T1 802009105 Full text

KONTROL DIRI TERHADAP MUNCULNYA PERILAKU SEKSUAL PADA PRIA
DEWASA AWAL LAJANG

Ana Elisabet Dumauli Pasaribu
Chr. Hari Soetjiningsih
Ratriana Yuliastuti Endang Kusumiati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2014

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kontrol diri yang dilakukan oleh pria
dewasa awal yang masih lajang jika keingian akan doronagan seksual dalam dirinya
muncul. Partisipan dalam penelitian ini adalah pria dewasa yang belum menikah serta tidak
memiliki pasangan dan berusia 25 hingga 35 tahun. Pengumpulan data menggunakan
metode kualitatif dengan wawancara dan observasi. Menggunakan aspek-aspek kontrol diri
dari Averill (1971), hasil penelitian menunjukan kontrol diri kedua partisipan muncul saat

berusia 27 tahun. Kontrol diri yang dilakukan oleh kedua partisipan adalah kontrol perilaku,
kontrol kognitif dan mengontrol keputusan. Faktor-faktor yang memengaruhi kontrol diri
pada kedua partisipan adalah faktor internal (kedua partisipan sudah berada dalam titik
jenuh, kedua partisipan ingin berubah) dan faktor eksternal (lingkungan disekitar
partisipan).
Kata Kunci

: kontrol diri, pria dewasa awal, lajang, perilaku seksual

Abstract
This study examines how self controls which are done by single early adult men during the
emergence of sexual interest. The participant of this study are two unmarried single men
ranged from 25 to 35 years old. The data collection is qualitative method with the use of
interviews and observation as the instruments. Referring to self control aspects from Averill
(1971), the finding shows that self controls, such as behavior control, cognitive control, and
decision control, from both participants arised when they were 27 years old. Factors that
affect self controls of both participants are internal factor (both participants came to their
saturation point and desired a change) and external factor (environment around the
participants).
Keywords: self control,early adult men,single, sexual behavior


ii

1

PENDAHULUAN
Memasuki masa dewasa awal adalah tahap baru dari sebuah kehidupan. Baik laki-laki
maupun perempuan memiliki tugas perkembangan yang masing-masing harus dilakukan dengan
sebaik-baiknya. Turner dan Helms (dalam Fransisca Iriani & Ninawati, 2005) mengatakan, Masa
ini merupakan tanda bahwa telah tiba saat bagi individu untuk dapat mengambil bagian dalam
tujuan hidup yang telah dipilih dan menemukan kedudukan dirinya dalam kehidupan. Tugas
perkembangan pada dewasa awal adalah menjalin hubungan intim, baik dengan lawan jenis
maupun sesama jenis (Papalia & Olds, 1995; Emmons, & Colby, 1995), memilih jodoh, belajar
hidup dengan suami atau istri, mulai membentuk keluarga, mengasuh anak, mengemudikan
rumah tangga, menemukan kelompok sosial, menerima tanggung jawab warga negara, dan mulai
bekerja (Monks, Knoers & Haditono, 1996). Individu dewasa awal menjalin interaksi sosial yang
lebih luas, individu mampu melibatkan diri dalam hubungan bersama yang memungkinkan
individu saling berbagi hidup dengan seorang mitra yang intim (Hall & Lindzey, 1993).
Hubungan cinta menjadi fokus utama intimasi sebagian besar individu dewasa muda baik
laki-laki maupun perempuan (Schaie & Willis, 1991). Havighurst (dalam Hurlock, 2004)

mengatakan, Hubungan cinta tersebut terkait dengan tugas perkembangan masa dewasa awal
untuk memilih pasangan guna menikah dengan pasangan yang dipilih individu. Meskipun pada
tugas perkembangan di masa dewasa awal seseorang akan memutuskan untuk memulai
membentuk keluarga baru dengan pasangannya, tidak semua orang memutuskan untuk
membentuk sebuah keluarga baru dan memulai kehidupan baru dengan pasangannya. Survei
yang dilakukan oleh majalah The Economist pada tahun 2011 yang dimuat disitus berita online
vivanews.com menunjukan angka pernikahan di Asia dari tahun ke tahun menurun karena
semakin banyak orang yang memutuskan untuk menunda menikah. Banyak orang Asia yang

2

bahkan memutuskan untuk tidak menikah karena merasa hidup melajang jauh lebih
menyenangkan. Berdasarkan data statistik, pada tahun 2010 penduduk Jakarta berusia 15-49
tahun yang membujang atau sekarang yang dikenal dengan istilah lajang jumlahnya sekitar
38,71%. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2009 yang jumlahnya hanya
38,07% (www.bps.go.id).
Banyak permasalahan yang timbul dari pilihan hidup melajang salah satunya adalah
permasalahan biologis yang berkaitan dengan penyaluran hasrat seksual yang dimiliki semua
orang baik pria ataupun wanita terlebih lagi pada diri seorang pria. Analisis lebih lanjut yang
dilakukan oleh The Greater Jakarta Transition to Adulthood Survey pada tahun 2010,

menunjukkan bahwa kejadian hubungan seksual pra nikah pertama kali secara signifikan lebih
tinggi terjadi pada pria. Mengenai usia responden, analisa menunjukkan bahwa dibandingkan
dengan mereka yang berusia 25-29 tahun, usia 20-24 tahun mempunyai tingkat melakukan
hubungan seksual pertama kali lebih tinggi yang mengindikasikan adanya kenaikan seiring
berjalannya waktu. Penelitian yang dilakukan oleh berbagai institusi di Indonesia selama kurun
waktu tahun 1993-2002, menemukan bahwa 5-10% wanita dan 18-38% pria muda berusia 16-24
tahun telah melakukan hubungan seksual pranikah dengan pasangan yang seusia mereka 3-5 kali
(Suryoputro, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh The Kinsey Institute Indiana University yang
dimuat disitus berita online kompas.com menunjukkan 54 persen pria memikirkan seks sekitar
tiga kali dalam satu hari, dari jumlah tersebut, 43 persen pria melakukannya beberapa kali dalam
seminggu, dan sisanya hanya sekali dalam sebulan. Bukti temuan dari survey The Greater
Jakarta Transition to Adulthood Survey pada tahun 2010 menunjukkan bahwa 11 persen dari
para responden yang tidak pernah menikah dan sekitar 10 persen dari responden yang telah
menikah telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Diantara mereka yang tidak

