FINGER W. BAB II

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Cinta Tanah Air a. Pengertian Pengertian nasionalsme dalam pandangan Silaban (2012) dalam

  jurnalnya yang berjudul “Pemikiran Soekarno Tentang Nasionalisme” mengatakan bahwa Nasionalisme merupakan suatu paham kebangsaan yang timbul karena adanya perasaan senasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu berdaulat dan maju dalam satu kesatuan bangsa, negara dan cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara serta mengabdikan identitas persatuan, kemakmuran dan kekuatan atau kekuasaan negara kebangsaan yang bersangkutan. Nasionalisme berkaitan erat dengan cinta tanah air yang dapat menumbuhkan jiwa patriotisme yang berani membela bangsa dan negara.

  Cinta tanah air dalam pandangan Darmiatun (2013: 139) adalah “cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap, bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa

  ”. Rasa cinta tanah air merupakan rasa kebanggaan, rasa memiliki, rasa menghargai, rasa menghormati dan loyalitas yang tercermin dari perilaku membela tanah airnya, rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negaranya dengan melestarikan alam dan lingkungannya. Era globalisasi manusia memiliki perencanaan dimasa yang akan datang, seperti yang dikemukakan Naim (2013: 177) bahwa agenda umat manusia ke depan adalah membangun suatu dunia baru dalam tatanan yang didasarkan atas saling pengertian, toleransi, kasih-sayang, dan harmoni. Apa yang disebutkan oleh Naim sebagai learning to know satu di antara empat pilar pendidikan bersama learning to be, leaarning to do, learning live

  together pada dasarnya adalah perwujudan dari sifat dasar manusia untuk menjadi bagian dari mayarakat.

  Kebutuhan terhadap semangat mencintai tanah air menurut Naim (2012: 178) sekarang ini, seharusnya semakin ditumbuh kembangkan di tengah gempuran globalisasi yang semakin tidak terkendali. Cinta tanah air tidak hanya merefleksikan kepemilikan, tetapi juga bagaimana mengangkat harkat dan martabat bangsa ini dalam kompisi global.

  Cara anak untuk memulai mencintai terhadap negaranya menurut pandangan Elfindri (2012: 146) dapat melalui pendidikan rumah, dengan mencoba berdiskusi selepas makan terhadap pengalaman orang tua terhadap tokoh perjuangan yang dilakukan dalam merebut kemerdekaan, begitu bahagianya kita bernegara, dengan kemajemukan budaya, agama dan bahasa. Rasa syukur tersebut ditanamkan kepada anak kita untuk senantiasa mulai berfikir positif terhadap negara. upaya untuk membentuk karakter bangsa Indonesia yang memiliki jiwa cinta tanah air menurut pandangan Soepandi dalam Sagala (2013: 316), yaitu

  “sikap negarawan, dan sikap untuk membela negara akan tumbuh seiring dengan kesadarannya sebagai anak bangsa yang diikat dalam persatuan dan kesatuan bangsa sebagai wujud kesatuan NKRI. Peserta didik perlu mengetahui dengan jelas dan benar bahwa NKRI merupakan negara yang negara yang besar dilihat dari jumlah penduduk, luas daratan dan lautan, potensi sumber daya alam, dan kontribusi dalam kehidupan global.”

  Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rasa cinta tanah air merupakan perasaan yang timbul dari dalam hati sanu bari seorang warga negara, untuk mengabdi, memelihara, membela, melindungi tanah airnya dari segala ancaman dan gangguan.

b. Indikator Cinta Tanah Air

  Indikator cinta tanah air di sekolah dalam pandangan Darmiatun (2013: 139) adalah sebagai berikut:

  1) Indikator Sekolah; a) Menggunakan produk dalam negeri.

  b) Menyediakan informasi (dari sumber cetak, elektronik) tentang kekayaan alam dan budaya Indonesia.

  c) Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 2) Indikator Kelas;

  a) Memajangkan foto presiden dan wakil presiden, bendera negara, peta Indonesia, gambar kehidupan masyarakat Indonesia.

  b) Menggunakan produk dalam negeri.

2. Prestasi Belajar a. Pengertian Prestasi Belajar

  Istilah belajar bukanlah sesuatu yang baru, sudah sangat dikenal secara luas. Gagne dalam Susanto (2015: 1) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman. Selain itu, belajar juga dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh motivsi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, tingkah laku, dan sebagai suatu upaya memperoleh ilmu pengetahuan.

