H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa - Dari Nu untuk Negara, Matori Abd Jalil.pdf

  globe yang dikitari sembilan bintang ini mencapai tujuan politiknya? Adakah misi khusus dari ketua PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid, yang diemban Matori?

   [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Daftar Isi

  ISBN & Catatan penerbit www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

   [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

H. Matori Abdul Djalil:

  DAFTAR ISI Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa Pengantar Penerbit

  Selama Orde Baru berkuasa, hak untuk berkumpul, berserikat, dan Pengantar K.H. Abdurrahman Wahid mendirikan partai politik sangat dibatasi. Maka begitu katup reformasi terbuka, euforia politik tak dapat dibendung. Muncul partai baru, banyak

  itu. Karena itu, dalam MUnas Alim Ulama tahun 1983 - kemudian

  Bagian 1 diperkuat oleh Muktamar NU ke-29 tahun 19984 - NU memutuskan

  Bagian 2 mengambil prinsip-prinsip kebangsaan, dan bukan Islam, sebagai asas-nya. Dengan kata lain, NU berasaskan Pancasila, sekaligus menggunakan Islam BAB 3 - Islam dan Demokrasi dengan paham Ahlussunah wal Jama'ah. Dengan inilah NU, dan kemudian

  Visi Politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), berhasil memecahkan persoalan falsafati

  Bukan Retorika dan mendasar, hubungan antara agama dan negara.

  hadang langkah H. Matori Abdul Djalil mewujudkan cita-cita NU dan Pemimpin dan Kritik

  PKB. Berhasilkah ia menakhodai partai berlambang nusantara dalam

  Kembali ke Partai

  Y.B. Sudarmanto

  A. Ariobimo Nusantara R Masri Sareb Putra

  BAB 5 - Menghadapi Pemilu 1999 Pemilu: Ruang Perubahan Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Kekuatan Mahasiswa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Partai Terbuka Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Menghadapi Pemilu 1999 Tentang Hak Cipta Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

  BAB 6 - Membangun Persaudaraan Sejati Pluralitas Agama

  1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk Suku dan Golongan itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)

  Optimis atau Pesimis! tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

  BAB 7 - Partai, Disitegrasi, dan Kebangsaan

  2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, Rekonstruksi Nation Building mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama

  Foto-foto:

  5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 Foto 1 (lima puluh juta rupiah).

  Foto 2 Foto 3 Foto 4

  Grasindo GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA

  Lampiran: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999

  Susunan Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa Tentang Penulis

  H. Matori Abdul Djalil: Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir

  oleh: Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra GM 602 99.106 O Penerbit PT Grasindo

   [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ]

  Jin. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi undang-undang

  All right reserved

  Dari NU untuk Kebangkitan Bangsa

  Desain sampul oleh Kunta Rahardjo Oleh Pembaca akhir: Effendi Choiri Sumber foto sampul dan isi: Dokumentasi Kompas, dok. PKB, Pribadi. Penerbit mengucapkan terima kasih secara tulus.

  Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit PT Grasindo Anggota IKAPI, Jakarta 1999 Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

  Sudarmanto, Y.B., 1960

  H. Matori Abdul Djalil dari NU untuk Partai Kebangkitan bangsa oleh Y.B. Sudarmanto, A. Ariobimo Nusantara, R. Masri Sareb Putra. Putra, R. 216 him.; 21 cm.

  ISBN 979-669-569-3 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan 1. Jalil, Matori Abdul, Haji. politik -- Indonesia. I. Judul.

  I. Nusantara, A. Ariobimo. Masri Sareb.

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] PENGANTAR PENERBIT

  Di kalangan para filosof, berbeda pandangan merupakan hal yang biasa, asalkan disertai argumentasi yang kuat. Agaknya, para filosof telah lama menyadari kebenaran makna motto Aleksandr Lebed, seorang jendral Rusia yang mengatakan, "The most powerful weapon we have is reason" (senjata kita yang paling ampuh adalah alasan/argumentasi). Anehnya, terhadap objek material, atau bahan kajian, manusia para filosof sepakat bahwa manusia adalah makhluk multidimensional. Artinya, manusia memiliki banyak segi. Banyak ilmu mencoba menjelaskan siapa sesungguh- nya manusia itu. Namun, semakin dijelaskan, semakin manusia tak bisa dipahami. Selalu ada saja sisi-sisi gulita manusia yang tak bisa dijelaskan, atau didekati, oleh ilmu. Untuk manusia biasa saja, ilmu sudah kerepotan men- jelaskannya, apalagi jika manusia itu seorang politikus yang sudah malang melintang selama lebih tiga dasawarsa. Sebutlah, sebagai contoh, H. Matori Abdul Djalil yang menjadi tema sentral dalam buku ini. Pasti banyak sisi yang belum diketahui masyarakat luas. Buku ribuan halaman tidak akan sanggup menjelaskan siapa dia, apalagi buku yang "hanya" 196 halaman sebagaimana tengah Anda pegang ini. Jujur kami mengakui, dimensi Matori yang diangkat di sini lebih terfokus pada kiprah dan sosoknya di pang- gung politik. Jadi, objek formal, atau sudut pandang, buku ini melihat sosok Matori sebagai manusia politik (home politicus). Dengan begitu, pembaca otomatis tidak menemukan dimensi lain.

  Bagaimana pandangan dan sikap politik Matori?

