T1 802011127 Full text

HUBUNGAN SELF-FORGIVENESS DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI
ANGKATAN 2007-2011

OLEH
ROCKY LEO SILALAHI
802011127

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

HUBUNGAN SELF-FORGIVENESS DENGAN PSYCHOLOGICAL
WELL-BEING PADA EKS SEMINARIS SEMINARI TINGGI

ANGKATAN 2007-2011

Rocky Leo Silalahi
Berta Esti Ari Prasetya

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang signifikan antara selfforgiveness dengan psychological well-being pada Eks Seminaris Seminari Tinggi
Angkatan 2007-2011. Sebanyak 38 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan
dengan menggunakan teknik sampel snow ball. Metode penelitian yang dipakai dalam
pengumpulan data yakni dengan metode skala, yaitu Heartland Forgiveness Scale dan
skala Psychological Well-Being. Teknik analisis data yang digunakan untuk melihat
hubungan antar variabel menggunakan analasis korelasi Pearson Product Moment. Dari
hasil analisis data diperoleh hasil koefisien korelasi r = 0,925 dengan signifikansi

sebesar 0,000 (p < 0,05) yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara
self-forgiveness dengan psychological well-being pada eks seminaris seminari tinggi
angkatan 2007-2011.
Kata Kunci: self-forgiveness, psychological well-being

i

Abstract
This research is aimed at knowing the significant relationship between self-forgiveness
and psychological well-being in Ex-Seminarian of High Seminary batch 2007-2011.
Thirty eight people were taken as the sample which was done by using snow ball sample
technique. The method used in this research is the scale method, which is Heartland
Forgiveness-Scale and Psychological Well-Being Scale. Data analysis technique used
to see the correlation of the variable uses Pearson Product-Moment correlation
analysis. From the data analysis obtained that the result of coefficient correlation r =
0,925 with the significance ammount 0,000 (p < 0,05) which means there is a positive
correlation between self-forgiveness and psychological well-being in ex-seminarian of
high seminary batch 2007-2011.
Keywords: self-forgiveness, psychological well-being


ii

1

PENDAHULUAN
Perjalanan hidup mempunyai banyak jalan dan pilihan masing-masing. Setiap
pribadi memilih peranan masing-masing sesuai dengan keinginan, bakat dan niatnya.
Gereja Katolik memiliki makna atau pandangan sendiri mengenai perjalanan hidup
setiap orang beriman. Pandangan ini disebut dengan panggilan. Dalam bahasa Inggris
panggilan disebut vocation yang berasal dari kata Latin vocare yang berarti
“memanggil” (Lonsdale dalam yesaya.indocell.net). Dalam iman Kristiani, Tuhan
memanggil semua umatnya untuk mengambil bagian dalam pelayanan Kristiani, tetapi
Tuhan memanggil sebagian dari umat-Nya untuk mengabdikan diri secara istimewa
sebagai imam, biarawan dan biarawati. Dalam pengabdian diri menjadi imam, biarawan
dan biarawati memiliki tempat pembinaan yang disebut dengan seminari.
Ponomban (2005) dalam artikelnya menjelaskan bahwa seminari berasal dari
kata Latin yakni semen yang berarti benih atau bibit. Di samping itu, seminari juga
berasal dari kata Latin seminarium yang berarti tempat pembibitan, tempat persamaian
benih-benih sehingga seminari merupakan sebuah tempat yang di dalamnya terdiri dari
sebuah sekolah yang sekaligus asrama: tempat belajar dan tempat tinggal dimana benihbenih panggilan menjadi imam dan biarawan yang dimiliki oleh anak-anak muda

disemaikan secara khusus untuk jangka waktu tertentu dengan tata cara hidup yang
khas, dengan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para
imam/biarawan dan awam juga tentunya memiliki peranan sebagai pengajar. Anak-anak
muda yang tinggal dalam seminari disebut dengan seminaris.
Salah satu yang menjadi ciri khas seminari adalah bahwa sekolah tersebut hanya
menerima siswa laki-laki dan diwajibkan untuk tinggal di asrama. Seperti yang ditulis
dalam Pedoman Calon Imam di Indonesia (2001), siswa yang sekolah di Seminari

