MAKALAH ALIRAN ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKA

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
FEBRINA RAMDHANI (4133321030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
T.A 2015/2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan tepat waktu.
Makalah ini berjudul “Aliran-aliran Filsafat Pendidikan”. Makalah ini

berisikan uraian mengenai aliaran filsafat pendidikan berdasarkan pengkajian
terhadap fenomena atau gejala dan eksistensi manusia dalam pengembangan
hidup dan kehidupannya dalam alam dan lingkungannya .
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dan mendidik untuk perbaikan selanjutnya.
Walaupun demikian penulis tetap berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua yang membacanya. Terima kasih.

Medan, 26 September 2015

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI


ii

ABSTRAK

iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

1

1.2 Rumusan Masalah

1

1.3 Tujuan Penulisan

2


BAB II PEMBAHASAN
2.1. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

3

2.2. Filsafat Pendidikan Progresivisme

12

2.3. Filsafat Pendidikan Perenialisme

19

2.4. Filsafat Pendidikan Esensialisme

23

2.5. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme

27


BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan

31

3.2. Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Oleh :
FEBRINA RAMADHANI (4133321030)
PENDIDIKAN FISIKA EKS.A 2013

ABSTRAK

Makalah ini berisi gambaran tentang aliran-aliran filsafat pendidikan yang
mengkaji fenomena atau gejala dan eksistensi manusia dalam pengembangan
hidup dan kehidupannya dalam alam dan lingkungannya yang tercakup dalam
eksistensialisme,

progresivisme,

perenialisme,

esensialisme,

dan

rekonstruksionisme. Aliran-aliran ini dapat memberikan penjelasan tentang
pandangan dan pelaksanaan pendidikan. Aliran filsafat pendidikan dapat
digunakan untuk mendesain rencana pembelajaran untuk meningkatkan
pelaksanaan pendidikan yang bermutu. Setiap aliran memiliki karakteristik
tersendiri, namun beberapa diantaranya masih memiliki keterkaitan. Seperti aliran
rekonstruksionisme yang merupakan pengembangan dari aliran progresivisme,
kemudian aliran esensialisme yang mendukung aliran perenialisme. Semua aliran

filsafat pendidikan ini memiliki implikasi bagi tujuan pendidikan, kurikulum, dan
metode pembelajaran.
Kata kunci: Aliran Filsafat Pendidikan, Pelaksanaan Pendidikan, Implikasi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara

mendalam sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui
karya filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan,
yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta
didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya
suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran
Perenialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut
geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran Esensialis,

Tradisionalis, Progresivis, dan Rekonstruksionis.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak
terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masingmasing konsep akan mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam
memangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar
teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan.
Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil
penelitian ilmiah.
1.2

Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?
2. Bagaimana

konsep

pendidikan

aliran


filsafat

eksistensialisme,

progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?

3. Bagaimana implikasi aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme di dunia pendidikan
Indonesia?
4. Apa saja contoh penerapan aliran filsafat eksistensialisme, progresivisme,
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme?

1.3

Tujuan
1. Dapat menjelaskan pengertian dari aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.
2. Dapat mengemukakan konsep pendidikan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.
3. Dapat


menjabarkan

implikasi

aliran

filsafat

eksistensialisme,

progresivisme, perenealisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme di
dunia pendidikan Indonesia.
4. Mampu menyebutkan contoh penerapan aliran filsafat eksistensialisme,
progresivisme, perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme.

BAB II
PEMBAHASAN
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, yang berarti bahwa
filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan

menggunakan hasil-hasil kajian dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia
tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya yang berkaitan dengan praktek
pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat pendidikan

terdapat berbagai aliran

sesuai dengan aliran yang terdapat dalam filsafat. Tinjauan filsafat dapat berwujud
sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat pendidikan
dengan filsafat pancasila. Berikut ini akan diuaraikan berbagai aliran filsafat
pendidikan yang menjelaskan tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala
dan eksistensi manusia dalam pengembangan hidup dan kehidupannya dalam
alam dan lingkungannya yang tercakup dalam eksistensialisme, progresivisme,
perenialisme, esensialisme, dan rekonstruksionisme ( Edward dan Yusnadi, 2015:
18-19 ).
2.1

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme

istilah eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat

eksistensialisme istilah eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam
dunia, dan hal ini berada dengan cara berada benda-benda, sebab benda-benda
tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu yang memiliki hubungan dengan
yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap eksistensi memiliki
hubungan dengan yag lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap
eksistensi memiliki arti bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari
diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada.
Menurut Heidegger (Sudarsono, 1993:345-346), persoalan tentang
“berada” ini hanya dapat dijawab melalui ontology, artinya : jika persoalan ini
dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu.

