STUDI KASUS TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

  

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi

  

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh :

DEVIANA CITRA DEWI WIDYAWATI

  

NIM : 021114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

  

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi

  

Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Bimbingan dan Konseling

Disusun oleh :

DEVIANA CITRA DEWI WIDYAWATI

  

NIM : 021114034

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

  

Motto dan Persembahan

“NON SCHOLAE SED VITAE DISCIMUS ”.

  

Aku belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup

“Ia Membuat Segala Sesuatu Indah Pada Waktunya”.

  (Pengkotbah, 3 : 11)

“Tuhan tak pernah meninggalkan kita, cinta-Nya tanpa batas dalam suka dan

duka, bersyukurlah dalam segala hal ”.

  Skripsi ini kupersembahkan untuk :

  Orangtuaku tercinta, papa Bagus Widyanarko dan mama Anna Gunarti, S.B., serta adikku Lithania S.C.W. yang sudah terus memotivasi dan mendukungku dengan cinta dan doa sehingga aku bisa menyelesaikan kuliah ini dengan baik.

  SD Kanisius Baciro “Joannes Bosco” Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepadaku untuk membimbing seluruh siswa- siswi selama Tahun Ajaran 2008/2009 serta mendukungku selama pengerjaan skripsi.

  Almamaterku Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sebagai tempatku menimba ilmu. Yang tersayang eyangku, FX. Willy Hariyanto (alm) yang telah memberiku dukungan, doa, semangat, kesempatan untuk menimba ilmu setinggi- tingginya, pengertian dan cinta yang teramat dalam, sehingga aku mampu menemukan makna hidup yang patut di syukuri dan mampu bertahan serta setia menekuni penulisan skripsi ini.

  

ABSTRAK

STUDI KASUS

TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP

REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Deviana Citra Dewi W, 2009

  Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai bagai- mana remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya. Responden penelitian ini adalah Mamat, Gogok, Lala, dan Titi (nama samaran). Mamat adalah seorang mahasiswa salah satu PTS di Yogyakarta. Gogok dan Lala adalah pelajar salah satu SMA di Yogyakarta, sedangkan Titi adalah pramuniaga salah satu toko di Yogyakarta

  Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab semua permasalahan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Metode pengumpulan data yang dipakai adalah observasi tingkah laku non verbal dan wawancara mendalam. Informasi yang dikumpulkan berasal dari laporan keempat responden, dari laporan guru Bimbingan dan Konseling, dari orangtua responden dan teman-temannya.

  Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: dari keempat responden, satu responden kurang mampu memaknai hidupnya (pandangan negatif yang ditunjukkan pada dirinya sendiri, dunia dan pengalamannya serta masa depannya, sehingga bersikap menyerah dan hanyut dalam pergaulan yang kurang baik) dan tiga responden yang lain mampu memaknai hidupnya (adanya pandangan positif, sehingga tidak bersikap menyerah dan mereka tunjukkan melalui tujuan hidup serta sikap yang positif). Responden Mamat, Lala dan Titi lebih menunjukkan kekuatan ketahanan diri dalam mengatasi keterbatasannya, yaitu berpandangan positif terhadap dirinya, pengalaman hidupnya dan masa depannya. Mamat lebih memilih kegiatan untuk membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. Lala memilih untuk membantu ibunya berjualan kue keliling, sedangkan Titi lebih memilih mengisi waktunya dengan bekerja, mengikuti Karang Taruna, membantu group band temannya dan berjualan aqua. Responden Gogok yang kurang mampu memaknai hidupnya lebih memilih untuk menunjukkan hidupnya yang tidak berguna, karena hasratnya tidak terpenuhi. Gogok lebih banyak berpandangan negatif terhadap dirinya, dunianya dan masa depannya. Gogok lebih memilih untuk bersikap menyerah dan membiarkan dirinya hanyut dalam pergaulan yang kurang baik (seperti minum minuman keras, mengonsumsi obat-obatan terlarang, mengonsumsi ganja, tawuran dan pergi dari rumah).

  Dari keempat responden, tiga responden (Mamat, Lala dan Titi)

  

ABSTRACT

THE CASE STUDY

OF THE MEANING OF LIFE

FOR TEENAGERS WITH DIVORCED PARENTS

Deviana Citra Dewi W, 2009

  The aim of this research was to get a description on how teenagers with divorced parents give meaning to their lifes. The respondents of this research were Mamat, Gogok, Lala and Titi (pseudonym). Mamat was a university student of a private university in Yogyakarta. Gogok and Lala were students of a high school in Yogyakarta, and Titi was a shop assistant in a shop in Yogyakarta.

