PENGARUH SKEPTISME PROFESIONAL DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN (FRAUD) (STUDI EMPIRIS BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA) - UMBY repository

BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Fraud (Kecurangan) 2.1.1. Defenisi Fraud (Kecurangan) Fraud menurut Pusdiklatwas BPKP (2002) adalah sebagai berikut,

  “Fraud adalah suatu perbuatan melawan atau melanggar hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam atau dari luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain."

  Fraud menurut SPA 240 yang diterbitkan IAPI (berlaku 1 Januari 2013)

  adalah sebagai berikut, “Fraud adalah suatu tindakan yang disengaja oleh satu individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggungjawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh satu keuntungan secara tidak adil atau melanggar hukum.” Kecurangan berkenaan dengan adanya keuntungan yang diperoleh seseorang dengan menghadirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Di dalamnya termasuk unsur-unsur tak terduga, tipu daya, licik, dan tidak jujur yang merugikan orang lain. Kecurangan (fraud) juga perlu dibedakan dengan kekeliruan (error). Faktor yang membedakan antara kecurangan dan kekeliruan adalah apakah tindakan yang mendasarinya, yang berakibat terjadinya salah saji dalam laporan keuangan, berupa tindakan yang disengaja atau tidak disengaja (IAI, 2001)

2.1.2. Klasifikasi Fraud (Kecurangan)

  Secara skematis Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) menggambarkan occupational fraud dalam bentuk fraud tree. Pohon ini menggambarkan cabang-cabang dari fraud dalam hubungan kerja, beserta ranting dan anak rantingnya. Occupational fraud tree ini memiliki tiga cabang utama, yaitu: 1.

  Korupsi (Corruption) Black’s Law Dictionary dalam Wells (2007) mendefenisikan “corrupt” sebagai spoiled, tainted, depraved, debased, morally degenerate. Skema korupsi (corruption schemes) dapat dipecah menjadi empat klasifikasi: (1) pertentangan kepentingan (conflict of interest), (2) suap (bribery), (3) pemberian ilegal (illegal gratuity), dan (4) pemerasan ekonomi (economic extortion ).

2. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

  Penyalahgunaan aset (asset misappropriation) terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (1) penyalahgunaan kas (cash misappropriation) yang dapat dilakukan dalam bentuk skimming, larceny, atau fraudulent disbursement, dan dilakukan dalam bentuk penyalahgunaan (misuse) atau pencurian (larceny) terhadap persediaan dan aset-aset lainnya.

3. Kecurangan Laporan Keuangan (Fraudulent Financial Statement)

  Kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement) dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu dengan (1) mencatat pendapatan- pendapatan fiktif (fictitious revenues), (2) mencatat pendapatan (revenue) dan/atau beban (expenses) dalam periode yang tidak tepat, (3) menyembunyikan kewajiban dan beban (concealed liabilities and expenses) yang bertujuan untuk mengecilkan jumlah kewajiban dan beban agar perusahaan tampak lebih menguntungkan, (4) menghilangkan informasi atau mencantumkan informasi yang salah secara sengaja dari catatan atas laporan keuangan (improper disclosure), atau (5) menilai aset dengan tidak tepat (improper asset valuation). Statements on Auditing Standards No.99 AU

section 316 menyebutkan bahwa tiga kondisi yang secara umum

  menyebabkan kecurangan (fraud) terjadi, yaitu: (1) adanya dorongan atau tekanan (incentive or pressure) yang menjadi motivasi bagi pelaku kecurangan (fraud) untuk melakukan kecurangan (fraud), (2) adanya peluang atau kesempatan (opportunity) yang mendukung pelaku untuk melakukan kecurangan (fraud), dan (3) adanya rasionalisasi (razionalization), yaitu pembenaran terhadap perilaku untuk berbuat kecurangan oleh pihak-pihak yang melakukan tindakan kecurangan tersebut.

