T1 802011027 Full text

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA SISWA DI SMA NEGERI 1
KUPANG TIMUR

OLEH
AGUSTYANA MURNIARY PANIE
802011027

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN KECENDERUNGAN
PERILAKU BULLYING PADA SISWA DI SMA NEGERI 1

KUPANG TIMUR

Agustyana Murniary Panie
Heru Astikasari S. Murti

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara empati dengan
kecenderungan perilaku bullying pada siswa di SMA Negeri Kupang Timur. Responden
dalam penelitian ini berjumlah 258 orang. Variabel bullying diukur dengan bullying
subscale dari Olweus Bullying Questionnaire yang dibuat oleh Olweus. Skala ini terdiri
dari 15 item. Variabel empati diukur dengan Empathy scale oleh Mark Davis yang
terdiri dari 28 item. Data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis rank

spearman’s rho. Koefisien korelasi yang diperoleh sebesar –0,010 dengan nilai
signifikansi 0,436 (p>0,05) sehingga kesimpulan yang diambil dari penelitian adalah
tidak ada hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa
di SMAN 1 Kupang Timur.

Kata Kunci : Perilaku Bullying Empati, Siswa SMA

i

ABSTRACT

This study aims to determine how the correlation between empathy with the tendency of
bullying behavior in students at SMAN 1 East Kupang. Respondents in this study
amounted to 258 people. Variables measured by bullying is bullying subscale of the
Olweus Bullying Questionnaire created by Olweus. This scale consists of 15 items.
Empathy variables measured by Empathy Scale by Mark Davis consisting of 28 items.
Data were analyzed using analysis techniques Spearman's rho rank. The correlation
coefficient obtained at -0.010 with a significance value of 0.436. This suggests that
there was no a correlation between empathy and tendencies of bullying behavioral on
students at SMAN 1 East Kupang.


Keywords: Empathy Bullying Behavior, High School Students

ii

1

PENDAHULUAN
Undang–undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa,
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Siswati dan Widayanti (2009) menyebutkan untuk mencapai tujuan ini maka
diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan namun fakta yang
terjadi dalam lapangan menggambarkan keadaan dimana adanya berbagai perilaku
agresif entah dari guru ataupun diantara siswa itu sendiri. Salah satu bentuk perilaku
agresif yang terjadi di sekolah adalah perilaku bullying. Karakteristik dari bullying,
sering diulang, dan bahwa bully atau pengganggu memiliki akses lebih besar ke
kekuasaan daripada korban mereka (Olweus,1993)

Juwita (dalam Surat kabar harian, 2008) memaparkan hasil penelitiannya
mengenai gambaran bullying di sekolah bahwa Yogyakarta memiliki kasus bullying
tertinggi untuk tingkat SMP dan SMA dengan persentase 70,65 persen dibandingkan
dengan kota–kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Menurut Haryana (Surat kabar
harian, 2008) Bullying tidak hanya dapat berakibat langsung pada anak, namun
berakibat jangka panjang terhadap psikologis anak.
Ditch The label, salah satu organisasi anti-bullying di Inggris yang melakukan
survey kepada lebih dari 3.600 orang dengan usia 13-18 tahun melaporkan bahwa 45%
dari orang-orang muda mengalami intimidasi sebelum usia 18 tahun. 26% dari mereka
terintimidasi telah mengalami intimidasi setiap hari. 30% telah menyakiti diri akibat
bullying. 10% telah berusaha untuk bunuh diri sebagai akibat dari bullying. 83%

