HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA DAN KREATIVITAS ANAK Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 20042005 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA

DAN KREATIVITAS ANAK

Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan

Tahun Ajaran 2004/2005

  

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

  

Disusun oleh:

Rumei Endri Yani

NIM: 001114011

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN………………………………….. . ii HALAMAN PENGESAHAN……………………………………. iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………. iv ABSTRAK……………………………………………………….. v ABSTRACT……………………………………………………… vii KATA PENGANTAR……………………………………………. ix PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………….. xiii DAFTAR ISI……………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL………………………………………………… xviii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………… xix

  BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………

  1 A. Latar Belakang Masalah………………………………….

  1 B. Rumusan Masalah………………………………………..

  4 C. Tujuan Penelitian…………………………………………

  4 BAB II. KAJIAN PUSTAKA…………………………………………

  7 A. Hakikat Pola Asuh Orangtua……………………………..

  7 1. Pengertian Pola Asuh Orangtua………………………..

  7 2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua…………………..

  8

  a. Pola Demokrasi (Authoritative)……………………. 9

  b. Pola Otoriter (Authoritarian)……………………….. 11

  c. Pola Permisif (Indulgent)…………………………… 13

  d. Pola Laissez Faire (Indifferent)…………………….. 14

  B. Hakikat Kreativitas Anak…………………………………

  15 1. Pengertian Kreativitas………………………………….

  16 2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif…………………………..

  16

  3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas……………………………………………..

  18

  a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas…………………………………………..

  18

  b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas…………………………………………..

  21

  4. Peran Kreativitas dalam Hidup Manusia………………

  22 C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak

  24 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN………………………………

  32 A. Jenis Penelitian…………………………………………….

  32 B. Populasi dan Sampel Penelitian………………………….

  33 1. Populasi Penelitian…………………………………….

  33 2. Sampel Penelitian……………………………………...

  34 C. Penentuan Variabel……………………………………….

  34 D. Instrumen Pengumpulan Data……………………………

  35 E. Prosedur Pengumpulan Data……………………………..

  42

  1. Uji Coba Instrumen……………………………………

  42 a. Validitas (Kesahihan)……………………………….

  42 b. Reliabilitas (Keandalan)…………………………….

  45 2. Tahap Pengumpulan Data……………………………...

  48 F. Teknik Analisis Data……………………………………..

  48 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………………

  51 A. Hasil Penelitian dan Pengujian Hipotesis………………..

  51 1. Hasil Penelitian .........………………………………….

  51

  2. Pengujian Hipotesis ……………………………………

  53 B. Pembahasan Hasil Penelitian……………………………..

  59 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………

  74 LAMPIRAN…………………………………………………………….. 76

  DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1 : Data Siswa-siswi Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 2004/2005………………………………………..

  33 Tabel 2 : Kisi-kisi Alat Ukur Uji Coba…………………………….

  40 Tabel 3 : Kisi-kisi Alat Ukur Penelitian……………………………

  41 Tabel 4 : Klasifikasi Koefisien Korelasi Reliabilitas dan Validitas Suatu Alat Tes………………………………………….

  46 Tabel 5 : Rekapitulasi Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas

  47 Tabel 6 : Jadwal Pengumpulan Data Penelitian……………………

  48 Tabel 7 : Tabulasi Data penelitian Pola Asuh Orangtua...................

  52 Tabel 8 : Hasil Penelitian Hubungan Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak…………………………………………

  53

DAFTAR LAMPIRAN

  Halaman Lampiran 1a : Kuesioner Uji Coba………………………………

  76 Lampiran 1b : Kuesioner Penelitian……………………………..

  84 Lampiran 2a : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner

  91 Pola Asuh Orangtua……………………………… Lampiran 2b : Hasil Analisis Uji Validitas Uji Coba Kuesioner

  97 Kreativitas………………………………………..

  Lampiran 3a : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 102 Pola Asuh Orangtua………………………………

  Lampiran 3b : Hasil Analisis Uji Validitas Penelitian Kuesioner 104 Kreativitas………………………………………..

  Lampiran 4 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Uji Coba 106 Lampiran 5 : Perhitungan Reliabilitas dan Validitas Hasil Penelitian 110 Lampiran 6a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner

  Pola Asuh Orangtua………………………………… 114 Lampiran 6b : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Uji Coba Kuesioner

  Kreativitas………….………………………………… 115 Lampiran 7a : Tabel Jumlah Skor-skor Hasil Penelitian Kuesioner Lampiran 9 : Data Hasil Penelitian Kuesioner Kreativitas................ 130 Lampiran 10a: Korelasi Pola Asuh Demokratis dengan Kreativitas… 133 Lampiran 10b: Korelasi Pola Asuh Otoriter dengan Kreativitas…..… 134 Lampiran 10c: Korelasi Pola Asuh Permisif dengan Kreativitas…..… 135 Lampiran 11 : Ijin Penelitian................................................................ 136 Lampiran 12 : Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian............... 137

  ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANGTUA

DAN KREATIVITAS ANAK

  Studi pada Siswa Kelas II SMP Kanisius Kalasan Tahun Ajaran 2004/2005 RUMEI ENDRI YANI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2005

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah (1) Pola asuh demokratis/authoritative berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (2) Pola asuh otoriter/authoritarian berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (3) Pola asuh permisif/indulgent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. (4) Pola asuh laissez faire/indifferent berhubungan secara signifikan dengan kreativitas anak. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005.

