View of Deradikalisasi Berbasis Keluarga

DERADIKALISASI BERBASIS KELUARGA

  Shofiyah Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah Lamongan, Indonesia

  E-mail: shofi6865grk@gmail.com

  

Abstract: Indonesia is a pluralist country with the largest Muslim adherents

so that it is resistant to the influence of radicalism. The existence of a

mistaken understanding that Islam is believed exclusively and textually, is

not understood in a contextual manner, believes in the true teachings of

religion, is part of the trigger of the inclusion of radicalism among some

people with young people. The reality is that radicalism is now developing

into an act of terrorism involving children, even the latter involves the

family, even though they should have the right to protection and the right to

live. Then where is the role and function of the family?

Family as the first and foremost educational institution in the formation of a

strong person for children is intended to prevent the entry of radicalism

early or as a family-based de-radicalization effort. Families who are able to

carry out their roles and functions properly and correctly will give birth to a

strong generation that is not easily influenced by radicalism.

  Keywords: Family, Education, Radicalism.

  Pendahuluan

  Indonesia adalah negara pluralis yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, budaya dan bahkan agama. Sebagai negara dengan komunitas Islam terbesar di dunia, Indonesia menjadi resisten terhadap persoalan radikalisme yang merupakan paham baru yang dibuat oleh pihak-pihak terntentu yang berkaitan dengan berbagai hal yaitu agama, sosial maupun politik yang semakin menjadi rumit karena dibarengi dengan tindakan terorisme yang acapkali menimbulkan tindak kekerasan bahkan tidak jarang memakan korban jiwa, hal ini dilakukan oleh kelompok mereka sebagai senjata utamanya dalam upaya untuk mencapai sebuah perubahan yang diinginkan. Bahkan akhir-akhir ini seringkali keluarga dijadikan sasaran utama rekrutan ideal oleh kelompok penganut paham radiklis maupun teroris karena dianggap menguntungkan. Motifnya sangat jelas, bahwa kebersamaan dan keintiman yang dijalin oleh keluarga jauh lebih mendalam dari sekadar kedekatan teman seperjuangan dalam kelompok. Dimana perempuan sebagai ibu dan istri berperan menyampaikan pesan khusus berupa provokasi terhadap kaum adam untuk lebih giat melakukan perlawanan dengan dalih jihad. Sedangkan anak-anak menjadi obyek yang paling mudah untuk didoktrin karena ketidak berdayaan dan kepolosannya, Padahal mereka adalah anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan, mempunyai hak untuk hidup sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan anak. (UU RI No. 23 Tahun 2002).

  Hal tersebut diatas dapat dibuktikan dengan adanya sebuah fakta yang cukup membuat dunia tersentak yaitu bom bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini tepatnya pada hari Minggu (13/5/2018) dan hingga Senin (14/5/2018) dengan sasaran beberapa gereja, rumah susun dan Mapolrestabes di Surabaya, ternyata melibatkan remaja dan anak-anak. Pelaku bom bunuh diri dibeberapa titik tersebut berbeda dengan peristiwa bom bunuh diri sebelumnya yang pernah terjadi beberapa kali di Indonesia karena bom bunuh diri kali ini melibatkan keluarga termasuk istri dan anak-anak. Hal ini sangat ironis sekali dimana pada umumnya sebuah keluarga memberi perlindungan kepada anggota keluarganya terutama anak-anak agar terhindar dari bahaya, namun justu ekstrim yang merenggut jiwanya dengan dalih melakukan jihad.

  Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan konsep keluarga secara islam, dimana keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dan srtategis dalam membentuk kepribadian seseorang sebagai individu khususnya maupun sebagai anggota masyarakat pada umumnya.Dalam keluarga inilah manusia pertama kali mulai belajar berinteraksi dan bersosialisasi.Keluarga merupakan buaian tempat kali pertama anak melihat sebuah cahaya kehidupan, sehingga apapun yang ditanamkan dalam keluarga akan menghasilkan kesan yang sangat mendalam terhadap watak, pikiran, prilaku dan sikap anak.

  Sesuai dengan tujuan dalam membina rumah tangga yaitu agar dapat melahirkan generasi penerus perjuangan hidup orang tuanya, oleh karena itu a nak adalah anggota

  

keluarga, dimana orang tua adalah pemimpin keluarga, sebagai penanggung jawab atas

keselamatan warganya di dunia dan khususnya di akhirat. Maka orang tua wajib

  1

mendidik anak-anaknya. Karena a nak merupakan amanat Allah SWT. bagi kedua

orang tuanya. Ia mempunyai jiwa yang suci dan cemerlang, apabila ia sejak kecil

dibiasakan baik, dididik dan dilatih dengan kontinu, maka ia akan tumbuh dan

berkembang menjadi anak yang baik pula. Sebaliknya, apabila ia dibiasakan berbuat

buruk, nantinya ia akan terbiasa berbuat buruk pula dan menjadikan ia celaka dan

  2

rusak. Sebab Anak dapat diibaratkan seperti kertas putih kosong yang masih bersih dan

  harus diisi, sementara keluarga dapat diibaratkan sebgai penulis. Keluarga terutama orang tua bebas mau mengisi dengan tulisan apa saja dalam kertas kosong tersebut. Baik buruknya kualitas tulisan tersebut tergantung bagaimana orang tua menulisnya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Saw. yang menyebutkan, ‘’ Dari Abu Hurairah r.a berkata,

  

bersabda Nabi SAW., Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka orang

  3 tuanyalah yang menjadikan ia Yahudi, Nasrani, atau Majusi’’. (H.R. Bukhari).

