MAKALAH KOMUNIKASI PEMBAN GUNAN PENANGANA

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan
petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyuluhan
Upaya Penanganan Penyakit Mastitis Pada Peternak Sapi Perah” dengan baik.
Tak lupa penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, diantaranya kepada orang tua penulis
yang telah memberikan motivasi dan izin kepada penulis, kepada dosen pengajar Dr.Ir.Hj Lilis
Nurlina, M. Si. yang telah memberikan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan makalah
ini, dan juga kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan makalah ini.
Penulis mangharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari pembaca. Akhir kata
dari penulis mengucapkan banyak terimakasih.

Jatinangor, 18 Oktober 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permintaan pangan yang bergizi semakin menjadi kesadaran masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Sumber protein hewani yang banyak dihasilkan dari

peternakan adalah daging, telur dan susu. Sapi perah merupakan salah satu komoditi
peternakan yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan bergizi tinggi,
namun produktivitasnya belum optimal.
Kebutuhan susu segar untuk konsumsi masyarakat masih relatif kecil karena belum
menjadi kebiasaan yang umum. Peternakan sapi perah sebagai penghasil susu terbesar masih
belum mampu memenuhi kebutuhan susu nasional.
Produksi susu dipengaruhi oleh oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang berpengaruh diantaranya adalah penyakit dan pakan. Permasalahan yang
sering menimpa peternak sapi perah adalah penyakit mastitis, dimana 60-90 % sapi perah di
Indonesia terserang mastitis.
Kurangnya wawasan dan pengetahuan dari para peternak sapi perah khususnya yang
berada di daerah pedesaan membuat efisien pengembangbiakan dan pengembangan kerugian
akibat mastitis sub klinis dapat berupa turunnya produksi susu sebesar 10-40%, penolakan
susu oleh koperasi sebesar 20-30%, susu rusak, biaya pengobatan dan dokter hewan.
Mastitis sub klinis disebabkan oleh mikroorganisme patogen diantaranya Staphylococcus
aureus, Streptococcus agalactiae, Klebsiella spp, E.coli dan Corynebacterium bovis. Maka
dari itu pentingnya penulisan makalah ini agar membuka wawasan kita dan juga para
peternak khususnya peternakan rakyat agar dapat mengetahui upaya penanganan penyakit
mastitis atau radang ambing pada sapi perah.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di desa Cikahuripan Kabupaten

Bandung sebagai peternak sapi perah yang tergabung sebagai anggota Koperasi Peternak
Sapi Bandung Utara (KPSBU). KPSBU memiliki Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) yang
tersebar di 26 daerah, salah satunya yaitu TPK pojok yang jumlah kejadian ketidaktahuan
peternak mengenai penyakit mastitis dan ketidaktahuan peternak mengenai teknis

manajemen pemerahan yang baku. Usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyakit
mastitis yaitu memberikan penyuluhan kepada peternak.
1.2 Tujuan
Untuk memberikan informasi menganai upaya penanganan penyakit mastitis pada sapi
perah, melalui pendekatan-pendekatan komunikasi pembangunan.
1.3 Permasalahan
Identifikasi Permasalahan meliputi :
1.3.1 Bagaimana permasalahan yang dihadapi oleh para peternak
Permasalahan yang sering menimpa peternak sapi perah adalah penyakit
mastitis, dimana 60-90 % sapi perah di Indonesia terserang mastitis. Salah satu kendala
dalam usaha peningkatan produktivitas sapi perah yaitu adanya penyakit radang ambing
atau yang dikenal sebagai mastitis. Penyakit ini dapat menyebabkan kerugian yang
besar akibat penurunan produksi susu, penurunan kualitas susu, biaya perawatan dan
pengobatan yang mahal. Mastitis berhubungan langsung dengan kerugian peternak,
karena akan menimbulkan konsekuensi tertentu dalam proses pengolahan susu

selanjutnya. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya
infeksi, terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen dan kebersihan
pemerahan yang tidak baku.

