Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana

  Busri dkk. : Rancang bangun mikrokontroler AT89S51 sebagai alat ukur kekuatan gigi

Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran

klinis awal dan tatalaksana

  

(Oral pemphigus vulgaris: Recognition early clinical features, and its

management

Febrina Rahmayanti Department of Oral Medicine Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia

  ABSTRACT

Background: Pemphigus vulgaris (PV) is a chronic autoimmune mucocutaneous disease. It often begins with blister formations

which easily rupture. Fifty percent to 70% of patients with PV have initial site of involvement in the oral mucosa, before extensive

extraoral or other mucosa lesion appear. Oral lesions are hallmark of PV. Purpose: The aim of this paper is sharing information with

general practitioner dentists to recognize clinical presentations, examination and adequate therapy for PV. Case: This article reports

a case of PV in a 37 years old woman who had complained chronic aphthous without any skin lesion. Two years ago, she had come

to our clinic and diagnosed of Recurrent aphthous stomatitis (RAS). After that, she also had been diagnosed of Erythema

multiforme(EM). Clinical examinations had found desquamative gingivitis, multiple oral mucosa ulcerations and sloughing. Definitive

diagnosis made after biopsy of the oral mucosa, demonstrated suprabasal and intraepitel acantholysis, which is histopathology

characteristic of PV. Case Management: Patients treated with corticosteroid combined with Azathioprine and induce the clinical

remission. Conclusion: The conclusion are PV frequently affects oral mucosa initially and it must be distinguished from other oral

ulceration (RAS and EM), which can be the sole manifestation of PV, at least initially. A full history and examination, biopsy and

appropriate histopathology are indicated. Thus, establishment of definite diagnosis and adequate and comprehensive combination

treatment (corticosteroid and Azathioprine), could present clinical remission.

  Key words: Pemphigus vulgaris (PV), clinical features PENDAHULUAN

  Pemphigus merupakan suatu kelompok penyakit autoimun yang berpotensi menimbulkan kematian, dengan karakteristik berupa bula atau blister pada kulit dan mukosa. Pemphigus vulgaris (PV) adalah varian yang paling umum (80% dari kasus Pemphigus), dengan karakteristik adanya sirkulasi autoantibodi immunoglobulin-G (Ig-G) terhadap desmoglein-1(Dsg-1) atau desmoglein 3(Dsg-3), yang menyebabkan akantolisis atau hilangnya adhesi intersel. 1-5 Gambaran klinis PV berupa ulserasi yang multipel pada mukosa oral dan dapat pula berupa lepuhan pada kulit yang kronis.

  Hampir pada semua kasus dijumpai lesi oral, dimana pada sekitar 60% kasus PV, 1 didahului dengan terjadinya lesi oral, yang kemudian diikuti dengan lesi pada kulit. Lesi oral merupakan hallmark dari PV. Biasanya lesi kulit akan terjadi setelah timbul lesi oral sekitar 6 bulan (99% kasus) 5 sampai 1 tahun. 4 Tujuan penulisan makalah ini melaporkan suatu kasus PV dengan gambaran klinis awal yang tidak spesifik, namun lebih menyerupai lesi diagnosis bandingnya, seperti SAR dan EM. Dijabarkan pula mengenai kendala dalam penetapan diagnosis kasus, dan terapi PV oral yang telah terjadi sekitar 2 tahun tanpa adanya lesi kulit.

  

Correspondence: Febrina Rahmayanti, Department of Oral Medicine Faculty of Dentistry Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No.4 Jakarta Pusat,

