Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir) Chapter III V

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah analisis teori atau ilmu yang membahas tentang
metode dalam melakukan penelitian. Metode penelitian komunikasi adalah
prosedur atau cara ilmiah dalam melakukan penelitian bidang komunikasi untuk
menemukan hal-hal baru, membuktikan/menguji temuan penelitian sebelumnya
untuk pengembangan ilmu komunikasi (Pujileksono, 2015 : 4). Metode kualitatif
ini digunakan karena :

2.2.2

Metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan

kenyataan ganda
2.2.3

Metode kualitatif menyajikan secara langsung hakikat hubungan

antarpeniliti dan informan


2.2.4

Metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri

dengan latar penelitian dan mampu melakukan penajaman pola-pola
nilai yang dihadapi peneliti (Ghony dan Almanshur,2012:34).

Dalam tataran teoritik, ada beberapa asumsi yang menjadi landasan dalam
penelitian kualitatif sebagaimana yang dikatakan Merriam (dalam Creswell,
1994:145). Asumsi- asumsi tersebut adalah:

2.2.1.2 Peneliti kualitatif lebih memiliki perhatian pada proses daripada hasil atau
produk

2.2.1.3 Peneliti kualitatif tertarik pada makna, yaitu bagaimana orang berusaha
memahami kehidupan, pengalaman, dan struktur lingkungan mereka.
2.2.1.4 Peneliti kualitatif merupakan instrumen utama dalam pengumpulan dan
analisis data. Data diperoleh melalui instrumen manusia daripada melalui
inventarisasi (inventories), kuesioner, atau pun melalui mesin.


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

2.2.1.5 Penelitian kualitatif sangat berkaitan dengan fieldwork. Artinya, peneliti
secara fisik terlibat langsung dengan orang, latar (setting), tempat, atau institusi
untuk mengamati atau mencatat perilaku dalam latar alamiahnya.

2.2.1.6 Penelitian kualitatif bersifat deskriptif, dalam arti peneliti tertarik pada
proses, makna, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata-kata atau gambargambar.
Proses penelitian kualitatif bersifat induktif dalam arti peneliti membangun
abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori.
Penelitian kualitatif tidak sesederhana apa yang terjadi pada penelitian
kuantitatif. Penelitian kualitatif melampaui berbagai tahapan berpikir kritisilmiah, yang mana seorang peneliti memulai berpikir secara induktif yang
menangkap berbagai fakta atau fenomena-fenomena sosial, melalui pengamatan
di lapangan, kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya melakukan
teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu (Bungin,2010:6).

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana mendeskrpsikan kenyataan
secara benar yang dialami oleh subjek penelitian ini (mahasiswa). Penelitian ini

berusaha

untuk

memberikan

deskripsi

terhadap

bagaimana

komunikasi

antarpribadi yang dilakukan orangtua dan mahasiswi yang berbeda tempat tinggal
dalam membentuk konsep diri mahasiswa

Penelitian kualitatif bertujuan untuk mengungkap situasi sosial tertentu
dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata
berdasarkan teknik pengumpulan data dan analisis data yang relevan yang

diperoleh dari situasi yang alami (Ghony dan Almanshur,2012:26). Penelitian
kualitatif lebih menekan pada persoalan kedalaman (kualitas) data bukan
banyaknya (kuantitas) data. (Kriyantono, 2009:56).

Secara umum, riset yang menggunakan metodologi kualitatif mempunyai
ciri-ciri:

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

7. Intensif, partisipasi periset dalam waktu lama pada setting
lapangan, periset adalah instrumen pokok riset.
8. Perekaman yang sangat hati-hati terhadap apa yang terjadi dengan
catatan- catatan di lapangan dan tipe-tipe lain dari bukti-bukti
dokumenter.
9. Analisis data lapangan.
10. Melaporkan hasil termasuk deskripsi detail, quotes (kutipankutipan) dan komentar-komentar.
11. Tidak ada realitas yang tunggal, setiap periset mengkreasi realitas
sebagai bagian dari proses risetnya. Realitas dipandang dinamis
dan sebagai produk konstruksi sosial.

12. Subjektif dan berada hanya dalam referensi periset. Periset sebagai
sarana penggalian interpretasi data.
13. Realitas adalah holistik dan tidak dapat dipilah-pilah.
14. Periset memproduksi penjelasan unik tentang situasi yang terjadi
dan individu- individunya.
15. Lebih pada kedalaman (depth) daripada keluasan (breadth).
16. Prosedur riset: empiris-rasional dan tidak berstruktur.
17. Hubungan antara teori, konsep, dan data : data memunculkan atau
membentuk teori baru. (Kriyantono, 2009: 57-58)

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber utama data penelitian, yaitu memiliki data
mengenai variable-variabel yang diteliti (Azwar, 1999 : 34). Pada penelitian
kualitatif, subjek penelitian disebut sebagai informan. Dan pada penelitian ini,
informan sebagai subjek penelitian yaitu orang-orang yang memenuhi syarat
sebagai berikut :
1. Perempuan bersuku Batak Toba dengan struktur keluarga asli Batak Toba
2. Berusia 18 tahun dan lebih (masuk dalam kategori dewasa)
3. Mengenal dan mengetahu budaya Batak Toba

4. Memahami konsep ‘Boru Ni Raja’

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan diteliti adalah konsep diri perempuan Batak Toba
yang diberi gelar Boru Ni Raja.
3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan
peneliti dalam mengumpulkan data (Kryantono,2006 : 91). Penelitian ini
menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu
1.

Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber data pertama tangan

pertama di lapangan (Kryantono,2006 : 91). Adapun data untuk mendapatkannnya

adalah :
a. Metode Wawancara Mendalam ( In- depth Interview)
Tipe wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan atau
informasi untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan
atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan
informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lain. Oleh karena itu,
keabsahan wawancara adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan
(Bungin, 2007 : 108).
Wawancara mendalam sangat dibutuhkan dalam penelitian kualitatif dan
keterlibatan peneliti dalam proses setiap wawancara untuk mendapatkan data
maupun hasil wawancara sesuai dengan kebutuhan peneliti. Kebutuhan dalam
wawancara mendalam ini merupakan data yang seakurat dan sedalam mungkin
untuk menjawab tujuan penelitian peneliti. Kegiatan wawancara mendalam juga
tidak dinilai dari skala waktu dikarenakan kedalaman data hingga menghasilkan
data jenuh tidak ditentukan oleh lama atau tidaknya wawancara akan tetapi
bagaimana upaya peneliti menghasilkan data dari setiap proses wawancara
mendalam.

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

b. Observasi
Merupakan kegiatan pengamatan secara langsung dengan tujuan mengetahui
kegiatan yang dilakukan objek yang di observasi.

2. Data sekunder
Pada umumnya bahwa data sekunder berbentuk catatan atau laporan
dokumentasi oleh lembaga tertentu (Ruslan,2003 : 138). Pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu mencari, melihat, dan membuka
dokumen, situs-situs, atau buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan penelitian.

