INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL) JAKARTA, 2016

PENDAPAT HUKUM SAHABAT PENGADILAN

  

(AMICUS CURIAE BRIEF)

ATAS

PUTUSAN NOMOR 24/PDT.G/2015/PN.Plg

ANTARA KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN V.

  

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW

(ICEL)

  Daftar Isi

  Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law ................................................ 2 Ringkasan Kasus Posisi Perkara .................................................................................. 3 Referensi Sumber Hukum

  6 Argumentasi Sahabat Pengadilan ............................................................................. 11 Kesimpulan ............................................................................................................... 49

  

KESATU

Kepentingan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

  ICEL merupakan organisasi yang bergerak dalam pengembangan hukum lingkungan hidup di Indonesia melalui penelitian, pengembangan kapasitas, dan advokasi. ICEL memiliki visi mewujudkan sistem hukum dan tata kelola lingkungan hidup sesuai dengan prinsip keadilan, demokratis dan keberlanjutan. Untuk mewujudkan visi tersebut ICEL memiliki 3 misi, yaitu: 1.

  Melakukan penelaahan, penelitian, dan advokasi terkait pengembangan hukum lingkungan hidup dan tata kelola;

  2. Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas organisasi masyarakat sipil dan lembaga non-pemerintah dalam mereformasi dan menegakkan hukum lingkungan hidup; dan 3. Mendukung pemberdayaan korban/kelompok yang berpotensi menjadi korban dalam rangka membela hak-hak mereka terhadap lingkungan hidup. Sebagai lembaga pengembangan hukum lingkungan hidup, saat ini ICEL fokus dalam melakukan advokasi pembaharuan hukum pada 3 (tiga) isu kunci, yaitu tata kelola hutan dan lahan (green issue), pengendalian pencemaran (brown issue) dan tata kelola laut dan pesisir (blue issue). Sesuai dengan mandat sebagai organisasi lingkungan hidup yang termaktub dalam visi dan misi, ICEL memiliki tanggungjawab untuk turut serta dalam proses pembaharuan hukum lingkungan hidup dan penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut dan untuk mendukung terciptanya tata kelola lingkungan hidup yang baik termasuk hutan dan lahan, maka disusunlah Pendapat Hukum Sahabat Pengadilan (Amicus Curiae Brief) ini sebagai sarana informasi, referensi atau sumbangsih pemikiran bagi hakim dalam memutuskan perkara kebakaran hutan dan lahan. Disusunnya Amicus Curiae Brief ini merupakan bentuk dari kepercayaan dan dukungan ICEL kepada lembaga pengadilan dalam berkontribusi mendukung terciptanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik, sesuai dengan asas in dubio pro natura.

KEDUA RINGKASAN KASUS POSISI 1.

   Para Pihak yang berperkara: a.

  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (selanjutnya disebut MenLHK) untuk kepentingan negera dalam melindungi lingkungan hidup sebagai penggugat.

  b.

  PT Bumi Mekar Hijau (selanjutnya disebut PT BMH) sebagai tergugat.

  2. Pertanyaan hukum: a.

  Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini? b.

  Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum?

  3. Fakta: a.

  Pada tanggal 13 April 2004 Keputusan Menteri Kehutanan No.

  SK.104/Menhut-VI/2004 menetapkan pemenang penawaran dalam pelelangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman Industri Hutan Alam-Hutan Industri (IUPHHK HA-HTI) atas wilayah kawasan hutan di mana PT BMH adalah pemenang pelelangan IUPHHK HTI tersebut. PT BMH sudah memenuhi izin-izin untuk melakukan kegiatan/ usahan hutan tanam industri.

  1 b.

  dari Pada areal konsesi PT BMH telah terjadi kebakaran hutan dan lahan tahun ke tahun.

  c.

  Berita Acara Verifikasi Sengketa Lingkungan Hidup tertanggal 17 Desember 2014 di lapangan lokasi PT BMH menyatakan bahwa api pertama pada tahun tersebut ditemukan pada tanggal 26 September 2014. Bagian terluar dari tanaman yang terbakar di Distrik Simpang Tiga tidak berbatasan langsung dengan perkampungan penduduk karena jaraknya sekitar 5 km.

  d.

  Berdasarkan verifikasi lapangan pada bulan Oktober dan Desember

  2014, sarana prasarana pengendalian kebakaran yang dimiliki PT BMH

  berdasarkan ketentuan peraturan, sangat minim. Pengadilan melakukan

  pemeriksaan lapangan pada Desember 2015 dan menyimpulkan bahwa sarana dan prasarana kebakaran yang dimiliki PT BMH sudah memadai.

