GANGSING - ISI Denpasar | Institutional Repository

  

GANGSING

  1

  2

  3 I Made Adi Sanjaya , Tri Haryanto , I Ketut Partha 1.

  Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar 2. Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar 3. Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasar

Jln. Nusa Indah Denpasar 80235

  

E-ma

Abstrak

  Gamelan sudah tidak asing lagi bagi orang Bali karena di setiap desa masing-masing hampir mempunyai

seperangkat gamelan. Di Bali banyak terdapat jenis barungan gamelan yang dalam perkembangan sejarahnya dapat di

kelompokan menjadi tiga bagian, yaitu: golongan tua, golongan madya dan golongan baru. Dari ketiga golongan di atas

ada barungan Semar Pagulingan yang memakai laras pelog tujuh nada, terdiri dari lima nada pokok dan dua nada pemero

(Bandem, 1986:52). Gangsing merupakan garapan karawitan tradisi yang terinspirasi dari mainan gangsing yang

menceritakan tentang pembuatan gangsing, percobaan gangsing sampai gangsing itu diadu. Karya ini menggunakan

konsep tri angga. Karya yang bersumber dari pola-pola tradisi gamelan Bali yang diolah dan dikembangkan sesuai dengan

daya kreatif penata agar sesuai dengan ide garapan. Garapan gangsing ini berdurasi selama 14-15 menit dan didukung

oleh 22 orang termasuk penggarap yaitu pemain dari Sanggar Seni Aswini Kembar.

  Metode penciptaan adalah proses kreativitas meliputi tahap penjajagan (eksplorasi) yaitu proses penggarap

dalam menemukan ide, mencari literatur serta menetapkan alat dan pendukung; tahap percobaan (improvisasi) yaitu

mencoba teknik permainan instrumen serta mulai menuangkan garapan melalui media elektronik; tahap pembentukan

(forming) yaitu menggabungkan, memilih, mempertimbangkan agar menjadi keterpaduan yang estetis. Garapan ini

berwujud konkrit, merupakan sebuah garapan konser karawitan tradisi menggunakan media ungkap Semar Pegulingan

dalam penotasian menggunakan Pengangge Aksara Bali. Struktur garapan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing

bagian mengandung cerita. Secara estetis garapan ini meliputi kerumitan, penonjolan, keutuhan, keseimbangan. Secara

materi meliputi melodi, tempo, ritme, dinamika. Garapan ini disajikan dalam wujud konser karawitan tradisi dengan

setting instrumen, tata busana, tata lampu yang sesuai dengan tema. Kata kunci:gangsing, tradisi

  

Abstract

Gamelan is no stranger to the Balinese because in every village each has almost a set of gamelan. In Bali there

are many types of barungan gamelan which in the development of history can be grouped into three parts, namely: old

groups, middle classes and new groups. Of the three groups above there is a barungan Semar Pagulingan wearing a pelog

seven tunes, consisting of five basic notes and two tone pemero (Bandem, 1986: 52). Gangsing is a garapan karawitan

tradition inspired by gangsing toys that tell about making gangsing, gangsing experiment until gangsing pitted. This work

uses the concept of tri angga. The work that comes from the patterns of Balinese gamelan tradition that are processed and

developed in accordance with the creative power of the stylists to fit the idea of arable. This gangsing cultivation duration

for 14-15 minutes and supported by 22 people including tenants are players from Sanggar Seni Aswini Kembar.

  Creation method is the process of creativity includes the stage of exploration (exploration) is the process of tillers

in finding ideas, looking for literature and set tools and supporters; stage experiment (improvisation) is to try the technique

of playing the instrument and start pouring the claim through electronic media; the forming stage of combining, selecting,

considering an aesthetic integration. This concrete tangible garapan, is a cultivation of concert karawitan tradition using

the media said Semar Pegulingan in pengotasian using Balinese script Balinese. The structure of the cultivation consists

of three parts, each containing a story. Aesthetically this claim includes complexity, protrusion, wholeness, balance.

Material includes melody, tempo, rhythm, dynamics. This cultivation is presented in the form of concert karawitan

tradition with setting instruments, clothing, lighting in accordance with the theme.

