggunakan fair value lebih
dapat menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik
perusahaan, yang dapat digunakan untuk membantu
investor dalam mengambil keputusan investasi. Laba
per saham dan nilai buku per saham yang merupakan
proksi didalam menentukan relevansi nilai informasi
suatu perusahaan, diharapkan dapat meningkat
setelah IFRS diadopsi. Dengan demikian regulasi
berupa kebijakan standar akuntansi baru (IFRS),
dapat mempengaruhi arti angka keuangan serta
mempengaruhi kualitas akuntansi secara keseluruhan.
Angka keuangan yang relevan digunakan untuk
melindungi investor dari biasnya laporan keuangan
yang dapat menyebabkan kesalahan pengambilan
keputusan investasi.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H2a : Terdapat indikasi adanya peningkatan relevansi
nilai laba per saham sesudah pengadopsian penuh
IFRS.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
H2b : Terdapat indikasi adanya peningkatan relevansi
nilai buku per saham sesudah pengadopsian penuh
IFRS.
Penurunan Tingkat Konservatisme Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Givoly dan Hayn (2000) memberi bukti
bahwa praktik konservatisme telah dijalankan sejak
tahun 1950-an, dan ada kecenderungan intensitasnya
semakin meningkat sebelum diterapkannya IFRS.
Penelitian lain yang sejalan dengan prediksi Givoly
dan Hayn adalah penelitian yang dilakukan Piots, et
al. (2010) yang membuktikan adanya perubahan
konservatisme setelah adanya adopsi IFRS.
PSAK yang sebelumnya berkiblat pada US
GAAP, dalam konsep pengakuan dan pengukuran
atas item-item dalam pelaporan keuangan lebih
menekankan prinsip biaya historis yang dikatakan
lebih handal (reliable) karena nilai yang digunakan
berasal dari transaksi yang sudah terealisasi
(Hendriksen, 2000). Dalam US GAAP, pengakuan
pendapatan hendaknya mempertimbangkan prinsip
konservatisme yang mensyaratkan agar tidak
mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih
berupa potensi, di satu sisinya dan mengakui biaya
meskipun masih belum pasti atau masih berupa
potensi, di sisi lainnya. IFRS menolak prinsip
konservatisme akuntansi karena penggunaan fair
value untuk menilai investasi lebih menekankan pada
relevansi, sehingga konservatisme akuntansi tidak
menjadi prinsip yang diatur dalam IFRS. IFRS
memperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan
prudence sebagai pengganti prinsip konservatisme
(Yustina, 2011).
Prudence dalam IFRS, terutama sehubungan
dengan pengakuan pendapatan adalah pendapatan
boleh diakui meskipun masih berupa potensi,
sepanjang
memenuhi
ketentuan
pengakuan
pendapatan (revenue recognition) dalam IFRS
(Yustina, 2011). Perubahan tersebut berimplikasi
pada jika terdapat kenaikan pada harga pasar, maka
perusahaan sudah harus meningkatkan nilai
investasinya, dan sudah mengakui keuntungan. Jika
dilihat dari sisi nilai investasi, penilaian dengan
menggunakan nilai wajar memang sesuai dengan
kondisi saat ini. Tetapi jika dilihat dari sisi
keuntungan yang belum terealisasi, karena belum
terdapat transaksi penjualan, maka prinsip
konservatisme dalam penilaian investasi sudah tidak
berlaku lagi. Piots, et al. (2010) dalam Yustina (2011)
membuktikan adanya perubahan konservatisme
setelah adanya adopsi IFRS. Mereka menemukan
bahwa konservatisme menurun setelah adanya adopsi
IFRS. Menurunnya konservatisme akuntansi
merupakan indikasi dari penggunaan prinsip fair
value dalam IFRS yang lebih menekankan relevansi
dalam laporan keuangan. Hal tersebut ditujukan
untuk melindungi pengguna laporan keuangan dari
bias, yang merupakan tujuan dari teori regulasi.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Terdapat indikasi adanya penurunan tingkat
konservatisme sesudah pengadopsian penuh IFRS.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan data sekunder berupa laporan
keuangan yang diperoleh dari situs resmi bursa efek
Indonesia
yakni
www.idx.co.id,
www.yahoofinance.com dan ICMD (Indonesia
Capital Market Directory). Data yang digunakan
untuk menguji praktik manajemen laba adalah laba
bersih, arus kas operasi, total aktiva, aset tetap,
piutang usaha dan pendapatan perusahaan. Kemudian
untuk menguji relevansi nilai, data yang digunakan
adalah harga saham, laba per saham, dan nilai buku
per saham perusahaan. Sedangkan untuk menguji
konservatisme, data yang digunakan adalah laba
bersih, persediaan, utang pajak, beban yang masih
harus dibayar, depresiasi, arus kas operasi, beban
dibayar dimuka dan hutang perusahaan selama
periode amatan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam sampel penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada
tahun 2010-2011 (sebelum pengadopsian penuh
IFRS) dan pada tahun 2012-2013 (sesudah
pengadopsian penuh IFRS). Metode pengambilan
sampel adalah purposive sampling, dimana populasi
yang akan dijadikan sampel penelitian adalah
populasi memenuhi kriteria sampel tertentu. Kriteriakriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Selama
periode amatan, perusahaan tidak melaporkan rugi. 2.
Selama periode amatan, perusahaan menerbitkan
laporan keuangan dalam mata uang Rupiah.
Variabel Penelitian
Penelitian ini menganalisis tentang kualitas
informasi akuntansi sebelum dan sesudah
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pengadopsian penuh IFRS. Kualitas informasi
akuntansi diproksikan dengan tiga variabel yaitu
manajemen laba, relevansi nilai dan konservatisme.
Manajemen
laba
diukur
dengan
menggunakan discretionary accruals yang dihitung
dengan cara menselisihkan total accruals (TACC)
dan nondiscretionary accruals (NDACC). Dalam
menghitung DACC, digunakan Modified Jones
Model. Model ini banyak digunakan dalam penelitian
karena dinilai merupakan model yang paling baik
dalam mendeteksi manajemen laba dan memberikan
hasil paling robust (Sulistyanto, 2008). Untuk
mengukur akrual diskresioner, terlebih dahulu diukur
total akrual dengan rumus berikut :
TACCit= Net Income- Cash Flow from Operation
Total akrual kemudian dirumuskan oleh
Jones yang dimodifikasi oleh Dechow sebagai
berikut:
TACCit/TAit-1 = al(1/TAi,t-1) + a2(ΔREVitΔRECit)/ TAit-1+ a3(PPEit /TAit-1) + e
Keterangan:
TACCit = total accrual perusahaan i pada tahun t
TAi,t-1
= total aset perusahaan pada tahun t1
ΔREVi,t
= perubahan pendapatan perusahaan
i dari tahun t-1 ke tahun t
ΔRECi,t
= perubahan piutang perusahaan i
dari tahun t-1 ke tahun t
PPEi,t
= aset tetap perusahaan i pada tahun
t
e
= error term perusahaan i tahun t
Perhitungan untuk nondiscretionary accrual
menurut model Jones yang dimodifikasi dirumuskan
sebagai berikut:
NDTACCit/TAit-1 = al(l/TAit-l)+ a2(ΔREVit ΔRECit) + a3 PPEit + e
Keterangan:
NDACCi,t
= non discretionary accrual
perusahaan i pada tahun t
TAi,t-1
= total aset perusahaan i pada tahun
t-1
ΔREVi,t
= perubahan pendapatan perusahaan
i dari tahun t-1 ke tahun t
ΔRECi,t
= perubahan piutang perusahaan i
dari tahun t-1 ke tahun t
PPEi,t
= aset tetap perusahaan i pada tahun
t
e
= error term perusahaan i tahun t
Dari
persamaan-persamaan
diatas,
akrual
diskresioner dapat dihitung dengan rumus:
DACCit = TACCit– NDACCit
Keterangan :
DACCi,t
= discretionary accrual perusahaan i
pada tahun t
TACCi,t
= total accuas perusahaan i pada
periode t
NDACCi,t
=
nondiscretionary
accrual
perusahaan i pada tahun t
2.
Pengukuran relevansi nilai menggunakan
explanatory power of regression (Adjusted R2)
sebagai satu metrik untuk mengukur relevansi nilai
laba dan nilai buku. Untuk menguji explanatory
power dari laba dan nilai buku secara terpisah,
penelitian ini mengunakan model berikut Ohlson
(1995):
Pit = α0 + β1LPSit+Ɛit
dan
Pit = α0 + β1NBSit+Ɛit
Keterangan:
Pit
= Harga saham perusahaan i pada tahun t
LPSit = Laba per saham perusahaan i selama tahun
t,yang dihitung dari laba bersih/jumlah saham yang
beredar
NBSit = Nilai buku per saham perusahaan i pada
akhir tahun t, yang dihitung dari total ekuitas/jumlah
saham yang beredar
Ɛit
= Error
Model diatas diestimasi dengan regresi OLS
(Ordinary Least Square) untuk data periode sebelum
dan sesudah adopsi IFRS secara terpisah. Pengujian
relevansi nilai menggunakan nilai Adjusted R2 yang
diperoleh dari hasil estimasi tersebut. Jika nilai
Adjusted R2 lebih besar secara signifikan untuk data
periode setelah adopsi IFRS maka menunjukkan
peningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi hal
ini menunjukkan dukungan terhadap hipotesis 1)
Relevansi nilai laba lebih tinggi sesudah
pengadopsian penuh IFRS dan 2) Relevansi nilai
buku lebih tinggi sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Sebaliknya jika tidak ada perbedaan signifikan atau
justru penurunan dalam Adjusted R2 maka hal ini
tidak menunjukkan peningkatan relevansi nilai
informasi akuntansi sesudah pengadopsian penuh
IFRS (Kusumo dan Subekti, 2012).