Phone/Fax: 021-2303257. E-mail: febrina_r@ui.ac.id

  Vol. 61, No. 1, Januari-April 2012, Hal. 29-34 |

ISSN 0024-9548

  KASUS

  Seorang wanita 37 tahun datang ke Paviliun Khusus Rumah Sakit Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (Pavsus RSGM FKGUI). Dari anamnesa, pasien mengatakan merasa nyeri di mulutnya, susah makan dan minum, sejak sekitar 5 hari yang lalu. Sebelumnya pernah minum jamu godok untuk mengobati sariawan, namun sekarang tidak lagi. Riwayat sariawan di mulutnya sekitar 2 tahun yang lalu, dan pernah diagnosis Stomatitis Aftosa Rekuren(SAR). Tidak ada kelainan selain di mulut dan bibir. Pemeriksaan klinis terlihat adanya lesi erosif yang mudah berdarah, terutama pada bibir atas terutama di vermillion. Terdapat sloughing pada mukosa labial bawah (Gambar 1). Selain itu terdapat pula ulserasi dangkal pada mukosa labial atas dengan diameter sekitar 5 mm berbentuk bulat dengan tepi irregular. Mukosa palatum durum terdapat daerah eritema dan sloughing serta daerah erosif di sekitarnya. Ulserasi pada mukosa bukal terlihat tidak spesifik, lesi berfisur-fisur, batas tidak jelas, tidak tampak adanya bula pada mukosa mulut (Gambar 2). Attached gingiva anterior terlihat eritema dengan deskuamasi. Dorsum lidah terlihat sloughing dan fisur, sedangkan pada ventral lidah anterior dan lateral erosif dan terdapat beberapa ulserasi dangkal dengan diameter yang < 1 cm. Kebersihan gigi dan mulut kurang, dijumpai adanya plak dan debris.

  Saat ini diagnosis mengarah pada Pemphigus Vulgaris (PV) dan diagnosis banding Mucous Membrane Pemphigoid (MMP) dan Eritema Multiforme(EM). Untuk memastikan diagnosis pasien direncanakan untuk biopsi. Nikolsky sign tidak dapat dilakukan karena keadaan mukosa mulut dengan ulserasi multiple dan keluhan sakit dari pasien.

  Kunjungan pertama pasien diberikan terapi simptomatik Bendzydamine hydrochloride yang dikumurkan 3 kali sehari, kemudian pasien dianjurkan untuk diet cair atau lunak yang mengandung karbohidrat, protein dan mineral, serta banyak minum putih. Pasien tetap dianjurkan untuk menjaga kebersihan mulutnya dengan menyekakan kassa steril yang telah diberi Povidone iodine 3 kali sehari. Pemeriksan laboratorium dilakukan untuk persiapan biopsi.

  Berdasar anamnesa dan data rekam medik, diketahui terdapat riwayat ulserasi yang hilang timbul sejak sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu terdapat ulserasi dangkal bulat, dengan diameter sekitar 5 mm dikelilingi daerah eritematous, dasar ulser ditutupi pseudomembranous, batas lesi jelas pada mukosa bukal kanan, regio 17, mukosa bukal kiri, di dekat sudut mulut, dan di regio 26, serta pada

  midline palatum molle. Pasien didiagnosis Stomatitis

  aftosa rekuren (SAR), dan diberi terapi sesuai untuk SAR (Gambar 3). Sembilan bulan kemudian, pasien datang kembali dengan lesi bibir dan ulserasi dangkal multipel pada mukosa bukal dan lidahnya, yang didiagnosis Eritema Multiforme(EM).

  Pemeriksaan klinis terlihat, lesi bibir dengan krusta merah kehitaman. Mukosa bukal dan dasar mulut terdapat lesi ulserasi berupa fisur-fisur dangkal (Gambar 4). Faktor predisposisi diperkirakan terkait jamu godok (obat alternatif yang digunakan pasien untuk mengobati sariawannya yang sering kambuh). Pasien diterapi steroid tapering down.

  Kunjungan kedua dua bulan kemudian, pasien datang kembali karena sariawan yang dideritanya masih belum sembuh. Masih sering berdarah bila menyikat gigi. Pemeriksaan klinis terlihat adanya fisur-fisur pada mukosa bukal, dan dasar mulut serta Gambar 1.

  Sloughing pada mukosa labial bawah, deskuamasi gingiva.

  Gambar 2. Mukosa bukal kanan tampak fisur-fisur.

