MAKALAH adat istiadat rejang visi misi kab

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BENGKULU
JURUSAN ILMU HUKUM

ALVI DWI ARIANDA
1580740061

HUKUM ADAT
“ADAT ISTIADAT MASYARAKAT REJANG”

0

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang
adat
istiadat
masyarakat
rejang.

Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah
agar
menjadi
lebih
baik
lagi..
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan sangat
menyesal saya meminta maaf atas kesalahan dari penulisan baik dari segi susunan kalimat
maupun
tata
bahasanya.
Akhir kata saya berharap semoga makalah ilmiah tentang adat istiadat masyarakat
rejang ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi.

1

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR


........................................................................... 1

DAFTAR ISI

........................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.

LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
MANFAAT

BAB II PEMBAHASAN


........................................................................... 3
........................................................................... 3
........................................................................... 3
........................................................................... 4
........................................................................... 5

BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

........................................................................... 12
........................................................................... 12

........................................................................... 13

2

BAB 1

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Masyarakat Rejang, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan,
adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga
memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair,
Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer
digunakan sehari-hari, baik oleh orang tua, remaja, dan anak-anak dalam berinteraksi.
Suku Rejang merupakan masyarakat dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu.
Beberapa kebudayaan mereka terpelihara dengan baik, mereka tidak mudah menyerap
kebudayaan atau apapun yang berasal dari luar adat-istiadat dan kebiasaan mereka. Oleh
karena itu sampai saat ini kebudayaan mereka masih terbilang asli. Sejak zaman dahulu suku
Rejang telah memiliki adat-istiadat.
Karena mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak
heran jika hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga
sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat
kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum
denda terhadap pelaku zina.

B. RUMUSAN MASALAH
1.


Bagaimana budaya adat masyarakat Rejang ?

2.

Bagaimana Bagaimana upacara perkawinan adat Masyarakat Rejang ?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui budaya adat masyarakat Rejang.
2. Untuk mengetahui bagaimana upacara perkawinan adat Rejang.

3

D. MANFAAT
Makalah ini dibuat dengan harapan agar masyarakat setempat khususnya dapat
memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran
agama. Selain itu tulisan ini juga sebagai sarana berlatih bagi penulis untuk meningkatkan
kemampuan menulis penulis. Dan sebagai media pewarisan ilmu oleh sesepuh kepada
generasi penerus. Dengan adanya Makalah ini penulis berharap dapat memberi sedikit
sumbangan kepada masyarakat terutama masyarakat rejang . Selain itu, mungkin dapat

digunakan sebagai referensi dalam penelitian-penelitian serupa dikemudian hari.
Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah agar upacara tradisi adat rejang yang
sangat baik ini dapat dilaksanakan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang benar-benar
bernilai Islami.

4

BAB II
PEMBAHASAN

A. BUDAYA ADAT REJANG
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya
di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta
pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang sukubangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang,
pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang
suku Rejang dalam bentuk pidato pertanggungjawabannya.
Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya.
Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan
menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata
kiasan, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam

kehidupan sehari-hari, waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa, sering disisipkan
serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta
dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan
baik.Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya.
Di antaranya : Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben. Iben ade delambea, gambea ade
decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun. Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea.
Salang tun dumai belek moi talang. Salang tun talang belek moi sadei. Dapet kene ta’ak
dengen tawea. Salang magea mendeak simeak. Arak suko padaa ngalo. Arak magea
mendeak simeak. Agang magea suko panggea.
Terjemahannya kira-kira : Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar,
gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para
tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena
membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang
datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang,
orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan
tamu semuannya. Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang
disampaikan.
Berikut ini contohnya : Tun meleu diem puluk kelem. Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap. Orang kecil berada di lembah yang dalam).

Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba
kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran
sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa, mereka menghuni
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel),
5

dan Kabupaten Lahat (Sumsel) mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus
dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya
Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA
Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat
tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang. Jaspan menghasilkan beberapa buku,
antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest
Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang
Village Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing
yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.
Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi
sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya
berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat. Menurut
Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek

moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus,
dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya.