3.4.1 Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini tentu saja memiliki kriteria-kriteria
tertentu. Adapun kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah :
1. Perempuan bersuku Batak Toba dengan struktur keluarga asli
Batak Toba
2. Berusia 18 tahun dan lebih (masuk dalam kategori dewasa)
3. Mengenal dan mengetahu budaya Batak Toba
4. Memahami konsep ‘Boru Ni Raja’


3.4.2 Keabsahan Data
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data untuk mengecek
keabsahan data penelitian. Dezin dan Moleong, membedakan empat macam
triangulasi data diantaranya dengan memanfaatkan sumber, metode, penyidik, dan
teori. Dari keempat macam tringaulasi tersebut, peneliti hanya memfokuskan
kepada penggunaan teknik pemeriksaan sumber (Moleong, 2009: 239).
Triangulasi

data

sumber

adalah

pemeriksaan

data

dengan cara


membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi uang

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Dalam
mencapai kepercayaan tersebut, langkah yang diambil adalah sebagai berikut:
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi dengan
apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan (Moleong, 2009 : 241 ).
3.5 Teknik Analisis Data
Dalam sebuah penelitian, tentu saja memerlukan analisis data berdasarkan
apa yang didapat di lapangan. Menurut Boglan dan Biklen, analisis data adalah

upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilih-milihnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain. (Moleong, 2009 : 248).
Berdasarkan teknik analisis data di lapangan model Miles and Huberman,
peneliti menganalisis data dengan langkah-langkah sebagai berikut (Sugyono ,
2005 : 92) :
1.

Melakukan Reduksi Data. Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya
cukup banyak. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui
reduksi data. Dalam hal ini, mereduksi artinya adalah merangkum,
memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting,
dicari pola dan temanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi
akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila
diperlukan.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

2. Penyajian Data. Dalam melakukan penyajian data, selain dengan teks
yang naratif, juga dapat grafik, matriks, network (jaringan), dan chart
(Grafik).
3. Penarikan

Kesimpulan

dan

verifikasi.

Kesimpulan

awal

yang

dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak
ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap
pengumpulan data berikutnya. Tetapi, apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan
konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka
kesimpulan yang dikemukakan adalah kesimpulan yang kredibilitas.
Kegiatan analisis data dalam penelitian ini, akan dimulai dengan menelaah
semua data yang terkumpul dengan baik data primer maupun data sekunder
berupa wawancara, pengamatan, serta catatan lapangan. Hasil data yang diperoleh
berdasarkan teknik analisis data yang telah dijelaskan sebelumnya, akan disususun
membentuk laporan secara sistematis. Selanjutnya data yang disusun akan dibagi
menjadi data utama dan data penjelas.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1

Proses Pelaksanaan
Pada bab ini, peneliti akan memaparkan proses penelitian dan hasil

penelitian yang sudah peneliti lakukan selama sepuluh hari di lokasi penelitian
yaitu Kecamatan Sianjur Mulamula. Namun sebelum melakukan penelitian,
peneliti sempat ragu untuk pergi karena peneliti sebelumnya belum pernah
menetap dalam waktu cukup lama sendirian di Kecamatan Sianjur Mulamula yang
terlebih lagi tidak ada saudara atau kerabat dekat yang bisa ditinggali disana
sehingga tidak punya gambaran langsung seperti apa yang akan dihadapi ketika
akan memulai penelitia selain informasi yang peneliti dapat dari internet. Namun
dengan bantuan dari kakak kandung peneliti yang bekerja sebagai calon pendeta
maka peneliti dibantu untuk dicarikan sebuah gereja HKBP yang berdekatan
dengan lokasi penelitian dengan tujuan bisa tinggal di rumah pendeta atau pelayan
yang melayani di gereja HKBP tersebut. Namun karena di kecamatan Sianjur
Mulamula masih minimnya gereja terlebih gereja HKBP jadi kakak kandung
peneliti mengarahkan peneiti untuk ke gereja HKBP yang lain dengan jarak yang
masih bisa ditempuh dalam beberapa jam dan akhirnya peneliti mendapatkan
tempat tinggal yang bisa peneliti tinggali selama melakukan penelitian walaupun
jarak dari tempat tinggal sementara peneliti tersebut cukup jauh yaitu sekitar satu
jam perjalanan menuju lokasi penelitian yang juga tidak ada gambaran seperti apa
perjalanan yang akan peneliti tempuh sampai akhirnya mengetahui secara
langsung ketika tiba disana. Pada awalnya kakak kandung peneliti mengarahkan
peneliti untuk menghubungi seorang calon diakones yang kira-kira bisa
membantu peneliti dalam menjangkau kecamatan Sianjur Mulamula namun
karena calon diakones tersebut tidak dikenal secara langsung oleh kakak kandung
peneliti maka peneliti pun ragu untuk memberanikan diri tingal di sana selain itu
karena calon diakones tersebut juga baru ditempatkan di sana jadi belum tentu
juga bisa memandu peneliti menuju lokasi penelitian karena peneliti sama sekali
tidak tahu rute mana saja yang harus ditempuh untuk sampai ke lokasi penelitian
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

dan dengan pertimbangan tersebut pula peneliti akhirnya meminta kakak kandung
peneliti untuk berusaha lagi mencarikan seseorang yang bisa banyak membantu
peneliti terutama dalam segi bahasa karena peneliti kurang fasih dalam berbahasa
batak. Setelah beberapa hari, kakak kandung peneliti akhirnya memberikan
informasi terbaru untuk menghubungi seorang pendeta yang sudah cukup lama
melayani di HKBP Buhit yang bernama Pdt. Prapty boru. Sihombing, S.Th dan
peneliti langsung menghubungi Ibu Pendeta Prapty untuk menjelaskan penelitian
yang akan peneliti lakukan dan membutuhkan bantuan Ibu Pendeta Prapty untuk
boleh tinggal sementara disana dalam kurun waktu tertentu juga peneliti langsung
meminta bantuan untuk mau menemani ke lokasi penelitian dan membantu
peneliti dalam hal berbincang-bincang dengan informan memakai bahasa batak.
Dengan semua yang sudah peneliti jelaskan, Ibu Pendeta Prapty pun menyanggupi
untuk menolong dan menyediakan tempat tinggal sementara disana bahkan Ibu
Pendeta Prapty juga memberikan peneliti fasilitas yakni sepeda motor karena
beliau memiliki dua unit sepeda motor yaitu milik pribadi dan inventaris gereja.
Setelah yakin dengan Ibu Pendeta Prapty, pada tanggal 2 Maret 2017 peneliti
berangkat dengan menggunakan Taksi Indah Pangururan yang memakan waktu
perjalanan kurang lebih 8 jam.
Hari pertama peneliti sampai di rumah Ibu Pendeta Prapty, peneliti
disambut hangat dan ramah oleh Ibu Pendeta Prapty yang langsung mengajak
peneliti untuk berdiskusi tentang penelitian yang akan peneliti lakukan. Ibu
Pendeta Prapty juga menjelaskan rute perjalanan menuju lokasi penelitian tidaklah
dekat dan tidak memiliki akses yang bagus ditambah lagi karena belakangan
cuaca seringan tidak menentu dan Ibu Pendeta Prapty juga menambahkan bahwa
beliau hanya bisa mengantar peneliti di hari pertama dikarenakan Ibu Pendeta
Prapty juga memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan dan peneliti pun
menyetujuinya dan Ibu Pendeta Prapty juga memberikan pinjaman sepeda motor
kepada peneliti.
Keesokan harinya sekitar pukul sembilan pagi, peneliti dan Ibu Pendeta
Prapty bergegas untuk menuju lokasi penelitian dengan menggunakan dua unit
sepeda motor dengan alasan agar peneliti bisa mempelajari dan mengingat
perjalanan menuju lokasi penelitian dikarenakan Ibu Pendeta Prapty tidak bisa
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

