Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Kontemporer : Analisis Ekokritik Cerpen Pilihan Kompas.
MANUSIA DAN LINGKUNGAN DALAM CERPEN INDONESIA
KONTEMPORER: ANALISIS EKOKRITIK CERPEN PILIHAN KOMPAS
Novita Dewi
Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan mendeskripsikan pilihan politis-ideologis yang ditampilkan
melalui hubungan manusia dan lingkungan dalam cerpen Indonesia kontemporer.
Tujuannya adalah untuk menakar apakah sastra Indonesia masa kini telah memperlihatkan
keberpihakan yang serius dalam upaya menghadang kehancuran bumi karena ulah
manusia. Sumber data penelitian adalah cerpen di surat kabar Kompas 2010 – 2015, yang
bertemakan lingkungan hidup. Melalui metode pembacaan kritis dan teori Ekokritik
ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, sejumlah cerpen mengambil lingkungan
hidup hanya sebagai latar tempat dan waktu. Kedua, cerpen-cerpen dengan tema
pencemaran air telah menyuarakan ikrar politis memerangi perusakan lingkungan. Ketiga,
sastra hjau, yakni sastra berperspektif Ekokritik, belum menjadi arus utama dalam sastra
Indonesia kontemporer.
Kata kunci: sastra hjau, Ekokritik, cerpen Indonesia kontemporer
PEOPLE AND ENVIRONMENTS IN CONTEMPORARY INDONESIAN SHORT
STORIES: AN ECOCRITICISM ANALYSIS OF SHORT STORIES SELECTED BY
KOMPAS
Abstract
This study aims to describe political-ideological choices manifested in the relationship
between people and environments in contemporary Indonesian short stories. The objective
is to assess whether or not the present Indonesian literature has shown serious alignment
in an atempt to prevent the destruction of the Earth because of human acts. The data
sources were short stories with environmental themes in Kompas newspaper issued in
2010 – 2015. Through critical reading and Ecocriticism theory, the indings are as follows.
First, a number of short stories use environments only as spatial and temporal setings.
Second, short stories with water pollution themes have expressed a political pledge to
prevent environmental destruction. Third, green literature, namely literature with the
ecocriticism perspective, has not been the main stream in the contemporary Indonesian
literature.
Keywords: green literature, Ecocriticism, contemporary Indonesian short stories
PENDAHULUAN
Krisis ekologi dan dampak pencemaran lingkungan makin mencengkeram perhatian dunia saat ini. Perilaku manusia
terhadap alam dan eksploitasi besar-besaran terhadapnya telah mendorong dunia
menuju kerusakan ekologis yang berkepanjangan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Lebih-lebih jika diperhitungkan dimensi
sosial-ekonomi dan konsekuensi psikologis dari krisis lingkungan tersebut, tam376
377
pak nyata bahwa kaum miskinlah yang
paling dirugikan. Indonesia, misalnya
merupakan salah satu negara yang didera krisis ekologi akibat pembalakan
hutan dan polusi air. Menurut catatan
Blacksmith Institute di New York, Sungai
Citarum menjadi sungai dengan polusi
tertinggi di dunia pada tahun 2013. Sungai
terpanjang dan terbesar di Jawa Barat ini,
seperti dilaporkan dalam National Geographic Indonesia (April 2014), menjadi
tidak bersahabat lagi bahkan cenderung
buas di musim hujan bagi puluhan juta
warga miskin yang tinggal dan menggantungkan hidup di wilayah sungai itu. Pertambahan jumlah penduduk yang seakan
berlomba dengan bertumbuhnya industri
di kawasan sekitarnya menjadikan Sungai
Citarum pembuangan sampah terbesar di
planet bumi. Ini hanya salah satu contoh
dari jutaan bencana dan ketidakadilan
terhadap masyarakat terpinggirkan yang
terjadi karena perlakuan semena-mena
manusia terhadap alam.
Mirip dengan problem lingkungan
hidup di Malaysia (Mamat et al., 2011;
Zainal, 2013) dan Pakistan (Salam, 2011),
misalnya, pembangunan besar-besaran,
penebangan hutan, dan urbanisasi di
Indonesia telah mempengaruhi lingkungan secara umum, yakni polusi udara,
pencemaran sungai, pencemaran limbah
industri dan pertanian, serta deforestasi.
Bahkan menurut laporan Direktorat Riset
dan Kajian Strategis IPB, Indonesia menjadi beban dunia dalam krisis global karena penggundulan hutan, penggunaan
produk rekayasa pertanian non-organik,
pencemaran lingkungan, dan dampak
sosial-budaya lainnya (Hunga, 2013).
Paus Fransiskus baru-baru ini menerbitkan Ensiklik ekologis Laudato Si (Terpujilah Engkau) yang ditanggapi secara
positif dari kalangan akademisi di berbagai kawasan dunia termasuk para aktivis
kemanusiaan dan lingkungan, serta para
pengambil kebjakan pada level internasional (PBB) karena pendekatannya ter-
hadap persoalan lingkungan yang dinilai
komprehensif dan menggerakkan solidaritas. Menurut pemimpin tertinggi gereja
Katolik ini, pemecahan masalah ekologis
yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yakni mengintegrasikan masalah
keadilan dalam diskusi lingkungan hidup
guna mendengarkan jeritan bumi maupun
jeritan kaum miskin. Bumi adalah anugerah Sang Pencipta dan manusia sebagai
makhluk yang berakal budi haruslah memeliharanya, bukan mengeksploitasi sekehendak hati demi kepentingan bersama.
Kesadaran dan tanggung jawab ekologis
merupakan tanggung-jawab moral sekaligus tanggung-jawab iman.
Jelaslah di sini bahwa masalah ekologis tidak terlepas begitu saja dari masalah
manusia yang bertindak atau berbuat, karena hal ini menyangkut pemilihan nilainilai atau “masalah etis” (Sastrapratedja,
2013: 169). Pendapat ini bersetuju dengan
pandangan salah satu pakar lingkungan
hidup, Emil Salim, yang menyorot ketimpangan pembangunan yang tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Dalam makalah yang ditulisnya untuk
Sidang Tahunan Konferensi Wali-gereja
Indonesia 2012 tentang Ekopastoral
dengan tema “Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan” (2013),
Salim mengharapkan semua pemimpin
masyarakat beragama mengambil prakarsa dalam tugas mulia mengelola sumber
daya alam dan melestarikan keutuhan
ciptaan secara bertanggung-jawab. Maka
dapat dikatakan di sini bahwa masalah
lingkungan hidup tidak bisa ditempatkan
secara terbatas pada wilayah sains saja,
karena hal ini menyangkut tanggung
jawab moral, etis, dan kemanusiaan yang
lebih besar.
Mengingat bahwa pilihan moral dan
pembentukan karakter merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari fenomena bahasa dan sastra, penelitian tentang sejauh
mana masalah lingkungan hidup ini ditanggapi oleh kajian sastra menjadi pen-
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
378
ting. Pada hakekatnya, membaca dan menulis karya sastra adalah mengasah akal
budi dan perasaan manusia, dengan cara
memahami dan berempati pada berbagai
pengalaman hidup manusia. Pe-ngalaman
ini secara kreatif dan imajinatif dihadirkan
oleh pengarang dalam bentuk puisi, cerpen, novel, drama, dan lain sebagainya.
Sayang sekali kajian sastra tentang
lingkungan hidup di Indonesia masih terbatas karena hal ini berkaitan dengan terbatasnya pula karya sastra berperspektif
ekologi. Terdapat pelbagai imajinasi alam
di dalam karya sastra. Kritik lingkungan
hidup merupakan representasi yang paling radikal dibandingkan dengan pujian
terhadap keindahan alam seperti dalam
puisi atau novel beraliran romantisme
ataupun hujatan atas kekejaman alam (terhadap manusia) yang tampak pada karya
sastra bermazhab naturalistis-realis/deter
ministis (Clark, 2011).
Keindahan alam dan panorama tanah
air yang menakjubkan, misalnya, dapat dijumpai pada puisi-puisi lama Muhammad
Yamin dan dalam novel-novel sejak periode sastra Balai Pustaka, Pujangga Baru,
hingga karya-karya kontemporer. Releksi
yang mendalam tentang dampak pencemaran lingkungan dan bencana alam
tidak begitu terbaca karena pada umumnya pengarang lebih sering mengusung
persoalan-persoalan sosial-politik (dan
ekonomi) di Indonesia dari zaman ke
zaman.
Di antara langkanya kritik lingkungan
dalam sastra, novel karya Martin Aleida
Jamangilak Tak Pernah Menangis (2002) merupakan gugatan terhadap Sungai Asahan
yang dianiaya oleh sebuah pabrik rayon
multinasional. Perempuan yang menjadi
tokoh utama dalam novel ini berupaya
melawan pemerintah tapi usahanya digagalkan oleh konspirasi politik dan kapitalisme (Bandel, 2008). Dalam cerita pendek
“Kering” karya Wa Ode Wulan Ratna
(2006), pembalakan hutan di Pekanbaru,
Riau menjadi persoalan yang dihadapi
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.
Suryaningsih (2013) membaca dominasi
patriarki atas alam dan perempuan pada
cerpen ini. Penelitian Wiyatmi (2014) atas
novel Amba karya Laksmi Pamuncak, misalnya, menunjukkan bahwa eksploitasi
yang dilakukan rejim pemerintah (Orde
Baru) tidak hanya berdimensi politis tetapi
juga ekonomis dan kapitalis, di mana kekayaan alam Pulau Buru seperti tambang
minyak, pohon kayu putih dan yang lainnya menjadikan pulau tersebut surga bagi
para investor asing. Melalui pembacaan
Eko Kritik, terlihat ada wilayah ekonomipolitik yang disembunyikan di balik penggambaran seram Pulau Buru yang sengaja
dikonstruksikan oleh penguasa. Pembacaan berwawasan lingkungan semacam
ini amat diperlukan untuk memperkaya
kajian sastra tanah air.
Kajian sastra lingkungan hidup perlu
digalakkan mengingat sumbangannya terhadap urgensi penanganan krisis ekologi
dewasa ini. Karena itu, Seminar Nasional
yang digelar oleh Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Yogyakarta November 2014
yang lalu, misalnya, merupakan pilihan
moral-intelektual yang patut diapresiasi.
Penelitian ini merupakan pengembangan
dari gagasan yang dibentang dalam kegiatan tersebut, yakni perlunya sains
dan implikasi sosialnya seperti masalah
lingkungan hidup diretas oleh sastra sehingga kajian sastra sungguh memberikan
kontribusi kepada masalah-masalah nyata
dalam masyarakat. Meskipun imajinasi
pelestarian alam telah tercermin dalam
beberapa karya sastra tanah air, masihperlu diteliti lebih lanjutsejauh manakah
karya-karya tersebut menyapa dan menggugah kesadaran manusia akan dampak
pengrusakan lingkungan hidup.
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana masalah lingkungan hidup diimajinasikan dalam karya sastra yang relatif
mudah diakses oleh masyarakat luas,
yaitu melalui cerpen-cerpen yang terbit di
379
harian nasional. Menurut Bandel (2006: 53)
“sastra koran” merupakan bentuk karya
yang mutu sastrawinya masih diperdebatkan namun popularitas dan penerimaannya sangat besar di kalangan pembaca
Indonesia. Di dunia Barat pun jenis sastra semacam ini digemari dan, seperti
dilaporkan oleh Page (2002) dalamThe
Bookseller, sastra koran yang dibukukan
menjadi salah satu buku laris (htp://www.
thebookseller.com/news/short-storynewspaper-hits-bookshops). Fenomena
yang sama ditunjukkan oleh terbitnya
buku kumpulan cerpen Kompas sejak
awal 2000-an. Inilah yang mendasari
dipilihnyacerpen-cerpen terbitan Kompas
dalam penelitian ini, dengan asumsi bahwa wacana naratif semacam ini barangkali
cukup mewakili suara hati bangsa Indonesia yang didera oleh persoalan lingkungan
hidup.
Adapun masalah-masalah penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut. Pertama,
bagaimanakah persoalan lingkungan
hidup ditampilkan dalam cerpen-cerpen
yang dimuat di harian Kompas dari 2010
hingga pertengahan 2015. Kedua, dalam
pandangan Ekokritik, bagaimanakah
cerpen-cerpen tersebut menunjukkan
keberpihakan pada masyarakat kecil yang
menjadi korban perusakan lingkungan.
Ketiga, bagaimanakah cerpen-cerpen
tadi dipetakan dalam cerpen Indonesia
kontemporer, jika dibandingkan dengan
cerpen lain yang tidak mengambil lingkungan hidup sebagai tema.
METODE
Sastra sebagai produk anak zaman
menjadi landasan konseptual penelitian
ini. Oleh karena itu, perlu dicermati secara
kualitatif dan kritis bagaimana jagad sastra dewasa ini menerjemahkan masalahmasalah nyata yang dihadapi masyarakat
seperti pengrusakan lingkungan hidup.
Penelitian ini memakai data primer berupa cerpen-cerpen bernuansa lingkungan
yang terbit di harian Kompas pada kurun
2010 – 2015. Selanjutnya, data sekunder
berupa kajian-kajian terdahulu baik tentang sastra hjau maupun beberapa kajian
terkait untuk memperoleh gambaran yang
lebih lengkap mengenai pelbagai releksi
atas persoalan lingkungan hidup.
Analisis data diawali dengan membaca secara cepat semua cerpen yang
diunggah lewat situs htps://lakonhidup.
wordpress.com dan htp://cerpen.print.
kompas.com dari tahun 2010 sampai dengan pertengahan 2015. Kemudian semua
cerpen yang diterbitkan oleh Kompas yang
bertemakan lingkungan hidup ditandai
untuk dibaca lebih lanjut. Data cerpen
pilihan Kompas juga diperoleh dari versi
cetak dalam berbagai volume buku Kumpulan Cerpen Kompas dan beberapa cerpen
yang terbit dalam harian Kompas edisi
Minggu hingga Juni 2015. Dari data yang
ada, terkumpul sejumlah 25 (dua puluh
lima) cerpen untuk dibaca lebih lanjut
sebagai sumber data terpilih.
