T1 802007081 Full text

6

PENDAHULUAN
Kompetensi

sosial

menjadi

bagian

penting

dalam

perkembangan manusia, yang mana diperlukan individu untuk
dapat berfungsi dalam kehidupan sosial dengan tepat. Individu
dengan kompetensi sosial yang baik akan mampu berkembang
sesuai dengan tugas perkembangan manusia dengan baik (Tariq,
2011). Perkembangan
beberapa


faktor.

kompetensi

sosial

Bronfenbrenner

dipengaruhi

(dalam

Junttila,

oleh
2010)

menyatakan faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
faktor internal dan faktor eksternal.

Tempat

tinggal

sebagai

salah

satu

faktor

dalam

perkembangan kompetensi sosial pada remaja merupakan faktor
yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Tempat tinggal remaja
dalam penelitian ini merupakan siswa Sekolah Menengah Atas
(SMA) Sedes Sapientiae Bedono yang tinggal di asrama maupun
siswa yang tinggal di rumah. Sekolah Menengah Atas Sedes
Sapientiae Bedono merupakan salah satu sekolah berasrama di

Jawa Tengah. Tujuan dari pendidikan Asrama di SMA Sedes
Sapientiae Bedono adalah untuk mendidik dan mendampingi
siswa agar dapat hidup mandiri, berkembang dalam hidup social
kemasyarakatan

dan

menggereja.

Selain

itu,

untuk

mengembangkan potensi dalam diri siswa secara optimal serta
membimbing siswa ke arah kedewasaan manusiawi dan
kepribadian integral. (“Visi dan Misi SMA Sedes Sapientiae
Bedono”, 2011).


7

Dari tujuan pendidikan asrama di atas, jelas terlihat bahwa
siswa yang tinggal di asrama diharapkan mampu tumbuh dan
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik dalam segala aspek
kehidupan. Hal ini senada dengan yang disampaikan Suster
Kepala Asrama Sedes (wawancara pada, 7 Oktober 2011) bahwa
siswa yang tinggal di asrama jelas diharapkan untuk dapat
berkembang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari
pendidikan asrama.
Widiastono (dalam Wijaya, 2007) menyatakan bahwa siswa
asrama memiliki tuntutan yang lebih tinggi. Tuntutuan ini
meliputi untuk mampu hidup mandiri, dan bertanggung jawab
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Tuntutan kehidupan
di atas bukanlah bertujuan memberatkan siswa, namun bertujuan
untuk membentuk diri siswa yang lebih baik. Selain itu, siswa
yang tinggal di asrama juga harus mampu membangun hubungan
yang baik dengan teman dan juga para penghuni asrama lainnya.
Tuntutan kemandirian yang tinggi bagi siswa asrama
terkadang dapat memberikan dampak yang kurang baik kepada

siswa, termasuk dalam perkembangan kompetensi sosial. Hal ini
sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Adiguna (2006), yang
mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang negatif
antara kemandirian dengan kompetensi sosial remaja, di mana
remaja dengan tingkat kemandirian yang tinggi maka tingkat
kompetensi sosialnya akan rendah. Hal ini terjadi karena dengan
tuntutan untuk hidup mandiri pada siswa, maka siswa tersebut

8

akan lebih fokus pada dirinya sendiri dan interaksi sosial yang
dilakukan dengan orang lain sangatlah minim.
Berbeda dengan siswa yang tinggal di asrama, siswa SMA
Sedes Sapientiae Bedono yang tinggal di rumah merupakan siswa
yang mayoritas tinggal di lingkungan desa (Data Kesiswaan SMA
Sedes Sapientiae Bedono 2011/2012). Dalam penelitian yang
dilakukan

oleh


Wahyuningtyas

(2006),

yang

bertujuan

mengetahui perbedaan kompetensi sosial remaja yang tinggal di
desa dan di kota, mendapatkan hasil bahwa remaja dalam hal ini
siswa SMA yang tinggal di desa lebih memiliki kompetensi sosial
yang tinggi dibandingkan dengan siswa SMA yang tinggal di
kota. Hal ini karena remaja yang tinggal di desa, lebih memiliki
hubungan sosial yang baik dan terarah. Selain itu, mereka saling
mengenal antara satu dengan yang lain, hidup dengan penuh rasa
tolong menolong dan juga sikap kekeluargaan yang tinggi.
Siswa yang tinggal di rumah juga tinggal bersama dengan
keluarga mereka. Semrud-Clikeman (2007) menyatakan bahwa
keluarga merupakan elemen penting dalam kehidupan anak.
Namun perlu diingat bahwa di dalam keluarga terdapat banyak

hal yang dapat mempengaruhi perkembangan anak terutama
kompetensi sosial, salah satunya adalah pola asuh orang tua.
Riskinanti (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi pola asuh
otoriter orang tua maka akan semakin rendah kompetensi sosial
remaja. Pola asuh seperti di atas dimungkinkan ada pada orang
tua siswa yang tinggal di rumah.