selalu menemani peneliti. Setelah sampai di lokasi, Pendeta Prapty bertanya
kepada masyarakat sekitar siapa saja yang bisa dan cocok untuk menjadi informan
peneliti dan banyak yang memberi saran kepada peneliti untuk menghubungi
beberapa orang yang kira-kira juga bersedia untuk diwawancarai namun ada satu
informan yang disarankan kepada peneliti untuk langsung dijumpai saat itu juga
karena tidak adanya nomor telepon yang bisa dihubungi, jadi peneliti dan Ibu
Pendeta Prapty langsung bergerak menuju rumah informan yang dituju dengan
bantuan arahan arah oleh beberapa orang. Untuk informan yang lain, ada yang
peneliti hubungi lalu jumpai dan ada juga yang meminta untuk diwawancarai via
telepon saja tapi untuk permintaan seperti itu peneliti tidak lanjutkan karena
peneliti ingin mewawancarai informan secara langsung. Dalam sepuluh hari
penelitian ada beberapa hari peneliti tidak mengadakan wawancara, antara lain
disebabkan oleh cuaca yang benar-benar tidak mendukung. Adanya pasar
mingguan yang disebut “onan” yang membuat informan peneliti tidak mau
diwawancarai di hari tersebut karena harus berjualan dan ada juga informan yang
bekerja sebagai petani dan baru memulai masa tanam di mana waktu informan
banyak tersita untuk menanam dari pagi hingga sore dan malam hari untuk
beristirahat sehingga sulit untuk menemukan waktu yang cocok. Ada juga
informan yang menolak diwawancarai pada hari minggu karena bagi informan
tersebut hari minggu adalah hari beribadah dan hari libur.
Kendala lain yang mempengaruhi penelitian ini ialah bahasa. Peneliti
mengakui kurang mampu berbicara dengan lancar menggunakan bahasa batak dan
juga kurangnya perbendaharaan kata peneliti dalam bahasa batak sehingga sering
kesulitan untuk mengerti ketika berbicara dengan masyarakat maupun dengan
informan. Namun dengan bantuan Ibu Pendeta Prapty yang banyak berperan
sebagai penerjemah, peneliti sangat terbantu dan juga banyak menambah
perbendaharaan kata dan semakin banyak belajar juga. Ada dua informan yang
peneliti teliti kurang fasih dalam memahami dan berbicara apabila menggunakan
bahasa indonesia namun selebihnya sudah lebih akrab dengan bahasa indonesia.
Dan peneliti juga menemukan adanya perbedaan bahasa batak yang digunakan
oleh informan-informan yang sudah peneliti wawancarai yaitu ada yang
menggunakan bahasa batak resmi yang masih utuh dan baku yang membuat

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

penerjemah pun bingung untuk menjelaskannya kepada peneliti karena dalamnya
makna yang terkandung dan ada juga yang sudah mencampurnya dengan bahasa
batak sehari-hari tapi ada pula yang mencampurkan bahasa batak dengan bahasa
indonesia bagi beberapa keluarga yang pernah merantau dan kembali ke kampung
halaman ataupun memang sudah cukup fasih dalam berbahasa indonesia.
Namun selain kendala akan perjalanan dan bahasa, peneliti juga mendapat
bantuan dari informan yang peneliti wawancarai. Dua informan yang peneliti
wawancarai bersedia untuk datang ke HKBP Buhit tempat peneliti berdomisili
sementara di karenakan saat itu peneliti tidak bisa keluar akibat cuaca yang sangat
buruk dan lebih memilih untuk tidak membahayakan diri sendiri. Dengan
memberanikan diri meminta bantuan dan bernegosiasi sedikit, kedua informan
tersebut menyetujui permintaan peneliti untuk bisa datang ke HKBP Buhit dan
melakukan wawancara.

4.1.2

Profil Informan

4.1.2.1 Informan 1
Nama

:

Sihol boru. Habeahan

Usia

:

88 Tahun

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Pekerjaan

:

Petani

Tanggal Wawancara :

2 Maret 2017

Pukul

:

13.04 WIB

Tempat

:

Kediaman Inang Sihol

Inang Sihol memiliki ciri-ciri fisik yaitu, berambut putih digulung
kebelakang tapi sedikit berantakan, berbadan kurus, tingginya kira-kira 160cm,
sudah tidak memiliki 2 gigi depan atas dan bawah. Pada saat peneliti wawancarai,
Inang Sihol mengenakan blus berwarna biru tua dengan motif liris-liris putih
horizontal ditengah dan bunga-bunga putih dipinggir dan belakang, juga
mengenakan sarung berwana biru tua dan liris-liris vertikal biru muda. Ketika

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

hendak memulai wawancara peneliti menemukan kesulitan karena Inang Sihol
kurang fasih berbahasa Indonesia, jadi peneliti meminta bantuan kepada seorang
Pendeta untuk membantu peneliti menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan yang
peneliti ajukan juga dengan jawaban yang diberikan Inang Sihol. Wawancara
dengan informan pertama peneliti lakukan di kediaman Inang Sihol sendiri
dengan menempuh perjalanan yang cukup panjang dan jauh juga karena
banyaknya jalan yang harus dilalui hati-hati membuat jarak menuju rumah Inang
Sihol menjadi sangatlah jauh, kira-kira satu setengah jam mengendarai sepeda
motor dengan kecepatan kurang lebih 40 km/jam. Sekitar pukul 13.00 peneliti
sampai di kediaman Inang Sihol dengan panduan jalan dari beberapa masyarakat
setempat. Banyak yang merekomendasikan Inang Sihol sebagai informan karena
usianya yang sudah menginjak usia 88 tahun dan pengetahuan Inang sihol tentang
budaya batak khususnya tentang BNR sudah tidak diragukan lagi terkait usia dan
latar belakang keluarganya yang cukup dikenal karena posisi sang ayah pernah
menjabat sebagai kepala desa hingga akhir hayatnya.
4.1.2.2 Informan 2
Nama

:

Sondangboru. Sitanggang

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Umur

:

54 Tahun

Pekerjaan

:

Pegawai Negeri Sipil

Tanggal Wawancara :

3 Maret 2017

Pukul

:

18.12 WIB

Tempat

:

Teras Gereja HKBP Buhit

Inang Sondang memiliki ciri-ciri fisik perawakan yang besar dan tinggi,
rambut hitam lurus yang dijepit setengah kebelekang, alis tipis, juga memiliki
beberapa tahi lalat di dekat mata, bibir dan pipi. Saat itu, Inang Sondang memakai
baju berwarna coklat dengan lengan panjang dan celana tujuh per delapan yang
dilapisi sarung. Wawancara dengan Inang Sondang peneliti lakukan di teras gereja
HKBP Buhit dikarenakan cuaca saat itu tidak memungkinkan peneliti untuk pergi
karena cuaca yang sangat tidak baik sejak pagi hingga siang hari sehingga
membahayakan bila harus memaksa pergi mengingat jauhnya perjalanan dan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

setelah bernegosiasi dengan Inang Sondang, beliau pun setuju untuk
diwawancarai di kediaman Ibu Pendeta Prapty tempat peneliti berdomisili
sementara. Sebelum diwawancarai, Inang Sondang awalnya mengaku tidak terlalu
banyak tahu tentang Boru Ni Raja, namun ketika peneliti yakinkan juga karena
banyak yang merekomendasikan beliau, akhirnya beliau setuju bahkan sangat
membantu peneliti dikarenakan kemurahan hatinya mau menyempatkan diri
datang untuk diwawancarai.
4.1.2.3 Informan 3
Nama

:

Lasrina boru Tambun

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Usia

:

48 Tahun

Pekerjaan

:

Dokter Gigi

Tanggal Wawancara :

7 Maret 2017

Pukul

:

19.00 WIB

Tempat

:

Teras Gereja HKBP Buhit

Inang Lasrina memiliki ciri-ciri fisik tubuh yang tidak terlalu tinggi, kulit
berwarna sawo matang, rambut atas bergelombang sampai tengah dan dibawah
lurus akibat smoothing, juga mengenakan kacamata minus dua setengah kanan
kiri yang ketika wawancara berlangsung diletakkan di atas kepala. Inang Lasrina
bekerja sebagai dokter gigi di kecamatan Sianjur Mulamula tepatnya di jalan Si
Raja Batak. Ketika diwawancarai, Inang Lasrina mengenakan pakaian berawarna
krem dengan lengan sampai siku dan celana panjang berwarna hitam dan tas
selempang yang diletakkan di depan perut dan menggunakan sendal. Wawancara
dengan Inang Lasrina peneliti lakukan di teras gereja HKBP Buhit seperti yang
peneliti lakukan dengan Inang Sondang, namun itu karena keinginan dari Inang
Lasrina sendiri. Saat peneliti menghubungi Inang Lasrina untuk ditanyakan
kesediaannya, Inang Lasrina pun menjelaskan bahwa beliau bisa diwawancarai
kapan saja asalkan bukan di hari minggu dan rabu karena hari rabu ada onan
(pasar seminggu sekali) jadi peneliti mengajukan untuk mewawancarai Inang
Lasrina di hari senin lalu Inang Lasrina menanggapi dengan memberi saran hari
selasa karena dirinya akan pergi ke pelabuhan Tomok untuk mengambil kiriman
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

dan menyarankan untuk diwawancarai di kediaman sementara peneliti yaitu di
HKBP Buhit, dan dengan senang hati peneliti menyetujuinya. Sama halnya
dengan Inang Sondang, Inang Lasrina juga merasa dirinya belum pantas untuk
diwawancarai mengenai Boru Ni Raja dikarenakan Inang Lasrina pernah
merantau ke Medan ketika menempuh pendidikan strata satu di Universitas
Sumatera Utara, walaupun begitu peneliti juga meyakinkan Inang Lasrina bahwa
Inang Lasrina tetap memenuhi kriteria sebagai informan.
4.1.2.4 Informan 4
Nama

:

Rohana Elishabet Siahaan

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Usia

:

23 Tahun

Pekerjaan

:

Guru Honorer

Tanggal Wawancara :

8 Maret 2017

Pukul

:

13.45 WIB

Tempat

:

“Perkampungan Si Raja Batak”

Rohana memiliki ciri-ciri fisik yaitu berbadan cukup ideal dengan
perawakan yang tidak terlalu tinggi atau pendek dan tidak gemuk tapi juga tidak
terlalu kurus, hidung mancung, berkulit gelap dan tidak memiliki bulu ditangan
juga memiliki rambut hitam kelam sepanjang bahu tanpa poni dan memakai
jepitan coklat kecil yang menjepit sebagian kecil rambutnya di atas telinga kiri.
Saat diwawancarai, Rohana memakai kemeja berwarna coklat yang melekat pas
sesuai dengan bentuk tubuhnya dan celana jeans panjang berawarna hitam dan
membawa tas ransel kecil dan menenteng jaket hitam di kedua tangannya. Ketika
menghubungi Rohana untuk dimintai kesediaannya diwawancarai, awalnya
Rohana tidak berkenan bahkan mengira peneliti ingin melakukan tindakan
penipuan

tetapi

ketika

peneliti

menyebutkan

nama

orang-orang

yang

merekomendasikan dan mengatakan bisa memberikan bukti bawa ini adalah
penelitian, maka ia pun setuju untuk diwawancarai. Peneliti mewawancari Rohana
di suatu tempat wisata yang bernama “Perkampungan Si Raja Batak” dikarena
baginya terlalu jauh apabila peneliti harus pergi kerumahnya dan ia pun
mengusulkan peneliti untuk bertemu di tempat wisata tersebut sekaligus ingin

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

melihat lagi tempat wisata tersebut karena baru direnovasi. Dan wawancara
berlangsung di halaman tempat parkir tetapi karena saat itu sepi pengunjung jadi
peneliti dan Rohana bisa leluasa mengoboruol.
4.1.2.5 Informan 5
Nama

:

Betty

Jenis Kelamin

:

Perempuan

Usia

:

22 Tahun

Pekerjaan

:

Mahasiswa

Tanggal Wawancara :

10 Maret 2017

Pukul

:

12.00 WIB

Tempat

:

Huta Habeahan dan Medan

Informan terakhir peneliti memiliki ciri-ciri fisik yaitu tinggi yang hampir
mancapai 170 cm, berambut lurus panjang yang terlihat sangat lembut dengan
poni belah tengah dan berkulit putih, juga berhidung macung serta mengenakan
kacamata dengan gagang berwarna hitam. Pada awalnya, peneliti tidak tahu
bahwa Betty seorang mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota Medan.
Betty tidak keberatan sama sekali ketika pertama kali peneliti tanyakan
kesediaannya, karena sesama mahasiswa dan ia sangat menyukai berdiskusi
tentang budaya batak maka tidak ada hal yang memberatkan dirinya untuk peneliti
wawancara. Temapat tinggal Betty tidak jaug dari kediaman Inang Sihol hanya
berjarak sekitar tiga ratus meter sebelum rumah Inang Sihol. Ketika
diwawancarai, Betty mengenakan kaos putih tebal dengan lengan panjang dan
celana panjang berwarna biru langit. Namun saat diwawancarai di hari Jumat,
peneliti dan Betty tidak bisa berlama-lama melakukan wawancara karena tiba-tiba
Betty ditelepon harus ke ladang untuk mengantar makan siang yang seharusnya
diantar oleh sepupu Betty, ketika peneliti menawarkan diri untuk ikut mengantar
makanan ke ladang, Betty tidak memperkenankan di karenakan ketika sudah
sampai di ladang tidak akan ada waktunya untuk melanjutkan wawancara dan
harus membantu dan menunggui orang tuanya hingga pulang bersama. Oleh
karena itu peneliti berinisiatif untuk melanjutkan wawancara di Medan saja dan ia
pun menyetujuinya. Di Medan peneliti berkunjung ke kos Betty untuk