Hasil pembacaan kemudian dikelompokkan dengan pertimbangan: (1) cerpen
yang mengambil lingkungan hidup sebagai latar tempat dan waktu, (2) cerpen
bertemakan lingkungan hidup dengan
simbol-simbol tertentu, yaitu pohon dan
air, (3) cerpen yang melibatkan tokoh
utama dalam konlik seputar lingkungan
hidup. Setelah itu, dengan menggunakan
prinsip dasar Ekokritik, cerpen-cerpen
tersebut dibaca berulang-ulang untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam. Teori Ekokritik didapat terutama dari
buah pikir Buell (2001) yang berpendapat
bahwa Ekokritisisme harus dijalankan
sejalan dengan komitmen dan praksis
(bukan hanya teori) para pejuang lingkungan hidup. Selain itu, dipakai pula
sebagai acuan jurnal-jurnal mutakhir
tentang sastra lingkungan hidup, antara
lain Journal of Ecocriticism. Dokumen penting lain untuk membaca keberpihakan
pemecahan masalah lingkungan pada
masyarakat miskin didapat dari Ensiklik
Paus Fransiskus Laodato si’ (2015).
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
380
Hasil interpretasi divalidasi dengan
kutipan-kutipan dari teks yang diteliti.
Pada sejumah cerpen yang pernah ditelaah sebelumnya, temuan yang baru diperbandingkan dengan temuan lain yang
dilacak lewat pemberitaan di surat kabar,
jurnal ilmiah, serta laporan penelitian
yang memiliki kemiripan pada aspekaspek tertentu sebagai pendukung. Hasil pembacaan ini disimpulkan untuk
menjawab masalah penelitian (1) dan (2):
kehadiran dan keberpihakan sastra bertemakan lingkungan hidup. Selanjutnya,
cerpen-cerpen bernuansa ekologis lainnya yang diterbitkan selama 2010 – 2015
oleh Republika, Jawa Pos, Media Indonesia,
Suara Merdeka, dan Koran Tempo dibaca
sekali lagi sebagai pembanding untuk
menjawab masalah penelitian (3): posisi
sastra lingkungan hidup dalam khasanah
cerpen Indonesia kontemporer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada subbagian ini diuraikan hasil
penelitian dan pembahasan tiga hal yang
menjadi fokus penelitian, yakni imajinasi krisis lingkungan hidup, gambaran
bencana alam dan keberpihakan, dan
perspektif ekologis dalam sastra Indonesia. Ketiga hal tersebut disajikan dalam
sub-subab berikut.
Imajinasi Krisis Lingkungan Hidup dalam Sastra Indonesia
Isu lingkungan hidup digarap oleh
para cerpenis dengan menunjuk secara
langsung ke lingkungan yang tercederai,
khususnya pohon/hutan dan air, ataupun
secara abstraksi dengan memakai simbolsimbol yang imajinatif. Dari 25 cerpen
yang diteliti, terdapat 16 cerpen yang
mengambil pohon sebagai tema (baik
pelestarian maupun pemusnahannya), 8
cerpen dengan tema air, dan 1 cerpen yang
berbau mitologi, khususnya mitos kuda
air. Ditunjukkan pula dalam penelitian
ini bahwa pohon lebih kerap difungsikan
untuk memberi makna metaforik daripada isik.
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
Selain itu, pohon juga kadang dihadirkan hanya untuk memperkuat latar sebuah
cerita. Sebagai contoh, cerpen “Pohon
Hayat” karya Mashdar Zainal,”Menebang
Pohon Silsilah” karya Indra Tranggono
(17 Februari 2013) dan “Di Kaki Hariara
Dua Puluh Tahun Kemudian” oleh Martin
Aleida (Kompas, 23 Mei 2010) menampilkan pohon sebagai latar tempat, sehingga
isu ekologis tidak begitu diolah dalam
ketiga cerpen ini. Satu daun artinya satu
kehidupan kata nenek dalam “Pohon
Hayat”. Setiap penduduk di kotanya
tersemat di tiap daun yang bertengger di
cabang, ranting, dan tangkai pohon itu.
Maka ketika ada satu daun yang jatuh,
pastilah seseorang di kota tersebut mati.
Demikian pula dalam “Menebang
Pohon Silsilah”, pohon dikisahkan sebagai penanda tempat dan waktu bagi
pergumulan setiap tokoh dalam cerpen.
Sementara itu, dalam cerpen Martin
Aleida, pohon hariara menjadi saksi
keteladanan seorang guru sekolah. Kartika Suryani mendidik para siswa untuk
berani jujur dan berkeadilan. Rupanya
sejak guru bantu ini diberhentikan karena
konlik dengan pihak pimpinan sekolah,
anak-anak selalu mengubur surat-surat
pribadi dan catatan releksi mereka di kaki
pohon. Maka ketika 20 tahun kemudian
mereka bersama-sama menggali tanah di
kaki hariara yang telah keriput dan harus
ditebang untuk pengembangan gedung
sekolah, nyatalah bahwa pembelajaran
tentang kejujuran dan kebebasan telah
ditanamkan dan pohon hariara adalah
saksinya. Meskipun ketiga cerpen ini
menebarkan nilai-nilai kemanusiaan, dalam pandangan Eko Kritik masih terasa
adanya getaran antroposentrisme karena
alam (pohon) hadir untuk pemenuhan kebutuhan kultural manusia (Clark, 2011).
Ketika pohon dipakai sebagai simbol,
masalah lingkungan hidup justru menjadi
lebih mengemuka. Dalam cerpen-cerpen
berikut ini, pohon ditampilkan sebagai
metafora kehidupan: “Rongga” karya Novi-
381
ana Kusumawardhani (29 Agustus 2010),
“Ketapang Kencana” karya Bre Redana
(21 November 2010), “Pohon Jejawi” oleh
Budi Darma (26 Desember 2010), “Ketika
Pohon Itu Masih Mekar” tulisan Doni
Jaya (13 Februari 2011), “Sebatang Pohon
di Lotus Road” karya Sungging Raga
(14 April 2013), dan cerpen pemenang
anugerah Kompas “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang (4
Mei 2014). Lewat tokoh-tokoh yang peduli,
cerpen-cerpen tersebut menggam-barkan
bahwa manusia bertanggungjawab atas
masalah lingkungan hidup, yakni hilangnya keanekaragaman hayati, rontoknya
nilai-nilai arkeologi lokal, kerusakan
lahan pertanian, degradasi kualitas lingkungan, dan sebagainya. Pohon Cincau
dalam cerpen Doni Jaya yang selalu djaga
kelestariannya oleh Mama akhirnya meranggas dan mati setelah Mama terjatuh
dari pohon itu. Imajinasi alam yang mistis dan supranatural kadang diselipkan
seperti pada “Pohon Jejawi” (Maimunah,
2014) dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim
Pohon”. Pada “Wiro Seledri” (10 Juli 2011),
cerpen GM Sudarta ini tidak berbicara
soal pohon besar, tetapi tanaman perdu
bernama seledri yang disuburkan oleh
kotoran manusia – suatu kiat dari penulis
yang dipelajarinya sewaktu mendekam di
Pulau Buru.
Selain pohon tunggal, hutan juga sering diangkat dalam beberapa cerpen bernuansa ekologis. Hutan yang tercederai,
misalnya hadir dalam cerpen “Ulat Bulu
& Syekh Daun Jati” oleh Agus Noor (28
Juli 2013). Ada nuansa mistis dan legenda
di sini yang memberi pelajaran moral bagi
pelanggar keseimbangan alam.
Kampung seperti diselubungi cairan hitam karena seluruhnya tertutup ulat bulu.
Seluruh batang pohon tertutup ulat bulu
hitam hingga ke ujung cabang-cabangnya.
Atap-atap rumah dipenuhi ulat bulu.
Segalanya menjadi tampak menghitam.
Juga hutan jati yang mengelilingi kampung itu. Tiap batang pohon jati tertutup
ulat bulu. Hutan jati itu menjadi hutan
hitam yang begitu mengerikan. Tak ada
pemandangan yang begitu hitam melebihi
hitamnya hutan jati yang telah menjadi
begitu mengerikan oleh jutaan ulat bulu.
Seakan-akan di tengah-tengah kehitaman
hutan jati itu hidup arwah-arwah penasaran yang haus mengisap darah siapa pun
yang berani memasukinya (htp://cerpen.
print.kompas.com/2013/07/28/ulat-bulusyekh-daun-jati/)
Hutan dalam cerpen “Tulisan Kelinci
Merah” karya Afrizal Malna (11 November 2012) memberi manusia moderen
pelajaran tentang kearifan lokal. Cerpen
ini berlatar kehidupan Urang Kanekes,
Baduy penganut agama Buhun yang
telah ada sebelum politheisme dan monotheisme. Setiap tahun penduduk yang
menyatu dengan alam ini mengadakan
Upacara Seren di hutan yang dilindungi
oleh pikukuh dan ketentuan adat yang tak
boleh dilanggar. Tanah merupakan harta
penting yang tak boleh diusik – “Tanah
tidak boleh digali, dipacul atau dibajak.
Kontur tanah harus tetap terjaga dari
erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan
bambu yang ujungnya telah diruncingi
untuk kemudian ditanami.” Listrik,
sabun, dan piranti peradaban modern
lain tak boleh digunakan warga. Mereka
menyatu dengan alam:
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat
untuk bisa membebaskan diri dari bumi:
melanggar adat istiadat, menjadi gila atau
bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar men-dengar persyaratan itu.
Mereka sudah tidak tahan berada di bumi.
Tidak tahan berada bersama planet yang
tidak masuk akal ini, di mana kehidupan
djalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan
itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain
atau berbuat baik. Membunuh orang lain
atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang
lain atau menolong orang lain. Korupsi
atau hidup dari kerja keras yang dilaku-
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
382
kan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2012/11/11/
tulisan-kelinci-merah/#more-3533)
Dengan menjaga harmoni hutan, terjaga pula harmoni kehidupan antar manusia: “Mereka mengikuti jalan air, bukan
jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain
juga boleh hidup”.
“Romansa Merah Jambu” karya K.
Usman (19 September 2010) bercerita
tentang raibnya sebuah hutan dengan
danau yang begitu indah di tepinya yang
pernah menjadi sumber inspirasi sekaligus saksi cinta. Dulu seorang pelukis
sering datang ke danau yang berair biru
jernih itu bersama anak lelakinya. Gadis
kecil sebaya yang dulu menjadi teman
bermainnya kini telah beranjak dewasa,
dan dengan setia selalu menunggu sang
kekasih sambil menyulam di tepi danau
seusai memanen padi di ladang bersama
Bapak dan Emak. Keindahan alam itu
dilukiskan demikian:
sang ayah membawa peralatan melukis.
Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan
Si Pelukis dan putranya memasang tenda
di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis
fauna dan lora di hutan sekitar itu. Dia
juga mau melukis peladang, pengail ikan
di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam. Di ujung tahun, Gindo
menyetir jip tua peninggalan ayahnya
menuju danau. Dia tercengang di depan
pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda
setinggi lutut—terbentang di depannya
seluas mata memandang. Danau makin
sunyi. Pemancing tua entah berada di
mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi
yang berdaun rimbun di sekitar danau
itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi
perkebunan sawit oleh petugas keamanan
berseragam hjau-loreng. Para petugas
keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, “Di mana Emak, Bapak,
dan Gadis, setelah hutan, dan ladang
mereka digusur?” (https://lakonhidup.
wordpress.com/2010/09/21/romansamerah-jambu/#more-784)
Lalu pada paragraf berikutnya yang
sekaligus merupakan paragraf pungkasan, pengarang menampilkan perubahan
cepat yang terjadi atas alam dan manusianya. Kutipan di bawah ini memperjelas
hal tersebut.
Seperti K. Usman, dalam cerpennya
“Rongga”, Noviana Kusumawardhani
mengkritisi penebangan hutan atas izin
kepala desa yang keponakan jenderal
itu. Pohon-pohon perlu ditebangi karena
akan dibangun taman moderen untuk
melengkapi supermarket dan mal yang
sudah ada agar masyarakat menjadi lebih
bahagia. Adalah Kemplu jagoan desa
yang mati-matian mempertahankan pohon tua berongga tempat ia menyepi dan
mencurahkan kesedihannya melihat desa
yang telah banyak berubah itu. Ternyata
masyarakat menjadi berani bersuara
dan ikut mendukung upayanya sebelum
buldozer membabat habis semua pohon
di sana.
Sekian tahun silam, menjelang petang,
seorang pelukis tua berjanggut lebat,
dan putranya datang dari kota ke ladang
di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu
menyetir mobil jip tua dan membantu
Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang
publik. Sekarang justru bernama Taman
Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan
Di keheningan tepi danau tercium oleh
[Gadis] harum bunga mawar hutan. Dia
dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk
kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor
ikan di permukaan danau. Air beriak
bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun
pepohonan sangat rimbun—bercermin
di air danau yang bening. (https://lakonhidup.wordpress.com/2010/09/21/
romansa-merah-jambu/#more-784)
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
383
ingin merasakan bagaimana indahnya
kesedihan di taman itu bisa membeli obat
perangsang kesedihan yang ditawarkan
petugas penyobek tiket tanda masuk.