  Rahmayanti : Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana Jurnal PDGI 61 (1) Hal. 29-34 © 2012

TATALAKSANA KASUS

  lidah. Gingiva terlihat atropi dan kemerahan. Pasien kemudian direncanakan untuk biopsi. Setelah mendapat persetujuan dari bagian hematologi, maka dilakukan biopsi pada lesi di mukosa bukal. Hasil biopsi memperlihatkan adanya lapisan sel epitel yang terpisah dengan lapisan sel basal (intraepithelial akantolisis), dan beberapa sel yang lepas-lepas dengan inti besar dan hiperkromatik (Tzanck Cell). Keadaan ini sesuai dengan Pemphigus Vulgaris (PV). Selanjutnya pasien diterapi Prednison 30 mg 2 kali sehari yang diminum pagi dan malam hari. Pasien diinstruksikan untuk diet cair yang mengandung karbohidrat, protein, dan mineral.

  Lesi deskuamatif gingiva diberikan triamcinolone

  acitonide untuk dioleskan pada daerah lesi. Untuk

  meningkatkan kesehatan jaringan periodontal dilakukan skaling, pemakaian obat kumur klorheksidin glukonat 0,2%, kontrol plak, dan edukasi. Nystatin oral suspention diberikan untuk menghindari infeksi sekunder kandida.

  Kunjungan ketiga satu minggu kemudian mulai terlihat adanya perbaikan lesi, krusta terutama di bibir atas mengecil, deskuamasi masih ada, ulserasi fisur erosif, palatum durum masih terdapat lesi erosif.

  Kemudian terapi steroid di tapering down.

  Kunjungan ke empat sebulan kemudian, pasien mengatakan sudah dapat makan seperti biasa, rasa nyeri sudah berkurang jauh, luka di pipi dalam sudah sembuh. Pada pemeriksaan klinis terlihat pada bibir tidak ada krusta, mukosa oral semakin baik ke arah normal, namun masih ada lesi erosif di palatum durum dan eritema pada ventral lateral lidah.

  Kunjungan kelima, dua bulan setelah biopsi, lesi mukosa sudah tidak ada. Namun masih ada lesi erosive rekalsitran di palatal, walaupun tidak nyeri (Gambar 4). Oleh sebab itu, disamping steroid, diberikan pula terapi adjuvan berupa Azathioprine, dengan tujuan agar lesi palatal memberikan respon. Azathioprine merupakan imunosupresif, yang pemberiannya juga bertujuan meminimalkan efek steroid yang mungkin terjadi pada pasien karena terapi terus-menerus sekitar 8 bulan. Setelah pemberian Azathioprine dan maintenance therapy, lesi di palatal mengalami perbaikan.

  Sampai saat ini pasien masih dikontrol satu bulan sekali untuk pemeriksaan keadaan mukosa oral dan maintenance therapy. Awalnya pasien menggunakan prednisone 5 mg/hari dan Azathioprine, kemudian mulai alternate day therapy. Hingga akhirnya pasien dihentikan penggunaan steroidnya sekitar 3 bulan (setelah dalam perawatan sekitar 2 tahun), pasien hanya menggunakan Azathioprine 50 mg alternate day, untuk mengendalikan PV. Selain itu diberikan pula vitamin B kompleks, asam folat, dan kalsium. Setiap 3 bulan pasien juga dilakukan lakukan pemeriksaan fungsi hati, ginjal dan pemeriksaan kadar glukosa darah, serta dikonsulkan ke bagian hematologi.

  PEMBAHASAN

  PV merupakan kelainan autoimun pada lapisan intraepitel, dengan karakteristik adanya deposit autoantibodi Ig G terhadap glikoprotein desmosom, desmoglein-1(Dsg-1) dan desmoglein-3(Dsg-3) pada permukaan keratinosit, yang menjadi pelekat antar epitel. Adanya sirkulasi antibody IgG akan menyebabkan gangguan pada perlekatan antar sel sehingga terjadilah blister atau bula. 2,6 PV merupakan penyakit dari kelompok Pemphigus yang paling sering terjadi, 80% dari pasien Pemphigus terdiagnosis PV. 5,7 Dapat terjadi pada wanita maupun laki-laki, namun wanita lebih dominan dengan rasio 2,5: 1. 6 Kelainan ini 5,8 Gambar 3.

  Ulserasi dangkal pada mukosa bukal menyerupai SAR.

  Gambar 4. Lesi rekalsitran di palatal.

  Rahmayanti : Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana Jurnal PDGI 61 (1) Hal. 29-34 © 2012

  Iran memaparkan rata-rata usia pasien Pemphigus adalah 42 tahun. 6 Pada kasus ini, PV terjadi pada pasien wanita usia 37 tahun, yaitu akhir dekade 3.

