BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyrakat termasuk semua hal yang menyangkut kepentingan umun merupakan tanggung jawab pemerintah. Dimana kep

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Salah satu fungsi utama dalam penyelenggaraan pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang baik kepada masyrakat termasuk semua hal yang menyangkut kepentingan umun merupakan tanggung jawab pemerintah. Dimana kepentingan umum adalah kepentingan bersama, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesarnya-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

  Di Indonesia berbagai bentuk pelayanan seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi publik dan pemenuhan kebutuhan pokok yang lain seperti berkomunikasi masih membutuhkan intervensi pemerintah. Di lain pihak, meskipun negara masih akan memiliki peran yang penting hal ini tidak berarti bahwa sector swasta dan masyarakat madani (Civil Society Organization, CSO) tidak perlu diberi peran. Realitas bahwa prinsip-prinsip yang diterapkan oleh managemen swasta dalam mengelola pelayanan lebih efisien dan tanggap pada kepentingan pelanggan serta pendekatan yang dilakukan oleh CSO yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyrakat menunjukkan bahwa pemerintah perlu belajar dan bekerja sama bagaimana sektor swasta dan CSO bekerja memberikan pelayanan publik.

  Salah satu yang termasuk kepentingan umum adalah dalam hal berkomunikasi contohnya komunikasi jarak jauh yang dapat dilaksanakan dengan cara bertelepon, sehingga ketika seseorang berada diruang yang berbeda bisa berkomunikasi dengan orang lain pada waktu yang bersamaan. Hampir seluruh masyrakarat di Indonesia menggunakan telepon untuk berkomunikasi jarak jauh contohnya alat komunikasi handphone yang menggunakan jaringan nirkabel. Sehingga pemerintah juga menjamin kenyamanan masyrakat dalam hal berkomunikasi yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Momunikasi dan Informatika.

  Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/PER/M.KOMINFO/01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi pada Bab I pasal 1 ayat 1 sampai (7) menyatakan telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya. Pada ayat (4) disebutkan juga jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan. bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi yang meliputi rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam rangka bertelekomunikasi. Pada ayat (6) juga dijelaskan penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan Negara. Dimana penyelenggara telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. Para penyelenggara jaringan telekomunikasi juga diberikan Landing

  right yaitu hak yang diberikan oleh Menteri kepada penyelenggara jaringan

  telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi, atau lembaga penyiaran berlangganan dalam rangka bekerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi asing.

  Telkomsel adalah salah perusahaan terbesar yang bergerak dibidang telekomunikasi. Telkomsel juga merupakan salah satu penyelenggara telekomunikasi yang bergerak dibidang kartu GSM seperti kartu prabayar (Simpati, Kartu AS) dan pasca bayar (Kartu Halo). Di mana dalam menyelenggarakan programnya Telkomsel juga selalu patuh di bawah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang penyelenggaraan jasa pesan premium.

  Karena disetiap kegiataannya Telkomsel juga selalu diawasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). BRTI dapat menetapkan ketentuan teknis dalam rangka pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan peraturan ini. Sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor: 01/PER/M.KOMINFO/01/2009 tentang penyelenggaraan jasa pesan premium dan jasa pesan singkat (Short Messanging Service/SMS) kebanyak tujuan (Broadcast) pada Bab I pasal 11 dinyatakan bahwa penyelenggara jasa pesan premium wajib menyediakan (a) pusat panggilan (call center) dengan nomor khusus yang dapat dihubungi setiap saat selama 24 (dua puluh empat) jam perhari. (b) Pusat panggilan sebagaimana yang dimaksud pada huruf (a) wajib menyediakan fasilitas dukungan layanan (first line support) yang berfungsi untuk menangani pertanyaan, keluhan dan permintaan pengguna melalui pusat panggilan.

  Berdasarkan peraturan yang tertera diatas mengenai pengadaan layanan call center sehingga Telkomsel mengeluarkan kode akses 188 sebagai layanan resmi Call Center Telkomsel yang pada dasarnya bertujuan untuk menyediakan fasilitas dukungan yang berfungsi untuk menangani pertanyaan yang bersifat informasi, keluhan, dan permintaan pelanggan melalui pusat panggilan. Dan untuk menjalankan program pelayanan call centernya Telkomsel memberikan wewenang dan kepercayaan kepada PT. Infomedia Nusantara untuk menangani bidang call centernya. Sehingga pelayanan call center Telkomsel resmi dipegang oleh PT.

  Infomedia Nusantara.