Model yang disajikan supaya dapat dianalisis
dan memberikan hasil yang representatif (BLUE-Best
Linier Unbiased Estimation), maka model tersebut
harus memenuhi asumsi dasar klasik yaitu tidak
terjadi gejala multikolinieritas, heteroskedastisitas
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
dan autokorelasi serta memenuhi asumsi kenormalan
residual, sehingga harus melalui pengujian asumsi
klasik (Ghozali, 2005).
3.
Konservatisme diukur dengan menggunakan
Non-Operating Accruals (NOA), dengan berdasarkan
rumus NOA dari penelitian Givoly dan Hayn (2000),
persamaan dari konservatisme sebagai berikut:
Non-operating accruals = Total accruals (before
depreciation) – Operating accruals
Dimana:
1. Total Accrual (before depreciation) = (net income
+ depreciation) – Cash flow from operational.
2. Operating Accrual = Δ Account Receivable +Δ
Inventories + Δ Prepaid expense – Δ Account
Payable - Δ Accrued expense – Δ Tax payable.
Givoly dan Hayn (2000) menyatakan bahwa
apabila akrual bernilai negatif, maka laba
digolongkan konservatif, yang disebabkan karena
laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh
perusahaan pada periode tertentu. Akrual yang
dimaksud adalah perbedaan antara laba bersih
sebelum depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan
operasi. Semakin besar akrual negatif maka akan
semakin konservatif akuntansi yang diterapkan.
Dengan kata lain, jika suatu perusahaan mengalami
kecenderungan akrual yang negatif selama beberapa
tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya
konservatisme dalam perusahaan tersebut.
Pengujian Hipotesis
Sebelum uji hipotesis, data yang akan diteliti
dilakukan uji normalitas terlebih dahulu dengan
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (K-S) dan
Saphiro Wilk (S-W). Jika data berdistribusi normal
maka pengujian selanjutnya menggunakan metode
statistika parametrik dua sampel berpasangan dengan
Paired Sample T Test. Sebaliknya jika data tidak
berdistribusi normal maka pengujian selanjutnya
menggunakan metode statistika non parametrik dua
sampel berpasangan dengan Wilcoxon Signed Test.
Dalam penelitian ini, Paired-Sample T Test atau
Wilcoxon Signed Test digunakan untuk menguji
apakah terdapat perbedaan tingkat manajemen laba
dan tingkat konservatisme antara periode sebelum
dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Kemudian untuk menguji apakah terdapat
perbedaan relevansi nilai sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS, maka akan dilakukan
pengujian asumsi klasik terlebih dahulu untuk dapat
mengetahui
apakah
tidak
terjadi
gejala
heteroskedastisitas dan autokorelasi serta memenuhi
asumsi kenormalan residual. Multikolinieritas tidak
dimasukkan dalam pengujian data karena didalam
model untuk menguji perbedaan relevansi nilai hanya
terdapat 1 variabel independent. Setelah itu jika data
sudah memenuhi pengujian asumsi klasik, maka
dilakukan regresi pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS untuk mengetahui
perbandingan besarnya adjusted R2. Dalam penelitian
ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Objek Penelitian
Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian sepanjang periode amatan (2010 – 2011
dan 2012 – 2013) adalah 284 sampel. Jadi untuk
setiap tahun sampel yang digunakan adalah 71
sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan kriteria-kriteria tertentu (purposive
sampling) sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1.
Statistika
Deskriptif
Manajemen
Laba,
Konservatisme dan Relevansi Nilai
Statistika deskriptif yang digunakan untuk
mencari nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai
mean dari data manajemen laba, konservatisme, dan
relevansi nilai pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS dapat dilihat pada Tabel 2,
Tabel 3 dan Tabel 4.
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Tingkat Manajemen Laba Pada Periode Sebelum
dan Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS
Hasil
pengujian
hipotesis
pertama
menunjukkan angka signifikansi kurang dari alpha
(0,05) yaitu 0,034. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa terdapat perbedaan tingkat manajemen laba
pada periode sebelum dan sesudah pengadopsian
penuh IFRS. Dari analisis deskriptif dapat diketahui
bahwa nilai mean dari data untuk tingkat manajemen
laba pada periode sebelum pengadopsian penuh IFRS
adalah sebesar-0,000007, sedangkan nilai mean dari
data untuk tingkat manajemen laba pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS adalah sebesar
0,000673. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
indikasi adanya kenaikan tingkat manajemen laba
pada periode sesudah pengadopsian penuh IFRS
dengan kata lain hipotesis pertama (H1) dapat
diterima.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
Meningkatnya manajemen laba pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS dapat dipicu oleh
beberapa faktor. Pengadopsian ini merubah standar
akuntansi Indonesia yang semula mengacu pada rule
based (berbasis aturan) menjadi principle based
(berbasis prinsip). Pada praktiknya standar akuntansi
berbasis prinsip lebih menekankan pada sejumlah
estimasi yang harus dipertanggungjawabkan dan
mensyaratkan semakin banyak professional judgment
(Qomariah, 2013). Adanya unsur judgment tersebut
memungkinkan adanya peluang bagi manajemen
untuk mengambil tindakan sesuai dengan kehendak
mereka sendiri. Sehingga hal ini dapat memberikan
kesempatan bagi manajemen untuk melakukan
praktik manajemen laba. Berbeda dengan rule based,
sistem akuntansi dapat memperoleh petunjuk
implementasi secara detail sehingga mengurangi
ketidakpastian dan menghasilkan aplikasi aturanaturan spesifik dalam standar secara mekanis. Jadi
tidak diperlukan lagi adanya judgment, sehingga
peluang untuk melakukan manajemen laba menjadi
lebih kecil. Dengan adanya perubahan tersebut
memungkinkan keterbandingan laporan keuangan
sedikit menurun jika penggunaan professional
judgment ditumpangi dengan kepentingan untuk
mengatur laba (Narendra, 2013). Hal ini dapat
menyebabkan praktik manajemen laba dalam
perusahaan meningkat setelah penerapan IFRS.
Disamping itu konsep fair value dalam
menilai aset yang digunakan di Indonesia setelah
menerapkan IFRS, memungkinkan manajemen untuk
memoles laporan keuangan mereka. Sebagai contoh
PSAK 16 tentang aset tetap. Sebelum menerapkan
IFRS (pada saat US GAAP masih diterapkan),
Indonesia menggunakan konsep biaya historis dalam
menilai aset yang dikatakan lebih handal (reliable)
karena nilai yang digunakan berasal dari transaksi
yang sudah terealisasi (Hendriksen, 2000). Namun
setelah Indonesia menerapkan IFRS, konsep yang
digunakan dalam menilai aset tidak lagi
menggunakan konsep biaya historis melainkan
konsep fair value. Dalam konsep fair value, penilaian
yang digunakan adalah harga pasar saat transaksi
terjadi. Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif,
dapat digunakan estimasi berdasarkan informasi yang
tersedia untuk menilai aktiva. Estimasi inilah yang
dapat memicu meningkatnya praktik manajemen laba
setelah penerapan IFRS. Hasil penelitian tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jeanjean dan Stolowy (2008), Chen, et al. (2010) dan
Ahmed, et al. (2010) yang melaporkan bahwa praktik
manajemen laba meningkat setelah diterapkannya
IFRS.
Tingkat Relevansi Nilai Laba dan Nilai Buku Pada
Periode Sebelum dan Sesudah Pengadopsian
Penuh IFRS)
Hasil pengujian hipotesis kedua telah
disajikan dalam tabel 5. Hasil uji ANOVA atau Ftest
dari tabel 5, didapat nilai Fhitung dengan signifikansi
probabilitas sebesar 0,01 (1%). Karena probabilitas
jauh lebih kecil dari 0,05 maka model dapat
digunakan untuk memprediksi harga saham dengan
kata lain variabel laba per saham dan nilai buku per
saham secara parsial berpengaruh terhadap harga
saham. Dari hasil uji analisis regresi pada model 1
untuk sebelum IFRS menunjukkan bahwa terdapat
hubungan cukup kuat antara harga saham dengan laba
persahamdan setelah IFRS menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat kuat antara harga
saham dengan laba per saham. Nilai Adjusted R2
untuk regresi mengindikasikan bahwa laba per saham
dapat menjelaskan sebesar 57,9% dari variasi harga
saham perusahaan sedangkan sisanya sebesar 42,1%
dijelaskan oleh variabel lain untuk sebelum IFRS.
Untuk setelah IFRS nilai Adjusted R2untuk regresi
mengindikasikan bahwa laba per saham dapat
menjelaskan sebesar 79,6% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 20,4%
dijelaskan oleh variabel lain.
Pada model 2 untuk sebelum IFRS
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang lemah
antara harga saham dengan nilai buku per saham dan
setelah IFRS menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup kuat antara harga saham dengan nilai
buku per saham. Nilai Adjusted R2 untuk regresi
mengindikasikan bahwa nilai buku per saham dapat
menjelaskan sebesar 34,6% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 64,4%
dijelaskan oleh variabel lain untuk sebelum IFRS.
Untuk setelah IFRS nilai Adjusted R2 untuk regresi
mengindikasikan bahwa nilai buku per saham dapat
menjelaskan sebesar 51,1% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 48,9%
dijelaskan oleh variabel lain.
Model 1 dan 2 dari penelitian menghasilkan
nilai Adjusted R2 yang lebih tinggi sesudah
pengadopsian
penuh
IFRS.
Berdasarkan
perbandingan tersebut maka setelah menerapkan
IFRS terdapat peningkatan tingkat relevansi nilai laba
dari yang sebelumnya sebesar 0,579 menjadi sebesar
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
0,796, hasil yang berbeda ini signifikan pada level
5%. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
indikasi adanya peningkatan relevansi nilai laba pada
periode sesudah pengadopsian penuh IFRS, dengan
kata lain hipotesis kedua (H2a) dapat diterima.
Berdasarkan perbandingan tersebut juga
maka setelah menerapkan IFRS terdapat peningkatan
tingkat relevansi nilai buku dari yang sebelumnya
sebesar 0,346 menjadi sebesar 0,511, hasil yang
berbeda ini signifikan pada level 5%. Sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat indikasi adanya
peningkatan relevansi nilai buku pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS, dengan kata lain
hipotesis kedua (H2b) dapat diterima.