  Dari hadish diatas dapat disimpulkan bahwa baik buruknya anak sangat bergantung pada bagaimana orang tuanya mendidik dan bersikap, karena anak yang dilahirkan ke muka bumi ini dalam keadaan fitrah dimana keadaan ini akan dipengaruhi oleh keluarga dan lingkungannya. Fitrah tidak dapat berkembang tanpa adanya pengaruh positif dari lingkungannya keluarga maupun lingkungan sosialnya, yang mungkin dapat dimodifikasi atau dapat diubah secara drastis apabila lingkungannya tidak memungkinkan untuk menjadikan fitrah lebih baik. Ini menunjukkan betapa 1 2 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati. Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), 177 3 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana, 2006), 226 Dindin jamaluddin. Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam. (Bandung: Pustaka Setia, 2013),

  138-139 besarnya pengaruh keluarga terhadap perkembangan anak-anak dan ini dapat dibuktikan tidak hanya atas keberhasilan generasi penerus diberbagai bidang tetapi bisa terjadi sebaliknya.

  Berangkat dari permasalah tersebut, penulis tertarik untuk mengambil judul “Deradikalilisasi Berbasis Keluarga” dengan harapan mampu memberikan sumbangsih kepada seluruh keluarga untuk turut berperan serta menangkal radikalisme secara diri dengan memaksimalkan peran dan fungsi keluarga agar anak-anak tidak mudah dipengaruhi oleh ideology atau paham-paham radikalisme yang menyesatkan.

1. Pengertian

  Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ali, dan nasb. Keluarga

dapat diperoleh melalui keturunan (anak,cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan dan

pemerdekaan. Keluarga dalam pandangan antropologi adalah suatu kesatuan sosial

terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat

tinggal dan ditandai oleh kerja sama, ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi,

  4 merawat, dan sebagainya. Inti keluarga adalah ayah, ibu, dan anak.

  Pembentukan keluarga dalam islam bermula dengan terciptanya hubungan suci yang menjalin seorang lelaki dan seorang perempuan melalui perkawinan yang halal, memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya. Oleh sebab itu kedua suami isteri itu merupakan dua unsur utama dalam keluarga. Jadi keluarga dalam pengertiannya yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan seorang isteri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang bersifat terus-menerus di mana yang satu merasa tenteram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan oleh agama dan masyarakat. Dan ketika kedua suami isteri itu dikaruniai seoarang anak atau lebih, maka anak-anak itu

  5 menjadi unsur utama ketiga pada keluarga tersebut disamping dua unsur sebelumnya.

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa keluarga ialah ibu bapak

  6 dengan anak-anaknya.

  intisari pengertian keluarga yaitu: (1) Keluarga adalah kelompok sosial terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

  (2) Hubungan sosial diantara keluarga relative tetap yang didasarkan pada ikatan darah, perkawinan atau adopsi. (3) Hubungan antar keluarga dijiwai oleh susunan afeksi dan rasa tanggung jawab. (4) Fungsi keluarga adalah memulihkan, merawat,dan melindungi anak dalam

  7 rangka sosiolisasi agar mereka mampu mengendalikan diri dan berjiwa sosial.

  Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri atau ayah ibu dan anak-anaknya yang tinggal dalam satu tempat dan saling ketergntungan antara yang satu dengan yang lainnya. 4 5 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam, 226 Hasan langgulung, Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, Filsafat Dan Pendidikan,

  (Jakarta: PT Pustaka Al Husna Baru, 2004) 6 7 DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990),143 Anwar Hafid dkk, Konsep Dasar Ilmu Pendidikan,(Bandung: PT Alfabeta, 2013), 44

  2. Fungsi

  8 Fungsi Keluarga.

  Secara sosilogis, Djudju Sudjana mengemukakan tujuh macam fungsi kelurga, sebagai berikut: a. Fungsi Biologis

  Bertujuan agar memperoleh keturunan dan dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai mahluk yang berakal dan beradab. Keluarga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak-anaknya menuju kedewasaan jasmani dan rokhani dalam dimensi kognitif, afektif, maupun psikomotor.Fungsi edukatif ini merupakan bentuk pemeliharaan hak dasar manusia dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya.

  c. Fungsi Religius Keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktek dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim keagamaan didalamnya.

  d. Fungsi Protektif Dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menagkal segala pengaruh negative yang masuk didalamnya.

  e. Fungsi Sosialisasi Berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik, maupun memegang norma-norma kehidupan secara universal baik interrelasi dalam keluarga maupun dalam menyikapi masyarakat yang pluralistic lintas suku bangsa, ras, golongan, agama, budaya, bahasa maupun jenis kelaminnya.

  f. Fungsi Rekreatif Yaitu menciptakan kondisi keluarga saling menghargai, menghormati, demokrasi, dan mampu mengakomodasi aspirasi masing-masing anggota keluarga sehingga tercipta hubungan harmonis, damai, kasih sayang, dan setiap anggota keluarga merasa “rumahku adalah surgaku” g. Fungsi Ekonomis

  Yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah, pembinaan usaha,peencanaan anggaran, pengelolaan, dan bagaimana dapat mempertanggungjawabkan kekayaan dan harta bendanya secara social maupun moral.

  Ditinjau dari keutuhan fungsi keluarga tersebut, maka jelaslah bahwa keluarga memiliki fungsi yang signifikan dalam pembentukan individu. Keluarga akan kuat bila mana seluruh fungsi tersebut berjalan seperti seharusnya. Apabila pelaksanaan fungsi tersebut diatas dihilangkan atau dikurangi, maka akan terjadi krisis keluarga dan hal ini akan rentan konflik misalnya dihilangkan fungsi edukasinya (menanaman norma-norma Islam) maka anak akan menjadi sulit untuk dikendalikan, bila fungsi social yang terlalu menonjol dan mengabaikan fungsi efektif maka keluarga akan 8 Mufidah, Cholil, Paradigma Gender, (Malang: Bayu Media, 2004), 74 mengalami perpecahan. Oleh karenanya sebisa mungkin setiap keluarga berusaha untuk memperkuat fungsinya, bila mana seluruh fungsi tersebut dapat dilaksanakan maka sebagaimana Sabda Rasulullah saw, “Rumahku adalah surgaku”. Hal ini telah mengisyaratkan betapa penting dan strateginya keluarga dalam kehidupan masyarakat manusia.

