BAB I FIRDAUZIAH HERDIANNISA SEJARAH'18

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia

  untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa agar ia menjadi orang dewasa. Selanjutnya,artikan sebagai usaha manusia yang dijalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar mencapai dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental (Hasbullah, 2008:1).

  Menurut Langeveld (dalam Hasbullah, 2008:2), pendidikan ialah: “Setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak yang tertuju kepada anak itu, atau lebih tepat membantu agar anak cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa seperti buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa”.

  Pendidikan menurut UU No.20 tahun 2003 ialah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa, dan Negara (Hasbullah, 2005:4).

  Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik

  

1 dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat-istiadat, dan estetika. Karakter adalah perilaku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bersikap maupun dalam bertindak. Hasil tulisan Jack Corley dan Thomas Philip tahun 2000 dalam buku Warsono dkk. tahun 2010 menyatakan karakter merupakan sikap dan kebiasaan seseorang yang memungkinkan dan mempermudah tindakan moral (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Menurut Scerenko, mendefinisikan karakter sebagai atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa. Sementara itu The Free

  

Dictionary dalam situs onlinenya yang dapat diunduh secara bebas

  mendefinisikan karakter sebagai suatu kombinasi kualitas atau ciri-ciri yang membedakan seseorang atau kelompok atau suatu benda dengan yang lain.

  Karakter, juga didefinisikan sebagai suatu deskripsi dari atribut, ciri-ciri, atau kemampuan seseorang (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Menurut Scerenko, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan, kajian (sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari) (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Pendidikan karakter merupakan sarana yang berperan penting dalam menciptakan manusia yang berkualitas dan berpotensi. Permasalahan yang timbul adalah terjadinya hal

  • –hal yang kurang pantas justru dilakukan oleh beberapa
  • – pelajar di negeri ini. Fenomena mencontek, tawuran antar pelajar, serta kejadian kejadian lain yang tidak mencerminkan perilaku seorang akademisi semakin hari malah semakin menjamur saja. Disamping itu, tingkat kesopanan seorang siswa terhadap gurunya atau seorang anak terhadap kedua orang tuanya juga semakin memprihatinkan.

  Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan (Syaiful Sagala, 2009:61). Pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam desain instruksional, untuk membuat siswa belajar aktif, yang menekankan pada penyedian sumber belajar (Dimyati dan Mudjiono, 1999:297). Pembelajaran adalah aspek kegiatan manusia yang kompleks, yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan (Trianto, 2010:17).

  Sejarawan Sidi Gazalba (1966:11) mengemukakan bahwa sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap, meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan, yang memberi pengertian dan kepahaman tentang apa yang telah berlalu itu (Aman, 2011:15). Pembelajaran sejarah berarti mempelajari peristiwa-peristiwa masa lalu untuk dijadikan pengalaman guna memperoleh kehidupan yang lebih baik (I Gede Widja, 1989: 91).

  Di era globalisasi ini telah banyak membawa perubahan, baik perubahan yang berdampak positif dalam kehidupan maupun perubahan yang berdampak negative bagi kehidupan sehari-hari. Contohnya saja pada generasi muda, kebanyakan generasi muda cenderung tidak dapat menyaring/filter terhadap kebudayaan yang masuk kepada dirinya atau tidak bisa menyaring pengaruh dari adanya globalisasi. Banyak sekali generasi muda yang mudah terpengaruh buruk dalam perkembangan globalisasi tersebut.

  Globalisasi juga membawa dampak buruk bagi generasi muda, seperti yang dapat kita lihat dari berbagai aspak diantaranya adalah : pertama aspek norma, norma itu sendiri ialah aturan tidak tertulis yang digunakan sebagai pedoman masyarakat dalam menjalani kehidupan yang mengikat seluruh lapisan masyarakat dan memiliki sanksi sosial bagi masyarakat yang melanggarnya.

  

Kedua aspek budaya, akibat dari era globalisasi budaya saat ini sudah mulai

  banyak bercampur dengan budaya asing. Apabila pengaruh tersebut tetap dibiarkan saja, apa jadinya generasi muda kita nantinya. Mungkin saja akan meninbulkan moral generasi muda menjadi rusak, timbulnya gerakan anarkisme, dan tindaka-tindakan kriminalitas lainnya yang dapat menganggu masyarakat pada umumnya. Padahal, generasi muda merupakan generasi penerus bangsa ini dimasa yang akan datang.