Setiap pengunjung sebelum pulang
akan menyempatkan berfoto di pohon
Kemplu, demikian mereka menyebut
satu-satunya pohon yang tidak di tebang
itu. Pohon yang merindang. https://
lakonhidup.wordpress.com/2010/08/31/
rongga/#more-706)
Menjelang magrib, hujan berhenti menyisakan gerimis. Menerabas sisa-sisa
genangan air di jalan, Maksun mencari
Mbah Simbad yang dikaguminya. Dari
kejauhan ia melihat tubuh pawang pengusir hujan itu di gubuknya. Seperti tengah
bersujud. Tanpa gerak. Maksun mengendus bebauan daging terbakar. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2013/08/04/
mbah-simbad-si-pawang-hujan/#more4347)
Selanjutnya, dalam penelitian ini didapati pula bahwa alam kadang-kadang
ditampilkan secara ganas, terutama pada
cerpen seputar hujan dan banjir. Misalnya, hujan telah lama tak turun karena
ditahan oleh seorang pawang desa dalam
“Mbah Simbad Si Pawang Hujan”. Cerpen Aba Mardjani (4 Agustus 2013) ini
menyoal pergulatan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan umum. Kontraktor yang tak ingin rugi meminta Embah
Simbad menahan hujan agar proyek jalan
tolnya selesai tepat waktu, sementara penduduk telah berbulan-bulan mengalami
kekeringan sumur dan tanaman mulai
meranggas. Namun akhirnya Simbad
menyerah. Hujan turun juga karena ada
pawang-pawang hebat lainnya yang disewa untuk menahan hujan bagi berbagai
keperluan dari pesta perkawinan sampai
pemakaman seorang jenderal. Kejayaan
Embah Simbad pun tumbang disaksikan
oleh Maksun seorang pengagumnya:
Sebelumnya, Aba Mardjani telah mengolah tema hujan dan banjir dalam “Banjir di Cibaresah” (28 Oktober 2012) yang
akan dibahas lebih terinci pada bagian
selanjutnya dari tulisan ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
pada beberapa cerpen bertema bencana
alam, seakan diabaikan kenyataan bahwa
masalah ekologi adalah akibat tragis dari
aktivitas manusia yang tak terkendali. Dalam pandangan Ekokritisisme, manusia
tidak melihat makna lain dari lingkungan
alam selain yang bermanfaat untuk segera
dipakai dan dikonsumsi; sehingga ketika
alam memberontak, manusialah yang
merasa dirugikan.
Dalam “Muslihat Hujan Panas” karya
Benny Arnas (11 Agustus 2013), misalnya,
alam bukan sahabat bagi tokoh Maisarah
yang telah merenggut nyawa kedua anaknya. Kekesalannya bertambah karena
Samin bekas suaminya yang seorang veteran itu menemuinya lagi setelah sepuluh
tahun tak kembali dan berkeluh-kesah
tentang kondisi keuangannya.
Simbad tersenyum. “Bukan menyerah,
Maksun. Tapi biarlah hujan turun dulu
supaya warga di sini juga senang. Kau
kan tahu, setelah terakhir hujan kulepas?
Itu sekitar dua minggu lalu. Hampir dua
puluh hari malah. Jadi, biarlah tanah
mendapatkan haknya mendapatkan siraman hujan.”
Setelah berkata begitu, Mbah Simbad
melangkah pergi menerabas derasnya
hujan, meninggalkan Maksun dan beberapa orang lain yang masih merasa tak
puas dengan penjelasannya. Beberapa
saat kemudian, tubuhnya hilang ditelan
derasnya hujan dan angin.
Sungguh, ketakutan, kebencian, dan rasa
trauma Maisarah pada hujan panas tak
lagi tertakar. Dua anaknya yang baru
menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di
bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap.
Sekujur tubuhnya membiru, perutnya
buncit oleh air. Ia memang sangat gemar
mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah
sering orang-orang mengingatkan tapi
sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan
panas pun, ia bersikeras menceburkan diri
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
384
di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia
berenang, ketika air pasang tak kepalang,
hanya ada dua kemungkinan baginya:
pusaran lubuk akan mengisapnya atau
arus pasang akan menyeretnya hingga
tubuhnya mengapung.
Dua tahun berikutnya, Badri, adik Mursal, menyusul. Di usia yang sama dengan
meninggalnya si kakak, Badri tewas jatuh
dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar.
Ia disambar petir ketika sedang memetik
kelapa muda di perkebunan Haji Maulana
di siang bedengkang. Memang tak ada
yang menyangka kalau awan berwarna
santan dapat menurunkan hujan dan
diterabas petir. (htps://lakonhidup.wordpress.com/2013/08/11/muslihat-hujanpanas/#more-3960)
Bahwa alam bisa menjadi kawan atau
pun lawan juga nampak dalam paragraf
pembuka cerpen Anton Kurnia “Rumah
Air” (27 April 2014) berikut ini:
JIKA hujan singgah, Mamah akan gelisah.
Hujan memang anugerah. Pohon-pohon
yang kekeringan, daun-daun yang kehausan, dan rumput-rumput yang ranggas
akan senang menerima guyuran air segar
basah. Tapi hujan juga bisa jadi musibah.
Air yang melimpah-ruah tapi tak lancar
mengalir bakal menjadi banjir. Rumah
kami yang mungil pun dipaksa menjadi
rumah air. (htps://lakonhidup.wordpress.
com/2014/04/27/rumah-air/#more-4813)
Sering tidak disadari bahwa kerusakan alam juga disebabkan oleh intervensi
manusia. Ekokritisisme menggugat hal
ini karena alam yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari manusia itu
keberadaannya bukan untuk dieksploitasi
saja, melainkan juga harus dilestarikan.
Maka, kesimpulan sementara dapat ditarik di sini bahwa pada banyak cerpen
yang dikaji, masalah lingkungan hidup
belum menjadi agenda yang politis, tetapi
sekedar retorika ekologis (Buell, 2001).
Lebih banyak cerpen yang menyuguhkan ratapan atas masalah lingkungan
hidup tanpa memberikan solusi. Namun
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
demikian, imajinasi musibah yang lebih
apokaliptis tampak lebih terpapar dalam
cerpen-cerpen bertema polusi air.
Gambaran Bencana Alam dan Keberpihakan
Ramalan Rachel Carson lewat Silent
Spring kerap menjadi pjakan teori Ekokritik yang akopaliptik,misalnya dari Buell
(2001) dan Philips (2008). Penelitian ini
memakai Ekokritisisme apokaliptik dan
dokumen Ekologi yang gayut dengannya
dari Paus Fransiskus Laudato si’ (2015) sebagai piranti analisis cerpen-cerpen yang
dikaji. Pada Ensiklik No. 25 disebutkan
bahwa dalam beberapa dekade mendatang dampak terburuk perubahan ilkim
dan pemanasan global akan dirasakan
oleh negara-negara berkembang di mana
kaum papa lah yang paling dirugikan
karena penghidupan mereka sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa
ekosistem seperti pertanian, perikanan,
dan kehutanan. Masyarakat miskin tidak
memiliki sumber keuangan atau sumber
daya lain yang memungkinkan mereka
untuk beradaptasi dengan perubahan
iklim atau menghadapi bencana alam.
Bahkan akses mereka memperoleh perlindungan dan pelayanan sosial juga terbatas. Imajinasi ketimpangan sosial dan
ketidakadilan pembangunan mengemuka
dalam cerpen-cerpen berikut.
“Banjir di Cibaresah” karya Aba Marjani menunjukkan keberpihakan pada
kaum miskin ketika pengusaha besar dan
penguasa pemerintah mengeksploitasi
alam. Dikisahkan sudah berhari-hari desa
Cibaresah direndam air. Banjir seakan
menghukum warga desa Cibaresah karena para petinggi pemerintah yang korup.
Mereka bekerjasama dengan pengembang
bisnis properti yang merugikan masyarakat. Koruptor-koruptor itu dihadirkan
dengan simbol-simbol binatang yang
dikenal sebagai musuh manusia seperti
tikus, ular, buaya, dan sebagainya.
385
“Mungkin karena makin banyak vila
berdiri, makin sedikit daerah resapan
air, dan sungai-sungai makin menyempit,” Maksum menggumam. “Orangorang makin tak peduli pada ruang untuk
air.”
[…]
Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul
melihat macan belang itu berjongkok
di depan pintu rumah kepala desa. Di
jendela-jendela, serigala bertengger
diam. Buaya-buaya besar berseliweran
di sekeliling rumah besar itu bersama
banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing.
Sesekali terdengar lolong anjing dan
dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik
bermain-main. Kupu-kupu beterbangan.
Sebagian keluar masuk ke dalam rumah.
Sesekali, berkelebat warna hitam setansetan seolah mengancam siapa pun yang
berani mendekati rumah itu. (https://
lakonhidup.wordpress.com/2012/11/07/
banjir-di-cibaresah/#more-3501)
Ketimpangan sosial juga ditampilkan
dalam “Protes” karya Putu Wjaya (23
November 2013) dengan cerita tentang
rumah hantu yang sengaja ditebar oleh
pemilik bisnis perumahan, dan “Ikan
Kaleng”oleh Eko Triono (15 Mei 2011).
Cerpen-cerpen ini menggugat retorika
pembangunan masyarakat pedalaman
yang tidak sepenuhnya menyejahterakan
mereka. Dalam “Ikan Kaleng”, misalnya,
orang-orang suku Lat dikirim ke kota untuk memperoleh pendidikan dan belajar
menangkap ikan secara moderen sekaligus
mengawetkannya. Namun ketika suatu
hari kepala suku Lat sendiri pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, terkejutlah
ia ketika tahu bahwa harga sebuah ikan
kaleng ternyata sama dengan harga satu
kilogram ikan mentah. Sejak itu, bertekadlah ia mendatangi sekolah yang bisa mengajarkan murid-muridnya membuat
ikan kaleng (https://lakonhidup.wordpress.com/2011/05/15/ikan-kaleng/#more2054).
Dengan memakai gaya nostalgia dalam bercerita, Kurnia JR dalam cerpennya
“Cikapundung” (9 Juni 2013) meratapi
keruhnya Sungai Cikapundung yang dulu
“cantik memikat, meliuk-liuk genit bagai
gadis remaja” tapi sekarang bak naga setengah lumpuh yang”merayap seraya
meratap, sedang kota terus tumbuh, dipadati manusia”. Tak terlihat lagi di sana
rumpun bambu, anak-anak, dan kaum
perempuan yang mandi atau mencuci
baju.
Sehabis pukulan bertubi-tubi, kutengok
dunia masa kecilku. Sungguh, aku tak
terkejut mendapati sungaiku merana.
Bukan hanya dia yang habis-habisan
diperkosa manusia. Ciliwung, Cisadane,
Citarum, serta seribu sungai lain hanya
bisa melata lungkrah. Air jernih dibalas
dengan limbah.
[…]
Di sini akan kuhabiskan sisa usia sebab
di sini ada sahabat setia yang kupercaya
untuk menitipkan cerita-cerita. Seperti
juga aku, dia sudah tua, tidak segemilang dulu. Tidak terdengar lagi gemercik
arus yang riang spontan atau air yang
jernih. Limbah manusia telah menodai
kemurniannya yang naif. Cikapundung
sungai yang dirundung murung. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2013/06/09/
cikapundung/#more-4127)
Sama seperti tangisan atas keruhnya
Sungai Cikapundung, melalui cerpen
“Bidadari Serayu” (6 April 2014), Sungging Raga berkisah tentang upaya penyadaran masyarakat tentang polusi air
dan dampaknya bagi masyarakat kelas
bawah yang hidup di bantaran Sungai
Serayu. Meski penuh kontroversi, cerita
dihembuskan tentang bidadari pencabut
nyawa karena terhitung telah 14 orang
didapati mati di sungai itu sejak 1886!
Bidadari khayangan enggan mandi di
situ karena Serayu tak hjau lagi. Sejak
cerita bergulir, tidak ada lagi warga yang
berani membuang kotoran, sampah, dan
buang air besar di kali itu. Maka, meski
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
386
tak sehjau seperti semula dan tak lagi
menjadi tempat persinggahan bidadari,
“sungai itu tak hendak mengutuk siapa
pun, ia membiarkan segala cerita hanyut
bersama alirannya yang tetap tenang,
begitu tenang, sampai ke Pantai Selatan….” (htps://lakonhidup.wordpress.
com/2014/04/06/bidadari-serayu/#more4718). Meskipun masih samar, cerpen ini
mencoba memperlihatkan keprihatinan
terhadap isu pencemaran, dibandingkan
dengan cerpen Sungging Raga sebelumnya yang hanya memakai sungai sebagai
latar tempat semisal “Serayu, Sepanjang
Angin Akan Berembus…” (Kompas, 22
Juli 2012).
Selain kritik atas sungai-sungai yang
ternodai, protes terhadap ketidakadilan
pembangunan juga menjadi inti “Mengenang Kota Hilang” (Kompas, 13 Mei
2012). Diilhami oleh sebait pusi karya
Hasan Aspahani (2006): “Maka lumpur
pun datang membasuh wajah kota itu”,
karya R. Giryadi ini mengambil tema
bencana lumpur panas di Sidoarjo. Lewat
monolognya, tokoh Aku menyampaikan
peringatan agar siapapun datang ke kota
itu harus mengganti hatinya dengan
batu dan mengantongi”sekarung nyawa”
karena jalan yang dilewati adalah “jalan
maut”, yakni rampok kecil dan pengemis
dadakan di sepanjang jalan. Kemiskinan
akibat bencana alam telah membuat kota
itu rawan kejahatan.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak
perlu bergembira. Karena setelah itu kau
akan menemukan jalan yang bercabangcabang, mirip labirin. Kau harus pandai
memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih,
jangan harap kau bisa kembali menjadi
manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di
rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni. (https://
lakonhidup.wordpress.com/2012/05/21/
mengenang-kota-hilang/#more-3076)
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
Selanjutnya, judul “Serpihan di Teras
Rumah” pada cerpen Zaidinoor (3 Februari 2012) menunjuk pada semburan debu
hitam yang dibawa oleh roda-roda truk
yang melintas di depan rumah Ni Siti.
Janda Kai Rustam penyadap karet ini tak
pernah lagi mendapati getah cair sejak
dua tahun terakhir ini ketika perusahaan
besar dengan mesin yang meraung-raung
memasuki desa perkebunan karetnya.
Untuk memberi jalan bagi truk-truk
besar, pohon rambutan yang dua puluh
tahun yang lalu ditanam Kai Rustam di
halaman rumah beratap rumbia itu pun
harus ditebang. Di situ diletakkan tong
besar yang kata Pembakal (kepala desa)
disumbangkan untuk menampung air
bersih yang mulai langka. Tong itu terlalu besar dan halaman Ni Siti yang tak
terlalu luas itu kini tidak lagi diramaikan
oleh anak-anak yang bermain di bawah
pohon rambutan. Alhasil, Ni Siti kehilangan sesuatu yang bisa membuatnya
merasa dekat dengan sang suami. Ni Siti
juga kehilangan pendapatan karena tidak
banyak getah yang bisa disadap dari pohon karet di kebunnya. Kritik terhadap
ketidakadilan terhadap rakyat kecil demi
korporasi besar dinyatakan dengan jelas
di akhir cerita sebagai berikut:
Mungkin air dari berbagai tempat mengumpul di lubang-lubang bekas galian itu. Sehingga air di sebelah barat tak
lagi mengalir ke kebun karet Ni Siti.