  Keywords: gangsing, tradition

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Gamelan sudah tidak asing lagi bagi orang Bali karena di setiap desa masing-masing hampir mempunyai seperangkat gamelan. Ada yang berupa gamelan yang di sakralkan yang dimainkan pada saat ada upacara Dewa Yadnya saja. Namun yang mempunyai seperangkat gamelan modern maka mereka sangat mudah mempelajarinya. Dan mereka tau nama dari masing-masing gamelan itu, jenis gamelannya, dan cara memainkannya atau cara menggunakan masing-masing gamelan itu sesuai dengan tangga nada masing-masing. Ada beberapa fungsi dari gamelan yang ada di Bali, diantaranya: berfungsi untuk mengiringi upacara keagamaan, hiburan, presentasi yang artistik, (Bandem, 1986:46).

  Bali di tandai dengan kebudayaan Hindu, mempunyai jenis-jenis gamelan (musik) yang paling tua/sederhana sampai dengan yang paling baru/modern. Kehidupan gamelan tidak dapat di pisahkan dengan Agama. Perkembangan gamelan di Bali tidak lepas dari penyebaran Agama Hindu, dan sampai saat ini ada berjenis-jenis gamelan yang dapat di golongkan menjadi tiga bagian yaitu: gamelan tua, gamelan madya, dan gamelan golongan baru.

  Di Bali banyak terdapat jenis barungan gamelan yang dalam perkembangan sejarahnya dapat di kelompokan menjadi tiga bagian, yaitu: a.

  Golongan Tua merupakan barungan gamelan yang tidak banyak menggunakan instrumen kendang.

  Bahkan ada yang tidak sama sekali menggunakan kendang seperti gamelan Selonding, Gambang, dan Gender Wayang.

  b.

  Golongan Madya merupakan gamelan yang mempunyai ciri-ciri dengan masuknya instrumen kendang kedalamnya. Khususnya di Bali instrumen kendang merupakan instrumen baru bila dibandingkan dengan instrumen yang dibuat dari besi dan kerawang. Seperti gamelan Gambuh, Semar Pagulingan, dan Bebarongan.

  c.

  Golongan Baru merupakan gamelan yang ciri-cirinya terletak pada penggunaan instrumen kendang yang biasanya terdapat demontrasi kendang tunggal dan ciri khas dari gamelan golongan baru akan lebih jelas kelihatan pada gamelan Gong Kebyar. Dari ketiga golongan di atas ada barungan Semar Pagulingan adalah relasi untuk raja-raja zaman dahulu, terletak antara gamelan Gambuh dan Legong. Semar Pagulingan dipakai untuk mengiringi raja-raja sewaktu diperaduan yang juga mengiringi tari Legong dan Gandrung yang semula dilakukan oleh abdi-abdi raja. Gamelan Semar Pagulingan memakai laras pelog tujuh nada, terdiri dari lima nada pokok dan dua nada pemero (Bandem, 1986:52).

  Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah terompong yang merupakan

  

pemangku melodi. Sebagai pengisi melodi adalah jublag dan sebagai penekanan melodi adalah jegog,

  sementara kendang adalah instrumen yang memimpin perubahan dinamika lagu. Dalam Gamelan Semar Pagulingan dikenal adanya tujuh jenis patet yaitu selisir, baro, patemon, tembung, sundaren, pangenter ageng,

  pangenter alit (Kartawan, 2009:34) Dari pemahaman di atas maka penata memakai gamelan Semar Pagulingan sebagai medium penciptaan.

  Ketertarikan penggarap untuk membuat sebuah garapan yang menggunakan gamelan Semar Pagulingan dikarenakan barungan ini bisa menggunakan tujuh patet sehingga bisa menimbulkan nuansa yang berbeda- beda. Hal ini diharapkan menjadi suatu tantangan bagi penata untuk mengembangkan potensi garapan tradisi. Beranjak dari hal tersebut penata membuat karya yang menggunakan medium gamelan Semar Pagulingan dalam bentuk tabuh kreasi yang berjudul “Gangsing”.

  Gangsing (atau juga disebut Gasing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkeseimbangan pada suatu titik. Gangsing merupakan mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi yang masih bisa dikenali. Selain merupakan mainan anak-anak dan orang dewasa, gangsing juga digunakan untuk berjudi dan ramalan nasib. Sebagian besar gangsing dibuat dari kayu, walaupun sering dibuat dari plastik, atau bahan-bahan lain. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gangsing. Tali gangsing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gangsing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gangsing berbeda-beda tergantung dari panjang lengan orang yang memainkan serta besar kecilnya gangsing. Gerakan gangsing berdasarkan efek giroskopik, yaitu kecepatan berkurang sedikit demi sedikit hingga menjadi lambat dan akhirnya berhenti. Gangsing biasanya berputar terhuyung-huyung untuk beberapa saat hingga interaksi bagian kaki dengan permukaan tanah membuatnya tegak. Setelah gangsing berputar tegak untuk sementara waktu, momentum sudut dan efek giroskopik berkurang sedikit demi sedikit hingga akhirnya bagian badan terjatuh secara kasar ke permukaan tanah.

