KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 304 DALAM LINGKUNGAN AMONIA

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 304 DALAM LINGKUNGAN AMONIA TUGAS AKHIR

  Untuk memenuhi persyaratan Mencapai derajat Sarjana S-1

  Program Studi Teknik Mesin Jurusan Teknik Mesin

  Diajukan oleh: Y.F. REGIS SATRIA Y.A.

  NIM : 085214066

  Kepada

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2013

STAINLESS STEEL 304 WELD STRENGTH IN THE AMMONIA ENVIRONMENT FINAL ASSIGNMENT

  Presented as Partial Fulfillment of the Requirements To Obtain the Sarjana S-1 degree

  In Mechanical of Engineering By: Y.F.REGIS SATRIA Y.A.

  Student Number : 085214066 FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA 2013

TUGAS AKHIR KEKUATAN LAS PADA STAINLESS STEEL 304 DALAM LINGKUNGAN AMONIA

  Disusun oleh: Nama : Y.F.Regis Satria Y.A NIM : 085214066

  Telah disetujui oleh : Pembimbing Utama Budi Setyahandana,S.T.,M.T.

TUGAS AKHIR

  

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 304

DALAM LINGKUNGAN AMONIA

  Yang dipersiapkan dan disusun oleh : NAMA : Y.F. REGIS SATRIA Y.A. NIM : 085214066

  Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 12 Februari 2013 Susunan Dewan Penguji

  Pembimbing Utama Anggota Dewan Penguji Budi Setyahandana, S.T., M.T.

  I Gusti Ketut Puja, S.T.,M.T.

  Dr.Drs.(Vet.) Asan Damanik, M.Si. Tugas Akhir ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan

  Untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Yogyakarta, 12 Februari 2013

  Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma

  Yogyakarta Dekan Paulina Heruningsih Prima Rosa, S.Si., M.Sc.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tugas akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 12 Februari 2013 Y.F.Regis Satria Y.A.

  

ABSTRAK

  Dalam tulisan ini diadakan penelitian tentang kekuatan las stainless steel dalam lingkungan amonia. Stainless steel banyak dikenal sebagai logam yang mempunyai ketahanan karat yang baik, tetapi bukan suatu kemungkinan kecil bahwa stainless juga dapat terkorosi oleh suatu bahan yang bersifat korosif. Salah satu bahan yang bersifat korosif yang ada di sekitar kita adalah amonia. Dalam salah satu aplikasinya, amonia digunakan sebagai cairan refrigeran pada alat pendingin absorbsi yang keseluruhan materialnya adalah menggunakan stainless

  

stell . Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kekuatan las dari stainless

steel tipe 430 dalam lingkungan amonia.

  Alat penelitian yang digunakan adalah pendingin absorbsi yang fungsinya untuk mengkondisikan benda uji dalam lingkungan amonia. Mula-mula benda uji yang telah dipersiapkan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dimasukkan ke dalam alat pendingin yaitu pada bagian evaporator. Setelah itu dilakukan pemanasan untuk mendapatkan amonia bertekanan 5 bar. Bagian evaporator dilepas dan disimpan di dalam gentong yang telah diisi air untuk mengantisipasi terjadinya kebocoran hingga batas waktu yang ditentukan. Setelah periode tertentu, yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan, masing-masing benda uji dikeluarkan dari evaporator tersebut dan dibersihkan untuk ditimbang guna mengetahui adanya perubahan berat pada benda uji tersebut. Benda uji di uji tarik guna membandingkan nilai uji tarik dari benda uji sebelum dan sesudah pengkondisian. Satu sampel benda uji tersebut juga dilakukan foto mikro, untuk mengetahui pengaruh amonia secara visual.

  • 7

  Perubahan nilai laju korosi rata-rata dari 2,42 x 10 mmpy pada periode

  • 8

  bulan pertama, menjadi 6,31 x 10 mmpy pada periode bulan ketiga dan akan menuju nilai stabil dikarenakan terciptanya lapisan pasif pada material stainless

  steel yang menghambat laju korosi pada total seluruh periode pengujian.

  Penurunan kekuatan tarik yang terjadi tidak begitu signifikan sebesar 0,02% dari

  2

  2

  355,8 N/mm menjadi 355,7N /mm . Penurunan berat benda uji ( W) tidak signifikan pada periode pengkondisian lingkungan amonia yang lebih lama. Pengurangan berat rata-rata sebesar 0,0011 gram untuk satu bulan pencelupan, 0,0012 gram untuk dua bulan pencelupan, dan 0,0009 gram untuk tiga bulan pencelupan. Dengan kata lain Stainless Steel 304 mampu untuk dijadikan bahan/material dalam pembuatan alat dengan kondisi lingkungan amonia.

  Kata kunci: uji tarik, korosi, stainless steel.

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Y.F.Regis Satria Y.A. Nomor Mahasiswa : 085214066 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 304 DALAM LINGKUNGAN

AMONIA

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 12 Februari 2013 Yang menyatakan (Y.F.Regis Satria Y.A.)