2

Menengah harus menempuh pendidikan selama 4 tahun. Ponomban (2005)
menambahkan bahwa seminari tinggi merupakan jenjang pembinaan terakhir dari para
calon imam sesudah mereka melalui atau mengikuti pendidikan di Seminari Menengah
dan Seminari Tahun Orientasi Rohani (TOR) atau sering disebut masa novis. Biasanya
pendidikan yang ditempuh di sini selama enam tahun kuliah ditambah satu tahun
praktek Tahun Orientasi Pastoral. Di Indonesia terdapat 31 Seminari Menengah, 3 Kelas
Persiapan Atas, 12 Tahun Orientasi Rohani, dan 13 Seminari Tinggi.
Seminari bertujuan untuk mengajarkan para seminaris untuk hidup sebagai
pelayan sesama umat manusia dan memiliki perilaku moral yang lebih tinggi
dibandingkan jemaat biasa sehingga para seminaris tidak diperbolehkan untuk menikah

(Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001). Di samping itu, dalam hal pendidikan di
seminari tuntutan yang diberikan kepada seminaris memiliki perbedaan dibandingkan
tuntutan yang diberikan kepada siswa-siswa pada umumnya (Liestyani, 2007). Tuntutan
yang dialami oleh seminaris tidak hanya menguasai pengetahuan saja, namun juga
dituntut untuk menjalankan tiga bidang hidup pokok yang harus ditaati yaitu hidup
rohani, hidup studi, dan hidup komunitas (Pedoman Pembinaan Calon Imam, 2001).
Salah satu teks Kitab Suci (KS) yang menjadi patokan dalam proses menanggapi
panggilan untuk menjadi imam atau biarawan/biarawati pada Seminaris adalah “Banyak
yang dipanggil, sedikit yang dipilih” (Matius 22:14). Simbolon (2015) menuliskan di
dalam artikelnya, bahwa ayat KS ini menegaskan bahwa Roh Kudus senantiasa
membangkitkan kesadaran dalam diri banyak pemuda. Namun, ketika mereka mau
menanggapi, belum bisa dipastikan dia akan menjadi Imam. Dalam proses pembinaan
para Calon Imamlah mereka diarahkan dan di dalam perjalanan pembinaan untuk
menjadi Imam, tidak sedikit seminaris yang keluar dari Seminari. Mereka yang keluar

3

dari seminari sekurang-kurangnya telah menerima banyak ilmu, tuntutan, serta
pengalaman hidup yang diajarkan khas oleh seminari seperti yang telah dijabarkan di
atas. Oleh karena itu dengan telah diterimanya ilmu, tuntutan, serta pengalaman hidup

yang diajarkan para mantan seminari diharapkan memiliki psychological well-being
yang baik untuk menyejahterakan hidupnya dan memiliki kepuasan hidup di masa
depan.
Seseorang yang memilih untuk keluar dari seminari atau memilih untuk menjadi
seorang imam atau biarawan disebabkan oleh beberapa hal, seperti melakukan
pelanggaran dari aturan-aturan yang sudah diterapkan di Seminari atau melakukan
perbuatan yang tidak sesuai sebagai calon imam atau biarawan, tidak memperoleh nilai
studi dan kepribadian yang baik. Seorang eks seminaris memilih untuk keluar dari
Seminari atau tidak menjadi seorang imam atau biarawan karena keinginan sendiri yang
sering disebut “menarik diri” oleh kalangan seminaris. Berdasarkan pengamatan,
penelusuran, dan pengalaman penulis mengenai hidup menjadi eks seminaris atau
setelah keluar dari seminari, terdapat penilaian masyarakat awam mengenai mantan
seminari bahwa mereka dianggapsebagai orang yang gagal, tidak setia pada panggilan
hidup, tidak kuat terhadap godaan-godaan di luar seminari. Di samping itu terdapat juga
seperti harapan-harapan keluarga yang mengharapkan anak mereka untuk menjadi
seorang imam atau biarawan, namun seiring perjalanan keinginan itu tidak terwujud.
Keadaan ini mampu mengancam keadaan psychological well-being seseorang karena
sulit dalam hal penerimaan diri atau self-acceptance yang mampu menghambat atau
memperlambat pertumbuhan pribadi atau personal growth (Ryff, 1995). Melalui hasil
wawancara kepada salah satu mantan Seminari Menengah Christus Sacerdos yang