  Prestasi berasal dari bahasa Belanda yaitu prestatie. Kemudian dalam bahasa Indonesai menjadi “prestasi” yang berarti “hasil usaha”. Istilah “prestasi belajar” (achievment) berbeda dengan “hasil belajar” (learning

  outcome ). Prestasi belajar pada umumnya berkenaan dengan aspek

  pengetahuan, sedangkan hasil belajar meliputi aspek pembentukan watak peserta didik. Kata prestasi banyak digunakan dalam berbagai bidang dan kegiatan antara lain dalam kesenian, olah raga, dan pendidikan, khususnya pembelajaran.

  Prestasi belajar dalam pandangan Arifin (2011: 12) merupakan suatu masalah yang bersifat perenial dalam sejarah kehidupan manusia, karena sepanjang rentan kehidupannya manusia selalu mengejar prestasi menurut bidang dan kemampuan masing-masing.

  Prestasi belajar (achievment) semakin terasa penting untuk dibahas, karena mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain : 1) Prestasi belajar sebagai indikator kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik. 2) Prestasi belajar sebagai lambang pemuasan hasrat ingin tahu. Para ahli psikologi biasanya menyebut hal ini sebagai “tendensi keingintahuan (couriosity) dan merupakan kebutuhan umum manusia”. 3) Prestasi belajar sebagai bahan informasi dalam inovasi pendidikan. 4) Prestasi belajar sebagai indikator intern dan ekstern dari suatu institusi pendidikan. 5) Prestasi belajar dapat dijadikan indikator daya serap (kecerdasan) peserta didik.

  Fungsi prestasi belajar di atas menunjukan seberapa pentingnya kita mengetahui dan memahami prestasi belajar peserta didik, baik sscara perseorangan maupun secara kelompok, sebab fungsi prestasi belajar tidak hanya sebgai indikator keberhasilan dalam bidang studi tertentu, tetapi juga sebagai indikator kualitas institusi pendidikan. Di samping itu, prestasi belajar juga bermanfaat sebagai umpan balik bagi guru dalam melaksanakan diagnosis, penempatan, atau bimbingan terhadap peserta didik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Cronbach dalam Arifin (2011: 13) bahwa keguaan prestasi belajar banyak ragamnya, antara lain “sebagai umpan balik bagi guru dalam mengajar, untuk keperluan diagnostik, untuk keperluan bimbingan dan penyuluhan, untuk keperluan seleksi, untuk keperluan penempatan atau penjurusan, untuk menentukan isi kurikulum, dan untuk menentukan kebijakan sekolah.

  Sebagaimana telah dikemukakan Arifin (2011: 12), bahwa pembelajaran sebagai suatu sistem memiliki berbagai komponen yang saling beriteraksi. Salah satu komponen pembeajaran adalah evaluasi, bagitu pula dalam prosedur pembelajaran, salah satu langkah yang harus ditempuh garu adalah evaluasi, dengan demikian dilihat dari berbagai konteks pembelajaran, evaluasi mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis karena evaluasi merupakan suatu bagian yang tak terpisahkan dari pembelajaran itu sendiri.

b. Indikator Prestasi Belajar

  hasil belajar ideal dalam pandangan Syah (2008: 150 meliputi segenap ranah psikologis yang berubah akibat pengalaman dan proses belajar siswa.

  Namun demikian, pengungkapan perubahan tingkah laku seluruh ranah itu, khususnya ranah rasa murid, sangat sulit. Hal ini disebabkan perubahan hasil belajar itu ada yang bersifat intangible (tidak dapat diraba). Oleh karena itu, yang dapat dilakukan guru dalam hal ini adalah hanya mengambil cuplikan perubahan tingkah laku yang dianggap penting dan diharapkan dapat mencerminkan perubahan yang terjadi sebagai hasil pelajaran siswa, baik yang berdimensi cipta dan rasa maupun yang berdimensi karsa.

  Kunci pokok untuk memperoleh ukuran dan data hasil belajar siswa sebagaimana yang terurai di atas adalah mengetahui garis-garis besar indikator (petunjuk adanya prestasi tertentu) dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak diungkapkan atau diukur. Selanjutnya agar memudahkan dalam menggunakan alat dan kiat evaluasi yang dipandang tepat, reliabel dan valid.

c. Faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

  Ahmadi dan Supriyono (2013: 138) mengemukakan bahwa prestasi belajar yang dicapai seseorang merupakan hasil interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya baik dalam diri (faktor internal) maupun dari luar diri (faktor eksternal) individu. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar penting sekali artinya dalam rangka membantu murid dalam mencapai prestasi belajar yang sebaik-baiknya.