3. Peran

  Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam kehidupan masyarakat dimana setiap individu dalam keluarga dapat menjalin hubungan secara langsung dengan lingkungannya, dan dari situlah mulai berkembang dan terbentunya tahapan- keluarga inilah anak-anak memperoleh pengetahuan, keterampilan, minat, nilai-nilai, emosi dan memperoleh unsure dan ciri-ciri dari kepribadiaanya (watak dan karakter serta ahlak) serta sikapnya dalam hidup dan dengan itu pulalah mereka memperoleh ketenteraman dan ketenangan. Disitulah letak pentingnya peran keluarga, sebagaimana disebutkan dalam al Qur’an surat At-Tahrim (66) ayat 6;

  “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang

  9 diperintahkan” .(At-Tahrim ayat 6).

  Maksud dari ayat tersebut atas menunjukkan bahwa setiap keluarga mempunyai tanggungjawab untuk memberikan perlindungan, pengayonam menuju kebagaiaan dunia dan akhirat, oleh karenanya memberikan pendidikan adalah bagian dari kewajiban orang tua kepada anak-anaknya agar terhindar dari siksa api neraka.

  Ayat tersebut pada dasarnya mengingatkan semua kepala keluarga dalam hal ini Bapak dan atau Ibu bahkan para wali, supaya membangun, membina, memelihara dan atau melindungi semua dan setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungannya dari kemungkinan marah bahaya yang disimbolkan dengan siksaan api neraka. Sebab, dalam pandangan Islam, berkeluarga itu tidak hanya untuk sebatas dalam kehidupan duniawi saja akan tetapi juga sampai ke kehidupan akhirat.

  Keberadaan keluarga bukan hanya penting bagi seorang individu, tetapi juga bagi masyarakat, sehingga masyarakat menganggap keluarga sebagai institusi sosial yang terpenting dan merupakan unit sosial yang utama melalui individu-individu yang telah dipersiapkan di dalamnya, baik berupa nilai-nilai, kebudayaan, kebiasaan maupun tradisi yang ada di dalamnya. Dari segi inilah, maka keluarga dapat menjadi ukuran dalam sebuah masyarakat, dalam arti apabila masing-masing keluarga itu berada dalam keluarga yang sehat, maka akan sehatlah suatu masyarakat. Dan sebaliknya, jika masing-masing keluarga itu tidak sehat, dampaknya terhadap

  10 masyarakat pun akan menjadi tidak sehat.

  Sebagai lembaga social yang paling dasar keluarga adalah tempat mencetak kualitas manusia. Sampai saat ini masih menjadi keyakinana dan harapan bersama 9 Kementrian Agama RI Syaamil Al Qur’an Miracle The Reference,(Bandung: Syaamil Qur’an,

  2011), 1117 10 Fachruddin, Peranan Pendidikan Keluarga, 2013. http://artikelislam fachrudin.blogspot.co.id (April 2013).

  bahwa keluarga senantiasa dapat diandalkan sebagai lembaga ketahana moral dan ahlak al karimah dalam konteks bermasyarakat, bahkan baik buruknya generasi suatu bangsa ditentukan oleh pembentukan pribadi dalam keluarga.

  Keluarga Sebagai Pendidikan Pertama dan Utama

1. Pendidikan Pertama dan Utama

  Dalam pandangan Islam, keluarga adalah “labinatul-ulaa” (batu pertama) dalam bangunan masyaralat muslim, karena keluarga memiliki peran yang sangat penting untuk pendidikan anak. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam oleh ayah ibunya (orang tunya).

  Keluarga dikatakan sebagai pendidikan yang pertama karena proses pertama kali belajar bagi anak-anak adalah dari keluarga sebelum mereka hidup di lingkungan yang lebih luas yaitu dunia sekolah dan masyarakat. Pendidikan pertama ini merupakan peletak fondasi pengembangan-pengembangan berikutnya, oleh karena itu orang tua harus mampu memanfaatkan masa-masa ini untuk mengembangkan potensi anak dalam membentuk pribadi yang sempurna. Salah dalam memebrikan pendidikan maka akan berakibat fatal dalam perkembangan berikutnya.

  Keluarga dikatakan sebagai pendidikan yang utama karena sifat pekanya perkembangan-perkembangan pada awal pendidikan. Kepekaan ini menyangkut perkembangan psikologis juga fisiologisnya atau fase pertumbuhan jasmaninya. Perkembangan ini selalu beriringan dan berimbang karena pemberian gizi dan kasih sayang atau perhatian yang baik akan berpengaruh terhadap pola kehidupannya kelak.

  Keluarga dengan segala aktivitas orang tua merupakan cerminana bagi anak-anak. Anggota keluarga yang penuh kasih sayang, saling menghormati dan menghargai antara yang tua dan yang muda akan menegakkan keharmonisan dalam

  11

  keluarga serta menjadi tonggak keberhasilan dalam mendidik anak-anak. Peran keluarga dalam hal ini tidaklah ringan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa keluarga nilai-nilai yang pengetahuan didapatkan dibangku formal bisa jadi tidak ada artinya, Oleh karena itu keluarga merupakan institusi yang sangat berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidilan formal mulai dari tingkat dasar hingga jenjng yang paling tinggi banyak jumlahnya akan tetapi peran keluarga dalam transformasi nilai edukatif tidak pernah tergantikan

  Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan satu kesatuan hidup (system sosial), dan keluarga menyediakan situasi belajar. Sebagai satu kesatuan hidup bersama (system sosial), keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Ikatan kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja sama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta

  12 pengakuan akan kewibawaan.