2

mengatakan intimidasi memiliki dampak negatif pada harga diri mereka. 56%
mengatakan intimidasi mempengaruhi studi mereka. Secara keseluruhan disampaikan
bahwa 45% partisipan telah mengalami bullying (dalam The Annual Bullying Survey.
2014)
Prosentase ini perlu diperhatikan sebab bullying memberi dampak negatif bagi
korbannya tetapi juga kepada mereka yang melakukan bullying dan melihat perilaku

tersebut. Seperti yang diuraikan Priyatna (2010) dampak bagi mereka yang melakukan
bullying diantaranya sering terlibat dalam perkelahian, resiko mengalami cedera akibat
perkelahian, dan lain-lain. Dampak bagi mereka yang menjadi korban adalah mereka
dapat mengalami kecemasan, merasa kesepian, rendah diri, tingkat kompetensi sosial
yang rendah, depresi, simtom psikosomatik, penarikan sosial, keluhan pada kesehatan
fisik, minggat dari rumah, penggunaan alkohol dan obat-obat terlarang, penurunan
performansi akademik dan bunuh diri sedangkan bagi mereka yang biasa menyaksikan
bullying pada kawan–kawannya menjadi penakut dan rapuh, sering mengalami
kecemasan, dan memiliki rasa keamanan diri yang rendah.
Garrett (2003), menyebutkan 4 faktor yang dapat mempengaruhi bullying yaitu
faktor keluarga, sekolah, komunitas dan kepribadian. Dalam faktor kepribadian ini salah
satu yang mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku bullying
adalah kurangnya empati terhadap orang lain. salah satu karakteristik yang paling lazim
dari mereka yang membully (bullies) adalah mereka cenderung untuk memiliki sedikit
empati untuk masalah orang lain (Sanders & Phye, 2004). Empati sendiri merupakan
upaya seseorang untuk memahami pengalaman positif atau negatif orang lain yang
didalamnya terdiri atas dua komponen yaitu afektif dan kognitif (Taufik, 2012).

3


Penelitian yang dilakukan oleh Jolliffe dan Farrington (2006) terhadap remaja
berusia 15 tahun, mengenai hubungan antara rendahnya empati dengan bullying,
menunjukkan adanya keterkaitan antara rendahnya empati dengan frekuensi yang sering
terhadap perilaku bullying yang berarti bahwa partisipan yang memiliki empati yang
rendah merupakan orang yang sering melakukan perilaku bullying. Penelitian yang
dilakukan Munoz (2010) terhadap anak–anak berusia 11-12 tahun juga menunjukkan
bahwa anak-anak dengan perasaan emosional yang tinggi memiliki empati afektif
terendah dan tertinggi untuk melakukan bullying secara langsung.
Hasil penelitian Caravita dan Blasio (2008), menunjukkan hasil yang tidak jauh
berbeda dimana empati afektif dan kognitif memiliki beberapa efek utama yang
signifikan terhadap keterlibatan dalam bullying. Mengacu pada empati kognitif sebagai
perbedaan antara mengetahui 'bagaimana' dan 'mengapa' dari perasaan orang lain,
komponen afektif adalah ikut merasakan 'perasaan' emosi orang lain. Penelitian
terhadap anak berusia 13 tahun yang dilakukan oleh Gini, dkk (2007) mengungkapkan
bahwa pelaku bullying mungkin dapat berkurang, oleh karena seseorang memiliki
keterampilan empatik atau, dengan kata lain, memiliki kemampuan untuk menghargai
konsekuensi dari emosional perilaku mereka pada perasaan orang lain atau berempati
dengan perasaan orang lain (Arsenio and Lemerise, 2001; Eisenberg and Fabes, 1998).
Rendahnya tingkat respon empatik dikaitkan dengan adanya keterlibatan siswa dalam
intimidasi orang lain. Sebaliknya, empati positif dikaitkan dengan aktif membantu

teman sekolah yang menjadi korban.
Komponen yang berbeda dari empati memiliki derajat yang berbeda dari
pengaruh dalam bentuk langsung dan tidak langsung dari perilaku kekerasan seperti
yang diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan Arta, dkk (2013). Mereka