  Di dalam Manual Mutu Layanan Call Center Telkomsel Bab V Tanggung Jawab Managemen I (No. Dokumen:IN-CC-MM-05, Tgl. Efektif: 05 Septemeber 2011), Top Manajemen memberikan bukti atas komitmennya terhadap penyusunan, pelaksanaan dan penyempurnaan Sistem Manajemen Mutu (SMM) melalui Kebijakan Mutu Telkomsel yang berbunyi, “Caroline berkomitmen untuk memberikan solusi yang tepat untuk mencapai kepuasaan pelanggan yang tinggi, sesuai dengan implementasi budaya perusahaan dan visi serta misi Telkomsel melalui peningkatan sumber daya berkesinambungan”.

  Sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor:14/PER/M.KOMINFO/04/2011 tentang standar kualitas pelayanan Jasa internet teleponi untuk keperluan publik pada Bab II mengenai Kewajiban Penyelenggara Jasa Pasal 2 ayat (1) Setiap penyelenggara jasa wajib memenuhi standar kualitas pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. (2) Setiap penyelenggara Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki

  service kevel agreement (SLA) dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi untuk

  menjamin pemenuhan standar kualitas pelayanan dan kinerja jaringan sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. Sesuai pasal (18) BRTI harus mempublikasikan pencapaian standar kualitas pelayanan penyelenggara jasa sesuai ketentuan dalam peraturan menteri ini. Dan BRTI akan memberikan penghargaan kepada Penyelenggara Jasa yang memenuhi standar kualitas pelayanan.

  Oleh karena itu perusahaan juga harus memiliki implementasi kebijakan yang harus diterapkan untuk dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam setiap perumusan kebijakan apakah menyangkut program maupun kegiatan-kegiatan selalu diiringi dengan suatu tindakan pelaksanaan atau implementasi. Betapa pun baiknya suati kebijakan tanpa implementasi makan tidak akan berarti. Implementasi kebijakan bukanlah sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan- keputusan politik ke dalam prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi , melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan (Grindle dalam Wahab, 1990:59). Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dari keseluruhan proses kebijakan. Ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara perumusan kebijakan dengan implementasi kebijakan salam arti walaupun perumusan dilakukan dengan sempurna namun apabila proses implementasi tidak bekerja sesuai persyaratan, maka kebijakan yang semula baik akan menjadi jelek begitu sebaliknya. Seperti dikemukan oleh Wahab (1990:51) menyatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijaksanaan hanya sekedar impian atau rencana bagus yang tersimpan dalam arsip kalau tidak mampu diimplementasikan.

  PT. Infomedia Nusantara untuk Call Center Telkomsel Medan merupakan salah satu perusahaan yang memberikan pelayanan kepada pelanggan di bidang call center. Fasilitas Call Center merupakan layanan bagi perusahaan Telkomsel untuk meningkatkan daya saing di mata pelanggannya. Pelayanan yang bagus melalui Call Center akan memberikan pengalaman bagi pelangggan dan menjadikannya loyal sehingga dapat menjadi penganjur bagi pelanggan lain (baru). Pelanggan yang semakin canggih serta keinginan untuk memperoleh pelayanan yang semakin cepat menjadi salah satu alasan mengapa Call Center sangat dibutuhkan. Melalui Call Center, perusahaan dapat melakukan inovasi dan peningkatan mutu produk, karena melalui Call Center dapat menampung komplain, keinginan, ide-ide dan harapan konsumen. Sejalan dengan perkembangan teknologi muncullah intelligent

  

network yang salah satu aplikasinya menggunakan nomor khusus (hotline service)

yaitu untuk Call Center Telkomsel 188.

  Dalam penyelenggaraannya ada 3 aspek yang harus diperhatikan oleh sebuah call center Telkomsel untuk menjadi efektif, yaitu system, people dan technology.

  Aplikasi sebuah sistem Call Center harus dibuat sederhana dan mencakup keragaman kebutuhan serta keinginan pelanggan. People adalah agen atau petugas yang melayani dan berkomunikasi langsung dengan pelanggan. Berkomunikasi tanpa tatap muka memerlukan keterampilan lebih tinggi, karena kecenderungan dimarahi atau menerima komplain pelanggan lebih banyak kepada Call Center, pelanggan juga tidak perlu bertatap muka sehinggan bebas mengekspresikan kehendaknya. Oleh karena itu, seorang petugas biasanya harus memiliki mental yang kuat dan mampu melapangkan hati dalam menerima komplain dan kemarahan dari pelanggan.

  Sementara teknologi adalah komitmen perusahaan terhadap Call Center. Teknologi dan besarnya investasi tergantung pada bagaimana perusahaan memposisikan Call Center.