  Jenis penelitian ini adalah penelitian ex-post facto. Pada penelitian ini, peneliti tidak mengendalikan variabel bebas secara langsung dan kesimpulan dibuat tentang hubungan di antara variabel-variabel dilakukan tanpa ada intervensi langsung dari peneliti. Peneliti mencoba menghimpun keterangan- keterangan berdasarkan kejadian atau pengalaman yang telah berlangsung di masa lalu menyangkut pola pengasuhan orangtua sebagaimana dialami anak maupun kreativitas yang dimiliki anak.

  Sampel penelitian adalah sebagian dari siswa-siswi kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005 yang sampai saat ini tinggal bersama dengan orangtua mereka. Jumlah sampel adalah 47 orang. Variabel penelitian ada dua yaitu: (1). variabel bebas (X) adalah pola asuh orangtua (demokrasi/authoritative, otoriter/authoritarian, permisif/indulgent dan laissez

  

faire/indifferent ), dan (2). variabel terikat (Y) adalah kreativitas anak. Alat

  pengumpul data yang digunakan adalah Kuesioner Pola Asuh Orangtua yang diadopsi dari alat penelitian Barus yang direvisi oleh Alibata dan dikembangkan oleh peneliti, yang terdiri dari pola asuh orangtua demokratis 32 item, pola asuh orangtua otoriter 15 item, pola asuh orangtua permisif 11 item dan pola asuh berhubungan positif tetapi tidak signifikan dengan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005 dengan koefisien korelasi (r = 0,467). (3) Pola asuh orangtua permisif/indulgent berhubungan positif secara signifikan dengan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005 dengan koefisien korelasi (r = 0,322). (4) Pola asuh orangtua laissez faire/indifferent menghambat perkembangan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa pola asuh orangtua demokratis/authoritative berhubungan positif secara signifikan dengan kreativitas anak, pola asuh orangtua otoriter/authoritarian dan pola asuh orangtua permisif/indulgent berhubungan positif tetapi tidak signifikan dengan kreativitas anak, sedangkan pola asuh orangtua laissez faire/indifferent menghambat perkembangan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan tahun ajaran 2004/2005.

  

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN PARENTAL REARING PATTERN

AND KIDS CREATIVITY

A Case Study at Second Grade Students of SMP Kanisius Kalasan

In 2004/2005 Learning Year

  

RUMEI ENDRI YANI

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2005

  This research aimed at understanding whether (1) rearing patterns of democratic or authoritative relate significantly to kids creativity, (2) rearing pattern of authoritary or authoritarian relate significantly to kids creativity, (3) rearing pattern of permissive or indulgent relate significantly to kids creativity, and (4) rearing pattern of laissez faire or indifferent relate significantly to kids creativity. The research was performed on second grade students of SMP Kanisius Kalasan, in learning year of 2004/2005.

  The type of this research was ex-post facto one. Upon this research, the researcher did not control independent variable directly and conclusion made about which relationship among variables was conducted with no direct intervention of researcher. Researcher tried to collect information based on events or experience during which had already taken place in the past concerning parental rearing patterns as experienced by children and creativity owned by kids.

  Research sample largely was second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year as up to now still living together with their parents. The amount of sample was 47 people. Two research’s variables observed; are: (1). independent variable (X), i.e. parental rearing pattern (democracy or authoritative, authoritary or authoritarian, permissive or indulgent, and laissez faire or indifferent) and (2). dependent variable (Y), i.e. kids creativity. Data collection means that was used were Parental Rearing Pattern Questioner adopted from Barus investigation tool revised by Alibata and forther developed by researcher, consisting of 32 items of democratic parental rearing pattern, 15 items of authoritary parental rearing pattern, 11 items permissive parental rearing learning year with correlation coefficient (r = 0,443). (2) Authoritary or authoritarian parental rearing pattern relate not significantly positive to kids creativity on second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year with correlation coefficient (r = 0,467). (3) Permissive or indulgent parental rearing pattern relate not significantly positive to kids creativity on second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year with correlation coefficient (r = 0,322). (4) Laissez faire or indifferent parental rearing pattern relate negative to kids creativity on second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year. Thus, in general it could be concluded that democratic or authoritative relate significantly positive to kids creativity, authoritary or authoritarian and permissive or indulgent parental rearing patterns relate not significantly positive to kids creativity, whereas laissez faire or indifferent parental rearing pattern delay the development of kids creativity on second grade students of SMP Kanisius Kalasan in 2004/2005 learning year.

BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini penulis akan memaparkan latar belakang masalah,

  perumusan masalah, hipotesis penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan definisi operasional variabel.

A. Latar Belakang Masalah

  Munandar Utami (1999: 14) mengemukakan bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, termasuk kesenian, demi kesejahteraan bangsa pada umumnya. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya tertuju pada pengembangan kreativitas peserta didik agar kelak dapat memenuhi kebutuhan pribadi serta kebutuhan masyarakat dan negara.

  Keluarga sebagai media pendidikan pertama bagi anak merupakan media yang paling efektif bagi terciptanya daya kreativitas dalam diri anak, karena di dalam keluarga anak pertama kali mendapatkan pengalaman hidup dan keluarga merupakan lingkungan yang paling kuat pengaruhnya dalam

  Dalam GBHN 1993 (dalam Munandar, 1999) dinyatakan bahwa pengembangan kreativitas hendaknya dimulai pada usia dini, yaitu di lingkungan keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dan dalam pendidikan prasekolah. Perkembangan kreativitas anak sangatlah penting, tidak hanya demi pengembangan intelektualitasnya, atau untuk meningkatkan kebudayaannya, tetapi juga bagi kesejahteraan jiwanya. Renzulli, 1981 (dalam Munandar, 1999) mengemukakan bahwa kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.

  Dewasa ini kreativitas anak-anak dapat dikatakan belum berkembang dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh pola asuh orangtua, cara orangtua dalam mendidik dan memberi pemahaman kepada anak-anak. Masih banyak orangtua yang mendidik anak dengan cara-cara yang kurang mendukung terciptanya daya kreativitas dalam diri anak. Banyak orangtua yang kurang memberikan kesempatan kepada anak dalam mengembangkan daya kreativitas mereka. Orangtua mempunyai harapan tertentu tentang bagaimana anak mereka harus berperilaku dan setiap orangtua akan senang bila harapan ini terpenuhi, akan tetapi kebanyakan orangtua kurang bisa menyampaikan apa yang diinginkannya untuk dilakukan oleh anak mereka mempunyai daya kreasi. Hal-hal tersebut di atas menyebabkan anak, khususnya pada usia remaja kurang bisa memunculkan ide-ide maupun pikiran-pikiran baru yang mendorong daya kreativitasnya.

  Bermacam-macam kondisi rumah tangga, misalnya: keadaan sosial-ekonomi keluarga, hubungan ayah dan ibu, hubungan orangtua dan anak, kesibukan orangtua di luar rumah, perhatian dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, jumlah anak dalam keluarga, tingkat pendidikan orangtua, dan sebagainya mempunyai hubungan yang erat dengan perkembangan kreativitas anak dalam keluarga.

  Keadaan ideal yang diharapkan adalah orangtua menyadari besarnya peran mereka terhadap perkembangan remaja, khususnya terhadap perkembangan kreativitasnya. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh para orangtua untuk merangsang perkembangan kreativitas anaknya, misalnya dengan mengusahakan suatu lingkungan yang kaya akan rangsangan mental dan suasana di mana anak merasa tertarik dan tertantang untuk mewujudkan kreativitasnya. Orangtua seharusnya memberi kebebasan kepada anak untuk melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang merangsang dan menumbuhkan kreativitas anak.

  Orangtua hendaknya juga menyadari bahwa setiap anak merupakan

  B. Rumusan Masalah

  Permasalahan yang akan diselidiki dalam penelitian ini adalah: “Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orangtua dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?” Secara lebih rinci permasalahan utama tersebut dijabarkan sebagai berikut:

  1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh demokratis/authoritative dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

  2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

  3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

  4. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pola asuh laissez

  faire/indifferent

  dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji hubungan antara pola

  2. Mengetahui hubungan antara pola asuh otoriter/authoritarian dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

  3. Mengetahui hubungan antara pola asuh permisif/indulgent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

  4. Mengetahui hubungan antara pola asuh laissez faire/indifferent dan kreativitas anak pada siswa kelas II SMP Kanisius Kalasan.

D. Manfaat Hasil Penelitian

  Manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:

  1. Memberikan sumbangan pemikiran yang dapat dimanfaatkan oleh para pendidik, baik guru pembimbing maupun orangtua, agar dapat merancang kegiatan yang bermanfaat dan menarik bagi remaja sehingga remaja dapat tumbuh sebagai pribadi yang kreatif.

  2. Memberikan tambahan informasi bagi penelitian ilmiah, khususnya di bidang Pendidikan, Bimbingan dan Konseling tentang kreativitas ditinjau dari pola asuh orangtua.