  11 12 Nurun Najwah, Relasi Ideal Siami Istri, (Yogyakarta: PSW, 2004), 27

Hasbulloh, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 87

2. Urgensi Pendidikan Islam di Lingkungan Keluarga

  Menurut Zuhairini, yang dikutip oleh Muhaimin menjelaskan bahwa dalam Islam pada mulanya pendidikan disebut dangan kata “ta’lim” dan “ta’dib” mengacu pada pengertian yang lebih tinggi, dan mencakup unsur-unsur pemgetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pembimbingan yang baik (tarbiyah).

  Sedangkan menurut Langgulung (1997), pendidikan Islam itu setidak- tidaknya tercakup dalam delapan pengertian, yaitu al-Tarbiyah al-Diniyah (pendidikan keagamaan), ta’lim al-din (pengajaran agama), al-Ta’lim al-Diny (pengajaran keagamaan), al-Ta’lim al-Islamy (pengajaran keislaman), tarbiyah al- dalam Islam), al-Tarbiyah ‘inda almuslimin (pendidikan di kalangan orang-orang

  13 Islam), dan al-Tarbiyah al- Islamiyah (pendidikan Islam).

  Pendidikan Islam secara bahasa adalah Tarbiyah Islamiyah. Sedangkan secara terminologi ada beberapa pengertian tentang pendidikan Islam yang telah dicetuskan oleh para ahli diantaranya:

  a. Muhammad SA. Ibrahim (Bangladesh)

  Menyatakan bahwa pendidikan Islam merupakan suatu sistem, yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling mengait. Misalnya kesatuan system akidah, syariah, dan akhlak, yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik, yang mana keberartian suatu komponen yang lain. Pendidikan Islam juga dilandaskan atas ideologi Islam, sehingga proses pendidikan Islam tidak bertentangan dengan norma dan nilai dasar ajaran Islam.

  b. Omar Muhammad al-Toumil al-Syaibani

  Mendefinisikan pendidikan Islam dengan: ‘’Proses mengubah tingkah laku individu pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi diantara profesi- profesi asasi masyarakat’’. Pengertian ini lebih menekankan pada perubahan tingkah laku, dari, yang buruk menuju yang baik dari yang minimal menuju yang maksimal, cara mengubah tingkah laku itu melalui proses pengajaran.

  c. Muhammad Javed al-Sahlani dalam al-Tarbiyah Wa al-Ta’lim Al-Quran al-

  Karim Mengartikan pendidikan Islam dengan: ‘’Proses mendekatkan manusia kepada tingkat kesempurnaan dan mengembangkan kemampuannya’’.

  Definisi ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Jalaluddin Rahmat, mempunyai tiga prinsip pendidikan Islam, (1) pendidikan merupakan proses pembantuan pencapaian tingkat kesempurnaan, yaitu manusia mencapai tingkat keimaman dan berilmu (QS.

Al-Mujadalah: 11) yang disertai kualitas amal shaleh (QS. Al-Mulk: 2);

(2) sebagai model, maka Rasulullah SAW. sebagai uswatul hasanah (suri teladan) yang dijamin Allah SWT. memiliki akhlak yang mulia (QS. Al-Ahzab: 21, Al-Qalam: 4).

  14 13

(3) Pada diri manusia terdapat potensi baik buruk (QS. Asy-Syams: 7-8). 14 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2002), 36 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam, 25-26 Pendidikan agama merupakan pendidikan dasar yang harus diberikan kepada anak sejak dini, mengingat pribadi anak masih muda dibentuk dan pendidikan ini harus dimulai dari rumah oleh orang tua. Sebagai orang tua tugas mendidik anak-anak bukan hal yang ingan dan muda, sehingga perlu dibantu dengan pendidikan di sekolah. Namun demikian bukan berarti bahwa mendidik anak sepenuhnya menjadi tanggung jawab sekolah. Sekolah hanya melanjutkan pendidikan yang sudah diberikan oleh orang tua di rumah. Berhasil atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada pengaruh pendidikan dalam keluarga.

  Pendidikan keluarga adalah fundamen atau dasar dari pendidikan anak menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di sekolah maupun dalam

  15 masyarakat.

  Kunci keberhasilan pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dengan artian keagamaan seseorang. Beberapa hal yang memegang peranan penting dalam membentuk pandangan hidup seseorang meliputi pembinaan akidah, akhlak, keilmuan dan kreativitas yang mereka miliki.

  Pendidikan agama disini bukan hanya pendidikan formal saja tetapi lebih daripada itu adalah pendidikan dalam upaya pendekatan kepada Allah swt dan pembangunan akhlaq (akhlaq al Karimah) oleh sebab itu lebih ditekankan pada pendidikan yang menjadi tanggung jawab orang tua di rumah (keluarga) sementara pengajaran dapat dilimpahkan kepada lembaga pendidikan formal. Dengan pembinaan akhlak, terwujudnya manusia yang ideal, yaitu anak yang bertakwa kepada Allah SWT. dan cerdas. Di dunia pendidikan, pembinaan akhlak dititik beratkan pada pembentukan mental anak atau remaja agar tidak mengalami penyimpangan.