4

memaparkan bahwa empati memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pengurangan berbagai bentuk kekerasan. Sebagian besar penelitian menunjukkan
pentingnya komponen afektif dari empati dibandingkan dengan komponen kognitif.
Fenomena bullying yang terjadi di sekolah menengah kota Kupang merupakan
fenomena yang dianggap sebagai perilaku yang “biasa” atau “tradisi” oleh guru maupun
siswa yang terbawa saat masa orientasi siswa. Wakil Kepala Sekolah mengungkapkan
bahwa penanganan terhadap siswa yang melakukan bullying hanya diberikan kepada
mereka yang menjadi penganggu. Korban tidak dijamin untuk “bebas” dari penganggu
namun besar kemungkinan untuk diganggu lagi entah dari penganggu sebelumnya atau
yang baru. Hal ini juga diakui oleh beberapa siswa bahwa perilaku bullying dianggap
biasa dan sering dilakukan saat guru berada di kelas maupun tidak. (Wawancara pribadi,
Agustus 2014).
Penelitian ini berbeda dengan penelitian–penelitian sebelumnya karena, lebih

fokus pada sekolah menengah yang pelajarnya berusia 16–8 tahun dan adanya
perbedaan budaya dengan penelitian sebelumnya dimana penelitian-penelitian
sebelumnya dilakukan dalam budaya barat. Perlu diketahui bahwa SMA 1 Kupang
Timur merupakan salah satu sekolah di Kabupaten Kupang dengan kehidupan nilai dan
budaya timur yang kuat. Kedisiplinan yang diajarkan berdampingan dengan kekerasan
dianggap biasa, mereka lebih ekpresif untuk mengungkapkan perasaan namun memiliki
gengsi yang tinggi apalagi ketika merasa harga diri mereka dijatuhkan. SMA ini berada
di jalan jurusan Oekabiti yang merupakan salah satu daerah bekas pengungsian (perang
Timor Leste) yang dapat menjadi pengaruh bagaimana pelajar di tempat ini dalam
proses berempati seperti yang diungkapkan oleh Davis dalam Taufik (2012). Salah satu
hasil untuk setidaknya beberapa anak-anak yang membully adalah bahwa mereka tidak

5

memiliki empati terhadap orang lain, mungkin karena mereka harus belajar untuk
menjauhkan diri dari perasaan sensitif sakit dan terluka bertahan secara emosional
dalam keluarga mereka (Sanders & Phye, 2004).
Memperhatikan fenomena bullying yang terus berkembang di tempat ini maka
peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara empati
dengan kecenderungan perilaku bullying pada siswa di SMAN 1 Kupang Timur?


TINJAUAN PUSTAKA
Bullying didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan atau status oleh sesorang
untuk melukai, mengancam, atau mempermalukan orang lain. Bullying dapat bersifat
fisik, verbal, atau sosial. Tidak dikatakan bullying apabila dua siswa/i berdebat atau
bertengkar dengan kekuatan yang sama (Olweus and Limber’s work. 2000). Menurut
Olweus & Solberg (2003) tiga elemen utama dari definisi bullying adalah niat untuk
menyakiti korban, sifat berulang, dan ketidakseimbangan kekuasaan antara korban dan
pelaku.
Bullying di defenisikan dalam berbagai literatur sebagai perilaku berulang
(termasuk perilaku verbal dan fisik) yang terjadi dari waktu ke waktu dalam hubungan
yang ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan dan kekuasaan. Sebagian bullying
telah dilihat sebagai agresi proaktif karena mengganggu dengan mencari target mereka,
dengan sedikit provokasi dan dilakukan untuk waktu yang lama (Espelage dan Holt,
2007).
Solberg & Olweus (2003) menyatakan bahwa perilaku bullying terbagi atas :
a.

Verbal Bullying, Perilaku ini ditunjukkan dengan mengatakan sesuatu untuk
menyakiti atau menertawakan seseorang (menjadikan bahan lelucon)


6

dengan menyebutkan atau menyapa dengan nama yang menyakiti hati
seseorang, menceritakan kebohongan atau menyebarkan rumor yang keliru
tentang seseorang.
b.