  4. Argumentasi KLHK (Penggugat): a.

  Dasar hukum yang digunakan oleh KLHK adalah Pasal 1365 KUHPerdata 1 karena tergugat telah membuka lahan dengan cara membakar.

  Perlu dicermati bahwa dalam kasus ini, kebakaran meliputi kebakaran pada hutan tanaman industri

(tanaman Akasia) dan kebakaran pada lahan gambut. Kebakaran hutan yang terjadi pada lahan gambut

dikarenakan pengelolaan lahan gambut dengan sistem drainase yang menjadikan lahan semakin kering dan

semakin mudah terbakar.

  b.

  (5) Metode penghitungan kerusakan yang digunakan oleh KLHK dianggap tidak mewakili seluruh lahan terbakar yang didalilkan oleh PT BMH

  ”; e. “....kebakaran yang terjadi memang menurunkan kandungan organik

  karena dilokasi kebakaran tersebut sudah ditanam pohon akasia dan ada yang sudah siap untuk dipanen ikut terbakar.....

  maksud “intent” Tergugat untuk membuka lahan dengan biaya murah,

  ”; d. “....tidak ada hubungan kausalitas antara peristiwa kebakaran dengan

  “....lingkup usaha Tergugat sebagai mana yang didalilkan oleh Tergugat didasarkan pada ketentuan Pengelolaan Hutan Tanaman Industri dengan tata kelola yang baik...

  Majelis sebagai fakta prosesuil ketika melakukan sidang pemeriksaan di tempat ”; c.

  “....tidak ada indikasi bahwa tanah telah rusak, lahan masih berfungsi dengan baik sesuai dengan peruntukannya sebagai lahan Hutan Tanaman Industri, di atas bekas lahan yang terbakar tersebut tanaman akasia dapat tumbuh kembali secara baik, sebagaimana penglihatan

  b.

  ”.

  “.... PT BMH telah menyediakan perlengkapan penanggulangan kebakaran, namun belum ada ketentuan baku/standar minimum jumlah tenaga pemadam kebakaran berikut jenis peralatan dalam pengusahaan tanaman industri

  6. Pertimbangan hakim dalam pokok perkara atas kasus aquo adalah: a.

  (20.000 ha).

  (4) tidak terjadi kerusakan pada lahan yang dikelola oleh PT BMH karena tanah tersebut masih dapat ditanami Akasia dan tumbuh dengan baik;

  Berdasarkan verifikasi lapangan oleh KLHK, sarana dan prasarana yang dimiliki oleh PT BMH sangat minim.

  PT BMH sudah melakukan upaya untuk mencegah terjadinya kebakaran; (3) lahan yang dikelola PT BMH adalah lahan yang terdegradasi akibat kebakaran pada tahun 1997/1998;

  PT BMH tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar; (2)

  Dalil yang digunakan oleh PT BMH untuk menyangkal dalil KLHK antara lain: (1)

  b.

  PT BMH menyangkal tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

  5. Argumentasi PT BMH (Tergugat): a.

  KLHK juga telah meminta hakim untuk menerapkan precautionary principle dalam mengadili perkara aquo. Pada saat pemberian keterangan ahli, keterangan ahli dari KLHK juga telah menyampaikan mengenai prinsip strict liability, perkembangan, dan penerapannya di Indonesia.

  c.

  Kerugian akibat lepasnya karbon; dan (4) Kerugian ekonomis.

  Kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati; (3)

  Ekologis; (2)

  Kebakaran yang terjadi di areal konsesi PT BMH telah menimbulkan kerugian: (1)

  c.

  tanah dimana pada tanah mineral yang terbakar melebihi kandungan C-

  organik, sebesar 12

  • – 16 % menurun menjadi 0,4-15.8 % disimpulkan tidak terjadi kepunahan/ kerusakan sifat biologis tanah....

  ”; f. “....tidak dapat dibuktikan secara rinci dan jelas secara kuantitatif dari mana dasar-dasar penghitungannya, demikian juga tentang kerugian akibat terlepasnya karbon ke udara tidak bisa dibuktikan, dengan demikian harus ditolak

  ”; g. “... karena Tergugat tidak melakukan perbuatan yang didalilkan oleh

  Penggugat, maka tidak perlu menilai lebih lanjut tentang ganti rugi dalam perkara a quo

  .

7. Putusan majelis hakim pengadilan negeri Palembang pada 28 Desember memutus: a.

  menolak tuntutan provisi Penggugat; b. menolak Eksepsi Tergugat; c. menolak Gugatan Penggugat seluruhnya; dan d. menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 10.251.000 (sepuluh juta dua ratus lima puluh ribu rupiah).