  Radikalisme

  1. Radikalisme Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikalisme diartikan sebagai “

  16

  paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastic” Radikalisme sebenarnya mempunyai makna netral bahkan dalam study filsafat jika seseorang mencari kebenaran harus pada akarnya. Namu ketika radikalisme dibawa ke wilayah terorisme, maka radikalisme memiliki konotasi negative. Radikalisme memiliki makna militansi yang dikaitkan dengan kekerasan

  17 yang kemudian dianggap anti social.

  Pendapat lain yang dikemukakan oleh Turmudi dan Riza Sihbudi, radikalisme sebenarnya tidak menjadi masalah, selama ia hanya dalam bentuk pemikiran idiologis dalam diri penganutnya. Tetapi saat radikalisme idiologis itu bergeser ke wilayah gerakan, maka ia akan menimbulkan masalah, terutama ketika sikap untuk

15 M. Nngalim Purwanto. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis ( Bandung: Remaja Rosdakarya

  Offset, 2009), 79 16 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 719 17 Agus SB, Deradikalisasi Nusantara; Perang Smesta Berbasis Kearifan Lokal Melawan Radikalisme dan Terorisme, (Jakarta: Daulat Press, 2016), 48 kembali pada dasar agama terhalang kekuatan politik lain. Dalam situasi ini,

  18 radikalisme tak jarang akan diiringi dengan kekerasam atau terorisme.

  Seiring dengan dinamika dan pola gerakan kelompok-kelompok di masyarakat, akhirnya antara radikal dan teror menjadi satu makna, yaitu radikal merupakan embrio dari gerakan teror. Jika memiliki polapikir radikal, maka berpeluang besar untuk melahirkan aksi teror. Banyak peristiwa di Indonesia dimana terorisme dan radikalisme menjadi satu sehingga masyarakat umum tidak

  19 lagi membedakan antara radikalisme dan terorisme.

  Diakui atau tidak, bahwa idiologi agama sedikit banyak mempengaruhi munculnya aksi radikalisme. Tindakan radikal selalu dicarikan akarnya dari dimensi agama. Radikalisme di kalangan Islam misalnya selalu dikaitkan dengan

  20 idiologi jihadisme.

  Gerakan radikalisme Islam sebenarnya merupakan “buah” dari pemahaman skripturalistik verbalis dari teks-teks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi “violence actions” dengan “menyeru jihad menebar terror” atas nama “Tuhan”. Pemahaman skripturalis menganggap bahwa kebenaran hanyan ada di

  21 dalam teks dan tidak ada di luar teks.

  Beberapa ayat al Qur’an yang dijadikan inspirasi dan legitimasi melakukan tindakan radikal atas nama agama, dicontohkan Haddad dan Khashan,antara lain surat Ali Imron ayat 151, 165, 185, dan surat Al An’am ayat 165. Ayat-ayat al Qur’an yang bisa memicu radikalisme tersebut adalah ayat-ayat yang berbicara tentang perintah dakwa (Menyeruh di jalan Allah), perintah jihad (berjuang), perintah amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kebaikan mencegah kejahatan), perintah perang (qital), hokum qishas/bunuh, status taqwa, iman, zalim, katagori kafir, musuh Allah, teman setan, janji pertolongan Allah bagi pejuang, balasan bagi

  22 pahlawan Allah, balasan bagi musuh Allah, dan strategi perang.

  Sebenarnya dalam ajaran islam, ayat-ayat tersebut sesungguhnya dimaknai secara netral, namun ketika ditafsiri secara eksklusif dengan pendekatan tekstualis literalism akan dapat melahirkan radikalisme. Sementara ketika diintepretasikan secara substansif - Kontekstual akan melahirkan sifat moderat atau tidak radikal. Karena ajaran agama khususnya mengenai dakwa, amar ma’ruf nahi mungkar dan jihad tidak otomatis melahirkan radikalisme, melainkan melibatkan proses konstruksi yang dilakukan para pemikir dan pemeluk agama.

  Menurut Qardhawi. radikalisme sebagai faham yang sering dikaitkan dengan pemahaman ajaran Islam ditandai dengan beberapa indikasi, yaitu 18 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta:LIPI Press,

  2005), 4-5 19 M. Saekan Muchith, Radikalisme Dalam Dunia Pendidikan, ADDIN, Vol. 10, No. 1, Februari 2016 20 Kasjim Salenda, Terorisme dan Jihad Dalam Perspektif Hukum Islam,(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009), 45 21 Saifuddin, “Radikalisme Islam di Kalangan Mahasiswa: Sebuah Metaforsa Baru”,Jurnal Analis, Vol.XI, No. I, Juni 2011, 25 22 NurJannah, Faktor Pemicu Radikalisme Islam Atas Nama Dakwah, Jurnal Dakwah, Vol. XIV, No. 2, h. 186

  (1) Fanatik kepada suatu pendapat tanpa menghargai pendapat lain, (2) Mewajibkan orang lain untuk melaksanakan apa yang tidak diwajibkan oleh

  Allah, (3) Sikap keras yang tidak pada tempatnya, (4) Sikap keras dan kasar, berburuk sangka kepada orang lain, dan

  23 (5) Mengkafirkan orang lain.

  Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kemudian agama islam yang dikaitkan dengan radikalisme? Agama Islam dapat dikaitkan dengan radikalisme karena beberapa kemungkinan. Pertama, agama Islam diyakini secara ekslusif dan dimensi agama. Dimensi agama yang bersifat eksklusif, partikular, dan primordial adalah ranah pribadi pemeluk agama. Artinya, seorang pemeluk agama tidak salah apabila meyakini ajaran agamanya paling benar, paling mulia. Tetapi sekali lagi, itu adalah wilayah pribadi. Jika keyakinan ini di bawa ke ranah sosial, maka akan menimbulkan sikap mengklaim kebenaran (truth claim). Klaim kebenaran adalah salah satu benih tumbuhnya radikalisme. Seharusnya, ketika masuk ke ranah sosial yang dikedepankan adalah pandangan bahwa agama memiliki identitas yang inklusif, universal dan transenden sehingga berkembanglah sikap agree in disagreement. Ketiga, agama dijadikan alat legitimasi kepentingan kelompok. Dalam analisis pandangan ekslusif dan radikal terhadap agama dapat berkembang ketika ajaran agama dijadikan sebagai penopang perjuangan mewujudkan kepentingan kelompok. Akibat lebih lanjut, akan melahirkan sektarianisme, yang lebih menonjolkan ciri kelompok dan merasa paling hebat dan kampiun. Berdasarkan fenomena radikalisme yang terjadi, ada kesan faktor non agama seperti politik, ekonomi, etnis dan lain sebagainya cenderung ditempatkan sebagai sumbu pemicu terjadinya konflik antara kelompok agama yang satu dengan agama

  24 yang lain.

  Ada beberapa factor penyebab munculnya radikalisme agama, antara lain :Pertama, Pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang doktriner; kedua, literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya memahami islam dari kulitnya saja tetapi minim tentang essensi engetahuan agama; ketiga, Tersibukkan oleh masalah-masalah skunder seperti menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud, memanjangkan jenggot, dan meninggikan celana sembari melupakan masalah-masalah primer; keempat berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan ummat; kelima lemah dalam wawasan sejarah dan sosiologi sehingga fatwa-fatwa mereka sering bertentangan dengan kemaslahatan umat, akal sehat dan semangat zaman; keenam, Radikalisme tidak jarang muncul sebagai reaksi terhadap bentuk-bentuk radikalisme yang lain seperti sikap radikal kaum skuler yang menolak agama; ketujuh, Perlawanan terhadap ketidak adilan social, ekonomi dan politik ditengah- tengah masyarakat. Radikalisme tidak jarang muncul sebagai ekspresi dan frustasi dan pemberontakan terhadap ketidakadilan social yang disebabkan oleh mandulnya 23 Yusuf Qardhawi, Islam Radikal Analisis terhadap Radikalisme dalam Berislam dan Upaya

  Pemecahannya, terj. Hawin Murtadho (Solo: Era Intermedia, 2004), 40-58 24 Karwadi, Radikalisasi Pemahaman Pemahaman Agama Islam,Al-Tahrir, Vol. 14. No. 1, 2014: 146 kinerja lembaga hokum. Keadial pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspon oleh kalangan radikal untuk penerapan syariat Islam.Dengan menerapkan aturan syariat Islam mereka merasa dapat mematuhi perintah agama dalam rangka menegakkan keadilan. Namun tuntutan penerapan syariat sering diabaikan oleh negara-negara secular sehingga mereka frustasi dan akhirnya memilih cara-cara

  25 kekerasan.

  Deradikalisasi

  Radikalisasi bisa melanda siapapun tanpa pandang bulu, dan juga tidak agama tinggi maupun yang pengetahuan agamanya terbatas semua berpotensi terseret ke paham-paham radikalisme. Sebagaimana yang terjadi akhir-akhair ini dimana radikalisme sudah mengarah pada tindakan terorisme dan sudah melanda dikalangan remaja bahkan yang terbaru dibulan mei ini pelaku bom bunuh diri adalah keluarga yang melibatkan anak-anak. Oleh karena itu cara mengatasinya yaitu dilawan dengan deradikalisme.

  Deradikalisasi adalah suatu usaha untuk mengajak para pelaku radikal dan pendukungnya untuk meninggalkan penggunaan kekerasan, seperti usaha diplomasi

  26

  public yang bertujuan untuk “memenangkan hati dan pikiran” Deradikalisasi juga bisa dipahami sebagai upaya untuk menetralisasi paham-paham radikal melalui pendekatan interdisipliner, seperti agama, psikologi, hokum serta sosiologi yang ditujukan pada mereka yang dipengaruhi paham radikal.

  27 Deradikalisasi merupakan proses untuk merubah sikap dan cara pandang yang

  keras menjadi lunak, toleran, pluralis dan moderat. Sehingga bisa dikatakan bahwa deradikalisasi adalah counter dari radikalisasi. Semua itu membutuhkan proses pengenalan, penanaman, penghayatan dan penguatan.

  Makna deradikalisasi belakang ini mengalami perluasan, sebagai mana yang disampaikan oleh Syamsul Arif, bahwa yang dimaksud perluasan makna ialah deradikalisasi tidak melulu dipahami sebagai proses moderasi terhadap keyakinan dan perilaku seseorang yang sebelumnya terlibat oragnisasi radikal, tetapi sebagai:”Deteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagai lapisan potensial dengan berbagai bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing kelompok yang menjadi sasaran” Pemaknaan seperti ini mulai berkembang di Indonesia sehingga deradikalisasi tidak hanya terbatas dilakukan pada bekas kombatan yang ditangkap dan di masukkan ke dalam penjara, tetapi dapat juga

  28 dilakukan diberbagai ruang public serta melalui berbagai media.