sudah menjalani kehidupan di dalamnya selama empat tahun mengenai bagaimana

4

perasaan dan keadaan dirinya setelah keluar dari seminari/biara. Ia sejak kelas tiga SD
memiliki keinginan dan mimpi untuk menjadi imam (pastor). Kemudian dia menjalani
pendidikandi Seminari Menengah selama empat tahun tanpa kesulitan dan kemudian
memilih untuk melanjutkan perjalanan “panggilannya” dengan bergabung di Ordo
Kapusin. Di sini ia menjalani pendidikan hampir setahun kemudian ia keluar dari ordo.
Setelah ia keluar dan berdasarkan hasil wawancara, ia mengatakan bahwa iamengalami
kehilangan arah dan tujuan hidup dan pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya
setelah keluar dari seminari/biara dan memiliki kesulitan dalam hal berelasi dengan
orang lain, ia kerap merasakan emosi-emosi negatif pada dirinya dan orang lain.
Fenomena yang terjadi pada mantan Seminaris ini merujuk pada kondisi terganggunya
psychological well-being di dalam dirinya
Konsep mengenai psychological well-being (PWB) secara teoritis didasarkan
dan berasal dari teori-teori sebelumnya dalam psikologi perkembangan klinis dan
dewasa. Teori ini menekankan potensi individu untuk kehidupan yang bermakna dan
realisasi diri dalam menghadapi tantangan (Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002). Ryff,
Keyes, dan Shmotkin (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa psychological wellbeing menunjukkan arti pemenuhan diri dari potensi manusia. Dalam hal ini individu

yang memiliki psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang,
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, merasa puas dengan kehidupan dan
sebagainya.
Ryff (1989) menambahkan bahwa psychological well-being adalah suatu kondisi
seseorang yang bukan hanya bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja,
tetapi lebih dari itu yaitu a) kondisi seseorang yang mempunyai kemampuan menerima
diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu (self-acceptance), b) pengembangan

5

atau pertumbuhan diri (personal growth) yang ditandai dengan perasaan dan mampu
melewati tahap-tahap perkembangan, terbuka terhadap pengalaman baru serta
menyadari setiap potensi yang ada di dalam dirinya dan melakukan perbaikan pada diri
setiap waktu. Kemudiankondisi lainnya ialah c) keyakinan bahwa hidupnya bermakna
dan memiliki tujuan (purpose in life)yang merupakan dimensi yang mengacu pada
kemampuan individu untuk mencapai tujuan hidup dan memiliki target yang ingin
dicapai dalam kehidupan dan dengan dengan memiliki perubahan tujuan menjadi lebih
produktif dan kreatif,d) kapasitasuntuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya
secara efektif (enviromental mastery)merupakan kondisi yang menggambarkan adanya
suatu perasaan yang kompetendan penguasaan mengatur lingkungan, memiliki minat

yang kuat terhadap hal-hal di luar diri, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas, serta
mampu mengendalikannya, e) hubungan positif dengan orang lain (positive relation
with others) adalah salah satu dimensi psychological well-being yang ditandai dengan
memiliki perasaan empati dan kasih sayang pada orang lain, saling percaya dengan
orang lain, serta memiliki hubungan persahabatan yang lebih dalam, f) kemampuan
untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy) yang dijelaskan oleh Ryff menjelaskan
bahwa pribadi yang mandiri adalah pribadi yang dapat menentukan yang terbaik untuk
dirinya sendiri yang berarti individu tersebut berfungsi sepenuhnya seperti memiliki
evaluasi pribadi terhadap diri, dimana individu tersebut mampu menolak tekanan sosial
untuk berpikiri dan bertingkah laku dengan cara tertentu, di samping itu juga ia tidak
mudah setuju pada orang lain serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan standar
pribadi.
Ryff dan kawan-kawan (dalam Rahayu, 2008) mengemukakan faktor-faktor
yang memengaruhi psychological well-being seseorangyaitu faktor demografis seperti

