T1 712010020 Full text

Tinjauan Sosio - Teologis Tentang Makna Bahasa Gambaran
Dalam Natoni Perkawinan di GMIT

Oleh,
DESY KHARISNI JENI LERO
712010020

TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi: Teologi, Fakultas: Teologi
guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si-Teol)

Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga
2015

Motto :
Kebahagiaan tidak ditentukan oleh sikap orang lain
kepada kita.
Kita sendiri yang menciptakan kebahagiaan itu.


Jikalaubukan TUHAN yang membangunrumah,
sia-sialahusaha orang yang membangunnya;
JikalaubukanTuhan yang mengawalkota,
sia-sialahpengawalberjaga-jaga
( Mazmur 127 : 1)

v

UCAPAN TERIMA KASIH
Jikalau bukan Tuhan yang membimbing penulis menyelesaikan penulisan tugas akhir ini
maka sia-sialah penulis menulisnya. Terima kasih Yesus, hanya atas bimbingan dan hikmat-Mu,
penulis dapat menyelesaikan penulisan tugas akhir ini.
Dengan iman, penulis meyakini bahwa hanya atas karunia-Nya penulis dapat melewati
setiap proses pembelajaran di Fakultas Teologi UKSW. Dengan firman-Nya penulis percaya
bahwa masa depan itu sungguh ada dan harapan penulis tidak akan hilang. Terima kasih yang
sangat dalam untuk cinta kasih-Mu yang memampukanku meraih keberhasilanku.
Keberhasilan yang penulis raih tak lepas dari doa, perhatian, dukungan, bimbingan, kasih
sayang serta ilmu dari berbagai pihak yang sangat penulis cintai dan yang juga mencintai
penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Pdt. John A. Titaley, Th.D sebagai pembimbing I dan Pdt. Dr. Ebenhaizer I.
Nuban Timo sebagai pembimbing II, yang telah membimbing penulis dengan penuh
kesabaran selama ± 2 semester. Terima kasih karena Pak John dan Pak Eben tidak
pernah lelah untuk membaca, mengoreksi dan memberi masukan untuk penulisan
tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk waktu, canda tawa, motivasi dan ilmu yang
penulis peroleh selama proses bimbingan.
2. Bapa dan mama yang sonde parnah bilang „cukup‟ untuk beta. Terima kasih buat
doa, kasih sayang, harapan, motivasi, nasehat dan untuk semua yang bapa dan mama
lakukan untuk beta. Tanpa bapa deng mama, beta bukan apa-apa. Beta sayang bapa
deng mama (Yesaya 46:4)
3. Keluarga besar di Kupang. Kk Ita (my 1st sister), Nety (my 2nd sister), Oky (bungsu),
Kk Papi, Rogan, Edan, Cici, Ivon, Ario, Raul, Mama Ani, Oma & Opa Fallo, Ti’i Yo,
To’o Mias, Ti’i Ice, To’o Nan, To’o Semu, Ma’Ina, To’o Dik, Ma’ nona, Ungky
dengan karutuk-karutuk dong samua. Terima kasih untuk doa, kasih sayang,
semangat dan dana (hehehehehehhehehe) BSONG YANG TERBAIK!!!! I LOVE YOU
ALL. Jangan lelah untuk sayang beta eee. Beta sayang besong semua.

vi

4. Opa Thobias Messakh dan Oma Ci, yang telah membantu penulis mendaftar sebagai

mahasiswa Fakultas Teologi UKSW pada tahun 2010 yang lalu, dan yang selalu
memperhatikan dan memberi motivasi kepada penulis selama berkuliah di UKSW.
Tuhan Yesus sang pemilik kehidupan memberkati Opa dan Oma sekeluarga.
5. Pdt. Hendrikus Nayuf, S.Th beserta istri (Ibu Orpa Djami) dan anak (Ocha) yang
telah memberi penginapan di Pastori GMIT Sonhalan Niki-Niki selama penulis
melakukan penelitian dan telah mendampingi penulis dalam proses wawancara. Tak
lupa juga untuk Pdt. Bea Tahun, S.Th (Ketua Klasis) yang membantu menghubungi
Pendeta dalam proses penelitian di Niki-Niki.
6. Ke-tujuh orang penutur yaitu Bpk. JB, Bpk. TK, Bpk. OI, Bpk. NB, Bpk. YK, Bpk.
AT dan Bpk. NT yang telah memberikan informasi yang sangat lengkap dan akurat
tentang natoni perkawinan di Suku Amanuban. Terima kasih karena telah menerima
penulis dengan tangan terbuka dan memberikan informasi dengan penuh kesabaran.
Penulis tak dapat membalas jasa bapak-bapak sekalian. Hanya doa yang tulus,
semoga Tuhan Yesus memberkati kehidupan bapak-bapak dan menjadi alat Tuhan
untuk menyebarkan kabar baik melalui natoni.
7. Para Dosen Fakultas Teologi UKSW. Pak John, Ibu Retno (Dekan), K’Irene
(Kaprogdi), Pak Eben, Pak Thobi, Pak Yusak, K’Ira, K’Ika, Pak Yopi, Pak Toni, Pak
David, Pak Totok, Ibu Dien (wali studi lama), Pak Daniel dan K’Izack (wali studi
baru). Terima kasih untuk ilmu, pengalaman, kedisiplinan, keterampilan, motivasi
dan doa yang telah penulis peroleh hingga dapat meraih keberhasilan. Karena kalian

penulis dapat meraih keberhasilan ini.
8. Para pegawai Tata Usaha Fakultas Teologi. Ibu Budi, Mas Eko dan Mba Liana.
Terima kasih atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penulis menempuh
studi di Fakultas ini.
9. Teman-teman angkatan 2010 “Two Zero One Zero”. Tak pernah terlintas dipikiranku
akan se-angkatan dengan kalian semua. Teman-teman yang berasal dari sabang
sampai merauke yang kini telah terpisah oleh jarak dan waktu karena masa depan.
Penulis sangat beruntung memiliki teman-teman seperti kalian semua.