Meningkatnya relevansi nilai pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS dapat dipicu oleh
perubahan metode dalam menilai aset yang semula
menggunakan historical cost beralih menjadi fair
value. Historical cost menilai aktiva sebesar kas yang
dikeluarkan untuk memperoleh aktiva atau harga saat
perolehan aktiva tersebut. Penilaian menggunakan
historical cost ini mempunyai kelebihan lebih
objektif dan verifiable namun kurang relevan untuk
mencerminkan kondisi saat ini (Cahyati, 2011).
Berbeda halnya dengan fair value yang lebih dapat
menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik
perusahaan dengan menggunakan harga wajar dalam
mencatat aktiva. Cerminan tersebut dapat digunakan
untuk membantu investor dalam mengambil
keputusan investasi.
Sebagai contoh sebuah perusahaan membeli
sebuah tanah seharga Rp 100 juta, bertahun-tahun
kemudian di dalam nilai buku harga tanah tersebut
sebagai aset akan tetap tertulis Rp 100 juta jika masih
menggunakan konsep historical cost meskipun di
pasaran harganya sudah naik tiga sampai lima kali
lipat. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis
dan berkembang cepat, pada akhirnya konsep
historical cost dianggap tidak relevan lagi, karena
tidak mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya.
Sebagai gantinya digunakanlah konsep fair value
untuk mencerminkan angka keuangan yang relevan.
Angka keuangan tersebut digunakan untuk
melindungi investor dari biasnya laporan keuangan
yang dapat menimbulkan kesalahan dalam
pengambilan keputusan investasi. Menurut Martani
(2011) IFRS merupakan jalan untuk meningkatkan
investasi melalui transparansi. Sehingga dengan
adanya peningkatan relevansi nilai yang proksikan
melalui laba per saham dan nilai buku per saham
setelah pengadopsian IFRS di Indonesia diharapkan
dapat
mendorong
para
investor
untuk
menginvestasikan modalnya. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Lawrence dan Kercsmar, 1999
yang menyebutkan bahwa laba per saham merupakan
informasi akuntansi yang ada dalam urutan beberapa
informasi yang sering menjadi pertimbangan oleh
investor. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Barth et al. (2008) dan
Bartov et al. (2005) yang melaporkan bahwa
relevansi nilai meningkat setelah diterapkannya
IFRS.
Pengujian Hipotesis III dan Pembahasan (Tingkat
Konservatisme Pada Periode Sebelum dan
Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS)
Hasil
pengujian
hipotesis
ketigamenunjukkan angka signifikansi kurang dari
alpha (0,05) yaitu 0,000. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan tingkat
konservatisme pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS.
Berdasarkan analisis deskriptif dapat dilihat
bahwa nilai mean dari data untuk konservatisme pada
periode sebelum pengadopsian penuh IFRS adalah
sebesar -411740 sedangkan nilai mean dari data untuk
konservatisme pada periode sesudah pengadopsian
penuh IFRS adalah sebesar -967170. Sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat indikasi adanya
peningkatan tingkat konservatisme pada periode
sesudah pengumuman penerapan IFRS dengan kata
lain hipotesis ketiga (H3) ditolak.
Meningkatnya konservatisme pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS, dapat disebabkan
oleh terdapat sampel penelitian yang belum
mengadopsi standar akuntansi internasional tersebut,
sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.
Selain itu dimungkinkan terdapat faktor lain
disamping IFRS yang dapat memicu peningkatan
praktik konservatime, yaitu imbas krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 2008. Francis dkk,2013
mengatakan bahwa konservatisme memiliki peran
penting dalam menyediakan informasi berkualitas
tinggi pada investor. Jika perusahaan konsisten
melaporkan angka akuntansi yang konservatif, maka
akan mensinyalkan pada investor bahwa kualitas
informasinya lebih tinggi. Oleh karena itu,
perusahaan dengan praktik akuntansi yang lebih
konservatif akan mengalami penurunan harga saham
yang lebih kecil selama krisis. Konservatisme dapat
mengurangi sindrom “flight-to-quality” (Goh dkk,
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
2009) dalam ( Hartono, 2014), yaitu sebuah fenomena
di pasar uang yang terjadi ketika investor menjual apa
yang mereka anggap sebagai investasi berisiko tinggi
dan membeli investasi yang lebih aman, seperti emas.
Hal ini dianggap sebagai tanda ketakutan di pasar
karena investor mencari risiko yang lebih kecil untuk
keuntungan yang lebih rendah. Investor yang panik
akan menarik diri dari pasar saham sepenuhnya atau
memindahkan uang mereka ke perusahaan yang
mereka anggap berkualitas tinggi. Oleh sebab itu,
meningkatnya praktik konservatisme akuntansi yang
diterapkan oleh perusahaan-perusahaan merupakan
upaya dalam menyediakan informasi berkualitas
tinggi yang digunakan sebagai antisipasi agar para
investor tidak mencabut investasinya jika terdapat
krisis ekonomi yang melanda Indonesia dimasa yang
akan datang.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gassen dan Sellhorn (2006),
Zhang (2011) yang menyatakan konservatisme
akuntansi meningkat setelah adanya adopsi IFRS.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kualitas akuntansi sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS menunjukkan adanya
perbedaan. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya peningkatan ma
SEBELUM DAN SESUDAH PENGADOPSIAN PENUH IFRS
DI INDONESIA
(Studi Pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia Tahun 2010-2013)
Oleh:
Debbie Dita Shevilla
(Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
Yeterina Widi Nugrahanti
(Staff Pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana)
ABSTRACT
The purpose of this research was to examine the difference of accounting information quality
before and after the adaption of International Financial Reporting Standart (IFRS) in Indonesia. The
variables which were used to measure the accounting information quality, such as earning management,
relevance, and conservatism. The samples which were used in this research was gathered using purposive
sampling technique from a manufacture company that listed at Indonesian Stock Exchange from 2010 to
2013. This research was analyzed with Paired Sample T-Test and Adjusted R2 statistical method. The
result of this research indicated that there are differences of accounting information quality before and
after the adoption of IFRS in Indonesia, which is showed the increases of earning management, relevance,
and conservatism.
Key Word : International Financial Reporting Standards, Earning Management, Relevance, and
Conservatism.
PENDAHULUAN
Pada era globalisasi, dunia usaha dituntut
untuk mampu meningkatkan transparansi informasi
dalam laporan keuangan. Transparansi informasi
tersebut ditujukan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan seperti investor maupun pihak lain
yang terkait, yang digunakan sebagai sarana
pengambilan keputusan investasi. Banyaknya standar
akuntansi yang diterapkan diberbagai negara
menjadikan suatu kendala dalam dunia bisnis yang
bersifat global, sehingga dibutuhkan satu standar
pelaporan akuntansi yang berkualitas yang berlaku
secara internasional.
IFRS (International Financial Reporting
Standards)
menjawab
tantangan
bagaimana
pelaporan keuangan harus dilakukan. IFRS
merupakan suatu upaya untuk memperkuat arsitektur
keuangan global dan mencari solusi jangka panjang
terhadap kurangnya transparansi informasi keuangan
(Dian dan Titik, 2012). Indonesia merupakan bagian
dari IFAC (International Federation of Accountant)
yang harus tunduk pada SMO (Statement
Membership Obligation), yang salah satunya adalah
dengan menggunakan IFRS sebagai accounting
standard. Selain itu konvergensi IFRS adalah salah
satu kesepakatan pemerintah Indonesia sebagai
anggota forum G20 (Narendra, 2013). Manfaat
penerapan IFRS secara umum adalah: 1)
Memudahkan pemahaman atas laporan keuangan
dengan penggunaan Standar Akuntansi Keuangan
yang dikenal secara internasional. 2) Meningkatkan
arus investasi global melalui transparansi. 3)
Menurunkan biaya modal dengan membuka peluang
fund raising melalui pasar modal secara global. 4)
Menciptakan efisiensi penyusunan laporan keuangan.
5) Meningkatkan kualitas laporan keuangan (Martani,
2011).
Salah satu manfaat yang diharapkan dari
penerapan IFRS di Indonesia adalah meningkatkan
kualitas pelaporan keuangan. Fanani (2009)
mengatakan terdapat 7 atribut pengukuran yang dapat
menilai kualitas pelaporan keuangan. Atribut kualitas
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pelaporan keuangan tersebut terdiri dari 4 atribut
berbasis akuntansi dan 3 atribut berbasis pasar.
Atribut berbasis akuntansi meliputi kualitas akrual,
persistensi, prediktabilita, dan perataan laba. Untuk
atribut berbasis pasar meliputi relevansi nilai,
ketepatwaktuan, dan konservatisme.
Saat ini standar yang digunakan di Indonesia
telah konvergen dengan IFRS, dimana standar
akuntansi menjadi berbasis prinsip (principle based)
bukan lagi berbasis aturan (rule based). Perbedaan
rule based dan principle based adalah pada rule based
sistem akuntansi dapat memperoleh petunjuk
implementasi secara detail sehingga mengurangi
ketidakpastian dan menghasilkan aplikasi aturanaturan yang spesifik dalam standar secara mekanis.
Sementara principle based, akuntan akan membuat
sejumlah
estimasi
yang
harus
di
pertanggungjawabkan dan mensyaratkan semakin
banyak professional judgment (Qomariah, 2013).
Principle based standards mungkin menyebabkan
keterbandingan laporan keuangan sedikit menurun
yakni bila penggunaan professional judgment
ditumpangi dengan kepentingan untuk mengatur laba
(Narendra, 2013). Di Indonesia, praktik perataan laba
pada perusahaan manufaktur pada tahun 2008 sudah
mencapai angka yang cukup tinggi yakni 56%
(Susanti, 2008). Dengan demikian, bisa saja praktik
manajemen laba semakin meningkat setelah
diterapkannya IFRS.