2.2. Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

  Seorang auditor sangat dituntut akan kemampuannya dalam memberikan jasa yang terbaik sesuai dengan kebutuhan perusahaan ataupun organisasi. Menurut Hartan (2016), kemampuan auditor merupakan keahlian dan kemahiran yang dimiliki untuk menjalankan tugas-tugasnya, termasuk dalam pengumpulan bukti- bukti, membuat judgement, mengevaluasi pengendalian intern, serta menilai risiko audit.

  Kemampuan auditor dalam menteksi kecurangan adalah kualitas dari seorang audior dalam menjelaskan kekurangwajaran laporan keuangan yang disajikan perusahaan dengan mengidentifikasi dan membuktikan kecurangan (fraud) tersebut (Nasution dan Fitriany dalam Suciati, 2016). Dalam melakukan pendeteksian kecurangan auditor diharuskan memiliki beberapa kemampuan/keterampilan yang dapat mendukungnya dalam melakukan tugas pendeteksian, seperti (1) keterampilan teknis (technical skills) yang meliputi kompetensi audit, teknologi informasi dan keahlian investigasi, (2) keahlian/kemampuan untuk dapat bekerja dalam sebuah tim, auditor dapat menerima ide-ide, pengetahuan, dan keahlian orang lain dengan komunikasi dan berpandangan terbuka, dan (3) kemampuan menasehati (mentoring skill), kemampuan ini harus dapat dimiliki oleh auditor senior dimana seorang senior harus dapat menuntun para juniornya dalam proses investigasi (Nasution dan Fitriany dalam Suciati, 2016).

  Tanggungjawab dalam mendeteksi kecurangan berada pada tingkat manajemen, meskipun demikian auditor harus ikut serta dalam memberikan kontribusi kepada manajemen. Kontribusi auditor dapat dilakukan dengan memberikan peringatan dini terhadap potensi terjadinya kecurangan serta rekomendasi perbaikan terhadap kelemahan sistem pengendalian intern. Rekomendasi tersebut dapat berupa perbaikan kebijakan dan prosedur untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan lebih awal, sehingga dampak atau risiko kecurangan dapat diminimalisir. Dalam penelitian ini kemampuan mendeteksi kecurangan berarti proses menemukan atau menentukan suatu tindakan ilegal yang dapat mengakibatkan salah saji dalam pelaporan keuangan yang dilakukan secara sengaja. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecurangan adalah dengan melihat tanda, sinyal atau red flags suatu tindakan yang diduga menyebabkan atau potensial menimbulkan kecurangan.

  Pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kemampuan auditor mendeteksi kecurangan adalah keahlian ataupun kemahiran yang dimiliki auditor dalam menganalisis ada tidaknya kecurangan pada laporan keuangan yang mungkin dapat terjadi. Kecurangan ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mencari keuntungan dengan cara yang instan.

2.3. Konsep Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

  Banyak pakar yang mengemukakan mengenai konsep penyebab kecurangan, salah satu konsep penyebab kecurangan yang saat ini sudah digunakan secara luas dalam praktik Akuntan Publik yaitu konsep segitiga kecurangan. Sedangkan berdasarkan teori segitiga kecurangan merupakan teori yang harus dimasukkan ke dalam rencana audit kecurangan. Teori ini menyatakan bahwa kecurangan terjadi karena adanya tiga elemen seperti tekanan, kesempatan, dan pembenaran. Tiga elemen kecurangan hidup bersama pada tingkat yang berbeda di dalam organisasi dan mempengaruhi setiap individu secara berbeda (Karyono dalam Suciati, 2016).

  Menurut Donald R. Cressey (1953) dalam Tuanakotta (2010), skema segitiga kecurangan terdiri dari tekanan (pressure), kesempatan (perceived opportunity), dan juga pembenaran (rationalization) gambaran dari teori Fraud Triangle dapat dilihat pada Gambar 2.1.