  Faktor internal terdiri dari beberapa golongan, diantarayanya adalah:

  1. Faktor jasmaniah (fisiologi) baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh dari sesuatu yang terjadi, yang dimaksud faktor ini misalnya penglihatan, pendengaran, struktur tubuh, dan sebagainya.

  2. Faktor psikologis baik yang bersifat bawaan maupun yang diperoleh terdiri atas: a. Faktor intelektif yang meliputi:

  1) Faktor potensial yaitu kecerdasan dan bakat. 2) Faktor kecakapan nyata yaitu prestasi yang telah dimiliki.

  a. Faktor non-intelektif, yaitu unsur-unsur kepribadian tertentu seperti sikap, kebiasaan, minat, kebutuhan, motivasi, emosi, dan penyesuaian diri.

  b. Faktor kematangan fisik maupun psikis. Yang tergolong faktor eksternal, ialah:

  a. Faktor sosial yang terdiri atas: 1) Lingkugan keluarga 2) Lingkungan sekolah 3) Lingkungan masyarakat 4) Lingkungan kelompok

  b. Faktor budaya seperti adat istiadat, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian.

  c. Faktor lingkungan fisik seperti fasislitas rumah, fasilitas belajas, dan iklim.

  c. Faktor lingkungan spiritual atau keamanan. Faktor-faktor tersebut saling berinteraksi secara langsung maupun tidak langsung dalam mencapai prestasi belajar.

d. Prinsip-Prinsip Pengukuran Prestasi Belajar

  Gronlund dalam Azwar (2013: 18), merumuskan beberapa prinsip dasar dalam pengukuran prestasi belajar sebagai berikut: 1) Tes prestasi harus mengukur hasil belajar yang telah dibatasi secara jelas sesuai dengan tujuan instruksional.

  2) Tes prestasi harus mengukur suatu sempel yang representatif dari hasil belajar dan dan dari materi yang dicakup oleh program instruksional atau pengajara. 3) Tes prestasi harus berisi item-item dengan tipe yang paling cocok guru mengukur hasil belajar yang diinginkan. 4) Tes prestasi harus dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaan hasilnya. 5) Reabilitas tes prestasi harus diusahakan setinggi mungkin dan hasil ukurannya ditafsirkan dengan hati-hati. 6) Tes prestasi harus dapat digunakan untk meningkatkan belajar para anak didik.

  Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip pengukuran prestasi belajar dapat dilakukan dengan cara tes preastasi yang berupa soal evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kemampuan siswa dalam proses pembelajaran sehingga diketahui hasilnya.

3. Pendidikan Kewarganegaraan a. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

  Pendidikan Kewarganegaraan sangat berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan dan karakter seseorang agar dapat bermanfaat bagi bangsa dan negara. Pasal 39 Undang-Undang No. 2 Tahun 1989, Tentang Sistem Pendidikan Nasional

  Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

  PKn menurut pandangan Zamroni dalam Taniredja (2003: 10) adalah Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan masyarakat berfikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak masyarakat.

  Demokrasi merupakan suatu learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dan mentrasformasikan nilai-nilai demokrasi. Selain itu, PKn adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan di mana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik yang bersangkutan memiliki political knowledge, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa, jadi dapat disimpulkan bahwa PKn adalah mata pelajaran yang mencakup bidang politik, hukum, moral. Hal tersubut berisi tentang keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dapat membentuk peserta didik yang memiliki karakter percaya diri, religius, demokratis, toleransi, cinta tanah air, dan memiliki norma yang luhur.

b. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan di SD

  Winataputra (2010: 14) mengemukakan bahwa fungsi dan tujuan pembelajaran dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara sekolah sebagai wahana pengembangan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yang secara kurikuler Pendidikan Kewarganegaraan yang harus menjadi wahana psikologis-psikologis yang utama.

