Analisis Mitigasi Banjir di Daerah Aliran Sungai Babura Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Penelitian Terdahulu

Penggunaan SIG dalam memetakan daerah bahaya banjir telah dilakukan oleh penelitipeneliti di berbagai kota dan negara. Penelitian terdahulu mengenai pemetaan banjir
dengan SIG untuk mitigasi banjir dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

2.2

Siklus Hidrologi

Di dalam lingkungan alam proses, perubahan wujud, gerakan aliran air (di permukaan
tanah, di dalam tanah dan di udara) dan jenis air mengikuti suatu siklus keseimbangan
dan dikenal dengan istilah siklus hidrologi (Sjarief, 2010). Siklus hidrologi tersebut harus
tetap berlangsung normal agar tidak terjadi ketidakseimbangan jumlah air di bumi yang
mengakibatkan gangguan-gangguan bagi makhluk hidup. Kelestarian lingkungan hidup
seperti daerah konservasi alam, hutan, dsb merupakan salah satu kunci dari siklus
hidrologi ini. Apabila kelestarian tersebut terganggu, akan timbul dampak yang sangat

serius bagi manusia seperti banjir, longsor, dan kekeringan (Imansyah, 2012).
Siklus Hidrologi adalah konsep dasar dalam kajian hidrologi dan merupakan konsep
keseimbangan atau neraca air. Konsep ini mengenal empat fase perubahan zat cair, yaitu
penguapan, pencairan, pembekuan, dan penyubliman atau dalam istilah hidrologi
mencakup evaporasi dan transpirasi, presipitasi, salju, dan lelehan salju atau kristal es.
Tenaga yang digunakan untuk berubah dari fase cair ke gas (evaporasi) dan
menggerakkannya ke atmosfer adalah energi radiasi surya. Proses berikutnya adalah
pendinginan, kondensasi dan presipitasi; selanjutnya akan diikuti oleh infiltrasi, limpasan
permukaan, perkolasi dan kembali ke laut atau badan air yang lain (Steven, 2014). Siklus
hidrologi ditunjukkan oleh Gambar 2.1.

2.3

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Mengenai Pemetaan Banjir

No

1

2

3

Nama Peneliti

Ali Sarhadi, Saeed
Soltani dan Reza
Modarres

Dhruvesh P. Patel dan
Prashant K. Srivastava

F. V. Silva, N.

B.Bonum dan P. K.
Uda

Tahun

Judul Penelitian

Metode Penelitian

Hasil Penelitian

2012

Probabilistic Flood Inundation
Mapping of Ungauged Rivers:
Linking GIS Techniques and
Frequency Analysis

Menggunakan metode Regional Flood Frequency
Analysis (RFFA) yaitu metode regresi kawasan untuk

memprediksi debit banjir; Simulasi daerah rawan
banjir dengan pemodelan terrain dari saluran sungai
menggunakan DTM beresolusi tinggi dan pemodelan
hidrolika dengan HEC-GEORAS dan menggunakan
simulasi steady flow

Lahan dan infrastruktur yang berada di
dekat sungai tergenang akibat terkena
dampak banjir pada kala ulang singkat.
Sedangkan daerah perumahan tergenang
akibat terkena dampak banjir pada kala
ulang panjang.

2013

Flood Hazards Mitigation
Analysis Using Remote Sensing
and GIS: Correspondence with
Town Planning Scheme


Citra satelit dari Google Earth, IRS-1D, peta
topografi dikombinasikan dengan analisis hidrolik
dan Digital Elevation Model (DEM) untuk
mengidentifikasi daerah rawan banjir.

Zona barat dan zona barat daya sangat
rawan terhadap banjir sementara zona
timur lebih aman. Menurut analisis yang
dilakukan, zona barat merupakan zona
terendah, sehingga lebih berisiko dilanda
banjir.

Flood Mapping in Urban Area
Using HEC-RAS Model
Supported by GIS

Menentukan nilai koefisien kekasaran Manning pada
penampang dan pengguanaan lahan menggunakan
software SPRING; Menentukan debit aliran banjir
untuk simulasi dengan kala ulang 2, 5, 10, 20, 50, dan

100 tahun dengan distribusi Gumble; kemudian
mengekstraksi data koefisien kekasaran ke dalam
ArcGIS dengan ekstensi HEC-GEORAS kemudian
mengekspor ke HEC-RAS untuk simulasi aliran
dengan steady flow.

Pemetaan banjir menunjukkan bahwa,
untuk banjir dengan kala ulang singkat,
beberapa daerah yang sangat rentan
terhadap banjir. Diantaranya adalah jalan
lalu lintas dan bangunan sekitarnya
jembatan sungai dan daerah pertemuan
sungai

2014

II-2
Universitas Sumatera Utara

Lanjutan Tabel 2.1


No

4

Nama Peneliti

Muhammad Isma’il dan
Iyortim Opeluwa
Saanyol

5

Vahdettin Demir dan
Ozgur Kisi

6

Shiori
Shimokawaa,Hidetoshi

Fukahoria dan
WeijunGaoa

Tahun

Judul Penelitian

Metode Penelitian

Hasil Penelitian

Application of Remote Sensing
(RS) and Geographic Information
Systems (GIS) in flood
vulnerability mapping: Case
study of River Kaduna

Mengembangkan DEM dengan resolusi tinggi
menggunakan ArcGIS untuk mengidentifikasi
daerah rawan banjir; Membuat model akumulasi

aliran menggunakan DEM dan DEM itu diklasifikasi
kedalam zona berisiko tinggi, risiko sedang dan zona
risiko rendah dengan menggunakan interval yang
sama dan dibedakan berdasarkan elevasi;
Selanjutnya melakukan overlay pada peta daerah
untuk menghasilkan peta kerentanan daerah banjir;
Melakukan wawancara dengan sampel penduduk
daerah-daerah tertentu yang beresiko banjir untuk
mengidentifikasi elemen-berisiko banjir.