  

KETIGA

Referensi Sumber Hukum

1. Peraturan Perundang-Undangan NO PERATURAN PERUNDANG- KETERANGAN UNDANGAN 1.

  Setiap orang berhak mendapatkan Undang-Undang Dasar Negara

  Republik Indonesia Tahun 1945 lingkungan hidup yang baik (Pasal (selanjutnya disebut UUD 1945) 28H ayat (1)).

  2. Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) a.

  • dimana negara:

  Asas-Asas dalam UU PPLH “asas tanggung jawab negara”,

   menjamin pemanfaatan sumber daya alamakan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan.

   menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

   mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

  b. kehati- dimana hatian”, “asas ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

  c. dimana “asas keadilan”, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender.

  d.

  “asas pencemar membayar” adalah bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/atau kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.

  • yang muncul tanpa pembuktian

Pasal 88 Tanggung jawab atas kerugian

  Setiap orang yang:

  unsur kesalahan (Ps 88) 1.

  tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3; dan/atau

  2. tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

  3. Pasal 48 ayat (3): Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya

  • disebut UU Kehutanan) melindungi areal konsesinya

  Kewajiban pemegang izin untuk

  Pasal 49:

  • hak atau izin

  Pemegang

  bertanggug jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal

  kerjanya.

  4. a. Peraturan Pemerintah No 4 tahun Kewajiban penanggung jawab 2001 tentang Pengendalian usaha yang usahanya dapat

  Kerusakan dan/atau Pencemaran menimbulkan dampak besar dan Lingkungan Hidup yang Berkaitan penting terhadap kerusakan dan dengan Kebakaran Hutan atau pencemaran lingkungan dan/atau Lahan (selanjutnya hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan disebut PP 4/2001)

  untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan di lokasi usahanya. (Ps 13) b.

  Kewajiban penanggung jawab

  usaha atas kebakaran lahan di lokasi usahanya dan segera

  melakukan penanggulangan kebakaran hutan dan atau lahan di lokasi usahanya. (Ps 18 ayat (1)) c. Kewajiban penanggung jawab

  usaha untuk melakukan pemulihan dampak lingkungan

  hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan di lokasi usahanya. (Pasal 21 ayat (1)).

  5. Pasal 10 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 45

  Tahun 2004 tentang Perlindungan Perlindungan hutan hak dilaksanakan

  Hutan dan menjadi tanggung jawab pemegang hak

  Pasal 10 Ayat (2) Perlindungan hutan meliputi kegiatan antara lain a.

  Pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak; b.

  Pencegahan, pemadaman, dan

  penanganan dampak kebakaran; personil dan c.

  Penyediaan

  sarana prasarana

  perlindungan hutan;

  d. dan Mempertahankan memelihara sumber air; e.

  Melakukan kerja sama dengan sesame pemilik hutan hak, pengelola kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan masyarakat.

  Pasal 30 Ayat (1) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak

  bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.

  Pasal 30 Ayat (2) Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi: a.

  Tanggung jawab pidana; b.

  Tanggung jawab perdata; c. Membayar ganti rugi; dan/atau d.

  Sanksi administrasi.

  6. Permen LH ini telah mengatur Peraturan Menteri Lingkungan

  Hidup No 14 tahun 2012 tentang mengenai metode penghitungan Panduan Valuasi Ekonomi valuasi ekonomi untuk ekosistem Ekosistem Gambut. gambut.

  Ruang lingkup panduan valuasi ekonomi ekosistem gambut terdiri atas pendahuluan, ekosistem gambut, metode valuasi ekonomi sumber daya alam dan lingkungan hidup, tahapan valuasi ekonomi ekosistem gambut, kerangka dan prosedur valuasi ekonomi ekosistem gambut, dan contoh perhitungan.

  2. Selain itu, Mahkamah Agung RI juga telah mengeluarkan pedoman penanganan kasus lingkungan hidup dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 yang diantaranya berisi pedoman bahwa dalam memeriksa dan mengadili perkara lingkungan hidup, hakim harus memahami asas-asas kebijakan lingkungan (principles of environmental

  2 policy) yang meliputi: a.

  prinsip substansi hukum lingkungan; b. prinsip-prinsip proses; dan c. prinsip keadilan 3. Salah satu prinsip substansi hukum lingkungan adalah precautionary principle.

  Penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan mendayagunakan berbagai instrumen, misalnya dalam menentukan pertanggungjawaban (liability rule). Hakim juga harus mempertimbangkan prinsip keadilan, seperti keadilan dalam satu generasi dan antar-generasi dalam memeriksa dan mengadili perkara

  3 lingkunganhidup.

  2 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. 3 Ibid

  

KEEMPAT

Argumentasi Sahabat Pengadilan

Amicus Curiae Brief ini hendak menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1.

  Dasar pertanggungjawaban apa (PMH atau strict liability) yang dapat digunakan untuk perkara ini?