  Sebagai orang pertama dalam PKB, dan sekaligus insan NU, setiap nafas Matori menghembuskan ruh dan semangat NU. Dalam Munas Alim Ulama tahun 1983, dan kemudian dipertegas oleh Muktamar NU ke-29 tahun 1984, NU memutuskan untuk mengambil prinsip-prinsip kebangsaan sebagai asasnya. Dengan begitu, NU berhasil memecahkan persoalan mendasar dan falsafati, yakni hubungan (atau konflik) antara agama dan negara, sebuah persoalan akbar yang tengah dihadapi negara dan umat Muslim di dunia. Karena dibangun atas asas kebangsaan, PKB adalah partai yang inklusif. Di satu sisi ia tidak meninggalkan Islam dengan paham Ahl-u 'l-sunnah wa 'l-Jama'ah, sedangkan di sisi lain -karena universal- ia terbuka untuk semua kaum tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan. Apa tujuan politik PKB? Jika hakikat politik adalah kebaikan bersama (public good), maka satu-satunya tujuan politik yang pantas ialah keadilan (justice). Jika negara yang dibangun berlandaskan keadilan, dapat diandaikan bahwa semua warga akan bekerja dan dapat melaksanakan fungsinya masing-masing dengan balk. Tentu panjang jalan dilalui PKB untuk sampai pada misi dan tujuan politiknya. Pasti ada landasan kuat, atau setidaknya terdapat alasan tertentu, yang melatar- belakangi keputusan itu. Minimal kondisi faktual sosial, politik,budaya, kemasyarakatan, serta moral bangsa In- donesia tatkala PKB akan dideklarasikan menentukan tujuan dan cara partai mencapai tujuan politiknya. Bagi PKB, dan khususnya Matori Abdul Djalil, politik yang sehat harus dibangun berdasarkan moral. Setuju dengan pandangan filosof Socrates (469-399 sebelum Masehi), Matori menganjurkan kepada setiap warga- negara, terutama politikus, untuk selalu bertindak sesuai dengan apa yang dibisikkan hati nuraninya (daimanion). Sebab, pada galibnya semua orang dapat diajarkan dan dituntun berbuat balk. Segala perbuatan yang jahat semata- mata timbul dari cara berpikir yang salah. Seorang politikus wajib mengarahkan dan mendidik setiap warga negaa untuk berpikir dan bertindak yang benar. Syarat untuk berpikir dan bertindak yang benar ialah kebijaksanaan. Karena itu, seorang politikus haruslah seorang yang bijaksana. Maka sudah barang tentu, pasti banyak hikmah yang bisa dipetik dari buku ini. Kami tidak ingin menyebut kismis-kismis manis dan nikmat dari itu semua, silakan pembaca menemukannya sendiri. Namun, satu hal ingin kami garisbawahi. Sebagai pemimpin sebuah partai besar seperti Partai Kebangkitan Bangsa --yang menurut pengamat politik William Liddle disebut sebagai salah partai terbesar saat ini-- ada loncatan besar dari Matori dan PKB. Jika akhir-akhir ini banyak pihak mencemaskan keutuhan bangsa Indonesia akan tercabik-cabik karena bermunculan bagai jamur di musim hujan partai-partai agama yang potensial mengancam integrasi dan rawan memicu konflik SARA, PKB memaklumkan diri sebagai partai yang terbuka untuk semua golongan. PKB, sesuai manifesto politiknya, berjanji membawa bangsa menuju Indonesia yang serba baru. Yakni Indo- nesia yang tidak lagi tersekat-sekat dan terkotak-kotak ke dalam suku, agama, ras, dan antargolongan. Yang unik dari PKB adalah pandangannya yang melihat bahwa pada galibnya manusia --di mana saja di belahan bumi ini-- sama dan sederajat. Dengan cara pandang terhadap manusia yang universal seperti itu, PKB membongkar sekat-sekat yang selama ini menjadi penghalang persatuan dan kesatuan. Karena itu, PKB berjanji membangun persaudaraan sejati. Persaudaraan yang, menurut istilah NU, memiliki empat dimensi. Pertama, persaudaraan antarumat Islam (ukhuwah Islamiah), persaudaraan antarbangsa (ukhuwah wathoniah), persaudaraan antarmanusia (ukhuwah insaniah), dan persaudaraan antaragama (ukhuwah diniyah) . Melihat garis perjuangan PKB yang universal itu, kita tidak bisa berkesimpulan lain, kecuali PKB adalah partai yang terbuka. Perjuangan PKB adalah perjuangan semua kaum. Dalam upaya memperkenalkan perjuangan PKB yang universal itu, dan memenuhi janji bahwa kami akan selalu menambah jumlah buku biografi, kami menerbitkan buku ini. Banyak pihak telah berperan di dalam proses

penerbitannya, antara lain K.H. Abdurrahman Wahid, Drs.

  A. Effendi Choirie dari Departemen Media Massa dan Pengembangan Opini PKB, Arie Syafruddin, A. Kunta Rahardjo, Munif, Ngatawi Al Sastro, Pusdok Kompas, dan tentu saja H. Matori Abdul Djalil sendiri yang senantiasa menyediakan waktu untuk wawancara. Untuk jasa dan sumbangsih mereka, kami mengucapkan terima kasih.

  Akhirul kalam, kami berharap pembaca dapat memetik hikmah buku ini.

  Jakarta, 20 April 1999

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] PENGANTAR ABDURRAHMAN WAHID MENCARI SINTESA AGAMA & NEGARA

  Sebenarnya, sangat sulit bagi saya untuk membuat kata pengantar bagi buku ini. Kesulitan terbesar dalam hal ini adalah adanya pengulangan terhadap apa yang saya nyatakan di dalamnya, karena hal itu dinyatakan juga oleh tokoh sentral buku ini, H. Matori Abdul Djalil. Tapi memang tidak bisa lain, karena saya harus menyatakan apa yang benar-benar menjadi pemikiran saya selama ini. Sebab, jika dengan cara lain, berarti saya berbuat tidak jujur, balk kepada diri saya maupun kepada pembaca buku ini. Masalah sentral yang selalu menjadi pemikiran saya dalam waktu beberapa tahun belakangan ini adalah mengenai hubungan antara agama dan negara. Dalam hal ini, ada dua pola hubungan yang harus dipilih: di satu pihak ada suatu keinginan untuk menjadikan agama, baik secara langsung maupun tidak, sebagai referensi utama (atau diutamakan) dalam membentuk sebuah negara; sedangkan di pihak lain, tidak ada keinginan seperti itu. Menurut keinginan kedua ini, agama adalah salah satu di antara beberapa referensi dalam membentuk negara, karena itu agama tidak menjadi dasar negara. Ia sama fungsinya dengan faktor-faktor lain dalam kehidupan bernegara. Karena itu, tidak ada agama yang diutamakan satu atas yang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perbedaan ini sangat penting artinya, karena akan menentukan corak dari negara yang akan dibangun: haruskah bersumber pada ajaran formal agama, ataukah pada sumber-sumber lain secara rata dan agama menjadi salah satu di antaranya! Dengan demikian, tidak ada pengistimewaan atas sebuah agama di atas agama-agama yang lain. Karena itu, tidak ada agama yang dianak- emaskan dan tidak ada yang dianak-tirikan, semua sama kedudukannya. Ini berarti, nantinya sama sekali tidak ada lagi agama yang diistimewakan, yang berarti negara harus memberlakukan sama terhadap semua agama. Karena itu, agama tidak mungkin menjadi asas organisasi dalam kehidupan bernegara. Dengan demikian, satu-satunya hal yang dapat dijadikan asas adalah kebangsaan, atau prinsip- prinsip yang diambil dari semua agama yang ada. Dan, prinsip-prinsip itu sudah tertuang dalam asas Pancasila. Dengan demikian, masalahnya menjadi sangat sederhana: haruskah Pancasila menjadi asas kehidupan berorganisasi dalam kehidupan atau tidak, keduanya adalah benar. Bahwa, dalam arti tidak ada keharusan berasas Pancasila atau apa pun. Banyak negara yang tidak memiliki asas, tapi bisa berjalan dengan balk, tanpa menggunakan asas bagi organisasi kemasyarakatannya. Karena, prinsip-prinsip yang dianutnya tidak disatukan dalam satu hal yang bersifat formal, seperti Pancasila. Akan tetapi sebaliknya, kalau memang dibuat sebuah asas dalam kehidupan berorganisasi di negara-negara tersebut, sama sekali tidak boleh menggunakan referensi berupa agama tertentu. Kalau ini dilakukan, maka organisasi yang bersangkutan akan dipersempit lingkungannya hingga mencapai orang-orang dari agama tersebut. Dalam hal organisasi politik atau kemasyarakatan masih harus menggunakan asas, maka keputusan untuk tidak menggunakan agama tertentu akan membuahkan pertanyaan: apakah yang menjadi asas baginya! Jawabnya sederhana saja, yakni bahwa asas itu harus bersifat umum dan menyeluruh, jika diinginkan organisasi yang bersangkutan memiliki daya tarik yang luas yang meliputi seluruh jajaran bangsa. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika yang menjadi asas adalah prinsip-prinsip yang dikehendaki, bukan sesuatu yang formal atau tertuju pada salah satu agama saja. Karena itu, dapat dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo tahun 1983 memutuskan mengambil prinsip-prinsip kebangsaan sebagai asasnya, dan bukannya Islam. Keputusan forum itu, kemudian diperkuat pada tahun berikutnya oleh Muktamar NU ke-29 di tempat yang sama, yaitu di Pondok Pesantren milik K.H. R. As'ad Syamsul Arifin, di Situbondo.