Indirect, Perilaku ini ditunjukkan dengan adanya penolakan terhadap
seseorang atau dengan mengeluarkan seseorang dari kelompok pertemanan
atau meninggalkannya dari berbagai hal secara sengaja atau mengirim
catatan dan mencoba membuat siswa yang lain tidak menyukai orang
tersebut.

c.

Physical, perilaku ini ditunjukkan dengan menendang , memukul,
mendorong, mempermainkan, atau meneror dan melakukan hal-hal yang
bertujuan menyakiti.


Garrett

(2003)

menyebutkan

faktor–faktor

yang

dapat

mempengaruhi

munculnya perilaku bullying adalah faktor keluarga, faktor sekolah, faktor komunitas
atau lingkungan masyarakat dan faktor kepribadian yang didalamnya termasuk

kurangnya empati. Empati sendiri merupakan respon afektif dan kognitif yang
kompleks pada distress emosional orang lain. Empati termasuk dalam kemampuan
untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpati dan mencoba
menyelesaikan masalah serta, mengambil perspektif orang lain (Davis dalam
Andreansyah, 2012)
Para teoritikus kontemporer (dalam Taufik 2012) menyatakan bahwa empati
terdiri atas dua komponen, kognitif dan afektif. Komponen kognitif sebagai perbedaan
antara mengetahui 'bagaimana' dan 'mengapa' dari perasaan orang lain. Komponen
emosional empati ditandai dengan respon emosi yang sama atau serupa dalam kaitannya
dengan pengalaman emosional yang lain. Secara khusus, komponen ini mencerminkan

7

keselarasan perasaan individu dengan perasaan orang lain atau dengan kata lain empati
afektif adalah 'perasaan' dari emosi orang lain (dalam Munož dkk, 2010).
Davis (dalam Nashori, 2008) menjelaskan empat aspek empati antara lain, yaitu:
a. Perspective taking, yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut
pandang orang lain secara spontan.
b. Fantasy, yaitu kemampuan seseorang untuk mengubah diri mereka secara
imajinatif dalam mengalami perasaan dan tindakan dari karakter khayal
dalam buku, film, dan sandiwara yang dibaca atau ditonton.
c. Empathic concern, yaitu perasaan simpati yang berorientasi kepada orang
lain dan perhatian terhadap kemalangan yang dialami orang lain.
d. Personal distress, yaitu kecemasan pribadi yang berorientasi pada diri
sendiri serta kegelisahan dalam menghadapi setting interpersonal tidak
menyenangkan. Personal distress bisa disebut empati negatif (negative
empathic).
HUBUNGAN ANTARA EMPATI DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU
BULLYING
Pada tahapannya proses empati menunjukkan jika seseorang mampu merasakan
bagaimana ia berada dalam posisi sebagai korban, akan menghambat atau menahan
dirinya untuk membully orang lain seperti yang dijelaskan Jolliffe dan Farrington
(2006) berempati memberikan atau menjadikan individu yang berbagi atau memahami
reaksi emosional negatif orang lain (yang terjadi akibat bullying mereka sendiri) dapat
dihambat dan kurang cenderung untuk melanjutkan perilaku ini atau menjadi
pengganggu di masa depan. Pandangan ini didukung oleh sejumlah peneliti seperti
Olweus (1993), yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan bullying memiliki
empati yang rendah (dalam Jolliffe dan Farrington, 2006 dan Munoz, 2010) sebab