  2. Alasan apa saja yang dapat membantah pembelaan dari Tergugat untuk lepas dari pertanggungjawaban hukum?

A. Argumentasi Terkait Tujuan Peradilan

  Sebelum memberikan pendapat mengenai pertanyaan di atas, terlebih dahulu kami menyampaikan pendapat mengenai tujuan peradilan:

  1. Peradilan berperan untuk menegakan hukum dan peradilan

  • menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan, sehingga peradilan memiliki peran untuk menegakan hukum dan

  Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk

  keadilan. Dalam mewujudkan peran peradilan tersebut, Pasal 2 UU 48

  tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU Kekuasaan Kehakiman) juga menyatakan bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

  • undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan peraturan hukum, melainkan pejabat negara yang memiliki pengetahuan yang luas, bermartabat, berwibawa, dan sebagai tempat mengadu bagi para pencari keadilan (justitiabellen).

  Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim bukan sekedar corong

  2. Pengadilan atau Hakim sebagai Pelaksana Penegak Hukum Memiliki Fungsi sebagai Penjaga Kemerdekaan Anggota Masyarakat

  Sebagai penjaga kemerdekaan anggota masyarakat, hakim berfungsi dan berperan menjaga kemerdekaan anggota masyarakat (in guarding the

  freedom of society) dalam arti luas mengembangkan nilai-nilai hak asasi

  manusia dalam segala bidang sebagai ideologi universal atau ideologi

  4

  global. Oleh karena itu, hakim dituntut memahami dan menerapkan semua nilai hak asasi manusia dalam berbagai generasi, termasuk nilai hak asasi manusia dalam konteks lingkungan hidup.

  3. Keadilan yang diwujudkan adalah Keadilan Lingkungan

  • 4

  Berkaitan dengan sengketa lingkungan hidup, maka keadilan yang

  hendak dilindungi adalah keadilan lingkungan. Di dalam UU PPLH,

  Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008) , hlm 854. keadilan lingkungan diejawantahkan dalam asas keadilan. Penjelasan

  Pasal 2 huruf g UU PPLH menjelaskan: “yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara, baik lintas daerah, lintas generasi, maupun lintas gender”.

  • Kuehn mengategorikan keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif, keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif, keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural, dan keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial.

5 Di dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable

  development) sendiri, keadilan ditujukan untuk keadilan intragenerasi dan keadilan antar generasi.

  6

  • Andri G. Wibisana lebih lanjut menjelaskan elemen keadilan intragenerasi berdasarkan pengelompokan Koehn sebagai berikut:

  7 1.

  Keadilan lingkungan sebagai keadilan distributif didefinisikan sebagai hak atas persamaan perlakuan (equal treatment). Dalam konteks lingkungan hidup, keadilan distributif terkait dengan persamaan atas beban dan dampak lingkungan yang dihasilkan dari kegiatan yang membahayakan lingkungan.

  2. Keadilan lingkungan sebagai keadilan korektif merupakan bentuk keadilan yang ditujukan sebagai upaya pemberian sanksi, pemulihan, atau kompensasi bagi mereka yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Dalam konteks ini, maka pihak yang menimbulkan

  kerugian lingkungan, yang mana diartikan menyebabkan ketidakadilan lingkungan, memikul tanggung jawab untuk mengembalikan dampak akibat kerugian tersebut.

3. Keadilan lingkungan sebagai keadilan prosedural merupakan keadilan untuk memperoleh perlakuan yang sama.

  4. Keadilan lingkungan sebagai keadilan sosial merupakan cabang dari keadilan yang mendorong dilakukannya upaya terbaik untuk mencapai tatanan masyarakat yang adil.

  • Elemen keadilan antar generasi dapat diartikan sebagai pengakuan terhadap keseimbangan tersedianya kebutuhan generasi saat ini dengan kebutuhan generasi berikutnya. Prinsip ini juga bermakna bahwa generasi saat ini berkewajiban untuk menggunakan sumber daya alam dengan hemat dan bijaksana, serta melaksanakan konservasi sumber daya alam. Prof. Takdir Rahmadi berpendapat bahwa sangat tidak bijaksana jika
  • 5 Indonesian Center for Environmental Law, Anotasi Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Ed. Pertama, (Jakarta: 2014), hlm 50. 6 Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51. 7 Indonesian Center for Environmental Law, Ibid., hlm 51. generasi saat ini meninggalkan sumber-sumber air, tanah, dan udara yang telah tercemar, sehingga generasi yang akan datang tidak lagi mendapatkan sumber daya alam tersebut dengan layak dan sesuai

      8 kebutuhannya.

    • hanya berdampak pada kepentingan para pihak saja, yakni Menteri LHK dan PT. BMH, melainkan akan berdampak secara signifikan juga pada generasi masa kini dan masa depan.