9

Hasil

penelitian

yang

dilakukan

Fransisca

(2004)


memperkuat paparan di atas, di mana persepsi anak tentang
suasana keluarga memiliki peranan dalam mengembangkan
kompetensi sosial anak. Persepsi anak yang positif tentang
suasana

keluarga

membuat

anak

mampu

belajar

untuk

berinteraksi dengan teman-teman sebayanya secara lebih baik dan
dapat bertingkah laku positif sesuai dengan tuntutan sosialnya. Di

sisi lain, apabila persepsi anak terhadap suasana keluarga negatif,
maka hal itu akan menyulitkan anak dalam mengembangkan
kompetensi sosialnya.
Soekanto (1996) menyatakan bahwa remaja memiliki
kecenderungan yang besar untuk melakukan tindakan-tindakan
yang kurang baik ketika bersama dengan teman sebayanya. Hal
ini dapat terjadi jika orang tua kurang menjalin hubungan yang
dekat dengan anak, sehingga orang tua kurang mengetahui
perkembangan dan juga pergaulan anak secara jelas. Larson,
Whitton & Hauser (2007) menyatakan bahwa pergaulan dengan
teman sebaya juga turut memengaruhi perkembangan sosial
remaja. Remaja dengan pergaulan yang positif dan saling
mendukung, akan memiliki perkembangan kompetensi sosial
yang baik. Namun jika pergaulan tersebut lebih ke arah yang
negatif, maka remaja akan cenderung memiliki kompetensi sosial
yang rendah.
Berdasarkan paparan mengenai fenomena di atas, maka
penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai kompetensi

10


sosial siswa Sekolah Menengah Atas Sedes Sapientiae Bedono
yang tinggal di asrama dengan di rumah, yaitu dengan rumusan
masalah “apakah terdapat perbedaan kompetensi sosial pada
siswa Sekolah Menengah Atas Sedes Sapientiae Bedono yang
tinggal di asrama dengan di rumah?”.

LANDASAN TEORI
Kompetensi Sosial
Griffin & Epstein (2001) memberikan definisi kompetensi
sosial sebagai kemampuan dalam diri individu untuk dapat
bertindak sesuai dengan nilai-nilai dalam dirinya dan juga
kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan sosial secara tepat.
Sedangkan Caldarella & Merrel (1997) memberikan pengertian
kompetensi sosial sebagai kemampuan yang nampak pada
perilaku individu dalam mengorganisasikan diri secara tepat
untuk dapat melakukan interaksi sosial secara efektif dengan
kondisi lingkungan di mana individu tersebut berada. Sedangkan
Siswa Yang Tinggal Di Asrama
Asrama SMA Sedes Sapientiae Bedono bukan hanya

berfungsi sebagai tempat tinggal, namun juga sebagai sarana
pelatihan hidup bersama siswa yang belajar di SMA Sedes
Sapientiae Bedono selama siswa bersekolah. Hal ini sesuai
dengan tujuan dari pendidikan berasrama, yaitu membimbing,
mendidik dan mendampingi siswa agar kemampuan yang
dimilikinya

berkembang

secara

optimal,

mampu

hidup

11

menggereja dan bermasyarakat, menjadi mandiri serta mampu
menciptakan persaudaraan sejati (“Profile dan Sejarah SMA
Sedes Sapientiae”, 2011).
Dalam rangka mencapai tujuan dari asrama SMA Sedes
Sapientiae Bedono tersebut, para siswa yang tinggal di asrama
dihadapkan dengan peraturan-peraturan dan kegiatan-kegiatan
yang berguna bagi pengembangan diri siswa. Peraturan yang ada
di asrama ini antara lain adalah setiap siswa wajib meningkatkan
semangat kekeluargaan, kerja sama dan semangat berkorban.
Setiap siswa juga diwajibkan untuk membangun budaya terima
kasih atas pemberian orang dan juga ramah terhadap setiap orang.
Selain itu, setiap siswa siswa juga diharuskan untuk mengerjakan
sendiri kegiatan yang berkaitan dengan tugas pribadi mereka,
semisal mencuci pakaian sendiri dan membersihkan kamar tidur
(“Info Asrama dan Aturan Asrama”, 2011).
Siswa Yang Tinggal Di Rumah
Siswa SMA Sedes Sapientiae yang tinggal di rumah, hidup
bersama dengan keluarga mereka. Hurlock (1980) menyatakan
bahwa hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya
psikologis pada setiap usia, terlebih selama usia remaja, karena
pada masa ini remaja sangat tidak percaya pada dirinya sendiri
dan bergantung pada keluarga untuk memperoleh rasa aman. Hal
yang lebih penting lagi adalah remaja memerlukan bimbingan
dan bantuan dalam menguasai tugas perkembangan masa remaja.
Selain itu, remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga

12

dapat mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang di
luar rumah.
Dalam keluarga terdapat orang tua sebagai sosok figur
penting

bagi

anak.