  The method that was used to answer the problems formulations in this research was case study. The method of collecting data was observation on non verbal behavior and comprehensive interview. The information was collected from the respondent’s report, the guidance and conseling’s reports, their parents and friends respond.

  The results of the research shows that the meaning of life for teenagers with divorced parents was: The research showed one among the four (4) respondents was less able to meaning his life (the negative thinking showed on himself, his world, his experiences and his future, therefore he has no willingness to survive and drift to bad relationship). Mamat, Lala, and Titi showed more self perseverance in overcoming their limitation (there is positive thinking, therefore the are not surrender and they show it through their goals of life and has positive attitude). They have positive attitude on themselves, their past experience and their future. Mamat choose to help his mother doing housework chores. Lala choose to help her mother selling snack door to door, and Titi choose to work, join the “karang taruna”, help her friend’s group band, and sell aqua mineral water. Respondent Gogok, the one who was less able to choose to develop negative thinking on him self, his life, and also his future. Gogok choose to give up on his life and let himself drawned in bad relationship (drunk, drugs counsumers, mariyuana counsumers, fight, and escape from home)

  From the four respondents, three of them (Mamat, Lala, and Titi) supported Frankl’s theory stating that human’s deepest desire was the will to have a meaningful live. For the three respondents, divorced parents was an example of bad situation causing hopelessness and sufferings. But it gave chance for them to find the positive mind and attitude.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Deviana Citra Dewi Widyawati Nomor Mahasiswa : 021114034

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  STUDI KASUS TENTANG KEBERMAKNAAN HIDUP REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

  Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 26 Juni 2009 Yang menyatakan ( Deviana Citra Dewi Widyawati )

KATA PENGANTAR

  Pengalaman penuh makna yang penulis temukan dalam penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan anugerah yang indah dari kasih Tuhan. Anugerah yang tidak henti-hentinya penulis syukuri dan kagumi. Anugerah yang indah ini juga tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa materi, dukungan, masukan, kritikan dan doa. Segala bantuan tersebut membuat penulisan skripsi ini menjadi semakin baik. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1.

  Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Santa Dharma Yogyakarta, yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.

  2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Kaprodi Bimbingan dan Konseling yang memberikan kesempatan dan memberikan dukungan penuh kepada penulis.

  3. Drs. T.A. Prapancha Hary, M.Si., selaku Pembimbing I dalam penulisan skripsi yang telah memberikan bimbingan,dukungan, dorongan dan ide-ide yang menarik sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan skripsi ini.

  4. Para Dosen Penguji, yang telah dengan setia dan sabar meluangkan waktunya untuk membaca, meneliti dan bertanya mengenai apa yang telah di tulis oleh penulis, sehingga terwujud skripsi yang lebih baik dan lebih bermutu.

  5. Sr. Constantia, OP., selaku Kepala Yayasan Santo Dominikus Cabang Yogyakarta, yang selalu memberikan dukungan, dorongan semangat, doa,

  6. Sr. Serafine, OP., selaku Kepala Sekolah SDKB “JOANNES BOSCO” Yogyakarta, yang telah memberi dukungan dan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsinya, sehingga dapat terwujud dengan baik.

  7. Romo Albertus Hartana, SJ., yang telah memberikan kepercayaannya, dukungan, dorongan semangat, berkat dan doanya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

  8. Romo Robertus Rubyatmoko, Pr., yang telah memberikan kepercayaannya, dukungan, dorongan semangat, saran dan kritik, ide-ide yang menarik, serta berkat dan doanya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

  9. Romo dan Para Frater SCJ di Yogyakarta, yang telah memberikan dukungan, doa, dan bantuannya untuk mencarikan buku serta membaca, memberi saran pada skripsi penulis, sehingga skripsi tersebut dapat terselesaikan dengan baik.

  10. Suster Veronica, OSU., sahabatku yang baik, telah memberikan kepercayaan, semangat, dukungan dan doanya, serta waktunya untuk penulis dalam melewati suka dan duka menghadapi hidup.

  11. Para Bapak/Ibu guru dan karyawan SDKB “Joannes Bosco” dan teman-teman TKK BKS YPK DIY, yang selalu mengingatkan penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. sahabat yang setia yang senantiasa menanyakan, mendukung, menghibur dan memberikan semangat kepada penulis sehingga penulis merasa bermakna.