6

faktor usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya. Menurut Davis (dalam
Rahayu, 2008), individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat
psychological well-being yang tinggi. Hal ini merupakan faktor kedua yang dimana

diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, pengharapan, atau pertolongan yang
dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok. Faktor
ketiga yang memengaruhi PWB seseorang ialah evaluasi terhadap pengalaman hidup.
Hal ini dikemukakan oleh Ryff (1989) bahwa pengalaman hidup tertentu dapat
memengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Faktor ke empat ialah
Locus of Control (LOC) yang didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum
seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang
mengikuti perilaku tertentu (Rotter, dalam Rahayu). Faktor kelima ialah religiusitas.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Levin (Chatters & Taylor, dalam Rahayu)
ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama, yaitu doa
dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, kemudian
partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa
penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, dan selanjutnya keterlibatan
religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.
Lyubomirsky, King & Diener (2005)menjelaskan bahwa individu yang tinggi
atau memiliki PWB yang baik memberi efek seperti menunjukkan fleksibilitas yang
lebih dan originalitas dalam berinteraksi terhadap orang lain, menanggapi dengan lebih
baik terhadap saran yang kurang baik, memberikan penilaian yang lebih positif tentang
orang lain, menunjukkan level atau kualitas yang lebih dalam sebuah keterlibatan, dan
lebih produktif.Sumule (2008) dalam penelitian yang dilakukan, menunjukkan individu

yang rendah dalam PWB merupakan individu yang tidak puas dengan diri sendiri,

7

kecewa pada kehidupan masa lalu, merasa khawatir dengan kualitas-kualitas pribadi
tertentu, memiliki sedikit hubungan yang dekat, sulit untuk bersikap hangat dan terbuka
serta khawatir tentang orang lain, hidup bergantung terhadap penilaian orang lain untuk
membuat keputusan penting, merasa kesulitan dalam mengatur urusan sehari-hari,
merasa tidak mampu untuk merubah atau meningkatkan konteks di sekitarnya, kurang
memiliki kontrol terhadap dunia eksternal, kurang memiliki rasa arti dalam hidup, serta
tidak memiliki harapan atau kepercayaan yang memberikan arti hidup. Dari efek atau
pengaruh-pengaruh dari individu yang rendah dalam PWB perlu dicapai psychological
well-being yang baik. Salah satu cara yang perlu dilakukan ialah melalui selfforgiveness.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa betapa pentingnya selfforgiveness sebagai salah satu syarat untuk sehat secara mental (Terzino, 2010). Mauger
(dalam Terzino, 2010) menemukan sebuah hubungan yang positif antara ketiadaan selfforgiveness dan depresi dan kecemasan. Aloysius (2013) dalam artikelnya juga
menambahkan mengenai perkembangan riset mengenai forgiveness yang menunjukkan
bahwa memaafkan memiliki fungsi-fungsi yang jauh lebih adaptif dalam relasi
interpersonal dan sosial daripada menghindar dan membalas dendam. Memaafkan
dianggap mampu mereduksi respons-respons negatif terhadap suatu pelanggaran;
maupun sebaliknya, memaafkan memperbesar peluang berkembangnya respons positif
dalam diri seseorang dalam menghadapi transgresi yang dialaminya. Forgiveness atau
memaafkan tidak mengandaikan bahwa transgressor bertanggungjawab secara personal
atas perbuatannya. Dengan demikian dalam memaafkan terdapat komponen-komponen
afektif, kognitif, dan keperilakuan (behavioral) dan merupakan mekanisme atau strategi
koping yang tidak lepas dari motivasi. Hal ini sejalan dengan apa yang telah menjadi