B. UPACARA PERKAWINAN ADAT
1. Asal-Usul
Perkawinan merupakan bagian dari ritual lingkaran hidup di dalam adat istiadat Suku
Bangsa Rejang di Bengkulu. Suku Bangsa Rejang pada dasarnya hanya mengenal bentuk
Kawin Jujur. Akan tetapi dalam perkembangan kemudian, muncul pula bentuk Kawin
Semendo yang disebabkan karena pengaruh adat Minangkabau dan Islam.
Kawin Jujur merupakan bentuk perkawinan eksogami yang dilakukan dengan
pembayaran (jujur) dari pihak pria kepada pihak wanita.Kawin Jujur merupakan bentuk
perkawinan yang menjamin garis keturunan patrilinel. Dengan dibayarkannya sejumlah uang
maka pihak wanita dan anak-anaknya nanti melepaskan hak dan kedudukannya di pihak
kerabatnya sendiri dan dimasukkan ke dalam kerabat dari pihak suami. Kawin Jujur juga
mengharuskan pihak perempuan mempunyai kewajiban untuk tinggal di tempat suami,
setidak-tidaknya tinggal di keluarga suaminya.
Kawin Semendo adalah bentuk perkawinan tanpa jujur (pembayaran) dari pihak pria
kepada pihak wanita. Setelah perkawinan, suami harus menetap di keluarga pihak isteri dan
berkewajiban untuk meneruskan keturunan dari pihak isteri serta melepaskan hak dan
kedudukannya di pihak kerabatnya sendiri. Kawin Semendo merupakan bentuk perkawinan

yang menjamin garis keturunan matrilinel.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Dalam adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, bagian paling penting prosesi
perkawinan adalah mengikeak dan uleak. Mengikeak artinya melaksanakan kegiatan akad
nikah dan uleak artinya upacara perayaan perkawinan. Pelaksanaan mengikeak biasanya
dilakukan di rumah pihak yang mengadakan uleak. Pihak yang mengadakan uleak biasanya
6

dari pihak wanita. Sedangkan waktu pelaksanaan mengikeak dan uleak biasanya dilakukan
pada hari baik, bulan baik, pada masa lengang atau sehabis musim panen.
3. Tahapan dan Proses Perkawinan
Sebelum membicarakan tahapan dan proses perkawinan, di dalam adat istiadat Suku
Bangsa Rejang diatur larangan kawin sesama suku. Pembatasan jodoh menurut ketentuan
adat Suku Bangsa Rejang, yaitu sebaik-baiknya perkawinan dilakukan dengan orang lain
(mok tun luyen). Pembatasan ini secara tegas memuat larangan untuk kawin dengan orangtua,
saudara dekat, bahkan dengan orang yang senama dengan orangtua dan saudara dekat.
Apabila terjadi perkawinan dengan saudara dekat, maka disebut sebagai perkawinan sumbang
yang dalam istilah Suku
Bangsa Rejang disebut dengan komok (memalukan atau menggelikan). Sedangkan
perkawinan dengan saudara sepupu senenek dan sepoyang (saudara nenek) jika terpaksa

dilakukan maka akan dikenakan denda kutai adat (lembaga adat). Denda tersebut berupa uang
atau hewan peliharaan yang dalam istilah Suku Bangsa Rejang disebut dengan mecuak
kobon. Jenis perkawinan lainnya yang dilarang secara adat adalah perkawinan antara seorang
pria atau wanita dengan bekas isteri atau suami dari saudaranya sendiri, apabila saudaranya
tersebut masih hidup. Setelah beberapa larangan tersebut dipastikan tidak dilanggar, maka
tahap dan prosesi perkawinan adat istiadat Suku Bangsa Rejang dapat dimulai.
Tahapan dan proses perkawinan di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang secara
umum dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu upacara sebelum perkawinan, upacara pelaksanaan
perkawinan, dan upacara sesudah perkawinan. Berikut ini merupakan tahapan dari ketiga
proses perkawinan tersebut.

C. Upacara Sebelum Perkawinan
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara sebelum perkawinan terdiri dari :
1. Meletak uang. Meletak uang artinya memberi tanda ikatan. Tujuan dari prosesi ini,
pertama, sebagai bukti bahwa ucapan kedua belah pihak mengandung keseriusan dan
kesepakatan untuk mewujudkan ikatan perkawinan di antara sepasang bujang gadis.
Kedua, bersifat pemagaran bahwa sang bujang dan gadis telah terikat, sehingga tidak ada
orang lain yang mengganggunya. Tempat pelaksanaan upacara meletakkan uang biasanya
dilakukan di rumah pihak wanita. Waktu pelaksanaan biasanya dilakukan di malam hari
dan sering terjadi pada musim senggang sehabis panen.
2. Mengasen. Mengasen artinya membayar. Tetapi dalam adat istiadat perkawinan diartikan
sebagai meminang. Terdapat tiga tahapan dalam mengasen, yaitu semuluak asen, temotoa
asen, dan jemejai asen.
3. Jemejai atau Semakup Asen, yaitu upacara terakhir dalam peminangan yang merupakan
pembulatan kemufakatan antara kedua belah pihak. Tujuan upacara ini adalah untuk
meresmikan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa bujang dan gadis tersebut
telah bertunangan dan akan segera menikah; mengantar uang antaran (mas kawin), dan
7