Supaya usaha ini berhasil harus dipergunakan metode fenomenologis. Demikian
yang penting ialah menemukan arti “berada” itu. Guna menentukan arti berada itu
manusia harus diselidiki dalam wujudnya yang biasa tampak sehari-hari.
Heidegger bermaksud mengetahui keadan manusia sebelum keadaan tu dipikirkan
secara ilmiah, yaitu dalam perwujudannya yang belum ditafsirkan. Hasil usahanya
ini ialah bahwa ia menemukan manusia yang di dalam dunia. Oleh karena
manusia berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada bendabenda di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan juga dengan
manusia-manusia yang lain, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya
itu.
J.P Sartre menyatakan eksistensi manusia mendahului esensinya.
Pandangan ini amat janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu
sebelum keberadaannya. Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia
mendahului esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang
esensinya mendahului eksistensinya, seandainya mereka punya eksistensi. Di
dalam filsafat idealism, wujud nyata (existence) dianggap mengikuti hakikat
(essence). Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu
menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Dan formula ini
merupakan prinsip utama dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Fuad,
2010:180-181).
Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 2007:93-94) filsafat pendidikan
eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau
adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya
tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah
bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya
sendiri.
Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu melalui pengalaman. Hal itu
bergantung pada tingkat kesadaran masing-masing untuk mencari pengalaman.
Kebenaran menurut mereka adalah relatif bergantung kepada keputusan mereka
masing-masing. Begitu pula nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu. Orang

tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial agar eksistensinya tidak
hilang.
Ada beberapa pandangan penganut filsafat ini sehubungan dengan
eksistensi, yakni:
a.

Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang
bereksistensi, manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat
humanistis.

b.

Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya
secara aktif, merencanakan,berbuat dan menjadi.

c.

Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka
serta realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya
terutama sesama manusia (Edward dan Yusnadi, 2015: 28 ).
Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran

individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong
pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan
mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan
aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri,
maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung
dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai
dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis
dengan teknik mengajar tidak langsung (Pidarta, 2007:94).
Eksistensi manusia sebagai makhluk hidup di muka bumi ini memiliki
hakikat-hakikat sebagai berikut ini:
1.

Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran (consciousness) dan

penyadaran diri (self-awarness). Karena itu, manusia adalah subjek yang
menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala sesuatu
yang ada di luar dirinya (objek), selain itu manusia bukan saja mampu berpikir
tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang pemikirannya.
Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaan dengan alam bahwa konteks
keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya.

Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang asal-usul alam
semesta, yaitu Evolusionisme dan Kreasionisme. Menurut Evolusionisme, alam
semesta menjadi ada bukan karena diciptakan oleh Sang Pencipta atau Prima
Causa, melainkan ada dengan sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu
sendiri sebagai hasil evolusi. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa
adanya alam semesta adalah sebagai hasil ciptaan suatu Crative Cause atau
Personality, yang kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua pandangan yang
berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut Evolusionisme beradanya
manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Sebaliknya Kreasionisme
menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makluk (ciptaan)
Tuhan.
Oleh karena itu manusia berkedudukan sebagai makluk Tuhan Yang Maha
Esa maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami sendiri
adanya Fenomena Kemakhlukan. Fenomena kemakhlukan ini, antara lain berupa
pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan martabat manusia
daripada Tuhannya. Manusia merasakan dirinya begitu kecil dan rendah di
hadapan Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi. Manusia mengakui
keterbatasan dan ketidakberdayaannya dibanding Tuhannya yang Maha Kuasa
dan Maha Perkasa. Manusia serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu.
Manusia bersifat fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih
sayang TuhanNya, namun ia pun tahu begitu pedih siksaNya.
Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu muncul pula
adanya harapan yang mengimplikasikan kesiapan untuk mengambil tindakan
dalam hidupnya. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan kejelasan akan tujuan
hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas akan masa depannya.
2.

Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh
Terdapat empat paham mengenai struktur metafisik manusia, yaitu

Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang menyatakan bahwa manusia
adalah kesatuan badan-roh.

 Materialisme : alam semesta atau realitas ini tiada lain adalah serba materi, zat,
atau benda. Manusia merupakan bagian dari alam semesta sehingga manusia tidak
berbeda dari alam itu sendiri. Yang esensial dari manusia adalah badanya, bukan
jiwa atau rohnya. Manusia adalah apa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas
zat (daging, tulang, urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau
rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari fungsinya
badan atau organ tubuh.
 Idealisme : bertolak belakang dengan pandangan di atas, menurut penganut
Idealisme bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya atau spiritnya atau rohaninya.
Dalam hubungannya dengan badan, jiwa berperan sebagai pemimpin badan,
jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan mempunyai ketergantungan
kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakkan semua aktivitas
manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
 Dualisme : dari dua pandangan diatas tampak bertolak belakang. Pandangan
pertama bersifat monis-materialis, sedangkan kedua bersifat monis-spiritualis.
Menurut Descartes esensi diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan
jiwa. Oleh karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan
jiwa) maka antara keduanya tidak terdapat hubungan salaing mempengaruhi,
namun demikian setiap peristiwa kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa
badaniah atau sebaliknya.
Sebagai kesatuan jasmani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu,
sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting,
nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia potensi untuk beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan potensi berperasaan (rasa), potensi
berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapaun dalam
eksitensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi
atau berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
3.

Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat dibagi antara

aspek jasmani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya bukan
hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga

bersifat unik. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya
sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin
menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjadi seseorang tertentu,
dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di tengah-tengah segala
yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak boleh dipandang sebagai
objek.
4.

Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak hidup

sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk dirinya
sendiri. Manusia hidup dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping itu,
setiap individu mempunyai dunia dan tujuan hidupnya masing-masing, mereka
juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan sesamanya.
Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi makhluk sosial atau
makhluk bermasyarakat.
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan adanya
hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka idealnya
situasi hubungan antara individu dengan sesamanya itu tidak merupakan
hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek.
Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal balik antara individu
dengan sesamanya dalam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing
maka hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada
setiap manusia.
5.

Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia

pada

dasarnya

adalah

makhluk

budaya

yang

harus

membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan
diri dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnysa
dengan alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang
sebagai makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah dengan manusia dia
tidak dapat melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam
sekitarnya.

Istilah kebudayaan berasal dari kata budh berasal dari bahasa Sansekerta.
Dari kata budh ini kemudian dibentuk kata budhayah yang artinya bangun atau
sadar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture.
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan kebudaayaan,
hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada di luar
manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri. Sejalan
dengan ini Ernst Cassirer menegaskan bahwa “ manusia tidak menjadi manusia
karena sebuah faktor di dalam dirinya, seperti misalnya naluri atau akal budi,
melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya dan kebudayaannnya”.
Kebudayaan memiliki fungsi bagi kemungkinan eksistensinya manusia,
namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam mengembangkannya,
kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuatan-kekuatan yang mengancam
eksistensi manusia. Kodrat dinamika hidup manusia mengimplikasikan adanya
perubahan dan pembaharuan eksistensinya. Selain itu, mengingat adanya dampak
kebudayaan terhadap manusia, masyarakat kadang-kadang terombang-ambing di
antara dua ralasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan
bentuk-bentuk lama (tradisi), sedang yang lain terdorong untuk menciptakan halhal baru (inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan
inovasi.
6.

Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi dan

kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya
potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia memiliki aspek
kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek kesusilaan karena
pada manusia terdapat rasio praktis yang memberikan perintah mutlak
(categorical imperative). Sebagai makhluk otonom atau memiliki kebebasan,
manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan normanorma moral dan nilai-nilai moral yang juga harus dipilihnya. Karena manusia
mempunyai kebebasan memilih dan menentukan perbuatannya secara otonom
maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan pertanggung jawaban atas
perbuatannya.

7.

Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek Keberagamaan merupakan salah satu karakteristik esensial

eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan atau keyakinan akan
kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Keberagamaan
menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang sungguh atas suatu agama,
adapun yang dimaksud dengan agam ialah : “satu sistem credo (tata keimanan
atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar manusia, satu sistem ritus
(tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya mutlak itu, dan satu sistem
norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manuisa dengan manusia dan alam
lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan
termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu
melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta
untuk dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa
kepadaNya. Manusia hidup beragama kerana agama menyangkut masalahmasalah yang bersifat mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak
dalam kehidupan sesuai agama yang dianut masing-maswing individu. Dalam
keberagamaan ini manusia akan merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia
memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya, tata cara hidup dalam berbagai
aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa yang menjadi tujuan hidupnya.
8.

Manusia sebagai Makhluk Berpendidikan
Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan manusia atau

upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat
kemanusiaan. Sebab manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia mampu
merealisasikan hakikatnya secara total maka pendidikan hendaknya merupakan
upaya yang dilaksanakan secara sadar dengan bertitik tolak pada asumsi tentang
hakikat manusia.
Hidup bagi manusia bukan sekedar hidup sebagaimana hidupnya
tumbuhan atau hewan, melainkan hidup sebagai manusia. Hak hidup bagi manusia
mengimplikasikan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebab hak asasi manusia

diinjak-injak oleh penguasa pemerintahan monarki dan absolutisme. Melalui
pendidikan hak asasi diupayakan agar diperoleh setiap individu.
Power, 1982 (Tim Pengajar, 2009: 92) menjelaskan penerapan filsafat
pendidikan eksistensialisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan seperti berikut
ini :
1.

Tujuan pendidikan
Pendidikan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komperhensif
dalam semua bentuk kehidupan.

2.

Status peserta didik
Peserta didik adalah manusia yang rasional, bebas memilih dan
bertanggung jawab atas pilihannya. Membutuhkan komitmen akan
pemenuhan tujuan pribadi.

3.

Kurikulum
Kurikulum bersifat liberal, yakni memiliki kebebasan menmilih dan
menentukan aturan-aturan serta pegalaman belajar sesuai dengan minat
dan kebutuhan peserta didik dari kehidupan mereka. Di sekolah dibina
agar terbentukpada diri peserta didik rasa hormat (respek), respek terhadap
kebebasan bagi yang lain seperti dalam dirinya, karena itu diajarkan
pendidikan sosial.

4.

Peranan guru
Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik, tidak
jarang terjadi bahwa mungkin suatu hari ini adalah guru, besok lusa
mungkin mejadi peserta didik.

5.

Metode
Yang diutamakan dalam praktik pembelajaran adalah pencapaian tujuan
yakni mencapai kebahagiaan dan kepribadian yang baik, sedangkan
metode merupakan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu,
penggunaan metode tidak terlalu dipikirkan secara mendalam.
Contoh pendidikan eksistensialisme yaitu adanya penerapan program

ekstrakurikuler di sekolah. Dalam program ini peserta didik bebas memilih apa

yang menjadi kesenangan dan bakat mereka tanpa adanya paksaan. Dari program
ekstrakurikuler ini peserta didik dapat menunjukkan prestasi dan eksistensinya.
2.2

Filsafat Pendidikan Progresivisme
Filsafat pendidikan progresiv lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan

dengan jiwa bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang dinamis
berjuang mencari hidup baru di negeri seberang. Bagi mereka tidak da hidup yang
tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi. Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat
menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala tindakan mereka diukur dari
kegunaan praktisnya.
Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau alat untuk mencapai tujuan itu
pun tidak pasti pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu, artinya bila tujuan
berubah maka alat pun berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan progresivisme ini
adalah John Dewey (Pidarta, 2007:92).
Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang terus
menerus dalam suatu arah positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum
tentu benar pada masa yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan
dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan mereka harus
dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan masa datang. Permasalahan hidup kini
tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan dating. Untuk itu,
peserta didik harus diperlengkapi dengan strategi-strategi menghadapi kehidupan
masa dating dan pemecahan masalah yang memungkinkan mereka mengatasi
permasalahan-permasalahn baru dalam kehidupan dan untuk menemukan
kebenaran-kebenaran yang relevan pada masa itu (Edward dan Yusnadi, 2015:28).
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas
progresivisme dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive
terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala
sesuatu dari segi keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme,
karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat
untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran tersebut menyadari dan

mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu teori.
Progresivisme dinamakan environtalisme karena aliran ini menganggap
lingkungan hidup ini mempengaruhi pembinaan kepribadian (Imam Muis, 2004).
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan
yang meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui semua masalah
kehidupan. Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki pengalaman, pencipta
budaya, dengan demikian dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia akan
berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan, pengelaman-pengalamannya, sifatsifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
penerapan filsafat pendidikan progresivisme dalam praktik pelaksanaan
pndidikan seperti berikut ini :
1.

Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut aliran ini adalah harus memberikan
keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berintraksi dengan
lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus menerus.
Siswa diharapkan memiliki keterampilan pemecahan masalah yang dapat
digunakkan untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Pendidikan bertujuan agar siswa memilki kemampuan memecahkan
berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial,
atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada dalam
proses perubahan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan membantu peserta
didik untuk menjadi warga negara yang demokratis yang mampu
mengemukakan pendapatnya sesuai minat yang dimilikinya melalui
pengalamannya
Proses belajar mengajar terpusatkan pada siswa dalam prilaku dan disiplin
diri. Tujuan keseluruhan pendidikan sendiri adalah melatih anak agar
kelak dapat bekerja, bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja
dengan otak dan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan
harusnya merupakan pengembangan sepenuhnya bakat dan minat setiap

anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan memiliki keterampilan, alat
dan pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman memecahkan masalah.
2.

Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah
(child-centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan
metode pengajaran yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan
inisiatif subjek didik. Jadi, ketertarikan anak adalah titik tolak bagi
pengalaman belajar. Imam Barnadib menyatakan bahwa kurikulum
progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan dapat direvisi,
sehingga yang cocok adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
Kurikulum disusun dengan pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi
maupun pengalaman sosial, selain sosial sering dijadikan pusat pelajaran
yang digunakan dalam pengalaman-pengalaman siswa dan dalam
pemecahan masalah serta dalam suatu kegiatan kelompok.
Sekolah dapat memberi jaminan kepada para siswanya selama belajar,
yaitu dengan membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan
berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam
mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan
tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat
fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungankeuntungan untuk diperiksa setiap saat. Sikap progressvisme, memandang
segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan sifat-sifat yang
sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai
pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur.

3.

Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme
diantaranya adalah :
a.

Metode Pendidikan Aktif

Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas
yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada
setiap anak untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
b.

Metode Memonitor Kegiatan Belajar
Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan
bantuan-bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar
berlangsung kegiatan belajar tersebut.

c.

Metode Penelitian Ilmiah
Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah
yang tertuju pada penyusunan konsep.

d.

Pemerintahan Pelajar
Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam
kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan
sekolah.

e.

Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah
dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluasluasnya bagi anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua
minat dan kegiatan yang diperlukan anak.

f.

Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula
sebagai laboratoriun dan pengembangan gagasan baru pendidikan.

4.

Belajar
Proses belajar terpusat pada anak dengan memberikan perhatian anak.
Namun guru tidak membiarkan anak mengikuti apa yang ia inginkan,
karena anak belum cukup matang untuk menentukan tujuan yang
memadai. Anak membutuhkan bimbingan dan arahan dari guru dalam
melaksanakan aktifitasnya. Anak didik adalah subjek aktif, bukan pasif,
sekolah adalah dunia kecil (miniatur) dari masyarakat besar, aktifitas
ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah, serta atmosfer
sekolah diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis. Mereka
menganut prinsip pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Mereka

menganggap bahwa anak itu unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda
dengan orang dewasa. Anak mempunyai alur pemikiran sendiri,
mempunyai

keinginan

sendiri,

mempunyai

harapan-harapan

dan

kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.
5.