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

melanjutkan wawancara dan sambutan Betty sama hangatnya ketika diwawancarai
di kampung. (Betty tidak berkenan disebutkan universitas dan tempat tinggalnya
dikarenakan alasan pribadi)
Tabel 4.1.2 Profil Informan
No
1.

Nama
Sihol boru Habeahan

Profil Informan


Tidak menempuh pendidikan apapun



Menjadi seorang BNR sejak bisa berperilaku
layaknya BNR yang sesuai dengan yang
diharapkan orang tua



Mempelajari menjadi seorang BNR dari
orang tua



Tidak pernah merantau



Usia 88 Tahun



Asal tempat tinggal : Huta Habeahan



Agama : Kristen Protestan



Status : Janda ditinggal mati



Anak Ke 1 dari 3 bersaudara



Tingkat Ekonomi : menengah



Memiliki 9 orang anak, 4 laki-laki normal, 5
perempuan normal dengan 1 yang tidak bisa
berjalan



Ciri-ciri : berambut putih uban keriting,
perawakan kurus, kulit sawo matang, tinggi
kira-kira 160 cm, tidak memiliki dua gigi
depan atas dan bawah

2.

Sondang boru



Sitanggang

Pendidikan terakhir S1 keguruan bahasa
indonesia di Univesitas Negeri Medan



Menjadi seorang BNR sejak bisa bertutur
kata dan berperilaku dengan baik



Mempelajari menjadi seorang BNR dari

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

orang tua khususnya ibu


Pernah merantau ke Medan ketika kuliah



Usia 54 Tahun



Asal : Buhit Parlondutan



Agama : Kristen Protestan



Status : Menikah



Anak Ke 2 dari 6 bersaudara



Tingkat Ekonomi : menengah ke atas



Memiliki 2 anak perempuan dan 2 anak lakilaki



Ciri-ciri : perawakan yang besar dan tinggi,
rambut hitam lurus, alis tipis, juga memiliki
beberapa tahi lalat di dekat mata, bibir dan
pipi.

3.

Lasrina boruTambun



Pendidikan terkakhir S1 kedokteran gigi



Menjadi seorang BNR sejak sikap sudah
baik dimata orang tua, dihitung mulai
pubertas karena dari situ kan sudah mulai
jadi titik balik perempuan



Mempelajari sebutan BNR dari orang tua
khususnya ibu



Pernah merantau ketika kuliah



Usia 48 Tahun



Tempat tinggal : Jalan Si Raja Batak



Agama : Kristen Protestan



Status : Menikah



Anak Ke 3 dari 7 bersaudara



Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas



Memiliki 3 anak perempuan



Ciri-ciri : tidak terlalu tinggi, kulit berwarna
sawo matang, rambut atas bergelombang

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

sampai tengah dan dibawah lurus akibat
smoothing,

juga

mengenakan

kacamata

minus dua setengah kanan kiri
4.

Rohana boru Siahaan



Pendidikan terakhir S1 keguruan bahasa
inggris



Menjadi seorang BNR sejak lahir



Mempelajari sebutan BNR dari orang tua



Pernah merantau ketika kuliah dan kerja di
Medan



Usia 23 Tahun



Agama : Kristen Protestan



Status : Belum menikah



Anak Ke 2 dari 4 bersaudara



Tingkat ekonomi : menengah



Ciri-ciri : berbadan cukup ideal dengan
perawakan yang tidak terlalu tinggi atau
pendek dan tidak gemuk tapi juga tidak
terlalu kurus, hidung mancung, berkulit
gelap dan tidak memiliki bulu ditangan juga
memiliki rambut hitam kelam sepanjang
bahu tanpa poni

5.

Betty boru Sianabang



Sedang menempuh pendidikan S1



Menjadi seorang BNR sejak dinilai sebagai
perempuan yang baik yang pas sama katakata orang tua dan sudah dinilai lebih
dewasa



Mempelajari sebutan BNR dari orang tua
khususnya ibu



Sedang merantau karena dalam pendidikan
S1

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara



Usia 22 Tahun



Asal tempat tinggal : Huta Habeahan



Agama : Kristen Protestan



Status : Belum menikah



Anak Ke 1 dari 4 bersaudara



Tingkat Ekonomi : Menengah ke atas



Ciri-ciri : tinggi yang hampir mancapai 170
cm, berambut lurus panjang yang terlihat
sangat lembut dengan poni belah tengah dan
berkulit putih, juga berhidung macung serta
mengenakan

kacamata

dengan

gagang

berwarna hitam
Sumber : Hasil Pengamatan dan Wawancara
4.1.3

Hasil Penelitian

4.1.3.1 Informan 1
Informan pertama yang peneliti wawancarai mengakui bahwa beliau tidak
memperoleh gelar Boru Ni Raja sejak lahir, namun diperoleh sejak dia berperilaku
layaknya Boru Ni Raja sesuai dengan yang diharapkan orang tua.Beliau juga
mengatakan sebagai Boru Ni Raja, beliau harus anggun dalam berbicara, tidak
centil, disiplin, baik, dan harus berpakaian yang sopan. Dengan begitu perempuan
batak akan menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai-nilai yang sangat baik
terlebih dalam hal berpakaian karena penilaian pertama orang kepada diri kita
terlebih dulu pada pakaian jadi sangat diharuskan untuk berpakaian yang sopan.
“Sian na tubu au, ndang pintor didok ahu Boru Ni Raja. Alai ingkon
jumolo do pangalahongku songon Boru Ni Raja na sasintongna. (Sejak saya
lahir, saya tidak langsung memperoleh gelar Boru Ni Raja. Tapi saya harus
terlebih dahulu berperilaku layaknya sebagai Boru Ni Raja agar saya bisa
disebut sebagai Boru Ni Raja.)”
“Molo gabe Boru Ni Raja unang mentel, ingkon burju, paham, donda,
jala tarida do i sian paheanna. (Sebagai Boru Ni Raja tidak boleh centil, harus