3

pernah menikah, hanya 5 persen dari para perempuan yang dilaporkan telah melakukan
hubungan seksual dibandingkan 16 persen laki-laki.
Pada dasarnya perilaku seksual dapat dikelompokan menjadi empat kategori, yaitu

kissing (berciuman), necking (berpelukan), petting (bercumbu), intercrouse (berhubungan badan)
(Sarwono, 2007). Beberapa faktor yang memengaruhi perilaku seksual menurut Suryoputro dkk
(2007), adalah faktor personal seperti pengetahuan, sikap seksual dan gender, kerentanan
terhadap risiko kesehatan reproduksi, gaya hidup, harga diri, locus control, kegiatan sosial, selfefficacy dan variabel demografi (umur pubertas, jenis kelamin, status religiusitas, suku dan
perkawinan) serta faktor lingkungan termasuk variabel seperti akses dan kontak dengan sumber,
dukungan dan informasi, sosial budaya, nilai dan norma sebagai dukungan sosial. Suwarti
(2010) mengemukakan bahwa secara garis besar perilaku seksual tidak hanya terletak pada
faktor eksternal seperti lingkungan dan pergaulan saja, namun juga berkaitan dengan faktor
internal atau berasal dari diri individu itu sendiri, salah satunya adalah kontrol diri. Hurlock
(dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menjelaskan bahwa kontrol diri berkaitan dengan
bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan-dorongan dari dalam dirinya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mitchell (2012) menunjukan bahwa kontrol diri
dapat mengatur keinginan yang kuat terhadap keinginan seksual.

Kontrol diri tampak nyata

berperan dalam mengatur keinginan-keinginan seksual dalam diri seseorang. Kontrol diri
diperlukan guna membantu individu dalam mengatasi kemampuannya yang terbatas dan
mengatasi berbagai hal merugikan yang mungkin terjadi yang berasal dari luar (Ghufron, 2010).
Kern (dalam Dwilaksono & Rahardjo, 2013) menemukan sikap dari kontrol diri yang rendah

pada remaja yang hubungannya dengan keterlibatan dalam aktivitas seksual (hubungan seksual)

4

dan banyaknya pasangan seks. Remaja yang dilaporkan memiliki level kontrol diri yang rendah
lebih memungkin aktif secara seksual dan memiliki jumlah partner seks yang lebih banyak.
Menurut Berk (1993), kontrol diri adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan
atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma
sosial. Kontrol diri merupakan seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan
mengubah diri pribadi, keberhasilan menangkal pengrusakan diri (self-destructive), perasaan
mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh orang lain,
kebebasan menentukan tujuan , kemampuan untuk memisahkan perasaan dan pikiran rasional,
serta seperangkat tingkah laku yang berfokus pada tanggung jawab atas diri pribadi (Messina dan
Messina, 2003).
Kontrol diri menurut Averill (1973), terdiri dalam tiga aspek yaitu Kontrol Perilaku
(Behavior Control) yaitu kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat secara langsung
memengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan, Kontrol Kognitif
(Cognitive Control) merupakan kemampuan individu dalam mengolah informasi yang tidak
diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau menghubungkan suatu kejadian dalam
suatu kerangka kognitif untuk mengurangi tekanan, dan Kontrol Keputusan (Decisional Control)

merupakan kemampuan seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada
sesuatu yang diyakini atau disetujuinya. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi kontrol diri
yaitu membatasi perhatian individu kepada orang lain, membatasi keinginan individu untuk
mengendalikan orang lain dilingkungannya, membatasi individu untuk bertingkah laku negatif,
membantu individu untuk memenuhui kebutuhan hidup secara seimbang (Messina dan Messiana,
2003).

5

Melihat penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa kontrol diri yang tinggi akan
mengatur keinginan terhadap perilaku seksual serta melihat banyaknya fenomena-fenomena
yang terjadi pada pria dewasa muda yang belum menikah terhadap perilaku seksual maka,
peneliti ingin mengetahui bagaimana kontrol diri pada pria dewasa muda lajang serta fakorfaktor yang memengaruhi kontrol diri tersebut.
METODE
Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian studi kasus (case study). Teknik yang
digunakan untuk menentukan partisipan penelitian adalah purposive sampling.
Partisipan
Karakteristik partisipan pada penelitian ini adalah pria dewasa muda yang belum
menikah atau lajang dan berusia 25 hingga 35 tahun.

Inisial nama

BG

DR

Jenis kelamin

Laki-laki

Laki-laki

Tempat, tanggal lahir

Semarang, 12 Oktober 1983

Brebes, 19 Desember 1983

Pendidikan


S1-Hukum

SMA

Usia

31 tahun

31 tahun

Agama

Katolik

Islam

Alamat

Semarang


Semarang

Anak ke

2 dari 3 bersaudara

1 dari 4 bersaudara

Tabel 1. Gambaran Umum partisipan Penelitian

6

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan wawancara
dan observasi. Observasi dan wawancara partisipan pertama dilakukan dalam tiga tahap, tahap
pertama pada tanggal 9 Mei 2014, tahap kedua pada tanggal 7 September 2014, tahap ketiga
pada tanggal 11 Oktober 2014. Wawancara dan observasi partisipan kedua dilakukan mulai 1
November 2014 dan tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 8 November 2014. Untuk menguji
keabsahan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengecekan anggota (member
check). Teknik pengecekan anggota (member check) dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober dan