  Angka kejadian PV adalah satu kasus per sejuta populasi, namun meningkat pada keturunan Yahudi, Timur Tengah serta Asia Selatan. Hal ini kemungkinan terkait erat dengan genetik dan ras, yaitu pada HLA Class II alel (DRB1*0402, DRw14 dan DQB1*0503). 2-4,9 Sedangkan di Jepang terkait HLA B-15(B*1507). 2 Belum diketahui faktor etiologi atau predisposisi PV. Namun, beberapa faktor dinyatakan berkontribusi, yaitu makanan, obat-obatan (captopril, penicillamine, rifampisin, diklofenak, dan ACE-

  inhibitor lainnya), keganasan, estrogen, 2,4,9

  serta infeksi virus herpes dan pemakaian pestisida. 4 Pada kasus ini belum diketahui penyebab yang pasti terjadinya keadaan autoimun tersebut.

  Lesi PV pada kasus ini hanya terdapat pada oral tanpa adanya lesi di kulit atau di mukosa lainnya, walaupun kelainan sudah terjadi sekitar 2 tahun. Hal ini mungkin disebabkan autoantibodi hanya menyerang desmoglein-3 (Dsg-3), yang dominan menjadi target dari autoantibodi pada tahap awal lesi PV oral. Pengujian enzyme-link immunosorbent essays (ELISA) saat ini dapat mendeteksi proporsi Dsg-1 dan Dsg-3. Berdasarkan penelitian, pada 50% pasien PV oral yang terdeteksi keterlibatan Dsg-1 memiliki lesi PV oral yang lebih parah. Proporsi Dsg-1 dan Dsg-3 berhubungan dengan keparahan dari PV. 2,4 Namun pada kasus ini, tidak dilakukan pemeriksaan imunofluorecence ataupun ELISA karena pasien menolak dengan alasan tidak ada biaya. Namun hasil pemeriksaan histopatologis telah memberikan gambaran yang khas untuk PV.

  Sekitar 80-90% kasus PV memiliki lesi oral dan pada 50-60% kasus lesi oral merupakan lesi pertama yang timbul sebelum adanya lesi di kulit, dan atau mengenai mukosa lainnnya (eosafagus, laring, faring, nasal, genital). Lesi oral PV dapat merupakan lesi yang berdiri sendiri tanpa adanya lesi di tempat lain atau tanpa diikuti terjadinya lesi di tempat lain. 2,7 Di beberapa pusat penelitian seperti di Bulgaria, frekuensi pasien PV dengan lesi oral adalah 66%, di Italia 83% dan di Israel 92%. Lesi oral yang merupakan lesi inisial dari PV seringkali menyebabkan penetapan diagnosis terlambat ditegakkan. 2 Hal ini karena lesi mukosa oral memiliki gambaran klinis yang tidak spesifik PV, sehingga dapat menyerupai penyakit lainnya. Seperti halnya pada kasus ini, diagnosis PV ditegakkan setelah sekitar 1 tahun pasien mengeluhkan ulserasi yang hilang timbul. Pada kasus yang dilaporkan oleh

  Lagha, 5 diagnosis PV baru ditetapkan 4 bulan setelah simptom pertama muncul. Dinyatakan juga bahwa hanya sekitar 57% PV oral yang terdiagnosis dalam 6 bulan pertama. Sekitar 70% pasien mengunjungi lebih dari 4 dokter sebelum diagnosis PV ditetapkan.