vii

Teman-teman yang sangat kritis dan kreatif dalam proses belajar, teman-teman yang
hebohhh dan pandai mengukir sejarah kejuaraan di Gloria Cup Fakultas Teologi,
teman-teman yang sangat kompak dan bersedia mendukung satu dengan yang lain.
Bsong yang terbaik. Terima kasih untuk pelajaran kehidupan dan kebersamaannya
selama ini. Jika tua nanti kita t’lah hidup masing-masing ingatlah “Two Zero One
Zero”. I will miss you all.
10. Teman-teman Guru Sekolah Minggu GKJ 55. Terima kasih untuk dukungan doa dan
pengalaman mengajar yang luar biasa. Tetaplah menjadi saksi Kristus.
11. Personil kost NELA: Mba Gita, Vantokz, Yolan, Ivo dan Grace. Terima kasih untuk

kebersamaan selama ini. Kalian luar biasa!! Semangat untuk masa depan kalian.
Segalanya akan indah pada waktunya jika kita berusaha dan mengandalkan Sang
Pemberi Hikmat.
12. Kecepatan boys&girls: Beb (Chelsy Wenno), Vincez (Vinny Putiray), Putra Kolbano
(Estron Banoet), Glenn (Ruland Kakisina), Bule (Jilly Kaunang). ♫Kau harus bisa
berlapang dada, kau harus bisa ambil hikmahnya karena semua tak lagi sama.
Thanks abisss untuk kegilaannya dan kebersamaannya. Akan sangat merindukan saatsaat bersama kalian, guyssss!!!
13. Terkhusus untuk Chelsy Wenno, Sarlin Nawa Pau dan Yolanda Wattimena. Terima
kasih karena telah menjadi tempat untuk mencurahkan isi hatiku. Terima kasih telah
menjadi pendengar dan pemberi dukungan untukku. Terima kasih karena telah
berbagi pengalaman dan doa serta semangat selama ini. Tak ada yang indah selain
bersama kalian. I really like you, girls!!
14. Riscky Adi Pratama Manafe. Terima kasih atas dukungan doa dan semangat selama
menempuh studi di UKSW.

Salatiga, 1 Juli 2014

Desy Kharisni Jeni Lero
Penulis
viii


ABSTRAK
Bahasa gambaran merupakan suatu fenomena yang menarik dalam kesusasteraan tradisional. Di
GMIT, bahasa gambaran itu tampil dalam berbagai momen termasuk juga dalam perkawinan di
Suku Amanuban, Timor Tengah Selatan. Salah satu elemen dalam perkawinan di Suku
Amanuban adalah tuturan adat yang disebut dengan natoni.1 Natoni diucapkan dalam bahasa
resmi orang Timor yang dianggap sakral dan dilakukan oleh semua kalangan masyarakat Timor
termasuk orang-orang Kristen di GMIT. Syair-syair natoni yang dituturkan oleh penutur (a
tonis), penyahut (a tutas) dan pendamping (am naubat) dengan cara berbalasan di setiap tahap
perkawinan mengandung banyak bahasa gambaran yang memiliki makna tertentu. Tidak hanya
bahasa gambaran yang memiliki makna untuk kelangsungan hidup pasangan suami istri tetapi
benda-benda budaya yang digunakan dalam proses perkawinan pun memiliki makna tertentu.
Tulisan ini bertujuan untuk memahami makna bahasa-bahasa gambaran dan benda-benda budaya
dengan menggunakan kajian teori semantik, simbol dan bahasa gambaran atau metafora serta
prinsip dan nilai-nilai perkawinan Kristen. Penelitian membuktikan bahwa bahasa-bahasa
gambaran dan benda-benda budaya tersebut mencerminkan gambaran ideal masyarakat Timor
terkhususnya Suku Amanuban dan juga gambaran ideal pasangan suami istri Kristen. Dengan
demikian, GMIT secara khusus gereja-gereja di Kecamatan Amanuban Tengah perlu berperan
aktif untuk mendalami dan memperkenalkan prinsip dan nilai perkawinan Kristen yang
terkandung dalam bahasa-bahasa gambaran serta benda-benda budaya dalam natoni perkawinan

sehingga masyarakat Suku Amanuban dan pada umumnya masyarakat Timor dapat memahami
bahwa natoni perkawinan tidak hanya menjadi media untuk menyatukan laki-laki dan perempuan
serta kedua keluarga secara adat tetapi juga menjadi media untuk mengenal Firman Tuhan
tentang prinsip dan nilai-nilai perkawinan Kristen.
Kata kunci: Bahasa gambaran, natoni, makna, nilai dan prinsip, perkawinan, simbol.

Natoni berasal dari kata dasar toni yang berarti sahut, jawab, respon yang jika ditambah akhiran ‘s’
berubah makna menjadi tuturan. Jadi, natoni merupakan kegiatan menuturkan syair-syair yang mengandung maksud
tertentu secara berbalasan.
1

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................................

i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ...........................................................................


ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ................................................................

iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ....................................................................

iv

MOTTO .........................................................................................................................

v

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................

vi


ABSTRAK .....................................................................................................................

ix

DAFTAR ISI..................................................................................................................

x

I.

PENDAHULUAN ................................................................................................

1

1.1 Latar Belakang.................................................................................................

1

1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................


3

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................

3

1.4 Manfaat Penelitian ...........................................................................................

3

1.5 Metode Penelitian ............................................................................................

3

1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian ...........................................................................

4

II.


III.

KAJIAN TEORI SEMANTIK SERTA PRINSIP DAN NILAI-NILAI
PERKAWINAN KRISTEN ................................................................................

4

2.1 Semantik ..........................................................................................................

4

2.2 Prinsip dan Nilai-Nilai Perkawinan Kristen ....................................................

7

HASIL PENELITIAN.........................................................................................

12

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...............................................................

12

3.2 Hakikat Natoni.................................................................................................

13

x

3.3 Makna Bahasa Gambaran Natoni Perkawinan ................................................

15

IV. TINJAUAN SOSIO – TEOLOGIS TENTANG MAKNA BAHASA
GAMBARAN DALAM NATONI PERKAWINAN DI GMIT .......................

24

4.1 Makna Bahasa Gambaran Dalam Natoni Perkawinan ....................................

24

4.2 Padanan Makna Bahasa Gambaran Dalam Natoni Perkawinan
Dengan Prinsip Dan Nilai-Nilai Perkawinan Kristen .....................................

28

KESIMPULAN....................................................................................................

33

SARAN..................................................................................................................

34

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................

35

V.