Dari peta kerentanan banjir dapat diamati
bahwa bangunan perumahan yang berada
di sisi kanan sungan berada dalam zona
berisiko tinggi, lahan pertanian dan
industri dapat diamati dalam zona berisiko
tinggi di sisi kiri sungai.

2016

Flood Hazard Mapping by Using

Geographic Information System
and Hydraulic Model: Mert
River, Samsun, Turkey

1. Mempersiapkan DEM dengan ArcGIS.
2. Mensimulasikan aliran banjir dengan kala ulang
10, 25, 50, 100, dan 1000 tahun menggunakan HECRAS dengan simulasi steady flow.
3. Mengolah peta risiko banjir dengan
mengintegrasikan langkah 1 dan 2.

2016

Wide-area Disaster Prevention of
Storm or Flood Damage and Its
Improvement by Using Urban
Planning Information System

Menunmpangtindihkan peta pencegahan bencana
dengan peta DAS ke dalam SIG


2015

Peta menunjukkan pada banjir kala ulang
10 tahun, ketinggian banjir mencapai 6,2
m dengan daerah yang tergenang sekitar
30% di wilayah hilir sungai. Pada kala
ulang 100 tahun, ketinggian banjir
mencapai 7,6 m dengan daerah yang
tergenang sekitar 60%.
Dari peta yang diolah pada SIG, diketahui
terdapat 15 lokasi yang memiliki
penduduk sebanyak 2500 jiwa dan
diklasifikasikan sebagai area yang sulit
dievakuasi. Dari peta juga diketahui
terdapat empat lokasi yang memungkinkan
untuk dijadikan tempat pengungsian.

II-3
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1 Siklus Hidrologi
Sumber: www.environmentreviews.com
sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan
mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang
batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah
perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Definisi lain yaitu suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa,
sehingga merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya yang melalui
daerah tersebut dalam fungsinya menampung air yang berasal dari air hujan dan sumbersumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata
berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut;
daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat
sumber air dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran
dan muara sungai. Ada yang menyebut dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) dan
Daerah Tangkapan Air (DTA). Dalam istilah bahasa Inggris juga ada beberapa macam
istilah, yaitu catchment area, watershed, atau river basin (Kusumadewi dkk, 2012).
2.4

Banjir

Banjir merupakan debit aliran air sungai yang secara relatif lebih besar dari
biasanya/normal akibat hujan yang turun di hulu atau di suatu tempat tertentu secara terus

II-4
Universitas Sumatera Utara

menerus, sehingga tidak dapat ditampung oleh alur sungai yang ada, maka air melimpah
keluar dan menggenangi daerah sekitarnya.
Besarnya pasokan air banjir diidentifikasi dari besarnya curah hujan (sebagai masukan
sistem DAS) dan karakteristik daerah tangkapan air (catchment area). Tingkat ancaman
hujan terhadap besarnya banjir tergantung dari hujan harian maksimum yang merata
terjadi pada daerah tangkapan air tersebut. Sedangkan kerakteristik daerah tangkapan air
dipilah antara parameter penyusun alami (relatif sulit dikelola) dan penyusun manajemen
(mudah dikelola). Parameter atau faktor alami yang mempengaruhi air banjir dari daerah
tangkapan air (DTA) adalah bentuk DAS, gradien sungai, kerapatan drainase, dan lereng
rata-rata DAS; sedangkan faktor manajemen adalah penggunaan/penutupan lahan.
Kondisi hutan merupakan salah satu unsur dari manajemen penutupan lahan yang
berpengaruh terhadap banjir. (Paimin dkk, 2009).

2.4.1 Daerah Rawan Banjir
Identifikasi daerah rawan banjir dapat dibagi dalam tiga faktor yaitu factor kondisi alam,
peristiwa alam, dan aktivitas manusia. Dari faktor-faktor tersebut terdapat aspek-aspek
yang dapat mengidentifikasi daerah tersebut merupakan daerah rawan banjir (Purnama,
2008).
1. Faktor Kondisi Alam
Beberapa aspek yang termasuk dalam faktor kondisi alam penyebab banjir adalah kondisi
alam (misalnya letak geografis wilayah), kondisi toporafi, geometri sungai, (misalnya
meandering, penyempitan ruas sungai, sedimentasi dan adanya ambang atau
pembendungan alami pada ruas sungai), serta pemanasan global yang menyebabkan
kenaikan permukaan air laut.
2. Faktor Peristiwa Alam
Aspek-aspek yang menentukan kerawanan suatu daerah terhadap banjir dalam faktor
peristiwa alam adalah:
a. Curah hujan yang tinggi dan lamanya hujan
b. Air laut pasang yang mengakibatkan pembendungan di muara sungai
c. Air/arus balik (back water) dari sungai utama
d. Penurunan muka tanah (land subsidance)

II-5
Universitas Sumatera Utara

e. Pembendungan aliran sungai akibat longsor, sedimentasi dan aliran lahar dingin.
3. Aktivitas Manusia
Faktor aktivitas manusia juga berpengaruh terhadap kerawanan banjir pada suatu daerah
tertentu. Aspek-aspek yang mempengaruhi diantaranya:
a. Belum adanya pola pengelolaan dan pengembangan dataran banjir
b. Pemukiman di bantaran sungai
c. Sistem drainase yang tidak memadai
d. Terbatasnya tindakan mitigasi banjir
e. Kurangnya kesadaran masyarakat di sepanjang alur sungai
f. Penggundulan hutan di daerah hulu
g. Terbatasnya upaya pemeliharaan bangunan pengendali banjir.