      Putusan terhadap perkara kebakaran hutan dan/atau lahan ini, tidak

    4. Hakim harus aktif mencari keadilan untuk mewujudkan tujuan peradilan

    • yang menyatakan bahwa dalam perkara perdata hakim cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam

      Dalam hukum acara perdata dan hukum acara pidana terdapat doktrin

      9

      peradilan pidana. Namun, Jimmly Asshiddiqie berpendapat bahwa: “hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama”.

    • bersikap progresif karena perkara lingkungan hidup sifatnya rumit dan banyak ditemui adanya bukti-bukti ilmiah (scientific evidence), oleh karenanya hakim haruslah berani menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, seperti precautionary

      Dalam menangani perkara lingkungan hidup, para hakim diharapkan

      10 principles, dan melakukan judicial activism.

    • tersebut, maka hakim dianggap mengetahui semua hukum (curia novit

      Dalam mencari dan menemukan hukum untuk mewujudkan keadilan

      jus). Berdasarkan prinsip curia novit jus atau jus curia novit, hakim

      diwajibkan mencari dan menemukan hukum yang persis berlaku untuk 8 diterapkan dalam perkara yang bersangkutan. Pada saat ini, tuntutan Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, Edisi Kedua, (Jakarta: Rajawali Press, 2015), hlm.

      12. 9 diakses melalui Jimly Asshiddiqie, “Penegakan Hukum”, hlm. 2,

    http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf. Lihat juga Yahya Harahap dalam bukunya

    Hukum Acara Perdata yang menyatakan bahwa dalam menyelesaikan perkara melalui proses peradilan, hakim

    tidak hanya berfungsi dan berperan memimpin jalannya persidangan, tetapi juga berfungsi bahkan berkewajiban

    mencari dan menemukan hukum objektif atau materiil yang akan diterapkan dalam memutus perkara. 10 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup.

      atas doktrin curia novit jus ini tidak hanya sebatas pada hukum positif dan hukum objektif nasional yang berlaku, tapi pengetahuan hakim harus menjangkau kebiasaan-kebiasaan maupun prinsip-prinsip yang berkembang di negara lain maupun dalam hukum internasional.

      11

    • Lingkungan di Indonesia menyatakan UUPPLH sebagai sumber formal

      dalam artikelnya Perkembangan Hukum Prof. Takdir Rahmadi

      utama hukum lingkungan di Indonesia, selain memuat ketentuan- ketentuan hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung dalam undang-undang sebelumnya, yaitu UU LH 1982 dan UULH 1997, juga memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum-hukum baru, seperti pengadopsian asas-asas dalam Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehati- hatian, keadilan, pencemar membayar, partisipatif dan kearifan lokal.

      12 Prof Takdir Rahmadi lebih lanjut menyatakan:

      “.........hakim dalam mengadili sebuah perkara dapat

      menggunakan asas-asas itu untuk memberikan perhatian atas kepentingan pengelolaan lingkungan hidup yang mungkin tidak diperhatikan oleh pelaku usaha ataupun pejabat pemerintah yang berwenang ”.

      Pandangan Prof Takdir Rahmadi tersebut memiliki makna bahwa hakim dalam mengadili sebuah perkara harus menerapkan asas in dubio pro

      natura.

    B. Dasar Pertanggungjawaban dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH

      Terdapat dua dasar pertanggungjawaban yang dapat digunakan dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH, yakni: (a) pertanggungjawaban mutlak (strict liability); dan (b) perbuatan melawan hukum (PMH). Bagian kedua tulisan ini akan membahas dua pertanggungjawaban tersebut, dimulai dengan pertanggungjawaban mutlak.

      B.1 Pertanggungjawaban Mutlak (Strict Liability) B.1.1 Dasar Hukum dan Praktik Pengadilan Berkaitan dengan Pertanggungjawaban Mutlak

      Kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak. Pertanggungjawaban mutlak misalnya diatur di dalam Pasal 88 UU PPLH yang berbunyi:

      “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya 11 menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,

      Takdir Rahmadi, diakses terakhir 30 Januari 2016, Pk 21.58 WIB. 12 Ibid.

      dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

      ” Dari rumusan tersebut, kita dapat melihat terdapat beberapa unsur dalam pertanggungjawaban mutlak yang harus dibuktikan, meliputi: 1). Unsur setiap orang; 2). Unsur tindakan, usaha, dan/atau kegiatannya; dan 3). Menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Dari ketiga unsur tersebut, Sahabat Pengadilan tidak membahas unsur kesatu dan kedua, namun hanya memfokuskan pada pembahasan unsur ketiga.