16 November 2014.
HASIL PENELITIAN
Paritisipan dalam penelitan ini berjumlah dua orang. Partisipan pertama berinisial BG
adalah anak ke-2 dari 3 bersaudara. Hubungan partisipan pertama dengan kedua orangtua dan
saudaranya sangat baik. Partisipan bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang ada di kota
Semarang. Sehari-harinya partisipan tinggal dirumah dinas yang disediakan oleh perusahaannya
sehingga membuat partisipan jarang pulang kerumah orangtuanya. Meskipun jarang pulang
kerumah, setiap akhir pekan partisipan menyempatkan untuk pulang kerumah supaya dapat
berkumpul dengan keluarganya dan pergi ke gereja bersama-sama.
Saat ini partisipan tidak mempunyai pasangan baik itu pacar maupun seorang istri
(lajang. Partisipan mempunyai pacar untuk pertama kalinya saat duduk dibangku SMP. Gaya
berpacaran partisipan saat duduk dibangku SMP sudah mulai menjurus ke gaya berpacaran yang
bebas, terbukti partisipan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalinya saat dia masih
duduk dibangku SMP sekitar usia 14 tahun. Saat itu partisipan tidak pernah berpikir jika dirinya
akan melakukan hubungan seksual dengan pacarnya karena keduanya sama-sama masih duduk

7

dibangku SMP. Berawal dari obrolan-obrolan ringan, saling bercanda dan akhirnya mereka
melakukan hubungan seksual tersebut dengan begitu saja. Perasaan takut dan bersalah bercampur
menjadi satu setelah partisipan melakukan hal tersebut, rasa takut jika sang pacar nantinya akan
hamil dan rasa bersalah kepada kedua orangtuanya. Namun, setelah beberapa waktu berjalan dan
pacar partisipan terbukti tidak hamil, perasaan bersalah dan takut tersebut hilang dan partisipan
mulai melakukan hal tersebut lagi karena partisipan merasakan suatu kenikmatan jika melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenis.
Saat partisipan duduk dibangku perkuliahan, intensitas melakukan hubungan seksual baik
itu bersama pasangannya maupun dengan bermasturbasi semakin meningkat. partisipan pertama
mengaku bisa melakukan aktifitas seksual seperti kissing (berciuman), necking (berpelukan),
petting (bercumbu) dimana saja seperti di tangga kampus, ruang kelas, perpustakaan bahkan
kamar mandi. Dalam sehari partisipan dapat bermasturbasi lebih dari satu kali yang berarti,
dalam seminggu partisipan bisa melakukan mastubasi lebih dari tujuh kali. Diusia 14-27 tahun,
partisipan pertama tidak bisa mengontrol keingiannya terhadap dorongan seksual yang ada dalam
dirinya. Faktor lingkungan yang sangat memengaruhi partisipan terhadap pengambilan
keputusan dalam dirinya yang berkaiatan dengan dorongan seksual. Lingkungan di sekitar
partisipan sangat mendukungnya untuk melepaskan dorongan seksual tersebut dalam bentuk
“hubungan seksual” dengan pasangannya. Menginjak usia 27 tahun, partisipan mulai bisa
mengontrol keinginan-keinginan yang kuat akan dorongan seksual yang muncul dalam dirinya.
partisipan mulai bertemu dengan orang-orang baru di lingkungan kerjanya, dan partisipan harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan orang-orang baru dalam kehidupannya.
Kesibukkan partisipan dengan pekerjaannya, hobi-hobi baru partisipan yang mulai muncul saat
partisipan bekerja serta orang-orang hebat yang partisipan anggap adalah faktor yang mengontrol

8

keinginan-keinginan partisipan untuk tidak sering melakukan aktivitas-aktivitas seksual.
Memasuki usia 30 tahun, partisipan lebih baik dalam mengontrol keinginannya akan dorongan
seksual yang kuat dari dalam dirinya. Pemikiran partisipan terhadap aktifitas seksual mulai
berubah dan partisipan merasa jika dirinya sudah berada dalam satu titik jenuh terhadap hal-hal
yang berkaitan dengan aktifitas-aktifitas seksual.
Partisipan kedua adalah DR, ia anak pertama dari empat bersaudara, kedua orangtua
partisipan sudah meningggal 10 tahun yang lalu sehingga partisipan menjadi tulang punggung di
keluarganya untuk menghidupi ketiga adiknya. Partisipan berasal dari Bandung dan bekerja di
sebuah perusahaan BUMN yang berada di kota Semarang. Partisipan tinggal dirumah dinas yang
disediakan oleh kantornya. Partisipan kedua ini pun juga tidak mempunyai pasangan baik itu
pacar maupun istri (lajang). Partisipan pertama kali berpacaran saat berusia 20 tahun dan gaya
berpacarannya saat usia tersebut masih sangat wajar, hanya berkomunikasi melalui handphone
dan jalan bersama pasanganya. Ketika partisipan berusia kurang dari 20 tahun, saat kedua
orangtuanya masih hidup, partisipan sangat membatasi pergaulannya, partisipan jarang keluar
rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya, dengan kata lain pada usia tersebut partisipan
belum mengerti tentang luasnya pergaulan dunia luar. Setelah kedua orangtua partispan
meninggal, barulah partisipan keluar dari zona nyamannya dan mulai bekerja untuk bisa
menghidupi adik-adiknya. Diusia 24 tahun partisipan mulai mengerti apa itu seks bebas, minumminuman keras dan obat-obatan terlarang, karena lingkungan sekitar yang sangat memengaruhi
perubahan perilaku dan gaya hidup partisipan pada saat itu. Gaya berpacaran partisipan pun
sudah sangat berubah, partisipan melakukan hubungan seksual untuk pertama kalianya pada usia
24 tahun. Saat itu semuanya berjalan begitu saja tanpa ada rencana sebelumnya, setelah
melakukan hubungan seksual tersebut keduanya memiliki rasa penyesalan. Namun penyesalan