Berzonsky

(dalam

Murdani,

2006)

menyatakan bahwa orang tua mempunyai pengaruh yang cukup
besar dalam proses sosialisasi remaja, ini berkaitan dengan pola
asuh dari orang tua terhadap anaknya. Santrock (2007)
menyatakan

bahwa

pola

asuh

yang

otoriter

memiliki

kecenderungan yang kurang baik bagi perkembangan remaja,
karena dalam pola asuh ini orang tua mengontrol perilaku remaja
dan

tidak

memberikan

peluang

kepada

anak

untuk

mengekspresikan pendapat.
Perbedaan Kompetensi Sosial Siswa Yang Tinggal di Asrama
dengan di Rumah.
Maknun (2006) menyatakan bahwa salah satu keunggulan
asrama adalah siswa yang heterogen. Hal ini juga nampak pada
keberagaman siswa yang tinggal di asrama SMA Sedes
Sapientiae Bedono. Latar belakang siswa asrama yang berbedabeda, baik dari segi asal daerah, sosial-ekonomi-budaya maupun
tingkat kecerdasan dari siswa menjadikan siswa yang tinggal di
asrama harus mampu melakukan penyesuaian diri yang tepat.
Salah satu siswa asrama SMA Sedes Sapientiae Bedono
menyatakan bahwa pada awal tinggal di asrama memang ada
sikap enggan untuk berkenalan ataupun menyapa teman asrama
yang lain. Namun, setelah tinggal beberapa lama di asrama,

13

akhirnya mereka dapat menjadi seperti keluarga, yang mana
mereka kini lebih dapat menghargai orang lain, bersikap sopan
dan juga saling membantu dalam belajar maupun kegiatan
lainnya (wawancara 17 Maret 2012). Hal di atas merupakan
gambaran dari dimensi Interpersonal Skills pada siswa yang
tinggal di asrama.
Sedangkan bagi para siswa SMA Sedes Sapientiae Bedono
yang tinggal di rumah, dimensi Interpersonal Skills terbentuk dari
tempat tinggal mereka dengan lingkungan yang relatif sama,
yaitu pedesaan. Hastuti & Sudarwati (2007) menyatakan bahwa
desa memiliki karakteristik yang khusus dalam hubungan sosial,
yang terkenal diantaranya adalah tolong menolong, ramah, dan
gotong royong. Selain itu, perkembangan remaja pedesaan
identik dengan kehidupan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai
agama dan budaya lokal yang kuat, misalnya dalam hal
berpakaian yang relatif sederhana, pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang tergolong masih pada batasan yang wajar.
Penelitian dari Wahyuningtyas (2006) mendapatkan hasil
bahwa kompetensi sosial siswa yang tinggal di desa lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kompetensi sosial siswa di kota.
Kompetensi siswa yang tinggal di desa lebih tinggi dikarenakan
siswa yang tinggal di lingkungan desa lebih memiliki hubungan
sosial yang baik dan terarah, dan juga mereka saling mengenal
diantara satu dengan yang lain, hidup dengan penuh rasa tolong
menolong atas dasar kekeluargaan. Sedangkan siswa yang tinggal

14

di kota memiliki hubungan yang kurang terarah, hubungan
sosialnya dapat dikatakan renggang, acuh dan individual yang
pada akhirnya timbul sikap pembatasan diri di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dimensi Self Management pada siswa yang tinggal di
asrama dapat terbentuk dengan adanya tata cara kehidupan
berasrama. Asrama SMA Sedes Sapientiae menerapkan peraturan
yang ketat bagi para penghuninya. Siswa asrama SMA Sedes
Sapientiae Bedono, setiap harinya dihadapkan dengan jadwal
kegiatan harian yang relatif padat dan tersusun rapi. Kegiatan
harian tersebut dimulai dari pukul 04.30 sampai dengan pukul
22.00. Peraturan dan kegiatan ini ada bukan ditujukan untuk
memberikan tekanan bagi para penghuninya, namun diharapkan
dapat membuat siswanya mampu mengembangkan sikap disiplin,
menghargai waktu dan juga sikap yang bertanggung jawab. Pola
kehidupan yang seperti ini akan menjadikan siswa yang tinggal di
asrama terbiasa untuk hidup sesuai dengan kondisi di lingkungan
tempat ia tinggal (“Info Asrama dan Aturan Asrama”, 2011).
Siswa yang tinggal di asrama diharapkan juga mampu
untuk hidup mandiri dalam segala hal, ini dimaksudkan agar
siswa mampu hidup dan terbiasa dengan kemampuan yang
dimilikinya. Namun adanya dorongan hidup mandiri bagi siswa
bertentangan

dengan

perkembangan

kompetensi

sosial.