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

berperilaku baik, disiplin, anggun dan hal itu terlihat juga dalam hal berpakaian
yang sopan.)
Menurut Inang Sihol, gelar Boru Ni Raja bisa hilang pada perempuan
batak jika tidak berperilaku layaknya Boru Ni Raja. Bahkan jika tidak berperilaku
layak Boru Ni Raja disebut sebagai binatang, memang terdengar kasar tapi itulah
konsekuensi yang harus diterima apabila tidak mau atau tidak bisa berperilaku
sebagai Boru Ni Raja. Dan hal itu akan menjadi aib bagi keluarga sehingga akan
ada tindakan keras sebagai konsekuensi nyata yaitu diusir atau dikucilkan.
“Boi do mago i dah. Molo so pantun marnatuatua, jurgang marpahean, i
ma na nidokna babi. (Ya itu (gelar Boru Ni Raja) bisa hilang. Kalau tidak hormat
kepada orang tua, tidak rapi berpakaian, itulah yang disebut babi.)”
Inang Sihol yang berbadan kurus dan berambut putih ini mengaku diajari
oleh ibunya untuk berperilaku layaknya Boru Ni Raja namun tidak secara formal
tapi dalam kebiasaan-kebiasaan sehari-sehari di dalam rumah. Dalam keluarga,
seorang ibu menjadi yang utama unuk memberikan pelajaran tentang kehidupan
bagi anak-anaknya.
“Sian omakniba do iba marsiajar. Omakniba do namangajari iba asa
marpangalaho gabe Boru Ni Raja. Ai di sada keluarga, dainang do na gabe uluan
laho marmahani huhut mangajarajari iangka gellengna. (Saya belajar dari ibu
saya. Ibu saya yang mengajari supaya berperilaku layaknya Boru Ni Raja. Dalam
suatu keluarga, peran ibu adalah menjadi tonggak untuk mengajari anakanaknya.)”
Sebagai Boru Ni Raja, beliau dituntut harus dapat mengerjakan pekerjaan
utama seorang Boru Ni Raja, yakni bertenun dan menganyam tikar karena ketika
itu zaman masih sangat sederhana namun bagi Inang Sihol keahlian-keahlian itu
tidak bisa diharuskan untuk Boru Ni Raja-Boru Ni Raja zaman sekarang dikarena
sudah semakinnya alat-alat pertanian dan sudah banyak orang-orang batak yang
merantau sehingga pekerjaannya bukan lagi sebagi petani. Namun dikala Inang
Sihol saat itukalau tidak memiliki keahlian tersebut maka orang seperti itulah
yang dikatakan manusia jalang, manusia babi.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

“Ingkon diboto do martonun, manduda bayon dohot mangaletek. Molo so
diboto (martonun, manduda bayon dohot mangaletek), on ma nidokna jolma
jalang manang jolma babi. (Harus mahir bertenun dan menganyam tikar. Kalau
tidak tahu (bertenun dan menganyam tikar), itulah yang disebut sebagai manusia
jalang atau manusia babi.)”
Inang Sihol juga merasakan di zamannya yang sederhana dulu, pakaianpakaian tidak mudah didapat seperti sekarang. Inang Sihol pun tidak sungkan
memperagakan cara menggunakan tampetampe (salendang orang batak yang
menjadi pakaian khas perempuan batak yang dipakaikan menutupi bawah leher
hingga mata kaki. Inang Sihol juga menambahkan bahwa pakaian-pakaian saat itu
bisa menjadi pengenal status sosial keluarganya. Seorang yang memiliki uang
yang banyak akan memiliki tampetampe dengan bahan dasar kain yang halus
namun bagi keluarga yang kurang mampu terkadang membuat tampetampe dari
anyaman-anyaman saja.
“Jadi songon on ma mamangke on (huhut diampehon ma tampetampe i tu
abarana). On ma goarna tampetampe. Ia tampetampe on, on ma na dipangke
Boru Ni Raja asa tarida tongam. (Seperti inilah cara memakai ini (sambil
diletakkan selendang tersebut ke bahunya). Inilah namanya selendang. Selendang
inilah yang dipakai Boru Ni Raja supaya terlihat anggun.”
Bagi Inang sihol cara berbicara yang baik bukan hanya tuntutan untuk
Boru Ni Raja namun kebanyakan orang pun harus bertutur kata dengan sopan,
ramah, dan memikirkan yang akan diucapkan. Dan Inang Sihol sendiri
memercayai bahwa apabila kita menggunakan bahasa baik dan sopan kepada
orang lain maka mereka pun akan melakukan hal yang sama kepada kita,
semacam hukum karma atau tabur tuai.
“Ndang pola adong na khusus ianggo taringot cara manghatai. Sarupa do
angka jolma na asing manghatai, ingkon sopan, ramah, jala diboto aha na naeng
nidokna. Songon hata ni natuatua i, jolo jinilat bibir asa nidok hata. (tidak ada
yang khusus mengenai cara berbicara. Sama seperti kebanyakan orang berbicara
harus sopan, ramah, dan tahu apa yang akan diucapkan. Seperti pepatah tetua

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

mengatakan, jilat bibir dulu lalu berbicara (artinya memikirkan terlebih dahulu
apa yang akan diucapkan).)”
Sebagai Boru Ni Raja, Inang Sihol mengakui tidak dituntut harus memiliki
standar pendidikan yang tinggi, justru Inang Sihol tidak pernah mengenyam
pendidikan formal seperti layaknya zaman sekarang ini. Dan bagi Inang Sihol
sendiri sang ibu sudah cukup menjadi guru yang bisa menajari semuanya.
Sekalipun Inang Sihol tidak bisa membaca dan menulis tapi itu tidak mengurangi
sifat-sifat baik yang sudah diajarkan orang tuanya kepadanya malahan dengan
tidak mengenal huruf, Inang Sihol diuntut untuk bisa mengingat banyak hal
misalnya nyanyian-nyanyian gereja, beliau mengaku tidak pernah membawa buku
lagu ketika ke gereja karena lagu-lagunya sudah beliau hafal bahkan sampai
usianya 88 tahun sekarang.
“Ba, molo songon hami najolo ndang adong itanda hami singkola. Ndang
adong najolo singkola. Manurat pe sohuboto. Alai ido, ingkon malo ma martonun
dohot mangaletek bayon. (Kalau kami zaman dulu tidak mengenal pendidikan.
Tidak ada sekolah. Menulis saja sayang tidak tahu. Tapi iya, saya harus mahir
bertenun dan menganyam tikar.”
Bahkan setelah berbicara panjang lebar ada kesedihan yang dirasakan
Inang Sihol. Beliau menilai bahwa perempuan Batak sekarang sudah diberikan
kebebasan sekolah, tidak harus pintar bertenun dan menganyam tikar karena kain
dan tikar telah diproduksi oleh paboruik yang kualitasnya lebih bagus juga. Tetapi
beliau melihat banyak perempuan batak tidak memakai kesempatan itu untuk
menjadikan dirinya lebih baik karena pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan
sekarang sangatlah mudah dan bahkan perempuan sekarang bisa mengekspresikan
dirinya secara bebas tidak seperti dulu yang dialami oleh Inang Sihol.
“Anggo songon sonari nunga tabo be. Ndang ingkon malo martonun
dohot mangaletek bayon, ai nga godang digadis di onan angka abit dohot tikkar
na nitungkangan ni paboruik i, jala dumenggan muse do. (Kalau sekarang sudah
enak. Sekarang tidak harus mahir bertenun dan menganyam tikar, sudah banyak
kain dan tikar dijual di pasar yang diproduksi oleh paboruik, kualitasnya pun
lebih bagus.)”