xi

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal dua tingkatan bahasa

sastra yaitu bahasa sehari-hari dan bahasa ritual. Bahasa sehari-hari digunakan dalam percakapan
non formal sedangkan bahasa ritual digunakan dalam percakapan formal antara dua pihak dan
dalam percakapan itu diyakini bahwa ada sosok transenden yang hadir yaitu Tuhan, dewa-dewa
maupun arwah-arwah atau roh-roh orang mati. Dalam penggunaan bahasa ritual, terdapat sikap
tubuh tertentu seperti berlulut, kedua tangan disatukan dan diletakkan di depan dada seperti
posisi menyembah dan juru bicara berada di bagian depan sedangkan paduan suara atau
pendamping berada di bagian belakang. Sebelum mengucapkan bahasa ritual, tempat sirih harus
diletakkan di depan penerima pesan. Bahasa sastra di NTT disebut dengan berbagai nama,
seperti tutui tete‟ek di Rote, natoni di Timor, peta suda-seda di Flores, dll. Yang menjadi fokus
penulis dalam Tugas Akhir ini adalah natoni.
Pada hakikatnya, natoni dipahami sebagai ungkapan pesan yang dinyatakan dalam bentuk
syair-syair kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang penutur (a tonis) yang ditemani
oleh sekelompok orang sebagai pendamping atau pengikut (a he‟en) yang ditujukan baik kepada
sesama manusia maupun kepada Tuhan, para arwah atau dewa.1 Ada beberapa unsur dalam
upacara natoni seperti sikap tubuh, waktu penuturan, jumlah peserta natoni serta bahasa
gambaran. Natoni tidak diucapkan dalam pergaulan biasa tetapi dalam upacara-upacara atau
ritual-ritual seperti penerimaan tamu (Natoni sium kapmafle‟u) yang bertujuan untuk
memberikan informasi dan harapan terhadap tamu yang hadir; upacara perkawinan (Natonima fet
ma monet) yang secara khusus mengkomunikasikan pesan-pesan seputar isu perkawinan antara
mempelai laki-laki dan perempuan serta kedua keluarga besar; upacara kematian (Natoni
amates) untuk menyampaikan pesan-pesan kepada arwah nenek moyang akibat kematian salah
seorang petinggi desa.2 Sebenarnya masih banyak unsur dari natoni namun penulis tertarik untuk
meneliti unsur metaforis atau bahasa gambaran yang diucapkan dalam ritual-ritual tersebut
terkhususnya dalam upacara perkawinan karena perkawinan merupakan sebuah peristiwa sakral
Petrus Ana Andung, “Komunikasi Ritual Natoni Masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur”
(Kupang: Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8, Nomor 1, Januari-April 2010), 37.
2
Ibid., 41.
1

1

yang terjadi satu kali dalam hidup laki-laki dan perempuan yang sepakat untuk hidup bersama.
Di Timor, perkawinan bukanlah suatu peristiwa tunggal tetapi merupakan peristiwa yang terjadi
dalam beberapa babak, yaitu masuk minta (peminangan), resepsi, keluarga perempuan
mengantar mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki dan setelah beberapa waktu
kemudian, mempelai perempuan mengantar mempelai laki-laki ke rumah keluarga mempelai
perempuan sehingga kedua keluarga saling mengenal dan bersatu. Jadi, natoni yang akan penulis
bahas dalam Tugas Akhir ini mencakup keseluruhan proses yang ada dalam upacara perkawinan
suku Atoni (suku Timor).
Pesan yang disampaikan melalui bahasa ritual dalam acara perkawinan mengandung
unsur bahasa gambaran/metaforis yang memiliki makna tersendiri bagi masa depan rumah
tangga, seperti yang dikiaskan dalam acara perkawinan di Sumba, NTT yang berbunyi “poghi
apuma, Ndita wai pandalu, pakode tana maghailo wano atuku tabelo, alala mandaka” yang
artinya meniup api di rumah, mengambil air dalam kumbang, merintis tanah, yang berperan
dalam kampung, yang membuat perhiasan dan menerima warisan nenek moyang. Bahasa
gambaran ini memiliki makna bahwa dengan perkawinan maka akan ada generasi penerus yang
melakukan tradisi persembahan kepada arwah leluhur.3 Pada hakekatnya, bahasa ritual ini
merupakan bahasa simbolik yang mengungkapkan hal yang lain. Jadi, bahasa-bahasa ritual
dalam natoni tentu menyimbolkan sesuatu tertentu. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti makna
bahasa gambaran yang terkandung dalam natoni pada saat upacara perkawinan melalui Tugas
Akhir yang berjudul: “Tinjauan Sosio-Teologis Tentang Makna Bahasa Gambaran Dalam
Natoni Perkawinan di GMIT”.
Menurut Liliweri, definisi bahasa menurut Social Self Definition adalah sistem
komunikasi manusia dengan menggunakan simbol-simbol verbal. Bahasa dapat membantu kita
untuk memiliki kemampuan memahami dan menggunakan simbol, khususnya simbol verbal
dalam pemikiran dan berkomunikasi.4 Bahasa yang mengandung simbol-simbol seperti natoni ini
telah penulis temukan dalam skripsi Ester Naisanu yang berjudul “Natoni (Suatu studi tentang
natoni dan implikasinya terhadap tata ibadah di jemaat GMIT Immanuel Tunbaun Timur
Amarasi)” dan Petrus Ana Andung dalam jurnalnya yang berjudul “Komunikasi Ritual Natoni
3

Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Nusa Tenggara Timur (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1983), 27.
4
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LKiS, 2003), 136.

2

Masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur”. Ester meneliti tentang hakekat natoni
dan penggunaannya dalam liturgi ibadah di gereja sedangkan Petrus meneliti tentang tata cara
dan praktek komunikasi ritual dari masyarakat suku Boti Dalam, dalam menggunakan natoni
sebagai media tradisional. Keduanya tidak meneliti unsur metaforis atau bahasa gambaran. Oleh
karena itu, Tugas Akhir ini memberi kontribusi baru mengenai makna bahasa gambaran dalam
natoni terkhususnya natoni perkawinan di GMIT.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa makna bahasa gambaran yang dipakai dalam natoni perkawinan?
2. Apakah makna bahasa gambaran itu sepadan dengan prinsip dan nilai-nilai
perkawinan Kristen?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Mendeskripsikan makna bahasa gambaran yang dipakai dalam natoni perkawinan.
2. Mendeskripsikan padanan makna-makna itu dengan prinsip dan nilai-nilai
perkawinan Kristen.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan nilai akademis dalam
pengembangan ilmu bagi Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana serta dapat
menambah pengetahuan bagi penulis dan jemaat GMIT. Hasil penelitian ini juga diharapkan
dapat memberi kontribusi pemikiran terhadap pemahaman masyarakat Timor secara khusus Suku
Amanuban dan gereja dalam hal ini GMIT tentang makna bahasa gambaran yang dipakai dalam
natoni perkawinan.
1.5 Metode Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah penulis jabarkan di atas,
maka penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Teknik pengumpulan data yang
dipakai adalah wawancara (interview) dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara
langsung kepada responden, dan jawaban-jawaban responden dicatat atau direkam dengan alat
perekam (tape recorder).5 Wawancara dilakukan kepada beberapa informan kunci yang

5

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), 67.

3

memahami makna bahasa gambaran yang dipakai dalam natoni perkawinan yaitu para penutur
natoni (a tonis) yang berjumlah 7 orang. Ketujuh penutur ini adalah masyarakat asli Suku
Amanuban yang beragama Kristen di Kecamatan Amanuban Tengah. Teknik pengumpulan data
lainnya yang dipakai dalam penelitian ini adalah study pustaka. Melalui study pustaka, penulis
mengumpulkan data dari buku - buku, jurnal maupun laporan-laporan penelitian terdahulu yang
berkaitan serta dapat membantu menyusun landasan teori sebagai tolak ukur dalam menganalisis
data lapangan sehingga dapat menjawab persoalan pada rumusan masalah penelitian.
1.6 Waktu dan Lokasi Penelitian
Pengumpulan data penelitian akan dilakukan dalam kurun waktu ± 2 minggu di TTS Nusa Tenggara Timur yaitu di Suku Amanuban, Kecamatan Amanuban Tengah.