  PERCEIVED OPPORTUNITY FRAUD PRESSURE RATIONALIZATION

Gambar 2.1 Teori Segitiga Kecurangan (Fraud Triangle)

  (Tuanakotta, 2010) Sudut pertama dari segitiga itu diberi judul elemen tekanan (pressure) yang merupakan perceived non-shareable financial need. Sudut keduanya elemen kesempatan (perceived opportunity). Sudut ketiga, pembenaran (rationalization).

  1. Elemen Tekanan (Pressure/ incentive) Elemen tekanan (pressure) adalah tekanan atau dorongan orang untuk melakukan kecurangan. Dalam hal keuangan, misalnya penggelapan uang perusahaan yang bermula dari suatu tekanan yang menghimpit, maka orang yang melakukan hal tersebut sedang mempunyai kebutuhkan keuangan yang mendesak, yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain. Konsep yang penting di sini adalah tekanan yang menghimpit hidupnya (berupa kebutuhan akan uang), padahal ia tidak bisa berbagi dengan oranglain. Sedangkan tekanan dalam hal non keuangan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan fraud, misalnya tindakan untuk menutupi kinerja yang buruk karena tuntutan pekerjaan untuk mendapatkan hasil yang baik (Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).

  2. Tekanan Kesempatan (Perceived Opportunity) Elemen kesempatan (perceived opportunity) adalah peluang memungkinkan terjadinya kecurangan.Menurut Donald R. Cressey dalam Tuanakotta (2010), ada dua persepsi tentang peluang ini. Pertama, general information, yang merupakan mengandung trust atau kepercayaan, dapat dilanggar tanpa konsekuensi. Pengetahuan ini diperoleh dari apa yang ia dengar atau lihat, misalnya pengalaman orang lain melakukan fraud dan tidak ketahuan atau tidak dihukum atau terkena sanksi. Kedua, technical skill atau keahliah/ keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan kejahatan tersebut. Ini biasanya keahlian atau keterampilan yang dipunyai orang itu dan yang menyebabkan ia mendapat kedudukan tersebut. Dari ketiga elemen dalam fraud triangle, kesempatan memiliki kontrol yang posisi paling atas. Organisasi perlu membangun sebuah proses, prosedur dan kontrol yang membuat karyawan tidak dapat melakukan kecurangan dan yang efektif mendeteksi aktivitas kecurangan jika hal itu terjadi (Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016).

3. Elemen Pembenaran (Rationalization)

  Elemen pembenaran (rationalization) menjadi elemen penting dalam terjadinya kecurangan, dimana pelaku mencari pembenaran atas perbuatannya.

  Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur (Zimbelman dan Albrecht dalam Suciati, 2016). Mencari pembenaran sebenarnya merupakan bagian yang harus ada dari kejahatan itu sendiri, bahkan merupakan bagian dari motivasi untuk melakukan kejahatan. Rationalization diperlukan agar si pelaku dapat mencerna perilakunya yang melawan hukum untuk tetap mempertahankan jati dirinya sebagai orang yang dipercaya. Setelah kejahatan

  Dari ketiga elemen fraud triangle, kesempatan mengendalikan fraud terbesar adalah opportunity (Tuanakotta dalam Suciati, 2016). Organisasi seharusnya peduli dan serius serta mampu untuk sebuah proses, prosedur dan kontrol serta tata kelola yang membuat semua personil dalam organisasi tidak memiliki kesempatan melakukan fraud dan yang efektif dapat mendeteksi fraud jika hal ini terjadi. Namun, opportunity sangat berkaitan dengan integritas seseorang. Jika karyawan dalam perusahaan memiliki integritas yang rendah dan perusahaan tidak menerapkan pengendalian internal yang kuat sehingga memunculkan kesempatan melakukan fraud maka resiko terjadinya fraud dalam perusahaan tersebut akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya (Priantara dalam Suciati, 2016).