Peranan Guru
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat,
pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh
yang dapat berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Sebagai
pembimbing karena guru mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang
banyak di bidang anak didik maka secara otomatis semestinya ia akan
menjadi penasihat ketika anak didik mengalami jalan buntu dalam
memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran utama
pendidik adalah membantu peserta didik atau murid bagaimana mereka
harus belajar dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan
berkembang

menjadi

orang

dewasa

yang

mandiri

dalam

suatu

lingkungannya yang berubah.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai
pembimbing aktivitas anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan
lingkungan terbaik untuk belajar. Sebagai Pembimbing ia tidak boleh
menonjolkan diri, ia harus bersikap demokratis dan memperhatikan hakhak alamiah peserta didik secara keseluruhan. Pendekatan yang digunakan
adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa memberi motivasi
lebih penting dari pada hanya memberi informasi. Pendidik atau guru dan
anak didik atau murid bekerja sama dalam mengembangkan program
belajar dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan dan
kemampuan lain yang dikehendaki. Dengan demikian dalam teori ini
pendidik/guru harus jeli, telaten, konsisten, luwes, dan cermat dalam
mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak didik, menguji dan
mengevaluasi kepampuan-kemampuannya dalam tataran praktis dan
realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi
pembelajaran ke depan. Dengan kata lain guru harus mempunyai

kreatifitas dalam mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan berkembang
dan berfariasi sebanyak fariasi peserta didik yang ia hadapi.
6.

Peserta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam
melakukan pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan
alamiah untuk belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya
dan juga memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi
dalam kehidupannya. Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan
memberikan kepada murid suatu minat yang jelas dalam mempelajari
berbagai persoalan. Secara institusional sekolah harus memelihara dan
manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para murid, sehingga
mereka memilki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik tetap
berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan
kesalahan yang dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir.
Dengan demikian prasyarat yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah
sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya menunggu seorang guru mengisi dan
mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak boleh ibarat “botol
kosong” yang akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika demikian
yang terjadi maka proses belajar mengajar hanyalah berwujud transfer of
knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini tidak akan
mencerdasakan sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.
Prinsip-prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme menurut

Kneller (dalam Uyoh Sadullah, 2010:148) meliputi:
a.

Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.

b.

Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat
individu yang dijadikan sebagai motivasi belajar.

c.

Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap
pemberian subject matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah
yang penting dan bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam memecahkan

suatu masalah, anak dibawa berpikir melewati beberapa tahapan yang disebut
metode berpikir ilmiah, sebagai berikut:


Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah



Menganalisis masalh tersebut dan menduga atau menyusun hipotesishipotesis yang mungkin



Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas masalah



Memilih dan menganalisis hipotesis



Mencoba, menguji, dan membuktikan

d.

Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa

e.

Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan
persaingan.

f.

Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi
pertumbuhan.
Contoh penerapan aliran filsafat progresivisme dapat terlihat dari perubahan

sistem mengajar di sekolah. Dulu sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan
pembelajaran Teacher Learning Centre (TLC), dimana guru menjadi pusat
pembelajaran. Namun karena perkembangan zaman dan kesadaran akan perlunya
mempersiapkan peserta didik yang mampu mengatasi masalah-masalah baru yang
muncu di kehidupan yang akan datang maka diterapkanlah Student Learning
Centre (SLC), diman peserta didik memiliki kesempatan luas untuk bereksplorasi,
menemukan hal-hal baru, serta mengembangkan pendapat dan pikiran mereka.
Pada pembelajaran SLC, guru hanya berperan sebagai pembimbing dan fasilitator
untuk peserta didik.
2.3

Filsafat Pendidikan Perenialisme
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama

Katolik-Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agam menguasai hamper semua
bidang kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang
berintikan ajaran agama muncul di sana-sini. Ajaran agam itulah merupakan suatu
kebenaran yang patut dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.

Ajaran Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih
dahulu dari perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato
kebenaran hanya ada di dunia ide, diluar itu adalah semu saja. Sebab iti Plato
sering dimasukkan sebagai penganut perenialis.
Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan
Katolik dan Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. Demikianlah kita lihat
di Indonesia banyak sekolah diwarnai keagaam seperti Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama di samping sekolah-sekolah Katolik dan Kristen (Pidarta,
2007:91-92).
Perenialisme merupakan aliran yang menentang ajaran progesivisme.
Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak
ada jalan kecuali kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah menjadi dasar
tingkah laku dan perubahan zaman kuno dan abad pertengahan. Motif
perenialisme dengan mengambil jalan regresif bukanlah hanya nostalgia atau
rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan berpendapat
bahwa nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan kebudayaan
abad kedua puluh. Prinsip-prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu terkandung
dalam sejarah.
Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme, sebagai berikut:
a.