  3. Hasil penelitian ini diharapkan digunakan oleh guru pembimbing untuk mengembangkan program bimbingan, baik bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, maupun bimbingan karier, untuk siswa-siswi

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

  1. Identifikasi Variabel

  Terdapat dua variabel dalam penelitian ini. Variabel pertama adalah pola asuh orangtua (demokratis, otoriter, permisif dan laissez faire) sebagai variabel bebas (X) dan variabel kedua adalah kreativitas anak, sebagai variabel terikat (Y).

  2. Definisi Operasional Variabel

  a. Pola asuh orangtua adalah perlakuan orangtua dalam rangka dalam rangka merawat, mendidik, melatih, memimpin, memberikan perlindungan, dan memenuhi kebutuhan anak dalam kehidupan sehari- hari. Bentuk perlakuan itu diekspresikan secara nyata dan langsung, serta dilakukan secara berulang-ulang.

  b. Kreativitas adalah kemampuan mental dan berbagai jenis keterampilan khas manusia yang dapat melahirkan pengungkapan yang unik, berbeda, orisinal, sama sekali baru, tepat sasaran dan tepat guna (Chandra Julius, 1994: 15). Menurut Olson (1989: 14) kreativitas mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA Pada bab ini secara singkat akan dijelaskan kajian teoritis yang menjadi dasar perumusan hipotesis yang memberi arahan bagi penelitian ini. Kajian teoritis yang dimaksud mencakup: Pola asuh orangtua, kreativitas anak,

  hubungan pola asuh orangtua dengan kreativitas anak, dan sikap orangtua yang memupuk dan menghambat kemampuan kreativitas remaja.

A. Hakikat Pola Asuh Orangtua

1. Pengertian Pola Asuh Orangtua

  Pola dapat diartikan sebagai sebuah sistem, cara kerja, bentuk yang tetap, bentuk pengorganisasian program kegiatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) pola bisa diartikan sebagai bentuk (yang dipraktekkan secara berulang-ulang) atau struktur yang tetap. Sedangkan asuh berarti menjaga (merawat dan mendidik) anak, membimbing (membantu dan melatih), memimpin (mengepalai, menyelenggarakan) dan menjaga supaya orang (anak) dapat berdiri sendiri. Jadi pola asuh dapat dimaknai sebagai suatu sistem yang diterima dan dipakai sebagai pedoman

2. Macam-macam Pola Asuh Orangtua.

  Menurut Diana Baumrind (dalam Alibata, 2000) ada dua aspek dari tingkah laku pengasuhan orangtua, yaitu: parental responsiveness dan

  

parental demandingness . Parental responsiveness menunjuk pada sejauh

  mana orangtua menanggapi atau memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak dalam suatu sikap yang menerima dan mendukung, sedangkan parental

  

demandingness menunjuk pada sejauh mana orangtua mengharapkan dan

  menuntut perilaku yang bertanggungjawab dan matang dari anak-anak mereka.

  Menurut Steinberg (dalam Alibata, 2000) perpaduan antara aspek

  

parental responsiveness dan parental demandingness melahirkan empat

  pola pengasuhan orangtua terhadap anak, sebagaimana divisualisasikan pada gambar sebagai berikut:

  

Demandingness

High Low

Authoritative Indulgent

High

  Responsiveness Authoritarian Indifferent Low tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka, namun juga sangat menuntut anak-anak mereka. Kedua pola asuh

  

authoritarian yang bercirikan orangtua yang sangat menuntut ketaatan dan

  kepatuhan dari anak-anak mereka, tetapi kurang responsif atau kurang tanggap terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan anak-anak mereka.

  Ketiga, pola asuh indulgent yang bercirikan orangtua yang sangat responsif, tetapi tidak menuntut kedisiplinan dari anak-anak mereka, bahkan tidak menuntut sama sekali sehingga memanjakan anak. Keempat, pola asuh indifferent yang bercirikan orangtua yang tidak menuntut, namun juga tidak responsif atau tidak tanggap terhadap kebutuhan- kebutuhan anak-anaknya. Bahkan sering acuh tak acuh kepada anak.

  Prasetya (2003: 27) mengkualifikasikan pola pengasuhan dalam empat kategori, yaitu pola asuh demokratis (authoritative), pola asuh otoriter (authoritarian), pola asuh permisif/penyabar/pemanja (indulgent), dan pola asuh laissez faire/penelantar (indifferent).

  Masing-masing pola pengasuhan itu diidentifikasi sebagai berikut:

a. Pola Demokratis ( Authoritative )

  Menurut Prasetya (2003: 27) pola pengasuhan demokratis diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan perkembangan kepribadian anak sepanjang hidup. Orangtua demokratis lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan kepentingan dirinya.