  Berdasarkan konteks ini khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sekolah seyogianya dikembangkan sebagai pranata atau tatanan sosial pedagogis yang kondusif atau memberi suasana bagi tumbuhkembangnya berbagai kualitas pribadi peserta didik. Kualitas pribadi ini sangat pentng karena akan menjadi bekal untuk berperan sebagai warga negara yabg demokratis serta bertanggung jawab, dengan sikap dan perilakunya dilandasi oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ahlak mulia, kesehatan, ilmu, kecakapan, kreativitas, dan kemandirian. Oleh karena itu, sekolah sebagai bagian integral dari masyrakat perlu dikembangkan sebagai pusat pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, yang mampu memberi keteladanan, membangun keamanan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran demokratis. Menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006

  Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

  Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan PKn adalah membentuk pribadi siswa yang berkarakter, beretika, memiliki rasa cinta tanah air, dan membentuk perilaku yang sesuai nilai-nilai norma guna kehidupannya dimasa yang akan datang.

c. Materi Globalisasi Di Kelas IV SD Peneliti mengambil materi globalisasi pada kelas IV semester 2.

  Standar kompetensi dan kompetensi dasar dari materi globaliasi pada kelas IV semester 2 adalah sebagai berikut.

  Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas IV

  Standar kompetensi Kompetensi dasar

  4. Menunjukkan sikap terhadap

  4.1 Memberikan contoh sederhana globalisasi di lingkungannya pengaruh globalisasi di lingkungannya

  4.2 Mengindentifikasi jenis budaya yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional Berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar di atas dapat diketahui bahwa materi yang akan diajukan bahan penelitian adalah materi globalisasi dengan kompetensi dasar memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya dan mengindentifikasi jenis budaya yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional.

  Materi memberikan contoh sederhana pengaruh globalisasi di lingkungannya mengkaji menceritakan proses globalisasi, menyebutkan pengaruh globalisasi pada makanan, permainan, dan kebudayaan, menjelaskan sikap terhadap pengaruh globalisasi. Sedangkan materi mengindentifikasi jenis budaya yang pernah ditampilkan dalam misi kebudayaan internasional mengkaji tentang menjelaskan globalisasi kebudayaan.

d. Globalisasi

  Globalisasi dalam pandangan Chanim, dkk (2003: 258) globalisasi dimaknai sebagai sebuah proses terintegrasinya bangsa-bangsa di dunia dalam sebuah sistem global yang melintasi batas-batas negara. Interaksi sosial antar bangsa yang difasilitasi oleh berbagai media informasi yang canggih menggerakan perubahan sosial diantara bangsa-bangsa di dunia dalam berbagai level (lokal, nasional, dan internasional) menjadi sangat dinamis. Di samping itu, pergerakan manusia dan barang diera globalisasi sangat dinamis dengan ditunjang oleh teknologi transportasi yang semakin canggih

  Pandangan Giddens dalam Chanim (2003: 258), seorang ilmuan sosial terkemuka di Inggris menamai tanda-tanda zaman ini sebagai the runaway

  world (dunia yang berlari). Perubahan sosial yang terjadi di sebuah pelosok bumi akan berpengaruh secara signifikan pada belahan bumi yang lain. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa globalisasi merupakan proses mendunia atau menuju satu dunia untuk kemajuan hubungan antar negara.

4. Role Playing (Bermain Peran) a. Pengertian Role Playing (Bermain Peran)

  Permainan Role playing diadopsi dari bidang psikologi khususnya

  

psikoterapi atau terapi kejiwaan. Santrock dalam Subagiyo (2013: 4)

  menyatakan role playing merupakan kegiatan yang menyenangkan dan dilakukan oleh seseorang atau sekumpulan orang untuk memperoleh kesenangan. Dalam bidang psikologi role playing merupakan salah satu model yang digunakan untuk bimbingan dan konseling kelompok yang dilakukan secara sadar. Santrock juga menyatakan, dengan model role

  

playing akan memungkinkan anak mengatasi frustasi dan merupakan suatu

  medium bagi ahli terapi untuk menganalisis konflik-konflik dan cara mengatasinya.

  Pengaertian role playing yang dikemukakab oleh Fleet dalam Subagiyo (2013: 4) merupakan intervensi yang dikembangkan berkaitan dengan penggunaan seperangkat sistem dari metode seorang konselor demi mengoptimalkan kemampuan seseorang. Role playing juga bisa digunakan untuk terapi terhadap seseorang yang mengalami kesulitan dengan dirinya, mengembangkan perilaku adaptif, mengendalikan diri dari sikap agresif, meningkatkan kemampuan berempati, mengolah emosi seseorang, dan dapat memecahkan masalah secara efektif dan bijaksana.