  Kebijakan Mutu, Visi, Misi, Budaya Perusahaan dan Sasaran mutu merujuk kepada Telkomsel, hal ini karena infomedia (Layanan Call Center Telkomsel) dalam menjalankan pelayanannya adalah bagian dari Telkomsel, dengan demikian apa yang diimplementasikan oleh Infomedia harus sejalan dengan cita-cita dan tujuan Telkomsel. Top manajemen menetapkan bahwa kepuasaan pelanggan adalah hal utama dalam penerapan sistem manajemen mutu ini, oleh karena itu komitmen dari manajemen untuk fokus kepada pelanggan dengan memahamu keinginan dan harapan prioritas utama.

  Dengan demikian Call Center Telkomsel dapat memberikan nilai dan kepuasan kepada pelanggan melalui penyampaian jasa yang berkualitas. Berorientasi kepada pelanggan dimana semua fungsi kerjasama untuk memahami, melayani dan memuaskan pelanggan. Kebutuhan pelanggan harus dipahami secara benar dan dipuaskan secara efisien. Pemantauan dan pengukuran terhadap kepuasan pelanggan telah menjadi hal yang esensial bagi call center Telkomsel untuk program pelayanan pelanggan. Sehingga Call Center Telkomsel dapat memberikan pelayanan prima dimana pelayanan yang sangat baik dan melampaui harapan pelanggan dan pelayanan yang memiliki ciri khas kualitas (quality nice). Sehingga dapat mempertahankan pelanggan agar tetap loyal untuk menggunakan produk telkomsel. Dan sejauh ini call center Telkomsel sudah berusaha memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya melalui program pelanyanan pelanggan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul,

  

“IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PELAYANAN CALL CENTER

KEPADA PELANGGAN PRABAYAR PADA PT. INFOMEDIA NUSANTARA

DIVISI TELKOMSEL MEDAN”.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang menjadi permasalahan dalam penelitian adalah “Bagaimana Impelentasi Kebijakan Program Pelayanan Call Center Kepada Pelanggan Prabayar Pada PT. Infomedia Divisi Telkomsel Medan?”.

  1.3 Tujuan Penelitian

  Pada dasarnya untuk setiap penelitian yang dilakukan dalam suatu masalah harus memiliki arah tujuan yang sesuai dengan apa yang diinginkan. Ada pun tujuan dari peneltian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan program pelayanan call center kepada pelanggan prabayar PT. Infomedia Nusantara Divisi Telkomsel Medan.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Setiap hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat bagi pihak–pihak terkait. Ada pun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:

  1. Manfaat Akademis, penelitian ini berguna bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dapat menambah bahan referensi penelitian dibidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Termasuk untuk Program Studi Administrasi Negara sebagai bahan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian yang mengkaji program pelayanan yang terbaik untuk pelanggan prabayar Telkomsel untuk masa yang akan datang.

  2. Manfaat Subjektif, penelitian ini berguna untuk sarana melatih dan mengembangkan pengetahuan dan wawasan dalam peningkatan kemampuan berpikir dan membuat karya tulis dibidang ilmiah.

  3. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi PT. Infomedia Nusantara untuk Call Center Telkomsel Medan dalam meningkatkan kualitas pelayanan sehingga tercapai kepuasan pelanggan.

1.5 Kerangka Teori

  Sebelum melakukan penelitian, penulis mengemukakan teori yang berguna untuk menggambarkan dari sudut mana peneliti melihat masalah yang akan diteliti.

  Menurut Singarimbun dan Sofian Efendi (1995:37), teori adalah serangkaian asumsi, konsep, kontraksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena social secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Dalam penelitian ini teori yang dipakai adalah:

1.5.1 Implementasi kebijakan

1.5.1.1 Pengertian Implemetasi Kebijakan

  Implementasi merupakan sebuah penempatan ide, konsep, kebijakan, atau inovasi dalam suatu tindakan praktis sehingga memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan maupun nilai dan sikap. Dalam Oxford

  

Advance Learner Dictionary dikemukan bahwa implementasi adalah put something

  

into effect yang artinya adalah penerapan sesuatu yang memberikan efek atau dampak

(M.J.Susilo, 2007:174).

  Implementasi kebijakan dalam arti yang luas dipandang sebagai alat administrasi hukum dimana berbagai faktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun sebagai hasil (B.Winarno, 2002:101).

  Menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan 2003:17) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut , atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kasual antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

  Implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diiginkan.

  Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi keputusan menurut Tangkilisan (2003:18) adalah:

  1. Penafsiran merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

  2. Organisasi merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

  3. Penerapan yang berhubugan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

  Menurut Van Master dan Van Horn (Wahab, 1990:51) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah maupun swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.