  Apakah, dengan demikian, berarti NU lalu akan keluar dari lingkup agama Islam! Ternyata, tidak demikian. Karena Islam tetap hidup dalam organisasi itu dalam bentuk kesusilaan (Al-Akhlaq al-Karimah) dan cara menyebarkan terhadap agama (Al-Dakwah). Dengan demikian, NU berasaskan Pancasila tapi tetap menggunakan Islam dengan paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I- Jama'ah sebagai salah satu referensi' dasarnya. Dengan demikian, orang-orang yang tidak beragama Islam dapat mengikuti kiprah organisasi tersebut dengan berpedoman pada asas itu, karena tidak ada kerugian apa-apa bagi mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Sebaliknya, bagi mereka yang beragama Islam haruslah disediakan tempat bagi mereka untuk berkiprah menurut ajaran agama tersebut. Landasan untuk melakukan hal itu, adalah ajaran formal agama Islam yang berbentuk aqidah (keyakinan). Dengan kata lain, kita berkiprah membangun prinsip bermasyarakat dan bernegara yang direfleksikan dalam asas yang bersifat umum untuk semua pihak, hingga memungkinkan bagi mereka yang tidak beragama Islam pun akan membantu kiprah tersebut. Dan sebaliknya, bagi kaum muslimin yang ingin menggali ajaran formal agama mereka bagi kepentingan seluruh bangsa, tersedia aqidah atau keyakinan sebagaimana tersebut di atas. Dengan cara inilah, NU berharap dapat menyelesaikan konflik falsafi di atas, yang terjadi antara asas sebagai landasan bernegara dan aqidah (keyakinan) dan sebagai landasan individual maupun kolektif dalam bermasyarakat. Mengingat keadaan seperti itu, maka NU telah berhasil memecahkan masalah dasar berupa hubungan antara negara dan agama. Menurut paham ini bisa diambil sebuah prinsip yang berlaku bagi semua warga negara. Ambil saja contoh berupa demokrasi. Dalam pengertian yang luas, demokrasi berarti persamaan peluang dan hak bagi semua pihak, terlepas dari asal usul warga negara yang ber- sangkutan. Bahwa, perbedaan agama, ideologi, ras, jenis kelamin, maupun tingkat ekonomi; tidaklah membuat para warganegara berbeda pada prinsipnya, melainkan berbeda pada penampilan fisiknya atau kepentingannya. Inilah yang dimaksudkan dengan firman Allah SWT. "Sesungguhnya telah Ku-jadikan kalian semua berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (yang saling berbeda-beda) agar kalian saling mengenal (Wa ja'alnaakum syu'uban wa qobaa'ila ii ta'arafuu)" Dengan demikian, agama Islam dapat menjadi rahmat bagi seluruh isi alam, termasuk mereka yang tidak beragama Islam tanpa harus memeluknya sebagai agama.

  Tepatlah firman Allah SWT. "Tiadalah Ku-utus Engkau

  07Vahai Muhammad), kecuali sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam (Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil 'alaamiin)" Dengan demikian, Islam datang sebagai agama yang dapat dinikmati oleh semua orang, tanpa harus memeluknya secara resmi sebagai agama. Bukankah ini berarti bahwa terkadang ajaran formal agama juga harus mengalami perubahan (modifikasi)? Memang benar, karena itu terjadi dalam kenyataan hidup. Contohnya, adalah pengertian tentang murtad (apostacy) dalam figh Islam (Hukum Islam), menurut paham Ahl-u 'I-sunnah wa 'I-Jama'ah. Menurut pengertian lama, mereka yang berpindah agama dari Islam memasuki agama lain haruslah dihukum mati. Kalau ini diterapkan, maka dengan sendirinya lebih dari 10 juta orang warga negara Indonesia, harus dihukum mati sejak tahun 1965. Hal ini, tentu tidak mungkin akan terjadi, karenanya pengertian kemurtadan dalam figh Is- lam haruslah diubah. Perubahan itu dimungkinkan oleh prinsip figh yang berupa "sebab terjadinya hukum agama, balk ada maupun tidaknya hukum itu sendiri, ditentukan oleh sebab yang menimbulkannya (Yadullu ma'a illatihi al- hukm wujuudan wa'adaman). Atau kaidah "Dar'u al-mafasith muqoddamun 'alajalbi al-mashalih", dalam qawa'id al-fiqh. Jelaslah dengan demikian, berasas Islam atau tidaknya sebuah organisasi, tidaklah menentukan apakah organisasi itu berasaskan agama atau tidak. Bagaimanapun juga, orang akan tetap menganggap NU sebagai organisasi Is- lam terlepas dari asasnya Islam atau tidak. Oleh karenanya, jika dalam Pemilu 1999 ini pendapat tersebut diterima rakyat banyak, berarti kaum muslimin di Indonesia -khususnya dalam wadah NU- telah berhasil mencari penyelesaian bagi hal yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia saat ini. Keseluruhan buku ini memperlihatkan pandangan seorang tokoh politik yang berusaha mencari sintesa seperti itu, sebuah keadaan yang dihadapi kaum muslimin di seluruh dunia. Bukankah hal itu merupakan sebuah keberhasilan tersendiri!