  Semua itu dapat dicegah atau diatasi dengan menggunakan pendidikan, yang salah satunya adalah pendidikan karakter. Pendidikan karakter memiliki beberapa fungsi, diantaranya: pendidikan karakter dapat membenuk dan mengembangkan potensi manusia atau WNI agar berpikir baik,berhati baik, dan berprilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila. Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan WNI yang bersifat negative dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggungjawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang berkarakter. Selain itu, pendidikan karakter berfungsi memilih nilai-nilai budaya bangsa itu sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadikan manusia yang berkarakter dan agar WNI menjadi bangsa yang bermartabat.

  Pendidikan karakter bebarapa tahun ini, sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi mulai menerapkannya bagi siswa-siswinya maupun mahasiswanya di sekolah maupun di perguruan tinggi (PT). Memang pendidikan karakter sudah mulai digencarkan, walaupun hasilnaya belum kita lihat dan rasakan sekarang. Program pendidikan karakter yang telah berkembang sudah bagus, namun bagaimanapun juga harus tetap ada evaluasi.

  Oleh karena itu, pendidikan karakter ini harus benar-benar ditanamkan pada anak-anak sebagai bekal ketika mereka bertindak ataupun bersikap didalam lingkungan masyarakat dan tidak melenceng dari agama yang diyakininya. Dan akan mewujudkan bangsa Indonesia yang berkarakter, sehingga bisa menjadi panutan bagi Negara-negara yang ada di seluruh dunia. Selain itu, dengan pendidikan karakter dapat menjadikan generasi muda lebih berkarater lagi, dan dengan pendidikan karakter itu generasi muda dapat memilih kebudayaan, pengetahuan, dan lain-lain yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia .

  Peristiwa

  • –peristiwa yang menyimpang menunjukkan karakter generasi muda Indonesia sudah berada pada titik yang mengkhawatirkan. Beberapa faktor penyebab rendahnya pendidikan karakter adalah: pertama, sistem pendidikan yang
kurang menekankan pembentukan karakter, tetapi lebih menekankan pengembangan intelektual, misalnya sistem evaluasi pendidikan menekankan aspek kognitif/akademik, seperti Ujian Nasional (UN). Kedua, kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter yang baik.

  Lingkungan sekolah dapat menjadi tempat pendidikan yang baik bagi pertumbuhan karakter siswa. Segala peristiwa yang terjadi di dalam sekolah semuanya dapat diintegrasikan melalui pendidikan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter merupakan sebuah usaha bersama dari seluruh warga sekolah untuk menciptakan sebuah kultur baru di sekolah, yaitu kultur pendidikan karakter. Secara langsung, lembaga pendidikan dapat menciptakan sebuah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum, penegakan disiplin, manajemen kelas, maupun melalui program-program pendidikan yang dirancangnya (Aqib, 2011: 99).

  Mengingat pendidikan karakter dalam membangun sumber daya manusia (SDM) yang kuat, maka perlunya pendidikan pembentukan karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Oleh karena itu strategi yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan dari pendidikan.

  Karakter yang dapat membentuk jiwa seseorang, bahwa seseorang tidak akan mudah percaya pada isu-isu yang tidak jelas sebelum ada pembuktian.

  Kepribadian yang terbentuk diharapkan yaitu seseorang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan pekerjaannya, karena selalu dapat menunjukkan pembuktian dari setiap perkataan dan tindakannya.

  Karakter generasi muda pada saat ini yang jauh dari kepribadian dan jati diri bangsa Indonesia, generasi muda banyak yang mengikuti hal-hal negatif dari luar negeri (budaya barat) akibat globalisasi, juga berkiblat pada kebudayaan asing membuat peneliti ingin meneliti tentang pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto tahun 2017/2018, bertujuan untuk menjelaskan perlunya dan pentingnya penerapan pendidikan karakter pada kegiatan belajar mengajar di sekolah agar menciptakan generasi muda yang berkarakter.

  SMA Negeri 4 Purwokerto adalah salah satu sekolah yang menerapkan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Sekolah ini dianggap mampu untuk melaksanakan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran, baik dari siswa, guru, dan sekolah sudah mendukung terlaksananya penerapan pendidikan karakter. Prestasi siswa-siswi di SMA Negeri 4 Purwokerto cukup memuaskan.

  Berdasarkan latar belakang tersebut, aplikasi pendidikan karakter dalam pembelajaran menjadi sangat penting sehingga guru sebagai aktor yang menjalankan pendidikan harus paham dan mampu menerapkan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Maka dari itu, strategi penerapan pendidikan karakter khususnya dalam pembelajaran sejarah perlu dikaji.

B. Rumusan Masalah

  1. Bagaimana pandangan guru sejarah tentang pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto ?

  2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto ?