\

BAB II
KERANGKA TEORI / KONSEP
Komunikasi merupakan penyampaian lambang-lambang atau symbol dari sumber pesan
ke penerima pesan, sehingga tercapai pengertian bersama tentang tujuan dan penggunaan
lambang tersebut (Bryant, 1987).
Komunikasi merupakan proses penggunaan pesan oleh dua orang atau lebih, dimana
semua pihak saling berganti peran sebagai pengirim dan penerima pesan, sampai ada saling
pemahaman atas pesan yang disampaikan oleh semua pihak (Simanjuntak, 1987).
Komunikasi adalah suatu pendekatan atau suatu pandang yang terdiri dari unsur-unsur
suatu metode, suatu program, dan suatu proses (Deddy, 2001).
Pembangunan adalah suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam
suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk
bertambah besarnya kebebasan, keadilan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas
rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka

(Rogers, 1986).
Jenis khusus pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi pada tingkatan
yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan dan memotivasi, tapi tidak melakukan
pengaturan (regulating) dan tidak melaksanakan program non edukatif. Cara tersebut
merupakan usaha pendidikan non formal untuk mengajar orang sadar dan mau melaksanakan
ide-ide baru. (Claar et.al, 1984).
Susu merupakan salah satu kebutuhan manusia yang didapat dari sekresi kelenjar susu
pada hewan mamalia. Nutrisi yang terkandung dalam susu diantaranya dalah air, lemak,
protein, laktosa, vitamin, dan mineral. Indonesia saat ini mengalami defisit produksi susu
70% dalam memenuhi bahan baku Industri Pengolahan Susu (IPS), karena dari kebutuhan
sekitar 1,3 miliar liter, produksi nasional hanya sekitar 350 juta liter (Nugroho dkk., 2011).
Perkembangan populasi ternak sapi perah cenderung stagnan, produksi susu cenderung
turun 0,6%, dengan demikian ada kecenderungan nilai tambah yang dinikmati ternak

semakin kecil. Keadaan ini dapat terjadi sebagai akibat harga susu yang cenderung tetap
sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 (Aisyah, 2011).
Produksi susu dipengaruhi oleh oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan yang berpengaruh diantaranya adalah penyakit dan pakan. Permasalahan yang
sering menimpa peternak sapi perah adalah penyakit mastitis, dimana 60-90 % sapi perah di
Indonesia terserang mastitis (Nurdin dan Mihrani, 2006).

Mastitis adalah proses peradangan pada ambing yang dapat berlangsung secara akut, sub
akut, maupun kronis yang ditandai dengan kenaikan jumlah sel dalam air susu, perubahan
fisik maupun susunan susu, tanpa atau disertai perubahan patologi atas kelenjarnya sendiri
(Prawesthirini dkk., 2012).
Mastitis klinis dapat menurunkan produksi susu, meningkatkan jumlah pekerja,
meningkatkan biaya perlakauan, dan susu tidak dapat dikonsumsi oleh manusia (Berry dan
Meaney, 2005).
Para peternak sapi perah umumnya sudah mengenal bentuk mastitis klinis. Akan tetapi
untuk mastitis subklinis (MSK) peternak umumnya belum mengetahui, karena tidak tampak
tanda-tanda klinisnya (Supar, 1997).
Insiden mastitis pada sapi perah di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar
merupakan infeksi yang bersifat subklinis. Penyebab mastitis subklinis yang paling sering
terdeteksi adalah Staphylococcus aureus (S. aureus) dan beberapa jenis bakteri lain seperti
Streptococcus agalactie dan Eschericia coli (Abrar dkk., 2012).
Mastitis yang disebabkan oleh Staphylococcus merupakan bentuk mastitis terpenting
pada peternakan sapi perah karena mikroorganisme ini terdapat dalam kulit sapi, ambing
yang sakit maupun yang sehat, lingkungan, pemerah, peralatan yang digunakan, air dan
udara. Menurut Sudarwanto dkk.(1992) yang telah dikutip oleh Abrar dkk.(2012)
menyatakan bahwa infeksi S. aureus semakin sulit ditangani dengan antibiotik karena bakteri
ini banyak yang resisten terhadap berbagai jenis antibiotik. Di samping itu, pemakaian

antibiotik akan menimbulkan masalah baru yakni adanya residu antibiotik di dalam air susu
atau pada olahannya.