  Ciganjur, Akhir Dzu al-Hijjah 1419 H/April 1999

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Bab l DARI SEKJEN KE KETUA UMUM

   Partai Kebangkitan Bangsa yang terlahir dari garba Nahdlatul Ulama (NU) memang ditujukan seara tulus ikhlas untuk: seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali. (Garis Perjuangan Partai Kebangkitan Bangsa)

  Sehari sebelum Deklarasi Partai Kebangkiran Bangsa (PKB), dalam Rapat Harian Gabungan Syuriah dan Tanfidziyah PBNU tanggal 22 Juli 1998 di Jalan Kramat Raya 164 Jakarta, nama saya belum bulat diterima sebagai Ketua Umum PKB. Dalam rapat ini topik yang paling seru dan melalui perdebatan panjang adalah penetapan calon ketua umum partai. Yang menarik, muncul kandidat lebih dari satu. Mereka yang menolak saya, mencalonkan K.H.

  Ma'ruf Amin atau K.H. Mustofa Bisri. Saya sendiri tidak mempersoalkan kedudukan di partai. Keinginan saya yang utama adanya partai yang memberi kesegaran baru, seiring dengan bergulirnya reformasi. Itu saja! Seal diri saya, orang pasti sudah tahu kekuatan dan kekurangan saya. Oleh karena itu, saya slap saja men- jalankan amanat dari warga NU. Ide partai itu sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan di lingkungan saya, warga Nahdliyin dan di masyarakat pada umumnya. Soal jabatan atau kedudukan menjadi nomor kesekian dari prioritas hidup saya. Bagi saya, semua itu hanya amanah dan sarana pengabdian bagi masyarakat. Saya memberani- kan diri dicalonkan sebagai ketua partai karena mendapat dukungan dari K.H. Abdurrahman Wahid dan sejumlah kiai lainnva, selain dukungan dari generasi muda NU. Bursa calon ketua pada waktu itu memang ketat, terlebih karena urgensi waktu. Hanya dalam waktu beberapa bulan partai harus siap mengikuti pemilu. Di samping itu, dalam kalangan NU sendiri masih terjadi silang pendapat soal bentuk partai pang akan dideklarasikan. Siapapun nanti yang memimpin, dia harus dapat merangkul semua kekuatan politik dalam tubuh NU dan memperoleh hasil Pemilu pang menggembirakan. Itu tentu bukan perkara yang enteng. Kiai Ma'ruf Amin sudah diplot sebagai Ketua Dewan Syura, sedangkan K.H. Mustofa Bisri tidak bersedia dicalonkan. "Kalau nama Matori dengan PKB tidak diterima maka akan saya deklarasikan sendiri!" tegas Gus Dur. "Nanti akan kita lihat siapa yang benar!" tandasnya. "Untuk saat ini, di mana PKB hanya punya waktu sangat sempit untuk menghadapi Pemilu, Matori adalah orang yang tepat. Karena dia sudah makan asam garam perpolitikan. Dia sudah merasakan bagaimana diinjak- injak," tambah Gus Dur. Masalah ada yang setuju dan tidak setuju dengan figur Matori, menurut Gus Dur, adalah hal yang biasa. "Kalau tidak ada perbedaan pendapat, ya bukan NU namanya," katanya. K.H. Cholil Bisri pun mempunyai pandangan yang sama. Kiai ini hanya terkekeh-kekeh membaca pernyataan sikap yang dibuat kelompok yang mengaku mewakili NU Jawa Tengah. Kelompok itu mengaku figur Matori tidak mencerminkan aspirasi mereka. Pernyataan sikap itu disebarkan ketika Matori sedang dibaiat menjadi ketua umum. "Kalau mau bikin pernyataan itu ya mestinya minta izin saya dulu. Tapi saya mau usut siapa yang membuat ini. Soalnya dia nyuri stempel NU Jateng he...he.. he..," kata Kiai Cholil Bisri. Ali Haidar, pengamat politik yang sekaligus Sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI-persatuan pesantren dalam NU), pernah mengatakan bahwa format politik NU di tingkat lokal bisa sangat berbeda dengan format politik di tingkat nasional. "Tidak semua senang ketika Gus Dur ngotot mencalonkan Matori sebagai Ketua PKB. Sidang pleno sudah menolaknya," begitu komentarnya. Meski demikian, dukungan Gus Dur terhadap pen- calonan saya tetap kukuh, "Saya tidak ingin partai ini dipimpin oleh orang yang plintat-plintut (dengan menyebut nama seseorang). Tetapi harus dipimpin oleh orang yang memiliki karakter kuat, telah merasakan pahit getirnya po- litik dan tahan bantingan. Dan Matori telah teruji untuk itu." Penjelasan senada juga disampaikan Gus Dur kepada beberapa orang pang di antara mereka terdapat seseorang yang duduk dalam jajaran DPP Golkar, "Saya telah menguji perilaku politik Matori sepuluh tahun lebih. Ternyata dia paling cocok. Memang, belum semua kiai NU paham. Tetapi nanti juga paham sendiri." Saya memang dipandang sebagai kader NU yang sudah malang melintang dalam panggung politik sejak zaman NU sebagai parpol hingga berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Karier, atau lebih tepat dikatakan kiprah, saya sebagai Sekjen DPP PPP memang tidak di- peroleh dengan gampang, melainkan merupakan suatu perjalanan panjang. Karier politik dimulai dari daerah saya, Salatiga. Mulai sebagai pemimpin PMII dan memimpin PPP di daerah itu hingga duduk dalam kepengurusan DPW PPP Jawa Tengah. Saya pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD Salatiga, lalu Wakil Ketua DPRD Kabupaten Semarang, ketua Komisi C DPRD Jateng, ketua FPP DPRD Jateng dan sebagai anggota DPR Pusat selama dua periode.