Pada hakekatnya manusia adalah sama dimanapun dan kapanpun ia
berada, yang walau lingkungannya berbeda. Tujuan pendidikan adalah

b.

sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan dan kebajikan,
untuk memperbaiki manusia sebagai manusia atau dengan kata lain
pemuliaan manusia. Oleh karena itu maka pendidikan harus sama bagi
semua orang kapanpun dan dimanapun.

c.

Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yag paling tinggi. Karena itu
manusia

harus

menggunakan

pikirannya

untuk

mengembangkan

bawaannya sesuai dengan tujuannya.manusia memiliki kebebasan namun
harus belajar untuk mempertajam pikiran dan dapat mengintrol hawa
nafsunya. Kegagalan yang dialami peserta didik jangan dengan cepat

menyalahkan lingkungan yang kurang menguntungkan atau nuansa
psikologis yang kurang menyenangkan, namun guru hendaknya dapat
mengatasinya dengan pendekatan intelektual yang sama bagi semua
peserta didik.
d.

Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang
kebenaran yang pasti dan abadi. Pengetahuan yang penting diberikan
kepada peserta didik adalah mata pelajaran pendidikan umum atau general
education, bukan mata pelajaran yang hanya penting sesaat atau menarik
minat pada saat tertentu saja atau seketika. Mata pelajaran yang esensi
adalah pelajaran bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3
R’s; membaca, menulis, dan menghitung.

e.

Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.

f.

Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang
menyangkut sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan
ekonomi (Edward dan Yusnadi, 2015:30).
Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan

pendidikan, sebagai berikut ini:
a.

Pendidikan
Perenialisme memandang education as cultural regresion: pendidikan
sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia
sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai
kebudayaan

yang

ideal.

Tugas

pendidikan

adalah

memberikan

pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi
yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang
kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal diatas, perenialist percaya
bahwa prinsip-prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert
M. Hutchins mengemukakan ”Pendidikan mengimplikasikan pengajaran,
pengajaran

mengimplikasikan

pengetahuan.

Pengetahuan

adalah

kebenaran. Kebenaran dimana pun dan kapan pun adalah sama”. Selain
itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan untuk hidup, bukan
hidup itu sendiri.

b.

Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi,
inilah yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan
pendidikannya adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan
menginternalisasikan nila-nilai kebenaran yang abadi agar mencapai
kebijakan dan kebaikan dalam hidup.

c.

Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang
mengetahui kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada
generasi pelajar yang baru. Sekolah adalah lembaga yang berperan
mempersiapkan peserta didik atau orang muda untuk terjun kedalam
kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-peraturan yang
artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik
dari warisan sosial budaya.

d.

Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi
pelajaran. Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi,
selain itu materi pelajaran terutama harus terarah kepada pembentukan
rasionalitas manusia, sebab demikianlah hakikat manusia. Mata pelajaran
yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran yang mempunyai
“rational content” yang lebih besar.

e.

Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh
perenialist adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan
karya-karya besar yang tertuang dalam the great books dalam rangka
mendisiplinkan pikiran.

f.

Peranan guru dan peserta didik

Peran guru bukan hanya sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta
mengajar. Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia
melakukan moral authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia
seorang profesional yang qualifiet dan superior dibandingkan muridnya.
Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih, dan perfect knowladge.
Contoh aliran perenialisme pada pendidikan di Indonesia yaitu berdirinya
sekolah-sekolah yang berbasis agama seperti Muhammdiyah, Nahdatul Ulama,
sekolah-sekolah Kristen, dan Pondok Pesantren. Sekolah-sekolah seperti ini
biasanya memiliki kurikulum yang sedikit berbeda dan lebih mengedepankan
ilmu agama karena agama dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai-nilai atau
prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup.
2.4

Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang

mendirikan suatu bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam
pendidikan yang memprotes pendidikan progresivisme. Penganut faham ini
berpendapat bahwa betul-betul ada yang esensial dari pengalaman peserta didik
yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan. Esensi (essence) ialah
hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu sebagai
satuan yang konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat sesuatu
menjadi apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan
mantap dari sesuatu yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau
fenomenal (Edward dan Yusnadi, 2015: 30-31).
Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah
terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain
adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah
kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan bukubuku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin yang dikenal dengan nama Great
Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusiamanusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan

suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld. Tekanan
pendidikanya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan
mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang
sulit itu, diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan
berkembang. Disiplin sangat diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur,
dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi
sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif. Pengajaran
terpusat pada guru (Pidarta, 2007: 90-91).
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai
tinjauan yang berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan
kebudayaan.