Sedang air dari kebun karetnya mengalir
menuju lubang. Karet-karet Ni Siti pun
kekurangan air. Dan sampai kapan hal
ini berlangsung?… Wanita renta itu tak
pernah tahu. Ni Siti hanya ingin pulang
dan menyapu terasnya.
(htps://lakonhidup.wordpress.com/2013/
02/03/serpihan-di-teras-rumah/#more3843)
“Penjaga Kubur Nyai Laras” karya
S. Prasetyo Utomo (7 April 2011) juga
merupakan sebuah cerpen bernuansa
mistis yang bertemakan ketimpangan
387
pembangunan. Mandor Karso menentukan pepohonan yang boleh ditebang dan
kayu-kayunya diangkut truk pembeli.
Batu-batu dipecah, bertumpuk-tumpuk,
dan Mandor Karso pula yang menjualnya.
Dikisahkan dalam cerpen ini, tempat peristirahatan terakhir Nyai Laras menjadi
saksi ketidakadilan itu di mana “binatangbinatang liar penghuni bukit yang masih
tersisa, seperti luwak, berlari menghindar,
mencari tanah berbukit dan belukar yang
tak terenggut tanganmanusia” (htps://
lakon hidup.wordpress.com/2013/04/07/
penjaga-kubur-nyai-laras/#more-3963).
Selain sungai, hutan, dan pohon yang
diberi makna haraiah dan simbolis, ada
pula cerpen yang memanfaatkan mitos
kuda emas. Sama halnya dengan pohon
bertuah dalam “Sebatang Pohon di Lotus
Road” karya Sungging Raga (14 April
2013), “Kuda Emas” karya Tawakal M
Iqbal (22 Juni 2014) berbicara tentang keserakahan manusia. Cerpen ini dipenuhi
dengan binatang yang bisa bicara, hewan
yang menyamar sebagai manusia. Ini
mengingatkan kita bahwa “kita bukanlah
tuan dari alam – tetapi kita adalah bagian
dari itu”:
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk
menelurkan emas sebanyak itu. Dan di
tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau
tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu
terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor,
kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek
bilang, kuda itu telah terbang dari Papua
ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera
sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini
telah terbang menuju negara lain untuk
mencari sarang baru tempatnya bertelur.
Sebab di tempat kami, perburuan emas
selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di
Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak
kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi
terlihat memanjat-manjat batuan cadas
di Tanjoleat. Kini seringkali sepi. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2014/06/22/
kuda-emas/#more-4986)
Dapat disimpulkan di sini bahwamasalah lingkungan hidup ditampilkan
di sejumlah cerpen disertai kritik terhadap ketidakadilan bagi orang miskin.
Terutama dalam sejumlah “cerpen air”,
sungai menjadi tercemar karena pembuangan limbah beracun atau imbas gaya
hidup perkotaan yang menyebabkan
lingkungan hidup terkontaminasi secara
isik, kimiawi, dan sosial. Imajinasi ketimpangan global dan bencana akhir zaman
telah diguratkan dalam cerpen-cerpen
semacam ini.
Perspektif Ekokritik dalam Sastra Indonesia
Jika dalam waktu 5 tahun hanya terdapat 25 cerpen yang berwawasan lingkungan, penghitungan sederhana menyimpulkan bahwa harian Kompas tidak
memberikan prioritas utama bagi cerpencerpen berperspektif Ekologi. Hanya terdapat rata-rata 5 cerpen pertahun atau
sepersepuluh jumlah cerpen yang terbit
setiap minggunya dalam setahun. Bagaimanapun juga, pencapaian terbanyak
terjadi di tahun 2013 dengan 7 cerpen lingkungan hidup. Setahun sebelumnya terbit
Dari Salawat Dedaunan sampai Kunangkunang di Langit Jakarta: 20 Tahun Cerpen
Kompas Pilihan, yang meskipun ilustrasi
sampul bukunya didominasi oleh warna
hjau, hanya memuat 2 dari 23 cerpen pilihan Kompas 2011 yang beraroma ekologis, karena selebihnya dipenuhi cerita
yang surealistik dan supranatural.
Selanjutnya, sampul depan Cerpen
Kompas Pilihan 2014 juga nampak hjau
dari segi isik. Bahkan cerpen pemenang
yang dipilih menjadi judul dan tampil
sebagai cerpen pertama, yakni Di Tubuh
Rara, dalam Rahim Pohon terdengar hjau.
Cerpen Faisal Oddang ini berlatar belakang budaya Toraja. Seorang bayi dikubur
dalam pohon Tarra dan menjadi obyek
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
388
pariwisata; bahkan sang ayah sendiri
menjual tulang-belulang bayi itu kepada
turis karena desakan masalah ekonomi.
Meskipun kritik sosial dilontarkan dengan apik oleh pengarang, cerpen ini tetap
antroposentris sifatnya dan “tidak hjau”.
Alam dirawat hanya untuk memenuhi
hasrat kutural dan ekonomi manusia.
Bagaimanapun juga, di tangan Faisal
Oddanglah lahir cerpen “Orang-orang
dari Selatan Harus Mati Malam Itu” yang
menjadi satu-satunya cerpen hingga Juni
2015 yang memakai pencemaran lingkungan sebagai latar tempat dan waktu.
Cerpen ini berkisah tentang orang-orang
yang dibantai dalam peristiwa 1965 dan
mayat-mayat mereka diceburkan ke sungai sehingga menodai praktik agama asli
yang dipercayai penduduk setempat.
Jumlah cerpen bernuansa lingkungan
hidup yang diterbitkan di berbagai media
lain pada kurun waktu 2010 – 2015 juga
kurang menggembirakan. Penelitian ini
membaca sekilas tanpa melakukan analisis mendalam atas cerpen-cerpen yang
diterbitkan oleh media berikut beserta
jumlahnya: Republika (13), Jawa Pos (5),
Media Indonesia (4), Suara Merdeka (4),
dan Koran Tempo (2). Terdapat 28 cerpen
tentang lingkungan hidup yang terbit di
kelima surat kabar pada 2010 – 2015. Jika
dihitung keseluruhan, maka terdapat 53
cerpen dalam 5 tahun atau kurang dari 11
cerpen dalam setahun. Dari penghitungan
ini terlihat bahwa Sastra Hjau belumlah
hjau di salah satu negeri dengan krisis
ekologi terbesar di dunia.
Sebagai pelengkap bahasan, disajikan
nukilan cerpen karya FX Rudy Gunawan
“Langit Kalimaya” yang terbit di Media
Indonesia pada 14 Desember 2014 sebagai
releksi bersama.
BANDARA dipenuhi oleh ratusan penumpang. Penerbangan mereka tertahan
karena asap tebal dari hutan-hutan bakau
yang dibakar, hingga memperpendek
jarak pandang menjadi sekitar 4-5 meter.
Hanya pilot teler yang berani lepas landas
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
di tengah kabut asap seperti itu. Dalam
campur aduk kekesalan, kegelisahan,
dan kekecewaan ratusan penumpang itu,
Husni justru teringat sebuah siang di Ternate. Ia sudah terlalu sering mengalami
suasana seperti itu. Pekerjaan sebagai
konsultan penanganan limbah industri
membuat Husni harus terbang setidaknya
seminggu sekali ke berbagai wilayah.
Langit Ternate pada siang itu tak pernah
bisa dilupakan Husni. Langit paling aneh
yang pernah dilihatnya. Langit yang seperti batu Kalimaya itu menyimpan warna
kuning, hjau, dan merah dalam nuansa
biru yang membalut semua warna menjadi satu ikatan. Jalin-menjalin sebagai
unsur-unsur bebas tapi sekaligus menjadi
komposisi yang utuh. Seperti ikatan berbagai unsur kimia yang membentuk senyawa-senyawa dengan berbagai partikel.
Husni tak pernah melihat langit seperti
itu sebelumnya, meski ia telah menjelajah
ke hampir semua pelosok Nusantara. Ia
kerap terpesona oleh langit di berbagai
daerah yang memiliki keunikan berbedabeda, semacam karakter masing-masing
yang mungkin dibentuk oleh mineral,
kekayaan tambang, dan hutan-hutan
(https://lakonhidup.wordpress.
com/2014/12/14/langit-kalimaya/#more5123)
SIMPULAN
Krisis ekologis menjadi sumber inspirasi bagi sebagian kecil cerpenis Indonesia. Pada umumnya, cerpen-cerpen yang
diteliti mengambil lingkungan hidup
hanya sebagai latar tempat dan waktu.
Namun demikian, beberapa pengarang
telah mencoba melancarkan kritik terhadap pengrusakan lingkungan, terutama
penebangan hutan dan polusi air. Polusi
air sungai merupakan tema yang paling
sering diangkat dalam cerpen bernuansa
lingkungan hidup. Cerpen-cerpen yang
dikaji mencoba untuk secara kritis menggarisbawahi keseragaman kepentingan
masyarakat kota yang mencoba membuat
klaim untuk menguasai lingkungan atas
nama pembangunan dan pemberantasan
kemiskinan. Terdapat hubungan kekua-
389
saan antara segelintir kelompok elit versus
rakyat kecil, budaya urban versus budaya
tradisional. Di sini sungai memiliki arti
simbolis yang memisahkan para penguasa
dan masyarakat yang terpinggirkan yang
hidup di pinggiran sungai.
Jika dibandingkan dengan banyaknya
cerpen yang terbit selama kurun waktu
yang diteliti, cerpen-cerpen bernuansa
lingkungan hidup belumlah memuaskan
dalam segi jumlah. Banyaknya isu lingkungan hidup yang hanya dipakai sebagai
latar tempat dan peristiwa menjadikan
cerpen-cerpen ini retorika ekologi yang
menggebu, bukan pertobatan ekologi
seperti digagas dalam Laodato si’ dan Teori
Ekokritik.
Akhirnya, seperti tersirat dalam cerpen-cerpen yang dikaji, bahaya pemanasan global telah menghadang di depan
mata. Upaya manusia untuk meningkatkan kehidupan di alam semesta telah
menjadi paradoks yang justru mengancam keberadaannya. Di sini meskipun
cerpen sebagai bentuk seni kreatif dan
kritis mungkin tampak jauh dari laporanpenelitian sains maupun kebjakan publik,
secara tidak langsung cerpen-cerpen ini
telah menggugah kesadaran budaya yang
cinta lingkungan. Ini berarti bahwa sastra
bisa berperan sebagai barometer budaya
dan agen perubahan.
Oleh karena itu, sebagai usulan dan
saran, keberlangsungan atau ketersediaan
karya berwawasan lingkungan hidup
perlu ditingkatkan baik dalam jumlah
maupun kualitas kepedulian apokaliptis
yang diusungnya. Perlu dicermati secara
kualitatif dan kritis bagaimana jagad sastra Indonesia menerjemahkan masalahmasalah nyata yang dihadapi masyarakat,
misalnya perihal pelestarian alam dan/
atau pencemaran lingkungan hidup.
Selain itu perlu dikaji pula keterlibatan
penulis dan komunitas sastra lingkungan
hidup (sastra sebagai praksis). Misalnya,
melalui wawancara intensif dan pengamatan yang berkesinambungan tentang
kiprah masing-masing. Barangkali dari
sini kelak akan makin berkembang teori
pembacaan karya satra khususnya tentang
lingkungan hidup. Sebagai tambahan,
peninjauan kurikulum pembelajaran
sastra dan bahasa perlu pula dilakukan secara teratur dan berkelanjutan; termasuk
di dalamya pengembangan desain pembelajaran sastra yang diperkaya dengan
Sastra Hjau.
UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari
penelitian berjudul “Sastra Lingkungan
Hidup sebagai Gerakan Sosial: Kajian
Karya, Penulis, dan Komunitasnya” yang
didanai oleh DP2M Dikti melalui Hibah
Penelitian Desentralisasi dengan Skim
Penelitian Fundamental 2015. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ketua
LPPM Universitas Sanata Dharma dan
staf, para reviewer, serta semua pihak atas
saran, masukan, dan dukungan yang amat
berharga. Semua kekeliruan dan cacat
dalam tulisan ini merupakan tanggung
jawab penulis sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aleida, Martin 2004. Jamangilak Tak Pernah
Menangis. Jakarta: Gramedia.
Bandel, Katrin. 2006. “Sastra Koran di
Indonesia” dalam Sastra, Perempuan,
Seks. Yogyakarat: Jalasutra, hlm. 45
– 55.
Bandel, Katrin. 2008. “Perempuan Pesisir dalam Novel Gadis Pantai dan
Jamangilak Tak Pernah Menangis”,
boemipoetra, November-Desember,
hlm. 3 – 4.
Buell, Lawrence. 2001.Writing for an Endangered World: Literature, Culture, and
Environment in the U.S. and Beyond.
Cambridg
KONTEMPORER: ANALISIS EKOKRITIK CERPEN PILIHAN KOMPAS
Novita Dewi
Pascasarjana Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan mendeskripsikan pilihan politis-ideologis yang ditampilkan
melalui hubungan manusia dan lingkungan dalam cerpen Indonesia kontemporer.
Tujuannya adalah untuk menakar apakah sastra Indonesia masa kini telah memperlihatkan
keberpihakan yang serius dalam upaya menghadang kehancuran bumi karena ulah
manusia. Sumber data penelitian adalah cerpen di surat kabar Kompas 2010 – 2015, yang
bertemakan lingkungan hidup. Melalui metode pembacaan kritis dan teori Ekokritik
ditemukan hal-hal sebagai berikut. Pertama, sejumlah cerpen mengambil lingkungan
hidup hanya sebagai latar tempat dan waktu. Kedua, cerpen-cerpen dengan tema
pencemaran air telah menyuarakan ikrar politis memerangi perusakan lingkungan. Ketiga,
sastra hjau, yakni sastra berperspektif Ekokritik, belum menjadi arus utama dalam sastra
Indonesia kontemporer.