II.

KAJIAN

TEORI

SEMANTIK

SERTA

PRINSIP

DAN

NILAI-NILAI

PERKAWINAN KRISTEN
2.1 Semantik
Semantik berasal dari bahasa Yunani yang mengandung makna to signify atau memaknai.
Jadi, semantik adalah studi tentang makna.6 Pada awalnya bahasa merupakan bunyi-bunyi
abstrak yang mengacu pada lambang yang memiliki bentuk dan hubungan yang mengasosiasikan
adanya makna tertentu.7 Ernst Cassier, seorang filsuf Yahudi Jerman menyebut manusia sebagai
animal symbolicum, yakni makhluk yang menggunakan media berupa simbol kebahasan dalam
memberi arti dan mengisi kehidupannya.8 Dengan adanya simbol, manusia dapat berpikir dan
berelasi dengan kehidupan di luar dirinya serta mengabdikan hasil berpikir dan relasi itu kepada
dunia.9 Pernyataan ini ditegaskan pula oleh Budiono Herusatoto bahwa manusia berpikir,
berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis.10 Simbol muncul apabila
manusia belajar dan hasil pembelajarannya itu diwariskan melalui bahasa sehingga pengertian
bahasa menjadi meluas yang meliputi segala macam bentuk lambang/simbol yang berupa kata,

6

Aminuddin, Semantik (Pendekatan Studi Tentang Makna), (Malang: Sinar Baru Algensindo, 2003), 15.
Ibid.
8
Ibid., 17.
9
Ibid.
10
Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: PT.Hanindita, 1987), 10. Menurut
Budiono, simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal
kepada seseorang.
7

4

tarian, gambar-gambar isyarat.11 Jadi, setiap manusia tidak terlepas dari simbol-simbol
kebahasaan yang diekspresikannya melalui kata-kata, tari-tarian, gambar-gambar isyarat, dsb,
yang mempunyai makna tertentu untuk kehidupannya bersama dengan orang lain.
Simbol itu sendiri berasal dari bahasa Latin symbolicum (semula dari bahasa Yunani
sumbolon berarti tanda untuk mengartikan sesuatu).” Sebuah simbol adalah „sesuatu‟ yang terdiri
atas „sesuatu‟ yang lain.12 Simbol mempunyai banyak arti yang digunakan manusia untuk
mengungkapkan ideologi tertentu, struktur sosial, atau mewakili aspek-aspek budaya spesifik
tertentu.13 Menurut Susanne Langer, simbol adalah sebuah konseptualisasi manusia tentang suatu
hal; sebuah simbol ada untuk sesuatu dan bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide
umum, pola, atau bentuk.14 Langer mendefinisikan konsep sebagai makna yang disepakati
bersama di antara pelaku komunikasi. Makna yang disetujui bersama itu merupakan makna
denotatif sedangkan makna konotatif merupakan makna yang kita pahami sendiri.15 Penggunaan
simbol-simbol komunikasi yang unik atau khas merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam
komunikasi ritual. Menurut Carey, simbol-simbol komunikasi yang digunakan tersebut tidak
dipilih oleh partisipan, melainkan sudah tersedia sejak turun temurun berdasarkan tradisi budaya
yang bersangkutan.16 Hal ini berarti bahwa makna simbol hadir bukan dari simbol itu sendiri
tetapi dari pembelajaran budaya.17 Kindersley mengatakan bahwa simbol adalah gambaran visual
yang mewakili ide – sebuah indikator yang lebih dalam dari sebuah kebenaran universal dan
menurut Palczewski, simbol memfasilitasi pemahaman tentang dunia dimana kita hidup, yang
berfungsi sebagai dasar bagi kita untuk membuat penilaian untuk memahami dunia sekitar dan
juga mengidentifikasi dan bekerja sama dalam masyarakat. 18 Dengan demikian, simbol juga
bersifat kontekstual yang terikat ruang dan waktu hidup suatu komunitas, seperti petani
menggunakan pisang sebagai simbol kesuburan, umat Kristiani menggunakan salib sebagai
simbol keselamatan serta roti dan anggur sebagai simbol tubuh dan darah Kristus, suami istri

11

Ibid.,14. Belajar menurut Budiono Herusatoto berarti memperoleh suatu kepandaian baru, pengertian
baru atau kaidah kelakuan yang baru.
12
Alo Liliweri, Komunikasi: Serba Ada Serba Makna, (Jakarta: Kencana, 2011), 350.
13
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan, (Bandung: Nusa Media, 2014), 295.
14
Alo Liliweri, Komunikasi: Serba Ada Serba Makna…, 350.
15
Ibid.
16
Petrus Ana Andung, “Komunikasi Ritual Natoni Masyarakat Adat Boti Dalam di Nusa Tenggara Timur”
Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.8, No.1(Januari-April 2010):39.
17
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 296.
18
Ibid.

5

menggunakan cincin sebagai simbol ikatan cinta, dsb. Simbol atau lambang menjelaskan suatu
kenyataan yang lebih besar dan telah membudaya.
Simbolisme sangat besar peranannya dalam religi, tradisi atau adat istiadat dan ilmu
pengetahuan. Simbol dalam religi berupa emosi keagamaan seseorang untuk mengekspresikan
kecintaannya terhadap Tuhan dalam doa dan pujian sedangkan simbol dalam tradisi atau adat
istiadat berupa upacara-upacara adat yang merupakan upaya pendekatan manusia kepada
Tuhannya dan membawakan pesan-pesan kepada generasi berikutnya.19 Simbol dalam ilmu
pengetahuan berupa benda, bentuk atau hal-hal simbolis yang diciptakan manusia untuk
mempermudah proses mengingat pelajaran.20 Simbol dalam religi tidak hanya meliputi doa dan
pujian tetapi juga dapat melalui sikap tubuh dan benda-benda keagamaan serta upacara-upacara
keagamaan sebagai wujud cintanya kepada Tuhan. Begitu pula dengan simbol dalam upacara
adat dapat pula diekspresikan melalui bahasa verbal seperti tuturan adat natoni dan benda-benda
budaya serta sikap tubuh dalam upacara atau ritual tersebut. Selain itu, dalam proses
pembelajaran simbol dapat pula berupa nilai atau angka sebagai hasil belajar seseorang.
Semantik mempunyai hubungan dengan ilmu lain seperti antropologi yang berpusat pada
sekelompok masyarakat yang menentukan bentuk, perkembangan maupun perubahan makna
kebahasaan serta kesusastraan untuk menelaah makna dalam gaya bahasa.21 Salah satu gaya
bahasa adalah bahasa gambaran atau metafora. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya
melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan.22 Bahasa yang kita
gunakan sehari-hari banyak mengandung metafora dan kita dapat menafsirkan maknanya sesuai
dengan tradisi yang sudah melekat dalam kebudayaan tertentu pada saat bahasa gambaran atau
metafora itu dituturkan.23 Metafora menjadi bentuk yang khas karena hubungan maknanya
melampaui hubungan khusus yang telah disepakati bersama dalam komunikasi sehari-hari.24
Begitu pula dengan natoni yang merupakan kiasan adat tentu terdapat bahasa gambaran atau
metafora yang memiliki makna yang mewakili atau mengingatkan suatu entitas yang lebih besar.
19

Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa…, 29-30.
Ibid., 31.
21
Aminuddin, Semantik (Pendekatan Studi Tentang Makna)…,15.
22
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Terbaru, (Surabaya: Amelia Surabaya, 2003), 280.
23
Aminuddin, Semantik (Pendekatan Studi Tentang Makna)…, 15.
24
Ibid., 113.
20

6

Orang Timor yang mengatakan: “Menjadi orang tua ibarat pohon pisang. Batangnya harus patah
karena memikul berat buah di atasnya.”25 Dari Afrika (Uganda) terdapat bahasa gambaran
berikut: “Kalau ibu tak ada, lambung terasa asam sewaktu makan.” 26 Pohon pisang yang
batangnya patah menunjukkam pada tanggung jawab orang tua terhadap anak-anaknya dan asam
lambung menunjuk pada ketidaknyamanan hidup anak-anak yang ditinggal mati oleh kedua
orang tuanya.27 Kedua contoh ini membuktikan bahwa setiap manusia menggunakan simbol
kebahasaan yang dituangkan dalam kata-kata kiasan atau bahasa gambaran atau metafora yang
memiliki makna tertentu. Jadi, dalam sebuah perkawinan yang diselenggarakan melalui upacara
natoni, tentu juga memakai bahasa gambaran atau metafora yang menyimbolkan sesuatu yang
lebih besar yang telah tersedia sejak turun-temurun berdasarkan tradisi budaya setempat.
2.2 Prinsip dan Nilai-Nilai Perkawinan Kristen
Perkawinan adalah persatuan seumur hidup, yang diikat oleh perjanjian antara seorang
pria dan seorang wanita.28 Melalui perkawinan, mereka menjadi suami dan istri yang berbagi
kehidupan secara utuh, saling mengembangkan diri secara penuh, dan dalam cinta melahirkan
dan mendidik anak-anak.29 Menurut J.L.Ch Abineno, perkawinan orang-orang Kristen bukan
hanya merupakan suatu persekutuan hidup, tetapi juga merupakan persekutuan percaya.30
Berdasarkan Kejadian 2:18,24, perkawinan merupakan peristiwa sakral karena pada mulanya
perkawinan adalah inisiatif Allah sendiri.31 Hal ini berarti bahwa Allah mempunyai rencana yang
kekal dengan perkawinan, terutama perkawinan laki-laki dan perempuan karena dalam Alkitab
tidak disaksikan tentang perkawinan sesama jenis dan rencana Allah itu hanya dapat dipahami
jika perkawinan ditempatkan dalam konteks keselamatan Allah dalam Kristus.32 Jadi, keluarga
bukan hanya merupakan persekutuan hidup yang menjadi unsur terkecil dalam masyarakat dan
merupakan tempat sosialisasi pertama bagi semua anggota keluarga tetapi juga merupakan
persekutuan percaya karena pada hakekatnya keluarga terbentuk

dari inisiatif Allah yang

25

Ebenhaizer I Nuban Timo, Makanan Adalah Sorga. Teologi Kerja suku Atoni di Timor dalam bahan ajar
perkuliahan Dogmatika Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 50, 2015.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Gerald O‟Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 252.
29
Ibid.
30
J.L.Ch Abineno, Perkawinan: persiapan, persoalan-persoalan dan pembinaannya, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1983), 14-15.
31
Yakub Susabda, Marriage Enrichment (Pembinaan Keluarga Kristen), 12.
32
Ibid.

7

menjadikan perempuan sebagai penolong laki-laki dan laki-laki akan hidup bersamanya menjadi
satu daging. Dengan demikian, sosialisasi yang terjadi dalam keluarga bukan hanya menyangkut
tradisi atau aturan-aturan keluarga sebagai bagian dari masyarakat tetapi juga menyangkut
kehadiran Allah yang dimaknai dalam sikap dan tingkah laku suami istri dan bahkan semua
anggota keluarga. Untuk mempunyai perkawinan seperti yang direncanakan Allah yaitu sebagai
persekutuan percaya maka calon pasangan nikah harus yakin bahwa Firman Allah adalah
pedoman yang paling tepat dalam membangun bahtera rumah tangga. 33 Ed Young mengatakan
bahwa pasangan suami istri yang semakin dekat dengan Tuhan, mereka pasti akan semakin dekat
satu sama lainnya.34
Suami istri yang telah mengalami kasih Allah mempunyai kerinduan untuk membangun
perkawinan berdasarkan kebenaran-kebenaran Alkitab yang akan menghasilkan pengalamanpengalaman pribadi yang membangun dan dapat dinikmati bersama.35 Seorang suami tak
mungkin mengerti panggilan Allah di balik kerja kerasnya jika ia belum melaksanakan tugas
sebagai kepala dan istri tak mungkin menghayati panggilan Allah di balik tugasnya sehari-hari
jikalau belum berperan sebagai penolong yang sepadan bagi suaminya. 36 Dengan demikian,
pasangan suami istri mempunyai tanggungjawab untuk membahagiakan satu sama lain dalam
kebenaran seperti yang disaksikan dalam Kolose 3:18-21 serta Efesus 5:22-33 yang menjadi
aturan dan dasar keluarga Kristen. Adapun beberapa nilai yang dapat dilakukan oleh pasangan
suami istri untuk menunaikan tanggungjawab dalam menghayati inisiatif dan panggilan Allah
sebagai persekutuan percaya, yaitu:
a. Pengampunan
Ketidaksempurnaan, kekurangan atau kelemahan serta dosa pasti terjadi dalam kehidupan
pernikahan. Ada banyak kesalahan yang dilakukan suami atau istri yang melukai
perasaan masing-masing-masing dan kerap kali pasangan menerapkan gaya “mata ganti
mata”. Hal ini tidak berkenan dihadapan Tuhan karena Ia telah mengampuni semua dosa
manusia maka setiap manusia termasuk suami istri harus saling mengampuni 490 kali dan
33

Jonathan A.Trisna, Pernikahan Kristen Suatu Usaha Dalam Kristus, (Bandung: Kalam Hidup Pusat,

1987), 2.
34

Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri,
(Bandung: Lembaga Literatur Baptis (Yayasan Baptis Indonesia, 2005), 11. Buku ini diindonesiakan oleh Doreen
Widjana.
35
Yakub Susabda, Marriage Enrichment (Pembinaan Keluarga Kristen), 15-16.
36
Ibid., 36.