Streptococcusagalactie merupakan bakteri non hemolitik coccus, koloninya sangat kecil
namun dengan media Edward terlihat warna biru. Streptococcus agalactie sangat menular
sebagai penyebab matitis subklinis dan mudah ditransmisi dari sapi le sapi lainnya yang
sedang laktasi. Resevoir utama dari infeksi bakteri ini adalah ambing. Meskipun adakalanya
koloni ditemukan pada saluran puting dan kulit, terutama pada permukaan yang kasar
(Blowey, 1995).
Streptococcus agalactie merupakan bakteri gram positif yang sangat berbahaya bagi
kesehatan masyarakat veteriner. Bakteri ini pada manusia dapat menyebabkan berbagai
penyakit diantaranya yang sangat ditakuti yaitu menyebabkan penyakit jantung (Kuntaman,
2007)
Terjadinya masititis ini sering sebagai akibat dari adanya luka pada puting atau jaringan
ambing, yang kemudian diikuti oleh kontaminasi mikroorganisme melalui puting yang luka
tersebut.Hal ini dipercepat dan dipermudah apabila sphincter muscle puting sudah mulai
melemah (Surjowardojo, 1990).
Radang ambing hampir selalu dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam
kelenjar melalui lubang puting. Kemudian mikroorganisme akan membentuk koloni yang
dalam waktu singkat akan menyebar ke lobuli dan alveoli. Pada saat mikroorganisme sampai

dimukosa kelenjar, tubuh akan bereaksi dengan memobilisasikan leukosit (Subronto, 1995).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengenalan Penyakit Mastitis
Pada masyarakat di Desa Cikahuripan Kabupaten Bandung, penyakit mastitis
masih dianggap sebagai penyakit yang berbahaya bagi hewan ternak sapi perah. Sebagian
besar mastitis disebabkan oleh masuknya bakteri patogen melalui lubang puting susu ke
dalam ambing dan berkembang di dalamnya sehingga menimbulkan reaksi radang.
Terjadinya masititis ini sering sebagai akibat dari adanya luka pada puting atau jaringan
ambing, yang kemudian diikuti oleh kontaminasi mikroorganisme melalui puting yang luka
tersebut. Mastitis pada sapi perah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya bisa
saja faktor dari lingkungan sekitar seperti keadaan kandang yang kurang bersih tetapi
sebagian besar disebabkan dari segi infeksi bakteri yang merupakan penyebab utama
terjadinya mastitis dan kurang lebih 95% mikroorganisme itu masuk ke tubuh ternak
tersebut khususnya di bagian ambing dan dapat merusak puting.
Penyakit mastitis akan menimbulkan kerugian berupa penurunan jumlah dan mutu
susu, sehingga tidak dapat dipasarkan. Mastitis dalam keadaan parah dapat mematikan
puting susu sehingga puting tidak berfungsi lagi.
3.2 Gejala Awal Timbulnya Penyakit Mastitis

Pada masyarakat pedesaaan yang masih menangani ternak sapi perah secara
tradisional belum mengetahui bahwa Gejala pada penyakit mastitis ini dapat dibedakan
menjadi dua yaitu ada mastitis klinis dan mastitis sub klinis.
Pada gejala Mastitis Klinis, ada yang disebut dengan mastitis klinis bentuk akut,
terlihat dari tanda-tanda klinisnya yaitu (dapat dilihat atau diraba oleh panca indera). Pada
kondisi umum sapi tidak mau makan, tanda-tanda peradangan pada ambing diantaranya
terlihat ambing tersebut membengkak, panas, kemerahan, nyeri bila diraba, dari dalam
putting sampai bisa mengeluarkan darah, dan perubahan pada susu, dapat dilihat tandatandanya yaitu susu memancar tidak normal, bening atau encer, kental menggumpal atau
kemerahan atau ada bercak-bercak merah. Ada pula pada keadaan mastitis klinis yang

kronis, yaitu ditandai dengan ternak terlihat seperti sehat, Ambing teraba keras, peot, bahkan
mengeriput serta putting menjadi peot.
Adapun yang dinamakan dengan Mastitis Sub Klinis, tidak diketahui

yang

merupakan peradangan pada ambing tanpa ditemukan gejala klinis pada ambing dan air
susu, gejala ini dapat dilihat tanda-tandanya diantaranya seperti, Ternak terlihat seperti sehat
namun nafsu makannya biasa serta suhu tubuh yang normal, ambing normal, susu tidak
menggumpal dan warna tidak berubah. Tetapi jika melalui pemeriksaan akan didapatkan