  Sebagai warga NU klotokan, saya sudah aktif dalam kepengurusan NU di Salatiga dan Jawa Tengah. Saya terlibat dalam organisasi sebagai kader dari bawah yang boleh dikatakan sudah cukup makan "asam garam" perpolitik- an. Meskipun aktif di PPP, saya tetap loyal kepada induk organisasi saya. Salah satu contoh yang patut dikemukakan adalah saat Muktamar PPP tahun 1994 di Jakarta. Dalam muktamar itu saya "menantang" Buya Ismail Hasan Metareum dalam perebutan kursi ketua umum partai. Saya berada di "Kelompok Rembang" bersama K.H. Cholil Bisri, Imam Churmen dan tokoh-tokoh eksponen Nahdlatul Ulama di PPP lainnya. Namun, suatu silent operation terjadi. Operasi itu memanfaatkan keretakan di kelompok Rembang. Pada saat mendekati medan laga, Hamzah Haz dan teman-teman lainnya yang sebenarnya warga nahdliyin, keluar dari barisan. Praktis di saat ketika itu pertarungan dimulai, kelompok Rembang sudah "kempes" Saya pun harus mengakui kekalahan. Usaha menumbangkan Buya itu bukan untuk mengejar tujuan pribadi saya. Kalau saya hanya ingin jabatan saya cukup merangkulnya karena angin dukungan pemerintah berada di pihaknya. Justru karena partai harus menjaga jarak dengan pemerintahlah maka saya berusaha untuk mengalahkan dia dalam Muktamar. Keinginan saya adalah menuntut hak warga NU dan warga masyarakat pada umumnya yang semakin dipinggirkan. Memang, sesudah saya kalah, orang mengatakan seakan-akan saya hilang seperti ditelan bumi. Anggapan itu saya kira tidak beralasan. Saya memang sudah tidak aktif di kepengurusan PPP. Tetapi bukan berarti saya berhenti menyumbangkan pikiran dan tenaga saya. Meskipun tidak ditunjuk sebagai juru kampanye di tingkat pusat, saya tetap berkampanye di Jawa Tengah. Dalam kampanye tersebut muncul istilah "Mega-Bintang" yang diperkenalkan oleh Ketua DPW PPP Solo, Mudrick M. Sangidu. Saya juga mengadaptasi istilah itu dalam kampanye di daerah itu. Saya aktif di partai bukan hanya karena ingin menjadi pengurus atau pimpinan partai. Saya aktif di partai karena saya mencintai partai. Partai saya pandang sebagai sarana memperjuangkan kepentingan rakyat atau membangun demokratisasi. Perjuangan itu tidak berhenti karena kalah dalam pemilihan jabatan partai. Kegiatan-kegiatan diskusi dan kepengurusan dalam beberapa yayasan masih saya lakukan, meskipun saya sekarang menjadi Ketua Umum PKB. Misi utama PKB adalah menegakkan komitmen bangsa yang demokratis. Sistem yang tidak demokratis dan tertutup terbukti menye- babkan ekonomi ambruk, pemerintahan yang represif serta munculnya penjarahan, berbagai teror lainnya, termasuk kekerasan seksual. Misi itu sangat berat, mengingat keutuhan bangsa saat ini nyaris tercabik-cabik. PKB berkewajiban mengembalikan keutuhan bangsa ke arah masyarakat yang damai dan dijiwai semangat persaudaraan. K.H. Abdurrahman Wahid jauh-jauh hari sudah mengajak warga NU untuk mencoblos PKB. Warga NU tampaknya tidak mau mengulangi sejarah peran politiknya. PKB didirikan PB NU untuk mewadahi, khususnya aspirasi politik warga NU yang selama ini tidak tertampung oleh tiga orsospol yang sudah ada. Termasuk di PPP, sekalipun pada saat partai itu didirikan tahun 1973, NU termasuk yang berfusi Lersama MI, PSII, dan Perti. Di pentas politik nonstruktural pun NU berada di pinggiran. Istilah yang begitu populer adalah "NU seperti tukang dorong mobil mogok. Setelah mobilnya jalan, ditinggal plung begitu saja. Bahkan K.H. Cholil Bisri menambahi, tidak hanya ditinggal tetapi sempat diidoni (diludahi)." Terus terang saja, sebagai organisasi massa yang sangat besar, nasib NU selama rezim Soeharto memang kurang menggembirakan. Di pentas politik, NU dipreteli secara bertahap. Setelah "dianjurkan" berfusi dalam PPP, unsur NU tidak pernah berkesempatan memimpin partai tersebut. Padahal, PPP mengandalkan perolehan suara dari massa NU.