  13. Papa, Mama dan adik tercinta yang di dalam kasih dan pengertiannya telah membawa penulis pada makna terdalam hidup panggilan dan memberikan kekuatan penulis untuk bertahan dengan setia menekuni penulisan skripsi ini.

  14. Keluarga FX. Willy Hariyanto, Prawiro Subroto dan Teguh Cokro Mulyono yang selalu dengan setia memberi dukungan dan doanya sehingga penulis mampu menyelesaikan studinya dengan baik.

  15. Mamat, Gogok, Lala, Titi (nama samaran) yang telah bersedia menjadi subyek penelitian yang terbuka membagikan pengalamannya kepada penulis sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik.

16. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala dukungan, perhatian dan bantuannya (Spesial untuk Ibu A. Setyandari, S.Pd., Psi., M.A.

  yang sudah membantu meluangkan waktunya dan memberi kemudahan pada penulis untuk segera melanjutkan ke ujian pendadaran).

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan, namun begitu penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia bimbingan dan konseling dan bagi siapa saja yang menaruh minat untuk memberikan bantuan dan pelayanan terhadap para remaja yang orangtuanya bercerai.

  Yogyakarta, 26 Juni 2009

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………… ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………………….. iii HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………….. v HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………… vi ABSTRAK ………………………………………………………………. vii

  

ABSTRACT ………………………………………………………………. viii

  LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……………. ix KATA PENGANTAR …………………………………………………… x DAFTAR ISI …………………………………………………………….. xiii

  BAB I. PENDAHULUAN …………………………………………….. 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………... 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………. 5 C. Tujuan Penelitian …………………………………………. 6 D. Manfaat Penelitian ………………………………………… 6 E. Definisi Operasional ………………………………………. 7 BAB II. KAJIAN TEORI ………………………………………………. 9 A. Teori Makna Hidup ……………………………………….. 9

  E. Perceraian ………………………………………………… 29

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ……………………………… 34 A. Metodolodi Penelitian …………………………………….. 34 B. Subjek Penelitian ………………………………………… 36 C. Metode dan Alat Pengumpulan Data …………………….. 37 D. Langkah-langkah/Tahap Penelitian ………………………. 38 E. Sumber Data/Responden ……………………….…………. 40 F. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data …………………….. 40 G. Teknik Analisis/Pengolahan Data ………………………… 42 BAB IV. INFORMASI TENTANG RESPONDEN, LAPORAN HASIL OBSERVASI DAN WAWANCARA SERTA PEMBAHASAN 43 A. Hasil Observasi Partisipasi …… …………………………. 43 B. Hasil Observasi Nonverbal ………………………………... 43 C. Hasil Wawancara ………………………………………….. 46 D. Pembahasan ………………………………………………. 56 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………. 90 A. Kesimpulan ……………………………………………….. 90 B. Saran-saran ……………………………………………….. 98 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 104 LAMPIRAN-LAMPIRAN ………………………………………………. 106

  Lampiran 4: Pedoman Observasi Partisipasi Lampiran 5: Hasil Observasi Partisipasi Lampiran 6: Pedoman Wawancara Lampiran 7: Hasil Wawancara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setelah saya melaksanakan PLBK (Praktek Lapangan Bimbingan dan Konseling) di sekolah dan di komunitas, penulis mengamati dan menemukan

  bahwa ada beberapa remaja yang orangtuanya bercerai. Beberapa remaja yang orangtuanya bercerai lebih menunjukkan sikap: agresif (sering marah, menjadi kasar, dan menunjukkan tindakan agresif lainnya). Mereka juga terkadang menjadi pendiam (tidak lagi ceria, tidak suka bergaul), suka melamun, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas sekolah.

  Kasus perceraian sering dianggap sebagai suatu peristiwa tersendiri yang menegangkan dalam kehidupan keluarga. Perceraian merupakan sebuah pilihan yang dibuat oleh para orang dewasa untuk menyelesaikan suatu perkawinan yang sudah tidak berjalan sebagaimana mestinya (MacGregor, 2004: 101). Perceraian akan terasa menyakitkan, menekan, dan menyedihkan. Proses perceraian akan melibatkan perasaan-perasaan marah dan duka akan pertikaian di masa lampau, kehilangan di saaat kini, sekaligus ketakutan akan masa mendatang.