  Lineberry (Fadilah Putra, 2003:81) menyatakan bahwa proses implementasi setidak-tidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut:

  1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana

  2. Penjabaran tujuan kedalam berbagai aturan pelaksana

  3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di dalam dan di antara dinas-dinas atau badan pelaksana

  4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan Selanjutnya Jones (dalam Hesel Nogi, 2002:23) menyebutkan apakah implementasi program efektif atau tidak, maka standar penilaian yang dapat dipakai adalah sebagai berikut:

  1. Organisasi Maksudnya bahwa organisasi/instansi PT. Infomedia Medan harus memiliki struktur organisasi , ada sumber daya manusia sebagai tenaga pelaksana perlengkapan atau alat-alat kerja serta didukung dengan perangkat hukum yang jelas. Struktur organisasi yang kompleks, struktur ditetapkan sejak semula dengan desain dari berbagai komponen atau subsistem yang ada tersebut.

  Sumber daya manusia yang berkualitas yang berkaitan dengan kemampuan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Pegawai dalam hal ini adalah petugas- petugas yang terlibat dalam pelaksanaan program pelayanan Call Center. Agar tugas- tugas dapat dilaksanakan secara efektif maka setiap unsure dituntun memiliki kemampuan yang memadai dengan bidang tugasnya.

  2. Interprestasi Maksudnya agar impelementasi dapat dilaksanakan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku, harus dilihat apakah pelaksanaannya telah sesuai dengan petunjuk pelaksanaa dan petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. Hal tersebut dapat dilihat dari:

  a) Sesuai dengan peraturan, berarti setiap pelaksanaan kebijakan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku.

  b) Sesuai dengan petunjuk pelaksana, berarti pelaksanaan dari peraturan sudah dijabarkan cara pelaksanaannya pada kebijaksaaan yang bersifat administrative, sehingga memudahkan memudahkan pelaksana dalam melakukan aktivitas pelaksanaan program.

  c) Sesuai dengan petunjuk teknis, berarti kebijakansanaa yang sudah dirumuskan bentuk petunjuk pelaksana dirancang lagi secara teknis agar memudahkan dalam operasionalisasi program. Petunjuk teknis ini bersifat strategis lapangan agar dapat berjalan efisien dan efektif, rasional dan realisistis.

  3. Penerapan Maksud penerapan yaitu peraturan kebijakan yang berupa petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis telah berjalan sesuai dengan ketentuan dimana untuk dapat melihat ini harus pula dilengkapi dengan adanya prosedur kerja yang jelas, program kerja serta jadwal kegiatan disiplin. Hal ini dapat dilihat dari: a) Program kerja yang sudah memiliki prosedur kerja agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi tumpang tindih, sehingga tidak bertentangan antara inti kegiatan yang terdapat didalamnya.

  b) Program kerja harus sudah terprogram dan terencana dengan baik, sehinggan tujuan program dapat direalisasikan dengan efektif.

  c) Jadwal kegiatan disiplin berarti program yang sudah ada harus dijadwalkan kapan dimulai dan diakhirinya agar mudah dalam mengadakan evaluasi.

  Dalam hal ini diperlukan adanya tanggal pelaksanaan dan rampungnya sebuah program yang sudah ditentukan sebelumnya.

  Sementara itu Peters (Hessel Nogi S.T, 2003:22) menyatakan bahwa suatu implementasi kebijakan yang gagal disebabkan oleh adanya faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Informasi

  Kekurangan informasi dengan mudah mengakibatkan adanya ganbar yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

  2. Isi kebijakan Implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samanya isi dan tujuan kebijakan atau ketidaktepatan kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

  3. Dukungan Implementasi kebijakan akan sangat sulit bila para pelaksananya tidak mendapat cukup dukungan.

  4. Pembagian potensi Hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para actor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

1.5.1.2 Proses Implementasi Kebijakan

  Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkain tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk tranformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan.

  Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik maka perlu diketahui variable atau faktor-faktor penentunya. Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno 2007:155) mengemukakan delapan variable penting yang tercakup dalam suatu proses implementasi, yaitu:

  1. Ukuran-Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan Variable ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Identifikasi indikator-indikator kinerja merupakan tahap penting dalam analis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan, yang kemudian dapat digunakan dalam menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.

  2. Sumber-Sumber Kebijakan Sumber-sumber kebijakan layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Dalam beberapa kasus, besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan.

  3. Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan Implementasi akan berjalan secara efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan- tujuan dipahami oleh individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk member perhatian yang besar pada ketepatan komunikasi antar pelaksana kebijakan, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dsengan berbagai sumber informasi.

  4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, pembahasan ini tidak bisa lepas dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola-pola hubungan dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

  5. Kondisi Ekonomi, Sosial dan Politik Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, partisipasi publik yang ada di lingkungan serta lingkungan yang mendukung keberhasilan atau pun menolak implementasi kebijakan.