  Pasien umumnya mengeluhkan adanya rasa sakit yang persisten di mulut atau kadang disertai rasa terbakar. Karakteristik klinis berupa ulserasi superficial yang luas dan tepi ireguler pada mukosa oral. 8 Pada kasus ini, pasien juga mengeluhkan adanya rasa nyeri, sehingga sulit makan dan minum, dengan lesi ulserasi pada mukosa bukal, palatal, dasar mulut, lidah dan bibir. Terdapat pula sloughing di mukosa bukal dan palatum serta deskuamasi, erosif pada gingiva. Ternyata mukosa bukal adalah daerah predileksi lokasi lesi yang paling umum, diikuti lesi pada palatal dan bibir. 2,3 Literatur lain menyatakan lesi di daerah bukal (18%), gingival (13%), palatum (3%), lidah (2%), lesi dasar mulut (0%), sementara lesi di beberapa tempat (6%). 7 Lesi

  PV dapat berupa ulserasi yang kronik, namun sembuh tanpa scar. Deskuamasi atau erosi pada gingiva merupakan gambaran yang umum terjadi, demikian pula pada kasus ini. 4 Gambaran klinis PV yang kadang tidak spesifik pada tahap awal lesi menyebabkan lesi ulserasi mukosa oral didiagnosis dengan penyakit yang lain. Seperti halnya pada kasus ini yang didiagnosis awal sebagai SAR atau ulserasi yang menyerupai SAR (aphthous like ulcer). Suatu penelitian tentang PV di Iran 10 menyatakan bahwa 23% pasien PV memiliki riwayat lesi menyerupai SAR, dengan 95% dari lesi tersebut didiagnosis sebagai SAR. SAR merupakan lesi ulserasi dangkal, soliter yang terbatas pada mukosa oral, berbentuk bulat atau oval, dasar ulser tertutup pseudomembran kuning keabu-abuan dan tepinya dikelilingi daerah eritematous. SAR umumnya akan hilang dalam 4 – 14 hari. 11 Pada kasus ini, sejak awal sudah terjadi lesi pada daerah palatum, hal ini patut diperhatikan, karena pada umumnya ulserasi SAR jarang di palatum. 11 Ulserasi tersebut baru dipertimbangkan PV setelah persisten dan terjadi progresivitas atau adanya lesi di kulit. 10 Berdasarkan data yang ada, tahap awal kasus ini juga memberikan gambaran klinis berupa ulserasi multipel di mukosa oral yang soliter, sehingga mengacu pada SAR. Pasien didiagnosis SAR sekitar 7 bulan sebelum didiagnosis PV.

  Selain menyerupai SAR, lesi PV juga dapat mirip dengan lesi Eritema Multiforme (EM). Pada kasus ini, pasien juga memiliki riwayat terdiagnosis Eritema Multiforme, hal ini berdasarkan data anamnesa yang

  Rahmayanti : Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana Jurnal PDGI 61 (1) Hal. 29-34 © 2012 menyatakan pasien minum jamu godok untuk sariawan yang dialami sebelumnya, kemudian ulserasinya menjadi mudah berdarah. Saat itu, lesi terdapat di mukosa oral dan bibir dengan gambaran patognomonik untuk EM. Sirois dkk 7 menyatakan adanya PV yang didiagnosisbanding dengan EM, selain dengan Pemphigoid, Lichen Planus(LP), 8 SAR dan lesi ulserasi lainnya. 12 Adanya lesi ulserasi kronik yang multipel perlu dipertimbangkan untuk memikirkan kemungkinan diagnosis PV, Pemphigoid, dan LP erosif. 5 Namun pada kasus ini, adanya data anamnesa pada penggunaan jamu godok dan lesi patognomonik EM menyebabkan adanya pertimbangan diagnosis EM. Pada PV, ulserasi kronik dapat mengesampingkan kemungkinan diagnosis SAR, infeksi virus herpes simpleks atau EM.

  Diagnosis PV pada kasus ini akhirnya dipertimbangkan, karena perjalanan penyakit ulserasi mukosa oral yang telah bersifat kronis, serta setelah adanya gambaran sloughing pada daerah palatal dan mukosa bukal, serta lesi deskuamatif pada gingiva. Diagnosis definitif ditegakkan berdasarkan biopsi dan pemeriksaan histopatologi. Akantolisis terjadi karena reaksi autoimun yang merusak struktur desmosom (jembatan interseluler) menyebabkan blister, serta ditemukannya sel keratinosit bulat (Tzanck cell). 3,12 Selain dilakukan anamnesa dan pemeriksaan klinis yang lengkap, dan kemudian dilakukan biopsi, diagnosis juga dikonfirmasi dengan pemeriksaan immunostaining, yaitu pengujian titer serum antibody dengan indirect immunofluorecence (IIF). 2 Menurut Fellner & Sapadin, 5 terdapat 2 tahap terapi PV, pertama adalah fase loading, yaitu untuk mengontrol penyakit, dan kedua adalah fase