8

konsep psychological well-being yang dijelaskan dalam dimensi-dimensinya, seperti
self-acceptance, yang dimana ditandai dengan kemampuan penerimaan diri yang
mengandung arti positif terhadap diri sendiri seperti mengenali dan menerima aspek
positif dan negatif di dalam diri, serta memiliki pandangan yang positif terhadap masa
lalunya. Di samping itu dimensi PWB yang sejalan dengan konsep yang dijelaskan di
atas ialah autonomy yakni individu yang otonom merupakan pribadi yang dapat
menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri, dan juga orang yang berfungsi yang
digambarkan memiliki evaluasi terhadap diri. Hal ini merupakan implikasi dari konsep
memaafkan yang dimana tetap mengandalkan bahwa transgressor bertanggungjawab
secara personal atas perbuatannya. Di samping itu juga komponen-komponen
memaafkan seperti afektif, kognitif dan behavioral juga merupakan implikasi dan
sebagai pemenuhan terhadap self-acceptance dalam dimensi psychological well-being.
Self-forgiveness merupakan sebuah konsep sebagai sebuah strategi coping yang
dapat meningkatkan kesehatan dan psychological well-being (Davis, dkk. 2015).
Enright (dalam Worthington, 2005) mendefinisikan pemaafan pada diri sendiri adalah
sebagai bentuk kesediaan untuk melepaskan rasa kebencian diri sendiri dan mengakui
bahwa dirinya bersalah, sekaligus menumbuhkan rasa belas kasihan, kemurahan hati
dan cinta terhadap diri sendiri. Pemaafan merupakan sebagai suatu perubahan motivasi
dimana seseorang merasakan penurunan motivasi untuk menghindari rangsangan yang
berhubungan dengan pelanggaran terhadap dirinya sendiri dan semakin menurun
motivasi untuk membalas terhadap diri sendiri (misalnya: menghukum diri sendiri,
terlibat dalam perilaku merusak diri sendiri, dan lain-lain) dan semakin termotivasi
untuk bertindak murah hati terhadap diri sendiri. Hall & Fincham (2003) berpendapat
bahwa pemaafan sebagai suatu perubahan motivasi dimana seseorang merasakan

9

penurunan motivasi untuk menghindari rangsangan yang berhubungan dengan
pelanggaran terhadap dirinya sendiri dan semakin menurun motivasi untuk membalas
terhadap diri sendiri dan semakin termotivasi untuk bertindak murah hati terhadap diri
sendiri.
Enright (1996) berpendapat bahwa terdapat tiga aspek dalam self-forgiveness.
Aspek yang pertama ialah aspek menghindar. Aspek ini merupakan aspek yang
melibatkan motivasi untuk menghindari korban dan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan,
serta situasi yang terkait dengan pelanggaran. Aspek yang kedua dalam self-forgiveness
melibatkan beberapa faktor, seperti membuat perbaikan yang berkelanjutan dan
menyelesaikan masalah, serta tidak bersedia melakukan kesalahan itu lagi. Aspek yang
terakhir ialah berdamai dengan diri sendiri. Aspek ini merupakan aspek yang paling
penting dalam pemaafan.Thompson, Snyder, Hoffmann, Michael, et al. (2005)
mendefinisikan pemaafan merupakan sebuah konsep atau metode menanggapi
transgresi atau pelanggaran yang dimana individu mengubah respon negative mereka
dan mengatasi disonansi dan tekanan yang dibarengi peristiwa hidup yang negative.
Mauger (dalam Thompson, 2005) menambahkan bahwa pemaafan diri merupakan aspek
yang paling berkaitan dengan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan
kemarahan.
Menurut Thompson dan kawan-kawan (2005) memaafkan atau pemaafan
memiliki tiga aspek yaitu kognitif, emosi, dan kemudian perilaku yang diperlukan untuk
mengubah transgresi atau pelanggaran sehingga respon mereka terhadap pelanggaran
tidak lagi respon yang negative. Thompson juga menambahkan bahwa memaafkan
memiliki dua komponen, yakni valence (valensi) dan strength (intensitas). Valensi