2.4.2 Tingkat Kerawanan Banjir
Tingkat kerawanan daerah yang terkena banjir (kebanjiran) diidentifikasi dari karakter
wilayahnya seperti bentuk lahan, lereng kiri-kanan sungai, meandering, pebendungan
alami, dan adanya bangunan pengendali banjir. Bentuk lahan (landform) dari sistem lahan
seperti dataran aluvial, lembah aluvial, kelokan sungai, dan rawa-rawa merupakan daerah
yang rentan terkena banjir karena merupakan daerah rendah atau cekungan dengan lereng
(Paimin dkk, 2009). Dataran banjir di sekitar bantaran sungai yang masuk dalam daerah
genangan pada debit banjir tahunan Q100 merupakan daerah rawan banjir yang sangat
tinggi dijelaskan pada Tabel 2.2 menjelaskan klasifikasi ini yang akan diadopsi dalam
studi ini.
Tabel 2.2 Tingkat Bahaya Banjir Menurut Periode Kala Ulang
Kelas

Kala Ulang Debit Banjir

1

Q50 – Q100

Daerah Rawan
Banjir
Sangat Tinggi

2

Q30 – Q50

Tinggi

3

Q10 – Q30

Sedang

4

Q1 – Q10

Rendah

Sumber: Zevri, 2014

II-6
Universitas Sumatera Utara

2.4.3 Dampak Banjir Bagi Lingkungan
Aliran dinamis air saat terjadinya banjir dapat menyebabkan kerusakan lingkungan
sepanjang daerah yang dilanda banjir. Kerusakan-kerusakan tersebut diantaranya
(Boudaghpour et al, 2014):
1. Penurunan kualitas air tanah
2. Mengganggu kehidupan hewan dan biota air
3. Mengganggu pertumbuhan tanaman
4. Penurunan kualitas air permukaan
5. Mengganggu kesehatan manusia
6. Merusak karakteristik tanah
2.5

Mitigasi Banjir

Menurut pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi adalah kegiatan
sebelum bencana terjadi. Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam
untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2006 tentang pedoman umum mitigasi
bencana menjelaskan bahwa ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu:
1. Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana;
2. Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana;
3. Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul.
4. Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancarnan
bencana.
Berdasarkan Peraturan Menteri di atas, peta daerah resiko banjir perlu dibuat sebagai
salah satu langkah dalam mitigasi banjir. Dalam upaya untuk mengantisipasi banjir
tersebut, perlu adanya kajian mengenai kerentanan daerah yang sering terkena banjir dan
juga mengetahui berapa besar besarnya curah hujan yang terjadi diwilayah – wilayah
II-7
Universitas Sumatera Utara

tersebut, estimasi kerugian akibat banjir, lokasi titik dan jalur evakuasi sehingga setiap
tahunnya masyarakat dapat lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi fenomena banjir
ini. Pemetaan daerah resiko banjir perlu dilakukan pemerintah agar dapat mengambil
kebijakan yang tepat dalam menanggulangi banjir serta mengurangi kerugian yang
dialami.
2.6

Curah Hujan

Curah hujan dan kondisi tanah adalah penyebab langsung dari limpasan perkotaan. Curah
hujan dapat mengambil salah satu dari beberapa rute setelah mencapai permukaan bumi.
Air hujan dapat diserap oleh tanah di permukaan tanah, dicegat oleh vegetasi, langsung
disita di banyak fitur permukaan yang berbeda depresi kecil ke danau besar dan lautan,
atau menyusup melalui permukaan dan bawah permukaan tanah ke air tanah. Rute lain
yang diambil oleh prespitasi jatuh adalah limpasan. Tanah karakteristik DAS memiliki
pengaruh langsung pada proses curah hujan-limpasan dan ini termasuk ketebalan lapisan
tanah, permeabilitas, laju infiltrasi, dan tingkat kelembaban dalam tanah. Semakin besar
permeabilitas tanah, maka air untuk menjadi limpasan semakin berkurang (Horner, 1994
dalam Dauwani, 2012).
2.6.1 Curah Hujan Rata-Rata Areal
Data hujan yang diperoleh dari alat penakar hujan merupakan hujan yang hanya terjadi
pada suatu tempat atau titik saja (point rainfall). Mengingat hujan sangat bervariasi
terhadap tempat (space), maka untuk kawasan yang luas, satu alat penakar hujan tidaklah
cukup untuk menggambarkan curah hujan wilayah tersebut, oleh karena itu di berbagai
tempat pada daerah aliran sungai tersebut dipasang alat penakar hujan untuk mendapatkan
gambaran mengenai sebaran hujan di seluruh daerah aliran sungai (Yelza dkk, 2010).
Berikut ini merupakan metode-metode untuk menghitung curah hujan rata-rata areal
seperti yang dikutip dari Mahbub (2010).
1. Metode Rata-Rata Aritmatik
Metode rata-rata aritmatik adalah metode yang paling mudah diantara cara lainnya
(poligon dan isohyet). Digunakan khususnya untuk daerah seragam dengan variasi curah
hujan kecil. Cara ini dilakukan dengan mengukur serempak untuk lama waktu tertentu

II-8
Universitas Sumatera Utara

dari semua alat penakar dan dijumlahkan seluruhnya. Kemudian hasil penjumlahannya
dibagi dengan jumlah penakar hujan maka akan dihasilkan rata-rata curah hujan di daerah
tersebut. Secara matematis dituliskan dengan persamaan berikut:
̅=





�=

2.1

dimana: R = Curah hujan rata-rata wilayah atau daerah.
Ri = Curah hujan di stasiun pengamatan ke-i.
N = Jumlah stasiun pengamatan.
2. Metode Polygon Thiessen
Metode ini untuk daerah yang tidak seragam dan variasi curah hujan besar. Menurut Shaw
(1985) cara ini tidak cocok untuk daerah bergunung dengan intensitas curah hujan tinggi.
Dilakukan dengan membagi suatu wilayah ke dalam beberapa daerah-daerah membentuk
poligon. Untuk menghitungnya dapat menggunakan persamaan berikut:

dimana: R = Curah hujan daerah.