  PV dapat berupa lesi oral tanpa adanya lesi di tempat lain (kulit atau mukosa lainnya) yang tidak spesifik PV, dan dapat menyerupai lesi SAR dan EM. Sehingga dokter gigi perlu mempertimbangkan kemungkinan diagnosis PV pada lesi ulserasi yang sifatnya kronis dan progresif. Diagnosis pasti PV ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologis dari biopsi. Terapi kombinasi steroid dan Azathioprine memberikan hasil yang baik dalam kasus ini.

  Rahmayanti : Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana Jurnal PDGI 61 (1) Hal. 29-34 © 2012

  maintenance yang terdiri dari konsolidasi dan terapi

  Efek samping terapi yang dapat terjadi adalah kandidiasis. 6 Pada kasus ini, untuk menghindari kandidiasis diberikan antifungal, nystatin oral

  suspension . Infeksi kandida dapat terjadi karena

  pemakaian kortikosteroid dan imunosupresan dapat meningkatkan terjadinya netropenia dan menekan sistem imun seluler. 14 Kontrol plak dan skaling secara rutin dilakukan pada kasus ini, untuk mencegah progresivitas dari PV dan kelainan periodontalnya, 14 sehingga kualitas hidup pasien tidak bertambah buruk. Sesi perawatan periodontal ini juga dilaporkan oleh Robinson dkk. 9 Kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa

DAFTAR PUSTAKA

  Kortikosteroid sistemik dapat memberikan efek samping terapi, sehingga untuk meminimalkannya dikombinasi dengan terapi adjuvant(steroid-sparing). 9,13 Adjuvant yang paling sering digunakan adalah imunosupresan, seperti Azathioprine dan cyclophosphamide. Selain imunosupresan, adjuvant yang lain adalah anti inflamasi, antimalaria dan terapi imunomodulator. 2-4 Pemakaian Azathioprine memberikan hasil yang baik pada kasus yang ringan, sehingga pada kasus ini digunakan Azathioprine dengan dosis 50 mg per hari.

  2. Black M, Mignogna MD, Scully C. Mucosal disease series, number II: Pemphigus vulgaris. Oral Disease 2005; 11: 119-30.

  3. Darling MR, Daley T. Blistering mucocutaneous disease of the oral mucosa-A review: Part

  2.Pemphigus vulgaris. J Can Dent Assoc 2006; 72(1): 63-6.

  4. Scully C, Challacombe SJ. Pemphigus vulgaris:update on etiopathogenesis, oral manifestations, and management. Crit Rev Oral Biol Med 2002; 13(5): 397- 408.

  5. Lagha NB, Poulesquen V, Roujeau JC, Alantar A, Maman L. Pemphigus vulgaris: A case-based update.

  J Can Dent Assoc 2005; 71(9): 667-72.

  tapering. Terapi utama PV adalah kortikosteroid, yang digunakan sendiri atau dikombinasi dengan imunosupresan. 2,3,5,7 Tujuan terapi adalah menekan sirkulasi autoantibodi, sehingga tidak terjadi akantolisis, atau hilangnya perlekatan antara suprabasal dengan lapisan dibawahnya. 9,12 Pemberian dosis awal, tergantung keparahan dan lamanya (chronicity) lesi. Pemakaian prednison sistemik direkomendasikan 0,5-2 mg/kg berat badan. 5 Pada kasus ini, terapi awal diberikan prednison dengan dosis 60 mg/hari, kemudian diturunkan sesuai dengan respon terapi. Sedangkan Triamcinolone acetonide diaplikasikan untuk deskuamatif gingivitis.

  1. Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Burket’s oral medicine. 11 th ed. Ontorio: BC Decker Inc; 2008: p. 62- 6.

  6. Davatchi CC, Valikhani M, Daneshpazhooh M, Esmaili N, Balighi K, Hallaji Z, Barzegari M, Akhiani M, Ghodsi Z, Mortazavi H, and Naraghi Z. Pemphigus: analysis of 1209 cases. International Journal of Dermatology 2005; 44: 470-76.