10

mengacu pada apakah pikiran, perasaan, atau perilaku bersifat negative, netral, atau
positif. Sedangkan strength mengacu pada intensitas dan campur tangan dari pikiran,
perasaan, atau perilaku, dan hal ini dapat bervariasi hasilnya. Individu yang memaafkan
bisa mengubah respon negative yang disebabkan oleh transgresi dengan mengubah
valensi dari negative menjadi netral atau positif dan bisa dengan mengubah keduanya,
valensi dan strength dari respon.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hanna (2012) terkait manfaat selfforgiveness pada well-being yang dilakukan pada 61 orang partisipan yang telah
menyelesaikan program intervensi psiko-edukasi di London, UK. Partisipan dalam
penelitian ini merupakan mantan pengguna zat kimia dengan riwayat gangguan
pengguna alkohol dan obat-obatan jenis lainnya yang termotivasi untuk meningkatkan
kualitas subjektif hidup. Hasil dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat hubungan
antara tingkat disposisonal self-forgiveness dan hasil well-being yang meningkat.
Melihat fenomena dan hasil penelitian yang ada maka penulis ingin melakukan
penelitian lebih lanjut mengenai self-forgiveness dan psychological well-being (PWB).
Alasan penulis memilih judul ini karena sejauh pengamatan penulis, penelitian ini tidak
banyak dilakukan terutama pada eks Seminaris sehingga penulis tertarik untuk meneliti
secara langsung ”Hubungan self-forgiveness dengan psychological well-being (PWB)
pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011”.
Berangkat dari latar belakang yang sudah dipaparkan sebelumnya, dalam hal ini
penulis mencoba merumuskan masalah yang akan menjadi fokus penulisan, yakni:
Adakah hubungan yang signifikan antara self-forgiveness dengan psychological wellbeing (PWB) pada Eks-Seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011? Adapun

11

tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui signifikansi hubungan antara selfforgiveness dengan psychological well-being (PWB) pada Eks-Seminaris Seminari
Tinggi Angkatan 2007-2011.
Penelitian ini berusaha untuk mengukur hubungan antara self-forgiveness dan
psychlogical well-being pada eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 2007-2011,
sehingga apakah self-forgiveness eks-seminaris berkorelasi dengan psychological wellbeing seseorang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup seseorang.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
a. H0: Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan
psychological well-being eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 20072011.
b. H1: Ada hubungan positif dan signifikan antara self-forgiveness dengan
psychological well-beingeks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan 20072011.

METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi dari penelitian ini adalah eks-seminaris Seminari Tinggi Angkatan
2007-2011 yang pernah menempuh pendidikan postulan, novisiat, dan pendidikan
filsafat. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah snow
ballyaitu teknik penentuan sampel yang dilakukan secara berantai dilakukan secara
berantai dengan meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi

12

sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 2007) hingga peneliti menganggap
bahwa jumlah sampel dipandang memadai. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah
seluruh Eks Seminari Tinggi. Sedangkan sampel yang diambil dalam penelitian ini
merupakan mantan seminaris seminari tinggi angkatan 2007-2011 yang telah yang
pernah melanjutkan pendidikan Tahun Rohani dan Pendidikan Tinggi Filsafat dan
Teologi.
Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi
korelasional. Studi korelasional bertujuan mengkaji hubungan antara variabel dan
memprediksikan nilai dari satu variabel pada variabel lainnya. Variabel merupakan
karakteristik atau fenomena yang dapat berbeda di antara organisme, situasi, atau
lingkungan (Christensen, 2001). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah
1. Variabel bebas yakni self-forgiveness.
2. Variabel terikat yakni psycological well-being.
Instrumen Pengambilan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala pengukuran
psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala Pemafaan diri dari Heartland(Heartland
Forgiveness

Scale/HFS)dan

skala

PWB.