8

individu yang memiliki respon empatik akan menghambat perilaku agresif karena ia
mampu berbagi dalam emosi dan penderitaan korban. Dengan kata lain, semakin kita
masuk ke dalam keadaan emosional orang lain, keinginan untuk menyakiti orang lain
akan berkurang
Sama halnya dengan yang di ungkapkan Feshbach (dalam Jolliffe dan
Farrington, 2006) bahwa kurangnya empati dapat menjadi penyebab perilaku agresif.
salah satunya adalah perilaku bullying. Hubungan yang diusulkan antara empati yang
rendah dan bullying, didasarkan pada kesamaan kerangka teori seperti hubungan antara
rendahnya empati dan perilaku antisosial, artinya mereka yang menggertak orang lain
memiliki empati yang kurang dari mereka yang tidak. Hal ini karena individu yang
berbagi dan/atau memahami reaksi emosional yang negatif, yang terjadi sebagai akibat
bullying sendiri, dapat menghambat individu tersebut untuk melakukan bullying di masa
mendatang.
Berdasarkan pendapat dan penelitian diatas, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini ialah ada hubungan negatif yang signifikan antara empati dengan
kecenderungan perilaku bullying pada siswa di SMA Negeri 1 Kupang Timur.

METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Jenis

penelitian

ini

adalah

penelitian

kuantitatif

dengan

variabel

dependent/terikat adalah kecenderungan perilaku bullying sedangkan variabel
Independent/bebas adalah empati.
Adapun definisi operasional dari kecenderungan perilaku bullying adalah
frekuensi terhadap penggunaan kekuatan atau status oleh sesorang untuk melukai,

9

mengancam, atau mempermalukan orang lain secara verbal, indirect dan physical yang
diakukan secara berulang.
Empati adalah skor terhadap kemampuan untuk merasakan keadaan emosional
orang lain, merasa simpati dan mencoba menyelesaikan masalah serta, mengambil
perspektif orang lain tanpa kehilangan kontrol dirinya.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah Siswa-siswi kelas X, XI XII SMAN 1
Kupang Timur yang berjumlah 1005 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara
stratified sampling propotional (Azwar, 2010) berdasarkan penentuan jumlah sampel
menurut Isaac dan Michael dengan tingkat kesalahan 5% (Sugiyono, 2012) maka
sampel yang diambil dari populasi masing–masing tingkat kelas adalah sebagai berikut
Kelas X

: 327 / 1005 x 258 = 83,9 = 84

Kelas XI

: 338 / 1005 x 258 = 86,8 = 87

Kelas XII

: 339 / 1005 x 258 = 87,03 = 87

Berdasarkan ketentuan tersebut maka total sampel dalam penelitian ini
berjumlah 258 responden.
Pengukuran
Tipe kuesioner yang digunakan adalah Self-Administrated Questionnaire, yaitu
kuesioner yang diisi sendiri oleh responden. Alat ukur yang digunakan untuk
mengumpulkan data subjek penelitian adalah :
1.

Perilaku bullying diukur dengan menggunakan bullying subsscale Olweus
Bullying Questionnaire yang telah direvisi (Livesey, dkk). Skala ini terdiri
atas bentuk-bentuk perilaku bullying yaitu Verbal Bullying, Indirect dan
Physical yang terdiri dari 15 item dengan nilai reliabilitasnya

= 0,87.

10

Pengujian skala bullying dilakukan satu kali dengan perolehan niai alpha
adalah

= 0,847, tanpa item gugur (α>0,25 ). Nilai korelasi bergerak dari

0,271-0,589
2.

Empati diukur dengan Empathy Questionnaire yang terdiri dari 28 item
dengan 9 item unfavorable dan 19 item favorable. Skala ini terdiri atas
aspek–aspek empati yaitu perspective taking, fantasy, empathic concern,
dan personal distress (dengan reliabilitas masing-masing aspek,

> 0,70)

Pengujian skala empati dilakukan tiga kali pengujian. Pada pengujian
pertama

= 0,827 dengan 5 item α 0,05). Variabel

Bullying memiliki nilai Asymp. Sig. (2-tailed) sebesar 0,000 ( < 0,05). Hal ini

menggambarkan bahwa distribusi atau sebaran data variabel empati normal sedangkan
variabel bullying tidak normal.

11

Uji Lineritas
Hasil uji lineritas dapat ditentukan dengan melihat nilai Asymp. Sig (2-tailed)
yaitu p>0,05. Berdasarkan perhitungan diperoleh nilai signifikansi 0,015 (p