Jika

progressivisme

menganggap

pendidikan

yang

penuh

fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada keterkaitan dengan doktrin
tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka aliran
Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak
menentu serta kurang stabil. Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai
yang dapat mendatangkan kestabilan dan telah teruji oleh waktu, tahan lama dan
nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi. Nilai-nilai yang dapat
memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang korelatif,
Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan
belas (Imam Barnadib, 1987:29).
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C.
Bagley adalah sebagai berikut :
1.

Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya
belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena
dorongan dari dalam diri siswa.

2.

Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan
yang khusus pada spsies manusia.

3.

Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan
pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan
untuk mencapai tujuan tersebut.

4.

Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang
pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme)
memberikan sebuah teori yang lemah.
Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan

pendidikan, sebagai berikut ini:
a.

Pendidikan
Bagi penganut Esensialisme pendidikan merupakan upaya untuk
memelihara kebudayaan, “Edukation as Cultural Conservation”. Mereka
percaya bahwa pendidikan harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan
yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia. Sebab kebudayaan
tersebut telah teruji dalam segala zaman, kondisi dan sejarah. Kebudayaan
adalah esensial yang mempu mengemban hari kini dan masa depan umat
manusia.

b.

Tujuan pendidikan
Pendidikan bertujuan mentransmisikan kebudayaan untuk menjamin
solidaritas sosial dan kesejahteraan umum.

c.

Sekolah
Fungsi utama sekolah adalah memelihara nilai-nilai yang telah turuntemurun, dan menjadi penuntun penyesuaian orang (individu) kepada
masyarakat. Sekolah yang baik adalah sekolah yang berpusat pada
masyarakat, “society centered school”, yaitu sekolah yang mengutamakan
kebutuhan dan minat masyarakat.

d.

Kurikulum
Kurikulum (isi pendidikan) direncanakan dan diorganisasi oleh seorang
dewasa atau guru sebagai wakil masyarakat, society centered. Hal ini

sesuai dengan dasar filsafat idealisme dan realisme yang menyatakan
bahwa masyarakat dan alam (relisme) atau masyarakat dan yang absolut
(idealisme) mempunyai peranan menentukan bagaimana seharusnya
individu (peserta didik) hidup.
e.

Metode
Dalam hal metode pendidikan Esensialisme menyarankan agar sekolahsekolah mempertahankan metode-metode tradisional yang berhubungan
dengan disiplin mental. Metode problem solving memang ada manfaatnya,
tetapi bukan prosedur yang dapat diterapkan dalam seluruh kegiatan
belajar.

f.

Peranan guru dan peserta didik
Guru atau pendidik berperan sebagai mediator atau “jembatan” antara
dunia masyarakat atau orang dewasa dengan dunia anak. Guru harus
disiapkan sedemikian rupa agar secara teknis mampu melaksanakan
perannya sebagai pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang terdidik yang dapat dipercaya. Dengan denikian inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan pada peserta didik.
Peran peserta didik adalah belajar, bukuan untuk mengatur pelajaran.
Menurut idealisme belajar, yaitu menyesuaikan diri pada kebaikan dan
kebenaran seperti yang telah ditetapkan oleh yang absolut. Sedangkan
menurut realisme belajar berarti penyesuaian diri terhadap masyarakat dan
alam. Belajar berarti menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh
nilai-nilai sosial oleh angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan
dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya (Dinn Wahyudin,
2010:4.20-4.22).

2.5

Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Filsafat

pendidikan

Rekonstruksionisme

merupakan

variasi

dari

progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umunya harus
diperbaiki. Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia

secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang
ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membangun
tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan protes pendidikan.
Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak
berbeda dengan aliran progresivisme (Pidarta, 2007:93).
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah
suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata
susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran ini dipelopori oleh
George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930 ( Teguh, 2013:189).
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme adalah sepaham dengan aliran
perennialisme dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan
yang ditempuhnya berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi
sesuai dengan istilah yang dikandungnya, yaitu berusaha membina konsensus
yang paling luas dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam
kehidupan manusia restore to the original form. Untuk mencapai tujuan itu,
rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang mengenai