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

“Alai sipata ma tarilu iba. Ai mansai godang do boru batak nuaeng on,
nga dilehon parsingkolaan na dumenggan alai godangan dope na so dilehon
rohana laho marsiajar. (Terkadang saya merasa sedih. Banyak perempuan batak
yang telah diberikan pendidikan yang lebih baik, tetapi banyak pula yang tidak
memberikan hatinya untuk belajar.)”
“Umbaen i, inang. Haburjuhon ma namarsingkola i da, gomos
tangiangmu tu Tuhan i asa dipatulus sude langkam. (Maka dari situ, bu. Baikbaiklah kamu belajar, teguhlah dalam doa kepada Tuhan supaya dicerahkan
segala langkahmu.)”
Sejauh ini Inang Sihol menganggap bahwa dirinya telah berperilaku
layaknya Boru Ni Raja walaupun dalam beberapa hal beliau pernah lalai untuk
melaksanakan tugasnya dan hal itu beliau katakan adalah hal yang wajar karena
tidak ada satupun manusia yang bisa sesempurna itu.
“Ba anggo saleleng on nunga hupatandahon au na Boru Ni Raja. Sian
panghulinghu,

pangalahongku,

paheanhu

dohot

lan

na

asing

nunga

hupatandahon diringku. Nang pe di sadasada tingki sipata manimbil au sian i.
Alai goarna jolma ndang adong na so hona tondong hasalaan. (Sejauh ini saya
sudah menunjukkan bahwa saya Boru Ni Raja. Dari cara berbicaraku, dari
sikapku, dari pakaianku dan banyak hal yang lain telah kutunjukkan bahwa diriku
adalah Boru Ni Raja. Walaupun terkadang meleset dari semua itu. Tetapi yang
namanya manusia tidak ada yang yang tidak tersentuh kesalahan.)”
Menurut Inang Sihol, orang tua zaman dulu sangat protektif terhadap anak
perempuannya. Maka dari itu pergaulan Inang Sihol pun sangat terkungkung. Jika
ada laki-laki yang ingin menjumpai dirinya harus melalui orang tua terlebih
dahulu dan si laki-laki tersebut juga tidak dapat menjumpai sendiri, dia harus
membawa teman dan orang tuanya. Hal ini bukan hanya terjadi pada dirinya,
namun bagi semua kaum perempuan batak yang masih gadis. Inilah yang disebut
Martandang (berkunjung). Dengan cara seperti itu, laki-laki akan dinilai sudah
serius untuk menjalin hubungan dengan perempuan karena harus meminta izin
kepada orang tuanya dan orang tua perempuan sekalipun hanya untuk

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

mengoboruol dan tidak diperkenankan untuk mengoboruol berdua saja harus
didampingi.
“Hami najolo ndang boi lomolomo ni partandang ro mandapothon hami.
Molo ro partandang ingkon jumolo do ro mandapothon natuatua. Jala ndang boi
pintor manghatai halaki, ingkon natuatua tu natuatua do manghatai. Jadi molo ro
partandang ingkon dohot do donganna dohot natuatua rappak ro. Ido makana
didok ‘sude rappak dapotan’. (Tidak boleh sesuka hati si lelaki untuk menjumpai
kami. Kalau si lelaki datang, dia harus terlebih dahulu menjumpai orang tua
kami. Tetapi tidak bisa mereka langsung berbicara empat mata. Harus orang tua
dengan orang tua yang dapat berbicara. Jadi, kalau datang si lelaki untuk
menjumpai si gadis, dia harus serta merta mengajak teman dan orang tuanya.
Maka dari itu ada istilah ‘semua kebagian’.)
Inang Sihol juga menggambarkan perbedaan yang sangat signifikan antara
perempuan batak zaman dulu dan perempuan batak saat ini. Dilihat dari cara
berpakaian dan pergaulannya. Perempuan zaman sekarang sudah banyak
berpakaian tidak pantas di depan khalayak, dan pergaulannya sungguh bebas
bahkan perempuan sekrang tidak malu untuk mengejar lelaki yang disukai hanya
dengan chatting di sosial media, seperti Facebook, mereka sudah bisa bertemu di
suatu tempat tanpa ada hambatan. Padahal perempuan zaman dahulu sungguh
sangat sulit untuk bertemu dengan lelaki pujaan hatinya, bahkan terkadang harus
terima

dengan

perjodohan

yang

dilakukan

orang

tua

tanpa

ditanyai

persetujuannya.
“Nunga apala dao perubahan na terjadi nuaeng on. Boi do niida sian
pahean dohot pardonganonna. Molo boruboru si nuaeng on nunga mansai
godang marpahean na so suman di jolo ni natorop, jala pardonganonna pe nunga
tung mansai bebas. Molo di tingki hami najolo tung mansai maol do pajumpang
dohot si doli tinodo ni roha. Alai molo di zaman saonari on nunga tung mansai
ura pajumpang. Holan dichatting sian Facebook nunga boi pajumpang di tonga
dalan manang di inganan na asing. (Sudah sungguh jauh perubahan yang terjadi
saat ini. Bisa kita lihat dari cara berpakaian dan pergaulannya. Kalau anak gadis
sekarang sudah sangat banyak yang berpakain yang kurang pantas di depan

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

khalayak, dan pergaulannya pun sungguh bebas. Kalau sewaktu kami dulu,
sungguh susahnya untuk bertemu dengan lelaki pujaan hati. Tetapi sekarang
sudah sangat mudah untuk bertemu. Hanya dengan chatting di Facebook sudah
bisa berjumpa di tengah jalan atau di tempat lain.)”
Menurut Inang Sihol, sangat berbeda perempuan yang disebut Boru Ni
Raja dengan yang tidak. Terlihat dari perilakunya bahwa perempuan yang disebut
sebagai Boru Ni Raja sangat santun dan menaati perintah adat dan orang tua.
“Nunga dao marimbar i da. Molo nanidokna Boru Ni Raja tongam do i,
paham jala malo martonun. Alai molo na so Boru Ni Raja, ba didok ndang adong
tingkos ni pangalahona, sude dolidoli do diparmeammeam on. (Itu sudah sangat
jauh berbeda. Kalau yang disebut sebagai Boru Ni Raja dia santun, sopan, dan
mahir bertenun. Tetapi kalau bukan Boru Ni Raja, tidak benar tingkahnya, semua
laki-laki dipermainkannya.)” Ucapnya kesal.
Inang Sihol juga menjelaskan bahwa perbedaan Boru Ni Raja dengan yang
tidak terlihat dari kemahirannya. Yang tidak tergolong Boru Ni Raja akan
memakai bayon (bahan dasar membuat tikar) sebagai pakaiannya karena dia tidak
pintar bertenun. Sedangkan yang tergolong Boru Ni Raja akan sangat anggun
karena pakaiannya ditenun.
“Tarida muse do i sian parbinotoanna martonun. Molo na so targoar
Boru Ni Raja, pahean ni on sian bayon do iletek. Holan bondana i ma ditungkup.
Jurgang ma idaon on ala so diboto martonun. Pintor asing do on tu na targoar
Boru Ni Raja ala malo martonun. Jadi pintor tongam abit na nitonun na i
dipangke. (Hal itu terlihat juga dari kemahirannya bertenun. Kalau yang tidak
tergolong Boru Ni Raja, pakaiannya terbuat dari bayon (bahan dasar pembuat
tikar) dianyam. Hanya alat kemaluannya saja yang ditutupi. Sangat tidak pantas
pakaiannya karena tidak mahir bertenun. Sangat berbeda dengan yang tergolong
Boru Ni Raja karena mahir bertenun. Sangat anggun apabila kain yang
ditenunnya tersebut dipakai.)”
Inang Sihol tidak pernah merasa dikucilkan atau didiskriminasi karena
mengenyam gelar Boru Ni Raja bahkan beliau mendapatkan pujian-pujian dari