8

bahkan lebih banyak lagi. Tanpa pengampunan, kehidupan berumah tangga akan semakin
hambar dan akar kepahitan dalam hati akan menghancurkan diri sendiri karena kasih
tidak berdiam di dalamnya.37 Pasangan suami istri harus menyadari bahwa tidak ada
manusia yang luput dari kesalahan dan mereka juga harus yakin bahwa Tuhan telah
terlebih dahulu mengampuni segala dosa umat manusia (Matius 6:14-15; 18:21-22).
b. Trust
Kata trust bila diartikan ke dalam Bahasa Indonesia berarti kepercayaan. Menurut Yakub
Susabda, trust adalah fondasi pernikahan dan tanpa trust suami istri tak mungkin dapat
membina kehidupan pernikahan mereka. Trust adalah sikap hati yang mempercayai
integritas (kualitas jiwa yang mengutamakan kebenaran), reliabilitas (kualitas pribadi
dapat memberikan jaminan dan rasa aman) dan kejujuran.38 Suami istri yang
melandaskan kasih dalam hubungan mereka maka saling menjaga kepercayaan akan
selalu dijunjung sehingga tidak menimbulkan kecemburuan karena di dalam kasih tidak
ada kecemburuan (1 Korintus 13:4).
c. Keakraban
Seorang suami meninggalkan hubungan terakrab dengan orang tuanya untuk membina
hubungan yang lebih akrab dengan istrinya merupakan tujuan pernikahan dan panggilan
Allah seperti yang tertulis dalam Kejadian 2:24. Jadi, penting sekali bagi suami istri
untuk menjadikan pasangan mereka sebagai sahabat atau teman bersekutu yang baik
terlebih dahulu dan kemudian menjalin hubungan sosial di luar keluarganya. 39 Hal ini
berarti juga bahwa suami-istri harus meninggalkan ketergantungan yang tidak sehat
kepada orang tua dalam hal emosi dan keuangan, meninggalkan orang-orang yang
berpengaruh, kelakuan masa lalu dan tempat bersejarah yang tidak ada sangkut pautnya
dengan pasangan masing-masing.40
d. Komunikasi
Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dalam sebuah pernikahan.
Komunikasi dapat dilakukan dengan menjadi pendengar yang baik bagi pasangan,
berbicara secara terbuka, memberi pujian dan dukungan yang tulus kepada pasangan.
37

Yakub Susabda, Marriage Enrichment (Pembinaan Keluarga Kristen), 171-195.
Ibid., 238.
39
Ibid., 249.
40
Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri…,
38

49-61.

9

Suami istri sedapat mungkin harus menyediakan waktu khusus untuk membicarakan atau
menyalurkan kekesalan yang dialami dalam pekerjaannya dan mengemukakan serta
mencari jalan keluar dari masalah yang belum dapat diselesaikan sehingga timbul
perasaan lega, yakni terpuaskannya kebutuhan akan perasaan aman dan saling menerima
dengan penuh kasih sayang.41 Dengan berkomunikasi juga suami istri dapat memahami
satu sama lain dan dapat mengatasi konflik.42 Segala kebutuhan suami dan istri bahkan
anak-anak dapat tersalurkan dengan baik melalui komunikasi dan hal ini akan membawa
dampak positif bagi perkembangan anak dan orang tua dalam lingkungan sosial di luar
rumah. Komunikasi harus dibina terus menerus dalam kehidupan berumah tangga agar
orang yang mendengarnya memperoleh kasih karunia dan sukacita (Efesus 4:29).
e. Perhatian
Perhatian dapat diartikan dengan menaruh hati kepada seluruh anggota keluarga dengan
mengetahui dan mengikuti perkembangan dan perubahan semua anggota keluarga.
Dengan perhatian ini, suami istri dan juga anak-anak akan merasa dihargai dan mereka
dapat mengenal diri mereka sendiri dan anggota keluarga lainnya. Dengan demikian,
masalah-masalah lebih mudah diatasi karena banyak kejadian lebih cepat terungkap.43
Pasangan suami istri yang memberi perhatian kepada pikiran, perasaan dan kebutuhan
pasangan dengan penuh kelemahlembutan dapat menciptakan pernikahan yang harmonis
karena keduanya tidak memperhatikan kepentingannya sendiri tetapi kepentingan orang
lain juga (Filipi 2:4).
f. Menaruh respek
Dalam Efesus 5:22-33 tercantum petunjuk bagi suami istri untuk saling menaruh respek,
yaitu saling menghargai dan menghormati meskipun berbeda pendapat dan kepribadian.
Sikap menghargai seperti ini memampukan suami istri untuk saling menghormati dan taat.44 Seperti Kristus mengasihi jemaat-Nya demikianlah suami mengasihi istrinya dan
seperti jemaat-Nya melayani dan taat pada Kristus demikianlah istri melayani dan taat
kepada suami. Di atas semuanya itu hanya kasih Kristus yang menjadi dasar dan
41

Y. Singgih D Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1977), 31.
42

Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri…,

43

Y. Singgih D Gunarsa dan Singgih D. Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga…, 56-57.
Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri…,

218.
44

218 – 219.

10

pedoman. Dengan meneladani kasih Kritus yang dilakukan-Nya tanpa pamrih maka
suami istri dapat saling menghormati, mengasihi dan melayani serta taat dengan tulus
baik kepada Kristus maupun kepada pasangan masing-masing.
g. Tidak egois
Keegoisan sudah ada sejak peristiwa Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Adam dan
Hawa serta ular saling tuduh menuduh dihadapan Allah untuk menutup-nutupi dosanya.
Sifat egois yang dimiliki manusia digambarkan Ed Young seperti seekor babi dalam
kandang yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Ada empat gejala sifat egois yaitu
ketidakdewasaan, salah menggunakan waktu, ketidakpekaan dan kebandelan. Untuk
keluar dari sifat egois dalam suatu pernikahan maka pasangan suami istri harus memiliki
hubungan erat dengan Kristus dan memiliki tujuan atau prioritas yang sama, menjelaskan
apa yang diharapkan serta sepakat dengan pola gaya hidup dan diatas semuanya itu
pasangan suami istri harus hidup dalam kasih. Dengan mengesampingkan keegoisan
masing-masing dan saling mengutamakan pasangan, pernikahan akan dilingkupi
kehangatan, kepuasan dan pernikahan itu akan teguh berdiri.45 Karena jikalau iri hati dan
sikap mementingkan diri sendiri ada dalam hati pasangan suami istri maka dalam rumah
tangga itu ada berbagai kekacauan dan perbuatan jahat (Yakobus 3:16).
h. Jauhi godaan seks
Selain untuk menghasilkan keturunan, Allah juga mendesain seks sebagai suatu
kenikmatan yang mempersatukan suami istri secara fisik, spiritual dan emosi.46 Dalam
suatu hubungan pernikahan, tentu ada rasa jenuh dengan hubungan dan masalah-masalah
lainnya yang dapat membuat

salah satu pasangan terjerat dalam dosa perzinahan.