2.4. Skeptisme Profesional (SP)

  Skeptisme profesional merupakan sikap auditor yang tidak gampang percaya pada bukti audit yang diberikan klien, sehingga dalam melakukan tugasnya auditor selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis bukti audit yang diberikan. Bukti audit tersebut dikumpul dan dinilai selama proses audit, sehingga selama proses audit seorang auditor harus menerapkan sikap skeptisme profesional.

  

American Institude of Certified Publik Accountant (AICPA) mendefenisikan

  skeptisme profesional sebagai:

  “Profesional skepticism in auditing implies an attitude that includes a questioning mind and a critical assessment of audit evidence without being absessively suspicious or skeptical. The auditors are expected to exercise profesional skepticism in conducting the audit, and in gethering evidence

suffcient to support to rufutr management's assetion.”(AU 316 AICPA)

  Dapat diartikan pengertian skeptisme profesional menurut AICPA adalah sikap yang mencakup pikiran yang selalu bertanya dan penilaian kritis atas bukti audit tanpa obsesif mencurigakan atau skeptis. Pemeriksa (auditor) secara profesional bertanggungjawab merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan untuk memenuhi tujuan pemeriksaan. Dalam melaksanakan tanggungjawab profesionalnya, pemeriksa harus memahami prinsip-prinsip pelayanan kepentingan publik serta menjunjung tinggi integritas, objektivitas, dan independensi (Arens dan Loebbecke dalam Suciati, 2016). Pemeriksaan harus memiliki sikap untuk melayani kepentingan publik, menghargai dan memelihara kepercayaan publik, dan mempertahankan profesionalisme. Tanggung jawab ini sangat penting dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (SKPN, 2007).

2.5. Independensi Auditor (IA)

  Independensi merupakan salah satu komponen etika yang harus dijaga oleh akuntan publik. Independen merupakan tidak mudah dipengaruhi, karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum (Sukrisno, 2017). Dengan bagaimanapun sempurnanya keahlian teknis yang dimiliki, ia akan kehilangan sikap tidak memihak yang justru sangat penting untuk mempertahankan kebebasan pendapatnya. Menurut Arens dan Loebbecke (2004) dalam Suciati (2016) sikap mental independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in apperance). Sukrisno (2017) mengklasifikasikan aspek independensi seorang auditor menjadi 3 aspek:

  1. Independensi yang dilihat dari penampilannya di struktur organisasi perusahaan (Independent In Appearance). In appearance, auditor adalah independen karena merupakan pihak di luar perusahaan sedangkan internal auditor tidak independen karena merupakan pegawai perusahaan.

2. Independensi dalam kenyataannya/ dalam menjalankan tugasnya (Independent

  In Fact ). In Fact, auditor seharusnya independen, sepanjang dalam

  menjalankan tugasnya memberikan jasa profesional, bisa menjaga integritas dan selalu mentaati kode etik, profesi akuntan publik dan standar profesional akuntan publik. Jika tidak demikian, auditor in fact tidak independen. In fact, internal auditor bisa independen jika dalam menjalankan tugasnya selalu mematuhi kode etik internal auditor dan professional practise framework of internal auditor , jika tidak demikian internal auditor in fact tidak independen.

  3. Independensi dalam pikiran (Independent In Mind). Auditor mendapatkan temuan audit yang memiliki indikasi pelanggaran atau korupsi atau yang memerlukan audit adjustment yang material. Kemudian berpikir untuk menggunakan audit findings tersebut untuk memeras auditee. Walaupun baru dipikikan, belum dilaksanakan, in-mind auditor sudah kehilangan independensinya.

  2.6. Beban Kerja

  Beban kerja atau (workload) adalah jumlah pekerjaan yang harus dilakukan oleh seseorang. Setiawan dan Fitriany dalam Suryanto, dkk (2017) menyebutkan bahwa beban kerja auditor dapat dilihat dari banyaknya jumlah klien yang harus ditangani oleh seorang auditor atau terbatasnya waktu auditor untuk melakukan proses audit. Beban kerja seorang auditor biasanya berhubungan dengan busy season yang pada umumnya terjadi pada kuartal pertama awal tahun. Penyebab terjadinya busy

  

season dari auditor adalah karena banyaknya perusahaan yang memiliki tahun

  fiskal yang berakhir pada bulan Desember. Menurut Nasution dalam Suryanto, dkk (2017) kelebihan pekerjaan pada saat busy season akan mengakibatkan kelelahan dan ketatnya time budget bagi auditor sehingga akan menghasilkan kualitas audit yang rendah.