menyampaikan kepada Ketua Adat mengenai kedudukan kedua mempelai itu nantinya
setelah menikah.
4. Sembeak Sujud artinya sembah sujud. Dalam adat rejang sembah sujud ini di artikan
seabagai acara untuk minta maap dari keluarga mempelai baik yang dari pihak laki laki
maupun pihak perempuan.
5. Melandai artinya bertamu atau bertandang. Ini di maksudkan untuk lebih mendekatkan diri
kepada masing – masing keluarga calon mempelai, baik mempelai laki-laki atau pun
perempuan.
6. Basen asuak basuak maksudnya adalah untuk musyawarah/ rapat panitia keluaraga kedua
calon mempelai untuk membicarakan masalah resepsi pernikahan. Dalam musyawarah ini
muntuk menentukan hari dan tanggal perkawinan, acara yang akan diadakan selama
resepsi pernikahan.
7. Basen kutai maksudnya adalah musyawarah kepada para pemuka adat untuk
memeberitahukan bahwa akan mengadakan acara perkawinan.

D. Upacara Pelaksanaan Perkawinan
Di dalam adat istiadat perkawinan Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan
perkawinan dibagi menjadi dua tahap, yaitu mengikeak (artinya melaksanakan kegiatan akad
nikah) dan uleak (upacara perayaan perkawinan). Pelaksanaan mengikeak biasanya dilakukan
di rumah pihak perempuan.
Upacara Uleak dalam bahasa Suku Bangsa Rejang disebut juga dengan alek atau
umbung (yang berarti pekerjaan atau kegiatan yang diatur selama pesta perkawinan
berlangsung). Sesuai dengan derajat dan kemampuan pihak yang melaksanakan alek, dalam
adat istiadat Suku Bangsa Rejang dibagi menjadi tiga macam, yaitu alek besar, alek biasa,
dan alek kecil.
Menurut adat istiadat Suku Bangsa Rejang, upacara pelaksanaan perkawinan terdiri dari :
1. Mdu’o sudut artinya dalah acara untuk meminta izin. Di sini acaranya adalah berdoa
meminta izin kepada para arwah poyang,nenek, bapak, ibu, dan orang-orang yang telah
mendahului kita.
2. Temje kmujung adalah acara untuk tegak tarub / untuk membangun tempat pelaksanaan
selama acara perkawinan berlangsung. Setelah tegak tenda ada yang namanya acara du’o
kemujung ini adalah acara untuk berdoa karena tenda tempat pernikahan telah selesai di
buat.
3. Nyebeliak adalah acara memotong hewan seperti sapi, kerbau, kambing, ayam untuk di
masak pada acara perkawinan. Acara ini di laksanakan bersamaan dengan hari tegak
tenda. Orang yang biasanya memotong hewan adalah imam desa tempat acara
berlangsung.