  6. Kecenderungan Pelaksanaan Arah kecenderungan pelaksanaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan- tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting. Penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong keberhasilan bagi implementasi kebijakan.

  7. Kaitan Antara Komponen-Komponen Model Komponen yang dimaksud adalah ukuran-ukuran dasar dan tujuan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaannya, karakteristik dari badan pelaksana dan kecenderungan para pelaksana yang semuanya salaing berkaitan dalam mengimplementasikan kebijakan.

  8. Masalah Kapasitas Kapasitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi implementasi kebijakan. Hal ini menyagkut staf yang terlatih dan banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, sumber-sumber keuangan dan hambatan-hambatan waktu yang bisa menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik.

1.5.1.3 Model-Model Implementasi

  Untuk mengkaji lebih baik suatu implementasi kebijakan maka perlu diketahui variabel dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Untuk itu, diperlukan suatu model kebijakan guna menyederhanakan pemahaman konsep suatu implementasi kebijakan. Terdapat banyak model yang dipakai untuk menganalisis sebuah implementasi kebijakan. Ada pun dalam mengimplementasikan suatu kebijakan dikenal beberapa model sebagai berikut: a. Model Implementasi Kebijakan George Edward III

  Edward melihat implementasi kebijakan suatu proses yang dinamis, dimana terdapat banyak faktor yang saling berinteraksi dan mempengaruhi implementasi kebijakan. Faktor-faktor tersebut peru ditampilkan guna mengetahui bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap implementasi. Oleh karena itu, Edward menegaskan bahwa dalam studi implementasi terlebih dahulu harus diajukan dua pertanyaan pokok yaitu:

  1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan?

  2. Apakah yang menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi kebijakan? Guna menjawab pertanyaan tersebut, Edward mengajukan empat faktor yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan yaitu faktor communication, resources, disposition, dan bureaucratic structure.

  1. Komunikasi (Communication) Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan (policy implementers). Informasi perlu disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Komunikasi dalam implementasi kebijakan mencakup beberapa dimensi penting yaitu transformasi informasi (transimisi), kejelasan informasi (clarity) dan konsistensi informasi (consistency).

  Dimensi transformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.

  Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami, selain itu menghindari kesalahan interprestasi dari pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan. Sedangkan dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus konsistensi sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok sasaran maupun pihak terkait.

  2. Sumber daya (Resources) Sumber daya memiliki peranan penting dalam implementasi kebijakan.

  Edward III mengemukakan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistensinya ketentuan- ketentuan dan aturan-aturan tersebut, jika para pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kegiatan secara efektif maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya disini berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran, fasilitas, informasi dan kewenangan.

  3. Disposisi (Disposition) Kecenderungan perilaku atau karakteristik dari pelaksana kebijakan berperan penting untuk mewujudkan implementasi kebijakan yang sesuai dengan tujuan atau sasaran. Karakter penting yang harus dimiliki oleh pelaksana kebijakan misalnya kejujuran dan komitmen yang tinggi. Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam program yang telah digariskan, sedangkan komitmen yang tinggi dari pelaksana kebijakan akan membuat mereka selalu antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi, dan tanggung jawab sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Sikap dari pelaksanaa kebijakan akan sangat berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yamg diinginkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi tidak akan terlaksana dengan baik.

  4. Struktur Birokrasi ( Buruecratic Structure) Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

  b. Model Implementasi kebijakan Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier Dalam teori ini dinyatakan bahwa ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni: i. Karakteristik dari masalah (tractability of the problem) terdiri atas:

  1. Tingkat Kesulitan Teknis dari masalah yang ada Dalam hal ini dilihat bagaimana permasalahan yang terjadi, apakah termasuk permasalah social yang secara teknis mudah diselesaikan atau masuk kategori masalah social yang secara teknis sulit untuk dipecahkan.

  2. Tingkat Kemajemukan dalam kelompok sasaran Hal ini menyangkut kelompok sasaran dari pembuatan suatu kebijakan atau dapat dikatakan masyarakat setempat yang dapat bersifat homogeny ataupun heterogen. Kondisi masyarakat yang homogen tentunya akan lebih memudahkan suatu program ataupun kebijakan diimplementasikan, sementara itu dengan kondisi masyarakat yang lebih heterogen akan lebih menyulitkan ataupun mendapat lebih banyak tantangan dalam pengimplementasiannya.

  3. Presentase kelompok sasaran terhadap total populasi

  Dalam artian bahwa suatu program atau kebijakan akan lebih mudah diimplementasikan ketika sasarannya hanyalah sekelompok orang tertentu atau hanya sebagian kecil dari semua populasi yang ada ketimbang kelompok sasarannya menyangkut seluruh populasi itu sendiri.