  2.7. Pengalaman Kerja

  Pengalaman menjadi indikator penting bagi kualifikasi profesional seorang auditor (AU Seksi 110 Paragraf 04). Pengalaman audit adalah pengalaman yang diperoleh auditor selama melakukan proses audit laporan keuangan, baik dari segi dalam Suryanto, dkk, 2017). Auditor yang telah memiliki banyak pengalaman tidak hanya akan memiliki kemampuan untuk menemukan kekeliruan atau kecurangan yang tidak lazim yang terdapat dalam laporan keuangan tetapi juga auditor tersebut dapat memberikan penjelasan yang lebih akurat terhadap temuan tersebut dibandingkan dengan auditor yang masih sedikit pengalaman (Nasution dalam Suryanto, dkk, 2017).

  Pengalaman auditor akan semakin berkembang dengan bertambahnya pengalaman audit, adanya diskusi mengenai audit dengan rekan sekerja, dan dengan adanya program pelatihan dan penggunaan standar.

2.8. Kompetensi

  

Kompetensi merupakan kualifikasi yang diperlukan oleh seorang auditor

  dalam melaksanakan proses audit secara benar. Standar Audit APIP menyebutkan bahwa proses audit harus dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. Sehingga, auditor belum memenuhi persyaratan apabila ia tidak memiliki pendidikan dan pengalaman yang memadai dalam bidang audit. Audit dalam pemerintahan menuntut auditor untuk memiliki serta meningkatkan kemampuan atau keahlian yang tidak sekedar pada metode dan teknik audit, namun dalam segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan seperti organisasi, fungsi, program, dan kegiatan pemerintahan.

  Dreyfus dan Dreyfus (1986) dalam Elfarini (2007), mendefinisikan bahwa mana pergerakannya melalui proses p embelajaran, dari “pengetahuan sesuatu” ke “mengetahui bagaimana”.

2.9. Teori Disonansi Kognitif

  Pada dasarnya manusia bersifat konsisten dan akan cenderung mengambil sikap-sikap yang tidak bertentangan satu sama lain, serta menghindari melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan sikapnya. Namun demikian, dalam kenyataannya manusia seringkali terpaksa harus melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan sikapnya (Noviyanti dalam Suciati, 2016). Suciati (2016) menyatakan arti disonansi adalah adanya suatu inkonsistensi dan perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.

  Disonansi terjadi apabila terdapat hubungan yang bertolak belakang akibat penyangkalan dari suatu elemen kognitif terhadap elemen lain, antara elemen- elemen kognitif dalam diri individu. Disonansi kognitif mengacu pada inkonsistensi dari dua atau lebih sika-sikap individu, atau inkonsistensi antara perilaku dan sikap. Dalam teori ini, unsur kognitif adalah setiap pengetahuan, opini, atau apa saja yang dipercayai orang mengenai lingkungan, diri sendiri atau perilakunya. Teori disonansi kognitif dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan pengaruh interaksi antara skeptisme profesional auditor dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud).

2.10. Tinjauan Penelitian Terdahulu

  Penelitian tentang pendeteksian kecurangan cukup banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu. Adapun beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh: a.

  Rd. Dewi Arum Suciati (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme Profesional dan Independensi Auditor terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) ”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme profesional dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Pada penelitian ini terdapat tiga variabel, dua variabel bebas, dan satu variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional dan independensi auditor, sedangkan variabel terikat terdiri dari kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian tersebut, dinyatakan bahwa kedua variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan variabel, sama-sama membahas mengenai pengaruh skeptisme profesional dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

  b.