  Meningkatnya jumlah kasus perceraian dewasa ini berjalan seiring perceraian di Indonesia dapat dilihat dari berita-berita tentang perceraian di kalangan para selebritis belakangan ini. Hal ini didukung oleh majalah Tempo (2002) yang memberitakan bahwa dalam lima tahun terakhir, sejak tahun 1997 angka perceraian di Jakarta meningkat rata-rata 4% setahun, di kota Surabaya meningkat 11% setahun, dan di Yogyakarta, 2 tahun ini angka perceraian melonjak 20% per tahun. Kompas (2008) juga memberitakan bahwa berdasarkan data Pengadilan Agama Bantul, kasus perceraian tahun 2007 mencapai 677 kasus, padahal tahun 2006 baru 577 kasus dan tahun 2008 sampai dengan bulan Mei sudah ada 336 kasus perceraian. Perceraian merupakan salah satu jalan terbaik bagi suami dan isteri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian dapat menimbulkan akibat buruk pada anak.

  Perceraian merupakan peristiwa yang traumatis bagi semua pihak yang terlibat, baik bagi pasangan suami-isteri itu sendiri, anak-anak mereka, keluarga, teman, dan bagi masyarakat sekitar. Dalam kasus perceraian orangtua, yang paling sering terpukul adalah anak-anak mereka. Anak-anak ini tidak bisa bebas dari dampak perceraian orangtuanya, mereka akan diliputi perasaan terluka, marah, terabaikan, dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan tersebut akan terus menetap di hati mereka, bahkan sampai mereka menjadi dewasa. Anak-anak berbeda dengan orang dewasa lainnya, yang dapat dan sepertinya tidak seorangpun memahami tekanan yang mereka rasakan. Hal inilah yang membuat mereka sering merasa berbeda dengan teman sebayanya (Cole, 2004).

  Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak. Anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena “kehilangan” satu orangtua. Kebanyakan mereka yang orangtuanya bercerai akan mengembangkan reaksi yang besar (seperti: ledakan amarah, tangisan, penarikan diri dan perilaku buruk mereka) terhadap perpisahan orangtuanya. Reaksi yang mereka tunjukkan merupakan hal yang umum terjadi, karena anak membutuhkan waktu untuk menerima situasi ini, disaat mereka merasa sedih karena kehilangan satu orangtua serta kehidupan keluarga normal (Cole, 2004:1, 21).

  Remaja yang orangtuanya bercerai akan mudah merasa depresif dan merasa menderita, karena mereka ikut merasakan sakit hati. Sakit hati ini muncul dikarenakan beban emosional akibat perpisahan orangtuanya meninggalkan luka di batin, perasaan maupun pikirannya. Akibatnya selama belajar, mereka tidak dapat berkonsentrasi, mudah lupa dan prestasi belajarnya menurun drastis. Selain itu, ungkapan perasaan dan penolakan mereka terhadap perceraian orangtuanya, dapat berupa kenakalan, antara lain: penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, membolos, bergabung menimbulkan keputusasaan dan penderitaan. Menurut Frankl (Schultz, 1991: 156) situasi-situasi yang sangat buruk, yang menimbulkan keputusasaan dan tampaknya tidak ada harapan, dapat dilihat sebagai situasi-situasi yang memberikan kita kesempatan sangat besar untuk menemukan arti. Frankl juga mengatakan bahwa kehidupan manusia, meskipun dalam keadaan gawat, dapat bercirikan arti dan maksud. Frankl menambahkan bahwa kehidupan manusia dapat mengandung arti, sampai momen kehidupannya yang terakhir (Schultz, 1991: 157).

  Penderitaan itu memiliki makna ganda, yaitu: membentuk karakter sekaligus membentuk kekuatan atau ketahanan diri. Bagaimanapun, individu haruslah menjaga dirinya agar tidak menyerah dan berpangku tangan terlalu cepat, atau terlalu dini menerima suatu keadaan buruk sebagai takdir (Koeswara, 1992: 67-68). Kondisi individu yang mudah menyerah dan terlalu dini untuk menerima suatu keadaan buruk sebagai takdir, disebabkan oleh tidak jelasnya makna hidup dan visi kehidupan individu yang bersangkutan. Cara untuk menghindari terbentuknya individu yang seperti itu, diperlukan adanya visi yang baik tentang tujuan hidup. Tujuan hidup bisa dicapai apabila sejak dini individu menekankan pada makna hidup yang baik.Kebermaknaan hidup dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang yang berguna bagi orang lain maupun diri