Sebagaimana terlihat dari hasil penelitian Adiguna (2008) yang
mendapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang negatif

15

antara kemandirian dengan kompetensi sosial remaja. Remaja
dengan tingkat kemandirian yang tinggi akan memiliki tingkat
kompetensi sosial yang rendah. Hal ini karena dengan semakin
mandiri seseorang, maka orang tersebut akan lebih menyukai
bekerja sendiri, kurang menghargai orang lain, dan juga bersikap
acuh dengan kondisi orang lain.
Sedangkan pada siswa yang tinggal di rumah dimensi Self
Management terbentuk dari beberapa hal berikut ini; Lingkungan
keluarga sebagai elemen utama bagi siswa yang tinggal di rumah
memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan
kompetensi sosial siswa (Kwafeen, 2010). Di dalam keluarga,
terdapat orang tua yang menjadi sosok yang turut membantu
perkembangan anak. Orang tua memiliki dan mengembangkan
pola-pola tertentu dalam mengasuh anaknya. Salah satu pola
asuh yang mungkin ditemui pada orang tua siswa yang tinggal di
rumah adalah pola asuh otoriter. Riskinanti, (2002) menyatakan
bahwa dalam pola asuh otoriter yang tinggi, maka akan
menjadikan semakin rendah kompetensi sosial seorang anak. Hal
ini karena orang tua selalu memaksakan kehendaknya tanpa
memperhatikan kondisi dari anak mereka.
Lebih lanjut, McDowell & Parke (dalam Semrud-Clikeman,
2007) menyatakan bahwa jenis kelamin dari orang tua yang lebih
dekat dengan anak juga turut memengaruhi perkembangan
kompetensi sosial anak. Sosok ayah yang lebih dekat dengan
anak, ternyata memiliki pengaruh yang kurang baik bagi

16

perkembangan kompetensi sosial anak, ini berlainan dengan
sosok ibu yang ternyata memiliki pengaruh lebih baik terhadap
kompetensi sosial anaknya. Kondisi keluarga juga dapat
memengaruhi perkembangan kompetensi sosial seseorang kearah
yang baik maupun buruk. Fransisca (2004) menyatakan bahwa
persepsi anak tentang suasana keluarga memiliki peranan dalam
mengembangkan kompetensi sosial anak. Pesepsi anak yang baik
tentang suasana keluarga akan dapat membantu mengembangkan
kompetensi sosial anak tersebut, ini karena keluarga merupakan
fondasi awal anak dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Dimesi Academic Behavior dapat terbentuk salah satunya
dalam proses kegiatan belajar siswa dan kegiatan yang diikutinya.
Asrama SMA Sedes Sapientiae Bedono menyediakan kegiatankegiatan pengembangan diri bagi siswa yang tinggal di asrama.
Kegiatan ini terdiri dari kegiatan yang bersifat wajib dan pilihan,
serta dilakukan pada saat jam bebas atau jam rekreasi.
Penggunaan jam bebas dimaksudkan untuk mengarahkan siswa
asrama pada kegiatan-kegiatan yang lebih bermanfaat dan
membantu pengembangan potensi yang dimiliki siswa. Samter
(dalam Semrud-Clikeman, 2007) menyatakan bahwa siswa yang
terlibat dalam banyak kegiatan dan juga melibatkan interaksi
dengan banyak orang, akan mengembangkan kemampuan untuk
dapat melakukan interaksi dengan baik, seperti kemampuan
menghargai orang lain dan juga kemampuan mengelola konflik.

17

Sedangkan bagi siswa yang tinggal di rumah, mereka relatif
kurang memiliki aturan yang ketat dalam belajar maupun
aktivitas lainnya. Ini memungkinkan siswa yang tinggal di rumah
menjadi kurang teratur dalam kegiatan belajar maupun menjadi
enggan mengikuti kegiatan-kegiatan. Tanpa adanya aturan yang
mengikat di kesehariannya, memungkinkan siswa yang tinggal di
rumah menghabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan yang
kurang terarah, dan cenderung pada kegiatan untuk bersenangsenang (Hasil wawancara, 2012). Hal di atas terbukti dengan
hasil ujian semester, yang mendapatkan hasil bahwa pada
peringkat tertinggi di kelas lebih banyak pada siswa yang tinggal
di asrama (wawancara dengan guru bidang akademik, 2012).
Perlu diketahui bahwa kompetensi sosial juga memiliki pengaruh
dalam prestasi belajar seseorang. Seseorang dengan kompetensi
sosial yang baik cenderung memiliki prestasi belajar yang
memuaskan (Mpofu & Thomas, 2004).
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan yang
signifikan pada kompetensi sosial siswa Sekolah Menengah Atas
Sedes Sapientiae Bedono yang tinggal di asrama dengan di
rumah”.