  Trinanda Hanum Hartan (2016) dengan judul “Pengaruh Skeptisme Profesional, Independensi dan Kompetensi terhadap Kemampuan Auditor Mendeteksi Kecurangan ”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh skeptisme profesional, independensi, dan kompetensi terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Pada penelitian ini terdapat empat variabel, tiga variabel bebas, dan satu variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional, independensi, dan kompetensi, sedangkan variabel terikat terdiri dari kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian tersebut, dinyatakan bahwa ketiga variabel bebas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

  Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor Inspektorat Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain objek penelitian, yang berbeda pada penelitian terdahulu adalah terdapat empat variabel, sedangkan pada penelitian sekarang nya menggunakan tiga variabel penelitian. Dan persamaan penelitian terdahulu dan sekarang yaitu persamaan dan independensi auditor terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan.

  c.

  Rudy Suryanto, dkk (2017) dengan judul “Determinan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan”.

  Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh beban kerja, pengalaman, skeptisme profesional, dan tipe kepribadian NT terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Pada penelitian ini terdapat lima variabel, empat variabel bebas, dan satu variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari skeptisme profesional, beban kerja, pengalaman, tipe kepribadian NT, sedangkan variabel terikat terdiri dari kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Dalam hasil penelitian tersebut, dinyatakan bahwa hanya dua variabel bebas (pengalaman auditor dan tipe kepribadian) berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan, sedangkan skeptisme profesional dan beban kerja dinilai tidak mempengaruhi kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan. Perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang dilakukan peneliti terletak pada objek penelitian, dimana objek penelitian terdahulu yaitu pada auditor KAP kecil di Yogyakarta dan Surakarta, untuk penelitian yang diteliti sekarang pada auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain objek penelitian, yang berbeda pada penelitian terdahulu adalah terdapat lima variabel, sedangkan pada penelitian sekarang terdahulu dan sekarang yaitu adanya variabel yang sama digunakan, yaitu skeptisme profesional.

2.11. Kerangka Pengembangan Hipotesis 2.11.1. Skeptisme Profesional dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

   Sikap skeptisme profesional merupakan suatu sikap yang penting untuk

  digunakan oleh auditor dalam melakukan proses. Dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit. Terkaitan antara skeptisme profesional dengan kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan diperkuat dengan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi skeptisme profesional tersebut, seperti faktor etika, faktor situasi audit, pengalaman serta keahlian audit. Seorang auditor yang menerapkan skeptisme profesional, tidak akan begitu saja menerima penjelasan yang diberikan oleh klien, namun akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti serta konfirmasi yang berkaitan dengan objek tertentu. Tanpa penerapan sikap skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan namun akan sulit menemukan salah saji karena kecurangan.

  Ketidakmampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan dan kekeliruan yang dimiliki auditor (Adnyani, dkk dalam Suciati, 2016). Standar Profesional Akuntan Publik menyatakan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Pada penelitian terdahulu yang dilakukan Adnyani, dkk (2014) dapat disimpulkan bahwa skeptisme profesional berpengaruh signifikan terhadap tanggungjawab auditor. Kemudian Hartan (2016) menyatakan bahwa skeptisme profesional berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

  

H1 : Skeptisme Profesional Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor

  dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud) 2.11.2.

   Independensi Auditor dan Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

  Independensi merupakan salah satu faktor penting dalam proses audit, karena bila seorang auditor tidak menerapkan sikap independensinya, maka laporan keuangan yang diaudit tidak dapat dijadikan dasar untuk pengumpulan keputusan. Sikap independensi diperlukan auditor agar ia bebas dari kepentingan dan tekanan pihak manapun, sehingga auditor dapat mendeteksi ada tidaknya kecurangan pada perusahaan yang diauditnya dengan tepat, dan setelah kecurangan tersebut terdeteksi, auditor tidak ikut terlibat dalam

  American Institute of Certified Public Accountant (AICPA) (2003) menyatakan bahwa independensi merupakan kemampuan untuk bertindak bertindak berdasarkan integritas dan objektivitas. Seorang auditor yang memiliki dan mempertahankan sikap independensi tidak akan mempedulikan adanya gangguan, ancaman, dan tekanan dari pihak lain untuk mendeteksi suatu kecurangan yang terjadi karena auditor tersebut berintegritas tinggi.