Namun, Allah menasihatkan agar tidak tergoda untuk berhubungan intim dengan orang
lain karena tubuh kita adalah bait-Nya yang kudus dan suami istri telah dipersatukan oleh
Allah malalui janji pernikahan. Keintiman dengan Allah Bapa akan memungkinkan
pasangan suami istri melewati berbagai ancaman dalam pernikahan. Dalam Ibrani 13:4
Allah memerintahkan agar pasangan suami istri menghormati perkawinan mereka dan
tidka mencemarkan tempat tidur mereka dengan dosa karena pernikahan merupakan
inisiatif Allah dan Ia memberkati setiap perkawinan.
45

Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri…,

46

Ibid., 150

217-218.

11

Setiap pernikahan ditentukan Allah untuk menjadi satu tim suami-istri yang sukses.47 Hal
ini berarti bahwa Allah yang pada mulanya berinisiatif mempunyai rencana agar melalui
perkawinan suami istri menemukan kedalaman hubungan satu sama lain.48 Kedalaman hubungan
suami istri ini dapat diperoleh dengan menjalin hubungan akrab dengan Allah terlebih dahulu
dan kemudian Allah akan memberi kemampuan untuk menerapkan nilai-nilai yang dijabarkan di
atas dalam kehidupan berumah tangga. Melalui Firman Tuhan pasangan suami istri dapat
mengenal pribadi Allah dan menjalin hubungan dengan-Nya. Begitu pula dengan natoni dalam
perkawinan Kristen, sudah semestinya bahasa gambaran atau metafora yang dipakai dalam
tuturan natoni juga harus menyimbolkan prinsip dan nilai-nilai perkawinan Kristen sehingga
pasangan suami istri dapat menghayati panggilan Allah dalam menjalani kehidupan pernikahan
mereka.

III.

HASIL PENELITIAN
3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian49
Ada tiga suku di Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu suku Amanatun, suku

Amanuban dan suku Mollo. Suku Amanuban mendiami Kecamatan Amanuban Tengah dengan
ibukotanya Desa Niki-Niki yang terletak ±25 Km dari Kota Soe, ibukota Kabupaten Timor
Tengah Selatan, NTT. Selain Suku Amanuban sebagai suku asli, ada pula suku-suku lainnya
yang mendiami Kecamatan Amanuban Tengah sehingga disebut dengan Kecamatan multi etnis
namun masyarakat sangat menghargai adat Timor Tengah Selatan sehingga setiap perayaan
kehidupan selalu dilakukan secara adat, terkhususnya Natoni yang menjadi bahasa resmi orang
Timor. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani, peternak, pedagang dan ada pula
yang bekerja sebagai PNS, TNI dan POLRI. Sebagian besar masyarakat berlatar belakang
pendidikan SMP dan ada pula yang berlatar belakang pendidikan Strata 1. Mayoritas masyarakat
Kecamatan Amanuban Tengah beragama Kristen Protestan, dan sebagian kecil beragama Katolik
dan Islam.

47

Ed Young, The 10 Commandments of Marriage Sepuluh Perintah Kunci Kebahagiaan Suami istri…,

270.
48

Yakub Susabda, Marriage Enrichment (Pembinaan Keluarga Kristen), 248.
JB (inisial), pengamat budaya lokal dan penutur natoni Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban
Tengah, wawancara (Niki-Niki, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA).
49

12

3.2 Hakikat Natoni
Natoni telah diselenggarakan sejak dahulu oleh para leluhur orang Timor dalam
pertemuan adat yang berkaitan dengan kegiatan perkawinan, kematian, sejarah hidup, penuturan
silsilah, penerimaan tamu, dan lain-lain di Istana raja (Sonaf) dan terus berlangsung hingga
akhirnya dikemas menjadi satu bentuk bahasa sastra Timor yang menarik.50 Natoni merupakan
kata kerja yang berasal dari akar kata toni dari bahasa Timor yang berarti sahut, jawab atau
respon. Jika diakhiri dengan huruf „s‟, maka berubah pula artinya menjadi tuturan.51 Peserta tonis
meliputi penutur (a tonis), kelompok penyahut (a tutas atau a‟ he‟en) serta kelompok
pendamping (am naubat).52 Penutur (a tonis) adalah orang yang mampu bertutur dalam bahasa
Timor dan didampingi oleh kelompok penyahut (a tutas atau a‟ he‟en) yang memahami padanan
kata tonis sehingga mereka dapat mempertegas kata terakhir dari penutur (a tonis) dengan kata
yang setara. Sedangkan kelompok pendamping (am naubat) terdiri dari undangan yang dapat
bergabung di mana saja.53 Pada umumnya, penutur berjumlah 1 orang sedangkan penyahut dan
pendamping tidak terbatas jumlahnya. Pada saat bernatoni para peserta natoni harus memakai
busana tradisional orang Timor yang disebut dengan Ao Balaf untuk menunjukkan identitas diri
serta rasa hormat.54 Laki-laki mengenakan beti dan pilu (mahkota) sedangkan perempuan
mengenakan tais (sarung) dan kil nono ma poso (tusuk konde).55 Tonis diucapkan oleh orangorang tertentu karena tidak semua orang Timor dapat mengucapkan tonis, kecuali orang tersebut
mempunyai karunia dari Tuhan untuk mengucapkannya.56 Bpk JB menambahkan bahwa karunia
diberikan kepada orang-orang tertentu saja bahkan dalam satu keluarga pun belum tentu semua
mendapat karunia itu. Dengan demikian, baik masyarakat biasa, turunan raja, tua-tua adat, orang
tua maupun orang muda dapat bernatoni jika ia memiliki karunia dan memahami tonis.
Masyarakat Suku Amanuban memiliki 3 tingkatan bahasa yaitu bahasa sehari-hari,
bahasa resmi dan bahasa Sonaf. Bahasa sehari-hari diucapkan dalam pergaulan masyarakat
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
TK (inisial), guru SD dan penutur natoni di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah,
wawancara (Niki-Niki, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA).
52
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
53
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
54
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
55
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
56
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA. Menurut JB, karunia itu seperti ilham yang sudah kami rasakan
sejak kecil, kemudian kami sangat tertarik dengan natoni serta mulai dapat mengucapkan syair natoni.
50