  3. Apa saja hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto ?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan :

  1. Untuk menjelaskan pandangan guru sejarah tentang pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  2. Memaparkan pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  3. Untuk menjelaskan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat teoritis 1.1. Sebagai ajang latihan untuk melatih dan mengasah intelektualitas peneliti.

  Sebagai pengembangan ilmu yang diperoleh dari penelitian dan sebagai sarana dalam menuangkan ide secara ilmiah serta memperoleh pengalaman dalam penelitian.

  1.2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan tentang penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah.

  Strategi penerapan yang berkualitas akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan melalui peningkatan hasil belajar yang disertai dengan karakter yang baik.

  2. Manfaat Praktis

  2.1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberi motivasi bagi lembaga pendidikan baik formal maupun informal. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan guru khususnya guru sejarah untuk pengembangan kompetensi dibidang penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah sehingga nilai-nilai karakter dapat terbentuk.

  2.2. Secara khusus, penelitian ini memberi saran alternatif strategi penerapan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah yang berbeda dari cara penerapan sebelumnya.

E. Kajian Pustaka

1. Pembelajaran Sejarah

  Pembelajaran adalah setiap perubahan perilaku yang relatif permanen, terjadi sebagai hasil dari pengalaman baik dialami langsung maupun tidak langsung. Menurut I Gede Widja (1989:91) sejarah adalah studi keilmuan tentang segala sesuatu yang telah dialami manusia di waktu lampau dan yang telah meninggalkan jejak-jejaknya di waktu sekarang. Penekanan perhatian diletakkan pada aspek peristiwanya sendiri, dalam hal ini terutama yang bersifat khusus dari segi-segi urutan perkembangannya yang kemudian disusun dalam suatu cerita sejarah. Jadi, pembelajaran sejarah berarti mempelajari peristiwa-peristiwa masa lalu untuk dijadikan pengalaman guna memperoleh kehidupan yang lebih baik.

  Menurut Depdiknas (2003), pengajaran sejarah di sekolah juga berfungsi untuk menyadarkan siswa akan adanya proses perubahan dan perkembangan masyarakat dalam dimensi waktu dan untuk membangun perspektif serta kesadaran sejarah dalam menemukan, memahami, dan menjelaskan jati diri bangsa di masa lalu, masa kini dan masa depan di tengah-tengah perubahan dunia.

  Pembelajaran sejarah, selain bertugas memberikan pengetahuan sejarah (kognitif), tetapi juga untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsanya (afektif). Kedua hal ini tidak akan memiliki arti bagi kehidupan peserta didik pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang, apabila peserta didik tidak mampu memahami maknanya. Mengingat setiap peserta didik memiliki kemampuan yang tidak sama untuk menangkap makna yang ada dibalik ceritera sejarah, maka setiap pengajar sejarah seyogianya selalu menekankan pada arti dan makna dari setiap peristiwa yang dipelajarinya. Hal ini menjadi semakin penting apabila dikaitkan dengan pendapat Sartono Kartodirdjo tentang fungsi pembelajaran sejarah yaitu: 1) untuk membangkitkan minat kepada sejarah tanah airnya; 2) untuk mendapatkan inspirasi dari sejarah, baik dari kisah-kisah kepahlawanan baik peristiwa-peristiwa yang merupakan tragedi nasional; 3) memberi pola berpikir ke arah berpikir secara rasional, kritis, dan empiris; dan 4) mengembangkan sikap mau menghargai nilai-nilai kemanusiaan (Aman, 2011:100).

2. Pendidikan Karakter

  Pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai pendidikan yang mengembangkan karakter yang mulia (good character) dari peserta didik dengan mempraktikan dan mengajarkan nilai-nilai moral dan pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungannya dengan Tuhannya. Definisi ini dikembangkan dari definisi yang dimuat dalam Funderstanding. Departemen Pendidikan Amerika Serikat mendefiniskan pendidikan karakter sebagai berikut: “Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan berpikir dan kebiasaan berbuat yang dapat membantu orang-orang hidup dan bekerja sama sebagai keluarga, sahabat, tetangga, masyarakat, dan bangsa”. Menjelaskan pengertian tersebut dalam brosur Pendidikan Karakter (Character Education brochure) dinyatakan bahwa: Pendidikan karakter adalah suatu proses pembelajaran yang memberdayakan siswa dan orang dewasa di dalam komunitas sekolah untuk memahami, peduli tentang, dan berbuat berlandaskan nilai-nilai etik seperti respek, keadilan, kebajikan warga (civic virtue) dan kewarganegaraan (citizenship), dan bertanggung jawab terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain” (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Menurut Winton, dalam pengertian yang sederhana pendidikan karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karakter siswa yang diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Pendidikan karakter telah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yang mendukung pengembangan sosial, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untuk membantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan ketabahan (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter menurut Burke semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik (Muchlas Samani & Hariyanto, 2012:42).

  Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan sengaja untuk mengembangkan karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan- kebajikan inti (core virtues) yang secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat. Kebajikan-kebajikan inti di sini merujuk pada dua kebajikan fundamental dan sepuluh kebajikan esensial sebagaimana telah diuraikan di atas (Saptono, 2011:23).

3. Penelitian Relevan

  Penelitian secara khusus mengenai pelaksanaan pendidikan karakter dalam pelaksanaan pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto tahun 2017/2018, sejauh pengamatan peneliti penelitian ini belum pernah dilakukan. Untuk inilah peneliti mencoba mengungkap tentang Pelaksanaan Pendidikan

  

Karakter dalam Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto Tahun

2017/2018. Penelitian ini merujuk pada beberapa tinjauan pustaka yang peneliti

  gunakan, tinjauan pustaka tersebut terdiri dari penelitian yang berkaitan dengan pendidikan karakter yang sudah ada diantaranya yaitu : Jurnal yang ditulis oleh Yulia Citra tahun 2012 dengan judul

  

“Pelaksanaan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran” membahas tentang

  pelaksanaan pelajaran pendidikan karakter di SLB Negeri 2 Padang. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pelaksanaan pendidikan karakter SLB Negeri 2 Padang Sarai terkait terhadap kebijakan dan administrasi sekolah untuk memberikan dukungan bagi pengajaran dan proses pembelajaran yang mengandung nilai seperti karakter, lingkungan sekolah, guru mampu menerapkan pengetahuan PBM yang memiliki nilai karakter, kompetensi guru di pendidikan karakter, kurikulum yang digunakan, penilaian dan dukungan masyarakat untuk pelaksanaan pendidikan karakter.

  Jurnal yang ditulis oleh Zulnuraini tahun 2012 dengan judul “Pendidikan

  

Karakter: Konsep, Implementasi dan Pengembangannya di Sekolah Dasar di

Kota Palu membahas tentang pendidikan karakter di wilayah Kota Palu sudah

  mulai diintegrasikan dalam kurikulum dihampir semua jenjang pendidikan, namun di sisi lain pemahaman dan penguasaan guru terhadap konsep pendidikan karakter perlu ditinjau lebih lanjut. Guru belum memahami hakikat tentang konsep pendidikan karakter. Muatan nilai-nilai karakter yang terdapat dalam pembelajaran pada saat melakukan kegiatan pembelajaran meliputi; nilai disiplin (discipline), rasa hormat dan perhatian (respect), tekun (diligence), tanggung jawab (responsibility), dapat dipercaya (trustworthiness), berani (courage), ketulusan (honesty), integritas (integrity), peduli (caring), jujur (fairness), kewarganegaraan (citizenship), ketelitian (carefulness).

  Jurnal yang ditulis oleh Ali Ramdhani tahun 2014 dengan judul

  

“Lingkungan Pendidikan dalam Implementasi Pendidikan Karakter”

  membahas tentang makna dan peran lingkungan pendidikan dalam pendidikan karakter. Metode analisis yang digunakan dalam pembahasan topik utama menggunakan model analisis causal efektual dengan meninjau hubungan rasional, yang menganalisa hubungan sebab akibat antara lingkungan pendidikan pada pendidikan karakter dengan sumber utama dari literature review. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan memberikan pengaruh besar dalam pendidikan karakter. Artikel ini berkesimpulan bahwa untuk penyelenggaraan pendidikan karakter perlu ditopang oleh lingkungan pendidikan yang baik.

  Jurnal yang ditulis oleh Rabiatul Adawiah tahun 2016 dengan judul “Profeseonalitas Guru dan Pendidikan Karakter (Kajian Emperis di SDN

  Kabupaten Balangan) membahas tentang pengembangan nilai karakter yang

  dilakukan guru baik melalui kompetensi pedagogic, professional, kepribadian maupun sosial. Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif.

  Pengumpulan data dilakukan dengan kuesioner, dan data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengembangan nilai-nilai karakter yang dilakukan oleh guru Balangan baik melalui kompetensi pedagogik, kompetensi professional dan kompetensi kepribadian berkategori tinggi, sedangkan melalui kompetensi sosial berkategori sedang. Dari penelitian ini disarankan, perlunya peningkatan pengembangan nilai-nilai karakter melalui kompetensi sosial sehingga keberhasilan pengembangan nilai-nilai karakter bisa mencapai hasil yang optimal.