      Unsur ketiga: “…..menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” menggunakan rumusan alternatif. Dalam kaitannya dengan perkara Menteri LHK vs PT. BMH, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan PT. BMH memenuhi

      unsur

      “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.” Terdapat dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam membuktikan unsur tersebut.

      Sumber yang pertama mengenai maksud dari unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” terdapat di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013. Menurut SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013 yang dimaksud dengan ancaman serius adalah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dampaknya berpotensi tidak dapat

      dipulihkan kembali dan/atau komponen-komponen lingkungan hidup yang terkena dampak sangat luas, seperti kesehatan manusia, air

      13 permukaan, air bawah tanah, tanah, udara, tumbuhan, dan hewan.

      Mengacu pada definisi tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH telah mengakibatkan terjadinya kebakaran lahan dengan dampak yang berpotensi tidak dapat dipulihkan kembali. Hal ini terlihat misalnya

      14

      dari luasan lahan yang terbakar mencapai angka 20.000 Ha. Selain itu, kebakaran tersebut telah menyebabkan terjadinya penurunan kedalaman

      15

      gambut yang mencapai rata-rata 20 Menteri LHK dalam – 30 cm. gugatannya juga menyatakan bahwa upaya memulihkan lahan gambut yang terbakar harus dilakukan meskipun mustahil mengembalikannya kepada

      16 13 keadaan seperti semula sebelum terbakar.

      Keputusan Ketua Mahkamah Agung Indonesia No 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, hal. 39. 14 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 12. 15 16 Ibid., hal. 62.

      Ibid., hal. 19. Selain itu, kebakaran seluas 20.000 Ha di dalam konsesi PT. BMH juga telah mengakibatkan dampak buruk terhadap komponen-komponen lingkungan hidup yang sangat luas. Dari sisi kesehatan manusia dan ruang udara, kebakaran tersebut telah berkontribusi terhadap terjadinya pencemaran udara yang mengakibatkan puluhan ribu penduduk menderita

      17

      penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Lebih jauh lagi, kebakaran tersebut juga telah menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi air dari lahan gambut, kerusakan tanah, dan juga kematian mikroorganisme yang menjadi

      18 sumber daya genetik dari lahan gambut.

      Selain bersumber pada SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013, upaya membuktikan suatu usaha dan/atau kegiatan memiliki risiko

      “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup” dapat

      ditentukan juga melalui disyaratkan atau tidaknya Amdal terhadap suatu usaha dan/atau kegiatan tersebut. Maksudnya adalah jika Amdal merupakan syarat sebelum suatu usaha dan/atau kegiatan dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa usaha dan/atau kegiatan tersebut memiliki risiko menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Logika ini selaras dengan pengaturan Amdal di dalam UU PPLH, di mana salah satu pasalnya menyebutkan bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang

      berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal.” “berdampak penting” di dalam pasal tersebut dapat dimaknai sama dengan frase “ancaman serius” di dalam unsur dari pertanggungjawaban mutlak.

      19 Frase

      Selain itu, kriteria “dampak penting” di dalam Pasal 22 Ayat (2) UU PPLH juga sama dengan maksud dari “ancaman serius” di dalam SK KMA No.

      20

      36/KMA/SK/II/2013, seperti tercantum di dalam daftar di bawah ini:

      a) Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;

      b) Luas wilayah penyebaran dampak;

      c) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung;

      d) Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;

      e) 17 Sifat kumulatif dampak;

      Harianterbit.com, “30.000 Warga Palembang Menderita ISPA Akibat Kabut Asap”, diakses pada tanggal 12 Juni 2016. 18 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 – 16. 19 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, LN Tahun 2009 No. 140, TLN No. 5059., Pasal 22 Ayat (1). 20 Ibid., Pasal 22 Ayat (2). Kriteria yang diberi penebalan merupakan kriteria dampak penting yang serupa dengan maksud dari “ancaman serius” di dalam SK KMA No. 36/KMA/SK/II/2013.

      f) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau

      g) Kriteria lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Amdal termasuk salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri dilakukan oleh PT. BMH. Hal ini terbukti berdasarkan pada Keputusan Bupati Ogan Komering Ilir No. 195/KEP/K-PELH/2004 tanggal 8 Juli 2004 tentang Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) Rencana Pengelolahan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanam (IUPHHKHT) PT. Bumi Mekar Hijau Lokasi Kecamatan Tulung Selapan dan Kecamatan Air Sugihan Kabupaten Ogan

      

    21

    Komering Ilir Luas 123.490 ha. Maka dari itu, dari sisi kewajiban

      dilakukannya Amdal, usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH

      telah memenuhi unsur “menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup”.

      Selain berdasarkan UU PPLH, PP 4/2001 juga mengatur perihal dasar pertanggungjawaban dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan.