berupa jumlah sel radang meningkat dan juga ditemukan kuman-kuman penyebab penyakit
tersebut. Pada kondisi lingkungan yang buruk juga termasuk pada gejala awal terjadinya
mastitis diantaranya, kandang dan ternak yang basah dan kotor, urutan pemerahan yang
salah, peralatan pemerahan yang kotor, serta pemerah atau pekerja yang memiliki tangan
kotor, kuku tajam, pakaian kotor.
Banyaknya puting yang terinfeksi mastitis sub klinis disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain Kondisi kandang dan ternak yang kotor dan basah, Kondisi pemerah atau
pekerja kandang yang kurang bersih, Tidak membedakan pemerahan antara puting yang
terinfeksi dan puting yang tidak terinfeksi mastitis, tidak dilakukan Teat Dipping, yaitu
pencelupan puting ke dalam larutan desinfektan setelah pemerahan selesai, dan Tidak
dilakukan pemeriksaan terhadap mastitis sub klinis dengan teratur sehingga penanganan
penyakit terlambat.
3.3 Bahaya Penyakit Mastitis Bagi Hewan Ternak dan Manusia
Penularan mastitis ini dapat dari seekor sapi ke sapi lain dan bisa juga melalui
tangan pemerah, kain pembersih, mesin pemerah dan bahkan dari lalat. Bahaya bagi hewan
ternaknya yaitu sapi tidak akan mengeluarkan susu dari ambingnya dan juga dapat
menurunkan tingkat produktivitas susu yang baik dan berkualitas.
Bahaya bagi manusianya yaitu apabila manusia mengkonsumsi susu yang dari
sapinya itu menderita penyakit mastitis atau radang ambing maka akan menyebabkan
konsumen merasa mual dan sakit perut, itu dikarenakan susu yang dikonsumsi telah

terkontaminasi oleh bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke susu tersebut.

3.4 Pencegahan serta Pengendaliannya
3.4.1 Pencegahan
Peternak sapi perah dapat melaksanakan beberapa tindakan untuk mencegah dan
mengontrol timbul serta berkembangnya risiko terjadinya infeksi mastitis. Tindakan itu adalah
menjaga kebersihan kandang (terutama lantai), alat-alat, dan air. Susu diuji menggunakan cawan
hitam, California Mastitis Test (CMT),
Pencegahan mastitis subklinis dengan pemberian antibiotika ke dalam puting di lakukan
pada masa kering kandang yakni di laksanakan setelah minggu pertama kering kandang dan
diulang 2 sampai 3 minggu sebelum beranak. Beberapa hal yang harus di lakukan dalam
pencegahan mastitis antara lain:
– Selalu menjaga kebersihan kandang dan lingkungannya
– Melaksanakan prosedur sebelum, pada saat dan setelah pemerahan dengan baik dan benar;
Melaksanakan program pemeriksaan mastitis secara teratur setiap bulan dan pemeriksaan
mastitis terhadap sapi laktasi yang akan di beli.
– Melaksanakan masa kering kandang selama 6 sampai 7 minggu secara baik dengan cara : pada
minggu pertama; hari ke 1 sampai ke 3 sapi diperah satu kali, hari ke 4 sapi boleh diperah sekali
lagi lalu dihentikan atau jangan diperah lagi, hari ke 5 sampai ke 8 ambing mulai mengecil dan
pembentukan susu terhenti.

Pencegahan Mastitis Klinis sederhana sekali, yaitu dengan pemeliharaan pra dan pasca
pemerahan yang ideal dan sesuai prosedur dapat mengurangi kemungkinan mastitis. Dengan
cara antiseptic dipping kwartir dari kelenjar mammae dapat menekan kejadian mastitis secara
signifikan. Disamping itu, cara pemerahan yang benar dapat membantu mengurangi faktor
predisposisi penyakit.
3.4.2 Pengendaliannya
Penyuluh memberikan informasi mengenai pengendalian penyakit mastitis kepada para
peternak yaitu melaksanakan pemeriksaan mastitis yang dilakukan secara teratur setiap bulan
dan dilakukan terhadap sapi laktasi yang akan dibeli. Untuk pengobatan mastitis klinis
menggunakan suntikan Roxine 15 ml (i.m) atau mastilax (injeksi. i.mammae). Apabila sapi