  Orangtua demokratis mengajarkan kepada anaknya tentang bagaimana berperilaku dan bertanggungjawab, mereka menghadiahkan sesuatu benda kepada anaknya jika anaknya melaksanakan apa yang diajarkan dan ada beberapa konsekuensi bila anak melanggar peraturan, namun tingkah laku anak lebih sering dihargai daripada dihukum (Lighter, 1999: 19). Perlakuan orangtua penuh cinta kasih tetapi tegas. Hurlock (1999) dan Lighter (1999) mengatakan bahwa orangtua demokratis menggunakan seperangkat standar untuk mengatur anak-anaknya sesuai dengan perkembangan dan kemampuan anak. Kepada anak yang masih kecil dibiasakan dan diberitahukan mengenai peraturan yang harus dipatuhi dalam kata-kata yang dimengertinya. Dengan bertambahnya usia, anak tidak saja dibiasakan dan diberi penjelasan tentang peraturan, melainkan juga diberi kesempatan untuk menyatakan pendapat mereka tentang peraturan.

  Menurut Prasetya (2003: 27) “orangtua demokratis tidak ragu- ragu dalam mengendalikan anak. Berani menegur anak bila anak sebagai makhluk biologis semata, tetapi merupakan manusia utuh yang juga memiliki pikiran dan emosi”.

  Pola asuh demokratis memungkinkan anak tumbuh dengan keunikan rasa sebagai pribadi dan dengan kecakapan untuk menjadi mandiri (Lighter, 1999; Prasetya, 2003). Gunarsa dan Gunarsa (1986: 84) mengatakan bahwa orangtua demokratis memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan yang tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara kedua belah pihak, anak dan orangtua. Keinginan dan pendapat anak diperhatikan. Dengan cara demokratis ini pada anak akan tumbuh rasa tanggung jawab untuk memperlihatkan sesuatu tingkah laku dan selanjutnya memupuk kepercayaan dirinya.

  Para peneliti (dalam Prasetya, 2003: 29) menemukan bahwa anak-anak dengan pola pengasuhan authoritative cenderung lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan mengendalikan diri, mudah bekerja sama dengan orang lain serta ramah terhadap orang lain yang menyebabkan mereka mudah bergaul dengan teman-teman sebaya maupun dengan orang-orang yang lebih dewasa. sepihak oleh orangtua, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah. Lighter (1999: 18) mengatakan bahwa “orangtua yang bertipe authoritarian pasti akan sangat keras kepada anak dan mungkin tampak sangat kuat dan mengancam dalam beberapa hal. Anak dipaksa untuk menerima nilai-nilai yang mereka ajarkan dan mematuhi cara mereka melakukan segala sesuatu pada setiap saat. Orangtua menetapkan peraturan rumah yang keras”.

  Orangtua otoriter membuat pembatasan dan peraturan untuk mengontrol perilaku anak. Apabila anak melanggar peraturan, norma, atau ketentuan yang telah ditetapkan, maka anak akan mendapat hukuman, namun jika anak melaksanakan apa yang telah ditetapkan orangtua, anak jarang sekali mendapat pujian/penghargaan (Hurlock 1999: 93). Kebanyakan anak dari pola pengasuhan otoriter melakukan tugas-tugasnya karena takut memperoleh hukuman (Prasetya, 2003: 29). Meskipun orangtua mencintai anaknya, mereka kurang memperlihatkan afeksi mereka secara fisik kepada anak-anaknya (Hurlock, 1999; Lighter, 1999).

  Menurut Prasetya (2003: 29) pola asuh otoriter cenderung tidak otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit dan memusingkan.

  Orangtua yang bersikap otoriter, yang selalu memberi kecaman terhadap anak membuat anak berperilaku agresif (Shochib, 1998).

  Prasetya (2003: 30) mengatakan bahwa anak laki-laki dengan pola pengasuhan otoriter sangat mungkin memiliki resiko berperilaku antisosial, agresif, impulsif dan perilaku-perilaku maladaptif lainnya. Anak perempuan cenderung menjadi tergantung pada orangtuanya. Anak-anak yang dibesarkan dalam pola otoriter ditambah dengan siksaan-siksaan atau deraan-deraan fisik dikemudian hari dapat menjadi kriminal atau melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang wajar.

c. Pola Permisif ( Indulgent )

  Orangtua permisif cenderung lebih bersikap membiarkan remaja mereka, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam tingkah laku mereka. Remaja mendapatkan kesempatan sebebas- bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola pikirnya, dipacu untuk mandiri, sehingga kontrol orangtua tidak terlalu dihukum dan tidak pernah diberi hadiah bila melakukan hal-hal yang umum (Lighter, 1999: 19).