  Perceraian orangtua, dapat membuat remaja terluka, marah, terabaikan dan merasa tidak dicintai. Pengalaman ini akan terus menetap di hatinya sampai remaja yang bersangkutan menjadi dewasa, bahkan perasaan berbeda dari teman-teman sebayanya memungkinkannya untuk tidak lagi mampu melihat adanya makna dalam hidupnya. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa kehidupan manusia terkadang baru memiliki makna yang nyata setelah individu yang bersangkutan dihadapkan pada situasi yang penuh dengan penderitaan. Dengan keadaan yang demikian, beberapa remaja yang orangtuanya bercerai mengalami krisis (baik krisis kepercayaan, krisis diri, krisis prestasi, dll). Remaja ini membutuhkan orang-orang untuk memberi dukungan atau hanya sebagai teman yang bersedia mendengarkan mereka. Permasalahan ini berkaitan dengan kebermaknaan hidup, yaitu bagaimana remaja yang orangtuanya bercerai menemukan kebermaknaan hidupnya dalam kehidupan ini.

  Fokus penelitian ini adalah bagaimana proses remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya Studi kasus ini diharapkan dapat lebih memperdalam pengetahuan akan kebermaknaan hidup remaja yang orang- tuanya bercerai.

B. Rumusan Masalah

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses remaja yang orangtuanya bercerai memaknai hidupnya.

  D. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan manfaat, antara lain:

  1. Manfaat Teoritis

  Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan bimbingan dan konseling, khususnya menyangkut keber- maknaan hidup remaja yang orangtuanya bercerai.

  2. Manfaat Praktis

  a) Bagi orangtua

  Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan tentang pentingnya pemenuhan makna hidup bagi anak-anak dengan memper- hatikan segala kebutuhan, baik kebutuhan fisik maupun psikologisnya.

  b) Bagi masyarakat

  Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan agar masyarakat tidak mengucilkan remaja yang orangtuanya bercerai.

  Sebaliknya dapat mendampingi mereka untuk menerima dan c) Bagi konselor

  Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam memahami kondisi psikologis para remaja yang orangtuanya bercerai.

  d) Bagi penulis

  1) Penelitian ini bermanfaat bagi penulis untuk mengenal kepribadian dan memahami kondisi psikologis para remaja yang orangtuanya bercerai (berpisah).

  2) Penelitian ini bermanfaat sebagai bekal bagi penulis di masa mendatang dalam mendampingi para remaja, baik yang orang- tuanya bercerai maupun yang tidak bercerai.

  3) Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya keterampilan penulis dalam memberikan layanan konseling, dengan memasukkan unsur- unsur penemuan akan makna hidup pada konseli yang dilayani.

E. Definisi Operasional

  Definisi operasional variabel yang terdapat dalam fokus permasalahan tersebut adalah:

  1. Kebermaknaan hidup remaja yang orangtuanya bercerai adalah proses dimana remaja yang orangtuanya bercerai dapat menemukan hal-hal yang terpenuhi akan memberikan perasaan berharga dan berarti, dan hal ini terealisasi lewat nilai kreatif, nilai pengalaman, dan nilai bersikap dalam kehidupannya.

  2. Remaja adalah pemuda-pemudi yang berada pada masa perkembangan yang disebut masa “adolescence” (masa remaja, masa menuju kedewasaan).

  3. Orangtua (ayah dan ibu) adalah tokoh yang menjadi teladan atau panutan pertama yang akan ditiru dan sebagai peletak dasar hati nurani bagi anak- anak mereka, serta sebagai pembina perkembangan anak supaya menjadi pribadi yang dewasa.

  4. Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  5. Perceraian adalah berakhirnya hubungan antara dua orang yang pernah hidup bersama sebagai pasangan suami istri, yang sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga.

BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Makna Hidup Teori yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah teori makna

  hidup Viktor Frankl. Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 43) hasrat yang paling mendasar dari setiap manusia yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Apabila hasrat itu dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningful). Sebaliknya, apabila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tak bermakna (meaningless).

  Frankl (Bastaman, 2007: 14) berpendapat bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, tidak saja dalam keadaan normal dan menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan, seperti dalam keadaan sakit, bersalah dan kematian. Pencarian makna hidup ini menjadi prinsip dasar terapi Frankl yang disebut “logotherapy”. Kata “logos” dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan “therapy” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logotherapy secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) merupakan

  Logoterapi (Bastaman, 2007: 45) adalah makna hidup (the meaning of

life ) dan kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning). Bahkan

  kebahagiaan (happiness) yang didambakan setiap manusia merupakan hasil samping (by produce) atau ganjaran (reward) atas keberhasilan meraih hidup yang bermakna (the meaningful life). Logoterapi juga mengakui bahwa setiap manusia mampu menentukan dan mengubah “nasibnya” sendiri. Manusia adalah “the self determine being”, yaitu makhluk yang mampu menentukan hidupnya menurut apa yang dianggapnya baik, baik menurut masyarakat maupun dirinya sendiri.