  Permainan gangsing sebenarnya bukan sekedar bentuk hiburan, namun bagi masyarakat Buleleng Bali, yakni Desa Umajero, gangsing punya filosofi mendalam terkait kehidupan. Perputaran gangsing di sebuah poros mengibaratkan keseimbangan, ketahanan dan keindahan. Tiga elemen yang bila diserap ke dalam jiwa, akan menjadikan kehidupan yang lebih berkualitas. Keseimbangan mengibaratkan seorang dengan yang lainnya berbeda agama namun tetap menjaga toleransi diantara mereka, ketahanan mengibaratkan dalam suatu negara pertahanannya dilakukan oleh perorangan maka tidak akan tercapai kesejahteraan masyarakat, maka dari itu asas kekeluargaan mengandung nilai kebersamaan, gotong royong, dan keadilan sosial, seni keindahan mengibaratkan adanya kerukunan diantara umat beragama dan sikap saling tolong menolong bagi umat beragama (sumber: unduh 20 Februari 2017).

  Berbagi pilihan hidup untuk memperoleh pilihan yang terbaik dan tepat dalam tatanan yang harmonis pada kehidupan pribadi manusia dan alam semesta, maka dibutuhkan sebuah sistem yang tepat yang dapat menyelesaikan berbagai persoalan. Sejalan dengan ini, maka munculah berbagai macam pemikiran ataupun ideologi-ideologi yang semua itu menawarkan konsep-konsep yang diangggap paling bijaksana untuk menjalani kehidupan ini (sumber: unduh 20 Februari 2017).

  Gangsing akan berpindah-pindah jika permainan gangsing dilakukan di tempat yang datar dan keras. Faktor lain yang membuat gangsing berpindah-pindah antara lain: jika gangsing itu di benturkan dengan gangsing lain, gangsing yang dibenturkan ke tembok, dan lainnya. Dari keunikan gangsing tersebut penata tertarik untuk mengaplikasikan ke dalam sebuah tabuh kreasi Semar Pegulingan dengan menggunakan konsep

  

tri angga, yaitu kawitan, pengawak, dan pengecet dari pembuatan gangsing, percobaan gangsing, sampai

  gangsing itu diadu, dan perputaran gangsing yang sedikit demi sedikit menjadi lambat sampai berhenti. Dalam karya ini, pola-pola tradisi seperti teknik ubit-ubitan dan unsur-unsur tradisi lainya seperti melodi, tempo, ritme, harmoni, dan dinamika masih digunakan, karena unsur musikal dalam karawitan tidak akan lepas dari unsur tersebut.

  1.2 Tujuan Garapan Pada hakikatnya, dalam menuangkan sebuah karya atau menciptakan sesuatu pasti mempunyai tujuan.

  Secara umum untuk memenuhi persyaratan penyelesaian studi S1 Jurusan Seni Karawitan di Institut Seni Indonesia Denpasar, menambah jumlah komposisi karawitan Bali dengan menggunakan media ungkap barungan gamelan Semar Pagulingan dan untuk menampilkan tradisi musik Bali yang masih melekat kuat kepada penonton.

  1.3 Manfaat Garapan

  Adapun manfaat karya ini adalah Meningkatkan kreativitas dalam berkarya seni, khususunya dalam penciptaan sebuah komposisi musik serta menambah wawasan dan pengalaman dalam berkarya seni, menambah khasanah seni pertunjukan di lingkungan Institut Seni Indonesia Denpasar, khususnya Seni Karawitan, yang kiranya bermanfaat sebagai acuan, serta sebagai bahan perbandingan dalam meningkatkan kreativitas dikalangan seniman akademik.