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul :

  KEKUATAN LAS STAINLESS STEEL 304 DALAM LINGKUNGAN AMONIA

  Tugas Akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Program Studi Teknik Mesin Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Dalam penelitian dan penyusunan Tugas Akhir ini tentunya tidak terlepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.

  Bapak Budi Setyahandana, S.T.,M.T. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, dorongan serta meluangkan waktu untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir.

  2. Bapak Ir. FA. Rusdi Sambada, M.T. selaku Kepala Laboratorium Mekanika Fluida yang telah memberikan waktu, kesempatan, dan juga bimbingan dan dukungan .

  3. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas kuliah, bimbingan, serta fasilitas yang diberikan selama masa kuliah.

  4. Kedua orang tua yang telah memberikan doa, dorongan, motivasi, dan pengertian kepada penulis.

  5. Natania Davina Putri, Mario Daffa Sebastyan,dan Deassy Sada Jauhara yang selalu menjadikan semangat.

  6. Lie, Tria Ananta yang selalu menemani dalam pengerjaan Tugas Akhir.

  7. Seluruh teman-teman Teknik Mesin yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu, serta

8. Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

  Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak. Akhirnya besar harapan penulis semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu teknik.

  Yogyakarta, 12 Februari 2013 Penulis Y.F.REGIS SATRIA Y.A.

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

TITLE PAGE ....................................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv

PERNYATAAN ..................................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................. vii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv

BAB I PENDAHULUAN

  1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1

  1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................... 2

  1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2

  1.4 Batasan Masalah ............................................................................................ 3

  1.5 Manfaat Penelitian .......................................................................................... 3

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Dasar Teori ..................................................................................................... 4

  2.2 Rumus Perhitungan ....................................................................................... 26

  BAB III METODE

  3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 28

  3.2 Perancangan Benda Uji dan Alat Pendingin Absorbsi ................................ 28

  3.3 Peralatan Penelitian ..................................................................................... 32

  3.4 Variabel yang Diukur .................................................................................. 37

  3.5 Langkah Penelitian ....................................................................................... 37

  3.6 Pengolahan dan Analisa Data ....................................................................... 38

  BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN

  4.1 Data .............................................................................................................. 39

  4.2 Pembahasan ................................................................................................. 47

  BAB V PENUTUP

  5.1 Kesimpulan .................................................................................................. 55

  5.2 Saran ............................................................................................................ 55

  

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 57

LAMPIRAN ......................................................................................................... 58

  DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur atom fasa martensit ................................................................ 5Gambar 2.2 Struktur atom fasa feritik ..................................................................... 6Gambar 2.3 Struktur atom fasa austenitik ................................................................ 7Gambar 2.4 Pengelasan GTAW ............................................................................... 9Gambar 2.5 Perlengkapan las GTAW.................................................................... 10Gambar 2.6 Korosi uniform ................................................................................... 12Gambar 2.7 Korosi galvanis .................................................................................. 12Gambar 2.8 Proses elektrokimia korosi galvanis ................................................... 13Gambar 2.9 Korosi celah ....................................................................................... 14Gambar 2.10 Korosi sumuran (pitting) .................................................................... 14Gambar 2.11 Aliran turbulen korosi erosi ............................................................... 15Gambar 2.12 Proses kavitasi .................................................................................... 16Gambar 2.13 Bentuk dan dimensi benda uji tarik .................................................... 18Gambar 2.14 Proses uji tarik .................................................................................... 20Gambar 2.15 Mode perpatahan ................................................................................ 20Gambar 2.16 Fase deformasi ................................................................................... 21Gambar 2.17 Metode Offset pada material getas ..................................................... 23Gambar 3.1 Diagram penelitian ............................................................................. 28Gambar 3.2 Spesimen uji ....................................................................................... 29Gambar 3.3 Rangkaian spesimen ........................................................................... 30Gambar 3.4 Skema alat pendingin absorbsi ........................................................... 31Gambar 3.5 Kompor listrik .................................................................................... 32Gambar 3.6 Thermologger ..................................................................................... 33Gambar 3.7 Pompa vakum ..................................................................................... 33Gambar 3.8 Bejana/Gentong .................................................................................. 34Gambar 3.9 Timbangan analitik............................................................................. 34Gambar 3.10 Larutan etsa ........................................................................................ 35Gambar 3.11 Resin ................................................................................................... 35Gambar 3.12 Mikroskop .......................................................................................... 36Gambar 3.13 Mesin uji tarik .................................................................................... 36Gambar 4.1 Sisi ukur benda kerja .......................................................................... 41Gambar 4.2 Area penampang benda uji ................................................................. 45Gambar 4.3 Grafik tegangan tarik rata-rata ........................................................... 48Gambar 4.4 Grafik perbandingan regangan ........................................................... 50Gambar 4.5 Grafik laju korosi ............................................................................... 52Gambar 4.6 Foto mikro benda uji bulan 1 ............................................................. 53Gambar 4.7 Foto mikro benda uji bulan 2 ............................................................. 53Gambar 4.8 Foto mikro benda uji bulan 3 ............................................................. 54

  DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Komposisi kimia baja AISI 304 ........................................................... 7Tabel 2.2 Sifat mekanik AISI 304 ........................................................................ 8Tabel 4.1 Berat benda uji bulan pertama............................................................ 40Tabel 4.2 Berat benda uji bulan kedua ............................................................... 40Tabel 4.3 Berat benda uji bulan ketiga ............................................................... 40Tabel 4.4 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan pertama ............................................................................................... 42Tabel 4.5 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan kedua .................................................................................................. 43Tabel 4.6 Hasil pengukuran dan perhitungan sisi benda kerja bulan ketiga .................................................................................................. 44Tabel 4.7 Luas area penampang benda uji bulan pertama ................................. 45Tabel 4.8 Luas area penampang benda uji bulan kedua ..................................... 45Tabel 4.9 Luas area penampang benda uji bulan ketiga .................................... 46Tabel 4.10 Nilai beban dan pertambahan panjang ............................................... 46Tabel 4.11 Tegangan rata-rata uji tarik ................................................................ 48Tabel 4.12 Perhitungan regangan benda uji ......................................................... 50Tabel 4.13 Perhitungan laju korosi benda uji ....................................................... 52

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

  Dewasa ini penggunaan dan pemanfaatan baja tahan karat atau yang lebih kita kenal sebagai stainless steel semakin sering kita temui di segala aspek dan bidang mulai dari perabotan rumah, alat memasak, perkakas industri, sampai pada perlengkapan kesehatan di rumah sakit dan masih banyak lainnya.

  Stainless steel secara spesifik mempunyai kegunaan yang banyak dan beragam

  berdasarkan tipenya. Dalam proses fabrikasi banyak hal atau cara yang dilakukan untuk memproses material stainless steel menjadi barang jadi. Proses yang dilakukan diantaranya adalah las, bending, forming, bubut, frais, dan masih banyak lainnya. Pemilihan tipe stainless steel sebagai suatu produk jadi biasanya berdasarkan sifat dari tipe bahan tersebut, baik ketahanannya terhadap suatu zat maupun dari segi kekuatannya. Karena penggunaan dan pemanfaatannya yang semakin luas dan dalam rangka memaksimalkan fungsional dari stainless steel ini telah banyak penelitian dilakukan untuk memperoleh efektivitas dan keunggulan guna pemanfaatannya yang lebih lanjut.

  Pada dasarnya material atau bahan diuji kekuatannya supaya layak menjadi suatu produk dengan diuji berdasarkan lingkungan nyata sebagai media pengujinya untuk menentukan umur pakai dari produk tersebut nantinya. Seperti di ketahui bahwa stainless steel merupakan baja tahan terhadap karat. Tetapi apa yang kita ketahui tersebut hanya dilihat dari penggunaan produk stainless steel yang tahan karat pada lingkungan air yang tidak diketahui kandungan apa yang terlarut dalam air tersebut. Hal ini tentu saja perlu diteliti bahwa di dalam air juga terlarut banyak kandungan zat yang diantaranya adalah amonia (NH

  3 ).

  Amonia merupakan komoditi yang sangat penting di dunia industri dan juga sering ditemui terlarut dalam air dan mempunyai sifat korosif. Sifat dari amonia adalah basa, namun dapat juga bertindak sebagai asam yang sangat lemah . Biasanya amonia didapati berupa gas dengan bau yang tajam. Agar dapat digunakan sebagai media pengkorosif, amonia harus dilarutkan dalam air dengan konsentrasi yang ditentukan yang disebut amonium hidroksida. Dengan amonia sebagai media pengkorosif akan didapat data kekuatan las pada tipe stainless

  steel tipe 304 ini.

  1.2. Perumusan Masalah

  Pada penelitian ini analisis dilakukan terhadap pengujian tarik yang akan dilakukan pada spesimen stainless steel 304 yang telah dilas dan dikondisikan dalam media pengkorosif amonia dalam beberapa periode pengambilan data. Lamanya waktu tersebut mempengaruhi laju korosi yang nantinya akan diketahui seberapa besar pengaruhnya terhadap kekuatan las tersebut. Amonia yang digunakan pada proses ini adalah amonia dalam bentuk uap. Unjuk kerja kekuatan las ini ditunjukan melalui perbandingan hasil pengujian tarik yang dilakukan.

  1.3. Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penulian tugas akhir ini sesuai uraian diatas adalah :

  1. Mengetahui pengaruh amonia dalam bentuk uap terhadap proses las pada SS304.

  2. Mengetahui pengaruh amonia terhadap laju korosi pada proses las SS304.

  3. Mengetahui kekuatan las dari produk korosi terhadap lingkungan amonia.

1.4. Batasan Masalah

  Batasan masalah yang ditetapkan dalam pengujian kekuatan las ini adalah : 1.