  Itu pula sebabnya, dalam deklarasi pembentukan PKB pada tanggal 23 Juli 1998 yang dibacakan oleh salah seorang deklarator, K.H. Muchid Muzadi, dikemukakan bahwa dalam kurun tiga dasawarsa terakhir, perjuangan bangsa untuk mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan semakin jauh dari yang diharapkan. Pembangunan ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah mengabaikan faktor rakyat scbagai pemegang kedaulatan. Pengingkaran terhadap nilai-nilai dan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan praktek kekuasaan tidak terbatas dan tidak terkendali yang pada gilirannya mengakibatkan ke- sengsaraan rakyat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut dan untuk mencegah terjadinya kesalahan serupa di masa depan, diperlukan tatanan kehidupan bermasya- rakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Dalam tatanan kehidupan yang demokratis tersebut, warga Jam'iyah Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari bangsa In- donesia bertekad untuk bersama komponen bangsa lainnya mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berakhlak mulia, dan bermartabat melalui suatu wadah partai politik. Dalam sambutannya seusai pengumuman pengurus, Gus Dur mengatakan bahwa tugas yang diemban PKB sangatlah berat. Selain mereka harus bekerja keras untuk memenangkan Pemilu, PKB juga harus mengim- plementasikan visi partainya yang bersifat kejuangan, demokratis, dan terbuka. "Tidak sedikit dari kita, termasuk warga NU, yang selama ini menganggap warga keturunan Tionghoa bukan sebagai orang Indonesia. Ini salah, karena tidak ada yang asli di Indonesia. Nenek moyang saya 500 tahun yang lalu adalah orang Tionghoa. Oleh karena itu, saya tidak terima kalau di Indonesia ini ada perbedaan ras," katanya. Dalam sambutannya Gus Dur juga menying- gung adanya kekhawatiran sejumlah kalangan terhadap rencana NU mendirikan partai politik dan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang "mengecilkan" NU. Oleh karena itu, tegasnya, warga NU diharapkan ikut dalam Pemilu mendatang dan mencoblos PKB. "Ini bukan kampanye, karena belum waktunya. Tapi ini untuk menunjukkan bukti bahwa PBNU mendukung dan mendirikan PKB," tegas Gus Dur yang disambut riuh warganya. Deklarasi itu merupakan klimaks dari keinginan warga NU untuk mendirikan partai sendiri. Keinginan itu ditanggapi secara hati-hati oleh PBNU. Mengingat, hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo menetapkan bahwa secara organisatoris NU tidak terkait dengan partai politik mana pun dan tidak melakukan kegiatan politik praktis. Deklarasinya hanya berupa alinea singkat, tetapi sub- stansinya membalikkan seluruh sikap politik sebuah organisasi raksasa, yaitu "Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi seluruh warga negara, termasuk warga negara yang menjadi anggota Nahdlatul Ulama. Tapi Nahdlatul Ulama bukan merupakan wadah bagi kegiatan politik praktis." Deklarasi Situbondo itu selanjutnya dikenal dengan istilah "kembali ke Khitah 1926". Khitah boleh pula dianggap sebagai cara NU menyelamatkan kepentingannya. Apa yang dialami jamaah dan jam'iyah NU, dipinggirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tentulah menjadi salah satu pertimbangannya. Meski demikian, bila kemudian NU melahirkan partai, hal ini bukan berarti Mengkhianati Khitah 1926. Ini merupakan upaya menyerap suara dan aspirasi kaum nahdliyin yang begitu besar. Mengutip komentar K.H. Said Aqil Siradj, "PRNU tidak menyalahi khitah. Sebab PKB adalah partainya warga NU, bukan partai organisasi. Dan, yang menjadi pengurus partai harus keluar dari PBNU. Lagi pula, Muktamar Situbondo memutuskan yang kembali ke khitah itu NU, sedangkan warganya silakan berpolitik." Itulah situasinya. Dan, guna memenuhi desakan untuk membentuk parpol sendiri, PBNU membentuk Tim Lima yang ditugaskan untuk memenuhi aspirasi warga NU. Tim Lima diketuai K.H. Ma'ruf Amin, dengan anggota K.H. M. Dawam Anwar, K.H. Said Aqil Siradj, Rozy Munir, dan Achmad Bagdja. Untuk mengatasi hambatan, Tim Lima tidak dibekali surat keputusan PB NU. Kemudian pada tanggal 20 Juni 1998 dibentuk Tim Asistensi untuk membantu Tim Lima antara lain dalam menginventarisasi dan merangkum usulan warga NU untuk mendirikan partai baru. Saat rapat gabungan Syuriah dan Tanfidziah PBNU berlangsung, saya berada di rumah saja. Lha wong saya hanya mengusulkan sama Gus Dur. Ini Iho Gus mbok: bikin partai terbuka yang berwawasan kebangsaan untuk membangun demokrasi. Gus Dur bilang, "Pak Matori, keinginan itu bagus. Hanya harus hati-hati, karena desakan untuk membentuk partai di tubuh NU itu besar sekali." Saya pun menunggu dengan melakukan kegiatan- kegiatan saya sendiri. PBNU membentuk panitia untuk menjajagi dan mempertimbangkan pendirian partai sendiri. Suatu ketika saya bertemu Gus Dur lagi, beliau bilang nanti akan dibentuk partai dan Pak Matori menjadi ketua umum. Mendengar itu saya ya tenang-tenang saja, karena yang mengatakan Gus Dur sendiri. Mengapa kemudian habis rapat itu timbul pro dan kontra soal saya, karena di NU sendiri banyak orang yang mampu untuk itu. Interest dalam politik itu sangat manusiawi dan wajar saja. Di samping itu, tidak semua kiai mengenal saya. Memang dalam "peristiwa Rembang" saya dijagokan para kiai Muktamar PPP 1994 dan saya dikalahkan oleh Buya Ismail Hasan Metareum. Tentu saja sikap pro dan kontra itu saya jadikan cermin untuk berkaca diri, memperbaiki diri. Tidak ada orang yang sempurna, makanya saya harus terus memperbaiki diri. Susunan lengkap DPP Partai Kebangkitan Bangsa saya kira perlu dikerahui umum, sebagai herikut.

  Para Deklarator K.H. Ilyas Ruhiyat K.H. Munasir Ali K.H. A. Mustofa Bisri K.H. Muchit Muzadi K.H. Abrurrahman Wahid Dewan Syura Ketua: K.H. Ma'ruf Amin Wakil Ketua: K.H. M. Cholil Bisri Sekretaris: K.H.M. Dawam Anwar Anggota: Brigjen TNI (Purn) K.H. Sullam Syamsun K.H.M. Hasyim Latief Dr K.H. Nahrawi A Salam K.H.M. Mukeri Gawith, MA K.H. Yusuf Muhammad, MA K.H. Dimyati Rais Hj Sariani Thaha Ma'ruf TGH Turmudzi Badruddin Dewan Tanfidzi Ketua Umum : H. Matori Abdul Djalil Ketua Dr H.Alwi Shihab Dra. Hj. Umrah M Tholchah Mansoer

  H. Agus Suflihat Mahmud

  H. Amru Mu'tashim, SH K.H. Imam Buchari AG

  H. Taufiqurrahman Saleh, SH. Msi Drs. Yafi Thahir Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa Sekjen: Drs. A. Muhaimin Iskandar Wakil Sekjen: Drs. Amin Said Husni H. Aris Aahari Siagian

  H. Yahya Staquf Cholil Bendahara: H. Imam Churmen Wakil Bendahara:

  H. Ali Mubarrak

  H. Safrin Romas, MBA Banyak harapan ditujukan pada Partai Kebangkitan Bangsa setelah kemunduran demi kemunduran politik terjadi pada masa Orde Baru. Tumbuhnya aliansi ABRI- Teknokrat menghasilkan kemenangan mutlak Golkar sejak Pemilu 1971. Golkar di bawah pimpinan Ketua Dewan Pembinanya bertindak sekaligus sebagai pemain, pengawas, dan pembina semua partai. Partai-partai Islam digiring dalam satu wadah tunggal, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Pada kesempatan deklarasi itu K.H. Ma'ruf Amin menyatakan warga NU terus dipinggirkan dan aspirasinya belum tersalurkan dengan balk dalam orsospol yang ada atau belum ada orsospol yang mampu menampung aspirasi warga NU. "Sekarang kami sepakat untuk bersatu. Kami tidak mau lagi menjadi kerdil. Mereka sekarang disatukan dalam Partai Kebangkitan Bangsa," Kata Kyai Ma'ruf. Partai ini, tambahnya, adalah partai terbuka namun tidak akan menghilangkan identitas keislaman pada landasan perjuangannya.