Barth, et al. (2008) berargumen bahwa IFRS
sebagai principle based standards lebih dapat
meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi.
Hal tersebut dikarenakan pengukuran dengan
menggunakan fair value lebih dapat menggambarkan
posisi dan kinerja ekonomik perusahaan, yang dapat
digunakan untuk membantu investor dalam
mengambil keputusan investasi. Selain itu model
ekspektasi rasional Ewert dan Wagenhofer (2005)
menunjukkan bahwa laba IFRS lebih dapat
merefleksikan kinerja ekononomik perusahaaan.
Penelitian yang dilakukan di luar negeri
untuk menguji efek penggunaan IFRS terhadap
kualitas akuntansi sudah banyak dilakukan dan
menunjukkan hasil yang beragam. Barth, et al.(2008)
dan Bartov, et al. (2005) menunjukkan bahwa setelah
adopsi IFRS, kualitas akuntansi dalam laporan
keuangan mengalami peningkatan ditandai dengan
penurunan praktik manajemen laba dan relevansi
nilai data akuntansi yang mengalami peningkatan.
Namun di sisi lain penelitian Ball, et al. (2003)
menunjukkan bahwa standar berkualitas tinggi tidak
selalu menghasilkan informasi akuntansi berkualitas
tinggi. Penelitian Jeanjean dan Stolowy (2008)
menghasilkan bahwa praktik manajemen laba setelah
pengadopsian IFRS di Negara Australia, Prancis, dan
UK tidak mengalami penurunan bahkan meningkat di
Prancis. Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan
oleh Sianipar dan Marsono (2012) namun hasil
penelitian mereka menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan antara relevansi nilai, pengakuan kerugian
tepat waktu dan manajemen laba pada periode
sebelum dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Salah satu atribut berbasis pasar yang
digunakan untuk mengukur nilai kualitas pelaporan
keuangan adalah konservatisme (Fanani, 2009).
PSAK yang sebelumnya berkiblat pada US GAAP
(Generally Accepted Accounting Principles),
mengatur bahwa pengakuan pendapatan hendaknya
mempertimbangkan prinsip konservatisme. Disisi
lain, IFRS sebagai standar akuntansi yang baru lebih
menekankan pada relevansi dan mengutamakan
orientasi masa depan, yang bertujuan membantu para
investor dan pihak lain yang terkait dalam
pengambilan
keputusan
investasi.
IFRS
memperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan
prudence sebagai pengganti prinsip konservatisme.
Prudence dalam IFRS, terutama sehubungan dengan
pengakuan pendapatan adalah pendapatan boleh
diakui meskipun masih berupa potensi, sepanjang
memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue
recognition) dalam IFRS (Yustina, 2011). Dengan
demikian, bisa saja praktik konservatime akuntansi
menurun setelah diterapkannya IFRS.
Piots,et al. (2010) membuktikan adanya
perubahan konservatisme setelah adanya adopsi
IFRS. Mereka menemukan bahwa prinsip
konservatisme menurun setelah adanya adopsi IFRS.
Namun hasil penelitian Gassen dan Sellhorn (2006),
Zhang (2011) menyatakan hasil yang bertolak
belakang yaitu konservatisme akuntansi meningkat di
Jerman dan New Zealand setelah adanya adopsi
IFRS. Di Indonesia, penelitian serupa dilakukan oleh
Wardhani (2009). Namun penelitian ini tidak dapat
membuktikan bahwa konvergensi IFRS pada suatu
negara akan berpengaruh secara positif terhadap
tingkat konservatisme akuntansi.
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini
adalah untuk menganalisis perbedaan kualitas
informasi akuntansi pelaporan keuangan di Indonesia
pada periode sebelum dan sesudah komitmen
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pengadopsian penuh IFRS. Ketua DPN Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI), Prof Mardiasmo
mengatakan bahwa Indonesia melalui IAI telah
berkomitmen untuk mengadopsi IFRS pada tahun
2012 (www.bpkp.go.id). Dengan adanya statement
tersebut dapat diasumsikan bahwa Indonesia telah
mengadopsi IFRS secara penuh pada tahun 2012.
Sehingga dalam penelitian ini menggunakan data
keuangan tahun 2010 dan 2011 sebagai periode
sebelum pengadopsian penuh IFRS, kemudian data
tahun 2012 dan 2013 sebagai periode sesudah
pengadopsian penuh IFRS. Dalam penelitian ini
atribut kualitas pelaporan keuangan yang digunakan
adalah manajemen laba untuk mewakili atribut
berbasis akuntansi, sedangkan relevansi nilai
akuntansi dan konservatisme untuk mewakili atribut
berbasis
pasar.
Penelitian
ini
merupakan
pengembangan atas penelitian yang dilakukan oleh
Sianipar dan Marsono (2012). Penelitian tersebut
menggunakan variabel manajemen laba, relevansi
nilai, dan pengakuan kerugian tepat waktu untuk
menilai kualitas informasi akuntansi. Hasil penelitian
Sianipar dan Marsono (2012) menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan kualitas informasi akuntansi
sebelum dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu
mengganti variabel pengakuan kerugian tepat waktu
dengan variabel konservatisme untuk menilai kualitas
informasi akuntansi di Indonesia. Alasan peneliti
memasukkan variabel konservatisme karena
konservatisme dan relevansi nilai merupakan 2
komponen aribut berbasis pasar yang dapat
membentuk kualitas pelaporan keuangan faktorial
(Fanani, 2009).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat kepada investor dan pihak lain
yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan
investasi, terkait kualitas informasi akuntansi setelah
diterapkannya IFRS.
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
Teori Regulasi
Adanya berbagai krisis dalam penentuan
standar mendorong munculnya kebijakan regulasi.
Permintaan terhadap kebijakan atau standar semacam
itu didorong oleh krisis yang muncul, pihak penentu
standar akuntansi menanggapi dengan cara
menyediakan kebijakan tersebut (Ghozali dan
Chariri, 2007). Teori regulasi menyatakan bahwa
perekonomian terpusat adalah alasan dalam
melindungi kepentingan umum atau publik. Dalam
teori ini legislatif membuat aturan untuk melindungi
pengguna laporan keuangan dengan meningkatkan
kinerja ekonomi. Teori regulasi ini muncul sebagai
jawaban dari teori yang ada sebelumnya yaitu teori
pasar efisien yang beresiko gagal dan merugikan
publik. Di dalam teori pasar efisien laporan keuangan
merupakan barang publik yang dapat digunakan oleh
siapa saja, sehingga perusahaan hanya melaporkan
hal yang perlu dan membuat laporan keuangan
tersebut menjadi bias. Biasnya informasi akuntansi
yang terdapat dalam laporan keuangan tersebut dapat
mempengaruhi keputusan investasi yang diambil oleh
calon investor maupun kreditor. Dengan demikian
diperlukan regulasi dari pihak pemerintah yang
diharapkan dapat melindungi publik dari bias laporan
keuangan (Godfrey, et al. 2010).
Para ahli teori menyatakan bahwa hampir
tanpa kecuali regulasi itu terjadi sebagai reaksi
terhadap suatu krisis yang tidak dapat diidentifikasi.
Pembentukan regulasi tersebut terkait dengan
beberapa kepentingan. Kepentingan tersebut terkait
dengan konsekuensi yang akan diterima pengguna,
atas pembentukan dari suatu regulasi. Argumentasi
yang umum diajukan terhadap kebijakan akuntansi
baru (IFRS) adalah bahwa banyak fakta yang
menyatakan setiap perubahan dalam standar akan
mempengaruhi arti rasio keuangan dan angka
keuangan dari setiap aktivitas keuangan serta
mempengaruhi kualitas akuntansi secara keseluruhan.
Menurut Hendriksen (2005) yang menyatakan bahwa
perubahan standar yang berlaku memiliki pengaruh
yang nyata pada operasi keuangan. (Hendriksen 2005
dalam Sianipar dan Marsono, 2012).
International Financial Reporting Standards
(IFRS)
IFRS
merupakan
standar
akuntansi
internasional yang diterbitkan oleh International
Accounting Standard Board (IASB). Standar
akuntansi internasional ini disusun oleh empat
organisasi utama dunia yaitu Badan Standar
Akuntansi Internasional (IASB), Komisi Masyarakat
Eropa (EC), Organisasi Internasional Pasar Modal
(IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional
(IFAC). Lembaga profesi akuntansi IAI (Ikatan
Akuntan Indonesia) menetapkan bahwa Indonesia
melakukan adopsi penuh IFRS pada 1 Januari 2012
(www.iaiglobal.or.id). Penerapan standar ini
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
bertujuan agar daya informasi laporan keuangan di
Indonesia dapat terus meningkat sehingga laporan
keuangan dapat semakin mudah dipahami dan dapat
dengan mudah digunakan baik bagi penyusun,
auditor, maupun pengguna lain.
Terdapat 3 tahapan dalam melakukan konvergensi
IFRS di Indonesia, yaitu: (1) Tahap Adopsi (2008 –
2011), meliputi aktivitas dimana seluruh IFRS
diadopsi ke PSAK, persiapan infrastruktur yang
diperlukan, dan evaluasi terhadap PSAK yang
berlaku. (2) Tahap Persiapan Akhir (2011), dalam
tahap ini dilakukan penyelesaian terhadap persiapan
infrastruktur yang diperlukan. Selanjutnya, dilakukan
penerapan secara bertahap beberapa PSAK berbasis
IFRS. (3) Tahap Implementasi (2012), berhubungan
dengan aktivitas penerapan PSAK IFRS secara
bertahap. Kemudian dilakukan evaluasi terhadap
dampak penerapan PSAK secara komprehensif
(Husin, 2008).
Manfaat penerapan IFRS secara umum
adalah: 1) Memudahkan pemahaman atas laporan
keuangan dengan penggunaan Standar Akuntansi
Keuangan yang dikenal secara internasional. 2)
Meningkatkan arus investasi global melalui
transparansi. 3) Menurunkan biaya modal dengan
membuka peluang fund raising melalui pasar modal
secara global. 4) Menciptakan efisiensi penyusunan
laporan keuangan. 5) Meningkatkan kualitas laporan
keuangan (Martani, 2011).