  Jurnal yang ditulis oleh Noviani Achmad tahun 2011 dengan judul “Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Melalui Mata Pelajaran

  

Sosiologi” membahas tentang model penanaman nilai-nilai pendidikan

  karakter melalui mata pelajaran Sosiologi. Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 5 Semarang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang dilaksanakan dengan cara diintegrasikan ke semua mata pelajaran yang ada. Penanaman nilai-nilai pendidikan karakter melalui mata pelajaran Sosiologi dapat ditinjau dari beberapa aspek, di antaranya: materi Sosiologi yang telah dianalisis nilai-nilai karakternya, RPP dan Silabus Sosiologi yang berkarakter, metode penanaman oleh guru, media pembelajaran berbasis karakter dan evaluasi penanaman nilai-nilai pendidikan karakter.

  Pengembangan dan penanaman nilai-nilai pendidikan karakter di SMA Negeri

  5 Semarang juga dilakukan melalui penyediaan fasilitas seperti tempat ibadah, laboratorium bahasa dan budaya serta Pusat Sumber Belajar yang baik serta ditunjang dengan berbagai program sekolah mulai dari ekstra kurikuler, pengembangan budaya sekolah, wawasan wiyata mandala dan tentunya ditunjang dengan visi dan misi sekolah yang ada.

  Dari penelitian-penelitian yang relevan ini memiliki kesamaan, yaitu sama-sama membahas mengenai pelaksanaan pendidikan karakter.

  Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini berbeda dengan penelitian yang lainnya, hal ini karena dalam penelitian lainnya membahas mengenai pelaksanaan pendidikan karakter bukan dalam pembelajaran sejarah, sedangkan dalam penelitian ini, peneliti membahas mengenai strategi pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran khususnya mata pelajaran sejarah sehingga berbeda dengan penelitian lainnya.

F. Kerangka Teoritis dan Pendekatan

1. Kerangka Teoritis

  Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan untuk mengkaji tentang perkembangan karakter dalam pendidikan sehingga peneliti menggunakan teori pengembangan karakter dalam penelitian ini. Pengembangan atau pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah untuk menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak- anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup. Karakter dikembangkan melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut. Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri.

  Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan (moral).

  Dimensi-dimensi yang termasuk dalam moral knowing yang akan mengisi ranah kognitif adalah kesadaran moral (moral awareness), pengetahuan tentang nilai-nilai moral (knowing moralvalues), penentuan sudut pandang (perspective

  

taking ), logika moral (moral reasoning), keberanian mengambil sikap (decision

making ), dan pengenalan diri (self knowledge).

  

Moral feeling merupakan penguatan aspek emosi peserta didik untuk

  menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang harus dirasakan oleh peserta didik, yaitu kesadaran akan jati diri (conscience), percaya diri (self esteem), kepekaan terhadap derita orang lain (emphaty), cinta kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), kerendahan hati (humility).

  Moral action merupakan perbuatan atau tindakan moral yang merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter yaitu kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit).

  Pengembangan karakter dalam suatu sistem pendidikan adalah keterkaitan antara komponen-komponen karakter yang mengandung nilai-nilai perilaku, yang dapat dilakukan atau bertindak secara bertahap dan saling berhubungan antara pengetahuan nilai-nilai perilaku dengan sikap atau emosi yang kuat untuk melaksanakannya, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional.

  Kebiasaan berbuat baik tidak selalu menjamin bahwa manusia yang telah terbiasa tersebut secara sadar menghargai pentingnya nilai karakter. Karena mungkin saja perbuatannya tersebut dilandasi oleh rasa takut untuk berbuat salah, bukan karena tingginya penghargaan akan nilai itu. Misalnya ketika seseorang berbuat jujur hal itu dilakukan karena dinilai oleh orang lain, bukan karena keinginannya yang tulus untuk menghargai nilai kejujuran itu sendiri.

  Oleh karena itu dalam pendidikan karakter diperlukan juga aspek perasaan (domain affection atau emosi). Komponen ini dalam pendidikan karakter disebut dengan “desiring the good” atau keinginan untuk berbuat kebaikan.

  Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral

  

action . Dengan kata lain, makin lengkap komponen moral dimiliki manusia,

maka akan makin membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.

  Menurut Mochtar Buchori (2007), pengembangan karakter seharusnya membawa anak ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Untuk sampai ke praksis, ada satu peristiwa batin yang amat penting yang harus terjadi dalam diri anak, yaitu munculnya keinginan yang sangat kuat (tekad) untuk mengamalkan nilai. Peristiwa ini disebut Conatio, dan langkah untuk membimbing anak membulatkan tekad ini disebut langkah konatif.