  4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan Hal ini menyangkut akan hal bagaimana perubahan perilaku dari kelompok sasaran yang diharapkan dengan program yang ada. Sebuah kebijakan atau program akan lebih mudah diimplementasikan ketika program tersebut lebih bersifat kognitif dan memberikan pengetahuan. Sementara itu, program yang bersifat merubah sikap atau perilaku masyarakat cenderung cukup sulit untuk diimplementasikan seperti perda larangan merokok ditempat umum, pemakaian kondom dan Keluarga Berencana dan lain-lain. ii. Karakteristik kebijakan/ undang-undang (ability of statute to structure

  implementation ) terdiri atas:

  1. Kejelasan Isi kebijakan Kebijakan dengan isi yang jelas akan memudahkan sebuah kebijakan dan akan menghindarkan distorsi atau penyimpangan dalam pengimplementasinya. Hal ini dikarenakan jika suatu kebijakan sudah memiiki isi yang jelas maka kemungkinan penafsiran yang salah oleh implementor akan dapat dihindari dan sebaliknya jika isi suatu kebijakan masih belum jelas atau mengambang, potensi untuk distorsi ataupun kesalahpahaman akan besar.

  2. Seberapa jauh kebijakan memilki dukungan teoritis.

  Dukungan teoritis akan lebih memantapkan suatu aturan atau kebijakan yang dibuat karena tentunya sudah teruji. Namun, karena konteks dalam pembuatan kebijakan adalah menyangkut masalah sosial yang meski secara umum terlihat sama disetiap daerah, akan tetapi sebenarnya terdapat hal-hal dapat dilakukan modifikasi saja.

  3. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.

  Hal yang tak dapat dipungkiri dalam mendukung pengimplementasian suatu kebijakan adalah masalah keuangan/modal. Setiap program tentu memerlukan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, memonitor program, dan mengelola sumberdaya lainnya yang semuanya itu memerlukan modal.

  4. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar bebagai institusi pelaksana.

  Suatu program akan sukses diimplementasikan jika terjadi koordinasi yang baik yang dilakukan antar berbagai instansi terkait baik secara vertical maupun horizontal.

  5. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

  Badan pelaksana atau implementor sebuah kebijakan harus diberikan kejelasan aturan serta konsistensi agar tidak terjadi kerancuan yang menyebabkan kagagalan

  6. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan

  7. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. iii. Variabel lingkungan (non statutory variables affecting implementation) terdiri atas:

  1. Kondisi sosial ekonomi masyrakat dan tingkat kemajuan teknologi Kondisi social ekonomi masyarakat menyangkut akan hal keadaan sutau masyarakat secara umum, mulai dari pendidikan, keadaan ekonomi, dan kondisi socialnya yang secara sederhana dapat dikatakan kepada masyarakat yang sudah terbuka dan modern dengan masyrakat yang tertutup dan tradisional. Masyarakat yang sudah terbuka akan lebih mudah menerima program-program pembaharuan daripada masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Sementara itu, teknologi sendiri adalah sebagai pembantu untuk mempermudah pengimplementasian sebuah program. Teknolgi yang semakin modern tentu akan semakin mempermudah.

  2. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.

  Dukungan publik akan cenderung besar ketika kebijkan yang dikeluarkan memberikan inisiatif ataupun kemudahan. Sebaliknya, dukungan akan semakin sedikit ketika kebijakan tersebut malah bersifat dis-insentif.

  3. Sikap dari kelompok pemilih (Constituency groups) Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara, seperti: 1) kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud untuk mengubah kebijakan. 2) kelompok pemilih dapat memiliki kempuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislative.

  4. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan implementor.

  Komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan dalam kebijakan adalah variabel yang paling kursial. Aparat badan pelaksana harus memiliki keterampilan dalam membuat prioritas tujuan tersebut.

  c. Model Implementasi Kebijakan Merilee S. Grindle Model implimentasi kebijakn publik yang dikemukan Grindle menuturkan bahwa keberhasilan proses implimentasi kebijakan sampai kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of

  Implementation (konteks implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi :

  1. Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected)

  2. Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit)

  3. Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned)

  4. Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making)

  5. Para pelaksana program (program implementators)

  6. Sumber daya yang dikerahkan (Resource commited) Sedangkan konteks implimentasi yang dimaksud adalah :

  1. Kekuasan (power)

  2. Kepentingan strategi actor yang terlibat (interst strategies of actor involved)

  3. Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics)

  4. Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness)

1.5.1.4 Pelayanan Publik

  Dalam arti yang sempit, pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada masyrakat oleh pemerintah dalam rangka tanggung jawabnya kepada public, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat, kemampuan masyrakat dan pasar. Konsep ini lebih menekankan bagaimana pelayanan public berhasil diberikan melalui suatu delivery

  

system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di bidang administrasi, keamanan, kesehatan, pendidikan, perumahan, air bersih, telekomunikasi, transportasi, bank, dan sebagainya.

  Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik.

  Berdasarkan organisasi yang meyelengarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

  1. Pelayanan Publik atau pelayanan umum yang diselengarakan oleh organisasi publik. pelayanan Publik atau pelayanan umum diselenggarkan oleh organisasi publik dapat dibedakan lagi menjadi: a. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat primer.

  Ini adalah semua penyediaan barang/ jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang didalamnya pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan pengguna/ klien mau tidak mau harus memanfaatkan. Misalnya pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan penjara dan pelayana perizinan.

  b. Pelayanan publik yang diselenggrakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder. ini adalah segala bentuk penyedian barang/ jasa publik yang diselenggarakan oelh pemerintah, tetapi yang didalamnya pengguna/ klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan , misalnya program asuransi tenaga kerja, program pendidikan dan pelayanan oleh BUMN.

  2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat. Ini adalah semua penyediaan barang dan jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta, perusahan pertelekomunikasian milik swasta. Secara Teoritis, tujuan dari pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut kualitas pelayanan prima yang tercermin dari:

  1. Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhan serta disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

  2. Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

  3. Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prisnsip efisiensidan efektivitas;

  4. Partisipasif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta mayarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat;

  5. Kesamaan Hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain-lain;

  6. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu pelayanan yang mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan publik Pelayanan yang baik hanya akan dapat diwujudkan apabila di dalam organisasi pelayanan terdapat sistem pelayanan yang mengutamakan kepentingan warga negara khususnya pengguna jasa pelayanan dan sumber daya manusia yang berorientasi pada kepentingan warga negara. Fokus pada kepentingan warga negara merupakan hal mutlak dilakukan oleh tiap-tiap unit pelayanan, dikarenakan keberadaan unit pelayanan publik bergantung pada ada tidaknya warga negara yang membutuhkan jasa pelayanan publik.

  Kualitas pelayanan menurut Evans dan Lindsay (1997) dapat dilihat dari berbagai sudut. Jika dilihat dari sudut pandang konsumen, maka kualitas pelayanan selalu dihubungkan dengan sesuatu yang baik/prima (excellent). Jika kualitas pelayanan dipandang dari sudut “product based”, maka kualitas pelayanan dapat didefenisikan sebagai suatu fungsi yang spesifik, dengan variabel pengukuran yang berbeda-beda dalam memberikan penilaian kualitas sesuai dengan karakteristik produk yang bersangkutan. Kualitas pelayanan jika dilihat dari sudut “used based”, maka kualitas pelayanan adalah sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan atau tingkat kesesuaian dengan keinginan pelanggan. Sedangkan jika dilihat dari “value based”, maka kualitas pelayanan merupakan keterkaitan antara kegunaan atau kepuasan dengan harga.

  Salah satu pendekatan yang digunakan dalam kaitan dengan manajemen kualitas adalah InternationalOrganization for Standardization

  ISO). Prinsip-prinsip

   (

  Managemen Kualitas ISO 9001: 2000 adalah:

  1. Prinsip 1: Fokus kepada pelanggan Pelaksanaan prinsip ini tergantung pada pelanggan perusahaan/organisasi.

  Oleh sebab itu organisasi harus memahami kebutuhan pelanggannya. Sehingga perusahaan akan selalu tanggap akan kebutuhan dan kepuasan pelanggan.

  2. Prinsip 2: Kepemimpinan Keterlibatan pimpinan dalam penerapan manajemen kualitas sangat dibutuhkan, karena dengan akan membawa dampak pada keterlibatan secara penuh dari setiap undur organisasi.

  3. Prinsip 3: Keterlibatan orang-orang Keterlibatan orang-orang merupakan faktor penting dalam rangka memberikan komitmen bersama, menumbuh kembangkan inovasi dan kreativitas, sehingga semuanya ikut bertanggung jawab terhadap masalah yang dihadapi beserta solusinya terhadap masalah yang mungkin timbul.

  4. Prinsip 4: Pendekatan proses Hasil yang diinginkan akan dapat tercapai dengan ebih efisien, karena pendekatan ini mengintegrasikan sumber daya yang ada, seperti manusia, material, metode, mesin dan peralatan dalam rangka menghasikan nilai tambah bagi pelanggan. Dengan demikian akan menghemat biaya dan wakti yang diperlukan.