Tujuan IFRS adalah memastikan bahwa
laporan keuangan dan laporan keuangan interim
perusahaan untuk periode-periode yang dimaksud
dalam laporan keuangan tahunan, mengandung
informasi berkualitas tinggi yang transparan bagi para
pengguna dan dapat dibandingkan sepanjang periode
yang disajikan, menyediakan titik awal yang
memadai untuk akuntansi yang berdasarkan pada
IFRS dan dapat dihasilkan dengan biaya yang tidak
melebihi manfaat untuk para pengguna. Setelah
merumuskan tujuan menyeluruh pelaporan keuangan,
FASB melalui statement of Financial Accounting
Concept No. 2 (Kieso dan Weygandt, 2007:37-38)
menetapkan karakteristik kualitatif informasi
akuntansi sebagai berikut : relevansi, reliabilitas,
komparabilitas dan konsistensi.
Manajemen Laba
Cahyati (2011) mendefinisikan manajemen
laba sebagai intervensi dari pihak manajemen untuk
mengatur laba yaitu dengan menaikkan atau
menurunkan laba akuntansi dengan memanfaatkan
atau kelonggaran penggunaan metode dan prosedur
akuntansi.
Karena
standar
akuntansi
memperbolehkan perusahaan untuk memilih metode
akuntansi. Manajemen laba akan mengakibatkan laba
tidak sesuai dengan realitas ekonomi yang ada
sehingga kualitas laba yang dilaporkan menjadi
rendah. Hal tersebut dapat dikarenakan keinginan
manajemen untuk memperlihatkan sedemikian rupa
kinerjanya sehingga dapat terlihat baik (Dian dan
Titik, 2011).
Relevansi Nilai
Francis dan Schipper (1999) dalam
Cahyonowati dan Ratmono (2012) mendefinisikan
relevansi nilai informasi akuntansi sebagai
kemampuan
angka-angka
akuntansi
untuk
merangkum informasi yang mendasari harga saham,
sehingga relevansi nilai diindikasikan dengan sebuah
hubungan statistikal antara informasi keuangan dan
harga atau return saham. Kualitas informasi akuntansi
yang tinggi diindikasikan dengan adanya hubungan
yang kuat antara harga/return saham dengan nilai laba
serta nilai buku ekuitas, karena kedua informasi
akuntansi tersebut mencerminkan kondisi ekonomik
perusahaan (Barth et al.2008).
Pengukuran nilai laba didasarkan pada
Earnings Per Share (EPS). EPS adalah keuntungan
yang diberikan kepada pemegang saham untuk setiap
lembar saham yang dipegangnya. Semakin tinggi
EPS yang dihasilkan akan semakin disukai oleh
investor, EPS merupakan informasi akuntansi yang
ada dalam urutan beberapa informasi yang sering
menjadi pertimbangan oleh investor (Lawrence dan
Kercsmar, 1999). EPS yang dikaitkan dengan harga
pasar saham dapat memberikan gambaran tentang
kinerja perusahaan (IAI, 2009).
Untuk pengukuran nilai buku didasarkan
pada Book Value Per Share (BPS). Nilai Buku (book
value) per lembar saham menunjukan aktiva bersih
(net assets) per lembar saham yang dimiliki oleh
pemegang saham (Hartono, 2003). Aktiva bersih
adalah sama dengan total ekuitas pemegang saham,
maka nilai buku per lembar saham adalah total ekuitas
dibagi dengan jumlah saham yang beredar. Nilai buku
per lembar saham ( book value per share ) tidak
menunjukan ukuran kinerja saham yang penting,
tetapi nilai buku per lembar saham dapat
mencerminkan berapa besar jaminan yang akan
diperoleh oleh pemegang saham apabila perusahaan
penerbit saham (emiten) dilikuidasi.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
Konservatisme
Basu (1997) mendefinisikan konservatisme
sebagai praktik mengurangi laba (dan mengecilkan
aktiva bersih) dalam merespon berita buruk (bad
news), tetapi tidak meningkatkan laba (meninggikan
aktiva bersih) dalam merespons berita baik (good
news). Praktik konservatisme bisa terjadi karena
standar akuntansi yang berlaku di Indonesia
memperbolehkan perusahaan untuk memilih salah
satu metode akuntansi dari kumpulan metode yang
diperbolehkan pada situasi yang sama. Misalnya,
PSAK No. 14 mengenai persediaan, PSAK No. 17
mengenai akuntansi penyusutan, PSAK No. 19
mengenai aktiva tidak berwujud dan PSAK No. 20
mengenai biaya riset dan pengembangan. Akibat dari
fleksibilitas dalam pemilihan metode akuntansi
adalah terhadap angka-angka dalam laporan
keuangan, baik laporan neraca maupun laba-rugi.
Penerapan metode akuntansi yang berbeda akan
menghasilkan angka yang berbeda dalam laporan
keuangan.
Watts (2003) menyatakan konservatisme
dapat diukur dengan beberapa ukuran, ada 3 cara
pengukuran konservatisme, yaitu: (1) Earning/ stock
return relation measures: Pengukuran ini didasari
adanya stock market price yang berusaha untuk
merefleksikan perubahan nilai aset pada saat
terjadinya perubahan baik rugi ataupun laba dalam
nilai aset, stock return tetap berusaha untuk
melaporkannya sesuai dengan waktunya (Sari dan
Adhariani, 2009). Basu (1997) menyatakan bahwa
konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang
merupakan kabar buruk atau kabar baik terefleksi
dalam laba yang tidak sama (asimetri waktu
pengakuan). Hal ini disebabkan karena salah satu
definisi konservatisme menyebutkan bahwa kejadian
yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian bagi
perusahaan dan harus segera diakui sehingga
mengakibatkan kabar buruk lebih cepat terefleksi
dalam laba dibandingkan kabar baik. Basu (1997)
memprediksikan bahwa pengembalian saham dan
earnings cenderung merefleksikan keuntungan lebih
cepat daripada earnings. (2) Earning/ accrual
measures. Ukuran konservatisme yang kedua ini
menggunakan akrual, yaitu selisih antara laba bersih
dan arus kas. Givoly dan Hyan memfokuskan efek
konservatisme pada laporan laba rugi selama
beberapa tahun. Mereka berpendapat bahwa
konservatisme menghasilkan akrual negatif yang
terus menerus. Akrual yang dimaksud adalah
perbedaan
antara
laba
bersih
sebelum
depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan operasi.
Semakin besar akrual negatif maka akan semakin
konservatif akuntansi yang diterapkan. Dengan kata
lain,
jika
suatu
perusahaan
mengalami
kecenderungan akrual yang negatif selama beberapa
tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya
konservatisme dalam perusahaan tersebut. (3) Net
asset measures. Net asset measures diukur
menggunakan market to book ratio yang
mencerminkan nilai pasar relatif terhadap nilai buku
perusahaan (Beaver dan Ryan, 2000). Rasio yang
bernilai lebih dari 1, mengindikasikan penerapan
akuntansi yang konservatif karena perusahaan
mencatat nilai perusahaan lebih rendah dari pasarnya.
Pengembangan Hipotesis
Peningkatan Praktik Manajemen Laba Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Penelitian untuk menguji apakah terdapat
perbedaan atas terjadinya praktik manajemen laba
setelah diterapkan IFRS di luar negeri sudah banyak
dilakukan. Jeanjean dan Stolowy (2008) meneliti
dampak keharusan mengadopsi IFRS terhadap
manajemen laba dengan mengobservasi 1146
perusahaan dari Australia, Prancis, dan UK mulai
tahun 2005 hingga 2006. Penelitian tersebut
menemukan bukti bahwa manajemen laba di negaranegara tersebut tidak mengalami penurunan setelah
adanya keharusan mengadopsi IFRS, dan bahkan
meningkat untuk Prancis. Chen, et al. (2010) meneliti
pengaruh penerapan IFRS terhadap kualitas akuntansi
di 15 negara anggota Uni Eropa. Chen, etal. (2010)
menemukan bukti bahwa perusahaan di Uni Eropa
yang menerapkan IFRS secara mandatory lebih
banyak
melakukan
perataan
laba
setelah
diterapkannya IFRS dan perusahaan lebih tidak tepat
waktu dalam mengakui kerugian yang nilainya besar.
Begitu juga dengan Ahmed, et al. (2010) yang
membandingkan 20 negara yang mengadopsi IFRS
pada tahun 2005 dengan perusahaan yang berasal dari
negara yang tidak mengadopsi IFRS. Hasilnya,
perusahaan yang berasal dari negara pengadopsi
IFRS menunjukkan praktik perataan laba yang lebih
tinggi dan penurunan pengakuan kerugian dibanding
perusahaan yang berasal dari negara yang tidak
mengadopsi IFRS.
Pengadopsian penuh IFRS di Indonesia
dimulai tahun 2012. Pengadopsian ini merubah
standar akuntansi Indonesia (GAAP) yang semula
mengacu pada rule based (berbasis aturan) menjadi
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
principle based (berbasis prinsip). Pengaturan
berbasis prinsip bertujuan untuk memenuhi tujuan
dari IFRS yaitu meningkatkan kualitas informasi
akuntansi yang terdapat pada laporan keuangan. Teori
regulasi mengutamakan perlindungan bagi para
pengguna laporan keuangan. Diharapkan dengan
adanya satu standar pelaporan yang berkualitas,
mampu menyajikan nilai laba yang sebenarnya untuk
meningkatkan kualitas informasi akuntansi. Nilai
laba yang sebenarnya dapat dilihat dengan
menggunakan konsep fair value sebagai dasar
penilaian. Dalam konsep fair value, penilaian yang
digunakan adalah harga pasar saat transaksi terjadi.
Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif, dapat
digunakan estimasi berdasarkan informasi yang
tersedia untuk menilai aktiva. Pada praktiknya
standar akuntansi berbasis prinsip lebih menekankan
pada sejumlah estimasi yang harus dipertanggung
jawabkan dan mensyaratkan semakin banyak
professional judgment (Qomariah, 2013). Estimasi
inilah yang dapat memicu meningkatnya praktik
manajemen laba setelah penerapan IFRS. Dengan
demikian perubahan standar akuntansi yang semula
berbasis aturan menjadi berbasis prinsip mungkin
menyebabkan keterbandingan laporan keuangan
sedikit menurun jika penggunaan professional
judgment ditumpangi dengan kepentingan untuk
mengatur laba (Narendra, 2013). Hal ini dapat
menyebabkan praktik manajemen laba dalam
perusahaan meningkat setelah penerapan IFRS.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H1 : Terdapat indikasi adanya peningkatan
manajemen laba sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Peningkatan
Relevansi
Nilai
Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Barth et al. (2008) dan Bartov et al. (2005)
melakukan pengujian untuk menguji efek
penggunaan IFRS terhadap kualitas akuntasi dan
relevansi nilai laporan keuangan pada perusahaan
yang berasal dari berbagai negara. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa setelah adopsi IFRS, kualitas
akuntansi mengalami peningkatan ditandai dengan
penurunan praktik manajemen laba dan relevansi
nilai data akuntansi yang mengalami peningkatan.
Suatu informasi dikatakan relevan apabila
informasi tersebut dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan ekonomi para pengguna laporan keuangan.
Sehingga informasi tersebut dapat membantu para
pengguna dalam mengevaluasi kejadian masa lalu,
masa kini atau masa depan. Kualitas informasi
akuntansi yang tinggi diindikasikan dengan adanya
hubungan yang kuat antara harga/return saham
dengan nilai laba serta nilai buku ekuitas, karena
kedua informasi akuntansi tersebut mencerminkan
kondisi ekonomik perusahaan (Barth et al.2008).
PSAK 16 yang mengatur mengenai aset tetap
memiliki perbedaan dasar penilaian sebelum dan
sesudah IFRS. IFRS dengan principles based
standards lebih dapat meningkatkan relevansi nilai
informasi akuntansi melalui penilaian dengan
menggunakan fair value. Hal ini berbeda dengan US
GAAP yang menggunakan historical cost sebagai
dasar penilaian. Historical cost menilai aktiva sebesar
kas yang dikeluarkan untuk memperoleh aktiva atau
harga saat perolehan aktiva tersebut. Penilaian
menggunakan historical cost ini mempunyai
kelebihan lebih objektif dan verifiable namun kurang
relevan untuk mencerminkan kondisi saat ini
(Cahyati, 2011). Sebagai contoh sebuah perusahaan
membeli sebuah tanah seharga Rp 100 juta, bertahuntahun kemudian di dalam nilai buku harga tanah
tersebut sebagai aset akan tetap tertulis Rp 100 juta
jika masih menggunakan konsep historical cost
meskipun di pasaran harganya sudah naik tiga sampai
lima kali lipat. Dengan kondisi pasar yang makin
dinamis dan berkembang cepat, pada akhirnya konsep
historical cost dianggap tidak relevan lagi, karena
tidak mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya.
Sebagai gantinya digunakanlah konsep fair value.
Pengukuran menggunakan fair value lebih
dapat menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik
perusahaan, yang dapat digunakan untuk membantu
investor dalam mengambil keputusan investasi. Laba
per saham dan nilai buku per saham yang merupakan
proksi didalam menentukan relevansi nilai informasi
suatu perusahaan, diharapkan dapat meningkat
setelah IFRS diadopsi. Dengan demikian regulasi
berupa kebijakan standar akuntansi baru (IFRS),
dapat mempengaruhi arti angka keuangan serta
mempengaruhi kualitas akuntansi secara keseluruhan.
Angka keuangan yang relevan digunakan untuk
melindungi investor dari biasnya laporan keuangan
yang dapat menyebabkan kesalahan pengambilan
keputusan investasi.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H2a : Terdapat indikasi adanya peningkatan relevansi
nilai laba per saham sesudah pengadopsian penuh
IFRS.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
H2b : Terdapat indikasi adanya peningkatan relevansi
nilai buku per saham sesudah pengadopsian penuh
IFRS.
Penurunan Tingkat Konservatisme Sesudah
Pengadopsian Penuh IFRS
Givoly dan Hayn (2000) memberi bukti
bahwa praktik konservatisme telah dijalankan sejak
tahun 1950-an, dan ada kecenderungan intensitasnya
semakin meningkat sebelum diterapkannya IFRS.
Penelitian lain yang sejalan dengan prediksi Givoly
dan Hayn adalah penelitian yang dilakukan Piots, et
al. (2010) yang membuktikan adanya perubahan
konservatisme setelah adanya adopsi IFRS.
PSAK yang sebelumnya berkiblat pada US
GAAP, dalam konsep pengakuan dan pengukuran
atas item-item dalam pelaporan keuangan lebih
menekankan prinsip biaya historis yang dikatakan
lebih handal (reliable) karena nilai yang digunakan
berasal dari transaksi yang sudah terealisasi
(Hendriksen, 2000). Dalam US GAAP, pengakuan
pendapatan hendaknya mempertimbangkan prinsip
konservatisme yang mensyaratkan agar tidak
mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih
berupa potensi, di satu sisinya dan mengakui biaya
meskipun masih belum pasti atau masih berupa
potensi, di sisi lainnya. IFRS menolak prinsip
konservatisme akuntansi karena penggunaan fair
value untuk menilai investasi lebih menekankan pada
relevansi, sehingga konservatisme akuntansi tidak
menjadi prinsip yang diatur dalam IFRS. IFRS
memperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan
prudence sebagai pengganti prinsip konservatisme
(Yustina, 2011).
Prudence dalam IFRS, terutama sehubungan
dengan pengakuan pendapatan adalah pendapatan
boleh diakui meskipun masih berupa potensi,
sepanjang
memenuhi
ketentuan
pengakuan
pendapatan (revenue recognition) dalam IFRS
(Yustina, 2011). Perubahan tersebut berimplikasi
pada jika terdapat kenaikan pada harga pasar, maka
perusahaan sudah harus meningkatkan nilai
investasinya, dan sudah mengakui keuntungan. Jika
dilihat dari sisi nilai investasi, penilaian dengan
menggunakan nilai wajar memang sesuai dengan
kondisi saat ini. Tetapi jika dilihat dari sisi
keuntungan yang belum terealisasi, karena belum
terdapat transaksi penjualan, maka prinsip
konservatisme dalam penilaian investasi sudah tidak
berlaku lagi. Piots, et al. (2010) dalam Yustina (2011)
membuktikan adanya perubahan konservatisme
setelah adanya adopsi IFRS. Mereka menemukan
bahwa konservatisme menurun setelah adanya adopsi
IFRS. Menurunnya konservatisme akuntansi
merupakan indikasi dari penggunaan prinsip fair
value dalam IFRS yang lebih menekankan relevansi
dalam laporan keuangan. Hal tersebut ditujukan
untuk melindungi pengguna laporan keuangan dari
bias, yang merupakan tujuan dari teori regulasi.
Dari uraian di atas, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H3 : Terdapat indikasi adanya penurunan tingkat
konservatisme sesudah pengadopsian penuh IFRS.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian
ini merupakan data sekunder berupa laporan
keuangan yang diperoleh dari situs resmi bursa efek
Indonesia
yakni
www.idx.co.id,
www.yahoofinance.com dan ICMD (Indonesia
Capital Market Directory). Data yang digunakan
untuk menguji praktik manajemen laba adalah laba
bersih, arus kas operasi, total aktiva, aset tetap,
piutang usaha dan pendapatan perusahaan. Kemudian
untuk menguji relevansi nilai, data yang digunakan
adalah harga saham, laba per saham, dan nilai buku
per saham perusahaan. Sedangkan untuk menguji
konservatisme, data yang digunakan adalah laba
bersih, persediaan, utang pajak, beban yang masih
harus dibayar, depresiasi, arus kas operasi, beban
dibayar dimuka dan hutang perusahaan selama
periode amatan.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam sampel penelitian ini adalah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI pada
tahun 2010-2011 (sebelum pengadopsian penuh
IFRS) dan pada tahun 2012-2013 (sesudah
pengadopsian penuh IFRS). Metode pengambilan
sampel adalah purposive sampling, dimana populasi
yang akan dijadikan sampel penelitian adalah
populasi memenuhi kriteria sampel tertentu. Kriteriakriteria tersebut adalah sebagai berikut: 1. Selama
periode amatan, perusahaan tidak melaporkan rugi. 2.
Selama periode amatan, perusahaan menerbitkan
laporan keuangan dalam mata uang Rupiah.
Variabel Penelitian
Penelitian ini menganalisis tentang kualitas
informasi akuntansi sebelum dan sesudah
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
pengadopsian penuh IFRS. Kualitas informasi
akuntansi diproksikan dengan tiga variabel yaitu
manajemen laba, relevansi nilai dan konservatisme.