  Pendidikan karakter mestinya mengikuti langkah-langkah yang sistematis, dimulai dari pengenalan nilai secara kognitif, langkah memahami dan menghayati nilai secara afektif, dan langkah pembentukan tekad secara konatif. Ki Hajar Dewantoro menterjemahkannya dengan kata-kata cipta, rasa, karsa.

  Thomas Lickon mengatakan “seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang sangat tepat. Diharapkan pembentukan karakter pada periode ini akan memiliki dampak yang akan bertahan lama terhadap pembentukan moral anak. Sangatlah wajar jika kita mengharapkan keluarga sebagai pelaku utama dalam mendidik dasar –dasar moral pada anak. Akan tetapi banyak anak, terutama anak-anak yang tinggal di daerah miskin, tidak memperoleh pendidikan moral dari orang tua mereka. Kondisi sosial-ekonomi yang rendah berkaitan dengan berbagai permasalahan, seperti kemiskinan, pengangguran, tingkat pendidikan rendah, kehidupan bersosial yang rendah, biasanya berkaitan juga dengan tingkat stres yang tinggi dan lebih jauh lagi berpengaruh terhadap pola asuhnya.

  Pada saat proses dan setelah proses pembelajaran sejarah, diharapkan anak didik dapat memiliki karakter yang baik. Ada 19 nilai karakter tersebut antara lain: religius, tanggung jawab, cerdas, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli, gotong royong, percaya diri.

  Sikap religius bisa didapatkan dari materi pelajaran sejarah tentang proklamasi kemerdekaan, para tokoh pahlawan sedang berpuasa Ramadhan saat pembacaan naskah teks proklamasi, dalam sila pertama dasar negara Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dan juga dalam Undang- Undang Dasar Republik Indonesia para tokoh pahlawan merumuskan kalimat “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Sikap semangat kebangsaan & cinta tanah air juga bisa didapatkan dari pembelajaran sejarah karena sejarah membuat anak didik tidak lupa akan asal-usul berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia berasal dari semangat perjuangan bersatunya rakyat Indonesia mengorbankan jiwa dan raga dalam melawan penjajah sehingga menumbuhkan sikap semangat kebangsaan & cinta tanah air pada anak didik dan membuat anak didik saat dewasa tidak mengkhianati NKRI.

  Sikap toleransi juga bisa didapatkan dari pembelajaran sejarah tentang konsep kebhinekaan yaitu Bhineka Tunggal Ika, walaupun bangsa Indonesia masyarakatnya memiliki banyak perbedaan karena terdiri dari berbagai macam ras, suku, agama, dan golongan namun tetap satu dan bersatu karena Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri bukan dari satu ras, suku, agama, atau golongan saja tetapi Indonesia merdeka dari berbagai macam ras, suku, agama, dan golongan. Sehingga anak didik harus mempunyai sikap toleransi kepada semua manusia, tidak boleh membeda-bedakan manusia. Sikap kerja keras anak didik bisa didapatkan dari peristiwa perjuangan rakyat Indonesia yang tidak mudah menyerah dalam menghadapi penjajah walau selalu gagal saat berperang melawan penjajah namun akhirnya Indonesia bisa merdeka karena kerja keras rakyat Indoesia yang berapi-api dalam melawan penjajahan di bumi Indonesia.

2. Pendekatan

  Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan pendekatan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus. Pengertian ini hanya mempersoalkan dua aspek yaitu pendekatan penelitian yang digunakan adalah naturalistik sedang upaya dan tujuannya adalah memahami suatu fenomena dalam suatu konteks khusus. Hal itu berarti bahwa tidak seluruh konteks dapatlah diteliti tetapi penelitian kualitatif itu harus dilakukan dalam suatu konteks yang khusus (Moleong, 2013:5). Kajian naturalistik melihat situasi nyata yang berubah secara alamiah, terbuka, tidak ada rekayasa pengontrolan variabel (Nana, 2011:95).

  Alih-alih merancang skema atau cara yang terlalu menyederhanakan kerumitan kehidupan sehari-hari, penelitian naturalistik mengasumsikan bahwa perilaku dan makna yang dianut sekelompok manusia hanya dapat dipahami melalui analisis atas lingkungan alamiah (natural setting) mereka. Oleh karena itu, situasi yang alamiah, bukan situasi buatan seperti eksperimen atau wawancara formal, harus menjadi sumber data. Realitas eksis di dunia empiris dalam arti dialami dan bukan pada metode yang digunakan untuk menelaah dunia tersebut. Realitas harus ditemukan dengan memeriksa dunia tersebut, tetapi metode sekadar instrumen yang dirancang untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakter dunia empiris (Deddy, 2010:159).