̅ = ∑(
�=

×

)

2.2

Rn = Curah hujan di setiap stasiun pengamatan.
An = Luas daerah yang mewakili tiap stasiun pengamatan.
3. Metode Isohyet
Metode ini dipandang paling baik, tetapi bersifat subyektif dan tergantung pada keahlian,
pengalaman, pengetahuan pemakai terhadap sifat curah hujan pada daerah setempat.
Isohyet adalah garis pada peta yang menunjukkan tempat-tempat dengan curah hujan
yang sama. Metode isohyet bergunan terutama berguna untuk mempelajari pengaruh
hujan terhadap perilaku aliran air sungai terutama untuk daerah dengan tipe curah hujan
orografik (daerah pegunungan). Dalam metode isohyet ini wilayah dibagi dalam daerahdaerah yang masing-masing dibatasi oleh dua garis isohyet yang berdekatan. Untuk
menghitung luas daerahnya, kita bisa menggunakan planimeter. Secara sederhana bisa
juga menggunakan kertas milimeter dengan cara menghitung kotak yang masuk dalam
batas daerah yang diukur. Untuk menghitungnya dapat menggunakan persamaan berikut:

II-9
Universitas Sumatera Utara

̅=∑



�=

+

×

2.3

2.6.2 Distribusi Frekuensi Curah Hujan
Hujan rancangan merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam kala ulang
tertentu sebagai hasil dari rangkaian analisis hidrologi yang biasa disebut analisis
frekuensi curah hujan. Analisis frekuensi sesungguhnya merupakan prakiraan dalam arti
probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa hidrologi dalam bentuk hujan rancangan
yang berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan hidrologi untuk antisipasi setiap
kemungkinan yang akan terjadi (Putra, 2008). Dalam ilmu statistik dikenal beberapa
macam distribusi frekuensi metode yang dipakai dalam analisis frekuensi data curah
hujan harian maksimum adalah sebagai berikut:
1. Distribusi Gumbel
Menurut Gumbel curah hujan untuk periode ulang tertentu tertentu (Tr) dihitung
berdasarkan persamaan berikut:
∑�=
=[





= ̅+ (

− ̅


]

2.4

)

2.5

dimana: YTr = Reduced variate. (tertera pada Tabel 2.3)
S = Standar deviasi data hujan.
Sn = Standar deviasi yang juga tergantung pada jumlah sampel (tertera pada
Tabel 2.4)
Yn = Reduced mean yang tergantung jumlah sampel (tertera pada Tabel 2.5)


= Curah hujan harian maksimum setiap tahun

̅ = Curah hujan harian maksimum rata-rata

XT = Curah hujan rencana

II-10
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Nilai Reduced Variate (YTR)
Periode Ulang
(T)

Reduced Variate
(YTR)

Periode Ulang
(T)

Reduced Variate
(YTR)

2

0.3668

100

4.6012

5

1.5004

200

5.2969

10

2.251

250

5.5206

20

2.9709

500

6.2149

25

3.1993

1000

6.9087

50

3.9028

5000

8.5188

75

4.3117

10000

9.2121

Sumber: Supardi, 2004 dalam Yusriawan, 2015
Tabel 2.4 Nilai Standar Deviasi Menurut Jumlah Sampel (Sn)
N

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

0.94

0,96

0,99

1,00

1,020

1,03

1,04

1,049

1,049

1,056

20

1,06

1,06

1,07

1,08

1,08

1,091

1,09

1,10

1,104

1,108

30

1,11

1,11

1,11

1,12

1,12

1,28

1,13

1,13

1,136

1,138

40

1,14

1,14

1,14

1,14

1,14

1,151

1,15

1,15

1,157

1,159

50

1,10

1,16

1,10

1,16

1,16

1,168

1,16

1,17

1,172

1,173

60

1,17

1,17

1,17

1,17

1,17

1,180

1,18

1,18

1,183

1,184

70

1,18

1,18

1,18

1,18

1,18

1,189

1,19

1,19

1,192

1,193

80

1,19

1,19

1,19

1,19

1,19

1,97

1,19

1,19

1,199

1,200

90

1,20

1,20

1,20

1,20

1,20

1,203

1,20

1,20

1,205

1,206

100

1,20

1,20

1,20

1,20

1,20

1,208

1,20

1,20

1,209

1,209

Sumber: Supardi, 2004 dalam Yusriawan, 2015
Tabel 2.5 Nilai Reduced Mean (Yn)
N
10
20
30

0
0,4952
0,5236
0,5362

1
0,4996
0,5252
0,5371

2
0,5035
0,5268
0,5380

3
0,5070
0,5283
0,5388

4
0,5100
0,5296
0,5396

5
0,5128
0,5309
0,5403

6
0,5157
0,5320
0,5410

7
0,5181
0,5332
0,5418

8
0,5202
0,5343
0,5424

9
0,5220
0,535
0,5346

40

0,5436

0,5442

0,5448

0,5453

0,5458

0,5463

0,5468

0,473

0,5477

0,5481

50
60

0,5486
0,5521

0,5489
0,5524

0,5493
0,5527

0,5497
0,5530

0,5501
0,5533

0,5504
0,5535

0,5508
0,5538

0,5511
0,5540

0,5515
0,5543

0,5518
0,5545

70
80
90
100

0,5548
0,5569
0,5586
0,5600

0,5550
0,5570
0,5587
0,5602

0,5552
0,5572
0,5589
0,5603

0,5555
0,5574
0,5591
0,5604

0,5557
0,5576
0,5592
0,5606

0,5559
0,5578
0,5593
0,5607

0,5561
0,5580
0,5595
0,5608

0,5563
0,5581
0,5596
0,5609

0,5565
0,5583
0,5598
0,5510

0,5567
0,5585
0,5599
0,5611

Sumber: Supardi, 2004 dalam Yusriawan, 2015

II-11
Universitas Sumatera Utara

2. Distribusi Log Pearson Tipe III
Metode ini telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai
untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tiga parameter penting dalam
Metode Log Pearson Tipe III, yaitu harga rata-rata ( ̅ ), Standar deviasi (S), koefisien

kemencengan (Cs).