  5. Prinsip 5: Pendekatan sistem terhadap manajemen Pendekatan ini akan memfokuskan usaha-usaha pada proses kunci yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada efektivitas dan efesiensi organisasi dalam mencapai tujuan.

  6. Prinsip 6: Peningkatan terus-menerus Hal ini didefenisikan sebagai suatu prosesyang berfokus pada upaya peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi secara terus-menerus, yang membutuhkan langkah konsolidasi yang progresif dan menanggapi perkembangan kebutuhan ekspetasi pelanggan. Dengan demikian dapat mengetahui keunggulan kinerja melalui peningkatan kemampuan organisasi.

  7. Prinsip 7: Pendekatan faktual dalam pembuatan keputusan Dengan menggunakan data dan informasi yang faktual maka dapat menghilangkan akar penyebab masalah, sehingga dapat diselesaikan secara tepat sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi dan efektivitas implementasi sistem manajemen kualitas.

  8. Prinsip 8: Hubungan pemasok yang saling menguntungkan Dalam rangka menanggapi perubahan pasar dan mengoptimalkan biaya dan penggunaan sumber daya, hubungan antara organisasi dengan pelanggan atau

  stakeholders merupakan hubungan ketergantungan yang saling

  menguntungkan, sehingga akan meningkatkan kemampuan bersama dalam menciptakan nilai tambah masing-masing.

1.5.1.6 Perencanaan Kebijakan Perusahaan

  Setiap organisasi perlu melakukan proses perencanaan dalam setiap kegiatan organisasinya. Perencanaan (planning) merupakan proses dasar bagi organisasi untuk memilih sasaran dan menetapkan bagaimana cara mencapainya.

  Konsep perencanaan merupakan proses menentukan bagaimana sistem manajemen akan mencapai tujuan-tujuan, menentukan bagaimana organisasi dapat mencapai apa yang ingin ditujunya (Certo, 2003).

  Perencanaan merupakan proses menetapkan tujuan-tujuan dan rancangan tindakan, membangun peraturan dan prosedur, dan memperhitungkan hasil-hasil yang akan terjadi dimasa yang akan dating (Dessler, 2001).

  Menurut Lawrence R. Jauch dan William F. Glueck, Manajemen Strategi adalah suatu seni (keterampilan), teknik dan ilmu merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi berbagai keputusan fungsional organisasi (bisnis dan non bisnis) yang selalu dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal, yang senantiasa berubah sehingga memberikan kemampuan kepada organisasi untuk mencapai tujuan sesuai dengan yang diharapakan.

  Proses manajemen strategis terdiri dari tahapan: (1) Analisa Lingkungan, (2) Menetapkan Visi, Misi, dan Tujuan, (3) Formulasi Strategi, (4) Implementasi Strategi, dan (5) Evaluasi Strategi.

  Tugas manajemen Strategi menurut Michael A. Hitt (1997) ada lima yaitu:

  1. Memutuskan kegiatan (bisnis) apa yang akan dilakukan oleh badan/organisasi dan menentukan suatu visi strategi.

  2. Mengkonversi visi dan misi strategi ke dalam bentuk kinerja yang telah ditargetkan dengan sasaran yang terukur.

  3. Menetapkan strategi untuk mencaoai hasil yang diharapkan (crafting).

  4. Mengimplementasikan dan melaksanakan strategi yang telah dipilih secara efisien dan efektif.

  5. Evaluasi kinerja, tinjauan (reviewing) pengembangan bary, memulai melakukan penyesuain koneksi dalam bentuk petunjuk, tujuan, strategi atau implementasi dalam bentuk pengalaman yang betul-betul nyata, kondisi yang berubah, ide baru dan peluang baru.

1.5.1.7 Defenisi Konsep

  Menurut Singarimbun dan Efendi (1995) konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep peneliti diharapkan mampu menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberaapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

  Oleh karena itu penulis menggunakan konsep-konsep dibawah ini antara lain:

  a. Implementasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih tujuan yang diinginkan.

  Ada pun yang menjadi indikator-indikator yang dapat mengukur variabel- variabel tersebut antara lain, adalah:

  1. Kebijakan (policy) adalah peraturan yang mendasari implementasi call center sebagai landasan hukum dan pedoman pelaksanaannya pada PT. Infomedia Nusantara.

  2. Struktur, yaitu meliputi struktur organisasi, pembagian tugas dan wewenang, garis komando atau rentang kendali serta ketepatan atau kesesuaian pelaksanaan program dengan tingkatan struktur organisasi yang melaksanakan program tersebut. Dan yang paling penting dalam struktur organisasi adalah adanya mekanisme prosedur ( Standard Operating Procedures ) yaitu peraturan yang mengatur tata cara kerja dalam melaksanakan kegiatan yang berkenan dengan program, call center.