8

4. Mengesok adalah hari masak. Maksudnya adalah hari untuk masak – masak untuk acara
pernikahan. Hari ini biasanya ibu-ibu bekerja sama untuk memasak hidangan pada hari
pernikahan/ untuk para tamu undangan.
5. Misai penoi ngen menea sukung adalah acara untuk membuat tempat sesaji pada saat
acara kutai yaitu acara ritual sebelum akad nikah berlansung.
6. Demapet bakaea sematen/bakea ngenyan adalah acara hari perkawinan/ pada hari akad
nikah yaitu menjemput calon mempelai wanita atau mempelai pria ke kediamannya
dengan membawa sesaji yang di dalamnya berisi :
a. Uang atau barang-barang yang terbuat dari emas (perhiasan). Uang atau barang
dimaksudkan sebagai pelangkah yang diberikan dari pihak pria kepada pihak
wanita pada saat prosesi meletak uang. Prosesi ini dilakukan pada upacara
sebelum perkawinan. Uang atau barang tersebut diberikan dari pihak pria dengan
ditempatkan pada selepeak, tabung yang terbuat dari kuningan atau perak, dan
dibungkus dengan kain cualao, kain ikat kepala, dari pihak pria dan ciai, kain
yang biasanya berupa kain panjang dari pihak wanita.
b. Sirih dan udut (rokok) lengkap dengan bakul (sirih) dan selpo (rokok). Alat-alat
upacara tersebut diperlukan saat terjadi prosesi mengasen, tepatnya pada tahapan
temotoa asen yang merupakan prosesi upacara sebelum perkawinan.
c. Cakkedik. Bentuknya berupa bahan atau barang, baik benda mati maupun hidup.
Barang-barang tersebut antaralain: selimut (baik untuk calon mempelai wanita
maupun ibunya), pakaian untuk calon mempelai wanita, adik atau kakak dari
mempelai wanita, keris petik untuk lengea atau dukun sukaunya, cincin, dan
sebagainya. Barang-barang tersebut dibawa dalam prosesi mengasen.
d. Canang yang terbuat dari bambu, rotan, dan balet taboa (akar sebangsa tumbuhan
yang daunnya berbentuk bulat telur).
Alat-alat tersebut dipergunakan sewaktu prosesi pelaksanaan upacara perkawinan,
tepatnya pada prosesi mengikeak. Akan tetapi pada masa sekarang peralatan tersebut mulai
digantikan dengan surat kelengkapan administrasi dari KUA dan mas kawin.
Peralatan dalam prosesi alek atau uleak yang terdiri dari pengujung (merupakan
lambang peralihan), umeak sanin (tempat duduk pengantin) beserta dekorasinya, alat
kesenian (berupa gong kulintang, rebana, rebab, dan alat musik lainnya), dansebagainya.
7. Temu’un gung kecitang adalah acara kejai, dalam acara ini disertai dengan tari kejei (tari
daerah dari suku rejang).
8. Mengikeak adalah acara akad nikah/ acatra pengucapan janji setia kedua mepelai yang
akan menikah. dalam cara adata rejang ada 2 cara akad nikah yaitu: cara adat dan cara
agama islam.
9. Mei suwei adalah acara suap-suapan antara mempelai laki- laki dan perempuan, juga
acara suap-suapan orang tua kepada kedua mempelai kepada anak dan menantunya yang
telah menikah.
10. Benapa adalah acara penjemputan orang-orang yang tinggal di luar desa tempat
pernikahan berlangsung untuk di ajak datang ke desa tempat di adakannya acara pesta
perkawinan.
9

11. Jamau kutai kelmen doa yang di laksanakan pada malam hari. Yaitu doa bersama seluruh
pemukan adat dan seluruh masyarakat, baik masyarakat di desa tempat pernikahan
berlangsung maupun dari desa tersebut.
12. Gandei sekeluweng yaitu, acara setelah doa besama seluruh pemukan adat dan seluruh
masyarakat, yaitu acara bercerita sampai pagi hari. Yang di ceritakan dalam acara ini
adalah cerita pengela,andak,ngesiyen,pengaep. tapi sekarang, adat ini sudah mulai di
tinggalkan, karena waktunya yang terlalu lama yaitu dari malam sampai pagi hari.
13. Matea buiak minyok adalah acara para remaja perempuan dan laki-laki yaitu acara saling
mengucapkan permohonan maap dan terima kasih jika selama acara pernikahan
berlangsung para remaja laki-laki dan perempuan ini banyak melakukan kesalahan dalam
mengisi acara pada acara pesta pernikahan.
14. Belmang adalah acara remaja perempuan dan laki-laki untuk masak benik yaitu makanan
khas dari suku Rejang yaitu memasak beras ketan yang di masukkan dalam bambu
kemudian di panggang. Acara ini melambangkan kebersamaan antar para remaja yang
telah ikut menyukseskan acara pernikahan temannya yang telah menikah. denagn kata
lain acara belmang ini adalah acara makan bersama.
15. Mpas sot mpas sangai yaitu acara untuk memberitahukan kepada arwah nenek moyang
dan kepada seluruh masyarakat yang ada di seluruh desa maupun yang dari luar desa
bahwa acara pesta pernikahan telah selesai dilaksanakan. Orang yang memimpin acara
ini adalah orang pintar atau dukun.
16. Kem’ok kemujung adalah acara perombakan tenda tempat acara perkawinan
berlangsung. Acara ini dilanjutkan denagan makan bersama.
Itulah acara-acara yang dilaksanakan selama proses perkawinan.
E. Upacara Sesudah Perkawinan
Secara umum, upacara sesudah perkawinan dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang
dimaksudkan sebagai ucapan rasa syukur dan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam pelaksanaan prosesi perkawinan. Adapun yang termasuk ke dalam upacara
sesudah perkawinan meliputi: mengembalikan alat-alat yang dipinjam, pengantin mandimandian, doa syukuran, serta cemucua bi oa (menyiram kuburan) dan me lau dai
(berkunjung).
F. Nilai-Nilai
Bagi Suku Bangsa Rejang, upacara perkawinan merupakan tempat untuk
menunjukkan kekuatan (baik harta maupun besarnya jumlah keluarga) sekaligus merupakan
tanda kesucian. Upacara perkawinan merupakan upacara terakhir yang diselenggarakan oleh
orangtua terhadap masing-masing anaknya. Bisa juga dikatakan sebagai upacara “melepaskan
hutang” kewajiban orangtua terhadap anak. Setiap keluarga berusaha untuk membuat acara
perkawinan semeriah mungkin. Siang-malam para anggota keluarga menyiapkan pesta. Tidak
jarang di sini timbul hutang dalam upaya membuat pesta yang meriah. Akan tetapi kebiasaan
ini sudah lumrah terjadi di dalam budaya Rejang.
10