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Mengapa saya?

  Banyak orang ingat peran saya sebagai formatur dalam Muktamar PPP tahun 1994. Saya bersama K.H. Syamsuri Badawi merupakan dua formatur yang berasal dari NU, sedangkan lima lainnya dari unsur Muslimin Indonesia.

  Saat sidang formatur, ada dua tawaran yang diajukan, yakni kursi NU untuk pengurus harian ditambah satu. Usulan itu disetujui. Satu lagi, dalam hal pengisian kursi tersebut menentukan orang-orangnya adalah unsur NU sendiri. Tawaran kedua itu ditolak oleh lima formatur MI, satu di antaranya adalah Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum lama yang kemudian terpilih kembali. Karena permintaan kedua ditolak, saya tidak mau lagi meneruskan sidang. Percuma saja, kalau kemudian di dalam rapat hanya model voting karena hal itu sudah sering terjadi selama ini di DPP PPP. Saya sudah tahu pada saat yang menentukan itu Hamzah Haz dan kawan-kawan sudah keluar dari barisan "Rembang." Ada yang mengatakan bahwa kubu saya yang dijagokan Kelompok Rembang kalah karena kekurangkompakan unsur NU dalam PPP. Tetapi, ada yang menyebut lebih disebabkan oleh suasana politik waktu itu yang memang tidak menguntungkan untuk saya. Sekjen meminta restu pada Ketua Umum PBNU Gus Dur yang tidak disenangi pemerintah. Sebagai kader NU yang dikenal dekat dengan Gus Dur, saya tidak takut mengatakan bahwa saya mendapat restu Gus Dur, meskipun kemudian kalah dalam muktamar. Langkah saya itu menyebabkan saya tidak dimasukkan dalam daftar calon. Bahkan, dalam kampanye saya tidak dimasukkan sebagai juru kampanye tingkat pusat. Tetapi, karena kecintaan kepada partai yang sudah digeluti sejak puluhan tahun, saya tetap berkampanye dan membantu anggota lain bila diperlukan. Saya mengharapkan bahwa sikap saya yang ikut serta dalam pemilihan ketua partai dapat menjadi pelajaran demokrasi yang baik bagi masyarakat. Itulah demokrasi. Meskipun saya tahu tidak semua politisi NU berani melakukan hal itu. Mengapa saya bersikap respect sekali pada Ali Sadikin dan teman- temannya. Karena meskipun tahu kalah ia tetap berani mengambil jarak, mengkritik, dan mencoba melakukan kontrol atas kekuasaan presiden yang makin hari makin bertambah besar. Mestinya, fenomena itu dapat menjadi semacam "pencerahan" (enlightenment) pada para politisi di negeri ini. Salah seorang anggota Komnas HAM, Roekmini Koesoemo Astuti, almarhumah pernah menegaskan perlunya pencerahan di kalangan elite pemerintahan agar kesadaran hukum dan politik mereka semakin meningkat. "Jangan selalu menganggap mereka yang paling benar dan menjadi penafsir tunggal dari semua persoalan yang terjadi di negeri ini," ujarnya. Tetapi memang harapan berbeda dengan kenyataan. Meskipun "lepas" dari PPP, saya ini orang politik. Peker- jaan saya, ya politik. Saya ikut kampanye bukan hanya karena saya menjadi pengurus atau pimpinan melainkan karena kecintaan saya pada partai. Gus Dur juga menyata- kan bahwa saya kalau memimpin partai bukan sekadar ingin menjadi anggota DPR. Kalau saya sekadar ingin menjadi anggota DPR saja, tentu saya cukup bekerja sama Ismail Hasan Metareum. "Tetapi, dia ingin membawa partai ini lebih dari itu. Hal itu berbeda dengan orang-orang NU lainnya. Mereka paling-paling sekadar ingin jadi DPR. Setelah itu selesai," tegas Gus Dur. Memimpin partai ini adalah amanah. Untuk itu, beliau saya ditugaskan dengan mengucap "la haula wala quwwata illa billah" (tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah), saya slap. Tantangan PKB adalah mendorong sipil atau masyara- kat madani yang selama ini dipinggirkan sebab sudah tiba saatnya tampil ke depan. Politisi sipil bertanggung jawab mengembalikan hal besar yang penting bagi bangsa ini, Akibat pendidikan politik yang salah selama ini, politisi maupun masyarakat biasa menganggap musuh atau berseberangan orang yang berbeda pendapat. Bangsa ini sudah terbiasa diseragamkan. Di pundak saya bersama kawan-kawan, titik pijak PKB dipertaruhkan. Mampukah saya membawa PKB menjadi partai besar, bukan hanya dalam hal jumlah suara tetapi juga dalam peran me- nentukan corak masa depan bangsa dan umat! Menurut saya, apalah artinya memiliki jumlah suara besar, tetapi mendapat peran pinggiran. Tantangan tidak ringan. Saya harus bisa menghimpun seluruh massa NU yang jumlahnya mencapai 40 juta jiwa. Ini tidak mudah karena massa NU terkonsentrasi di pesantren. Seperti dimaklumi, di pesantren, para kiai memiliki otonomi yang sangat kuat. Di samping itu, massa NU dikenal sebagai pemilih tradi- sional PPP selama dua dasawarsa lebih, selain masih banyak tokoh NU di PPP yang bisa juga mempunyai massa sendiri. Sering ada tuduhan dari orang luar bahwa PKB terlalu mengandalkan nama besar Gus Dur. Sekjen PPP saat itu Tosari Widjaja, mantan aktivis Ansor berpendapat bahwa figur yang tampil menjadi pimpinan akan sangat menentukan minat warga NU untuk bergabung atau tidak dengan PKB. "Kita lihat saja figur pimpinannya, apakah bisa merekrut warga NU atau tidak. Sebab Gus Dur sendiri tidak berada di barisan ini, tapi memilih bergabung dengan Megawati", tegas Zarkasih Nur, salah seorang pimpinan PPP. Hal itu, menurut Tosari, berbeda kalau NU menjadi partai. PKB tidak didirikan oleh PBNU, sementara PPP ada karena keputusan resmi NU untuk berfusi bersama partai Islam lainnya. PKB memang menggunakan ide dan gagasan Gus Dur, namun hal itu hendaknya jangan hanya ditafsirkan secara fisik. Bagaimanapun besarnya peran Ketua Umum PBNU itu, Gus Dur tidak menentukan dirinya sebagai ketua partai. Dia hanya meminta seseorang yang dianggapnya mampu, supapa mengantar partai ini sampai pemilihan umum yang akan datang. Ternyata permintaan itu diterima oleh PBNU dengan beberapa pertimbangan dan catatan. Kepuasan semua pihak tidak mungkin