  Selain menggunakan manusia sebagai instrumennya, penelitian naturalistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Deddy, 2010:160) : a. Realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari konteksnya, tidak pula dapat dipisahkan agar bagian-bagiannya dapat dipelajari. Keseluruhan lebih daripada sekadar bagian-bagian.

  b. Penggunaan pengetahuan tersembunyi adalah absah. Intuisi dan perasaan seabsah pengetahuan yang dinyatakan dalam bahasa karena hal-hal tersebut juga mengekspresikan nuansa-nuansa realitas ganda; dan karena interaksi antarmanusia juga bersifat demikian.

  c. Hasil (penelitian) yang dinegosiasikan adalah penting. Makna yang dinegosiasikan dan interpretasi antara peneliti dan manusia (subjek penelitian) perlu karena konstruksi realitas pihak kedualah yang ingin direkonstruksi pihak pertama. d. Penafsiran atas data (termasuk penarikan kesimpulan) bersifat ideografis atau berlaku khusus, bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi karena penafsiran yang berbeda lebih bermakna bagi realitas yang berbeda pula; dan karena penafsiran bergantung pada nilai-nilai kontekstual, termasuk hubungan peneliti-responden (objek) yang bersifat khusus.

  e. Temuan (penelitian) bersifat tentatif. Hasil penelitian naturalistik bersifat ragu untuk membuat generalisasi yang luas karena realitas bersifat ganda dan berbeda dan karena temuan bergantung pada interaksi antara peneliti dan responden dan mungkin tidak dapat karena melibatkan nilai-nilai, lingkungan, pengalaman, dan orang-orang khusus.

G. Metode Penelitian

   Analisis kualitatif menurut Miles & Huberman (Miles & Huberman, 1992:15) : 1.) Pertama, data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka.

  Data itu telah dikumpulkan dalam aneka macam cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, pita rekaman), dan yang biasanya “diproses” kira-kira sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih tulis), tetapi analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun ke dalam teks yang diperluas. 2.) Reduksi Data

  Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Selama pengumpulan data berlangsung, terjadilah tahapan reduksi selanjutnya(membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, menulis memo).

  Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Ia merupakan bagian dari analisis. Pilihan-pilihan peneliti tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, cerita-cerita apa yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan

  

pilihan-pilihan analitis. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang

  menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan- kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi. 3.) Penyajian Data Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.

  Dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan mudah diraih, dengan demikian seorang penganalisis dapat melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang dikiaskan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin berguna.

  Catatlah dengan seksama sebagaimana halnya dengan reduksi data, penciptaan dan penggunaan penyajian data tidaklah terpisah dari analisis. Merancang deretan dan kolom-kolom sebuah matriks untuk data kualitatif dan memutuskan jenis dan bentuk datayang harus dimasukkan ke dalam kotak- kotak matriks merupakan kegiatan analisis. 4.) Menarik Kesimpulan/Verivikasi

  Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Dalam permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi.

  Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya. Jika tidak demikian, yang kita miliki adalah cita-cita yang menarik mengenai sesuatu yang terjadi dan yang tidak jelas kebenarannya dan kegunaannya.

  Telah dikemukakan tiga hal utama, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verivikasi sebagai sesuatu yang jalin-menjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar, untuk membang un wawasan umum yang disebut “analisis”. Proses Analisis Data

  Menurut Miles & Hubberman, Marshall & Rossman serta Bogdan & Biklen (dalam Tohirin, 2013:26), proses penganalisisan data kualitatif terbagi kepada dua tahap, yaitu ketika dan setelah proses pengumpulan data.

   Pertama , ketika proses pengumpulan data. Ketika pengumpulan data

  dilakukan terutama melalui teknik wawancara, peneliti harus memastikan bahwa peserta penelitian merasa nyaman. Selain itu, juga meminta kerja sama dari pihak-pihak lain yang terkait dengan penelitian yang sedang dilakukan untuk melakukan wawancara. Proses wawancara harus dipastikan berjalan secara lancar. Semua hasil wawancara dengan peserta penelitian harus direkam dalam kaset dan diberi tanda (kode) untuk memudahkan proses analisis.