METODE PENELITIAN
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kompetensi
sosial dan variabel bebas adalah tempat tinggal siswa.

18

Kompetensi sosial merupakan kemampuan yang nampak pada
perilaku individu dalam mengorganisasikan diri secara tepat
untuk dapat melakukan interaksi sosial secara efektif dengan
kondisi lingkungan di mana individu tersebut berada (Caldarella
& Merrel, 1997). Sedangkan yang dimaksud tempat tinggal
dalam penelitian ini adalah asrama dan rumah. Pengukuran
kompetensi sosial dalam penelitian ini menggunakan skala
kompetensi sosial yang penulis susun dari School Social Behavior
Scale (SSBS), yaitu dengan 3 dimensi kompetensi sosial :
Interpersonal Skills, Self Management, Academic Behavior.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok
sampel,

yaitu

kelompok

sampel

pertama

(kelompok

1)

merupakan siswa yang tinggal di asrama dengan jumlah 121.
Sedangkan sampel kedua (kelompok 2) merupakan siswa yang
tinggal di rumah dengan jumlah 57. Namun setelah melakukan
pengambilan data, terdapat beberapa subjek yang gugur atau
tidak memenuhi kriteria untuk dilakukan pengolahan data.
Jumlah subjek yang dapat dilakukan pengolahan data berjumlah
153 siswa, yang terbagi dalam dua kelompok sampel. Kelompok
pertama berjumlah 104 siswa dan kelompok kedua berjumlah 49
siswa.
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan satu
skala psikologi, yaitu skala kompetensi sosial. Skala ini bertujuan
untuk mengungkap perbedaan kompetensi sosial siswa SMA
Sedes Sapientiae Bedono yang tinggal di asrama dengan di

19

rumah. Dalam penelitian ini, pengambilan data menggunakan
metode try out terpakai.
Penulis memodifikasi skala kompetensi sosial yang semula
berjumlah 32 item favorable, menjadi 64 item dengan 47 item
favorable dan 17 item unfavorable. Proses modifikasi skala
kompetensi

sosial

memperhatikan

meliputi

konteks

penerjemahan

budaya

dan

bahasa

dengan

lingkungan

tempat

penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias yang
mungkin terjadi bila hanya dilakukan penerjemahan murni. Selain
itu, penambahan item dimaksudkan untuk mengukur beberapa hal
yang terkait dengan kompetensi sosial, namun belum terdapat di
dalam skala kompetensi sosial yang asli. Kemudian penulis
memilih jumlah skala dengan rentang empat (1-4) untuk
menghindari jawaban yang “aman” atau pilihan karena ragu-ragu.
Respon subjek diberi bobot sebagai berikut; untuk jenis
pernyataan favorable : Skor 4 untuk jawaban Sangat Sesuai (SS),
Skor 3 untuk jawaban Sesuai (S), Skor 2 untuk jawaban Tidak
Sesuai (TS), Skor 1 untuk jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS).
Sedangkan untuk jenis pernyataan unfavourable : Skor 1 untuk
jawaban Sangat Sesuai (SS), Skor 2 untuk jawaban Sesuai (S),
Skor 3 untuk jawaban Tidak Sesuai (TS), Skor 4 untuk jawaban
Sangat Tidak Sesuai (STS).

20

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Uji Seleksi Item Dan Reliabilitas Skala Kompetensi Sosial
Seleksi item dilakukan dengan menggunakan batas kriteria
koefisien korelasi total 0,275 (Widhiarso, 2010). Hasil seleksi
item mendapatkan hasil bahwa terdapat 19 item yang koefisien
korelasinya dibawah 0,275 dan dinyatakan gugur. Sehingga item
yang tersisa adalah 45 item. Pengujian reliabilitas terhadap itemitem yang telah diseleksi dilakukan dengan menggunakan metode
alpha cronbach. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh tingkat
reliabilitas skala kompetensi sosial adalah 0,901.
Deskripsi Hasil Pengukuran Variabel Penelitian
Hasil perhitungan statistik pada penelitian ini menghasilkan
data bahwa kelompok sampel 1 (siswa yang tinggal di asrama)
memiliki mean: 136.57, nilai minimum: 110, dan nilai
maksimum: 171. Sedangkan untuk kelompok sampel 2 (siswa
yang tinggal di rumah) memiliki mean: 137.31, nilai minimum:
113, dan nilai maksimum: 166.
Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengukur data yang
dihasilkan memiliki distribusi normal atau tidak. Uji normalitas
menggunakan

uji

Kolmogorov

Smirnov

dengan

kriteria

pengambilan keputusan yaitu, jika signifikansi p>0,05 maka data
berdistribusi normal dan jika signifikansi p0,05) dan siswa yang tinggal di rumah