tercapai 100%. Bagaimanapun pendeklarasian PKB saya kira tidak kalah demokratis dengan deklarasi partai partai lain. Gus Dur bukan hanya berkali-kali me- nyampaikan bahwa Islam itu inklusif dan persaudaraan. Namun, dia juga melakukan action aktif mempersatukan bangsa. Visi dan usaha itu juga kita usahakan lewat per- juangan partai. Memang tidak sedikit yang menolak kehadiran saya di pucuk pimpinan PKB. Selain intern PBNU, juga dilakukan tokoh-tokoh intern PPP. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok Yayasan Saifuddin Zuhri yang diprakarsai oleh adik kandung Gus Dur, Ir. Salahuddin Wahid. "PBNU telah bersikap diskriminatif terhadap partai- partai baru di kalangan NU selain PKB," tulis Salahudin di sebuah surat kabar Ibu Kota. Sikap senada disampaikan oleh K.H. Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebuireng, Jombang. Pak Ud, demikian panggilan akrab kiai itu, tidak mau bergabung dengan PKB karena dipimpin oleh saya. Mantan anggota MPP PPP ini menilai, saya tidak memiliki keulamaan dan kematangan politik. Menurut dia, orang yang memenuhi syarat memimpin PKB adalah K.H. Mustofa Bisri. Ia memiliki kualitas individu, ulama, pola pikir dan moralitas yang tidak diragukan lagi. Sikap serupa juga dilontarkan oleh K.H. As'ad Umar dari Peterongan, Jombang yang juga menjadi anggota Wahab yang dikenal sebagai tokoh KPPNU (Koordinasi Pengurus Pusat NU) pimpinan Abu Hasan. Silang pendapat tentang kedudukan saya dalam partai menjadi cambuk bagi saya untuk melakukan yang terbaik bagi kesuksesan tujuan partai. Di samping itu, aneka pendapat itu juga mendorong saya berkomunikasi dan turun ke bawah menampung aspirasi dan harapan mereka. Secara pribadi saya tidak merisaukan silang pendapat itu karena kerlibatan di partai bukan untuk mengejar kepentingan pribadi saya. Partai adalah sarana ibadah. Saya berjuang dalam partai dengan niat mengabdi kepada Allah.

  www.kmnu.org - Copyright © NU Mesir [ H. Matori - Dari NU Untuk Kebangkitan Bangsa ] Agenda Politik

  Kritik dan reaksi masyarakat saya pandang sebagai cermin diri agar terus berada pada jalur yang benar, selalu memperbaiki dan menyempurnakan diri. Salah satu kritik itu juga datang dari Dawam Rahardjo, salah seorang Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) sebelum lahirnya PKB, NU sebenarnya bisa digolongkan organisasi terbesar yang memperjuangkan civil society secara murni. Namun, setelah lahirnya PKB yang didirikan untuk mewadahi warga NU dalam pentas politik, menurut Dawam, ciri khas NU itu hilang. "Hal itu bukan berarti saya anti-PKB. Saya hanya mengatakan bahwa PKB itu didirikan untuk mewadahi aspirasi NU," kata Dawam. Artinya, menurut dia, memang ada suatu desain bahwa orang NU itu memilih PKB. Dasar ketidaksetujuan Dawam adalah pandangan bahwa NU itu sebaiknya menjadi organisasi civil society yang memberi kebebasan warganya untuk memilih partai politik apa saja sehingga tidak perlu membuat partai yang menampung aspirasi NU. Menurut dia, ada perbedaan cukup mendasar antara PAN dan PKB. PKB didirikan oleh organisasi, sedangkan PAN itu tidak didirikan oleh organisasi tetapi dirikan oleh individu-individu. Jika organisasi-organisasi itu mendirikan PAN, Dawam menolak. Dawam menyatakan tidak setuju bila suatu organisasi itu berafilisiasi dengan parpol. Ini untuk membebaskan organisasi civil society dari partai-partai dan mencegah perpecahan. Kalau nanti warga NU menyalurkan suaranya ke PKB dan kebetulan PKB kalah, wah nanti warganya dikuyo-kuyo (disindir-sindir), katanya. Tentu saja Dawam boleh berpendapat begitu. Itu hak dia. Cuma bagi saya aneh bila demi menegakkan civil society warga NU tidak boleh mendirikan partai politik sendiri. Bukankah sebaliknya, justru adanya partai menjadi wadah untuk meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan partisipasi politik. Partai sebagai sarana artikulasi dan agregasi (penampilan masalah secara menyeluruh) kepentingan-kepentingan rakyat di dalam lembaga- lembaga politik. Soal kalah atau menang bukankah itu biasa dalam politik? Mengapa kekhawatiran itu berlebihan? Saya juga menyadari ada "kebencian" kepada NU dan PKB. Hal itu tampak dalam serangkaian aksi tindak kekerasan di Banyuwangi yang menelan banyak korban dari warga nahdliyin. Orang mengatakan ada hujatan kenapa NU tidak membagi adil saja anggotanya, seperti khitah, bebas-bebas saja. Atau ungkapan-ungkapan bahwa keadaan yang lalu lebih bagus dari sekarang. Indikasi- indikasi itu ada. Menurut K.H. Hasyim Nuzadi, Ketua PWNU Jawa Timur, ada dua kekuatan yang bertarung yang disebutnya sebagai yang pro status quo dan pro perubahan.

  Di dalam kantong status quo isinya banyak. Yang main di dalam ini banyak. Mungkin rezim yang lama, mungkin orang yang akan dirugikan dengan pemilu, mungkin juga orang yang akan bergeser kekuasaannya, mungkin juga kekhawatiran terhadap dwifungsi (ABRI) yang mengecil. Atau mungkin juga orang-orang yang tidak mau terbongkar salahnya. Ini semua jadi satu. Satu keranjang dalam istilah saya status quo itu. Sementara yang reformis masih dalam tanda petik," tegas Kiai Hasyim. Tentang kasus Banyuwangi ada satu komentar menarik dari K.H. Maksum Jauhari, salah seorang pengurus DPW PKB Jawa Timur, "Yang bakal menang pada Pemilu 1999 adalah PKB, karena PKB adalab partai hesar. Kalau