  1.4 Ruang Lingkup

  Untuk menghindari salah persepsi atau terjadinya perbedaan pemahaman dalam penciptaan karya seni ini, maka sangat diperlukan kejelasan mengenai pembatasan dan ruang lingkup terhadap karya ini, yang dapat disampaikan sebagai berikut. Garapan ini tidak terlepas dari tradisi-tradisi Bali yang ada, seperti teknik permainan, pengolahan dinamika, dan yang utama adalah masih menggunakan pola-pola kendang yang ada. Garapan ini juga merupakan sebuah garapan kreativitas yang mengacu pada garapan yang menekankan pada pola tradisi. Menggali ide-ide atau gagasan-gagasan, serta upaya pengembangan dengan memasukkan unsur- unsur ubit-ubitan dengan pengolahan yang kreatif, seperti misalnya memanfaatkan patet yang ada dalam gamelan Semar Pagulingan. Dalam garapan ini penggarap menggunakan barungan gamelan Semar Pagulingan. Jumlah pemain dalam garapan ini sebanyak 22 pendukung termasuk penata.

2. IDE DAN KONSEP PENCIPTAAN

  Ide garapan adalah proses awal dari sebuah penciptaan yang merupakan gagasan atau pikiran yang ingin disampaikan oleh seorang penggarap lewat suatu hasil karyanya. Ide atau gagasan tidak muncul begitu saja, karena apapun sumber penciptaan yang dilahirkan di dalam sebuah karya seni diikuti adanya suatu pertanggungjawaban yang mengikutinya. Apakah itu dihadirkan secara mutlak ataukah selintas makna tetapi dapat dirunut atau diduga penampilannya dalam sebuah karya.

  Ide garapan Gangsing ini terinspirasi dari ketertarikan penata terhadap keunikan sebuah mainan dari cara membuatnya, percobaan gangsing, sampai gangsing itu diadu, dan perputaran gangsing yang sedikit demi sedikit menjadi lambat sampai berhenti. Dari sana timbul suatu keinginan membuat suatu garapan Tabuh Kreasi Semar Pagulingan dengan memakai konsep tradisi, yaitu tri angga. Dari judul tersebut penata jelaskan bahwa judul

  GANGSING” merupakan cermin dari filosofi kehidupan. Karya ini menggunakan konsep tri

angga , yaitu kawitan, pengawak, dan pengecet. Karya yang bersumber dari pola-pola tradisi gamelan Bali

  yang diolah dan dikembangkan sesuai dengan daya kreatif penata agar sesuai dengan ide garapan. Karya ini menggunakan konsep tradsi dalam struktur tabuh serta memakai tujuh patet yang ada dalam gamelan Semar Pagulingan dan struktur tri angga yang masih kuat dengan tradisi gamelan Bali yang diberi pepayasan yang unik sehingga cukup enak didengar para penonton dan komposisi musik yang mengacu pada konsep musik tradisi. Penata mencoba menggarap dengan mengedepankan nuansa sejuk harmonis dalam keseimbangan kedalam rasa yang mellow dan ritmis dengan cara kerja dalam kontek musikal yang tetap bersumber pada pola- pola tradisi yang sudah ada dan aspek-aspek estetis seperti kesatuan, penonjolan, dan keseimbangan agar nantinya karya ini memiliki nilai estetis dan dapat terwujud serta layak untuk dipersentasikan (Suweca, 2009: 54-55).

  Konsep garapan gangsing ini meliputi 1) judul garapan, 2) instrumentasi, 3) bahan garap, dan 4) pendukung dan durasi garapan, yang dimaksud empat hal tersebut dapat disampaikan sebagai berikut. 1)

  Judul Garapan Gangsing (atau juga disebut Gasing) adalah mainan yang bisa berputar pada poros dan berkeseimbangan pada suatu titik. Gangsing berbentuk bulat dan jika dimainkan akan bergerak kemana-mana jika ditaruh ditempat yang datar serta semakin lama berputar, putaran tersebut sedikit demi sedikit akan berkurang. Keunikan tersebut dituangkan ke dalam garapan tabuh kreasi yang terinspirasi dari pembuatan gangsing, percobaan gangsing, sampai gangsing itu di adu, dan putaran gangsing yang sedikit demi sedikit berkurang, semua proses tersebut diaplikasikan kedalam karya tabuh kreasi Semar Pegulingan.