Kata kunci: sastra hjau, Ekokritik, cerpen Indonesia kontemporer
PEOPLE AND ENVIRONMENTS IN CONTEMPORARY INDONESIAN SHORT
STORIES: AN ECOCRITICISM ANALYSIS OF SHORT STORIES SELECTED BY
KOMPAS
Abstract
This study aims to describe political-ideological choices manifested in the relationship
between people and environments in contemporary Indonesian short stories. The objective
is to assess whether or not the present Indonesian literature has shown serious alignment
in an atempt to prevent the destruction of the Earth because of human acts. The data
sources were short stories with environmental themes in Kompas newspaper issued in
2010 – 2015. Through critical reading and Ecocriticism theory, the indings are as follows.
First, a number of short stories use environments only as spatial and temporal setings.
Second, short stories with water pollution themes have expressed a political pledge to
prevent environmental destruction. Third, green literature, namely literature with the
ecocriticism perspective, has not been the main stream in the contemporary Indonesian
literature.
Keywords: green literature, Ecocriticism, contemporary Indonesian short stories
PENDAHULUAN
Krisis ekologi dan dampak pencemaran lingkungan makin mencengkeram perhatian dunia saat ini. Perilaku manusia
terhadap alam dan eksploitasi besar-besaran terhadapnya telah mendorong dunia
menuju kerusakan ekologis yang berkepanjangan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup manusia itu sendiri.
Lebih-lebih jika diperhitungkan dimensi
sosial-ekonomi dan konsekuensi psikologis dari krisis lingkungan tersebut, tam376
377
pak nyata bahwa kaum miskinlah yang
paling dirugikan. Indonesia, misalnya
merupakan salah satu negara yang didera krisis ekologi akibat pembalakan
hutan dan polusi air. Menurut catatan
Blacksmith Institute di New York, Sungai
Citarum menjadi sungai dengan polusi
tertinggi di dunia pada tahun 2013. Sungai
terpanjang dan terbesar di Jawa Barat ini,
seperti dilaporkan dalam National Geographic Indonesia (April 2014), menjadi
tidak bersahabat lagi bahkan cenderung
buas di musim hujan bagi puluhan juta
warga miskin yang tinggal dan menggantungkan hidup di wilayah sungai itu. Pertambahan jumlah penduduk yang seakan
berlomba dengan bertumbuhnya industri
di kawasan sekitarnya menjadikan Sungai
Citarum pembuangan sampah terbesar di
planet bumi. Ini hanya salah satu contoh
dari jutaan bencana dan ketidakadilan
terhadap masyarakat terpinggirkan yang
terjadi karena perlakuan semena-mena
manusia terhadap alam.
Mirip dengan problem lingkungan
hidup di Malaysia (Mamat et al., 2011;
Zainal, 2013) dan Pakistan (Salam, 2011),
misalnya, pembangunan besar-besaran,
penebangan hutan, dan urbanisasi di
Indonesia telah mempengaruhi lingkungan secara umum, yakni polusi udara,
pencemaran sungai, pencemaran limbah
industri dan pertanian, serta deforestasi.
Bahkan menurut laporan Direktorat Riset
dan Kajian Strategis IPB, Indonesia menjadi beban dunia dalam krisis global karena penggundulan hutan, penggunaan
produk rekayasa pertanian non-organik,
pencemaran lingkungan, dan dampak
sosial-budaya lainnya (Hunga, 2013).
Paus Fransiskus baru-baru ini menerbitkan Ensiklik ekologis Laudato Si (Terpujilah Engkau) yang ditanggapi secara
positif dari kalangan akademisi di berbagai kawasan dunia termasuk para aktivis
kemanusiaan dan lingkungan, serta para
pengambil kebjakan pada level internasional (PBB) karena pendekatannya ter-
hadap persoalan lingkungan yang dinilai
komprehensif dan menggerakkan solidaritas. Menurut pemimpin tertinggi gereja
Katolik ini, pemecahan masalah ekologis
yang sejati selalu berupa pendekatan sosial, yakni mengintegrasikan masalah
keadilan dalam diskusi lingkungan hidup
guna mendengarkan jeritan bumi maupun
jeritan kaum miskin. Bumi adalah anugerah Sang Pencipta dan manusia sebagai
makhluk yang berakal budi haruslah memeliharanya, bukan mengeksploitasi sekehendak hati demi kepentingan bersama.
Kesadaran dan tanggung jawab ekologis
merupakan tanggung-jawab moral sekaligus tanggung-jawab iman.
Jelaslah di sini bahwa masalah ekologis tidak terlepas begitu saja dari masalah
manusia yang bertindak atau berbuat, karena hal ini menyangkut pemilihan nilainilai atau “masalah etis” (Sastrapratedja,
2013: 169). Pendapat ini bersetuju dengan
pandangan salah satu pakar lingkungan
hidup, Emil Salim, yang menyorot ketimpangan pembangunan yang tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan.
Dalam makalah yang ditulisnya untuk
Sidang Tahunan Konferensi Wali-gereja
Indonesia 2012 tentang Ekopastoral
dengan tema “Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan” (2013),
Salim mengharapkan semua pemimpin
masyarakat beragama mengambil prakarsa dalam tugas mulia mengelola sumber
daya alam dan melestarikan keutuhan
ciptaan secara bertanggung-jawab. Maka
dapat dikatakan di sini bahwa masalah
lingkungan hidup tidak bisa ditempatkan
secara terbatas pada wilayah sains saja,
karena hal ini menyangkut tanggung
jawab moral, etis, dan kemanusiaan yang
lebih besar.
Mengingat bahwa pilihan moral dan
pembentukan karakter merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari fenomena bahasa dan sastra, penelitian tentang sejauh
mana masalah lingkungan hidup ini ditanggapi oleh kajian sastra menjadi pen-
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
378
ting. Pada hakekatnya, membaca dan menulis karya sastra adalah mengasah akal
budi dan perasaan manusia, dengan cara
memahami dan berempati pada berbagai
pengalaman hidup manusia. Pe-ngalaman
ini secara kreatif dan imajinatif dihadirkan
oleh pengarang dalam bentuk puisi, cerpen, novel, drama, dan lain sebagainya.
Sayang sekali kajian sastra tentang
lingkungan hidup di Indonesia masih terbatas karena hal ini berkaitan dengan terbatasnya pula karya sastra berperspektif
ekologi. Terdapat pelbagai imajinasi alam
di dalam karya sastra. Kritik lingkungan
hidup merupakan representasi yang paling radikal dibandingkan dengan pujian
terhadap keindahan alam seperti dalam
puisi atau novel beraliran romantisme
ataupun hujatan atas kekejaman alam (terhadap manusia) yang tampak pada karya
sastra bermazhab naturalistis-realis/deter
ministis (Clark, 2011).
Keindahan alam dan panorama tanah
air yang menakjubkan, misalnya, dapat dijumpai pada puisi-puisi lama Muhammad
Yamin dan dalam novel-novel sejak periode sastra Balai Pustaka, Pujangga Baru,
hingga karya-karya kontemporer. Releksi
yang mendalam tentang dampak pencemaran lingkungan dan bencana alam
tidak begitu terbaca karena pada umumnya pengarang lebih sering mengusung
persoalan-persoalan sosial-politik (dan
ekonomi) di Indonesia dari zaman ke
zaman.
Di antara langkanya kritik lingkungan
dalam sastra, novel karya Martin Aleida
Jamangilak Tak Pernah Menangis (2002) merupakan gugatan terhadap Sungai Asahan
yang dianiaya oleh sebuah pabrik rayon
multinasional. Perempuan yang menjadi
tokoh utama dalam novel ini berupaya
melawan pemerintah tapi usahanya digagalkan oleh konspirasi politik dan kapitalisme (Bandel, 2008). Dalam cerita pendek
“Kering” karya Wa Ode Wulan Ratna
(2006), pembalakan hutan di Pekanbaru,
Riau menjadi persoalan yang dihadapi
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
oleh tokoh-tokoh dalam cerita tersebut.
Suryaningsih (2013) membaca dominasi
patriarki atas alam dan perempuan pada
cerpen ini. Penelitian Wiyatmi (2014) atas
novel Amba karya Laksmi Pamuncak, misalnya, menunjukkan bahwa eksploitasi
yang dilakukan rejim pemerintah (Orde
Baru) tidak hanya berdimensi politis tetapi
juga ekonomis dan kapitalis, di mana kekayaan alam Pulau Buru seperti tambang
minyak, pohon kayu putih dan yang lainnya menjadikan pulau tersebut surga bagi
para investor asing. Melalui pembacaan
Eko Kritik, terlihat ada wilayah ekonomipolitik yang disembunyikan di balik penggambaran seram Pulau Buru yang sengaja
dikonstruksikan oleh penguasa. Pembacaan berwawasan lingkungan semacam
ini amat diperlukan untuk memperkaya
kajian sastra tanah air.
Kajian sastra lingkungan hidup perlu
digalakkan mengingat sumbangannya terhadap urgensi penanganan krisis ekologi
dewasa ini. Karena itu, Seminar Nasional
yang digelar oleh Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Yogyakarta November 2014
yang lalu, misalnya, merupakan pilihan
moral-intelektual yang patut diapresiasi.
Penelitian ini merupakan pengembangan
dari gagasan yang dibentang dalam kegiatan tersebut, yakni perlunya sains
dan implikasi sosialnya seperti masalah
lingkungan hidup diretas oleh sastra sehingga kajian sastra sungguh memberikan
kontribusi kepada masalah-masalah nyata
dalam masyarakat. Meskipun imajinasi
pelestarian alam telah tercermin dalam
beberapa karya sastra tanah air, masihperlu diteliti lebih lanjutsejauh manakah
karya-karya tersebut menyapa dan menggugah kesadaran manusia akan dampak
pengrusakan lingkungan hidup.
Penelitian ini bertujuan melihat bagaimana masalah lingkungan hidup diimajinasikan dalam karya sastra yang relatif
mudah diakses oleh masyarakat luas,
yaitu melalui cerpen-cerpen yang terbit di
379
harian nasional. Menurut Bandel (2006: 53)
“sastra koran” merupakan bentuk karya
yang mutu sastrawinya masih diperdebatkan namun popularitas dan penerimaannya sangat besar di kalangan pembaca
Indonesia. Di dunia Barat pun jenis sastra semacam ini digemari dan, seperti
dilaporkan oleh Page (2002) dalamThe
Bookseller, sastra koran yang dibukukan
menjadi salah satu buku laris (htp://www.
thebookseller.com/news/short-storynewspaper-hits-bookshops). Fenomena
yang sama ditunjukkan oleh terbitnya
buku kumpulan cerpen Kompas sejak
awal 2000-an. Inilah yang mendasari
dipilihnyacerpen-cerpen terbitan Kompas
dalam penelitian ini, dengan asumsi bahwa wacana naratif semacam ini barangkali
cukup mewakili suara hati bangsa Indonesia yang didera oleh persoalan lingkungan
hidup.
Adapun masalah-masalah penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut. Pertama,
bagaimanakah persoalan lingkungan
hidup ditampilkan dalam cerpen-cerpen
yang dimuat di harian Kompas dari 2010
hingga pertengahan 2015. Kedua, dalam
pandangan Ekokritik, bagaimanakah
cerpen-cerpen tersebut menunjukkan
keberpihakan pada masyarakat kecil yang
menjadi korban perusakan lingkungan.
Ketiga, bagaimanakah cerpen-cerpen
tadi dipetakan dalam cerpen Indonesia
kontemporer, jika dibandingkan dengan
cerpen lain yang tidak mengambil lingkungan hidup sebagai tema.
METODE
Sastra sebagai produk anak zaman
menjadi landasan konseptual penelitian
ini. Oleh karena itu, perlu dicermati secara
kualitatif dan kritis bagaimana jagad sastra dewasa ini menerjemahkan masalahmasalah nyata yang dihadapi masyarakat
seperti pengrusakan lingkungan hidup.
Penelitian ini memakai data primer berupa cerpen-cerpen bernuansa lingkungan
yang terbit di harian Kompas pada kurun
2010 – 2015. Selanjutnya, data sekunder
berupa kajian-kajian terdahulu baik tentang sastra hjau maupun beberapa kajian
terkait untuk memperoleh gambaran yang
lebih lengkap mengenai pelbagai releksi
atas persoalan lingkungan hidup.
Analisis data diawali dengan membaca secara cepat semua cerpen yang
diunggah lewat situs htps://lakonhidup.
wordpress.com dan htp://cerpen.print.
kompas.com dari tahun 2010 sampai dengan pertengahan 2015. Kemudian semua
cerpen yang diterbitkan oleh Kompas yang
bertemakan lingkungan hidup ditandai
untuk dibaca lebih lanjut. Data cerpen
pilihan Kompas juga diperoleh dari versi
cetak dalam berbagai volume buku Kumpulan Cerpen Kompas dan beberapa cerpen
yang terbit dalam harian Kompas edisi
Minggu hingga Juni 2015. Dari data yang
ada, terkumpul sejumlah 25 (dua puluh
lima) cerpen untuk dibaca lebih lanjut
sebagai sumber data terpilih.
Hasil pembacaan kemudian dikelompokkan dengan pertimbangan: (1) cerpen
yang mengambil lingkungan hidup sebagai latar tempat dan waktu, (2) cerpen
bertemakan lingkungan hidup dengan
simbol-simbol tertentu, yaitu pohon dan
air, (3) cerpen yang melibatkan tokoh
utama dalam konlik seputar lingkungan
hidup. Setelah itu, dengan menggunakan
prinsip dasar Ekokritik, cerpen-cerpen
tersebut dibaca berulang-ulang untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam. Teori Ekokritik didapat terutama dari
buah pikir Buell (2001) yang berpendapat
bahwa Ekokritisisme harus dijalankan
sejalan dengan komitmen dan praksis
(bukan hanya teori) para pejuang lingkungan hidup. Selain itu, dipakai pula
sebagai acuan jurnal-jurnal mutakhir
tentang sastra lingkungan hidup, antara
lain Journal of Ecocriticism. Dokumen penting lain untuk membaca keberpihakan
pemecahan masalah lingkungan pada
masyarakat miskin didapat dari Ensiklik
Paus Fransiskus Laodato si’ (2015).
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
380
Hasil interpretasi divalidasi dengan
kutipan-kutipan dari teks yang diteliti.