9

tersebut bersifat sementara karena setiap kali partisipan memiliki pasangan, partisipan selalu
melakukan hubunganan seksual dengan pasanganya hingga partisipan berusia 30 tahun. Sebelum
berusia 30 tahun, partisipan belum bisa mengontrol keinginan-keinginan yang berkaitan dengan
hasrat seksual, setelah melakukan hubungan seksual dengan pasangannya partispan merasa lega
karena semua keinginan dalam dirinya bisa terlepaskan. Saat melakukan hubungan seksual
partisipan tidak pernah menggunakan alat pengaman, dan jika ada dorongan untuk melakukan
hubungan seksual datang namun partisipan tidak mempunyai pasangan, maka partisipan akan
melakukan masturbasi. Diusia 31 tahun ini, partisipan sudah bisa mengontrol keingian yang
berkaitan dengan dorongan seksual, partisipan akan mengubah pemikiran-pemikrannya kehal-hal
yang lebih baik dan mengubah perilakunya keperilaku yang lebih bermanfaat seperti, membaca
buku, bermain game, berkumpul dengan teman-teman, menonton tv dan memancing.
Kontrol perilaku (Behavior Control) yang terjadi diantara kedua partisipan dapat
terlihat dari perubahan perilaku yang mereka lakukan jika ada hasrat seksual dalam diri mereka
muncul. Partisipan pertama akan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat seperti
mengembangkan hobinya dalam bidang olahraga dan memancing. Partisipan pertama memiliki
hobi bermain futsal, bola voli, bermain golf dan memancing jika ada kesempatan partisipan
pertama akan menyempatkan diri untuk melakukan hobinya tersebut. “dorongan kuat ya.. tapi
nggak punya pasangan kan? Ya seperti itu. Aku lebih larinya ke olahraga”. Jika partisipan
pertama tidak memiliki waktu untuk melakukan hobinya tersebut dan dorongan seksual dalam
diri partisipan sangat kuat maka partisipan akan memutuskan untuk melakukan masturbasi. “ya
udah larinya ke olahraga itu tadi, ya tapi nggak menutup kemungkinan ya cowok kalo terpaksa
ya itu masturbasi”. Sekarang ini partisipan pertama sudah jarang melakukan masturbasi,
partisipan lebih memilih untuk melakukan hobinya ketimbang melakukan masturbasi.

10

Seperti halnya partisipan pertama, partisipan kedua juga akan merubah perilakuperilakunya dengan melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat jika dorongan yang berkaitan
dengan hasrat seksual muncul. Saat dorongan seksual muncul partisipan kedua akan melakukan
hobi-hobinya seperti membaca buku, bermain game, memancing, berkumpul dengan temantemanya untuk sekedar mengobrol. Partisipan kedua lebih memilih melakukan hobinya
ketimbang melakukan masturbasi karena jika partisipan melakukan masturbsi ia akan mengalami
sakit yang luar biasa disekitar daerah perutnya. “sesekali pernah gitu, pernah kayak apa..
mansturbasi aku pernah ngalami gitu, ya eee.. tapi dari rasa seperti itu aku yang aku alami itu
ternyata sakit”. Partisipan memiliki riwayat penyakit yang cukup serius karena partisipan pernah
menjalani operasi pengangakatan ginjal. Hal tersebut yang menyebabkan rasa sakit disekitar
perut muncul jika partisipan melakukan masturbasi.
Selain kontrol perilaku, Kontrol Kognitif (Cognitive Control) muncul dalam kedua
partisipan saat dorongan seksual dalam diri mereka muncul. Kedua partisipan menilai setiap hal
yang mereka dapatkan sebelum mereka melakukan hal tersebut. Pada partisipan pertama jika
mendapatkan rangsang yang berkaitan dengan hasrat seksual, pertisipan tidak langsung
terangsang dengan hal tersebut namun akan melihat dan menilai hal tersebut terlebih dahulu. Jika
dorongan seksual dalam diri partisipan pertama muncul sedangkan saat ini partisipan tidak
memiliki pasangan, partisipan tidak pernah mencoba melakukan hubungan seksual dengan PSK
(Pekerja Seks Komersial). Partisipan memiliki pemikiran bahwa jika ia melakukan hubungan
seksual dengan PSK bisa membuat dirinya tertular penyakit menular seksual. “nggak… terlalu
beresiko haha (tertawa)”. Maka dari itu jika partisipan tidak mempunyai waktu untuk
menyalurkan hobinya tersebut, partisipan lebih memilih untuk melakukan masturbasi. Tidak jauh
berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua juga memiliki pemikiran yang sama dengan