21

0,526 (p>0,05). Sehingga kedua kelompok data memiliki
distribusi data yang normal.
Uji Homogenitas
Uji homogenitas dengan menggunakan teknik Levene’s
Test. Uji homogenitas bertujuan untuk menentukan asumsi yang
berlaku dalam penggunaan uji beda (uji-t), yaitu apakah data
yang digunakan memiliki varians yang sama atau tidak. Dari hasil
uji homogenitas diketahui bahwa nilai signifikansi yang diperoleh
sebesar 0,004 (p0,05), yang berarti
bahwa hipotesis penelitian ditolak atau dengan kata lain tidak
terdapat perbedaan yang signifikan kompetensi sosial siswa yang
tinggal di asrama dengan di rumah.
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisa data mengenai perbedaan
kompetensi sosial siswa yang tinggal di asrama dengan di rumah,
diperoleh skor Z sebesar -0.436 dengan taraf signifikansi 0,663

22

(p>0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang diajukan
pada penelitian ini ditolak atau tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada kompetensi sosial siswa SMA Sedes Sapientiae
Bedono yang tinggal di asrama dengan di rumah.
Terdapat beberapa faktor lain yang sekiranya memengaruhi
hasil penelitian ini. Faktor tersebut adalah keterlibatan siswa
dalam kegiatan ekstrakurikuler yang ada di SMA Sedes
Sapientiae

Bedono.

Shernoff

(2010)

menyatakan

bahwa

keterlibatan siswa dalam kegiatan ektrakurikuler mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap kompetensi sosial. Siswa yang
terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler akan lebih banyak
berinteraksi dengan banyak orang. Sehingga siswa tersebut akan
mengembangkan

cara-cara

yang

tepat

untuk

melakukan

hubungan yang baik dengan orang di sekitarnya. Selain itu, siswa
yang mengikuti ekstrakurikuler juga akan merasa lebih senang
dan percaya diri dalam menjalani kegiatan-kegiatan yang ada di
sekolah.
Kegiatan rohani (seperti doa, retret dan rekoleksi)
merupakan suatu hal yang wajib dilakukan dan diikuti siswa
SMA Sedes Sapientiae Bedono. Selain itu, terdapat pula kegiatan
latihan kepemimpinan dan live in bagi siswa. Kegiatan-kegiatan
di atas bertujuan untuk mendukung visi dari sekolah ini, yaitu
menjadikan peserta didik yang cerdas dan berkepribadian utuh,
yang meliputi emosional, intelektual, religius, sosial dan fisik.
Adanya kegiatan di atas memungkinkan kecerdasan emosional

23

siswa SMA Sedes Sapientiae Bedono berkembang dengan baik.
Marquez, Martin & Brackett (2006) menyatakan bahwa siswa
dengan kecerdasan emosional yang tinggi cenderung menjauhi
perilaku yang buruk dan memiliki perilaku prososial serta hasil
belajar yang baik. Sehingga tingkat kecerdasan emosional
seseorang memiliki pengaruh yang kuat terhadap kompetensi
sosial individu tersebut.
Sedangkan bagi siswa yang tinggal di rumah, siswa tersebut
tinggal bersama orang tua mereka. Bell, Avery & Jenkis (1985)
menyatakan bahwa hubungan yang baik antara remaja dengan
keluarga memiliki pengaruh kuat dalam kompetensi sosial remaja
tersebut. Adanya hubungan yang baik antara orang tua dengan
anak, maka akan membantu anak berkembang dengan baik dalam
kompetensi sosialnya. Hal senada disampaikan oleh Priamikova
(2010) bahwa orang tua merupakan faktor penting yang
memengaruhi perkembangan kompetensi sosial anak. Orang tua
yang mampu menjalin hubungan harmonis dengan anak, serta
memberikan perhatian terhadap perkembangan sosial anak, maka
dapat membantu anak dalam membangun interaksi sosialnya.
Faktor lain yang menyebabkan tidak adanya perbedaan
kompetensi sosial antara siswa yang tinggal di asrama dengan
siswa yang tinggal di rumah adalah mengenai hubungan yang
dekat dan akrab antara guru dengan siswa SMA Sedes Sapientiae
Bedono. Hubungan yang dekat ini bukan hanya terjalin dalam
suasana pembelajaran di dalam kelas, tapi juga di luar kelas. Guru

24

bidang akademik SMA Sedes Sapientiae Bedono mengakui
bahwa guru dan karyawan memang didorong untuk dapat
menjalin hubungan yang dekat dengan siswa. Rimm-Kaufman &
Yu-Jen (2007) menyatakan bahwa suasana yang akrab antara
guru dengan siswa selama proses pendidikan di sekolah turut
membantu perkembangan kompetensi sosial. Hal ini karena
suasana yang akrab, akan menjadikan siswa merasa nyaman,
lebih antusias dalam mengikuti kegiatan di sekolah dan juga
berperilaku lebih sopan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka
dapat disimpulkan bahwa :
1.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kompetensi
sosial siswa SMA Sedes Sapientiae Bedono yang tinggal di
asrama dengan di rumah.