  Orangtua permisif sangat mencintai anak-anaknya, namun mereka sama sekali tidak menetapkan aturan dan disiplin. Orangtua permisif mengabaikan peluang yang penting untuk melatih dan membimbing anak-anaknya dengan berbagai kecakapan yang diperlukan anak-anak untuk mandiri (Lighter 1999: 19). Prasetya (2003: 31) mengatakan bahwa anak-anak yang terlantar karena orangtua yang kurang bahkan sama sekali tidak mempedulikan perkembangan psikis anak merupakan anak-anak yang paling potensial terlibat penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) dan tindakan- tindakan kriminal lainnya. Orangtua lebih memprioritaskan kepentingan sendiri daripada kepentingan anak. Kepentingan perkembangan kepribadian anak terabaikan karena orangtua terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri. Orangtua sering tidak peduli atau tidak tahu dimana anak-anaknya berada, dengan siapa saja mereka bergaul, sedang apa anak tersebut dan sebagainya.

d. Pola Laissez Faire ( Indifferent )

  (dalam Alibata 2000) orangtua indifferent cenderung menolak/mengabaikan/menelantarkan anak. Bagi orangtua indifferent tidak ada kesempatan untuk memperhatikan anak. Mereka tidak peduli terhadap kebutuhan, aktivitas, kegiatan belajar maupun pergaulan anak-anak dengan teman-temannya. Orangtua indifferent hampir tidak pernah berbincang-bincang atau berkomunikasi dengan anak. Mereka mengabaikan pendapat atau masukan anak dalam membuat keputusan. Mereka bahkan menjauh dari anak baik secara fisik maupun psikis.

B. Hakikat Kreativitas Anak

1. Pengertian Kreativitas

  Menurut Munandar (1988: 1) kreativitas merupakan ungkapan unik dari keseluruhan kepribadian sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya, dan yang tercermin dalam pikiran, perasaan, sikap atau perilakunya. Olson (1989) mengatakan bahwa :

  “Kreativitas mengacu pada kemampuan individu yang mengandalkan keunikan dan kemahirannya untuk menghasilkan gagasan baru dan wawasan yang segar yang sangat bernilai bagi individu tersebut. Kreativitas merupakan suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang tidak berkembang secara alamiah atau tidak dibuat dengan cara yang biasa”. antara hal-hal atau obyek-obyek yang sebelumnya tidak ada atau tidak tampak hubungannya. Sedangkan Hurlock (1999: 4) mengemukakan bahwa:

  “Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk, atau gagasan apa saja yang pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya. Ia dapat berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya perangkuman. Ia mungkin mencakup pembentukan pola baru dan gabungan informasi yang diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Ia harus mempunyai maksud dan tujuan yang ditentukan, bukan fantasi semata, walaupun merupakan hasil yang sempurna dan lengkap. Ia mungkin dapat berbentuk produk seni, kesusasteraan, produk ilmiah, atau mungkin bersifat prosedural atau metodologis”.

2. Ciri-ciri Pribadi yang Kreatif

  Pribadi yang kreatif adalah orang-orang yang terbuka sepenuhnya kepada semua pengalaman, yang memiliki kepercayaan diri, yang fleksibel dalam keputusan serta tindakan mereka dan yang akan mengungkapkan diri mereka dalam produk-produk yang kreatif dan kehidupan yang kreatif dalam semua bidang kehidupan mereka (Rogers; dalam Schultz, 1991: 54). Munandar, 1977 (dalam Semiawan. dkk, 1984: 10) mengemukakan bahwa pribadi kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: mempunyai daya imajinasi yang kuat, mempunyai inisiatif, mempunyai minat yang luas, menyatakan pendapat meskipun mendapat kritik dan berani mempertahankan pendapat yang menjadi keyakinannya).

  Menurut Chandra (1994) ciri-ciri orang yang kreatif adalah sebagai berikut: a. Memiliki hasrat untuk mengubah hal-hal di sekelilingnya menjadi lebih baik.

  b. Memiliki kepekaan, yaitu bersikap terbuka dan tanggap terhadap segala sesuatu.

  c. Memiliki minat untuk menggali lebih dalam dari yang tampak di permukaan.

  d. Memiliki rasa ingin tahu yaitu semangat yang tak pernah berhenti untuk mempertanyakan.

  e. Mendalam dalam berpikir yaitu sikap yang mengarahkan untuk pemahaman yang mendalam pula.

  f. Memiliki konsentrasi yaitu mampu menekuni suatu permasalahan hingga menguasai seluruhnya.

  g. Memiliki sikap mencoba dan melaksanakan yaitu bersedia mencurahkan tenaga dan waktu untuk mencari dan mengembangkan.

  h. Memiliki kesabaran untuk memecahkan permasalahan dalam

  Torrance (dalam Munandar, 1999) mengatakan bahwa pribadi yang kreatif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: berani dalam pendirian dan keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan dalam memberi pertimbangan, bersibuk diri terus-menerus dengan kerjanya atau apa yang menarik perhatiannya, intuitif, ulet, dan tidak bersedia menerima pendapat orang lain (termasuk otoritas) begitu saja jika tidak sesuai dengan keyakinannya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas.

a. Faktor-faktor yang Mendukung Perkembangan Kreativitas.