11

partisipan pertama. Partisipan kedua juga tidak pernah melakukan hubungan seksual dengan
seorang PSK jika dorongan seksual dalam dirinya muncul. Partisipan kedua pun beranggapan,
jika melakukan hubungan badan dengan seorang PSK akan membuat dirinya tertular peyakit
menular seksual. “aku belum, karna gimana ya aku malah takut aku takut”. Partisipan lebih
memilih melakukan dan mengembangkan hobinya ketimbang melakukan hubungan badan
dengan seorang PSK.
Kedua partisipan tidak mudah terangsang dengan rangsang-rangsang yang datangnya dari
hal-hal yang belum mereka kenal, mereka hanya melakukan perilaku-perilaku seksual seperti
kissing (berciuman), necking (berpelukan), petting (bercumbu) hingga intercrouse (berhubungan
badan) dengan pasangan mereka saja. Kedua partisipan menganggap jika melakukan perilakuperilaku seksual tersebut hanya dengan pasangan mereka, akan membuat mereka memiliki
sedikit resiko tertular penyakit menular seksual.
Pada kedua partisipan, keputusan untuk memilih tidakan berdasarkan keyakinan mereka
(Decisional Control) ketika dorongan seksual muncul pada diri masing-masing dari mereka
adalah dengan melakukan hubungan seksual jika memiliki pasangan atau menjalankan aktivitas
yang lebih bermanfaat seperti mengembangkan hobi mereka dan jika kedua hal tersebut tidak
bisa dilakukan oleh kedua partisipan maka partisipan akan memilih jalan untuk melakukan
masturbasi. Pada partisipan pertama, keputusan untuk melakukan masturbasi adalah keputusan
terakhir yang akan diambil jika partisipan tidak mempunyai pasangan. Namun, diusia partisipan
yang sekarang, partisipan lebih memilih untuk mengembangkan hobinya karena partisipan
pertama mulai merasakan kejenuhan melakukan hal-hal yang seperti itu. Tidak jauh berbeda
dengan partisipan pertama, partisipan kedua akan lebih memilih untuk mengembangkan hobihobinya ketimbang melakukan masturbasi saat dorongan seksual dalam dirinya muncul.

12

Sekarang ini partisipan kedua tidak bisa merasakan nikmatnya melakukan masturbasi dan jika
partisipan tetap melakukannya, partisipan akan merasakan kesakitan didaerah sekitar perutnya
karena partisipan pernah menjalani operasi pengangkatan ginjal.
Di awal pertemuan, partisipan pertama BG masih ragu-ragu untuk menyetujui jika
dirinya akan dijadikan partisipan dalam penelitian peneliti, namun peneliti berusaha meyakinkan
partisipan pertama jika penelitian hanya ingin mengungkap kontrol diri yang dilakukan
partisipan jika keingian untuk melakukan hubungan seksual itu muncul. Setelah partisipan
percaya kepada peneliti dan rapport sudah terjalin dengan baik barulah peneliti membuat janji
dengan partisipan untuk melakukan wawancara penelitian. Pada proses pengambilan data yang
pertama, partisipan pertama menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti masih dengan
malu-malu dan ragu-ragu, sesekali partisipan memberikan jawaban kepada peneliti dengan nada
bercanda. Selama proses penelitian berlangsung partisipan sering mendapatkan pasan singkat
dari handphone-nya dan parisipan membalas pesan singkat tersebut tanpa melalaikan
pertanyaan-pertanyaan peneliti dan tetap menjawab pertanyaan-pertanyan tersebut dengan baik.
Ketika proses pengambilan data berlangsung, selain menjawab pesan singkat dari handphonenya partisipan juga sering merokok. Selama proses penelitian berlangsung peneliti melakukan
kontak mata dengan partisipan, kontak mata partisipan selama proses penelitian berlangsung
masih sering melihat lingkungan sekitar namun sesekali kontak mata partisipan melihat kontak
mata peneliti.
Pada proses pengambilan data yang kedua, partisipan kedua mulai merasa lebih nyaman
dan lebih terbuka lagi dengan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi. Dalam menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh peneliti, partisipan pertama sudah tidak ragu-ragu lagi dan mulai
menceritakan kehidupannya 10 tahun yang lalu. Mimik wajah dan nada suara partisipan pertama

13

menunjukan keseriusan dan partisipan mulai terlihat bersalah dan menyesal dengan masa lalu
yang seperti itu. Sesekali partisipan memegang handphone-nya, meminum kopi yang berada
diatas meja serta beberapa kali merokok. Secara keseluruhan proses pengambilan data berjalan
baik dan lancar. Pada setiap kali pertemuan, peneliti didampingi oleh kakak peneliti karena
partisipan pertama merupakan teman dari kakak peneliti.
Pada partisipan kedua DR, tidak ada kendala yang berarti selama proses pengambilan
data berlangsung. Sebelum pengambilan data berlangsung partisipan kedua dikenalkan oleh
partisipan pertama (BG) kepada peneliti. Partisipan kedua adalah teman sekantor partisipan
pertama, peneliti tidak begitu sulit untuk menjelaskan lagi tujuan dari penelitian ini karena
sebelumnya partisipan pertama sudah menjelaskan terlebih dahulu kepada partisipan kedua.
Sama dengan partisipan pertama, saat pengambilan data yang pertama dilakukan partisipan
kedua masih menjawab pertanyaan peneliti dengan malu-malu, ragu-ragu dan agak sedikit kaku.
Setelah berjalannya waktu,cara menjawab partisipan mulai berubah dan partisipan mulai bisa
terbukan oleh peneliti. Selama proses penelitian berlangsung, partisipan sering sekali merokok.
Kontak mata partisipan saat pengambilan data berlangsung sering melihat lingkungan sekitar dan
jarang sekali melihat kearah kontak mata peneliti.
Pada pengambilan data yang kedua, partisipan kedua sudah banyak berbicara dengan
peneliti. Cara menjawab partisipan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh peneliti
lebih lugas dan lebih terbuka dibanding pertemuan sebelumnya. Mimik wajah dan nada suara
partisipan sangat serius ketika partisipan mulai menceritakan kehidupannya di 10 tahun
kebelakang. Sama dengan pertemuan sebelumnya, pada pertemuan kali ini partisipan sering
sekali merokok. Selama proses penelitian berlangsung partisipan bisa menghabiskan satu