  Pendapat lain tentang role playing dalam pandangan Joyce (2011: 328) merupakan sebuah model pengajaran yang berasal dari deimensi pendidikan individu maupun sosial. Model ini membantu masing-masing siswa untuk menemukan makna pribadi dalam dunia sosial mereka dan membantu memecahkan dilema pribadi dengan bantuan kelompok sosial.

  Dalam dimensi sosial, model ini memudahkan individu untuk bekerjasama dalam menganalisis keadaan sosial, khususnya masalah antar manusia.

  Sedangkan menurut Huda (2013: 209) role playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankan diri sebagai tokoh hidup atau benda mati. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas role playing merupakan model pembelajaran yang dapat membentuk siswa lebih kreatif dan mampu berimajinasi serta dapat membuat siswa lebih berani tampil di depan orang banyak.

  Penggunaan model pembelajaran dalam pandangan Davies (2013: 5), role playing dapat membantu peserta belajar dalam mencapai tujuan efektif. Selanjutnya Davies menjelaskan empat asumsi yang mendasari bahwa model pembelajaran ini sejajar dengan model pembelajaran lain, yaitu: 1)

  Menekankan suatu situasi berdasarkan pengalaman “di sini dan kini” (here and now). 2) Memberi kemungkinan untuk mengungkapkan perasaan yang tak dapat dikenali tanpa memainkan peran orang lain. 3) Mengasumsikan bahwa emosi dan ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkat melaui proses kelompok. 4) Mengasumsikan bahwa proses psikologi yang tersembunyi berupa sikap, nilai, perasaan, dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi bermain peran secara spontan dan kemudian dianalisis.

  Role playing banyak digunakan dalam bidang psikologi, bidang

  pendidikan, bidang komunikasi dan kemudian diadopsi oleh teater sebagai metode pelatihan calon pemeran. Metode ini memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh metode lain. Kelebihan metode role playing adalah : a) Media belajar kerjasama antar personal.

  b) Media belajar bahasa yang baik dan benar.

  c) Peserta bisa mengambil keputusan dengan cepat dan berekspresi secara utuh.

  d) Media evaluasi pengalaman pada waktu permainan berlangsung.

  e) Memberi kesan yang kuat dan tahan lama dalam ingatan.

  f) Memberi pengalaman yang menyenangkan g) Membangkitkan gairah dan semangat optimis dalam diri peserta.

  h) Menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. i) Peserta dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah dan dapat memetik makna yang terkandung dalam permainan tersebut. j) Meningkatkan kemampuan profesional peserta.

  b.

  

Langkah-Langkah Model Pembelajaran Role Playing (Bermain

Peran) Role Playing (bermain peran) adalah salah satu metode pelatihan

  peran, dimana calon pemeran mulai diperkenalkan pada peran yang hendak dimainkan. Peran yang hendak dimainkan ini masih berkisar pada kehidupan nyata disekitar calon pemeran, dalam artian peran itu mudah dikenali oleh calon pemeran. Menurut Subagiyo (2013: 11) menyebutkan langkah-langkah dalam melaksanakan metode tersebut. Langkah-langkah itu terdiri dari: 1) Menentukan masalah yang hendak dimainkan. 2) Memilih pemeran. 3) Menyusun skenario. 4) Menyiapkan penonton sebagai pengamat. 5) Memainkan Role Playing. 6) Melakukan diskusi dan evaluasi. 7) Memainkan ulang. 8) Berbagi pengalaman dan menarik kesimpulan.

  Sedangkan menurut Huda (2013: 209), strategi Role Playing juga diorganisasi berdasarkan kelompok-kelompok siswa yang heterogen. Masing- Masing kelompok memperagakan/ menampilkan skenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprovisasi, namun masih dalam batas-batas skenario dari guru. Sintak strategi Role Playing dapat dilihat dalam tahap-tahapanya adalah sebagai berikut: 1) Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan. 2) Guru menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar. 3) Guru membentuk kelompok siswa yang masing-masing beranggotakan 5 orang. 4) Guru memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai. 5) Guru memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakukan skenario yang sudah dipersiapkan. 6) Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan. 7) Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok. 8) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil simpulannya. 9) Guru memberikan kesimpulan dan evaluasi secara umum.