1. Landasan Filosofis Logoterapi

  Setiap aliran dalam psikologi memiliki landasan filsafat kemanu- siaan yang mendasari seluruh ajaran, teori dan penerapannya. Dalam hal ini logoterapi pun memiliki filsafat manusia yang merangkum dan melandasi asas-asas, ajaran dan tujuan logoterapi, yaitu “the freedom of

  

will, the will to meaning, dan the meaning of life” (Bastaman, 2007: 41).

  a) The Freedom of Will (Kebebasan Berkehendak)

  Kebebasan yang dimaksud di sini sifatnya bukan tak terbatas, karena manusia adalah makhluk serba terbatas. Kebebasan manusia bukan merupakan kebebasan dari (freedom from) bawaan biologis, kondisi psikososial, dan kesejarahannya, melainkan kebebasan untuk kebebasan untuk mengubah kondisi hidupnya guna meraih kehidupan yang lebih berkualitas. Kebebasan itu sendiri harus disertai rasa tanggungjawab (responsibility) agar tidak berkembang menjadi kesewenang-wenangan (Bastaman, 2007: 41-42).

  b) The Will to Meaning (Hasrat untuk Hidup Bermakna)

  Salah satu keinginan manusia adalah dirinya menjadi orang yang bermartabat dan berguna bagi dirinya, keluarga, lingkungan kerja, masyarakat sekitar, serta berharga di mata Tuhan. Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya.

  Keinginan tersebut menggambarkan hasrat yang paling mendasar dari setiap manusia yaitu hasrat untuk hidup bermakna. Apabila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga dan berarti (meaningful). Sebaliknya, apabila hasrat tersebut tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).

  Motivasi utama pada manusia adalah keinginan untuk hidup bermakna. Hasrat inilah yang mendorong setiap orang untuk melakukan berbagai kegiatan bekerja dan berkarya. Hal ini

  (being somebody) dengan kehidupan yang sarat dengan kegiatan yang bermakna pula (Bastaman, 2007: 42-43).

  c) The Meaning of Life (Makna Hidup)

  Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi setiap orang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in

  life ). Apabila makna hidup berhasil dipenuhi oleh setiap orang, maka

  setiap orang tersebut akan merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (happiness).

  Makna hidup ada dalam kehidupan itu sendiri dan dapat ditemukan dalam setiap keadaan yang menyenangkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan bahagia maupun penderitaan (Bastaman, 2007: 45-46).

2. Asas-asas Logoterapi

  Ada 3 (tiga) asas utama logoterapi (Bastaman, 2007: 37-39), sebagai berikut: a)

  Pertama, hidup itu tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, baik dalam penderitaan maupun kepedihan. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan setiap orang. Makna memberikan nilai khusus bagi setiap orang dan ditemukan dan dipenuhi. Setiap orang yang berhasil menemukan dan mengembangkan makna hidupnya akan merasakan kebahagiaan, sekaligus terhindar dari keputusasaan.

b) Kedua, setiap manusia memiliki kebebasan yang hampir tak terbatas.

  Kebebasan tersebut dapat digunakan untuk menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri (khususnya pada pekerjaan dan karya baru yang dilakukan, dalam keyakinan terhadap harapan dan kebenaran, dalam penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih). Selain itu, sikap tepat yang kita ambil atas penderitaan yang tidak dapat diubah lagi juga merupakan sumber makna hidup. Setiap manusia pada dasarnya masih tetap memiliki harapan dan kebebasan, sekalipun hanya dalam pikiran, perasaan, cita-cita dan angan-angan semata.

  c) Ketiga, setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Setiap manusia tidak mungkin mengubah suatu keadaan (tragis). Sebaiknya kita mengubah sikap atas keadaan itu agar kita tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan itu. Kita dapat mengambil sikap tepat dan baik, yakni sikap yang menimbulkan hidup yang bermakna melalui karya, penghayatan, keyakinan dan harapan serta sikap tepat atas peristiwa tragis yang tidak terelakkan.