2.

Kompetensi sosial siswa yang tinggal di asrama berada
pada kategori rendah (1,92%), tinggi (75%) dan sangat
tinggi (23,08%) . Sedangkan kompetensi sosial siswa yang
tinggal rumah berada di kategori tinggi (85,71%) dan
sangat tinggi (14,29%).

Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengajukan
beberapa saran, yaitu :
1.

Bagi pihak sekolah

25

Perlu menjaga dan meningkatkan kualitas dari kegiatankegiatan yang ada di sekolah, baik kegiatan yang berkaitan
dengan

belajar mengajar maupun pengembangan diri,

terutama kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan
kompetensi sosial siswa. Seperti mengoptimalkan kegiatan
ekstrakurikuler bagi semua siswa. Selain itu, pihak sekolah
juga lebih mengoptimalkan peran dari guru Bimbingan
Konseling bagi pendampingan siswa yang dirasa masih
terlihat mengalami permasalahan dalam belajar maupun
permasalahan lainnya.
2.

Bagi pihak asrama
Perlunya menjaga dan meningkatkan kualitas dari kegiatan
di asrama bagi pengembangan diri siswa, seperti dengan
mengoptimalkan pelaksanaan jadwal kegiatan yang sudah
ada, yaitu dengan mendorong siswa untuk lebih aktif
mengikuti kegiatan yang sudah dijadwalkan. Pendamping
asrama hendaknya dapat berperan secara maksimal dalam
mendampingi siswa selama hidup di asrama, sehingga
siswa akan lebih merasakan nuansa kekeluargaan. Selain
itu, adanya program keluarga angkat hendaknya dapat lebih
ditingkatkan kualitasnya dan juga jumlah dari orang tua
angkat.

3.

Bagi orang tua siswa
Orang tua hendaknya tetap menjaga dan menjalin hubungan
yang lebih dekat dengan anak, sehingga komunikasi antara

26

orang tua dengan anak akan lebih terbuka dan anak dapat
terbantu dalam perkembangan akademik maupun nonakademik. Selain itu, orang tua hendaknya lebih memantau
pergaulan anak dan mendorong anak dalam pergaulan yang
lebih positif.
4.

Bagi siswa (subjek)
Siswa hendaknya lebih memahami pentingnya kompetensi
sosial. Selain itu, bagi siswa yang tinggal di asrama
hendaknya dapat mempertahankan interaksi sosial yang
telah dijalin dengan siswa yang tinggal di rumah dan juga
dengan masyarakat di sekitar asrama.
Sedangkan untuk siswa yang tinggal di rumah, hendaknya
mereka dapat menjaga kualitas kehidupan sosial mereka,
yaitu dengan tetap menjaga ciri khas pergaulan yang ada
pada masyarakat desa dalam interaksi sosialnya. Sehingga
siswa tersebut dapat mengindari dampak negatif dari
perkembangan pergaulan di lingkungannya.

5.

Bagi peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya yang tertarik meneliti mengenai
kompetensi sosial, dapat melakukan penelitian dengan
meninjau faktor-faktor lain, seperti pengaruh keluarga, jenis
kelamin.

27

DAFTAR PUSTAKA
Adiguna, M.(2008).Hubungan Kemandirian terhadap kompetensi
sosial siswa. Skripsi. Diakses 19 November 2011, dari
www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=gdlhub...adigunawid.
Bell, N., Avery, A., & Jenkins, D. (1985). Family relationships
and social competence during late adolescence. Journal of
youth and adolescence, 14 (2).
Caldarella, P., & Merrel, K. W. (1997). Common dimensions of
social skills of children and adolescents : a taxonomy of
positive behaviors. School Psychology Review, 26 (2), 264278.
Data Kesiswaan SMA Sedes Sapientiae Bedono 2011/2012.
Fransisca, J. (2004). Hubungan antara persepsi suasana keluarga
dengan kompetensi sosial pada anak pra-remaja. Abstrak.
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya Jakarta. Diakses 5
April 2012, dari lib.atmajaya.ac.id.
Griffin, K. W., & Epstein, J. A. (2001). Social competence and
substance use among rural youth: Mediating role of social
benefit expectancies of use. Journal of Youth and
Adolescence, 30(4).
Hastuti & Sudarwati. (2007). Gaya hidup remaja pedesaan (studi
di desa sukaraya). Jurnal harmoni sosial, vol 1 (2).
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan suatu
pendekatan sepanjang rentang kehidupan, ed. IV. Jakarta:
Erlangga.
Info Asrama dan Aturan Asrama. Diakses 8 November 2011, dari
http://www.sedesbedono.sch.id/profile.php?kat=a_aturan&
ur=mn.