  Artinya bahwa utuk menangkal paham radikalisme, sesungguhnya bisa dilakukan pencegahan sebelumnya yaitu dengan cara memperkuat pendidikan di lingkungan keluarga terlebih dahulu, karean keluarga adalah wadah yang pertama 25 Yusuf Qardhawi, Al-Salwah Al-Islamiyah bayn Al-Juhud wa Al-Tatarruf (Cairo; Bank Al-

  Taqwa, 1406 H), 33-35 26 International Crisis Group,”Deradicalisation And Indosian Prisons”, Asia Report, No. 142, 19 November 2007: 11 27 Endrawijaya, “Peranan Putusan Pengadilan dalam Program Deradikalisasi Terorisme di Indonesia: Kajian Putusan Nomor 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel,”Yudisial,III (2) Agustus 2010, h. 110 28 Syamsul Arifin, Study Islam Kontemporer; Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia, (Malang: Intrans Publishing, 2015), 33 dan utama atau tempat perkembangan seorang anak sejak dilahirkan sampai proses pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani. Oleh karena itu, di dalam keluargalah dimulainya pembinaan nilai-nilai akhlak karimah (mulia) ditanamkan bagi semua anggota keluarga. Akhlak adalah sifat atau sikap yang tertanam dalam diri manusia yang dapat melahirkan perbuatan baik atau buruk tanpa adanya dorongan dari orang lain. Di dalam ajaran Islam, akhlak tidak dapat dipisahkan dengan iman. Iman merupakan pengakuan hati. Akhlak merupakan pantulan iman pada perilaku dan ucapan. Iman adalah maknawi, sedangkan akhlak merupakan bukti keimanan dalam perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran dan karena

  Saat ini pemahaman radikal ini sudah merasuk kepada pelajar (remaja) di sekolah. Para pelajar kini sudah banyak disuguhkan pemahaman Islam yang keras, kaku, dan rigid. Bahkan diajari cara berdakwah yang konfrontasi, menyalahkan dan menuding sesat. Bukankah seharusnya mereka mendapat pemahaman Islam yang damai dan lembut, sebagaimana usia mereka yang masih kategori remaja (anak- anak). Mereka menerima doktrin begitu saja tanpa ada kesempatan cek and ricek dengan melakukan diskusi dan kajian ilmiah, apakah benar cara ber-Islam yang teman dan orang tua mereka lakukan di lingkungannya itu keluar dari koridor Al- Qur'an dan Hadits dengan menjustifikasi haram, bid'ah, syirik, dan sesat, sehingga harus ada gerakan kembali pada Al-Qur'an dan Hadits. Padahal menurut KH Husein Muhammad dalam buku Toleransi Islam menuliskan, Agama hadir untuk mewujudkan etika-etika kemanusiaan, kedamaian, kebaikan, dan cinta, bukan untuk

  

29

merusak, membodohi, dan membenci.

  Remaja sangat rentan terhadap pengaruh radikalisme, beberapa factor diantaranya karena usia remaja adalah usia labil dimana berada dalam fase proses pencarian jati diri sehingga sangat mudah sekali dipengaruhi, adanya pemahaman tentang agama yang masih kurang sehingga mudah sekali menerima doktrin-doktrin radikalisasi tanpa memikirkan dampaknya baik terhadap dirinya maupun lingkungannya, mereka terjebak dalam iming-iming pahala jihad dengan syurganya sehingga rela mengorbankan dirinya dengan bom bunuh diri. Faktor kesenjangan social juga turut serta ambil peran dalam hal ini, tidak sedikit dari mereka yang terjepit persoalan ekonomi sehingga menjadi tertarik untuk masuk dikalangan para radikalis dengan intoleransinya, belum lagi factor media social yang mempunyai andil besar dalam mengakses paham-paham radikalis.

  Oleh karenanya, satu-satunya cara memberangus radikalisme adalah bersaing dengan penyebar virus-virus yang menyesatkan anak bangsa tersebut. Dalam hal ini pendidikan keluarga dan peran orang tua menjadi sangat penting dan menjadi bagian yang paling utama dalam menangkal radikalisme disamping melalui jalur- jalur yang lain (pemerintah, lembaga pendidikan dan masyarakat). Sesibuk apapun orang tua jangan sampai melupakan keluarga terutama pendidikan dan pengawasan terhadapa anak-anak usia remaja dan anak-anak dibawa umur. Para orang tua harus sering melakukan dialog yang sehat, komunikasi yang efektif dan diskusi persoalan-persoalan bahaya laten radikalis bahkan teroris. 29 Ayub Al Ansori, Menangkal Radikalisme Agama di Kangan Pelajar.

  https://www.kompasiana.com/ayubalansori/menangkal-radikalisme-agama-di-kalangan-pelajar, Diperbarui: 12 Juli 2017

  Sebagaimana fungsi dari keluarga, maka orang tua harus mampu menjalankan perannya dengan maksimal , misalnya

  Fungsi Edukatif , maka sebagai orang tua harus mampu memberikan hak -

  dasar pada anak-anaknya dalam memelihara dan mengembangkan potensi akalnya menuju kedewasaan jasmani dan rohani, agar kelak menjadi manusia yang berkualitas, sehat, bermoral dan berguna bagi dirinya, keluarga dan bangsanya. Anak-anak harus mendapatkan pola asuh yang benar saat mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Pola asuh yang baik menjadikan anak berkepribadian kuat, tak mudah putus asa, dan radikalisme atau terorisme karna anak mampu berfikir secara sehat.

  Fungsi Religius , orang tua memegang faktor kunci yang bisa menjadikan -

  anak tumbuh dengan jiwa Islami. Orang tua dituntut untuk mengenalkan, membimbing serta memeberikan teladan bagi anak-anaknya serta seluruh anggota keluarganya untuk mengenal kaidah-kaidah agama dan perilaku keagamaan (akhlaqul karimah). Imam Al-Gazali menekankan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, yang dapat dinilai baik atau

  30 buruk dengan menggunakan ukuran ilmu pengetahuan dan norma agama.