  Menurut Munandar, Utami (1988: 17) sikap-sikap dan kondisi- kondisi yang perlu dipupuk untuk menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas individu, yang berlaku baik bagi remaja dan orang dewasa muda maupun bagi masa-masa usia selanjutnya yaitu: 1). Kesendirian (aloneness).

  Kesendirian memungkinkan orang lebih mendengarkan (peka terhadap) sumber-sumber dalam dirinya, dan tidak terlalu diungkapkan terhadap rangsangan-rangsangan konvensional atau klik-klik di dalam masyarakat. Biasanya orang memperoleh jangka waktu tertentu dan tidak selalu berada bersama orang lain atau hanya senang melakukan kegiatan kelompok. Individu harus mampu berselang-seling antara kegiatan kelompok dan kegiatan sendiri, dalam situasi inilah kreativitas lebih dimungkinkan berkembang. 2). Mengambil waktu untuk berpikir dan ber-rasa.

  Mengembangkan alam perasaan sangat penting untuk pertumbuhan kreativitas. Individu membutuhkan waktu untuk berpikir dan ber- rasa. Jika seseorang selalu terlibat dalam salah satu kegiatan atau pekerjaan di luar, ia membatasi kemungkinan untuk mengembangkan sumber-sumber dalam dirinya. Bekerja memang baik bagi remaja untuk membentuk rasa tanggungjawab dan kewarganegaraan yang baik, tetapi terlalu banyak kegiatan rutin tanpa waktu untuk berpikir dan ber-rasa akan menghambat kegiatan/pertumbuhan mental dan kreativitas. 3). Merenung dan melamun.

  Dalam merenung dan melamun individu tidak pasif, tetapi dapat melihat kemungkinan-kemungkinan baru, gagasan-gagasan yang sampai saat ini belum pernah terpikirkan. Melamun dan

  4). Berpikir bebas.

  Bebas dari hambatan, dari praduga atau stereotip, yang memungkinkan individu menelusuri macam-macam arah, menjajaki macam-macam alternatif, yang akan menghasilkan ide- ide baru.

  5). Kesiapan untuk melihat kesamaan atau analogi Kemampuan untuk membentuk sesuatu yang baru dengan menggabung unsur-unsur yang beragam atau yang pada kesan pertama nampaknya tidak relevan. 6). Kesediaan untuk menunda pemberian kritik, pertimbangan atau penilaian untuk kala waktu tertentu.

  Kecenderungan untuk langsung memberikan kritik terhadap suatu gagasan baru, dapat mematikan spontanitas dan keberanian untuk menyampaikan sesuatu pendapat, apalagi jika pendapat itu menyimpang dari yang konvensional.

  7). Konflik sebagai motivasi Konflik dapat menjadi motivasi untuk berkreasi.

  8). Kesiagaan dan disiplin Untuk menghasilkan karya kreatif yang bermakna, yang diperlukan

b. Faktor-faktor yang Menghambat Perkembangan Kreativitas.

  Lingkungan yang menghambat perkembangan kreativitas dapat merusak motivasi anak dan dapat mematikan kreativitas (Amabile, 1989; dalam Munandar, 1999). Menurut Munandar (1999: 316) dalam upaya membantu anak merealisasikan potensinya, seringkali orangtua menggunakan cara paksaan agar anak belajar. Penggunaan paksaan atau kekerasan tidak saja berarti bahwa orangtua mengancam dengan hukuman atau memaksakan aturan, tetapi juga bila orangtua memberikan hadiah atau pujian secara berlebihan.

  Amabile (dalam Munandar, 1999) mengemukakan empat cara yang mematikan kreativitas, yaitu: evaluasi, hadiah, persaingan (competitive) dan lingkungan yang membatasi. 1). Evaluasi.

  Menurut Rogers (dalam Munandar, 1999) salah satu syarat untuk memupuk kreatifitas konstruktif adalah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau setidak-tidaknya menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang berkreasi.

  2). Hadiah.

  Munandar (1999: 318) mengatakan bahwa pemberian yang terbaik akan mendapatkan hadiah. Kompetisi terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.

  (Munandar, 1999: 318). 4). Lingkungan yang membatasi.

  Menurut Albert Einstein (dalam Munandar 1999) belajar dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan paksaan.