Pada sejumah cerpen yang pernah ditelaah sebelumnya, temuan yang baru diperbandingkan dengan temuan lain yang
dilacak lewat pemberitaan di surat kabar,
jurnal ilmiah, serta laporan penelitian
yang memiliki kemiripan pada aspekaspek tertentu sebagai pendukung. Hasil pembacaan ini disimpulkan untuk
menjawab masalah penelitian (1) dan (2):
kehadiran dan keberpihakan sastra bertemakan lingkungan hidup. Selanjutnya,
cerpen-cerpen bernuansa ekologis lainnya yang diterbitkan selama 2010 – 2015
oleh Republika, Jawa Pos, Media Indonesia,
Suara Merdeka, dan Koran Tempo dibaca
sekali lagi sebagai pembanding untuk
menjawab masalah penelitian (3): posisi
sastra lingkungan hidup dalam khasanah
cerpen Indonesia kontemporer.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada subbagian ini diuraikan hasil
penelitian dan pembahasan tiga hal yang
menjadi fokus penelitian, yakni imajinasi krisis lingkungan hidup, gambaran
bencana alam dan keberpihakan, dan
perspektif ekologis dalam sastra Indonesia. Ketiga hal tersebut disajikan dalam
sub-subab berikut.
Imajinasi Krisis Lingkungan Hidup dalam Sastra Indonesia
Isu lingkungan hidup digarap oleh
para cerpenis dengan menunjuk secara
langsung ke lingkungan yang tercederai,
khususnya pohon/hutan dan air, ataupun
secara abstraksi dengan memakai simbolsimbol yang imajinatif. Dari 25 cerpen
yang diteliti, terdapat 16 cerpen yang
mengambil pohon sebagai tema (baik
pelestarian maupun pemusnahannya), 8
cerpen dengan tema air, dan 1 cerpen yang
berbau mitologi, khususnya mitos kuda
air. Ditunjukkan pula dalam penelitian
ini bahwa pohon lebih kerap difungsikan
untuk memberi makna metaforik daripada isik.
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
Selain itu, pohon juga kadang dihadirkan hanya untuk memperkuat latar sebuah
cerita. Sebagai contoh, cerpen “Pohon
Hayat” karya Mashdar Zainal,”Menebang
Pohon Silsilah” karya Indra Tranggono
(17 Februari 2013) dan “Di Kaki Hariara
Dua Puluh Tahun Kemudian” oleh Martin
Aleida (Kompas, 23 Mei 2010) menampilkan pohon sebagai latar tempat, sehingga
isu ekologis tidak begitu diolah dalam
ketiga cerpen ini. Satu daun artinya satu
kehidupan kata nenek dalam “Pohon
Hayat”. Setiap penduduk di kotanya
tersemat di tiap daun yang bertengger di
cabang, ranting, dan tangkai pohon itu.
Maka ketika ada satu daun yang jatuh,
pastilah seseorang di kota tersebut mati.
Demikian pula dalam “Menebang
Pohon Silsilah”, pohon dikisahkan sebagai penanda tempat dan waktu bagi
pergumulan setiap tokoh dalam cerpen.
Sementara itu, dalam cerpen Martin
Aleida, pohon hariara menjadi saksi
keteladanan seorang guru sekolah. Kartika Suryani mendidik para siswa untuk
berani jujur dan berkeadilan. Rupanya
sejak guru bantu ini diberhentikan karena
konlik dengan pihak pimpinan sekolah,
anak-anak selalu mengubur surat-surat
pribadi dan catatan releksi mereka di kaki
pohon. Maka ketika 20 tahun kemudian
mereka bersama-sama menggali tanah di
kaki hariara yang telah keriput dan harus
ditebang untuk pengembangan gedung
sekolah, nyatalah bahwa pembelajaran
tentang kejujuran dan kebebasan telah
ditanamkan dan pohon hariara adalah
saksinya. Meskipun ketiga cerpen ini
menebarkan nilai-nilai kemanusiaan, dalam pandangan Eko Kritik masih terasa
adanya getaran antroposentrisme karena
alam (pohon) hadir untuk pemenuhan kebutuhan kultural manusia (Clark, 2011).
Ketika pohon dipakai sebagai simbol,
masalah lingkungan hidup justru menjadi
lebih mengemuka. Dalam cerpen-cerpen
berikut ini, pohon ditampilkan sebagai
metafora kehidupan: “Rongga” karya Novi-
381
ana Kusumawardhani (29 Agustus 2010),
“Ketapang Kencana” karya Bre Redana
(21 November 2010), “Pohon Jejawi” oleh
Budi Darma (26 Desember 2010), “Ketika
Pohon Itu Masih Mekar” tulisan Doni
Jaya (13 Februari 2011), “Sebatang Pohon
di Lotus Road” karya Sungging Raga
(14 April 2013), dan cerpen pemenang
anugerah Kompas “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim Pohon” karya Faisal Oddang (4
Mei 2014). Lewat tokoh-tokoh yang peduli,
cerpen-cerpen tersebut menggam-barkan
bahwa manusia bertanggungjawab atas
masalah lingkungan hidup, yakni hilangnya keanekaragaman hayati, rontoknya
nilai-nilai arkeologi lokal, kerusakan
lahan pertanian, degradasi kualitas lingkungan, dan sebagainya. Pohon Cincau
dalam cerpen Doni Jaya yang selalu djaga
kelestariannya oleh Mama akhirnya meranggas dan mati setelah Mama terjatuh
dari pohon itu. Imajinasi alam yang mistis dan supranatural kadang diselipkan
seperti pada “Pohon Jejawi” (Maimunah,
2014) dan “Di Tubuh Tarra, Dalam Rahim
Pohon”. Pada “Wiro Seledri” (10 Juli 2011),
cerpen GM Sudarta ini tidak berbicara
soal pohon besar, tetapi tanaman perdu
bernama seledri yang disuburkan oleh
kotoran manusia – suatu kiat dari penulis
yang dipelajarinya sewaktu mendekam di
Pulau Buru.
Selain pohon tunggal, hutan juga sering diangkat dalam beberapa cerpen bernuansa ekologis. Hutan yang tercederai,
misalnya hadir dalam cerpen “Ulat Bulu
& Syekh Daun Jati” oleh Agus Noor (28
Juli 2013). Ada nuansa mistis dan legenda
di sini yang memberi pelajaran moral bagi
pelanggar keseimbangan alam.
Kampung seperti diselubungi cairan hitam karena seluruhnya tertutup ulat bulu.
Seluruh batang pohon tertutup ulat bulu
hitam hingga ke ujung cabang-cabangnya.
Atap-atap rumah dipenuhi ulat bulu.
Segalanya menjadi tampak menghitam.
Juga hutan jati yang mengelilingi kampung itu. Tiap batang pohon jati tertutup
ulat bulu. Hutan jati itu menjadi hutan
hitam yang begitu mengerikan. Tak ada
pemandangan yang begitu hitam melebihi
hitamnya hutan jati yang telah menjadi
begitu mengerikan oleh jutaan ulat bulu.
Seakan-akan di tengah-tengah kehitaman
hutan jati itu hidup arwah-arwah penasaran yang haus mengisap darah siapa pun
yang berani memasukinya (htp://cerpen.
print.kompas.com/2013/07/28/ulat-bulusyekh-daun-jati/)
Hutan dalam cerpen “Tulisan Kelinci
Merah” karya Afrizal Malna (11 November 2012) memberi manusia moderen
pelajaran tentang kearifan lokal. Cerpen
ini berlatar kehidupan Urang Kanekes,
Baduy penganut agama Buhun yang
telah ada sebelum politheisme dan monotheisme. Setiap tahun penduduk yang
menyatu dengan alam ini mengadakan
Upacara Seren di hutan yang dilindungi
oleh pikukuh dan ketentuan adat yang tak
boleh dilanggar. Tanah merupakan harta
penting yang tak boleh diusik – “Tanah
tidak boleh digali, dipacul atau dibajak.
Kontur tanah harus tetap terjaga dari
erosi. Tanah hanya boleh ditusuk dengan
bambu yang ujungnya telah diruncingi
untuk kemudian ditanami.” Listrik,
sabun, dan piranti peradaban modern
lain tak boleh digunakan warga. Mereka
menyatu dengan alam:
Pendeta Bumi menyatakan tiga syarat
untuk bisa membebaskan diri dari bumi:
melanggar adat istiadat, menjadi gila atau
bunuh diri. Ketiga orang makhluk itu seperti terbakar men-dengar persyaratan itu.
Mereka sudah tidak tahan berada di bumi.
Tidak tahan berada bersama planet yang
tidak masuk akal ini, di mana kehidupan
djalani hanya untuk menunggu datangnya kematian. Dan selama penungguan
itu, orang menciptakan berbagai versi kehidupan: berbuat jahat kepada orang lain
atau berbuat baik. Membunuh orang lain
atau menyelamatkan orang lain. Menguasai atau membebaskan. Merampok orang
lain atau menolong orang lain. Korupsi
atau hidup dari kerja keras yang dilaku-
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
382
kan sendiri. Bertemu atau berpisah. Mengakui kepercayaannya sendiri, tetapi menyerang kepercayaan yang lain. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2012/11/11/
tulisan-kelinci-merah/#more-3533)
Dengan menjaga harmoni hutan, terjaga pula harmoni kehidupan antar manusia: “Mereka mengikuti jalan air, bukan
jalan api. Antiperang, melukai atau membunuh. Kalau kamu mau hidup, yang lain
juga boleh hidup”.
“Romansa Merah Jambu” karya K.
Usman (19 September 2010) bercerita
tentang raibnya sebuah hutan dengan
danau yang begitu indah di tepinya yang
pernah menjadi sumber inspirasi sekaligus saksi cinta. Dulu seorang pelukis
sering datang ke danau yang berair biru
jernih itu bersama anak lelakinya. Gadis
kecil sebaya yang dulu menjadi teman
bermainnya kini telah beranjak dewasa,
dan dengan setia selalu menunggu sang
kekasih sambil menyulam di tepi danau
seusai memanen padi di ladang bersama
Bapak dan Emak. Keindahan alam itu
dilukiskan demikian:
sang ayah membawa peralatan melukis.
Bapak dan Emak Si Gadis mengizinkan
Si Pelukis dan putranya memasang tenda
di tepi ladang. Perupa itu berniat melukis
fauna dan lora di hutan sekitar itu. Dia
juga mau melukis peladang, pengail ikan
di sekitar danau, mawar hutan, dan pemandangan alam. Di ujung tahun, Gindo
menyetir jip tua peninggalan ayahnya
menuju danau. Dia tercengang di depan
pagar besi tinggi berkawat duri. Dirasakannya pagar yang menghadang itu sangat angkuh. Ladang dan hutan tak tampak lagi. Tanaman kelapa sawit muda
setinggi lutut—terbentang di depannya
seluas mata memandang. Danau makin
sunyi. Pemancing tua entah berada di
mana? Tak ada lagi pepohonan tinggi
yang berdaun rimbun di sekitar danau
itu. Gindo tidak diizinkan masuk lokasi
perkebunan sawit oleh petugas keamanan
berseragam hjau-loreng. Para petugas
keamanan itu tidak dapat menjawab pertanyaan Gindo, “Di mana Emak, Bapak,
dan Gadis, setelah hutan, dan ladang
mereka digusur?” (https://lakonhidup.
wordpress.com/2010/09/21/romansamerah-jambu/#more-784)
Lalu pada paragraf berikutnya yang
sekaligus merupakan paragraf pungkasan, pengarang menampilkan perubahan
cepat yang terjadi atas alam dan manusianya. Kutipan di bawah ini memperjelas
hal tersebut.
Seperti K. Usman, dalam cerpennya
“Rongga”, Noviana Kusumawardhani
mengkritisi penebangan hutan atas izin
kepala desa yang keponakan jenderal
itu. Pohon-pohon perlu ditebangi karena
akan dibangun taman moderen untuk
melengkapi supermarket dan mal yang
sudah ada agar masyarakat menjadi lebih
bahagia. Adalah Kemplu jagoan desa
yang mati-matian mempertahankan pohon tua berongga tempat ia menyepi dan
mencurahkan kesedihannya melihat desa
yang telah banyak berubah itu. Ternyata
masyarakat menjadi berani bersuara
dan ikut mendukung upayanya sebelum
buldozer membabat habis semua pohon
di sana.
Sekian tahun silam, menjelang petang,
seorang pelukis tua berjanggut lebat,
dan putranya datang dari kota ke ladang
di tepi hutan itu. Pemuda tampan itu
menyetir mobil jip tua dan membantu
Hutan itu tetap berfungsi sebagai ruang
publik. Sekarang justru bernama Taman
Air Mata. Siapa pun bisa dan boleh menangis sepuas-puasnya. Bahkan pengunjung taman yang sedang gembira dan
Di keheningan tepi danau tercium oleh
[Gadis] harum bunga mawar hutan. Dia
dengar nyanyian burung dan hiruk pikuk
kawanan kera. Dia melihat gelepar ekor
ikan di permukaan danau. Air beriak
bagaikan tersibak. Di atas tebing, daun
pepohonan sangat rimbun—bercermin
di air danau yang bening. (https://lakonhidup.wordpress.com/2010/09/21/
romansa-merah-jambu/#more-784)
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
383
ingin merasakan bagaimana indahnya
kesedihan di taman itu bisa membeli obat
perangsang kesedihan yang ditawarkan
petugas penyobek tiket tanda masuk.