=[



=

dimana: XT = Curah hujan rencana

̅
∑�
�= � ��� −� ��


̅
∑�
�= � ��� −� ��



=

]

2.6

2.7

�̅+

2.8

Cs = Koefisien kemencengan.
S = Standar deviasi.
K = Variabel standar untuk X yang besarnya tergantung dari nilai Cs (tertera
pada Tabel 2.6)
3. Distribusi Normal
Distribusi normal disebut juga distribusi Gauss. Dalam pemakaian praktis umumnya
digunakan persamaan sebagai berikut:

dimana:

T

= ̅+

= Curah hujan rencana.

2.9

̅ = Nilai rata-rata hitung sampel.

KT = Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau yang digunakan
periode ulang dan tipe model matematik distribusi peluang yang
digunakan untuk analisis peluang. (tertera pada Tabel 2.7)
4. Distribusi Log Normal

dimana:

T



=

�̅+

×

2.10

= Intensitas curah hujan dengan periode ulang T tahun.

̅ = Curah hujan rata-rata

KT = Faktor frekuensi. (tertera pada Tabel 2.7)

II-12
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.6 Nilai Variabel Standar (K)
Kemencengan
(Cs)
1,4
1,2
1,0
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0,0
-0,1
-0,2
-0,3

2

5

10

50
-0,225
-0,195
-0,164
-0,148
-0,132
-0,116
-0,099
-0,083
-0,066
-0,050
-0,033
-0,017
0,000
0,017
0,033
0,050

20
0,705
0,732
0,758
0,769
0,780
0,790
0,800
0,808
0,816
0,824
0,830
0,836
0,842
0,836
0,850
0,853

10
1,337
1,340
1,340
1,339
1,336
1,333
1,328
1,323
1,317
1,309
1,301
1,292
1,282
1,270
1,258
1,245

Periode Ulang
25 Tahun 50
Peluang (%)
4
2
2,128
2,706
2,087
2,626
2,043
2,542
2,018
2,498
2,998
2,453
2,967
2,407
2,939
2,359
2,910
2,311
2,880
2,261
2,849
2,211
2,818
2,159
2,785
2,107
2,751
2,054
2,761
2,000
1,680
1,945
1,643
1,890

100

200

1000

1
3,271
3,149
3,022
2,957
2,891
2,824
2,755
2,686
2,615
2,544
2,472
2,400
2,326
2,252
2,178
2,104

0,5
3,828
3,661
3,489
3,401
3,312
3,223
3,132
3,041
2,949
2,856
2,763
2,670
2,576
2,482
2,388
2,294

0,1
5,110
4,820
4,540
4,395
4,250
4,105
3,960
3,815
3,670
3,525
3,380
3,235
3,090
3,950
2,810
2,675

Sumber: Supardi, 2004 dalam Yusriawan, 2015
Tabel 2.7 Nilai Faktor Frekuensi (KT)
Periode Ulang, T (tahun)
1,001
1,005

Peluang
0,999
0,995

KT
-3,05
-2,58

1,010
1,050

0,990
0,950

-2,33
-1,64

1,110
1,250
1,330
1,430

0,900
0,800
0,750
0,700

-1,28
-0,84
-0,67
-0,52

1,670
2,000

0,600
0,500

-0,25
0

2,500

0,400

0,25

3,330
4,000
5,000

0,300
0,250
0,200

0,52
0,67
0,84

10,000

0,100

1,28

20,000
50,000
100,000

0,050
0,020
0,010

1,64
2,05
2,33

200,000

0,005

2,58

Sumber: Supardi, 2004 dalam Yusriawan, 2015

II-13
Universitas Sumatera Utara

2.5.3 Uji Kesesuaian Distribusi
Uji kesesuaian distribusi adalah uji untuk mengukur apakah data kita memiliki distribusi
normal sehingga dapat dipakai dalam statistik parametrik (statistik inferensial). Cara yang
biasa dipakai untuk menghitung masalah ini adalah Chi Square. Tapi karena tes ini
memiliki kelemahan, maka yang paling sering digunakan adalah Smirnov-Kolmograf.
Kedua tes dinamakan masuk dalam kategori Goodness of Fit Test.
Pengujian distribusi probabilitas dengan Metode Smirnov-Kolmograf dilakukan dengan
langkah-langkah perhitungan sebagai berikut:
1. Urutkan data (Xi) dari besar ke kecil atau sebaliknya.
2. Tentukan peluang empiris masing-masing data yang sudah diurut tersebut (Xi) dengan
rumus tertentu, misalnya rumus weibull.
+

=

dimana: n = Jumlah data

2.11

i = Nomor urut data setelah diurut dari besar ke kecil atau sebaliknya.
3. Tentukan peluang teoritis masing-masing data yang sudah di urut tersebut P(Xi)
berdasarkan persamaan distribusi probablitas yang dipilih (Gumbel, Normal, dan
sebagainya).
4. Hitung selisih ∆Pi) antara peluang empiris dan teoritis untuk setiap data yang sudah
diurut.