diduga suspect mastitis bisa diterapi dengan antibiotik sesuai dari bakteri kausanya. Kwartir dari
ambing yang suspect mastitis tidak boleh dilakukan pemerahan baik dengan manual maupun
mesin automatic karena memungkinkan menular pada ambing yang lain. Cara pemberian
mastilax ini dengan cara susu diperah sampai habis setelah itu dibersihkan atau di strelisasi
dengan air hangat kemudian di suntik injeksi kedalam putingnya.
3.5 Penyuluhan Mengenai Pentingnya Menjaga Kesehatan Sapi Perah
Pada masyarakat pedesaan pengetahuan mengenai bahaya penyakit mastitis kurang
begitu diketahui maka dari itu, masyarakat peternak sapi perah yang berada di pedesaan
harus dapat lebih memperhatikan kesehatan pada ternaknya maupun kebersihan lingkungan
sekitar dan juga kebersihan kandangmya agar sapi tidak mudah terkontaminasi oleh bakteri
maupun mikroorganisme sehinghga dapat menghasilkan produksi susu yang baik apabila
kesehatannya dapat dijaga dengan baik.
3.6 Objek dan Pendekatan/Metode Penyuluhan yang digunakan
 Objek Penyuluhan
Objek penyuluhan dan penelitian ini adalah peternak sapi perah yang tergabung
pada TPK

pojok yang berada di Kampong Pojok, Desa Cikahuripan, Kecamatan

Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Metode Yang Digunakan
Penelitian dilakukan dengan metode survey dengan metode survei dengan teknik
pengambilan sampel secara simple random sampling. Reponden yang diambil sebanyak
30 peternak dari 295 orang peternak anggota TPK pojok. Maka nilai pengamatan akan
mendekati sebaran normal. Informasi yang dikumpulkan dari responden dengan
menggunakan kuisioner.
a. Perencanaan Penyuluhan
1. Menyusun materi atau isi penyuluhan, Materi yang disampaikan yaitu meliputi
pengertian dari mastitis, gejala apa saja yang muncul pada sapi perah menderita
mstitis, tata cara mencegah dan mengobati mastitis

2. Memilih metode yang tepat, Metode yang digunakan yaitu dengan dengan temu
lapang (berdialog di lapang) tentang masalah-maslah apa saja yang dihadapi peternak
dan menggunkan media demonstrasi atau peragaan dengan mempraktekkan secara
langsung.
b. Persiapan kegiatan
Pada tahap persiapan kegiatan ini, langkah yang dilakukan yaitu:
a. Melakukan perijinan, yaitu dengan membuat surat perijinan ditujukan untuk Kepala
Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat.
b. Proses perijinan dilakukan dengan menghubungi kantor Balai Desa setempat di Desa
Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Setelah itu dilaukukan penggalian data dan potensi desa, monografi desa, jenis
komoditas unggulan desa dan tingkat produktivitasnya, kelembagaan kelompok tani, dan
masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat.
Program penyuluhan selanjutnya yang sudah disetujui akan ditandatangani oleh
para penyusun (perwakilan pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh), kemudian
ditandatangani oleh kepala Desa/kelurahan sebagai tanda mengetahui dan menyetujui.
c. Pelaksanaan Penyuluhan
Setelah memperoleh ijin dari pihak terkait serta data dan informasi dari
masyarakat yang akan dilakukan penyuluhan, maka langkah selanjutnya yaitu dilaksakan
sosialisasi program penyuluhan tentang upaya penanganan penyakit mastitis pada
peternak sapi perah di Desa Cikahuripan, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung
Barat dengan menerapkan teknologi yang akan disuluh.
d. Media Penyuluhan
Media penyuluhan yang akan dilakukan yaitu:
a)

Poster

Artinya yaitu dengan menjelaskan mengunakan media poster tahap-tahap apa saja
yang dialkukan ketika sapi perah terserang mastitis. Pada media poster ini terdapat
informasi tentang penyebab apa saja yang ditimbulkan sehingga sapi perah terserang
mastitis, gejala apa saja yang muncul pada ternak, cara mencegahnya, dan selanjutnya
cara mengobati yang tepat.
b)

Video
Artinya yaitu menjelaskan dengan menggunakan video. Video ini bisa berupa tata

cara manajemen pemeliharaan yang baik agar ternak sapi perah tidak terserang mastitis.
Karena dengan menampilkan video informasi yang disampaikan dapat lebih diserap dan
dicerna oleh para peternak mengenai upaya penanganan penyakit mastitis pada sapi
perah.
Respon Masyarakat Terhadap Penyuluhan Tersebut
Respon