Item

dalam

skala-skala

tersebut

dikelompokkan dalam pernyataan favorable dan unfavorable dengan menggunakan 4
alternatif jawaban dari skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS),
Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Pernyataan
favorableSTS=1, TS=2, S=3, SS=4 sedangkanPernyataanunfavorableSTS=4, TS=3,
S=2, SS=1

13

Skor individu pada skala sikap, yang merupakan skor sikapnya, adalah jumlah skor
dari keseluruhan pernyataan yang ada dalam skala. Keseluruhan data diperoleh dari
skala psikologi yang telah dibagikan kepada subjek.
1. Teknik pengumpulan data variabel self-forgiveness digunakan dengan
menggunakan kuesioner. Kuesioner yang diberikan adalah Skala Pemaafan
Heartland(Heartland Forgiveness Scale/HFS) merupakan kueseioner selfreport yang mengukur dispositional forgiveness, yaitu kecenderungan umum
untuk memaafkan terhadap diri, orang lain, dan situasi di luar kendali
seseorang seperti bencana alam atau penyakit. HFS dibuat berdasarkan
definisi

forgiveness

dan

model

forgiveness

yang

merupakan

kerangka/susunan dari transgresi yang dirasakan sehingga respons terhadap
transgresor, transgresi, dan gejala sisa dari transgresi diubah dari respon
negative menjadi respon yang netral atau respon yang positif (Thompson et
al., 2005). Dalam penelitian ini penulis mengukur self forgiveness
menggunakan 6 item HFS yang berfokus pada pemaafan terhadap diri atau
forgiveness of self. Menurut Azwar (2012) jika koefisien alfa dari itemtotal
correation berada di atas 0,3 maka sudah bisa dikatakan baik.Berdasarkan
pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas Skala Pemaafan diri yang
terdiri dari 6 item yang memiliki koefisien korelasi item totalnya bergerak
antara 0,233-0,591.Sedangkan teknik pengukuran untuk menguji reliabilitas
adalah menggunakan teknik koefisien Alpha Cronbach, sehingga dihasilkan
koefisien Alpha pada Skalapemaafan dirisebesar 0,665. Koefisien ini
dikartagorikan dalam reliable yang cukup (Azwar, 1997). Hal ini berarti
Skala Pemaafan diri mempunyaireliabilitas yang cukup baik.

14

2. Sedangkan untuk variabel psychological well-being diukur dengan
menggunakan Ryff scale of Psychological Well-Being (RPWB) milik Ryff
(1989) yang terdiri dari 42 item. Adapun item-itemnya dibuat berdasarkan 6
dimensi yaitu, self acceptance, autonomy, positive relations with others,
environmental mastery, purposive of life, dan personal growth.Perhitungan
uji seleksi item dan reliabilitas kelompok skala PWByang terdiri dari 42
item, diperoleh 11 item yang gugur, sehingga tersisa 31 item yang dapat di
gunakan setelah dua kali putaran, dengan koefisien korelasi item total
bergerak antara 0,330-0,702, dan koefisien Alpha pada kelompok skalaPWB
sebesar 0,921 yang artinya kelompok skala tersebut reliabel.
Analisis Data
Analisis korelasional adalah analisis statistik untuk mencari hubungan antara
dua buah variabel atau lebih (Creswell, 2010). Untuk melihat hubungan antar variabel
dilakukan dengan analisis korelasi PearsonProduct Moment dilakukan dengan
menggunakan program SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Deskriptif
Berikut adalah hasil perhitungan nilai rata-rata, minimal, maksimal, dan standar
deviasi sebagai hasil pengukuran skala Self Forgivenessdapat dilihat pada tabel di
bawah ini:

15

Tabel 1.1
Kategori Self Forgiveness
Interval
Kategori
F
%
20,4 ≤ x ≤ 24
Sangat Tinggi
1
2, 63%
16,8≤ x