=





2.12

5. Tentukan apakah ∆Pi < ∆P kritis, jika “tidak” artinya Distribusi Probabilitas yang
dipilih tidak dapat diterima, demikian sebaliknya.
6. ∆P kritis dijelaskan pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Nilai ∆P Kritis Smirnov-Kolmogrov

N
5
10
15
20
25
30
40

α
0,20
0,45
0,32
0,27
0,23
0,21
0,19
0,17

0,10
0,51
0,37
0,30
0,26
0,24
0,22
0,19

0,05
0,56
0,41
0,34
0,29
0,27
0,24
0,21

0,01
0,67
0,49
0,40
0,36
0,32
0,29
0,25

II-14
Universitas Sumatera Utara

N
45
50

α
0,20
0,16
0,15

0,10
0,18
0,17

0,05
0,20
0,19

0,01
0,24
0,23

N > 50

Sumber: Kamiana, 2011

2.6.4 Intensitas Curah Hujan
Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan persatuan waktu. Sifat umum
hujan adalah makin singkat hujan berlangsung intensitasnya cenderung makin tinggi dan
makin besar periode ulangnya makin tinggi pula intensitasnya. Apabila data hujan jangka
pendek tidak tersedia, yang ada hanya data hujan harian maka intensitas hujan dapat
dihitung dengan Persamaan Mononobe (Yelza dkk, 2010). Secara matematis Persamaan
Mononobe dituliskan sebagai berikut:
=

dimana: I = Intensitas curah hujan (mm/jam).

t



2.13

t = Lamanya curah hujan (jam).
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm).
2.6.5 Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi suatu DAS adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan yang jatuh
untuk mengalir dari titik terjauh sampai ketempat keluar DAS (Titik Kontrol) setelah
tanah menjadi jenuh dan depresi-depresi kecil terpenuhi. Salah satu rumus untuk
memperkirakan waktu konsentrasi (tc) adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich,
yang dapat ditulis sebagai berikut:
tc = 0.00025 (L/√S)0.8

2.14

dimana: L = Panjang saluran utama dari hulu sampai penguras dalam km.
S = Kemiringan rata-rata saluran utama dalam m/m.

II-15
Universitas Sumatera Utara

Waktu konsentrasi dapat juga dihitung dengan membedakan menjadi dua komponen,
yaitu:
1. Inlet time (t0) yakni waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan
sampai saluran terdekat.
2. Conduit time (td) yakni waktu perjalanan dari pertama masuk sampai titik keluaran.
tc = t0 + td

2.15

dimana: t0 = 23 x 3,28 x Ls x n (menit).
td = Ls 60 V (menit).
n = Angka kekasaran Manning.
Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m).
2.6.6 Koefisien Limpasan
Apabila suatu DAS memiliki intensitas hujan yang melebihi kapasitas infiltrasi maka
setelah laju infiltrasi terpenuhi air hujan akan mengisi cekungan-cekungan pada
permukaan lahan hingga akhirnya terisi penuh dan air akan mengalir pada permukaan
tanah. Air yang mengalir di atas permukaan tanah disebut dengan runoff atau limpasan.
Limpasan pada permukaan tanah akan masuk pada saluran drainase yang kemudian akan
bertemu pada suatu anak sungai dan akan menjadi aliran sungai. Hal ini dapat
menyebabkan debit sungai meningkat dan apabila debit sungai lebih besar dari kapasitas
sungai hal ini akan menyebabkan terjadinya luapan sungai yang pada akhirnya
menyebabkan banjir pada suatu DAS atau wilayah (Triadmojo, 2010 dalam Putra dkk,
2016).
Angka koefisien limpasan merupakan indikator apakah suatu DAS telah mengalami
gangguan (fisik). Besar kecilnya nilai C tergantung pada permeabilitas dan kemampuan
tanah dalam menampung air. Nilai C yang besar menunjukkan bahwa lebih banyak air
hujan yang menjadi limpasan (Hasibuan, 2012). Nilai koefisien limpasan berdasarkan
SNI 03-2415-1991 dapat dilihat pada Tabel 2.9.

II-16
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.9 Nilai Koefisien Limpasan
Jenis Daerah

Koefisien Limpasan

Daerah Perdagangan
Kota

0.70-0.95

Sekitar Kota

0.50-0.70

Daerah Pemukiman
Satu Rumah

0.30-0.50

Banyak Rumah, terpisah

0.40-0.50

Banyak Rumah, rapat

0.60-0.75

Pemukiman, pinggiran kota

0.25-0.40

Apartemen

0.50-0.70

Daerah Industri
Ringan

0.50-0.80

Padat

0.60-0.90

Lapangan, kuburan dan sejenisnya

0.10-0.25

Halaman, jalan kereta api dan sejenisnya

0.20-0.35

Lahan tidak terpelihara

0.10-0.30

IS Sumber: SNI-03-2415-1991

2.7

Debit Banjir Rancangan Metode Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu

Stasiun pengukur debit dan tinggi muka air sungai (stasiun hidrometri) pada umumnya
hanya dipasang di tempat tempat tertentu yang dipandang oleh pengelolanya mempunyai
arti yang cukup penting. Hal tersebut disebabkan karena tidak mungkin memasang stasiun
hidrometri disembarang tempat dan biaya pemasangannya juga tidak murah. Namun
masalah yang banyak timbul adalah ketidak-cocokan antara rencana pengembangan
jaringan stasiun hidrometri. Pengembangan suatu daerah sering tidak dapat diketahui
sebelumnya, atau kalau rencana itu diketahui tidak selekasnya diikuti dengan keiatan
pengumpulan data. Hingga pada saat dibutuhkan untuk analisis data tidak tersedia, atau
tersedia dalam jangka waktu yang sangat pendek.