      Pasal 51 Ayat (1) PP 4/2001 menyatakan, “Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara

      langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau

      22

      perusakan lingkungan hidup. Hal ini semakin menguatkan dalil Sahabat

      Pengadilan di awal bagian ini yang menyatakan bahwa kerangka peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup di Indonesia, khususnya dalam peristiwa kebakaran hutan dan/atau lahan, mengakui adanya dasar pertanggungjawaban mutlak atau pertanggungjawaban langsung dan seketika. Masih berkaitan dengan pertanggungjawaban mutlak, Menteri LHK dalam gugatannya juga telah memohon kepada Majelis Hakim PN Palembang untuk mempertimbangkan perihal penerapan asas kehati-hatian (precautionary principle) di dalam memeriksa perkara antara Menteri LHK

      23

      melawan PT. BMH. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan yang 21 penting berkaitan dengan penggunaan dasar pertanggungjawaban mutlak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 29 - 30. 22 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran

    Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No.

      4076, Pasal 51 Ayat (1). 23 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 12 - 13. dalam perkara Menteri LHK vs PT. BMH terutama dengan adanya Putusan Mahkamah Agung No. 1794K/Pdt/2004 yang lebih populer dikenal dengan perkara “Mandalawangi”. Putusan perkara “Mandalawangi” menjadi penting karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya mengkaitkan asas kehati- hatian dengan dasar pertanggungjawaban mutlak, sebagaimana tergambar di bawah ini: (1)

      Menimbang, bahwa dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan, termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “precautionary

      principle

      ”, Prinsip ke 15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992, walaupun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut, maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam

      24 mengisi kekosongan hukum dalam praktek.

      (2) Menimbang, bahwa dalam menerapkan prinsip ini terdapat 3 hal yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan dimana precautionary

      25 principle ini perlu ditempuh dan diterapkan, yaitu sebagai berikut: 1.

      Ancaman kerusakan lingkungan sangat serius dan bersifat tidak dapat dipulihkan (irreversible). Perlakuan yang serius diperlukan dalam keadaan akibat atau implikasi bagi generasi sekarang dan yang akan datang, atau dalam keadaan tidak terdapat substitusi dari sumber daya yang digunakan; 2. Ketidakpastian pembuktian ilmiah (scientific evidence), keadaan dimana akibat yang akan ditimbulkan dari suatu kegiatan tidak dapat diperkirakan dengan pasti karena karakter dari persoalannya itu sendiri (nature of problem), penyebab, maupun dampak potensal dari kegiatan tersebut; 3. Upaya pencegahan kerusakan lingkungan tersebut meliputi upaya pencegahan sampai dengan cost effectiveness.

      (3) Menimbang, bahwa dapat disimpulkan dengan penerapan prinsip pencegahan dini/ prinsip kehati-hatian ini mengandung makna, apabila telah terjadi kerusakan lingkungan hidup, maka kekurangan/ lemahnya pengetahuan tidak dapat dijadikan alasan menunda upaya-upaya

      26 24 pemulihan terhadap lingkungan yang rusak tersebut; 25 Dedi, dkk. vs Perhutani, dkk. Putusan PN Bandung No. 49/Pdt.G/2003/PN.Bdg, hal. 101.

      Ibid., hal. 101 26 – 102.

      Ibid., hal. 102.

      (4) Menimbang, bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan serta siapa yang harus diberikan tanggung jawab, maka

      dengan penerapan prinsip ini pembuktian unsur kesalahan (liability base on fault ) seperti dalil gugatan penggugat agar supaya Para

      tergugat dinyatakan telah melakukan Perbuatan Melawan Hukurn menjadi tidak relevan karena dengan diterapkannya prinsip

      "precautionary principle" , pertanggung jawaban menjadi

      27 ketat/mutlak

      „strict liability”

    Dengan Penggugat mendalilkan permohonan penerapan asas kehati-

    hatian sebagaimana diterapkan di dalam Perkara Mandalawangi, maka

    relevansi digunakannya dasar pertanggungjawaban mutlak dalam

    perkara Menteri LHK melawan PT. BMH menjadi semakin kuat. Setelah

      membahas dasar hukum pertanggungjawaban mutlak dan kemungkinan penerapannya di dalam perkara Menteri LHK melawan PT. BMH, pada bagian berikutnya Sahabat Pengadilan membahas hal-hal yang perlu dibuktikan dalam pertanggungjawaban mutlak.