peternak

terhadap

penyuluhan

sangat

menentukan

kesuksesan

terlaksananya program penyuluhan mengenai upaya penanganan penyakit mastitis pada
peternak sapi perah. Dengan mengetahui respon peternak akan diketahui kendala-kendala
dalam pelaksanaan penyuluhan yang akan berperan untuk kemajuan usaha peternakan
sapi perah. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui respon
peternak terhadap program penyuluhan mengenai upaya penanganan penyakit mastitis
pada peternak sapi perah. Dan ternyata respon peternak terhadap penyuluhan tersebut
baik karena para peternak dapat memahami apa yang telah disosialisasikan oleh penyuluh
karena penyuluh berkomunikasi dengan para peternak menggunakan bahasa sunda serta
bahasa Indonesia yang dapat lebih dipahami oleh para peternak.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Pelaksanaan penyuluhan upaya penanganan penyakit mastitis pada peternak sapi
perah di desa Cikahuripan kabupaten Bandung Barat termasuk kedalam kategori tinggi
karena dapat dilihat dari respon peternak terhadap pelaksaan penyuluhan ini bahwa setelah
diberikan penyuluhan dari mulai mengenai pengenalan penyakit mastitis, gejala awal,
sampai ke pencegahan serta pengendaliannya dengan menggunakan pendekatan komunikasi
pembangunan dengan cara audiovisual dan juga pengambilan sampel kepada beberapa
peternak, sehingga mereka dapat lebih memahami serta dapat mengaplikasikannya dalam
upaya meningkatkan tingkat produktivitas susu di desa tersebut.

4.2 Saran
Di desa cikahuripan kabupaten bandung barat para peternak sapi perah, yang sebagian
besar sapi-sapi nya banyak terjangkit penyakit mastitis, maka dari itu sebaiknya para peternak
harus lebih bisa memerhatikan kesehatan pada sapinya serta peran kelurahan maupun desa
setempat untuk lebih sering mengadakan penyuluhan ataupun sosialisasi kepada para petani da
khususnya kepada para peternak. Dari sisi pengobatan penyakit mastitis ini, peternak sapi perah
sebaiknya berkonsultasi dengan dokter hewan, jika ingin menggunakan antibiotik karena
pemakaian antibiotik untuk pengobatan mastitis dapat mengakibatkan terjadinya residu antibiotik
pada susu yang berakibat langsung timbulnya alergi pada konsumen dan terjadinya resistensi
kuman.

DAFTAR PUSTAKA
 Abrar, Mahdi., dkk. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Hemaglutinin Staphylococcus
Aureus Penyebab Mastitis Subklinis pada Sapi Perah. Jurnal Kedokteran Hewan. 6(1):
16-21. Institut Pertanian Bogor. Bogor
 Berry, D.P.dan W.J. Meaney. 2005. Cow Factors Affecting The Risk of Clinical Mastitis.
Irish Journal of Agricultural and Food Research. 44(2): 147-156. South of Ireland
 Bryant, C., dan White, L.G. 1987. Manajemen Pembangunan Untuk Negara
Berkembang. LP3ES, Jakarta.
 Deddy Mulyana 2001. Ilmu Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
 Dwi Sulistia Anggarani*, Marina Sulistyati, dan Hermawan
Universitas Padjadjaran. 2015 . Respon Peternak Sapi Perah Terhadap Penyuluhan
Mengenai Pencegahan Penyakit Mastitis. Journal of Indonesia Tropical Animal
Husbandry .
 Gerungan. 2002. Psikologi Sosial. PT Refika Aditama. Bandung.
 Hartono, Budi . 2005 . Struktur Pendapatan Peternak Sapi Perah Rakyat : Studi Kasus
Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang . Journal of Indonesia Tropical
Animal Agriculture .
 Mardikanto, T. 2002. Redefinisi dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. UNS Press.
Surakarta..
 Nugroho. 2011. Produktivitas Susu Sapi Perah. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
 Rogers, E.M., dan F.F. Shoemaker (Disadur Abdilah Hanafi). 1987. Memasyarakatkan
Ide-ide Baru. Usaha Nasional, Surabaya.
 Simanjuntak, A.K. 1987. Proses Komunikasi Dasar: Teori dan Praktek. Sosek Fapet IPB,
Bogor.
 Sudjana. 2005. Metoda Statistika. PT Tarsito. Bandung.
 Van den Ban, A.W dan H.S. Hawkins, 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Jakarta.

PENYULUHAN UPAYA PENANGANAN PENYAKIT MASTITIS PADA PETERNAK
SAPI PERAH
MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Komunikasi Pembangunan
Disusun Oleh :
Nama : Syifa Savira Rahmawati
NPM : 200110140012
Kelas : A

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2015