Setiap pengunjung sebelum pulang
akan menyempatkan berfoto di pohon
Kemplu, demikian mereka menyebut
satu-satunya pohon yang tidak di tebang
itu. Pohon yang merindang. https://
lakonhidup.wordpress.com/2010/08/31/
rongga/#more-706)
Menjelang magrib, hujan berhenti menyisakan gerimis. Menerabas sisa-sisa
genangan air di jalan, Maksun mencari
Mbah Simbad yang dikaguminya. Dari
kejauhan ia melihat tubuh pawang pengusir hujan itu di gubuknya. Seperti tengah
bersujud. Tanpa gerak. Maksun mengendus bebauan daging terbakar. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2013/08/04/
mbah-simbad-si-pawang-hujan/#more4347)
Selanjutnya, dalam penelitian ini didapati pula bahwa alam kadang-kadang
ditampilkan secara ganas, terutama pada
cerpen seputar hujan dan banjir. Misalnya, hujan telah lama tak turun karena
ditahan oleh seorang pawang desa dalam
“Mbah Simbad Si Pawang Hujan”. Cerpen Aba Mardjani (4 Agustus 2013) ini
menyoal pergulatan antara kepentingan
pribadi dan kepentingan umum. Kontraktor yang tak ingin rugi meminta Embah
Simbad menahan hujan agar proyek jalan
tolnya selesai tepat waktu, sementara penduduk telah berbulan-bulan mengalami
kekeringan sumur dan tanaman mulai
meranggas. Namun akhirnya Simbad
menyerah. Hujan turun juga karena ada
pawang-pawang hebat lainnya yang disewa untuk menahan hujan bagi berbagai
keperluan dari pesta perkawinan sampai
pemakaman seorang jenderal. Kejayaan
Embah Simbad pun tumbang disaksikan
oleh Maksun seorang pengagumnya:
Sebelumnya, Aba Mardjani telah mengolah tema hujan dan banjir dalam “Banjir di Cibaresah” (28 Oktober 2012) yang
akan dibahas lebih terinci pada bagian
selanjutnya dari tulisan ini.
Penelitian ini menunjukkan bahwa
pada beberapa cerpen bertema bencana
alam, seakan diabaikan kenyataan bahwa
masalah ekologi adalah akibat tragis dari
aktivitas manusia yang tak terkendali. Dalam pandangan Ekokritisisme, manusia
tidak melihat makna lain dari lingkungan
alam selain yang bermanfaat untuk segera
dipakai dan dikonsumsi; sehingga ketika
alam memberontak, manusialah yang
merasa dirugikan.
Dalam “Muslihat Hujan Panas” karya
Benny Arnas (11 Agustus 2013), misalnya,
alam bukan sahabat bagi tokoh Maisarah
yang telah merenggut nyawa kedua anaknya. Kekesalannya bertambah karena
Samin bekas suaminya yang seorang veteran itu menemuinya lagi setelah sepuluh
tahun tak kembali dan berkeluh-kesah
tentang kondisi keuangannya.
Simbad tersenyum. “Bukan menyerah,
Maksun. Tapi biarlah hujan turun dulu
supaya warga di sini juga senang. Kau
kan tahu, setelah terakhir hujan kulepas?
Itu sekitar dua minggu lalu. Hampir dua
puluh hari malah. Jadi, biarlah tanah
mendapatkan haknya mendapatkan siraman hujan.”
Setelah berkata begitu, Mbah Simbad
melangkah pergi menerabas derasnya
hujan, meninggalkan Maksun dan beberapa orang lain yang masih merasa tak
puas dengan penjelasannya. Beberapa
saat kemudian, tubuhnya hilang ditelan
derasnya hujan dan angin.
Sungguh, ketakutan, kebencian, dan rasa
trauma Maisarah pada hujan panas tak
lagi tertakar. Dua anaknya yang baru
menginjak remaja meninggal dunia karenanya. Mursal ditemukan mengapung di
bantaran Sungai Kasie di kaki Bukit Sulap.
Sekujur tubuhnya membiru, perutnya
buncit oleh air. Ia memang sangat gemar
mandi di dekat lubuk di siang hari. Sudah
sering orang-orang mengingatkan tapi
sesering itu pula ia mengabaikannya. Bahkan, seperti di siang naas itu, ketika hujan
panas pun, ia bersikeras menceburkan diri
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
384
di lubuk seorang diri. Sepandai apa pun ia
berenang, ketika air pasang tak kepalang,
hanya ada dua kemungkinan baginya:
pusaran lubuk akan mengisapnya atau
arus pasang akan menyeretnya hingga
tubuhnya mengapung.
Dua tahun berikutnya, Badri, adik Mursal, menyusul. Di usia yang sama dengan
meninggalnya si kakak, Badri tewas jatuh
dari pohon kelapa dengan tubuh terbakar.
Ia disambar petir ketika sedang memetik
kelapa muda di perkebunan Haji Maulana
di siang bedengkang. Memang tak ada
yang menyangka kalau awan berwarna
santan dapat menurunkan hujan dan
diterabas petir. (htps://lakonhidup.wordpress.com/2013/08/11/muslihat-hujanpanas/#more-3960)
Bahwa alam bisa menjadi kawan atau
pun lawan juga nampak dalam paragraf
pembuka cerpen Anton Kurnia “Rumah
Air” (27 April 2014) berikut ini:
JIKA hujan singgah, Mamah akan gelisah.
Hujan memang anugerah. Pohon-pohon
yang kekeringan, daun-daun yang kehausan, dan rumput-rumput yang ranggas
akan senang menerima guyuran air segar
basah. Tapi hujan juga bisa jadi musibah.
Air yang melimpah-ruah tapi tak lancar
mengalir bakal menjadi banjir. Rumah
kami yang mungil pun dipaksa menjadi
rumah air. (htps://lakonhidup.wordpress.
com/2014/04/27/rumah-air/#more-4813)
Sering tidak disadari bahwa kerusakan alam juga disebabkan oleh intervensi
manusia. Ekokritisisme menggugat hal
ini karena alam yang merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari manusia itu
keberadaannya bukan untuk dieksploitasi
saja, melainkan juga harus dilestarikan.
Maka, kesimpulan sementara dapat ditarik di sini bahwa pada banyak cerpen
yang dikaji, masalah lingkungan hidup
belum menjadi agenda yang politis, tetapi
sekedar retorika ekologis (Buell, 2001).
Lebih banyak cerpen yang menyuguhkan ratapan atas masalah lingkungan
hidup tanpa memberikan solusi. Namun
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
demikian, imajinasi musibah yang lebih
apokaliptis tampak lebih terpapar dalam
cerpen-cerpen bertema polusi air.
Gambaran Bencana Alam dan Keberpihakan
Ramalan Rachel Carson lewat Silent
Spring kerap menjadi pjakan teori Ekokritik yang akopaliptik,misalnya dari Buell
(2001) dan Philips (2008). Penelitian ini
memakai Ekokritisisme apokaliptik dan
dokumen Ekologi yang gayut dengannya
dari Paus Fransiskus Laudato si’ (2015) sebagai piranti analisis cerpen-cerpen yang
dikaji. Pada Ensiklik No. 25 disebutkan
bahwa dalam beberapa dekade mendatang dampak terburuk perubahan ilkim
dan pemanasan global akan dirasakan
oleh negara-negara berkembang di mana
kaum papa lah yang paling dirugikan
karena penghidupan mereka sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa
ekosistem seperti pertanian, perikanan,
dan kehutanan. Masyarakat miskin tidak
memiliki sumber keuangan atau sumber
daya lain yang memungkinkan mereka
untuk beradaptasi dengan perubahan
iklim atau menghadapi bencana alam.
Bahkan akses mereka memperoleh perlindungan dan pelayanan sosial juga terbatas. Imajinasi ketimpangan sosial dan
ketidakadilan pembangunan mengemuka
dalam cerpen-cerpen berikut.
“Banjir di Cibaresah” karya Aba Marjani menunjukkan keberpihakan pada
kaum miskin ketika pengusaha besar dan
penguasa pemerintah mengeksploitasi
alam. Dikisahkan sudah berhari-hari desa
Cibaresah direndam air. Banjir seakan
menghukum warga desa Cibaresah karena para petinggi pemerintah yang korup.
Mereka bekerjasama dengan pengembang
bisnis properti yang merugikan masyarakat. Koruptor-koruptor itu dihadirkan
dengan simbol-simbol binatang yang
dikenal sebagai musuh manusia seperti
tikus, ular, buaya, dan sebagainya.
385
“Mungkin karena makin banyak vila
berdiri, makin sedikit daerah resapan
air, dan sungai-sungai makin menyempit,” Maksum menggumam. “Orangorang makin tak peduli pada ruang untuk
air.”
[…]
Dari kejauhan, Maksum dan Kasdul
melihat macan belang itu berjongkok
di depan pintu rumah kepala desa. Di
jendela-jendela, serigala bertengger
diam. Buaya-buaya besar berseliweran
di sekeliling rumah besar itu bersama
banyak sekali ular berkepala dua. Dinding-dindingnya penuh kecoa dan cacing.
Sesekali terdengar lolong anjing dan
dengus babi. Tikus-tikus nampak asyik
bermain-main. Kupu-kupu beterbangan.
Sebagian keluar masuk ke dalam rumah.
Sesekali, berkelebat warna hitam setansetan seolah mengancam siapa pun yang
berani mendekati rumah itu. (https://
lakonhidup.wordpress.com/2012/11/07/
banjir-di-cibaresah/#more-3501)
Ketimpangan sosial juga ditampilkan
dalam “Protes” karya Putu Wjaya (23
November 2013) dengan cerita tentang
rumah hantu yang sengaja ditebar oleh
pemilik bisnis perumahan, dan “Ikan
Kaleng”oleh Eko Triono (15 Mei 2011).
Cerpen-cerpen ini menggugat retorika
pembangunan masyarakat pedalaman
yang tidak sepenuhnya menyejahterakan
mereka. Dalam “Ikan Kaleng”, misalnya,
orang-orang suku Lat dikirim ke kota untuk memperoleh pendidikan dan belajar
menangkap ikan secara moderen sekaligus
mengawetkannya. Namun ketika suatu
hari kepala suku Lat sendiri pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, terkejutlah
ia ketika tahu bahwa harga sebuah ikan
kaleng ternyata sama dengan harga satu
kilogram ikan mentah. Sejak itu, bertekadlah ia mendatangi sekolah yang bisa mengajarkan murid-muridnya membuat
ikan kaleng (https://lakonhidup.wordpress.com/2011/05/15/ikan-kaleng/#more2054).
Dengan memakai gaya nostalgia dalam bercerita, Kurnia JR dalam cerpennya
“Cikapundung” (9 Juni 2013) meratapi
keruhnya Sungai Cikapundung yang dulu
“cantik memikat, meliuk-liuk genit bagai
gadis remaja” tapi sekarang bak naga setengah lumpuh yang”merayap seraya
meratap, sedang kota terus tumbuh, dipadati manusia”. Tak terlihat lagi di sana
rumpun bambu, anak-anak, dan kaum
perempuan yang mandi atau mencuci
baju.
Sehabis pukulan bertubi-tubi, kutengok
dunia masa kecilku. Sungguh, aku tak
terkejut mendapati sungaiku merana.
Bukan hanya dia yang habis-habisan
diperkosa manusia. Ciliwung, Cisadane,
Citarum, serta seribu sungai lain hanya
bisa melata lungkrah. Air jernih dibalas
dengan limbah.
[…]
Di sini akan kuhabiskan sisa usia sebab
di sini ada sahabat setia yang kupercaya
untuk menitipkan cerita-cerita. Seperti
juga aku, dia sudah tua, tidak segemilang dulu. Tidak terdengar lagi gemercik
arus yang riang spontan atau air yang
jernih. Limbah manusia telah menodai
kemurniannya yang naif. Cikapundung
sungai yang dirundung murung. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2013/06/09/
cikapundung/#more-4127)
Sama seperti tangisan atas keruhnya
Sungai Cikapundung, melalui cerpen
“Bidadari Serayu” (6 April 2014), Sungging Raga berkisah tentang upaya penyadaran masyarakat tentang polusi air
dan dampaknya bagi masyarakat kelas
bawah yang hidup di bantaran Sungai
Serayu. Meski penuh kontroversi, cerita
dihembuskan tentang bidadari pencabut
nyawa karena terhitung telah 14 orang
didapati mati di sungai itu sejak 1886!
Bidadari khayangan enggan mandi di
situ karena Serayu tak hjau lagi. Sejak
cerita bergulir, tidak ada lagi warga yang
berani membuang kotoran, sampah, dan
buang air besar di kali itu. Maka, meski
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
386
tak sehjau seperti semula dan tak lagi
menjadi tempat persinggahan bidadari,
“sungai itu tak hendak mengutuk siapa
pun, ia membiarkan segala cerita hanyut
bersama alirannya yang tetap tenang,
begitu tenang, sampai ke Pantai Selatan….” (htps://lakonhidup.wordpress.
com/2014/04/06/bidadari-serayu/#more4718). Meskipun masih samar, cerpen ini
mencoba memperlihatkan keprihatinan
terhadap isu pencemaran, dibandingkan
dengan cerpen Sungging Raga sebelumnya yang hanya memakai sungai sebagai
latar tempat semisal “Serayu, Sepanjang
Angin Akan Berembus…” (Kompas, 22
Juli 2012).
Selain kritik atas sungai-sungai yang
ternodai, protes terhadap ketidakadilan
pembangunan juga menjadi inti “Mengenang Kota Hilang” (Kompas, 13 Mei
2012). Diilhami oleh sebait pusi karya
Hasan Aspahani (2006): “Maka lumpur
pun datang membasuh wajah kota itu”,
karya R. Giryadi ini mengambil tema
bencana lumpur panas di Sidoarjo. Lewat
monolognya, tokoh Aku menyampaikan
peringatan agar siapapun datang ke kota
itu harus mengganti hatinya dengan
batu dan mengantongi”sekarung nyawa”
karena jalan yang dilewati adalah “jalan
maut”, yakni rampok kecil dan pengemis
dadakan di sepanjang jalan. Kemiskinan
akibat bencana alam telah membuat kota
itu rawan kejahatan.
Bila kau lolos di jalan maut, kau tak
perlu bergembira. Karena setelah itu kau
akan menemukan jalan yang bercabangcabang, mirip labirin. Kau harus pandai
memilih jalan yang tepat. Bila salah pilih,
jangan harap kau bisa kembali menjadi
manusia. Kau pasti akan menjadi lintah, atau semacam belut yang hidup di
rawa-rawa, yang kini dikuasai oleh monster-monster berwarna-warni. (https://
lakonhidup.wordpress.com/2012/05/21/
mengenang-kota-hilang/#more-3076)
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
Selanjutnya, judul “Serpihan di Teras
Rumah” pada cerpen Zaidinoor (3 Februari 2012) menunjuk pada semburan debu
hitam yang dibawa oleh roda-roda truk
yang melintas di depan rumah Ni Siti.