Untuk mengatasi hal ini sebenarnya di Indonesia telah dikenal dan banyak digunakan
berbagai cara untuk memperkirakan banjir rancangan yang didasarkan atas persamaan
rasional. Cara ini mengandalkan data curah hujan sebagai dasar hitungan. Namun dari
penelitian terbukti bahwa metode seperti Melchior, Der Weduwen dan Haspers
mempunyai penyimpangan yang berkisar antara 2% - 80%, dengan penyimpangan rata

II-17
Universitas Sumatera Utara

rata berturut turut sebesar 89%, 85% dan 56%. Selain itu tercatat pula bahwa 77% dari
kasus yang ditinjau menunjukkan perkiraan lebih (overestimated). Cara- cara rasional
untuk memperkirakan banjir yang mendapatkan kritikan tajam, karena pemakaian
koefisien limpasan (runoff coefficient) mengundang subjektivitas yang sangat besar dan
merupakan salah satu faktor penyebab penyimpangannya. Penyebab lainnya adalah
koefisien reduksi (reduction coefficient) (Kurniawan, 2012).
Persamaan rasional hanya dianjurkan untuk DAS kecil kurang dari 80 hektar atau untuk
DAS yang memiliki unsur unsur penyusun yang seragam. Dalam perancangan diharapkan
perkiraan banjir rancangan yang menyimpang sekecil mungkin. Sudah barang tentu
perkiraan yang tepat tidak akan dapat diharapkan, karena proses pengalihragaman hujan
menjadi banjir merupakan proses alam yang sangat kompleks yang tidak dapat
diungkapkan dengan persamaan matematik secara tuntas. Cara lain yang lebih baik
hampir seluruhnya menuntut ketersediaan data pengukuran sungai yang memadai.
Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu ini merupakan salah satu upaya untuk mengatasi
kesulitan kesulitan tersebut. Cara ini dapat digunakan disembarang lokasi yang
dikehendaki dalam suatu DAS tanpa tergantung ada atau tidaknya data pengukuran
sungai. Akan tetapi, perlu ditegaskan bahwa kegiatan hidrometrik masih tetap merupakan
pilihan utama, sehingga walaupun telah ditemukan cara pendekatan yang akan banyak
mengatasi masalah kelangkaan data, namun prioritas pengukuran sungai ditempat mutlak
masih diperlukan.
Nakayasu (1950) telah menyelidiki hidrograf satuan di Jepang dan memberikan
seperangkat persamaan untuk membentuk suatu hidrograf satuan sebagai berikut:
1. Waktu kelambatan (tg), rumusnya:
untuk L >

:

untuk L <

:




= , + ,
= ,

,

8

2.16
2.17

2. Waktu saat debit sama dengan 0,3 kali debit puncak:
,

= �



2.18

II-18
Universitas Sumatera Utara

3. Waktu puncak:
=



+ ,8

2.19

4. Debit puncak hidrograf satuan sintetis dirumuskan sebagai berikut:
=

,

, � �+

,

2.20

5. Bagian lengkung naik (0 < t < tp):

6. Bagian lengkung turun:
Untuk

( )

=

≤ ≤



+

,

,

=
Untuk (

Untuk >

+

,

)≤ ≤(

+

=

,

2.21

+ ,

=

+

,

,
,

,

,

+ ,

− �
,

,

)

2.22

− �+ , �
, � ,

,

2.23

− �+ , �
� ,

,

2.24

II-19
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Hidograf Satuan Sintetik Nakayasu
Sumber: Sutapa, 2005

2.8

Hydrologic Engineering Center River Analysis System (HEC-RAS)

Analisis hidrolika sungai berguna untuk menganalisis profil muka air banjir di sungai.
Perhitungan analisis hidrolika sungai dalam penelitian ini menggunakan software
Hydrologic Engineering Centre-River Analysis System (HEC-RAS), yang dikembangkan
oleh Hydrologic Engineering Centre milik US Army Corps of Engineers. HEC-RAS
sebagai sistem perangkat lunak terpadu mempunyai tiga komponen analisis hidrolika satu
dimensi untuk:
1. Perhitungan profil permukaan air steady flow (aliran permanen).
2. Simulasi unsteady flow (aliran tak permanen)
3. Perhitungan transport sedimen batas yang movable dan desain bangunan air.
Dalam permasalahan banjir hal utama yang harus diketahui adalah sampai setinggi mana
profil muka air yang dihasilkan oleh debit banjir sehingga dapat menggenangi daerah di
sekitar sungai tersebut. Maka dari itu dengan menggunakan program HEC-RAS dapat
diprediksi sampai setinggi mana profil muka air banjir yang terjadi. Hasil daripada
prediksi tersebut dapat ditampilkan menurut periode ulang banjir tahunan baik itu Q25
sampai Q100 yang terjadi sepanjang daerah aliran sungai baik itu di badan sungai, bantaran
sungai bagian kiri dan kanan, sampai daerah dataran tinggi yaitu daerah pemukiman dan

II-20
Universitas Sumatera Utara

fasilitas-fasilitas infrastruktur yang ada disekitar sungai. Dengan adanya simulasi
pemodelan seperti ini banjir dapat di analisa dan dapat memprediksi banjir tahunan yang
sering terjadi akibat curah hujan yang sangat tinggi dan akibat saluran penampang sungai
yang tidak dapat menampung debit banjir yang melebihi kapasitas tampang saluran. Dan
hasil dari prediksi pemodelan tersebut dapat diintegrasi dengan sistem informasi
geografis yang nantinya dapat menampilkan informasi daripada daerah genangan banjir
dan luas genangan yang terjadi menurut periode kala ulangnya.
2.9

Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah basis data yang biasanya mempunyai komponen
spasial dalam pengolahan dan penyimpanannya. Karenanya SIG mempunyai potensi
untuk menyimpan dan menghasilkan produk-produk peta dan sejenisnya. Ia juga
menawarkan potensi untuk menjalankan analisis berganda ataupun mengevaluasi suatu
skenario sebagaimana simulasi model (Lyon, 2003).

SIG dalam esensinya adalah sebuah pusat penyimpanan dan perangkat - perangkat
analisis bagi data yang dikumpulkan dari berbagai sumber. Pengembang dapat
menumpangtindihkan informasi dari berbagai sumber data tersebut melalui berbagai
theme dan layer, melaksanakan analisis data secara menyeluruh dan menggambarkannya
secara grafis bagi pengguna (Albrecht, 2007).