14

bungkus rokok. pada setiap kali pertemuan, peneliti selalu didampingi oleh kakak peneliti dan
partisipan pertama.
Setelah proses pengambilan data selesai, peneliti melakukan member check dengan kedua
partisipan. Pada partisipan pertama member check dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2014,
pada awal pertemuan peneliti menjelaskan kepada partisipan hal-hal yang akan dilakukan pada
pertemuan tersebut. Setelah memahami penjelasan peneliti, partisipan kemudian membaca
bendel transkrip wawancara. Partisipan menyetujui kesesuaian data dengan realita yang telah
terjadi. Partisipan kedua melakukan member check pada tanggal 16 November 2014, proses
member check untuk partisipan kedua tidak jauh berbeda dengan partisipan pertama. Sebelumnya
peneliti menjelaskan kepada partisipan maksud dan tujuan melakukan pertemuan tersebut.
Setelah memahami penjelasan peneliti, partisipan pun mulai membaca transkrip wawancara.
Partisipan kedua pun menyetujui kesesuainan data dengan realita yang telah terjadi.
Kedua partisipan memiliki karakteristik yang sama diantaranya, keduanya adalah pria
lajang yang berusia 31 tahun, sama-sama tidak memiliki pasangan baik itu kekasih maupun
seorang istri serta kedua partisipan tinggal di lingkungan yang sama karena keduanya bekerja
disatu perusahaan yang sama.
PEMBAHASAN
Fokus pada penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana kontrol diri yang dilakukan
oleh pria dewasa muda awal serta faktor-faktor yang memengaruhi kontrol diri yang dilakukan
oleh kedua partisipan. Kedua partisipan memahami dengan jelas pengetahuan mengenai
perilaku-perilaku seksual serta kedua partisipan pernah melakukan perilaku-perilaku seksual
tersebut. Menurut kedua partisipan adalah hal yang wajar bila melakukan berbagai jenis
perilaku-perilaku seksual pada era modern sekarang ini. Kehidupan sosial kedua partisipan

15

adalah kehidupan sosial yang modern dengan mulai lunturnya norma-norma sosial dan normanorma tersebut sudah tidak berpengaruh lagi dalam masyarakat modern. Hal tersebut sejalan
dengan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku seksual seseorang menurut Suryoputro,dkk
(2007) dimana, perilaku-perilaku seksual seseorang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, gaya
hidup, kehidupan sosial serta norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Saat berusia 20 tahun hingga memasuki usia 27-30 tahun, tidak ada kontrol diri yang
terjadi ketika dorongan seksual dalam diri kedua partisipan muncul. kedua partisipan akan
melepaskan dorongan-dorongan tersebut ke dalam bentuk perilaku-perilaku seksual dengan
pasangannya dan jika kedua partisipan tidak memiliki pasangan kedua partisipan akan
melakukan masturbasi. Ada perbedaan yang mencolok antara kedua partisipan dalam hal
intensitas melakukan masturbasi, saat usia 20 tahun, dalam sehari partisipan pertama dapat
melakukan masturbasi lebih dari sekali artinya dalam seminggu partisipan pertama dapat
melakukan masturbasi lebih dari tujuh kali. Berbeda dengan partisipan kedua, partisipan kedua
melakukan masturbasi hanya sekali dalam seminggu. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh The Kinsey Institute Indiana University, yang menunjukkan 54 persen pria
memikirkan seks sekitar tiga kali dalam satu hari. Dari jumlah tersebut, 43 persen pria
melakukannya beberapa kali dalam seminggu, dan sisanya hanya sekali dalam sebulan.
Memasuki usia 27 tahun, partisipan pertama mulai menemukan dunia baru dalam
hidupnya. Lingkungan sekitar partisipan mendukung partisipan untuk tidak melakukan pemuasan
terhadap dorongan seksual secara terus menerus. Partisipan mulai bekerja dan mengenal orangorang yang partisipan anggap sebagai orang hebat dan patut untuk dicontoh. Di lingkungan
kantornya, usia partisipan saat itu tergolong paling muda, teman-teman partisipan yang lain
banyak yang suudah berumah tangga karena itu partisipan pertama mulai merubah sikap yang

16

dulunya “liar” menjadi agak lebih terkontrol. Berbeda dengan partisipan pertama, partisipan
kedua tidak lagi melakukan aktivitas seksual pranikah semenjak ia berusia 30 tahun ketika
partisipan mengalami riwayat penyakit yang cukup serius hingga harus menjalani operasi
pengangkatan ginjal. Partisipan mulai sadar jika melakukan hal-hal yang menyangkut
pemenuhan dorongan seksual bukanlah hal yang terutama namun ada hal-hal lain yang lebih
berguna untuk dilakukan.
Kedua partisipan mulai mengontrol perilaku mereka terhadap datangnya dorongandorongan seksual saat memasuki usia 27 dan 30 tahun. Kedua partisipan akan memilih
mengembangkan hobi mereka dibidang olahraga seperti bermain futsal, golf, memancing serta
membaca buku, bermain game, menonton tv, ataupun berkumpul dengan teman-teman untuk
mengobrol dan minum kopi bersama. Kontrol perilaku ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Averill (dalam Ghufron, 2010), merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang dapat
secara langsung memengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang tidak menyenangkan.
Perubahan perilaku yang dilakukan oleh kedua partisipan didapatkan dari pengolahan
informasi-informasi yang tidak mereka inginkan dengan cara menilai, atau menghubungkan
suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif untuk mengurangi tekanan (Averill dalam
Ghufron, 2010). Jika kedua partisipan mendapatkan rangsang yang berhubungan dengan
dorongan-dorangan seksual, keduanya tidak langsung melepaskan dorongan-dorongan tersebut
kedalam bentuk perilaku-perilaku seksual. Saat kedua partisipan melihat seorang wanita cantik
dengan postur tubuh yang seksi dan wanita tersebut tidak mereka kenal maka, kedua partisipan
tidak akan terangsang, sebaliknya ketika kedua partisipan mengenal baik wanita tersebut dan
sudah mendapatkan chemistry dengan wanita tersebut kedua partisipan akan terangsang jika
rangsang seksual tersebut datang. Kedua partisipan memiliki pandangan tersendiri terhadap