  

Kedua, setelah proses pengumpulan data. Setelah semua wawancara

  selesai dilakukan, data wawancara dianalisis mengikuti tujuh tahapan, yaitu : 1.) Semua data yang terekam dalam kaset diterjemahkan dalam bentuk deskriptif atau transkrip wawancara. Proses penyalinan wawancara dari kaset ke dalam bentuk transkrip biasanya memerlukan waktu agak lama karena semua data perlu disalin seutuhnya, sehingga ia merupakan suatu proses yang rumit. 2.) Setelah data disalin dalam bentuk transkrip, peneliti membuat proses reduksi, yaitu memberikan kembali kepada peserta penelitian untuk menyemak jika terdapat hal-hal yang perlu dibuang atau ditambah dalam transkrip wawancara peserta penelitian tersebut. Di sini terjadi proses pengubahsuaian data wawancara di mana ada beberapa data wawancara yang tidak direkam dimasukkan ke dalam transkrip.

  3.) Setelah transkrip disemak oleh peserta penelitian, peneliti membangun tema tentang fokus penelitiannya berdasarkan jawaban peserta penelitian. Tema ini penting karena ia merupakan fokus utama menjadi asas untuk peneliti dalam mengolah hasil wawancara berdasarkan tema tersebut.

  4.) Setelah tema diketahui dengan jelas, selanjutnya dilakukan proses pemberian kode. Proses memberikan kode melibatkan banyak tema sampingan yang muncul selain tema utama. Dari proses memberi kode, peneliti dapat melihat keseluruhan sesuatu tema yang dominan.

  Tahap ini juga merupakan proses yang agak rumit dan memakan waktu yang agak lama untuk mengenali dengan jelas keseluruhan tema dalam wawancara. Perencanaan perlu dibuat terhadap pemberian kode semua catatan transkripsi wawancara. Untuk proses pengesanan (identifikasi) tema utama penelitian maka diberi kode tertentu sesuai tema penelitian. Selanjutnya untuk proses pengesanan sub-subtema penelitian juga harus diberi kode tertentu pula. 5.) Setelah tema diketahui secara jelas, selanjutnya peneliti membuat definisi secara operasional setiap tema yang telah dibuat atau menguraikan secara jelas tema-tema yang dimaksud. Definisi secara operasional penting karena ia menjelaskan pengertian setiap tema yang timbul dalam wawancara tersebut. 6.) Tahap ini melibatkan proses menentukan sama ada tema yang dikumpulkan itu dapat dipercayai ataupun tidak. Menurut Marshall el at. penggunaan tema dan sub tema memudahkan memahami keseluruhan bahan penelitian dan menganalisis data yang diperoleh.

  Sementara Miles et al. menyatakan bahwa aplikasi tema dan subtema menjelaskan corak dan sistematika hasil penelitian, memudahkan analisis menurut kebutuhan penelitian. Pemunculan tema dan subtema dalam penelitian digunakan untuk mengelompokkan jawaban dari satu peserta penelitian dan peserta penelitian lainnya yang teliti serta jawaban dari informan tambahan jika ada. Proses ini agak rumit karena tema dianalisis menggunakan Analisis Indeks Cohen Kappa (AICK). Cohen telah memperkenalkan satu metode untuk menentukan kebenaran data kualitatif dalam bentuk wawancara. Analisis Indek Cohen Kappa (AICK) bertujuan untuk mencari tingkat persetujuan unit analisis dengan tema atau konstruk yang diteliti. Ini dilakukan dengan membuat padanan unit-unit analisis dengan tema-tema yang dominan dalam suatu data kualitatif seperti dalam wawancara.

  Landis dan Kosh memberikan petunjuk cara perhitungan persetujuan menggunakan skala Cohen Kappa. Cara perhitungan demikian telah juga dilakukan dalam berbagai penelitian kualitatif. Proses Analisis Indek Cohen Kappa dapat digunakan oleh peneliti untuk memberi tema yang dijumpai dalam wawancara bersama definisi dan contoh unit (petikan wawancara) kepada pakar kualitatif yang mengetahui proses Analisis Indek Cohen Kappa untuk menentukan tahap persetujuan tema tertentu. Untuk itu peneliti dapat menggunakan dua pakar yang mengetahui proses menilai tema yang dijumpai.

  7.) Setelah proses Analisis Indek Cohen Kappa, proses penulisan laporan dibuat secara deskriptif mengikuti tema dalam beberapa konteks.

H. Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

  Penyajian hasil penelitian terdiri dari lima bab :

  a. BAB PERTAMA, berisi Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoretis dan pendekatan, metode penelitian.

  b. BAB DUA, berisi tentang pembahasan mengenai pandangan guru sejarah tentang pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  c. BAB TIGA, berisi tentang pembahasan mengenai pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  d. BAB EMPAT, berisi tentang pembahasan mengenai hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter dalam pembelajaran sejarah di SMA Negeri 4 Purwokerto.

  e. BAB LIMA, berisi tentang simpulan dan saran.