Manajemen
laba
diukur
dengan
menggunakan discretionary accruals yang dihitung
dengan cara menselisihkan total accruals (TACC)
dan nondiscretionary accruals (NDACC). Dalam
menghitung DACC, digunakan Modified Jones
Model. Model ini banyak digunakan dalam penelitian
karena dinilai merupakan model yang paling baik
dalam mendeteksi manajemen laba dan memberikan
hasil paling robust (Sulistyanto, 2008). Untuk
mengukur akrual diskresioner, terlebih dahulu diukur
total akrual dengan rumus berikut :
TACCit= Net Income- Cash Flow from Operation
Total akrual kemudian dirumuskan oleh
Jones yang dimodifikasi oleh Dechow sebagai
berikut:
TACCit/TAit-1 = al(1/TAi,t-1) + a2(ΔREVitΔRECit)/ TAit-1+ a3(PPEit /TAit-1) + e
Keterangan:
TACCit = total accrual perusahaan i pada tahun t
TAi,t-1
= total aset perusahaan pada tahun t1
ΔREVi,t
= perubahan pendapatan perusahaan
i dari tahun t-1 ke tahun t
ΔRECi,t
= perubahan piutang perusahaan i
dari tahun t-1 ke tahun t
PPEi,t
= aset tetap perusahaan i pada tahun
t
e
= error term perusahaan i tahun t
Perhitungan untuk nondiscretionary accrual
menurut model Jones yang dimodifikasi dirumuskan
sebagai berikut:
NDTACCit/TAit-1 = al(l/TAit-l)+ a2(ΔREVit ΔRECit) + a3 PPEit + e
Keterangan:
NDACCi,t
= non discretionary accrual
perusahaan i pada tahun t
TAi,t-1
= total aset perusahaan i pada tahun
t-1
ΔREVi,t
= perubahan pendapatan perusahaan
i dari tahun t-1 ke tahun t
ΔRECi,t
= perubahan piutang perusahaan i
dari tahun t-1 ke tahun t
PPEi,t
= aset tetap perusahaan i pada tahun
t
e
= error term perusahaan i tahun t
Dari
persamaan-persamaan
diatas,
akrual
diskresioner dapat dihitung dengan rumus:
DACCit = TACCit– NDACCit
Keterangan :
DACCi,t
= discretionary accrual perusahaan i
pada tahun t
TACCi,t
= total accuas perusahaan i pada
periode t
NDACCi,t
=
nondiscretionary
accrual
perusahaan i pada tahun t
2.
Pengukuran relevansi nilai menggunakan
explanatory power of regression (Adjusted R2)
sebagai satu metrik untuk mengukur relevansi nilai
laba dan nilai buku. Untuk menguji explanatory
power dari laba dan nilai buku secara terpisah,
penelitian ini mengunakan model berikut Ohlson
(1995):
Pit = α0 + β1LPSit+Ɛit
dan
Pit = α0 + β1NBSit+Ɛit
Keterangan:
Pit
= Harga saham perusahaan i pada tahun t
LPSit = Laba per saham perusahaan i selama tahun
t,yang dihitung dari laba bersih/jumlah saham yang
beredar
NBSit = Nilai buku per saham perusahaan i pada
akhir tahun t, yang dihitung dari total ekuitas/jumlah
saham yang beredar
Ɛit
= Error
Model diatas diestimasi dengan regresi OLS
(Ordinary Least Square) untuk data periode sebelum
dan sesudah adopsi IFRS secara terpisah. Pengujian
relevansi nilai menggunakan nilai Adjusted R2 yang
diperoleh dari hasil estimasi tersebut. Jika nilai
Adjusted R2 lebih besar secara signifikan untuk data
periode setelah adopsi IFRS maka menunjukkan
peningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi hal
ini menunjukkan dukungan terhadap hipotesis 1)
Relevansi nilai laba lebih tinggi sesudah
pengadopsian penuh IFRS dan 2) Relevansi nilai
buku lebih tinggi sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Sebaliknya jika tidak ada perbedaan signifikan atau
justru penurunan dalam Adjusted R2 maka hal ini
tidak menunjukkan peningkatan relevansi nilai
informasi akuntansi sesudah pengadopsian penuh
IFRS (Kusumo dan Subekti, 2012).
Model yang disajikan supaya dapat dianalisis
dan memberikan hasil yang representatif (BLUE-Best
Linier Unbiased Estimation), maka model tersebut
harus memenuhi asumsi dasar klasik yaitu tidak
terjadi gejala multikolinieritas, heteroskedastisitas
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
dan autokorelasi serta memenuhi asumsi kenormalan
residual, sehingga harus melalui pengujian asumsi
klasik (Ghozali, 2005).
3.
Konservatisme diukur dengan menggunakan
Non-Operating Accruals (NOA), dengan berdasarkan
rumus NOA dari penelitian Givoly dan Hayn (2000),
persamaan dari konservatisme sebagai berikut:
Non-operating accruals = Total accruals (before
depreciation) – Operating accruals
Dimana:
1. Total Accrual (before depreciation) = (net income
+ depreciation) – Cash flow from operational.
2. Operating Accrual = Δ Account Receivable +Δ
Inventories + Δ Prepaid expense – Δ Account
Payable - Δ Accrued expense – Δ Tax payable.
Givoly dan Hayn (2000) menyatakan bahwa
apabila akrual bernilai negatif, maka laba
digolongkan konservatif, yang disebabkan karena
laba lebih rendah dari cash flow yang diperoleh oleh
perusahaan pada periode tertentu. Akrual yang
dimaksud adalah perbedaan antara laba bersih
sebelum depresiasi/amortisasi dan arus kas kegiatan
operasi. Semakin besar akrual negatif maka akan
semakin konservatif akuntansi yang diterapkan.
Dengan kata lain, jika suatu perusahaan mengalami
kecenderungan akrual yang negatif selama beberapa
tahun, maka merupakan indikasi diterapkannya
konservatisme dalam perusahaan tersebut.
Pengujian Hipotesis
Sebelum uji hipotesis, data yang akan diteliti
dilakukan uji normalitas terlebih dahulu dengan
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov (K-S) dan
Saphiro Wilk (S-W). Jika data berdistribusi normal
maka pengujian selanjutnya menggunakan metode
statistika parametrik dua sampel berpasangan dengan
Paired Sample T Test. Sebaliknya jika data tidak
berdistribusi normal maka pengujian selanjutnya
menggunakan metode statistika non parametrik dua
sampel berpasangan dengan Wilcoxon Signed Test.
Dalam penelitian ini, Paired-Sample T Test atau
Wilcoxon Signed Test digunakan untuk menguji
apakah terdapat perbedaan tingkat manajemen laba
dan tingkat konservatisme antara periode sebelum
dan sesudah pengadopsian penuh IFRS.
Kemudian untuk menguji apakah terdapat
perbedaan relevansi nilai sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS, maka akan dilakukan
pengujian asumsi klasik terlebih dahulu untuk dapat
mengetahui
apakah
tidak
terjadi
gejala
heteroskedastisitas dan autokorelasi serta memenuhi
asumsi kenormalan residual. Multikolinieritas tidak
dimasukkan dalam pengujian data karena didalam
model untuk menguji perbedaan relevansi nilai hanya
terdapat 1 variabel independent. Setelah itu jika data
sudah memenuhi pengujian asumsi klasik, maka
dilakukan regresi pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS untuk mengetahui
perbandingan besarnya adjusted R2. Dalam penelitian
ini pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
software SPSS versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Diskripsi Objek Penelitian
Jumlah sampel yang digunakan dalam
penelitian sepanjang periode amatan (2010 – 2011
dan 2012 – 2013) adalah 284 sampel. Jadi untuk
setiap tahun sampel yang digunakan adalah 71
sampel. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian
ini menggunakan kriteria-kriteria tertentu (purposive
sampling) sebagaimana dijabarkan dalam Tabel 1.
Statistika
Deskriptif
Manajemen
Laba,
Konservatisme dan Relevansi Nilai
Statistika deskriptif yang digunakan untuk
mencari nilai minimum, nilai maksimum, dan nilai
mean dari data manajemen laba, konservatisme, dan
relevansi nilai pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS dapat dilihat pada Tabel 2,
Tabel 3 dan Tabel 4.
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan
Tingkat Manajemen Laba Pada Periode Sebelum
dan Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS
Hasil
pengujian
hipotesis
pertama
menunjukkan angka signifikansi kurang dari alpha
(0,05) yaitu 0,034. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa terdapat perbedaan tingkat manajemen laba
pada periode sebelum dan sesudah pengadopsian
penuh IFRS. Dari analisis deskriptif dapat diketahui
bahwa nilai mean dari data untuk tingkat manajemen
laba pada periode sebelum pengadopsian penuh IFRS
adalah sebesar-0,000007, sedangkan nilai mean dari
data untuk tingkat manajemen laba pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS adalah sebesar
0,000673. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
indikasi adanya kenaikan tingkat manajemen laba
pada periode sesudah pengadopsian penuh IFRS
dengan kata lain hipotesis pertama (H1) dapat
diterima.
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
Meningkatnya manajemen laba pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS dapat dipicu oleh
beberapa faktor. Pengadopsian ini merubah standar
akuntansi Indonesia yang semula mengacu pada rule
based (berbasis aturan) menjadi principle based
(berbasis prinsip). Pada praktiknya standar akuntansi
berbasis prinsip lebih menekankan pada sejumlah
estimasi yang harus dipertanggungjawabkan dan
mensyaratkan semakin banyak professional judgment
(Qomariah, 2013). Adanya unsur judgment tersebut
memungkinkan adanya peluang bagi manajemen
untuk mengambil tindakan sesuai dengan kehendak
mereka sendiri. Sehingga hal ini dapat memberikan
kesempatan bagi manajemen untuk melakukan
praktik manajemen laba. Berbeda dengan rule based,
sistem akuntansi dapat memperoleh petunjuk
implementasi secara detail sehingga mengurangi
ketidakpastian dan menghasilkan aplikasi aturanaturan spesifik dalam standar secara mekanis. Jadi
tidak diperlukan lagi adanya judgment, sehingga
peluang untuk melakukan manajemen laba menjadi
lebih kecil. Dengan adanya perubahan tersebut
memungkinkan keterbandingan laporan keuangan
sedikit menurun jika penggunaan professional
judgment ditumpangi dengan kepentingan untuk
mengatur laba (Narendra, 2013). Hal ini dapat
menyebabkan praktik manajemen laba dalam
perusahaan meningkat setelah penerapan IFRS.