28

Juntilla, N. (2010). Social competence and loneliness during the
school years. Thesis, B, 325. Diakses 15 November 2011,
dari the center for learning research and the department of
teacher education university of turku, Finland.
Kfaween, E. M. (2010). Social competence among the students of
the university and relation to demographic factors.
European Journal of Social Sciences,Vol.16 (1).
Larson, J., Whitton, S. & Hauser, S. (2007). Being close and
being social: Peer ratings of distinct aspects of young adult
social competence. Journal of personality assessment,
89(2), 136-148.
Maknun, J. (2006). Pengembangan Sekolah menengah kejuruan
boarding school berbasis keunggulan lokal. File pdf di
unduh dari fil.upi.edu.
Marquez, P. G., Martin, R. P., & Brackett, M. A. (2006). Relating
emtional intelligence to social competence and academic
achievement in high school students. Psicothema, 18, 118123.
Mpofu, E., & Thomas, K. R. (2004). Social competence in
zimbabwean multicultural schools: effects of ethnic and
gender differences. International Journal of Psychology, 39
(3), 169-178.
Murdani, M. (2006). Kecerdasan, motivasi dan konsep diri
merupakan faktor psikologis penyesuaian diri siswa sekolah
luar biasa. Jurnal pendidikan dan pengajaran IKIP Negeri
Singaraja, 4.
Octyavera, R. M. (2009). Hubungan kualitas kehidupan sekolah
dengan penyesuaian sosial pada siswa SMA International
Islamic Boarding School Republic of Indonesia. Skripsi.
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro. Diakses 19
Agustus 2012, dari eprints.undip.ac.id.

29

Priamikova, E.V. (2010). The Social Competence of School
Students. Russian Educational and Society, Vol. 52(6), 2134.
Profile dan Sejarah SMA Sedes Sapientiae. Diakses 5 November
2011, dari http://www.sedesbedono.sch.id/profile.php?kat=
sejarah&ur=ma.
Rimm-Kaufman & Yu-Jen. (2007). Promoting social and
academic competenve in the classroom. Journal psychology
in the schools, 44 (4).
Riskinanti, K. (2009). Hubungan Antara Tingkat Otoritas Orang
Tua Dengan Tingkat Kompetensi Sosial Pada Remaja.
Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga.
Diakses
18
November
2011,
dari
http://alumni.unair.ac.id/detail.php?id=27071&faktas=Psik
ologi..
Semrud-Clikeman, M. (2007). Social Competence in Children.
New York: Sringer Scince & Business Media.
Shernoff, D. (2010). Enggagament in After-School programs as a
predictor of social competence and academic performance.
Society for community research and action, 45, 325-337.
Santrock, J. W. (2007). Remaja, ed. XI, Jilid 1. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Soekanto, S. (1996). Remaja dan masalah-masalahnya. Jakarta:
Gunung Mulia.
Tariq, T. (2011). Social competence, parental promotion of peer
relations and loneliness among adolescents. Pakistan
journal of psychological research, 26(2), 217-232.

30

Visi dan Misi SMA Sedes Sapientiae Bedono. Diakses 22
November 2011, dari http://www.sedesbedono.sch.
id/profile.php?kat=visimisi&ur=ma.
Wahyuningtyas, H. E. (2006). Perbedaan kompetensi sosial
antara remaja yang tinggal di kota dan remaja yang tinggal
di desa. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Malang.
Diakses
19
November
2011,
dari
http://digilib.umm.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id
=jiptummpp-gdl-s1-2006-handryerma 6033&PHPSESSID=
42d6ee65b827a38f4 4956092d28ba985.
Widhiarso, W. (2010). Analisis Butir dalam Pengembangan
Pengukuran Psikologi. Diakses 1 November 2012, dari
http://widhiarso.staff.ugm.ac.id/wp/analisis-butir-dalampengembangan-pengukuran-psikologi/
Wijaya, N. (2007). Hubungan Keyakinan Diri Akademik Dengan
Penyesuaian Penyesuaian Diri Siswa Tahun Pertama
Sekolah Asrama SMA Pangudi Luhur Van Lith Muntilan.
Skripsi (Tidak diterbitkan). Semarang : Universitas Negeri
Diponegoro.