3. Sumber-sumber Makna Hidup

  Dalam kehidupan ini terdapat 3 (tiga) bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan setiap orang menemukan makna hidup di dalamnya, apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 46) ketiga nilai (value) ini adalah creative values, experiential values, dan attitudinal values.

  a) Creative values (nilai-nilai kreatif) diwujudkan dalam aktivitas yang kreatif dan produktif (Schultz, 1991: 155). Biasanya hal ini berkenaan dengan kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggungjawab (Bastaman, 2007: 47). Menurut Frankl (Bastaman, 2007: 47) pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup. Makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, hal ini dapat dilihat dari sikap positif dan mencintai pekerjaan, serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya.

  b) Experiential values (nilai-nilai pengalaman) dapat diwujudkan dengan keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan hidup seseorang berarti.

  Cinta kasih juga dapat menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya (Bastaman, 2007: 48).

  c) Attitudinal values (nilai-nilai bersikap) dapat diwujudkan berupa sikap menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran dan keberanian, segala bentuk penderitaan yang kita hadapi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah segala penderitaan yang kita hadapi dapat mengubah pandangan kita. Pandangan yang semula diwarnai penderitaan menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu. Penderitaan dapat memberikan makna dan guna, apabila kita dapat mengubah sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan bagaimanapun (sakit, nista, dosa, bahkan mati) arti hidup masih tetap dapat ditemukan, asalkan kita dapat mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya (Bastaman, 2007: 49).

4. Eksistensi Manusia yang Sehat

  Frankl (Bastaman, 2007: 62) menganggap bahwa eksistensi manusia ditandai oleh 3 (tiga) hal, yaitu: kerohanian (spirituality), kebebasan (freedom), dan tanggungjawab (responsibility). Artinya dilakukannya. Dimensi spiritual adalah sumber dari potensi, sifat, kemampuan dan kualitas khas insani (human qualities), seperti hasrat untuk hidup bermakna, kreativitas, hati nurani, rasa keindahan, keimanan, religiusitas, intuisi, rasa humor dan kekuatan untuk bangkit dari segala kematangan dan kendala hidup. Dimensi spiritual ini adalah sumber dari kebajikan, keluhuran dan kemuliaan manusia.

5. Penghayatan Hidup tanpa Makna dan Hidup Bermakna

  Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tetapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to

  

sex ), bekerja (the will to work) dan mengumpulkan uang (the will to

money ). Dalam perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya

  tersirat penghayatan-penghayatan hidup tanpa makna, walaupun neuroris noogenik, karakter totaliter, dan karakter konformis (Bastaman, 2007: 80-21).

  Mereka yang menghayati hidup bermakna menunjuk-kan corak kehidupan penuh dengan semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tujuan hidup, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, jelas bagi mereka.

  Dengan demikian, kegiatan-kegiatan merekapun menjadi lebih terarah serta mereka sendiri dapat merasakan kemajuan-kemajuan yang telah mereka capai. Kalaupun mereka pada suatu saat berada dalam situasi yang tak menyenangkan atau mereka sendiri mengalami penderitaan, mereka akan menghadapinya dengan sikap tabah serta sadar bahwa senantiasa ada hikmah yang “tersembunyi” di balik penderitaannya itu. Mereka benar- benar menghargai hidup dan kehidupan, karena mereka menyadari bahwa hidup dan kehidupan itu senantiasa menawarkan makna yang harus mereka penuhi. Bagi mereka kemampuan untuk menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara bertanggungjawab. Mereka mampu untuk mencintai dan menerima cinta kasih orang lain serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu hal yang menjadikan hidup ini bermakna (Bastaman, 2007: 85-87). oleh kehidupanlah penghayatan hidup bermakna tercapai dengan kepuasan dan kebahagiaan sebagai ganjarannya.

  Kebahagiaan Hidup bermakna Terpenuhi Hasrat hidup bermakna Tak terpenuhi Hidup tak bermakna Neurosis noogenik Otoriter, konformis B.

   Remaja 1. Definisi Remaja

  Menurut Hurlock (Ali dan Asrori, 2004: 9) istilah remaja, yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa Latin

  adolesceie yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai

  kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.

  Menurut Stanley Hall (Dariyo, 2004: 13), remaja (adolescence) adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja berkisar antara usia terjadi berkisar dari perkembangan fungsi seksual, proses berpikir abstrak sampai pada kemandirian.

  Masa remaja dianggap sebagai masa topan-badai dan stres (storm

  and stress ), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk

  menentukan nasib diri sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggungjawab. Tetapi kalau tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik. Usia remaja antara 12 sampai usia 23 tahun.