  Media pengkorosif yang digunakan adalah uap amonia dengan tekanan  5 bar.

  2. Benda uji dikondisikan selama tiga periode yaitu 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan.

  3. Pengujian kekuatan las dilakukan dengan pengujian tarik.

1.5. Manfaat

  Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.

  Menambah kepustakaan teknologi tentang material stainless steel.

  Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam 2. pemanfaatan material stainless steel. Sebagai referensi bagi masyarakat umum supaya lebih selektif dalam 3. pemilihan stainless steel tiap tipe dan karakternya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dasar Teori

2.1.1 Jenis-jenis Stainless Steel

  Stainless Steel atau baja tahan karat adalah baja paduan yang memiliki sifat atau karakter khusus.

  “Stainless Steel adalah baja paduan dengan kandungan

  kromium (Cr) minimal 12% . Komposisi ini membentuk lapisan pelindung anti korosi (Cr

  2 O 3 ) yang merupakan hasil oksidasi oksigen terhadap krom yang terjadi

  secara spontan”(George E.Dieter, 1988: 142). Dengan proses oksidasi, lapisan ini akan mudah terbentuk jika tergores ataupun mengalami proses permesinan.

  Meskipun seluruh kategori stainless steel didasarkan pada kandungan kromium (Cr), namun unsur paduan lainnya ditambahkan untuk memperbaiki sifat stainless

  

steel sesuai dengan aplikasinya. Kategori stainless steel tidak hanya seperti baja

  lain yang didasarkan pada besarnya persentase karbon tetapi didasarkan pada struktur metalurginya.

  Secara garis besar terdapat tiga golongan utama dari stainless steel adalah sebagai berikut :

1. Tipe Martensitik

  Baja ini merupakan paduan kromium dan karbon yang memiliki struktur martensit body-centered cubic (BCC). Kandungan kromium umumnya berkisar antara 10,5

  • – 18%, dan karbon melebihi 1,2%. Kandungan kromium dan karbon dijaga agar mendapatkan struktur martensit. Keunggulan dari tipe martensitik, jika dibutuhkan kekuatan yang tinggi maka dapat di keraskan

  (hardening) dan bersifat magnetis. Tipe stainless ini yang umum dipasaran adalah 403, 410, 416, 420, 431. Secara umum aplikasi jenis ini yang sering kita temui adalah pisau, pegas, dan poros. Sifat lain dari tipe ini adalah kemampuan untuk difabrikasi (machineability) baik.

Gambar 2.1 Struktur atom fasa martensit 2.

  Tipe Feritik Baja tahan karat feritik mempunyai kandungan kromium umumnya kisaran 10,5

  • – 30%. Kadar karbonnya relatif rendah. Baja tahan karat feritik ini umumnya tidak dapat dikeraskan dengan perlakuan panas, namun dapat dikeraskan dengan pengerjaan dingin. Pada baja tipe ini unsur sulfur ditambahkan untuk memperbaiki sifat mesin. Paduan ini merupakan ferromagnetik dan mempunyai sifat ulet, machinability yang baik. Namun kekuatan di lingkungan suhu tinggi lebih rendah dibandingkan baja stainless austenitik. Baja tahan karat tipe feritik mengandung unsur nikel yang sangat rendah, kurang dari 0,5% dan mempunyai struktur kristal padat (body centered

  cubic )Tipe yang umum di pasaran adalah 405, 430, 439, dan 446. Penggunaan secara umum adalah lebih pada pemakaian dekoratif arsitektur.

Gambar 2.2 Struktur atom fasa ferit 3.

  Tipe Austenitik Baja stainless austenititk merupakan paduan logam besi-krom-nikel yang mengandung 16-20% kromium, 7-22% nikel, dan nitrogen. Tipe austenitik mempunyai struktur kubus satuan bidang (face centered cubic) dan merupakan baja dengan ketahanan korosi yang tinggi. Struktur kristal akan tetap berfasa austenit bila unsur nikel dalam paduan diganti mangan (Mn), karena kedua unsur merupakan penstabil fasa austenit. Fasa austenitik tidak akan berubah saat proses anil. Baja stainless austenitik tidak dapat dikeraskan dengan metode perlakuan panas (heat treatment) tetapi menggunakan metode pengerjaan dingin. Umumnya jenis baja ini dapat tetap menjaga sifat austenitik pada temperatur ruang, lebih bersifat ulet dan memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan baja stainless steel ferritik dan martensit.

Gambar 2.3 Struktur atom fasa austenitik

  SS304 tergolong dalam kategori baja stainless steel austenitik yang sangat banyak kita temui. Komposisi unsur-unsur pemadu yang terkandung dalam SS304 akan menentukan sifat mekanik dan ketahanan korosi. SS304 mempunyai kadar kromium yang cukup tinggi sebagai pembentuk lapisan Cr

  2 O 3 yang protektif untuk meningkatkan ketahanan korosi.

Tabel 2.1. Komposisi kimia baja SS 304.