51

13

Timor, bahasa resmi diucapkan dalam upacara-upacara adat sedangkan bahasa Sonaf diucapkan
dalam istana raja.57 Tonis tergolong dalam bahasa resmi masyarakat adat Amanuban yang
ditujukan tidak hanya kepada sesama, tetapi juga kepada alam, arwah para leluhur, Uis Neno
(Dewa Matahari), Uis Oe (Dewa Air) dan Uis Pah (Dewa Bumi atau Tanah).58 Oleh sebab itu,
jika dalam suatu upacara adat tidak diselenggarakan dalam bentuk natoni, maka acara tersebut
dinyatakan tidak resmi dan orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak menghargai adat.59 Hal
ini karena Suku Amanuban sangat menjunjung tinggi tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh
para leluhur sehingga tradisi itu harus dilakukan juga oleh generasi selanjutnya. 60 Tonis harus
diucapkan berbalasan karena natoni merupakan media untuk mencapai satu tujuan dan untuk
mencapai tujuan itu harus dilakukan oleh dua pihak yang saling mendukung dalam
kebersamaan.61 Jadi, dalam suatu upacara adat terdapat dua pihak yang masing-masing diwakili
oleh penutur beserta dengan penyahut dan pendamping. Dalam bernatoni, sikap tubuh sang
penutur adalah duduk bersila sambil menundukkan kepala dan kedua telapak tangan
dikumpulkan dan diletakkan di depan mulut untuk menjaga agar ludah tidak mengena lawan
bicara.62 Lamanya waktu bagi penutur untuk mengucapkan tonis disesuaikan dengan syair-syair
tonis penuturnya karena setiap penutur memiliki cara tersendiri untuk mengucapkan tonis, ada
yang langsung pada intinya, namun ada pula yang berbelit-belit.63
Ada 2 jenis tonis yaitu tonis yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama yang
terdiri dari tonis terima tamu, tonis hari raya, tonis hari ulang tahun kelahiran, tonis perkawinan
serta tonis kematian.64 Jenis tonis yang kedua adalah menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhan (Uis Neno) seperti doa minta hujan, kekayaan, kesembuhan, sumpah, sengketa tanah,
hubungan sosial, permusuhan, sejarah dan silsilah. Jadi, natoni perkawinan termasuk dalam tonis
yang menyangkut hubungan manusia dengan sesama. Tempat pelaksanaan natoni disesuaikan
dengan upacara yang berlangsung, seperti upacara perkawinan diadakan di rumah keluarga lakilaki dan perempuan, upacara menyamput tamu diadakan di gerbang masuk sedangkan doa
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
59
AT dan NT (inisial), penutur natoni di Kelurahan Niki-Niki, Kecamatan Amanuban Tengah, wawancara
(Niki-Niki, 17 April 2015, pukul. 18.00 WITA).
60
AT dan NT…, 17 April 2015, pukul. 18.00 WITA.
61
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
62
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
63
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
64
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
57
58

14

permohonan disesuaikan dengan maksud permohonan tersebut. Tonis tidak dapat diucapkan
dalam percakapan sehari-hari karena selain tergolong bahasa resmi Suku Amanuban, natoni juga
dianggap sakral karena menurut pemahaman orang Timor, para arwah leluhur sedang memantau
pelaksanaan natoni sehingga tidak boleh seorang pun menyelewengkan kebenaran atau tujuan
pembicaraan. Natoni juga tidak dapat diremehkan karena berkaitan dengan fanu.65 Apabila
seseorang menyela tonis pada saat bernatoni dalam upacara perkawinan, kematian, penerimaam
tamu, dsb, orang tersebut dikenakan denda berupa uang atau 1 botol arak sedangkan jika penutur
atau penyahut salah mengucapkan tonis dalam upacara sejarah hidup atau penuturan silsilah
maka orang tersebut akan mengalami sakit atau bisu seumur hidup dan bahkan meninggal. 66
3.3 Makna Bahasa Gambaran Natoni Perkawinan
Perkawinan bagi masyarakat Timor secara khusus masyarakat Suku Amanuban
merupakan suatu hal yang mendasar dan bersifat sakramental sehingga pada akhirnya kedua
mempelai akan menikmati ketenangan hidup dalam berumah tangga yang melahirkan
kebahagiaan dan kesuburan jasmani serta rohani.67 Selain itu, perkawinan juga merupakan
peristiwa yang sangat penting yang tidak hanya menyatukan laki-laki dan perempuan tetapi juga
menyatukan kedua belah pihak keluarga.68 Ada 6 tahap upacara perkawinan adat Suku
Amanuban. Tahap perkenalan hingga peminangan dilaksanakan di kediaman orang tua
perempuan sedangkan tahap menghapus marga perempuan dilaksanakan di kediaman orang tua
laki-laki. Dalam setiap tahapan perkawinan adat Suku Amanuban terdapat maksud, informasi,
harapan serta nasihat yang disampaikan dalam bentuk tonis yang disebut dengan Tonis Mafet ma
Mamonet (tuturan hal perkawinan) dengan menggunakan simbol-simbol budaya serta bahasa
gambaran.69 Di setiap tahapannya juga terdapat jawaban tonis laki-laki dan perempuan. Jadi,
setelah pihak keluarga laki-laki mengungkapkan maksudnya dalam bentuk tonis, maka pihak
keluarga perempuan pun menjawab maksud mereka dalam bentuk tonis, dan sebaliknya. Karena
syair-syairnya terlampau banyak maka pada bagian ini penulis tidak melampirkan semua isi syair

TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA. Menurut TK, fanu merupakan kebenaran atau kepercayaan
orang Timor yang jika dikaitkan dengan Kekristenan maka disebut dengan iman.
66
JB…, 16 April 2015, pukul 10.00 WITA.
67
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
68
OI, NB dan YK (inisial), penutur natoni, wawancara (Niki-Niki, 20 April 2015, pukul. 10.00 WITA).
69
TK…, 15 April 2015, pukul 18.00 WITA.
65

15

tonis dalam setiap tahapan perkawinan tetapi hanya melampirkan satu syair tonis lengkap yang
mengandung banyak bahasa gambaran untuk dijadikan acuan penelitian.
Dalam setiap tahap perkawinan, terdapat bahasa gambaran yang berbunyi demikian: Mana‟
pinat neon aklahat (ya surya yang menyala dan membara). Sebelum memulai tahap pertama
perkawinan adat Suku Amanuban, penutur pihak keluarga laki-laki meminta izin kepada pihak
keluarga perempuan yang disebut dengan Tonis Han Honet (tuturan bermusyawarah).70 Tuturan
ini dilengkapi dengan benda-benda budaya, yaitu oko‟mama‟ (tempat sirih yang berisi sirih
pinang atau uang) yang menyimbolkan persaudaraan, penghargaan dan penghormatan kedua
belah pihak; noin muti (uang perak) yang menyimbolkan harapan dan kemurnian hati serta puah
manus (sirih pinang) yang menyimbolkan persatuan dan kesatuan segenap keluarga yang
terlibat.71 Dalam Tonis Han Honet penutur mengucapkan syair-syair permohonan