  Berkaitan dengan hal ini kita semua sepakat bahwa pola asuh dibidang agama adalah merupakan solusi terakhir dan yang tertinggi bagi setiap persoalan hidup mereka, masalahnya adalah bagaimana kemudian orang tua mampu mensosialisasikannya, karena anak-anak saat ini banyak yang tidak tertarik pada pesan-pesan moral yang disampaikan oleh agama sehingga saat ini banyak anak yang melakukan hal-hal yang negative, intoleransi bahkan terjerumus dalam paham radikalisme. Di titik ini para orangtua harus menyadari fungsi mereka sebagai teladan dengan memberikan contoh yang baik pada anak-anaknya. Orang tua wajib menanamkan tauhid dan aqidah yang benar sehingga anak tidak muda dipengaruhi oleh paham-paham radikalisme agama yang menyesatkan.

  Fungsi Protektif - , Keluarga adalah tempat perlindungan yang paling nyaman

  bagi anak-anak sehingga orang tua harus mampu memberikan perlindungan anak-anaknya dari berbagai mara bahaya dan pengaruh negative dari dalam maupun dari luar. Bahkan diperintahkan oleh ajaran islam untuk melindungi keluarganya baik di dunia maupun akhirat, sebagaimana tertulis didalam al Qur’anul Karim surat At Takhrim (66) 6. Namun ironisnya yang terjadi baru-baru ini dimana orang tua mengajak serta anaknya kedalam perangkap radikalis dan teroris yang menyesatkan dengan melakukan bom bunuh diri dibeberapa gereja di Surabaya. Ini adalah bukti betapa besarnya pengaruh pendidikan dan keteladan orang tua terhadap anak-anaknya, sehingga anak- anak dengan mudahnya mengikuti jejak orang tuanya tanpa berfikir akibatnya.

  • Fungsi Sosialisasi , berkaitan dengan tugasnya, maka orang tua harus mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik yaitu dengan
  • 30 menanamkan sifat toleransi antar sesama tanpa memandang perbedaan suku,

      Dindin jamaluddin. Paradigma Pendidikan Anak dalam Islam, 76

      Dari uraian diatas dapat digaris bawahi bahwa betapa pentingnya peran dan fungsi keluarga dalam menangkal terjadinya radikalisasi dengan menjalankan peran dan fungsi keluarga dengan benar maka generasi bangsa selanjutnya akan tersematkan dari paham-paham yang menyesatkan. Karena berangkat dari keluarga yang sehat anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang sehat dan kuat. Sebaliknya jika orang tua tidak mampu menfungsikan perannya dengan benar maka anak bahkan keluarga akan menjadi korbannya, karena anak-anak tidak memiliki pendirian yang kuat, anak mempunyai jiwa yang rapuh sehingga dengan muda dipengaruhi oleh kolompok yang tidak bertanggungjawab.Oleh karenanya dibutuhkan strategi dan pendekatan yang terpadu dan berimbang antara pendekatan endogenous (menimbulkan dari dalam) dan conditioning (pembiasaan, mempengaruhi dari luar) serta enforcement (pemaksaan). Artinya bahwa disamping factor keteladan dari orang tua, factor pembiasaan yang didasarkan atas rasa cinta kasih antar sesame dalam keluarga juga menjadi hal yang penting dalam pendidikan anak-anak di keluarga karena tidak cukup hanya tingkah laku saja yang ditiru oleh anak, tetapi konsep dan pola fikir serta bagaimana menyikapi suatu keadaan juga menjadi bagian yang akan diadopsi oleh anak-anak.

      ras, budaya, golongan, bahasa bahkan agama. Disamping itu keluarga juga sebagai tempat pengendalian social bagi anggota keluarganya, yaitu dengan melakukan upaya preventif atau upaya pencegahan terhadap anggota keluarganya agar tidak melakukan perilaku yang menyimpang dari norma – norma yang berlaku dimasyarakat. Dengan demikian maka anak tidak terjerumus dalam sifat intoleransi yang mengarah kepada paham radikalisme dan terorisme yang jauh dari cita-cita pancasila dan bhinneka tunggal ika.

    • Fungsi Rekreatif , orang tua harus mampu menciptakan hubungan yang harmonis dengan mengajarkan anak-anak hidup dengan cinta dan kasih hak asasi orang lain meskipun tidak sefaham.Anak akan mempunyai jiwa yang demokratis dengan demikian anak merasa nyaman dan senang hidup didalamnya. Anak-anak akan merasa memiliki negeri ini dengan jiwa kebangsaannya yang tinggi sehingga anak tidak terjebak dalam pengaruh propaganda dengan melakukan hal-hal yang anarkhis, seperti bom bunuh diri yang akhir-akhir ini marak terjadi.
    • Fungsi Ekonomis , persoalan yang satu ini tidak boleh dianggap remeh oleh orang tua karena tidak sedikit remaja bahkan keluarga yang kemudian terpengaruh dalam paham radikalisme karena factor kesenjangan ekonomi. Banyak yang tertarik dengan ajakan radikalisme ini dengan iming-iming materi, oleh karena itu fungsi ekonomi keluarga sangatlah penting bagi kehidupan keluarga, karena keluarga merupakan pendukung utama bagi kelangsungan hidup keluarganya. Sehinga orang tua harus pandai dalam pencarian nafkah, perencanaan dan penggunaannya.

      Untuk mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan strategi, diantaranya adalah: a. Bantulah anak-anak dalam menemukan sendiri tujuan hidupnya,

      b. Bantulah anak-anak mengembangkan prilaku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan hidupnya, c. Jadilah figure bagi anak-anak dalam berprilaku,

      31 d. Gugah hati mereka untuk berprilaku terpuji.

      Dengan demikian maka anak-anak akan menjadi pribadi yang kuat, karena mereka dilahirkan dari keluarga yang sehat dan kuat secara jasmani dan rohani, moril maupun spiritual, sehingga kedepan akan menjadi generasi harapan bangsa yang mampu membentengi negeri ini dari paham-paham radikalis yang merusak persatuan dan kesatuan.