  Role Playing (bermain peran) Menurut Joyce (2009: 332) tidak akan

  pernah sukses jika guru hanya membuang dan tidak bisa memanfaatkan situasi permasalahan, tidak mau mendorong siswa untuk bertindak, lalu melakukan diskusi untuk membuat satu pemeranan. Shaftels dalam Joyce (2011: 332) berpendapat bahwa role playing terdiri dari sembilan langkah: 1) Memanaskan suasana kelompok. 2) Memilih partisipan. 3) Mengatur setting tempat kejadian. 4) Menyiapkan peneliti. 5) Pemeranan. 6) Diskusi dan evaluasi. 7) Memerankan kembali. 8) Berdiskusi dan mengevaluasi. 9) Saling berbagi dan mengembangkan pengalaman.

  Berdasarkan penjelasan di atas, maka pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan materi globalisai di kelas IV SD Negeri 1 Karangtengah dengan menggunakan model pembelajaran role playing dapat digambarkan sebagai berikut: 1) Guru membentuk kelompok siswa. 2) Guru memerintahkan pada masing-masing kelompok untuk menunjuk satu atau dua orang sebagai pemeran drama dalam role playing mata pelajaran

  PKn materi globalisasi. 3) Guru memberikan naskah drama pada pemeran drama. 4) Menyusun tempat duduk di kelas. 5) Memulai drama. 6) Guru memerintahkan masing-masing kelompok menyimak dan mencatat isi drama.

  7) Guru memerintahkan masing-masing perwakilan kelompok untuk menyajikan hasil menyimak atau diskusi tentang isi drama.

  8) Guru memberikan kesimpulan dan evaluasi secara umum.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

  Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya, dkk (2012) dalam Jurnal Pendidikan dan Keguruan dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Role Playing Pada Mata Pelajaran IPA Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas IV Semester I SD N Wonokerto 1 Karangtengah Demak Tahun Ajaran 2011/2012

  ”, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa penerapan model Role Playing pada pembelajaran IPA pokok bahasan bagian-bagian tumbuhan dan fungsinya dapat mencapai nilai kriteria ketuntasan minimal siswa dan dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SD Negeri Wonokerto 1 Karangtengah Demak Tahun Pelajaran 2011/2012.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Melyani Sari Sitepu dengan judul “Pengaruh Penggunaan Metode Pembelajaran Role Play

  Terhadap Prestasi Belajar IPS Siswa Kelas IV Sekolah Dasar Di Yogyakarta

  ”, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa penggunaan metode pembelajaran role play berpengaruh positif dan meningkatkan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah dasar dibandingkan dengan penggunaan metode mengajar konvensional. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil prestasi belajar yang menunjukan adanya perbedaan prestasi antara siswa yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran role play dan siswa yang diajar dengan menggunakan metode konvensional. Penggunaan metode role play, memungkinkan siswa dapat bermain sambil belajar untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran dan sekaligus belajar untuk memecahkan masalah yang terjadi melalui diskusi kelompok

C. Kerangka Berfikir

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir Penelitian

  Kondisi awal: cinta tanah air dan prestasi belajar rendah pada mata pelajaran PKn Siklus 1: Guru menerapkan model pembelajaran role playing Tindakan

  Siklus 2: Guru menerapkan model pembelajaran role playing dengan perbaikan kinerja berdasarkan Kondisi akhir: melalui penerpan model pembelajaran role playing dapat meningkatkan rasa cinta tanah air dan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran PKn Penggunaan model pembelajaran role playing akan memungkinkan siswa lebih mudah memahami materi ajar yang disampaikan, dikarenakan pembelajaran yang disampaikan akan lebih menarik dan bermakna. Model pembelajaran role playing merupakan salah satu model yang dianggap cocok untuk diterapkan pada siswa sekolah dasar kelas tinggi. Model ini lebih menekankan pada aspek penghayatan, ketelitian, dan sikap. Jadi dapat diduga bahwa penerapan model pembelajaran role playing dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan prestasi belajar pada mata pelajaran PKn.

D. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan dasar teori, hasil penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :

  1. Penggunaan Model Pembelajaran role playing di kelas IV SD Negeri 1 Karangtengah dapat meningkatkan rasa cinta tanah air siswa.

  2. Penggunaan Model Pembelajaran role playing di kelas IV SD Negeri 1 Karangtengah dapat meningkatkan prestasi belajar PKn siswa.