Menurut penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, Sistem Informasi
Geografis (SIG) telah berhasil digunakan dalam memvisualisasikan daerah genangan
banjir dan menganalisis floodplain untuk menghasilkan peta estimasi kerusakan banjir
dan peta risiko banjir. SIG harus digunakan bersama-sama dengan model hidrolika untuk
memperkirakan profil banjir dengan kala ulang tertentu (Demir dan Kisi, 2016). Salah
satu model hidrolika yang paling popular adalah Hydrologic Engineering Centers River
Analysis System (HEC-RAS) yang dikembangkan oleh United States Army Corps of
Engineers (USACE). HEC-RAS merupakan software gratis dengan tampilan grafis yang
dapat memudahkan penggunanya dalam studi banjir (Quiroga et al, 2016).

II-21
Universitas Sumatera Utara

Tate et al (2002) menggunakan SIG dan HEC-RAS untuk memetakan floodplain di
wilayah Waller Creek, Texas. SIG dan HEC-RAS juga telah membantu Sole et al (2007)
memperoleh peta risiko banjir di wilayah Basilicata, Italia dengan mengakuisisi profil
permukaan air sesuai dengan kala ulang banjir 30, 200, dan 500 tahun. Heimhuber et al
(2015) menggunakan SIG dan HEC-RAS untuk menentukan daerah risiko banjir di
wilayah Onaville, Haiti. Demir dan Kisi (2016) memetakan daerah bahaya banjir
menggunakan SIG dan HEC-RAS dengan kala ulang banjir 10, 25, 50,100, dan 1000
tahun di Mert River, Turki.

2.10 Estimasi Kerugian Akibat Banjir
Resiko banjir pasti akan terjadi apabila suatu daerah terkena dampak banjir baik itu
kerusakan, bencana dan kerugian. Semua hal itu akan berdampak langsung terhadap
penduduk sekitar akibat dari daerah genangan banjir yang menggenangi dataran
pemukiman penduduk. Dalam hal ini kerusakan terjadi terhadap rumah yang memberikan
arti bahwasanya pemilik rumah harus mengeluarkan biaya ganti rugi akibat banjir. Selain
itu banjir juga memberikan dampak bencana terhadap penduduk seperti: penyakit,
gangguan terhadap psikologis (ganguan kesehatan dan kenyamanan) dan memungkinkan
terjadinya kematian. Untuk itu sudah seharusnya perlu dilakukan suatu metode maupun
suatu pendekatan yang bertujuan untuk menghitung resiko kerugian banjir, agar nantinya
pemerintah dalam mengantisipasi kerugian banjir tahunan yang sering terjadi dapat
diprediksi ataupun dianalisa dengan cepat dan akurat.
Dalam mengestimasi resiko banjir berdasarkan Penjelasan Menteri Negara PPN/Kepala
Bappenas tentang hasil penilaian kerusakan dan kerugian pascabencana banjir awal
Februari 2007 di wilayah Jabodetabek, terdapat beberapa formula dalam perhitungan
estimasi resiko banjir yaitu:
1. Untuk jumlah penduduk yang terkena dampak diestimasi proporsional terhadap luas
genangan banjirnya dengan formula sebagai berikut:
�ℎ

� �

� =

� �


���
×
� �ℎ

�ℎ

2. Untuk jumlah rumah yang terkena dampak dihitung dengan formula yang sama yaitu:

II-22
Universitas Sumatera Utara

�ℎ

�ℎ

� �

� =

� �


���
×
� �ℎ

�ℎ

�ℎ

3. Kemudian untuk menghitung besar biaya kerugian yang diakibatkan oleh banjir
digunakan formula sebagai berikut:
� �

�� =



�ℎ

�ℎ

� � �

� �

� �



�ℎ/



×

2.11 Pemilihan Jalur dan Titik Evakuasi
Kerugian-kerugian yang didapatkan sebagai sebuah akibat dari bencana bisa saja
disebabkan oleh kurang tanggapnya masyarakat dalam menghadapi bencana yang datang
sehingganya banyak masyarakat yang tidak tahu harus pindah atau mengungsi kemana
dan akhirnya resiko yang diambil yaitu menetap dirumah yang tergenang banjir.
Ketidaktahuan masyarakat akan tempat pengungsian ini juga diakibatkan dengan tidak
adanya rute jalur evakuasi bencana banjir. Olehnya itu perlu ada sebuah rancangan atau
perencanaan sebelumnya dalam hal meminimalisir kerugian yang dapat terjadi (Hasan,
2013).
Studi mengenai alternatif jalur evakuasi bencana banjir dengan menggunakan SIG telah
dilakukan Santoso dan Taufik (2009) di Kabupaten Situbondo. Penelitian ini akan
menjadi teori penunjang dalam penelitian tugas akhir yang akan dilakukan.
Pemilihan titik evakuasi ini berdasarkan beberapa pertimbangan, diantaranya:
a. Titik evakuasi minimal berjarak 750-1500 meter tegak lurus dari sungai.
b. Titik evakuasi yang dipilih merupakan lahan terbuka seperti lapangan, tegalan, dan
area persawahan kering.
c. Titik evakuasi bukan berada di daerah permukiman padat.
d. Penempatan titik evakuasi disesuaikan dengan sebaran area permukiman.
Dalam proses pembuatan jalur evakuasi terdapat beberapa factor pertimbangan pemilihan
jalur evakuasi, yaitu:
a. Jalur evakuasi dirancang menjauhi garis pantai dan menjauhi aliran sungai.

II-23
Universitas Sumatera Utara

b. Jalur evakuasi diusahakan tidak melintangi sungai atau jembatan.
c. Untuk daerah pemukiman padat dirancang jalur evakuasi berupa sistem blok. Dengan
begitu pergerakan masa setiap blok tidak tercampur dengan blok lainnya untuk
menghindari kemacetan.
d. Jalur yang dipilih merupakan jenis jalan nasional, jalan propinsi, dan jalan kabupaten.
Hal ini untuk memudahkan evakuasi.

II-24
Universitas Sumatera Utara