  2) Instrumentasi

  Penentuan instrumen untuk mewujudkan garapan ini berpijak pada konsep tujuh nada. Media ungkap yang digunakan adalah barungan lengkap dari gamelan Semar Pagulingan. Alasan penata dalam memilih alat ini adalah di samping ketertarikan penata kepada karakter suara yang dihasilkan dari barungan tersebut, ingin mencoba membuat sebuah komposisi dengan bernuansa tabuh-tabuh klasik Semar Pagulingan dahulu. Gamelan Semar Pagulingan saih pitu merupakan sebuah ansambel yang sesungguhnya salinan dari gamelan Gambuh yang dibuat dengan instrumentasi barungan perunggu. Peranan suling dan rebab yang memainkan melodi pada gamelan Gambuh diganti oleh trompong. Gending yang dimainkan oleh Semar Pagulingan saih

  

pitu hampir sama dengan lagu-lagu gamelan Gambuh. Bahkan pada saat Gambuh juga sudah diiringi lagi oleh

  gamelan Semar Pagulingan saih pitu. Di Samping mengiringi dramatari Gambuh atau tarian lainnya Semar Pagulingan saih pitu juga memainkan lagu-lagu pategak (instrumental) untuk mengiringi berbagai upacara keagamaan atau pementasan sekuler lainnya. Komposisi musik ini tetap berpedoman pada pengolahan unsur- unsur musik yang menjadi satu kesatuan musik yang utuh dengan bahan garap meliputi : bunyi, ritme, melodi, tempo, dinamika, harmoni, ubit - ubitan dan lain sebagainya (Sugiartha, 2008:88). Suling dan rebab masih tetap digunakan dengan beralih fungsi sebagai pemanis gending.

  3) Bahan Garap

  Bahan garap dalam garapan adalah unsur-unsur musikal yang diolah menjadi sebuah komposisi karawitan Adapun unsur-unsur tersebut, yaitu melodi, ritme, tempo, dan dinamika dengan mempertahankan teknik gamelan Bali, yaitu ubit-ubitan. Dalam garapan ini menggunakan konsep tri angga, yaitu pada bagian I disebut kawitan, pada bagian II disebut pengawak, dan pada bagian III disebut pengecet.

  4) Pendukung dan Durasi Garapan

  Garapan karawitan yang berjudul Gangsing ini didukung oleh 22 orang termasuk penggarap yaitu pemain dari Sanggar Seni Aswini Kembar. Sedangkan durasi pementasannya kurang lebih selama 14-15 menit dan dipentaskan di gedung Natya Mandala Institut Seni Indonesia Denpasar.

  Pengembangan unsur musikalnya sesuai dengan tafsir penata yaitu mengungkapkan kebebasan berkreativitas dengan membuat pepayasan yang unik atau pengolahan dalam ritme, melodi, tempo, dan dinamika. Adapun konsep karya dalam garapan ini tidak terlepas dari unsur tradisi dan tidak menghilangkan unsur-unsur keindahan yang ada. Pola-pola dan pengolahan unsur-unsur karawitan Bali seperti: tempo, dinamika, ritme, dan melodi diolah sedemikian rupa sehingga manghasilkan sesuatu garapan tabuh kreasi. Setelah adanya kematangan dari ide tersebut, pada tahapan ini mulai dipikiran kemBali wujud karya seni yang digarap. Dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan, maka diputuskan untuk menggarap sebuah komposisi musik dengan menggunakan media instrument Semar Pagulingan sebagai media ungkap. Dalam karya ini kiprah dari permainan gangsing dipaparkan dalam latar belakang garapan ini penata akan mencoba mentranspormasikan ke dalam bahasa-bahasa musikal sesuai dengan interpretasi penata sehingga karya ini diberi judul

  GANGSING”.

3. METODE PENCIPTAAN Proses penataan merupakan proses yang sangat menentukan dalam mewujudkan suatu karya seni.

  Dalam hal ini penata harus mempunyai keterampilan, kreativitas, pengalaman, dan pengetahuan yang cukup disamping faktor penunjang seperti kesiapan mental, fisik, dan kesiapan pendukung karya, serta sarana dan prasarana untuk menunjang proses garapan. Kreativitas merupakan daya cipta untuk memunculkan sesuatu yang baru, sehingga yang bekerja adalah pikiran, rasa, moral, dan mental yang membutuhkan kebebasan yang sifatnya sangat individu. Berhasil atau tidaknya karya seni diwujudkan tergantung dari kesungguhan atau kematangan proses yang dilakukan oleh penata. Pada dasarnya proses perwujudan itu menyangkut dua tahap, yaitu: 1) Penciptaannya yang dimulai dari adanya dorongan yang dirasakan, disusul dengan pemikiran menemukan cara-cara untuk mewujudkannya. 2) Pekerjaan perwujudannya sampai karya itu selesai (Djelantik dalam Mardiana, 2008:11).