  UNSUR %MASSA C 0,08

  Mn

  2 P 0,45 S 0,03

  Si 0,75 Cr 18 -20 Ni 8 – 10,5 Fe 66,345

  • – 74 Berdasarkan unsur pemadu yang terkandung seperti dalam tabel diatas akan terbentuk sifat mekanis dari SS304 yaitu sebagai berikut :

Tabel 2.2 Sifat Mekanik SS304.

  Rasio Poison 0,27

  • – 0,30 Kekuatan tarik 515 MPa Regangan 205 Pertambahan panjang 40 % Kekerasan 88 (HVN) Modulus Elastisitas 193 GPa

  3 Densitas 8,03 gr/cm

2.1.2 Pengelasan GTAW (Gas Tungsten Arc Welding)

  Pada aplikasi berbagai alat penelitian yang salah satunya adalah alat pendingin absorbsi diperlukan metode penyambungan dari pipa-pipa serta bagiannya yang menggunakan metode pengelasan GTAW. Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) atau sering disebut dengan Tungsten Inert Gas (TIG) merupakan salah satu bentuk proses las busur (arc welding) yang menggunakan inert gas sebagai pelindung dan tungsten atau wolfram sebagai elektrodanya. Elektroda yang digunakan termasuk elektroda tidak terumpan (non consumable) dan sebagai tumpuan terjadinya busur listrik. Daerah pengelasan (HAZ) dilindungi oleh inert gas supaya tidak terkontaminasi dengan udara luar. Inert gas yang biasa digunakan adalah argon dan helium ataupun campuran dari keduanya. GTAW mampu menghasilkan las yang berkualitas tinggi pada hampir semua logam mampu las. Hasil pengelasan yang dihasilkan juga tidak menghasilkan slag atau kotoran.

  Elektroda tungsten yang digunakan bukan sebagai filler metal, sehingga pada saat pengerjaan memerlukan filler metal dari luar untuk mengisi gap sambungan. Pada pengadaan material uji tersebut juga dilakukan pengelasan GTAW ini tanpa menggunakan filler metal dikarenakan ketebalannya hanya berkisar 1 mm.

Gambar 2.4 Pengelasan GTAW

  Material yang dapat dilas GTAW meliputi : 1.

  Logam ferro, meliputi :  Baja Karbon  Stainless steel  Baja Paduan Rendah 2. Logam non-ferro, meliputi :

   Tembaga  Kuningan  Aluminium  Titanium  Perunggu, dll.

  Perlengkapan pada pengelasan GTAW/TIG tidak jauh berbeda dengan las busur listrik (arc welding), tetapi ada penambahan gas pelindung (shielding gas) dan juga unit pendingin (cooling system). Perlengkapan yang diperlukan pada pengelasan GTAW meliputi :

Gambar 2.5 Perlengkapan Las TIG/GTAW

  Keterangan :

  1. Trafo las

  2. Pedal kontrol

  3. Benda kerja

  4. Kutub massa

  5. Torch

  6. Selang pendingin keluar

  7. Selang pendingin masuk

  8. Unit pendingin

  9. Tabung gas pelindung Keuntungan dari pengelasan GTAW :  Kualitas hasil pengelasannya baik.

   Dapat dilakukan dalm berbagai posisi pengelasan  Tidak menghasilkan kotoran.

   Bisa untuk pengerjaan hampir pada semua logam. Kerugian dari pengelasan GTAW :

   Ketebalan pengelasan terbatas.

   Biaya pengelasan yang relatif mahal.

   Membutuhkan kemampuan (skill) khusus bagi operatornya.

   Sinar UV yang dihasilkan lebih terang dibandingkan dengan proses las yang lain.

2.1.3. Korosi Pada Stainless Steel

  Korosi adalah rusaknya suatu bahan atau menurunnya kualitas bahan karena terjadinya reaksi dengan lingkungan sekitarnya. Reaksi yang mempengaruhi proses korosi adalah kebanyakan reaksi kimia dan sebagian reaksi secara kimiawi. Faktor yang berpengaruh terhadap korosi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berasal dari bahan itu sendiri dan dari lingkungan. Faktor dari bahan meliputi komposisi kimia bahan, bentuk kristal, struktur bahan dan sebagainya.

  Faktor dari lingkungan meliputi tingkat pencemaran udara, suhu, kelembaban, dan juga zat-zat kimia yang bersifat korosif. Bahan-bahan korosif terdiri atas asam, basa serta garam, baik dalam bentuk senyawa organik maupun an-organik.

  Peristiwa korosi pada logam merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari, namun dapat dihambat maupun dikendalikan untuk mengurangi kerugian dan mencegah dampak negatif yang diakibatkannya. Dengan penanganan ini umur produktif/umur pakai suatu produk menjadi panjang sesuai dengan yang direncanakan, bahkan dapat diperpanjang untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi. Upaya penanganan korosi diharapkan dapat banyak menghemat biaya opersional, sehingga berpengaruh terhadap efisiensi dalam suatu kegiatan industri. Perlu kita ketahui bahwa korosi dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu : 1.