17

wanita-wanita cantik dengan postur tubuh yang seksi, keduanya menganggap wanita-wanita
tersebut sebagai wanita “nakal” dan “menjijikan” serta, kedua partisipan menganggap jika
wanita-wanita tersebut tidak jauh berbeda dengan seorang PSK karenanya kedua partisipan tidak
pernah terangsang dengan wanita-wanita seperti itu. Kedua partisipan tidak pernah melakukan
hubungan seksual dengan seorang PSK karena menurut mereka resiko tertular penyakit menular
seksual (PMS) sangat tinggi.
Kontrol perilaku dan kontrol kognitif yang muncul dalam diri kedua partisipan, muncul
karena kedua pertisipan memilih tindakan dan pemikiran tersebut berdasarkan pada sesuatu yang
mereka yakini dan mereka setujui. Jika dorongan yang berkaitan dengan pemuasan hasrat
seksual dalam diri kedua partisipan muncul dan keduanya memiliki pasangan maka keputusan
yang kedua partisipan ambil adalah, melakukan hubungan seksual tersebut. Kedua partisipan
akan melepaskan keingiannya terhadap munculnya dorongan seksual dengan melakukan
hubungan seksual karena rata-rata pasangan partisipan memberikan respon kepada partisipan
untuk memenuhi keingiannya melakukan hubungan seksual. Apabila pasangan kedua partisipan
tidak ingin menuruti keinginan partisipan maka, kedua partisipan akan memilih untuk melakukan
masturbasi. Keputusan melakukan masturbasi didasari oleh keinginan yang muncul dari dalam
diri partisipan karena partisipan tidak mendapatkan kepuasan melakukan hubungan seksual
dengan pasangannya. Hal tersebut sejalan dengan kontrol keputusan yang dikemukakan oleh
Averill (dalam Ghufron, 2010).
Selain ketiga kontrol diri yang dikemukaan oleh Averill, ada hal lain yang ditunjukan
dalam penelitian ini yaitu tentang kepuasan seksual. Kedua partisipan menunjukan penurunan
kepuasan seksual yang mulai mereka rasakan pada usia partisipan sekarang ini. Penurunan

18

kepuasan seksual ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas seringnya melakukan
hubungan seksual dan rasa sakit ketika melakukan hubungan seksual.
Partisipan pertama merasakan kejenuhan melakukan hubungan seksual karena merasa
monoton dan mudah ditebak. Partisipan merasakan tidak adanya perbedaan saat melakukan
hubungan seksual dengan pasangan-pasangan sebelumnya. Partisipan tidak lagi merasakan
kenikmatan saat melakukan perilaku seksual karena, pertisipan sudah terlalu sering melakukan
hal tersebut semenjak partisipan memasuki masa remaja hingga berusia 27 tahun. Kesibukan
dalam hal pekerjaan yang dijalani partisipan sekarang ini juga salah satu penyebab menurunnya
kepuasan seksual dalam diri partisipan. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam penelitian yang
dilakukan oleh Masters dan Jhonsons (dalam Kusumiati, 2007), yang menjelaskan ada beberapa
alasan seseorang mengalami peningkatan sexual dysfuction diantaranya adalah, hubungan
seksual yang monoton atau membosankan, keasikan mengejar karir dan kemapanan ekonomi,
serta kelemahan mental atau fisik.
Tidak jauh berbeda dengan partisipan pertama, partisipan kedua merasakan hal yang
sama seperti yang dirasakan oleh partisipan pertama. Kepuasan seksual partisipan pertama mulai
menurun semenjak memasuki usia 30 tahun dikarenakan, setiap melakukan hubungan seksual
ataupun bermasturbasi partisipan merasakan sakit didaerah sekitar perutnya. Sakit yang
dirasakan partisipan membuat partisipan enggan melakukan hubungan seksual saat dorongan
dalam dirinya muncul. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sugandi
(2014), yang mengatakan bahwa kesehatan merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya
kepuasan seksual pada diri seseorang. Permasalahan kesehatan yang dialami oleh partisipan
karena partisipan pernah mengalami operasi pengangkatan ginjal sebelumnya menjadi faktor
pemicu menurunnya kepuasan seksual pada dirinya.

19

KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang sudah penulis lakukan, gambaran kontrol diri yang
dilakukan oleh pria dewasa awal lajang jika keinginan melakukan hubungan seksual muncul
dalah sebagai berikut: .
1.

Kedua partisipan pernah melakukan perilaku-perilaku sekual dengan pasangannya. Perilakuperilaku seksual tersebut meliputi kissing, necking, petting dan intercrouse.

2.

Partisipan pertama mulai melakukan perilaku-perilaku seksual sebelum menikah sejak
berusia 14 tahun karena orang tua partispan memberikan kebebasan kepadanya namun
setiap apa yang dikerjakan oleh partisipan harus didasari dengan tanggung jawab yang
besar, sedangkan untuk partisipan kedua mulai melakukan perilaku-perilaku seksual pada
usia 24 tahun setelah orangtua kedua partisipan meninggal.

3.

Diusia 20 hingga 27 tahun kedua partisipan belum bisa mengontrol keingian-keinginan kuat
yang berkaitan dengan dorongan-dorongan sekual. Mereka akan menuruti dorongan yang
muncul dengan melakukan perilaku-perilaku seksual dengan pasangan masing-masing dan
jika kedua partisipan tidak memiliki pasangan, mereka akan memutuskan untuk
bermasturbasi.

4.

Kedua partisipan akan merubah masing-masing perilaku mereka saat dorongan tersebut
muncul, dengan melakukan hobi mereka masing-masing (Seperti: memancing, berolahraga,
bermain game, berkumpul dengan teman-teman).

5.

Kedua partisipan tidak pernah melepaskan dorongan seksual yang ada dalam diri mereka
dalam bentuk perilaku-perilaku seksual dengan para Pekerja Seks Komersial (PSK). Kedua
partisipan memiliki rasa takut jika melakukan hal tersebut dengan seorang PSK karena
mereka akan rentan terkena Penyakit Menular Seksual (PMS).