  Dalam mewujudkan garapan Gangsing penata menggunakan tiga tahapan berproses yang digunakan, yaitu ekplorasi (penjajagan), improvisasi (percobaan), dan forming (pembentukan) (Sumandiyo, 2003:24). Ketiga tahapan tersebut penata aplikasikan dan gunakan sebagai acuan dalam proses penataan garapan

  

Gangsing . Berikut adalah uraian secara singkat ketiga tahapan yang dipakai penata untuk mewujudkan garapan

ini.

  3.1 Tahap Penjajakan (Ekplorasi)

  Tahap ini merupakan langkah awal di dalam melakukan proses penataan karya seni. Pada tahapan ini yang dilakukan adalah pencarian ide untuk dijadikan sebuah karya seni. Mulai dari bulan Desember 2016 penata mendapatkan sebuah ide dari melihat bentuk gangsing serta keunikan yang dimiliki gangsing tersebut, melakukan pengamatan, saat penata menonton karya seni musik dan berdasarkan pengalaman penata dalam berkesenian. Selain itu penata juga melakukan diskusi bersama beberapa teman dan bapak dosen pembimbing untuk mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang ide-ide yang layak diangkat menjadi sebuah garapan.Selain beberapa langkah yang dilakukan di atas, penata juga memanfaatkan sumber tertulis dengan membaca buku-buku dan mendengarkan mp3 dengan memahami isi yang terkandung di dalamnya. Dari hasil pemahaman yang didapat dari sumber-sumber tersebut akhirnya muncul ide untuk diangkat menjadi sebuah karya seni dan sekaligus menjadi tantangan untuk dapat melahirkan karya seni yang berjudul Gangsing.

  Pada tahapan ini penata juga melakukan usaha untuk mencari dan memilih instrumen yang digunakan sebagai media ungkap. Dalam proses mencari dan memilih media ungkap yang digunakan penata mendapatkan kendala sekaligus tantangan untuk dihadapi. Dalam pemilihan instrumen yang dipakai, penata memutuskan untuk menggunakan barungan gamelan Semar Pagulingan. Untuk mendapatkan barungan gamelan Semar Pagulingan tersebut, penata menggunakan fasilitas yang ada di Sanggar Seni Aswini Kembar Banjar Kertasari Panjer. Pada tahapan ini penata juga mengumpulkan beberapa pendukung yang berjumlah 23 orang termasuk penata untuk menyelesaikan karya seni Gangsing. Karya ini juga sempat dipresentasikan pada ujian mata kuliah Komposisi IV pada Januari 2017 yang dilaksanakan di gedung Granyam dengan predikat baik. Dari hasil tersebut semakin menambah rasa kepercayaan diri penata untuk menggunakan karya tersebut dengan pengembangan lebih lanjut pada ujian tugas akhir.

  3.2 Tahap Percobaan (Improvisasi)

  Tahap percobaan ini merupakan tahap kedua dalam proses penggarapan. Dalam tahapan ini, dilakukan mencari melodi dengan patet yang berbeda sehingga bisa digunakan pada garapan ini. Mencoba berbagai macam teknik ubit-ubitan yang bisa dimainkan pada setiap instrumen. Teknik permainan instrumen pemade dan kantil Semar Pagulingan ini secara maksimal yang biasanya menggunakan satu buah panggul.

  Dengan kemajuan teknologi di era gloBalisasi ini, penggarap mencoba memakai sistem baru yang inovatif pada proses, yaitu penuangan materi melalui media elektronik terlebih dahulu. Beberapa contohnya pada media handphone genggam sekarang sudah banyak terdapat fitur atau aplikasi untuk merekam suara atau video. Jadi pada setiap penggarap mempunyai inspirasi baru tentang materi lagu, langsung direkam suara dan disimpan di handphone. Rekaman suara dari penggarap ini diolah dan dicetak kemBali dengan software fruity

  

loop sehingga mengahasilkan musik digital. Setelah semua materi selesai digarap pada media komputer,

diformat dalam bentuk file Mp.3 kemudian dibagikan kepada setiap pendukung karya.