  Korosi Homogen (uniform) Korosi ini merata di seluruh permukaan logam dan termasuk korosi yang paling sering dijumpai. Korosi ini dikontrol oleh reaksi kimia antara permukaan logam dengan media pengkorosifnya. Korosi ini bisa terjadi dikarenakan komposisi dan metalurgi material yang sama. Dengan keseragaman tersebut, pelepasan elektron akan merata ke seluruh permukaan. Sebagai contoh pada benda yang mengalami korosi homogeny adalah bekas besi tua yang tidak terpakai.

Gambar 2.6. Korosi Uniform

2. Korosi Galvanik (Bimetal)

Gambar 2.7 Korosi Galvanis

  Korosi ini terjadi karena proses elektrokimiawi dua buah logam yang berbeda potensial dihubungkan langsung did lam larutan elektrolit yang sama. Dimana elektron mengalir dari logam anodik (kurang mulia) ke logam yang lebih katodik (lebih mulia), akibatnya logam yang kurang mulia berubah menjadi ion-ion positif karena kehilangan elektron. Ion-ion positif metal bereaksi dengan ion negatif di dalam elektrolit menjadi garam metal.

  Konduksi Ion Lebih Kurang

anoda katoda

mulia mulia Konduksi elektron

Gambar 2.8 Proses elektrokimia korosi galvanis

3. Korosi Celah

  Korosi celah merupakan korosi lokal yang mempunyai celah antara keduanya yang mengakibatakan terjadinya perbedaan konsentrasi asam. Biasanya terjadi dikarenakan celah tersebut terisi oleh elektrolit yang mengakibatkan terjadinya sel korosi dengan katodanya adalah sisi luar permukaan celah dan anodanya adalah elektrolit yang mengsi celah itu sendiri. Proses korosi ini terjadi cukup lama karena cairan elektrolit yg berada di dalam celah cenderung lama mongering dibandingkan dengan permukaan di luar celah yang lebih cepat mengeringnya. Sebagai contoh proses korosi ini banyak ditemui pada konstruksi rangka/karoseri kendaraan otomotif.

Gambar 2.9 Korosi celah 4.

  Korosi Sumuran (pitting) Merupakan korosi lokal yang terjadi pada logam secara lokal selektif yang menghasilkan bentuk permukaan lubang-lubang pada logam. Korosi jenis ini dianggap lebih berbahaya daripada korosi seragam diakarenakan lebih sulit terdeteksi. Mekanisme korosi pitting hampir sama dengan dengan korosi celah.

  Korosi pitting ditandai dengan pembentukan lubang ataupun sumur pada permukaan logam. pitting

Gambar 2.10. Korosi sumuran (pitting) 5.

  Korosi Erosi Korosi erosi terjadi akibat aliran dari suatu fluida yang mengalir sangat cepat dan disebabkan oleh :  Aliran turbulen

  Turbulensi fluida ini seringkali terjadi akibat adanya perubahan diameter penampang, sambungan yang kurang baik, dan juga adanya endapan.

  endapan

Gambar 2.11 Aliran turbulen korosi erosi

   Kavitasi (peronggaan)

  Kavitasi adalah terjadinya penguapan pada suatu zat cair yang sedang mengalir sehingga menghasilkan gelembung-gelembung uap yang disebabkan karena berkurangnya tekanan pada zat cair tersebut sampai di bawah titik jenuh uapnya. Sebagai contoh adalah air akan mendidih dan menjadi uap pada suhu 100 dan tekan 1 atm. Tetapi jika tekanannya dikurangi maka air dapat mendidih pada suhu yang lebih rendah juga, bahakan jika tekanannya cukup rendah air dapat mendidih pada suhu kamar.

  Pada saat uap/gelembung tersebut terbawa aliran hingga akhirnya berada pada kondisi tekanannya lebih besar daripada tekanan uap jenuh zat cair tersebut, maka gelembung akan pecah di daerah tersebut dan akan menyebabkan gaya tekan yang besar pada permukaan/penampang.

Gambar 2.12 Proses kavitasi 6.

  Korosi Batas Butir ( intergranular)

  Korosi batas butir merupakan serangan korosi yang terjadi pada batas kristal (butir) dari suatu logam/paduan karena paduan yang kurang sempurna (ada kotoran yang masuk/endapan) atau adanya gas hidrogen atau oksigen yang masuk pada batas kristal/butir. Batas butir ini sering menjadi tempat pengendapan (precipitation) dan pemisahan (segregation). Pengendapan dan pemisahan terjadi dikarenakan pada logam terkandung logam antara dan senyawa pada batas butirnya. Pada dasarnya logam yang mempunyai logam antara dan senyawa pada batas butirnya akan sangat rentan terhadap korosi batas butir. Jenis korosi ini sangat berbahaya karena tidak dapat dilihat secara kasat mata.