  7. Sirois D, Leigh JE, Sollecito TP. Oral pemphigus vulgaris preceding cutaneous lesions: recognition and diagnosis. JADA 2000; 131: 1156-60.

  9. Robinson NA, Yeo JF, Lee YS. Oral pemphigus vulgaris: a case report and literature update. Ann Acad Med Singapore 2004; 33(Suppl): 63S-8S.

  10. Daneshpazhooh M, Davatchi CC, Ramezani A, Hernami MR. Abortive aphthous-like oral lesions: an underreported initial presentation of pemphigus vulgaris. Journal European Academy of Dermatology and Venereology 2008; 23: 157-9.

  11. Femiliano F, Gombos F, Nunziata M, Esposito V, Scully C. Pemphigus mimicking aphthous stomatitis.

  J Oral Pathol Med 2005; 34: 508-10.

  12. Davenport S, Chen SY, Miller AS. Pemphigus vulgaris: Clinicopathology review of 33 cases in the oral cavity. Int J Periodontics Restorative Dent 2001; 21: 85-90.

  13. Olszewska M, Strasz ZK, Sulej J, Labecka H, Cwikla J, Natarska U and Blaszzyk M. Efficacy and safety of cyclophosphamide, azathioprine, and cyclosporine (ciclosporin) as adjuvant drugs in pemphigus vulgaris. Am J Clin Dermatol 2007; 8(2): 85-92.

  14. Akman A, Kacaroglu H, Yilmaz E, Alpsoy E.

  Periodontal status in patients with pemphigus vulgaris. Oral Disease 2008; 14: 640-3.

  Rahmayanti : Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana Jurnal PDGI 61 (1) Hal. 29-34 © 2012

Dokumen yang terkait

Pengaruh Perlakuan Invigorasi pada Benih Kedelai Hitam (Glycine soja) terhadap Vigor Benih, Pertumbuhan Tanaman, dan Hasil Effect of Invigoration Applied on Black Soybean (Glycine soja) Seed on Seed Vigor, Plant Growth, and Yield

0 0 7

Heritabilitas, Karakterisasi, dan Analisis Clustergram Galur-galur Padi Dihaploid Hasil Kultur Antera Heritability, Characterization, and Clustergram Analysis of Doubled Haploid Rice Lines Derived from Anther Culture

0 2 7

Perlakuan Benih dengan Agen Hayati dan Pemupukan P untuk Meningkatkan Pertumbuhan Tanaman, Hasil, dan Mutu Benih Padi Seed Treatment with Biological Agents and P Fertilizer to Increase Plant Growth, Yield, and Quality of Rice Seed

0 0 7

Efisiensi Serapan Hara dan Hasil Padi pada Budidaya SRI di Persawahan Pasang Surut dengan Menggunakan Kompos Diperkaya Efficiency of Nutrient Uptake and Rice Yield with SRI Cultivation on Tidal Land with Enriched Compost Application

0 0 9

Perkecambahan dan Pematahan Dormansi Benih Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) The Germination and Dormancy Breaking of Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC.) Seed

0 0 6

Perlakuan Benih untuk Meningkatkan Mutu dan Produksi Benih serta Mengendalikan Penyakit Bulai pada Jagung Manis Seed Treatment Improved Seed Quality, Seed Production and Controlled Downey Mildew Disease on Sweet Corn

0 1 7

Daya Gabung Hasil dan Komponen Hasil Tujuh Galur Jagung Manis di Dua Lokasi Combining Ability of Yield and Yield Components of Seven Sweet Corn Lines Across Two Locations

0 0 7

Pemphigus vulgaris oral : Mengenali gambaran klinis awal dan tatalaksana (Laporan kasus)

0 0 6

Indikator dan Kriteria Seleksi pada Generasi Awal untuk Perbaikan Hasil Biji Kacang Hijau Berumur Genjah Indicators and Selection Criteria of the Seed Yield in Early Generation of Early-maturing Mungbean

0 0 7

Pertumbuhan, Hasil, dan Mutu Biji Kedelai dengan Pemberian Pupuk Organik dan Fosfor Growth, Yield, and Seed Quality of Soybean with Organic and Phosphorus Fertilizer Application

0 0 6