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

beberapa orang karena Inang Sihol dinilai dapat menjalankan tugasnya sebagai
Boru Ni Raja dengan baik dan sangat patuuh kepada orang tua. Justru yang tidak
tergolong Boru Ni Raja yang mendapkat banyak cacian atau sering direndahkan
karena di zaman Inang Sihol dulu kalau seorang perempuan bukan Boru Ni Raja
maka ia adalah perempuan yang tidak baik, pembangkang, dan melawan orang tua
sehingga tidak pantas didekati.
“Daong, ndang hea au ditorui ala targoar au Boru Ni Raja. Agiala gabe
sada las ni roha do i au ala targoar gabe Boru Ni Raja. Halak na asing pe
godang do mamuji ala boi hudalani na Boru Ni Raja au. Halak na so targoar
Boru Ni Raja i do na gabe gumodang ditorui angka jolma i. (Tidak. Saya tidak
pernah dikucilkan karena saya tergolong Boru Ni Raja. Justru itu adalah suatu
kebanggaan terhadap diri saya karena tergolong Boru Ni Raja. Orang lain pun
banyak memuji saya karena saya dapat menjalankan tugas saya sebagai Boru Ni
Raja. Yang tidak tergolong Boru Ni Raja yang banyak dikucilkan oleh
khalayak.)”
4.1.3.2 Informan 2
Bagi Inang Sondang, menjadi BNR bukanlah sesuatu yang didapat sejak
lahir. Seorang perempuan batak harus bisa mengerti akan ajaran-ajaran orang tua
dan melaksanakannya serta tidak melawan orang tua atau berusaha untuk tidak
patuh terhadap orang tua, baru bisa disebut sebagai BNR karena dengan ukuran
seperti itu berarti perempuan batak tersebut sudah bisa memahami dan menjadi
perempuan yang terdidik baik dan layak disebut BNR serta siap untuk menjalani
kehidupan sebagai seorang istri kelak. Inang sondang juga mengakui bahwa kini
pemahaman orang-orang batak – khususnya yang sudah merantau - akan BNR
sudah banyak bergeser dan banyak yang menganggap bahwa menjadi BNR adalah
sesuatu yang sudah diberikan sejak lahir bagi si perempuan batak tersebut padahal
sebenarnya tidak.
“Sekarang semua orang menganggap semua ini sudah BNR dari lahir
padahal tidak. Dia harus tahu dulu semua yang harus dikerjakan dan dipatuhinya
dari orangtuanya baru dia bisa dinilai dan disebut BNR”

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

Namun, seseorang yang disebut BNR tidaklah mendapat sebutan tersebut
secara resmi. Maksudnya ialah tidak ada adat tertentu untuk mengangkat seorang
perempuan batak menjadi BNR, hal itu alamiah sesuai dengan apa yang dinilai
orang tua kepada anak perempuannya dan tidak ada ajaran-ajaran khusus dalam
waktu tertentu yang harus diberikan orang tua untuk mengajari anak
perempuannya sebagai BNR, cukup diajari lewat teladan hidup orang tua
khususnya sang ibu. Inang Sondang sendiri lebih mengerti akan peran dan tugas
seorang BNR melalui apa yang ibunya ajarkan sehari hari. Contohnya, ketika
memasak, Inang Sondang sering disuruh untuk mengupas bawang dan rempahrempah lainnya tapi hal itu sudah termasuk ajaran bagi Inang Sondang sendiri
agar mengingat bumbu apa saja dan bagaimana cara membuatnya ketika akan
masak sesuatu.
“Kaya misalnya dibilang “songon on do molo boru ni raja” (seperti
inilah kalau BNR) sambil diajari masak atau diajari yang lain”
Menurut penuturan Inang Sondang, seorang BNR juga dituntut harus bisa
memasak, terlebih masak masakan khas batak seperti, NaNi Arsik, Na Tinombur,
Sangsang dan masakan lainnya. Hal itu mutlak harus dimiliki oleh BNR karena
dalam budaya batak peran perempuan adalah mengatur dapur dan segala isinya
jadi memasak seharusnya menjadi hal yang biasa. Ditambahkan lagi, adalah hal
yang memalukan bagi seorang perempuan batak apabila tidak bisa memasak,
terlebih di depan suami dan mertua dan hal itu juga akan menimbulkan pendapat
negatif yang tertuju kepada orang tua karena dianggap tidak mampu mengajari
anak perempuannya dengan baik. Selain itu sebagai BNR, tidak ada pakaian
khusus yang harus diwariskan kepada generasi berikutnya atau pakaian
dikenakan di waktu tertentu dalam adat batak sepanjang pengetahuan Inang
Sondang. Tapi tentunya orang tua pasti menekankan anak perempuannya untuk
berpakaian sopan dan anggun sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Terlebih
sekarang banyaknya pakaian-pakaian ketat yang di pakai perempuan sekarang
yang mangganggu pandangan mata.

Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara

“Kalau yang diwariskan gitu gak ada tapi kita diajari bajunya tidak boleh
seksi atau ngepas ketat-ketat ke badan, rok mini juga ga boleh apalagi baju yang
transparan”
Menurut pernyataan Inang Sondang, sel

Dokumen yang terkait

Variasi Leksikal Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Sianjur Mulamula Kabupaten Samosir

0 1 32

Variasi Leksikal Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Sianjur Mulamula Kabupaten Samosir

0 3 2

Variasi Leksikal Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Sianjur Mulamula Kabupaten Samosir

0 0 11

Variasi Leksikal Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Sianjur Mulamula Kabupaten Samosir

0 0 5

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 0 10

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 0 3

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 1 27

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 0 7

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 0 2

Konsep Diri Perempuan Batak Toba ( Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Perempuan Batak Toba Yang Diberi Gelar “Boru Ni Raja” Di Kecamatan Sianjur Mulamula, Kabupaten Samosir)

0 0 14