      B.1.2 Hal yang Perlu Dibuktikan dalam Pertanggungjawaban Mutlak

      Setelah memastikan bahwa dasar pertanggungjawaban perdata dapat digunakan dalam perkara kebakaran hutan dan/atau lahan antara Menteri LHK melawan PT. BMH, maka pembahasan berikutnya adalah merumusan hal-hal apa saja yang perlu dibuktikan dalam skema pertanggungjawaban mutlak. Ada tiga hal yang perlu dibuktikan di dalam skema pertanggungjawaban mutlak, yaitu: 1). Kegiatan yang dilakukan oleh PT. BMH merupakan kegiatan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup; 2). Penggugat/Menteri LHK mengalami kerugian; dan 3). Kerugian yang diderita oleh Penggugat/Menteri LHK disebabkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Tergugat/PT. BMH (hubungan kausalitas). Mengenai sifat kegiatan Tergugat/PT. BMH yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup sudah dibuktikan di dalam bagian B.1.1. Maka dari itu, pada bagian ini akan dibuktikan perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK serta hubungan kausalitas antara kegiatan Tergugat/PT. BMH dengan kerugian yang diderita Penggugat/Menteri LHK.

       Kerugian Perihal kerugian yang dialami oleh Penggugat/Menteri LHK telah tergambar di dalam putusan PN Palembang No. 24/Pdt.G/2015/PN.Plg.

      Penggugat/Menteri LHK mendalilkan bahwa terjadinya kebakaran seluas

    27 Ibid.

      20.000 Ha di dalam konsesi Terggugat/PT. BMH telah mengakibatkan

      28

      dideritanya beberapa jenis kerugian, seperti: 1.

      Kerugian Ekologis Kerugian ekologis ini secara spesifik berkaitan dengan kerusakan struktur lahan gambut yang berujung pada hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air. Hal ini berkaitan juga dengan kriteria umum baku kerusakan tanah gambut yang terdapat di dalam Bagian B Lampiran PP 4/2001. Salah satu parameter dari baku kerusakan

      29

      tanah gambut adalah kadar air tersedia. Terjadinya penurunan kadar air merupakan contoh kerusakan dalam parameter kadar air tersedia. Selain itu, subsidence juga menjadi parameter lainnya dalam baku kerusakan tanah gambut. Di dalam parameter

      subsidence, contoh kerusakan yang terjadi adalah ketika terjadi

      penurunan permukaan tanah gambut. Dr. Basuki Wasis di dalam keterangannya menjelaskan bahwa penurunan ketebalan gambut di lahan gambut PT. BMH yang terbakar rata-rata mencapai 20

    • – 30

      30 cm.

      2. Kerugian Hilangnya Keanekaragaman Hayati dan Sumber Daya Genetika Selain kerugian ekologis dari sisi struktur lahan gambut, kebakaran seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga telah menyebabkan hilangnya sumber daya genetika seperti microorganism tanah. Mikroorganisme tanah yang hilang ini ada yang peruntukannya sampai saat ini belum diketahui dan/atau sudah diketahui tetapi belum dimanfaatkan secara maksimal.

      3. Kerugian Terlepasnya Karbon ke Udara Kebakaran seluas 20.000 Ha pada lahan PT. BMH juga mengakibatkan terlepasnya karbon ke udara yang berkontribusi pada emisi gas rumah kaca di atmosfir. Jadi, kebakaran di lahan gambut selain menyebabkan struktur gambut menjadi rusak juga menyebabkan terjadinya kontribusi emisi gas rumah kaca di atmosfir melalui karbon yang terlepas dari lahan gambut.

      4. 28 Kerugian Ekonomis Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 13 - 18. 29 Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan, LN Tahun 2001 No. 10, TLN No.

      4076, Bagian Huruf B mengenai sifat fisika tanah. 30 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan vs PT. BMH, Putusan PN Palembang No.

      24/Pdt.G/2015/Pn.Plg, hal. 62.

      Dari sisi ekonomi, kebakaran seluas 20.000 Ha di lahan PT. BMH juga telah menghilangkan umur pakai dari lahan itu sendiri. Setidak- tidaknya umur pakai yang hilang akibat kebakaran tersebut mencapai 11 tahun.

      Berdasarkan empat uraian kerugian tersebut, Sahabat Pengadilan berpendapat bahwa pembuktian kerugian yang diderita oleh Menteri LHK sudah cukup kuat dan terlihat secara nyata. Berikutnya Sahabat Pengadilan akan membuktikan bahwa kerugian yang diderita oleh Menteri LHK terjadi disebabkan oleh usaha dan/atau kegiatan Hutan Tanaman Industri yang dilakukan oleh PT. BMH.

       Hubungan Kausalitas antara Kerugian Menteri LHK dengan Usaha

      dan/atau Kegiatan PT. BMH

      Pembuktian kausalitas biasanya dilakukan berdasarkan pengujian terhadap dua bentuk kausalitas, yakni dalam bentuk cause in fact dan dalam bentuk