Bagi Suku Bangsa Rejang, perkawinan tanpa upacara yang meriah dikatakan
mengekeak de men yang berarti bujang gadis yang dikawinkan tersebut keca peak (sudah
cacat atau tidak suci lagi). Karena hal tersebut, bagi suku Bangsa Rejang, perkawinan
merupakan peristiwa yang bersejarah, tempat menilai kesucian anak yang menyangkut
martabat keluarga besar.

11

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa,
sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya.
Bentuk perkawinan asli Suku Bangsa Rejang di Bengkulu adalah Kawin Jujur. Bentuk
Kawin Jujur terus terpelihara di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rekang sampai berdirinya
Kerajaan Sungai Lemau sekitar tahun 1625 M. Raja Pertama dari Kerajaan Usngai Lemau
adalah Baginda Maharaja Sakti yang merupakan utusan dari Kerajaan Pagaruyung di
Minangkabau. Bisa dikatakan lewat Baginda Maharaja Sakti inilah mulai terjadi pergeseran
bentuk perkawinan, dari Kawin Jujur ke bentuk Kawin Semendo.
Bentuk Kawin Semendo semakin mendapat kekuatan untuk mempengaruhi
kebudayaan Suku Bangsa Rejang ketika budaya Islam (masuk ke Bengkulu sekitar abad ke16) masuk ke Bengkulu lewat dua kerajaan, yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Aceh
Darussalam. Selain itu, pada masa Belanda berkuasa di Bengkulu, panguasa pusat yang ada
di Batavia (Jakarta) secara resmi mengumumkan adanya pelarangan praktek Kawin Jujur
semua wilayah jajahan Belanda di Hindia Belanda. Larangan tersebut bertanggal 23
Desember 1862 no. 7 dan diumumkan dalam Bijblad no. 1328 (Abdullah, 1980:226).
Atas dasar beberapa pengaruh tersebut maka bentuk Kawin Jujur berganti dengan
Kawin Semendo. Di dalam perkembangannya, bentuk Kawin Semendo terbagi lagi menadi
empat, yaitu Perkawinan Biasa, Perkawinan Sumbang, Perkawinan Ganti Tikar
(mengebalau), dan Kawin Paksa (Bambang Suwondo, TT:121). Sampai sekarang, praktek
perkawinan yang berlaku di dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang menggunnakan salah
satu dari keempat bentuk perkawinan tersebut
B. SARAN
Kepada kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika
kebudayaan suku bangsa Rejang, diharapkan untuk menulis sejarah secara lengkap dan
melestarikan adat istiadat suku rejang yang kini sudah semakin berkurang. Mereka pada
umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang. Jika
kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi
kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang
Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing.
Sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian,
pengumpulan data, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya
agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah Siddik. 1980. Hukum Adat Rejang. Jakarta: Balai Pustaka.
2. Bambang Suwondo. 1977/1978. Adat Istiadat Daerah Bengkulu. Jakarta:
3. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya,
4. Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.
5. Bambang Suwondo. TT. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Bengkulu.
6. Departemen

Pendidikan

dan Kebudayaan,

Proyek

Penelitian

dan

Pencatatan

Kebudayaan Daerah.
7. Hilman Hadikusumo. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara
Adatnya. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
8. Luckman Sinar. 2001. Adat Perkawinan dan Tatarias Pengantin Melayu. Medan:
Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Seni Budaya Melayu.
9. William Marsden. 2008. Sejarah Sumatra. Jakarta: Komunitas Bambu.
10. Diterjemahkan oleh Tim Komunitas Bambu dari History of Sumatra. 1996. Edisi ketiga.
Kuala Lumpur : Oxford University.

13