  Penggolongan remaja menurut Thornburg (Dariyo, 2004: 14) terbagi 3 (tiga) tahap, yaitu: (a) remaja awal (usia 13-14 tahun), (b) remaja tengah (usia 15-17 tahun), (c) remaja akhir (usia 18-21 tahun). Masa remaja awal umumnya individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Masa remaja tengah, individu sudah duduk di sekolah menengah atas (SMA). Mereka yang tergolong remaja akhir umumnya sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau lulus SMA dan mungkin sudah bekerja.

2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perkembangan Remaja

  Sejak di dalam kandungan hingga lahir, seorang individu tumbuh menjadi anak, remaja atau dewasa. Hal ini berarti terjadi proses perubahan mempengaruhi perkembangan individu (bersifat dichotomi), yakni: (1) endogen dan (2) eksogen dan (3) interaksi antara endogen dan eksogen.

  a)

Faktor endogen (nature). Dalam pandangan ini dinyatakan bahwa

  perubahan-perubahan fisik maupun psikis dipengaruhi oleh faktor internal yang bersifat herediter yaitu yang diturunkan oleh orangtuanya, misalnya: postur tubuh (tinggi badan), bakat-minat, kecerdasan, kepribadian dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa kondisi fisik, psikis atau mental yang sehat, normal dan baik menjadi predisposisi bagi perkembangan berikutnya. Hal itu menjadi modal bagi individu agar mampu mengembangkan kompetensi kognitif, afektif maupun kepribadian dalam proses penyesuaian diri (adjustment) di lingkungan hidupnya.

  b)

Faktor eksogen (nurture). Pandangan faktor eksogen menyatakan

  bahwa perubahan dan perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari luar individu itu sendiri. Faktor ini diantaranya berupa lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan fisik berupa tersedianya sarana dan fasilitas, letak geografis, cuaca, iklim dan sebagainya. Lingkungan sosial adalah lingkungan dimana seorang mengadakan relasi/interaksi dengan individu atau sekelompok individu di dalamnya. Lingkungan sosial ini dengan kehangatan kasih sayang dan perhatian akan memungkinkan anak untuk mengembangkan rasa percaya (basic trust) kepada lingkungannya. Sebaliknya, mereka yang tak memperoleh kasih sayang dengan baik, cenderung menjadi anak yang sulit mempercayai lingkungannya. Dengan demikian, rasanya akan sulit untuk mengembangkan potensi kognitif maupun kemampuan yang lain.

  c)

Interaksi antara endogen dan eksogen. Dalam kenyataannya, masing-

  masing faktor tersebut tak dapat dipisahkan. Kedua faktor itu saling berpengaruh sehingga terjadi interaksi antara faktor internal maupun eksternal yang kemudian membentuk dan mempengaruhi perkembangan individu. Para ahli perkembangan sekarang (Berk, Gunarsa dan Gunarsa, Papalia, Olds dan Feldman, dan Santrock) menyakini bahwa kedua faktor internal (endogen) maupun eksternal (eksogen) tersebut mempunyai peran yang sama besarnya bagi perkembangan dan pertumbuhan individu.

  Endogen-internal Eksogen-eksternal

Perkembangan

3. Ciri-ciri Masa Remaja

  Masa remaja seringkali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh Erickson (Ali dan Asrori, 2004: 16) disebut dengan identitas ego (ego

  

identity ). Hal ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara

  masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya mereka sudah bukan anak-anak lagi melainkan sudah seperti orang dewasa, tetapi jiwa mereka diperlakukan sebagai orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa.

  Oleh karena itu, ada sejumlah sikap yang sering ditunjukkan oleh remaja yaitu sebagai berikut: (Ali dan Asrori, 2004: 16-18) a)

  Kegelisahan Sesuai dengan fase perkembangannya, remaja mempunyai banyak idealisme, angan-angan atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Namun sesungguhnya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Seringkali angan-angan dan keinginannya jauh lebih besar dibandingkan kemampuannya. Tarik-menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh perasaan gelisah.

  b) Pertentangan sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orangtua. Pertentangan yang sering terjadi itu menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orangtua, kemudian ditentangnya sendiri karena di dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman.

  c) Mengkhayal

  Biasanya keinginan untuk menjelajah dan berpetualang pada masa remaja tidak semuanya tersalurkan, hal ini dikarenakan hambatan dari segi keuangan atau biaya. Keinginan untuk menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orangtuanya. Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan ini kadang-kadang menghasilkan sesuatu yang bersifat konstruktif, misalnya tumbuh ide-ide tertentu yang dapat direalisasikan.

  d) Aktivitas berkelompok