Disamping itu konsep fair value dalam
menilai aset yang digunakan di Indonesia setelah
menerapkan IFRS, memungkinkan manajemen untuk
memoles laporan keuangan mereka. Sebagai contoh
PSAK 16 tentang aset tetap. Sebelum menerapkan
IFRS (pada saat US GAAP masih diterapkan),
Indonesia menggunakan konsep biaya historis dalam
menilai aset yang dikatakan lebih handal (reliable)
karena nilai yang digunakan berasal dari transaksi
yang sudah terealisasi (Hendriksen, 2000). Namun
setelah Indonesia menerapkan IFRS, konsep yang
digunakan dalam menilai aset tidak lagi
menggunakan konsep biaya historis melainkan
konsep fair value. Dalam konsep fair value, penilaian
yang digunakan adalah harga pasar saat transaksi
terjadi. Namun jika tidak ditemukan harga pasar aktif,
dapat digunakan estimasi berdasarkan informasi yang
tersedia untuk menilai aktiva. Estimasi inilah yang
dapat memicu meningkatnya praktik manajemen laba
setelah penerapan IFRS. Hasil penelitian tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jeanjean dan Stolowy (2008), Chen, et al. (2010) dan
Ahmed, et al. (2010) yang melaporkan bahwa praktik
manajemen laba meningkat setelah diterapkannya
IFRS.
Tingkat Relevansi Nilai Laba dan Nilai Buku Pada
Periode Sebelum dan Sesudah Pengadopsian
Penuh IFRS)
Hasil pengujian hipotesis kedua telah
disajikan dalam tabel 5. Hasil uji ANOVA atau Ftest
dari tabel 5, didapat nilai Fhitung dengan signifikansi
probabilitas sebesar 0,01 (1%). Karena probabilitas
jauh lebih kecil dari 0,05 maka model dapat
digunakan untuk memprediksi harga saham dengan
kata lain variabel laba per saham dan nilai buku per
saham secara parsial berpengaruh terhadap harga
saham. Dari hasil uji analisis regresi pada model 1
untuk sebelum IFRS menunjukkan bahwa terdapat
hubungan cukup kuat antara harga saham dengan laba
persahamdan setelah IFRS menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat kuat antara harga
saham dengan laba per saham. Nilai Adjusted R2
untuk regresi mengindikasikan bahwa laba per saham
dapat menjelaskan sebesar 57,9% dari variasi harga
saham perusahaan sedangkan sisanya sebesar 42,1%
dijelaskan oleh variabel lain untuk sebelum IFRS.
Untuk setelah IFRS nilai Adjusted R2untuk regresi
mengindikasikan bahwa laba per saham dapat
menjelaskan sebesar 79,6% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 20,4%
dijelaskan oleh variabel lain.
Pada model 2 untuk sebelum IFRS
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang lemah
antara harga saham dengan nilai buku per saham dan
setelah IFRS menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang cukup kuat antara harga saham dengan nilai
buku per saham. Nilai Adjusted R2 untuk regresi
mengindikasikan bahwa nilai buku per saham dapat
menjelaskan sebesar 34,6% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 64,4%
dijelaskan oleh variabel lain untuk sebelum IFRS.
Untuk setelah IFRS nilai Adjusted R2 untuk regresi
mengindikasikan bahwa nilai buku per saham dapat
menjelaskan sebesar 51,1% dari variasi harga saham
perusahaan sedangkan sisanya sebesar 48,9%
dijelaskan oleh variabel lain.
Model 1 dan 2 dari penelitian menghasilkan
nilai Adjusted R2 yang lebih tinggi sesudah
pengadopsian
penuh
IFRS.
Berdasarkan
perbandingan tersebut maka setelah menerapkan
IFRS terdapat peningkatan tingkat relevansi nilai laba
dari yang sebelumnya sebesar 0,579 menjadi sebesar
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
0,796, hasil yang berbeda ini signifikan pada level
5%. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat
indikasi adanya peningkatan relevansi nilai laba pada
periode sesudah pengadopsian penuh IFRS, dengan
kata lain hipotesis kedua (H2a) dapat diterima.
Berdasarkan perbandingan tersebut juga
maka setelah menerapkan IFRS terdapat peningkatan
tingkat relevansi nilai buku dari yang sebelumnya
sebesar 0,346 menjadi sebesar 0,511, hasil yang
berbeda ini signifikan pada level 5%. Sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat indikasi adanya
peningkatan relevansi nilai buku pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS, dengan kata lain
hipotesis kedua (H2b) dapat diterima.
Meningkatnya relevansi nilai pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS dapat dipicu oleh
perubahan metode dalam menilai aset yang semula
menggunakan historical cost beralih menjadi fair
value. Historical cost menilai aktiva sebesar kas yang
dikeluarkan untuk memperoleh aktiva atau harga saat
perolehan aktiva tersebut. Penilaian menggunakan
historical cost ini mempunyai kelebihan lebih
objektif dan verifiable namun kurang relevan untuk
mencerminkan kondisi saat ini (Cahyati, 2011).
Berbeda halnya dengan fair value yang lebih dapat
menggambarkan posisi dan kinerja ekonomik
perusahaan dengan menggunakan harga wajar dalam
mencatat aktiva. Cerminan tersebut dapat digunakan
untuk membantu investor dalam mengambil
keputusan investasi.
Sebagai contoh sebuah perusahaan membeli
sebuah tanah seharga Rp 100 juta, bertahun-tahun
kemudian di dalam nilai buku harga tanah tersebut
sebagai aset akan tetap tertulis Rp 100 juta jika masih
menggunakan konsep historical cost meskipun di
pasaran harganya sudah naik tiga sampai lima kali
lipat. Dengan kondisi pasar yang semakin dinamis
dan berkembang cepat, pada akhirnya konsep
historical cost dianggap tidak relevan lagi, karena
tidak mencerminkan nilai pasar yang sebenarnya.
Sebagai gantinya digunakanlah konsep fair value
untuk mencerminkan angka keuangan yang relevan.
Angka keuangan tersebut digunakan untuk
melindungi investor dari biasnya laporan keuangan
yang dapat menimbulkan kesalahan dalam
pengambilan keputusan investasi. Menurut Martani
(2011) IFRS merupakan jalan untuk meningkatkan
investasi melalui transparansi. Sehingga dengan
adanya peningkatan relevansi nilai yang proksikan
melalui laba per saham dan nilai buku per saham
setelah pengadopsian IFRS di Indonesia diharapkan
dapat
mendorong
para
investor
untuk
menginvestasikan modalnya. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Lawrence dan Kercsmar, 1999
yang menyebutkan bahwa laba per saham merupakan
informasi akuntansi yang ada dalam urutan beberapa
informasi yang sering menjadi pertimbangan oleh
investor. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Barth et al. (2008) dan
Bartov et al. (2005) yang melaporkan bahwa
relevansi nilai meningkat setelah diterapkannya
IFRS.
Pengujian Hipotesis III dan Pembahasan (Tingkat
Konservatisme Pada Periode Sebelum dan
Sesudah Pengadopsian Penuh IFRS)
Hasil
pengujian
hipotesis
ketigamenunjukkan angka signifikansi kurang dari
alpha (0,05) yaitu 0,000. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan tingkat
konservatisme pada periode sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS.
Berdasarkan analisis deskriptif dapat dilihat
bahwa nilai mean dari data untuk konservatisme pada
periode sebelum pengadopsian penuh IFRS adalah
sebesar -411740 sedangkan nilai mean dari data untuk
konservatisme pada periode sesudah pengadopsian
penuh IFRS adalah sebesar -967170. Sehingga dapat
dikatakan bahwa terdapat indikasi adanya
peningkatan tingkat konservatisme pada periode
sesudah pengumuman penerapan IFRS dengan kata
lain hipotesis ketiga (H3) ditolak.
Meningkatnya konservatisme pada periode
sesudah pengadopsian penuh IFRS, dapat disebabkan
oleh terdapat sampel penelitian yang belum
mengadopsi standar akuntansi internasional tersebut,
sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini.
Selain itu dimungkinkan terdapat faktor lain
disamping IFRS yang dapat memicu peningkatan
praktik konservatime, yaitu imbas krisis ekonomi
yang terjadi pada tahun 2008. Francis dkk,2013
mengatakan bahwa konservatisme memiliki peran
penting dalam menyediakan informasi berkualitas
tinggi pada investor. Jika perusahaan konsisten
melaporkan angka akuntansi yang konservatif, maka
akan mensinyalkan pada investor bahwa kualitas
informasinya lebih tinggi. Oleh karena itu,
perusahaan dengan praktik akuntansi yang lebih
konservatif akan mengalami penurunan harga saham
yang lebih kecil selama krisis. Konservatisme dapat
mengurangi sindrom “flight-to-quality” (Goh dkk,
The 8th NCFB and Doctoral Colloqium – FAKULTAS BISNIS DAN PASCASARJANA UNIKA WIDYA MANDALA
SURABAYA
ISSN NO: 1978-6522
2009) dalam ( Hartono, 2014), yaitu sebuah fenomena
di pasar uang yang terjadi ketika investor menjual apa
yang mereka anggap sebagai investasi berisiko tinggi
dan membeli investasi yang lebih aman, seperti emas.
Hal ini dianggap sebagai tanda ketakutan di pasar
karena investor mencari risiko yang lebih kecil untuk
keuntungan yang lebih rendah. Investor yang panik
akan menarik diri dari pasar saham sepenuhnya atau
memindahkan uang mereka ke perusahaan yang
mereka anggap berkualitas tinggi. Oleh sebab itu,
meningkatnya praktik konservatisme akuntansi yang
diterapkan oleh perusahaan-perusahaan merupakan
upaya dalam menyediakan informasi berkualitas
tinggi yang digunakan sebagai antisipasi agar para
investor tidak mencabut investasinya jika terdapat
krisis ekonomi yang melanda Indonesia dimasa yang
akan datang.
Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gassen dan Sellhorn (2006),
Zhang (2011) yang menyatakan konservatisme
akuntansi meningkat setelah adanya adopsi IFRS.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah
dijelaskan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan
bahwa kualitas akuntansi sebelum dan sesudah
pengadopsian penuh IFRS menunjukkan adanya
perbedaan. Perbedaan tersebut ditunjukkan dengan
adanya peningkatan ma