  Semakin tinggi sikap independensi auditor, maka semakin meningkat pula kemampuan auditor mendeteksi kecurangan. Dalam penelitian Hartan (2016), menyimpulkan bahwa independensi berpengaruh positif terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi kecurangan (fraud). Dari uraian di atas maka diajukan hipotesis sebagai berikut:

  H2 : Independensi Auditor Berpengaruh Positif terhadap Kemampuan Auditor

  dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud)

2.12. Kerangka Pemikiran

  Kerangka pemikiran merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka yang baik akan menjelaskan secara teoritis pertautan antara faktor yang diteliti (dalam hal ini faktor independen, faktor dependen).

  Dengan mengacu pada beberapa penelitian terdahulu, maka kerangka teoritis dalam penelitian ini memadukan faktor Skeptisme Profesional yang berpengaruh

  Independensi Auditor yang berpengaruh terhadap Kemampuan Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan (Fraud), adapun kerangka konseptual yang dikembangkan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.2.

  Skeptisme Profesional

H1 (X1)

  Kemampuan

  H3

  Auditor dalam Mendeteksi

  Independensi Auditor Kecurangan

  (X2) H2 (Fraud)

Gambar 2.2

  

Kerangka Konseptual

Dokumen yang terkait

KEDUDUKAN BADAN PENGAWAS KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DALAM PENGAWASAN PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Pada Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Lampung)

1 15 59

ANALISIS KEMAMPUAN MAHASISWA DALAM MENDETEKSI KECURANGAN (FRAUD) DENGAN MODEL ASTIN I E 0 (STUDI EMPIRIS PADA MAHASISWA AKUNTANSI DI BEBERAPA UNIVERSITAS DI SEMARANG)

1 12 119

PENGAWASAN PREVENTIF KEUANGAN DAERAH OLEH BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP) DI PEMERINTAH DAERAH PROVINSI LAMPUNG

0 7 20

PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI DAN TEKANAN WAKTU TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR MENDETEKSI FRAUD DENGAN SKEPTISME PROFESIONAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING - Perbanas Institutional Repository

0 0 27

PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI DAN TEKANAN WAKTU TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR MENDETEKSI FRAUD DENGAN SKEPTISME PROFESIONAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING HALAMAN LULUS UJIAN SKRIPSI Disusun oleh ACHMAD NAZUMAH ARIF NIM : 2012310778

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 - PENGARUH KOMPETENSI, INDEPENDENSI DAN TEKANAN WAKTU TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR MENDETEKSI FRAUD DENGAN SKEPTISME PROFESIONAL SEBAGAI VARIABEL INTERVENING - Perbanas Institutional Repository

0 0 13

PENGARUH INDEPENDENSI DAN KOMPETENSI TERHADAP KUALITAS AUDITOR DALAM MENDETEKSI ERROR DAN FRAUD Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 15

PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR, PROFESIONALISME AUDITOR, DAN SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT YANG DIHASILKAN Repository - UNAIR REPOSITORY

0 1 23

PENGARUH PENGALAMAN AUDITOR, INDEPENDENSI, TEKANAN WAKTU DAN BEBAN KERJA TERHADAP KEMAMPUAN AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN

0 1 16

BAB III OBJEK DAN METODOLOGI PENELITIAN - PENGARUH KOMPETENSI AUDITOR DAN RESIKO AUDIT TERHADAP SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR - Repository Fakultas Ekonomi UNJ

0 0 13