  7. Korosi retak tegang Korosi retak tegang adalah keretakan akibat tegangan tarik dan media korosif secara bersamaan dan terjadi pada material yang spesifik. Karakteristik dari korosi ini adalah perpatahannya getas dimana retakan terjadi dengan regangan yang kecil dari material.

  8. Korosi selektif Korosi Selektif adalah suatu bentuk korosi yang terjadi karena pelarutan komponen tertentu dari paduan logam (alloy). Pelarutan ini terjadi pada salah satu unsur pemadu atau komponen dari paduan logam yang lebih aktif yang menyebabkan sebagian besar dari pemadu tersebut hilang dari paduannya.

  Amonia (NH

  3 ) merupakan bahan kimia yang cukup banyak digunakan dalam

  kegiatan industri. Pada suhu dan tekanan normal, bahan ini berada dalam bentuk gas dan sangat mudah terlepas ke udara. Di dunia industri amonia umumnya digunakan sebagai refrigeran di dalam alat pendingin. Bukan hanya itu saja, dalam aplikasi alat pendingin absorbsi yang digunakan sebagai refrigeran adalah amonia. Tentu saja dalam prosesnya, pengaruh amonia tersebut akan menyebabkan korosi.

2.1.4 Kekuatan dan Uji tarik

  Secara umum dalam memilih material untuk banyak aplikasi dan komponen, biasanya kita akan menyesuaikan antara fungsional dengan sifat dari material itu sendiri. Kekuatan struktur suatu disain sangat dipengaruhi oleh sifat mekanis dari material itu sendiri, oleh karena itu salah satu cara yang paling umum digunakan untuk menerka/menafsirkan sifat mekanik suatu material (kekuatan dan keuletan) adalah dengan pengujian tarik (Tensile test).

  Uji tarik merupakan pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian tarik adalah dasar dari pengujian mekanik yang dipergunakan pada material . Pengujian ini sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mendapatkan standarisasi dunia. Prinsip pengujian tarik yaitu spesimen dengan dimensi dan geometri tertentu diberikan gaya tarik sesumbu yang bertambah besar secara kontinyu hingga putus.

  Bersamaan dengan itu, juga harus dilakukan pengamatan mengenai pertambahan panjang yang dialami spesimen tersebut. Dengan memberikan tarikan pada suatu material, kita akan segera mengetahui bagaimana material tersebut bereaksi dengan gaya tarik. Profil tarikan yang dihasilkan menunjukan hubungan antara gaya tarik yang diberikan dengan pertambahan panjang spesimen sampai dengan titik putus.

Gambar 2.13 Bentuk dan Dimensi Benda Uji Tarik

  Keterangan :  L adalah panjang keseluruhan  L1 adalah panjang pencekaman  Lo adalah panjang ukur  W adalah lebar penampang uji  Wo adalah lebar keseluruhan  r adalah radius fillet  t adalah tebal benda uji

  Spesimen uji harus memenuhi standar dan spesifikasi dari ASTM E8 atau D638. Bentuk dari spesimen penting karena kita harus menghindari terjadinya patah atau retak pada daerah grip atau yang lainnya. Jadi standarisasi dari bentuk spesimen uji dimaksudkan agar retak dan patahan terjadi di daerah gage length.

  Biasanya dalam pengujian tarik, yang menjadi fokus perhatian adalah kemampuan maksimum spesimen untuk menahan beban yang biasa disebut dengan “Ultimate Tensile Strength” (UTS) atau tegangan tarik maksimum.

Gambar 2.14 Proses Uji Tarik

  Mode perpatahan (fracture) yang terjadi juga tergantung pada tingkat keuletan (ductility) dari setiap material spesimen itu sendiri dan mempunyai bentuk patahan yang bebeda juga. Perbedaan bentuk patahan pada setiap material juga tidaklah sama. Semakin ulet suatu material, bentuk patahan yang terjadi berbentuk lancip/meruncing. Pada material getas bentuk patahan yang terjadi berbentuk lurus. Beberapa contoh bentuk patahan dalam uji tarik tersaji dalam gambar 2.15.

  Ulet Getas

Gambar 2.15 Mode Perpatahan Pada saat proses pemberian beban akan terjadi pertambahan panjang pada spesimen. Hal tersebut juga berarti adanya hubungan antara besarnya tegangan dan regangan yang terjadi. Hubungan tegangan dan regangan pada proses uji tarik tersaji dalam gambar 2.16.

Gambar 2.16 Grafik fase deformasi Dari kedua grafik di atas terlihat adanya hubungan antara tegangan dan regangan, yang meliputi batas proporsionalitas, batas elastis, titik luluh, kekutan tarik maksimum, dan kekuatan putus seperti berikut.  Batas proporsionalitas.

  Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan yang lain. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier. Pada gambar grafik yang pertama menunjukkan bahwa titik P adalah batas proporsional hubungan tegangan dan regangan.