Janda Kai Rustam penyadap karet ini tak
pernah lagi mendapati getah cair sejak
dua tahun terakhir ini ketika perusahaan
besar dengan mesin yang meraung-raung
memasuki desa perkebunan karetnya.
Untuk memberi jalan bagi truk-truk
besar, pohon rambutan yang dua puluh
tahun yang lalu ditanam Kai Rustam di
halaman rumah beratap rumbia itu pun
harus ditebang. Di situ diletakkan tong
besar yang kata Pembakal (kepala desa)
disumbangkan untuk menampung air
bersih yang mulai langka. Tong itu terlalu besar dan halaman Ni Siti yang tak
terlalu luas itu kini tidak lagi diramaikan
oleh anak-anak yang bermain di bawah
pohon rambutan. Alhasil, Ni Siti kehilangan sesuatu yang bisa membuatnya
merasa dekat dengan sang suami. Ni Siti
juga kehilangan pendapatan karena tidak
banyak getah yang bisa disadap dari pohon karet di kebunnya. Kritik terhadap
ketidakadilan terhadap rakyat kecil demi
korporasi besar dinyatakan dengan jelas
di akhir cerita sebagai berikut:
Mungkin air dari berbagai tempat mengumpul di lubang-lubang bekas galian itu. Sehingga air di sebelah barat tak
lagi mengalir ke kebun karet Ni Siti.
Sedang air dari kebun karetnya mengalir
menuju lubang. Karet-karet Ni Siti pun
kekurangan air. Dan sampai kapan hal
ini berlangsung?… Wanita renta itu tak
pernah tahu. Ni Siti hanya ingin pulang
dan menyapu terasnya.
(htps://lakonhidup.wordpress.com/2013/
02/03/serpihan-di-teras-rumah/#more3843)
“Penjaga Kubur Nyai Laras” karya
S. Prasetyo Utomo (7 April 2011) juga
merupakan sebuah cerpen bernuansa
mistis yang bertemakan ketimpangan
387
pembangunan. Mandor Karso menentukan pepohonan yang boleh ditebang dan
kayu-kayunya diangkut truk pembeli.
Batu-batu dipecah, bertumpuk-tumpuk,
dan Mandor Karso pula yang menjualnya.
Dikisahkan dalam cerpen ini, tempat peristirahatan terakhir Nyai Laras menjadi
saksi ketidakadilan itu di mana “binatangbinatang liar penghuni bukit yang masih
tersisa, seperti luwak, berlari menghindar,
mencari tanah berbukit dan belukar yang
tak terenggut tanganmanusia” (htps://
lakon hidup.wordpress.com/2013/04/07/
penjaga-kubur-nyai-laras/#more-3963).
Selain sungai, hutan, dan pohon yang
diberi makna haraiah dan simbolis, ada
pula cerpen yang memanfaatkan mitos
kuda emas. Sama halnya dengan pohon
bertuah dalam “Sebatang Pohon di Lotus
Road” karya Sungging Raga (14 April
2013), “Kuda Emas” karya Tawakal M
Iqbal (22 Juni 2014) berbicara tentang keserakahan manusia. Cerpen ini dipenuhi
dengan binatang yang bisa bicara, hewan
yang menyamar sebagai manusia. Ini
mengingatkan kita bahwa “kita bukanlah
tuan dari alam – tetapi kita adalah bagian
dari itu”:
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk
menelurkan emas sebanyak itu. Dan di
tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau
tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu
terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor,
kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek
bilang, kuda itu telah terbang dari Papua
ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera
sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini
telah terbang menuju negara lain untuk
mencari sarang baru tempatnya bertelur.
Sebab di tempat kami, perburuan emas
selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di
Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak
kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi
terlihat memanjat-manjat batuan cadas
di Tanjoleat. Kini seringkali sepi. (htps://
lakonhidup.wordpress.com/2014/06/22/
kuda-emas/#more-4986)
Dapat disimpulkan di sini bahwamasalah lingkungan hidup ditampilkan
di sejumlah cerpen disertai kritik terhadap ketidakadilan bagi orang miskin.
Terutama dalam sejumlah “cerpen air”,
sungai menjadi tercemar karena pembuangan limbah beracun atau imbas gaya
hidup perkotaan yang menyebabkan
lingkungan hidup terkontaminasi secara
isik, kimiawi, dan sosial. Imajinasi ketimpangan global dan bencana akhir zaman
telah diguratkan dalam cerpen-cerpen
semacam ini.
Perspektif Ekokritik dalam Sastra Indonesia
Jika dalam waktu 5 tahun hanya terdapat 25 cerpen yang berwawasan lingkungan, penghitungan sederhana menyimpulkan bahwa harian Kompas tidak
memberikan prioritas utama bagi cerpencerpen berperspektif Ekologi. Hanya terdapat rata-rata 5 cerpen pertahun atau
sepersepuluh jumlah cerpen yang terbit
setiap minggunya dalam setahun. Bagaimanapun juga, pencapaian terbanyak
terjadi di tahun 2013 dengan 7 cerpen lingkungan hidup. Setahun sebelumnya terbit
Dari Salawat Dedaunan sampai Kunangkunang di Langit Jakarta: 20 Tahun Cerpen
Kompas Pilihan, yang meskipun ilustrasi
sampul bukunya didominasi oleh warna
hjau, hanya memuat 2 dari 23 cerpen pilihan Kompas 2011 yang beraroma ekologis, karena selebihnya dipenuhi cerita
yang surealistik dan supranatural.
Selanjutnya, sampul depan Cerpen
Kompas Pilihan 2014 juga nampak hjau
dari segi isik. Bahkan cerpen pemenang
yang dipilih menjadi judul dan tampil
sebagai cerpen pertama, yakni Di Tubuh
Rara, dalam Rahim Pohon terdengar hjau.
Cerpen Faisal Oddang ini berlatar belakang budaya Toraja. Seorang bayi dikubur
dalam pohon Tarra dan menjadi obyek
Manusia dan Lingkungan dalam Cerpen Indonesia Mutakhir
388
pariwisata; bahkan sang ayah sendiri
menjual tulang-belulang bayi itu kepada
turis karena desakan masalah ekonomi.
Meskipun kritik sosial dilontarkan dengan apik oleh pengarang, cerpen ini tetap
antroposentris sifatnya dan “tidak hjau”.
Alam dirawat hanya untuk memenuhi
hasrat kutural dan ekonomi manusia.
Bagaimanapun juga, di tangan Faisal
Oddanglah lahir cerpen “Orang-orang
dari Selatan Harus Mati Malam Itu” yang
menjadi satu-satunya cerpen hingga Juni
2015 yang memakai pencemaran lingkungan sebagai latar tempat dan waktu.
Cerpen ini berkisah tentang orang-orang
yang dibantai dalam peristiwa 1965 dan
mayat-mayat mereka diceburkan ke sungai sehingga menodai praktik agama asli
yang dipercayai penduduk setempat.
Jumlah cerpen bernuansa lingkungan
hidup yang diterbitkan di berbagai media
lain pada kurun waktu 2010 – 2015 juga
kurang menggembirakan. Penelitian ini
membaca sekilas tanpa melakukan analisis mendalam atas cerpen-cerpen yang
diterbitkan oleh media berikut beserta
jumlahnya: Republika (13), Jawa Pos (5),
Media Indonesia (4), Suara Merdeka (4),
dan Koran Tempo (2). Terdapat 28 cerpen
tentang lingkungan hidup yang terbit di
kelima surat kabar pada 2010 – 2015. Jika
dihitung keseluruhan, maka terdapat 53
cerpen dalam 5 tahun atau kurang dari 11
cerpen dalam setahun. Dari penghitungan
ini terlihat bahwa Sastra Hjau belumlah
hjau di salah satu negeri dengan krisis
ekologi terbesar di dunia.
Sebagai pelengkap bahasan, disajikan
nukilan cerpen karya FX Rudy Gunawan
“Langit Kalimaya” yang terbit di Media
Indonesia pada 14 Desember 2014 sebagai
releksi bersama.
BANDARA dipenuhi oleh ratusan penumpang. Penerbangan mereka tertahan
karena asap tebal dari hutan-hutan bakau
yang dibakar, hingga memperpendek
jarak pandang menjadi sekitar 4-5 meter.
Hanya pilot teler yang berani lepas landas
LITERA, Volume 14, Nomor 2, Oktober 2015
di tengah kabut asap seperti itu. Dalam
campur aduk kekesalan, kegelisahan,
dan kekecewaan ratusan penumpang itu,
Husni justru teringat sebuah siang di Ternate. Ia sudah terlalu sering mengalami
suasana seperti itu. Pekerjaan sebagai
konsultan penanganan limbah industri
membuat Husni harus terbang setidaknya
seminggu sekali ke berbagai wilayah.
Langit Ternate pada siang itu tak pernah
bisa dilupakan Husni. Langit paling aneh
yang pernah dilihatnya. Langit yang seperti batu Kalimaya itu menyimpan warna
kuning, hjau, dan merah dalam nuansa
biru yang membalut semua warna menjadi satu ikatan. Jalin-menjalin sebagai
unsur-unsur bebas tapi sekaligus menjadi
komposisi yang utuh. Seperti ikatan berbagai unsur kimia yang membentuk senyawa-senyawa dengan berbagai partikel.
Husni tak pernah melihat langit seperti
itu sebelumnya, meski ia telah menjelajah
ke hampir semua pelosok Nusantara. Ia
kerap terpesona oleh langit di berbagai
daerah yang memiliki keunikan berbedabeda, semacam karakter masing-masing
yang mungkin dibentuk oleh mineral,
kekayaan tambang, dan hutan-hutan
(https://lakonhidup.wordpress.
com/2014/12/14/langit-kalimaya/#more5123)
SIMPULAN
Krisis ekologis menjadi sumber inspirasi bagi sebagian kecil cerpenis Indonesia. Pada umumnya, cerpen-cerpen yang
diteliti mengambil lingkungan hidup
hanya sebagai latar tempat dan waktu.
Namun demikian, beberapa pengarang
telah mencoba melancarkan kritik terhadap pengrusakan lingkungan, terutama
penebangan hutan dan polusi air. Polusi
air sungai merupakan tema yang paling
sering diangkat dalam cerpen bernuansa
lingkungan hidup. Cerpen-cerpen yang
dikaji mencoba untuk secara kritis menggarisbawahi keseragaman kepentingan
masyarakat kota yang mencoba membuat
klaim untuk menguasai lingkungan atas
nama pembangunan dan pemberantasan
kemiskinan. Terdapat hubungan kekua-
389
saan antara segelintir kelompok elit versus
rakyat kecil, budaya urban versus budaya
tradisional. Di sini sungai memiliki arti
simbolis yang memisahkan para penguasa
dan masyarakat yang terpinggirkan yang
hidup di pinggiran sungai.
Jika dibandingkan dengan banyaknya
cerpen yang terbit selama kurun waktu
yang diteliti, cerpen-cerpen bernuansa
lingkungan hidup belumlah memuaskan
dalam segi jumlah. Banyaknya isu lingkungan hidup yang hanya dipakai sebagai
latar tempat dan peristiwa menjadikan
cerpen-cerpen ini retorika ekologi yang
menggebu, bukan pertobatan ekologi
seperti digagas dalam Laodato si’ dan Teori
Ekokritik.
Akhirnya, seperti tersirat dalam cerpen-cerpen yang dikaji, bahaya pemanasan global telah menghadang di depan
mata. Upaya manusia untuk meningkatkan kehidupan di alam semesta telah
menjadi paradoks yang justru mengancam keberadaannya. Di sini meskipun
cerpen sebagai bentuk seni kreatif dan
kritis mungkin tampak jauh dari laporanpenelitian sains maupun kebjakan publik,
secara tidak langsung cerpen-cerpen ini
telah menggugah kesadaran budaya yang
cinta lingkungan. Ini berarti bahwa sastra
bisa berperan sebagai barometer budaya
dan agen perubahan.
Oleh karena itu, sebagai usulan dan
saran, keberlangsungan atau ketersediaan
karya berwawasan lingkungan hidup
perlu ditingkatkan baik dalam jumlah
maupun kualitas kepedulian apokaliptis
yang diusungnya. Perlu dicermati secara
kualitatif dan kritis bagaimana jagad sastra Indonesia menerjemahkan masalahmasalah nyata yang dihadapi masyarakat,
misalnya perihal pelestarian alam dan/
atau pencemaran lingkungan hidup.
Selain itu perlu dikaji pula keterlibatan
penulis dan komunitas sastra lingkungan
hidup (sastra sebagai praksis). Misalnya,
melalui wawancara intensif dan pengamatan yang berkesinambungan tentang
kiprah masing-masing. Barangkali dari
sini kelak akan makin berkembang teori
pembacaan karya satra khususnya tentang
lingkungan hidup. Sebagai tambahan,
peninjauan kurikulum pembelajaran
sastra dan bahasa perlu pula dilakukan secara teratur dan berkelanjutan; termasuk
di dalamya pengembangan desain pembelajaran sastra yang diperkaya dengan
Sastra Hjau.
UCAPAN TERIMA KASIH
Artikel ini merupakan bagian dari
penelitian berjudul “Sastra Lingkungan
Hidup sebagai Gerakan Sosial: Kajian
Karya, Penulis, dan Komunitasnya” yang
didanai oleh DP2M Dikti melalui Hibah
Penelitian Desentralisasi dengan Skim
Penelitian Fundamental 2015. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Ketua
LPPM Universitas Sanata Dharma dan
staf, para reviewer, serta semua pihak atas
saran, masukan, dan dukungan yang amat
berharga. Semua kekeliruan dan cacat
dalam tulisan ini merupakan tanggung
jawab penulis sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aleida, Martin 2004. Jamangilak Tak Pernah
Menangis. Jakarta: Gramedia.
Bandel, Katrin. 2006. “Sastra Koran di
Indonesia” dalam Sastra, Perempuan,
Seks. Yogyakarat: Jalasutra, hlm. 45
– 55.
Bandel, Katrin. 2008. “Perempuan Pesisir dalam Novel Gadis Pantai dan
Jamangilak Tak Pernah Menangis”,
boemipoetra, November-Desember,
hlm. 3 – 4.
Buell, Lawrence. 2001.Writing for an Endangered World: Literature, Culture, and
Environment in the U.S. and Beyond.
Cambridg