20

6.

Selain kontrol diri yang dilakukan oleh kedua partisipan, kepuasan seksual muncul dalam
penelitian ini. Kepuasan seksual kedua partisipan mulai menurun dikarenakan seringnya
melakukan hubungan seksual, hubungan seksual yang monoton atau begitu saja, kesibukan
mengejar karir dan masalah kesehatan.
Berdasarkan penelitian yang sudah penulis lakukan, beberapa saran bagi beberapa pihak

terkait antara lain:
1.

Bagi laki-laki dan perempuan yang masih lajang diharapkan dengan penelitian ini dapat
memberikan gambaran tentang hubungan seksual pranikah.

2.

Bagi para peneliti selanjutnya, diharapkan bisa mengungungkap kontrol religiusitas yang
dilakukan oleh pria dewasa lajang terhadap munculnya perilaku-perilaku seksual.

3.

Pada penelitian selanjutnya dapat meneliti perbedaan kontrol diri yang dilakukan oleh pria
dewasa muda lajang dengan kontrol diri yang dilakukan oleh wanita muda lajang.

4.

Pada penelitian selanjutnya dapat meneliti kepuasan seksual pria yang sudah menikah yang
melakukan hubungan seksual pranikah.

21

DAFTAR PUSTAKA
Averill, J. R. (1973). Personal control over aversive stimuli and its relationship to stress.
Psychohygical Bulletin, 80, 286-303.
Berk. (1993). Dari anak sampai usia lanjut: bunga rampai psikologi. Jakarta: BPK Gunung
Mulia.
Dwilaksono, W. & Raharjdo, W. (2013, Oktober). Kontrol diri dan perilaku seksual pada gay.
Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil), Bandung.
Emmons, R. A. & Colby, P. M. (1995). Emotional conflict and well-being: relation to perceived
availability, daily utilization, and observer reports of social support. Journal of
Personality and Social Psychology, 68, 5, 947-959.
Ghufron, M.N., & Risnawati, R.S. (2010). Teori-teori psikologi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media.
Kasih, P. A. (2012, Januari 11). Beda status beda fantasi seks pria. Kompas.com. Retrieved from
http://entertainment.kompas.com/read/2012/01/11/17195778/Beda.Status.Beda.Fantasi.S
eks.Pria
Kusumiati, R. Y. E. (2007). Menikmati kehidupan seksual di masa usia lanjut. Jurnal Psiko
Wacana, 6, 76-82.
Hall, C. S. & Gardner, L. (1993). Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius.
Hurlock, E. (2004). Psikologi perkembangan: suatu Pendekatan sepanjang rentang kehidupan.
Jakarta: Erlangga.
Iriani, F & Ninawati. (2005). Gambaran kesejahteraan psikologis pada dewasa muda ditinjau dari
pola
attachment.
Jurnal
Psikologi,
3,
1.
tersedia
di
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Psi/article/view/28/29 pada 25 Januari 2014
Iwu D, U., Peter McDonald A, R., Terence H., & Ariane U. (2010). Pelayanan kesehatan
reproduksi untuk penduduk dewasa muda lajang. The Greater Jakarta Transition to
Adulthood
Survey.
Retrived
from
http://adsri.anu.edu.au/sites/default/files/research/transitiontoadulthood/Policy_Brief_%20%235_RH_Service-Bhs_Indonesia.pdf tanggal 1 Mei
2014
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditono, S. R. (1996). Psikologi perkembangan: pengantar
dan berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

22

Moleong, L. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Messina, J. J, & Messina, C. M. (2003). Developing self-control. Retrived from
http://www.coping.org/control/selfcont.htm tanggal 24 Desember 2014
Oktaria & Rara. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Skripsi (tidak
diterbitkan). Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Retrived from
http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate/psychology/2009/Artikel_1050414
6.pdf tanggal 17 Februari 2014
Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta:
Lembaga Penelitian Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.
Papalia, D. E. & Olds, S. W. (1995).“Human development”(6thEd). Boston.
Mitchell, B. R. (2012). Self-control as a moderator of sexual desire and high-risk seksual
behavior (Disertation, southeastern Lousiana University). Retrieved from
http://gateway.proquest.com/openurl%3furl_ver=Z39.882004%26res_dat=xri:pqdiss%26rft_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:dissertation%26rft_dat
=xri:pqdiss:1515662
Sarwono, W. S. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: Grafindo Persada.
Schaie, K. W. & Willis, S. L. (1991). Adult Development And Aging (3thEd). Chicago: Harper
Collins Publishers.
Sugandi, M. N. (2014). Kecenderungan Terapi Seks Masa Kini (Merupakan Reaksi Dan
Kesadaran
Baru
).
Available
(Online):
http://file.upi.edu/Direktori/Fip/Jur._Psikologi_Pend_Dan_Bimbingan/195708301981012
Nani_M_Sugandhi/Kecenderungan_Terapi_Seks_Masa_Kini_%5bcompatibility_Mode%
5D.pdf.
Suryoputro, A., Nicholas, J. F., Zahroh, S. (2006). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Seksual Remaja di Jawa Tengah: Implikasinya terhadap Kebijakan dan Layanan
Kesehatan Seksual dan Reproduksi. Makara Kesehatan, 10, 29-40. Diunduh pada 25
Maret 2014, dari journal.ui.ac.id/health/article/download/162/158
Suwarti. (2010). Pengaruh kontrol diri terhadap perilaku seksual remaja ditinjau dari jenis
kelamin pada siswa SMA di Purwokerto. Sainteks Jurnal Penelitian, 6, 37-46
VIVAnews. (2011,22 Agustus). Survei: Kaum Muda Asia Lebih Suka Melajang. Diperoleh 1
februari 2014, dari http://dunia.news.viva.co.id/