   Batas elastis.

  Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali pada keadaan semula bila tegangan luarnya dihilangkan. Daerah proporsional merupakan bagian dari batas elastis ini. Selanjutnya bila benda uji terus diberikan tegangan, maka batas elastis tersebut akan terlampaui dan akhirnya menyebabkan benda uji tidak akan kembali pada kondisi awal, dengan kata lain mengalami deformasi permanen (plastis). Kebanyakan material/bahan tehnik mempunyai batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalnya. Tentunya struktur paduan dalam setiap bahan/material tehnik mempengaruhi batas elastis dan juga sifat mekanis yang lain.  Titik luluh dan kekuatan luluh.

  Titik luluh adalah titik batas dimana suatu material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan yang menyebabkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Pada grafik diatas titik luluh ditunjukkan oleh titik Y.

  Pada baja berkekuatan tinggi, umumnya tidak memperlihatkan batas luluh secara jelas (gambar 2.17) Untuk menentukan titik luluh material seperti ini, maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset seperti tersaji pada gambar berikut ini.

Gambar 2.17 Metode Offset pada material getas Dengan metode ini kekuatan luluh ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada gambar di atas, garis XW ditarik paralel terhadap garis linier OP, sehingga perpotongan pada kurva tegangan-regangan di titik Y

  • – sebagai kekuatan luluh. Pada umumnya garis offset OX diambil berkisar 0.1 0.2% dari regangan total yang dimulai dari titik O.

   Kekuatan tarik maksimum.

  Kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength) merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum ditentukan oleh beban maksimum dan luas penampang awal bahan uji. Pada gambar kekuatan tarik maksimum (UTS) ditunjukan pada titik M, dan terus berdeformasi hingga mencapai titik B dan akhirnya putus.

   Kekuatan putus.

  Kekuatan putus merupakan hasil bagi antara beban pada saat benda uji putus dengan luas penampang awal. Untuk bahan yang bersifat ulet, pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terdeformasi hingga titik putus B, maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya deformasi yang terpusat. Pada bahan yang ulet, nilai kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan tarik maksimumnya. Sementara itu pada bahan yang getas, nilai kekuatan putusnya adalah sama dengan kekuatan tarik maksimumnya.

  Salah satu sistem pendingin yang tidak memerlukan energi listrik adalah sistem pendingin absorbsi. Sistem pendingin absorbsi hanya memerlukan energi panas untuk dapat bekerja. Energi panas yang diperlukan dapat berasal dari pembakaraan kayu, arang, bahan bakar minyak dan gas bumi. Energi panas juga dapat berasal dari buangan proses industri, biomassa, biogas atau dari energi alam seperti panas bumi dan energi surya. Refrigeran yang digunakan pada sistim pendingin absorbsi umumnya bukan merupakan refrigeran sintetik (misalnya amonia atau methanol) sehingga resiko kerusakan alam seperti yang dapat disebabkan sistem pendingin kompresi uap karena menggunakan refrijeran sintetik tidak terjadi.

  Indonesia memiliki potensi energi panas dari biomassa, biogas, panas bumi dan energi surya yang cukup memadai untuk penggerak sistem pendingin absorbsi. Hal yang harus diperhatikan adalah disain pendingin energi panas untuk negara-negara berkembang haruslah sederhana dan mudah perawatannya dengan kata lain harus dapat dibuat dan diperbaiki sendiri oleh masyarakat dan industri lokal yang ada di daerah.

2.2 Rumus Perhitungan

2.2.1 Laju Korosi

  Suatu persamaan yang menyatakan laju korosi telah diperkenalkan oleh seorang peneliti bernama Fontana sejak tahun 1945 adalah sebagai berikut:

  

87,6 W

  (2.1)

  mpy

  

DAT

  dengan:

  ฀  mpy adalah milimeter per tahun W adalah pengurangan berat (mg) 3

  )

  D adalah densitas material (g/cm

2 A adalah luas selimut awal (cm )

  T adalah waktu kontak dengan lingkungan (jam) Metode perhitungan diatas merupakan metode kehilangan berat.

2.2.2 Tegangan

  Tegangan adalah hasil bagi antar beban dengan luas penampang seperti dalam rumus berikut:

  Fmaks

  (2.2)

  uts

   Ao

  dengan:

  ฀ 

   adalah tegangan F adalah beban/gaya (Kg)

2 A adalah luas penampang (mm )

2.2.3 Regangan

  Regangan adalah hasil bagi antara perubahan panjang yang terjadi dengan panjang benda uji awal.

  liLlo

    100%  100%

  (2.3)

  lo lo ฀  dengan:  adalah regangan (%) L adalah perubahan panjang (mm) lo adalah panjang awal (mm) li adalah panjang setelah ditarik (mm)

BAB III METODE PENELITIAN

  3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

  Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Mekanika Fluida dan Laboratorium Ilmu Logam Fakultas Sains dan Teknologi, dan juga di Laboratorium Kimia Pusat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.