4. Peran Kreativitas dalam Kehidupan Manusia

  Manfaat dari kreativitas yang dapat dikembangkan dan dimiliki seseorang bagi kehidupannya di dunia ini besar sekali. Menurut Ruth Richards (dalam Gie; 2003: 22) kreativitas merupakan dasar bagi kelangsungan di dunia ini, karena kemampuan itu adalah kemampuan kita untuk menyesuaikan diri pada perubahan, ini menjadi inti bagi kelangsungan hidup manusia. Ellen McGrath (dalam Gie; 2003: 22) berpendapat bahwa untuk menghadapi ketidakstabilan dalam hidup, setiap orang perlu menemukan berbagai pemecahan yang baru dan kreatif terhadap berbagai tantangan dari kehidupan sehari-hari, oleh karenanya kreativitas akan menjadi keterampilan untuk kelangsungan hidup.

  Menurut Munandar (1999: 43) kreativitas begitu bermakna b. Pemikiran kreatif (disebut juga berpikir divergen) perlu dilatih, karena membuat anak lancar dan luwes (fleksibel) dalam berpikir, mampu melihat suatu masalah dari berbagai sudut pandang, dan mampu melahirkan banyak gagasan.

  c. Bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat bagi diri pribadi dan lingkungan, tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu.

  d. Kreativitaslah yang memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya.

  Olson (1989: 20) mengatakan bahwa kreativitas bermanfaat bagi manusia, yaitu dengan kreativitas: a. Manusia menjadi lebih kreatif menjadi lebih terbuka pikirannya terhadap gagasan sendiri (kepercayaan terhadap diri sendiri menjadi lebih besar dan gagasan orang lain.

  b. Manusia mempelajari bagaimana menunda keputusan.

  c. Inisiatif dan sumber daya manusia meningkat. Permasalahan umumnya diketahui lebih awal dan ditangani pada saat itu juga. Demikian juga, peluang pada umumnya diketahui lebih awal dan dapat memperoleh keuntungan daripadanya selekas mungkin. Penundaan, yang sering diakibatkan oleh masalah yang muncul secara luar biasa, telah e. Manusia memperoleh kepercayaan dan penerimaan diri yang lebih besar yang juga menghasilkan penerimaan tanggung jawab yang lebih antusias.

  f. Membantu manusia dalam pemecahan masalah secara kreatif serta dapat membangkitkan gagasan.

  g. Manusia memperoleh kesenangan yang dapat memberi motivasi dan energi untuk mendekati kehidupan secara kreatif, yang pada gilirannya meningkatkan kesenangan dan kegembiraan hidup.

C. Hubungan antara Pola Asuh Orangtua dan Kreativitas Anak Pola asuh orangtua mempengaruhi kemampuan kreativitas remaja.

  Menurut Munandar (1999) kreativitas adalah hasil dari proses interaksi antara individu dan lingkungan. Kemampuan kreatif seseorang dipengaruhi oleh lingkungan di mana seseorang berada, dengan demikian berarti lingkungan dapat menunjang dan atau menghambat kreativitas seseorang.

  Sikap-sikap orangtua terhadap anak dapat memupuk dan memperkembangkan kreativitas anak, tetapi dapat pula menghambat atau tidak memupuk kreativitas anak. Memupuk kreativitas anak maksudnya kreativitasnya memerlukan waktu untuk bermain-main, untuk bergaul dengan temannya, untuk membaca buku-buku biasa dan tidak semata-mata buku pelajaran.

  Kebanyakan orangtua sering mengungkapkan bahwa mereka ingin memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, akan tetapi memberikan yang terbaik hanya akan mudah diucapkan, tidak mudah dilaksanakan. Sering kali maksudnya demikian, tetapi hasilnya adalah memanjakan, dan pada hakikatnya orangtua yang memanjakan akan melemahkan anak-anaknya. Di lain pihak ada orangtua yang ambisius, lalu memberi anak-anaknya banyak bekal dan target. Tetapi hasilnya malahan semacam penjejalan, sehingga timbul rasa rendah diri dalam diri anak kalau ia gagal dalam memenuhi harapan.

  Menurut Munandar (1999) dalam suasana non-otoriter, ketika anak belajar atas prakarsa sendiri maka anak dapat berkembang karena orangtua menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengemukakan gagasan baru, dan ketika anak diberi kesempatan untuk bekerja sesuai dengan minat dan kebutuhannya, maka kemampuan kreatif dapat tumbuh subur.

  Menurut Indrawati (dalam Kartono: 1985) anak yang dibesarkan di mencoba dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak mendapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan kehilangan spontanitas, dan tidak dapat mencatuskan ide-ide baru. Dapat juga anak menjadi takut mengemukakan pendapatnya.

  Orangtua yang memberikan kebebasan kepada remaja untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran atau perasaannya, permissiveness ini memberi remaja kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Dengan adanya kebebasan psikologis dan kesempatan sebebas-bebasnya untuk menentukan keinginannya sesuai dengan pola pikirnya, dipacu untuk mandiri, maka akan memungkinkan timbulnya kreativitas yang konstruktif dalam diri remaja (Rogers, dalam Munandar, 1999; Gunarsa dan Gunarsa, 1986: 83; Lighter, 1999: 19).