  Setelah percobaan tersebut selesai, kemudian penata melakukan percobaan untuk menyusun konsep garapan yang berisikan aturan-aturan tertulis tentang bentuk garapan yang diinginkan. Percobaan ini dilakukan untuk menghasilkan garapan dengan mengolah unsur melodi, ritme, tempo, dan dinamika. Aturan tersebut dibuat dalam notasi yang menunjuk pada melodi-melodi instrument jublag. Bentuk notasi tersebut berupa notasi ding-dong yang menggunakan simbol Penganggen Aksara Bali dan menggunakan garis nilai untuk memudahkan penata membaca notasi tersebut.

  Selanjutnya pada minggu ke II bulan April penata melakukan proses penotasian dari bagian I, yaitu

  

kawitan sampai bagian II pengawak yang penata tuangkan ke dalam proses penatan karya ini. Di dalam

  perjalanan berproses penata mendapatkan masalah yakni tidak bisa melakukan nuasen pada minggu ke II bulan April dikarenakan terhalang hari raya bagi umat hindu serta sulitnya mencari waktu dari pendukung berhubungan dengan kesibukan-kesibukan mereka. Jadi nuasen dilakukan pada minggu ke IV yakni hari Senin tanggal 22 Mei 2017, pada kesempatan ini penata menjelaskan ide dan konsep garapan yang digunakan pada karya garapan Gangsing. Kemudian penata mulai menuangkan bagian I dan II dengan memperkenalkan motif pukulan yang digunakan. Selanjutnya penata kemBali melakukan penotasian bagian ke III, yaitu pengecet. Pada bagian ini penata tidak jauh berbeda dalam cara penuangan materi, yakni hampir sama dengan penuangan

  bagian I kawitan dan II pengawak hanya yang membedakan adalah patet yang digunakan, sehingga pada minggu ke I bulan Juni karya tersebut sudah dibangun secara utuh.

3.3 Pembentukan (Forming)

  Tahapan ini merupakan tahapan terakhir dan penggabungan dari hasil improvisasi dalam proses penggarapan untuk dapat mewujudkan sebuah karya seni. Pada tahap pembentukan ini, semua rangkaian motif kalimat lagu serta pola yang dikuasai oleh pendukung melalui latihan sektoral, ditata dan dirakit agar terkait dengan komposisinya, nafas lagunya, dinamika atau keras lirihnya pukulan, tempo, waktu atau lamanya

  

gending , penjiwaan, ekspresi maupun teknik-teknik penyajian lainnya. Interaksi antar pemain juga sangat

  dibutuhkan untuk kelancaran dan hidupnya suasana latihan pada proses forming. Semua dilakukan untuk menjadikan sebuah karya Tabuh Kreasi Semar Pagulingan yang utuh. Dalam tahap pembentukan ini, proses penataan dilakukan sudah lebih mengarah pada pembentukan atau pembakuan karya.

  Tahapan ini menjadi sangat penting dalam memilih, mempertimbangkan, membedakan dan memadukan ritme-ritme tertentu agar menjadi keterpaduan yang estetis. Dalam penataan bentuk, penggarap juga selalu melakukan pembenahan-pembenahan terhadap rasa musikal yang dianggap kurang sesuai untuk terus disempurnakan, sehingga memenuhi rasa estetis sesuai dengan yang dibutuhkan dalam garapan. Selain aspek bentuk, juga dilakukan penataan terhadap aspek isi dan penampilan untuk mewujudkan keharmonisan antara ide dan bentuk garapan.

  Penata juga mengundang pembimbing karya untuk dapat memberikan evaluasi dan bimbingan terhadap proses garapan yang dilakukan. Dari hasil bimbingan ini hal-hal yang bersifat korektif dan saran untuk penyempurnaan terhadap karya diterima dan dipertimbangkan sesuai dengan arahan yang diberikan. Adapun pembimbing karya maupun skrip karya yang telah memberikan masukan dan saran-saran yang sangat berarti dan penting untuk penyempurnaan garapan maupun skrip karya yang berjudul Gangsing ini adalah Bapak Tri Haryanto, S.Kar, M.Si., selaku pembimbing I dan bapak I Ketut Partha. SSKar, M.Si selaku pembimbing II. Masukan dan saran-saran tersebut antara lain mengenai ritme, dinamika, dan penonjolan- penonjolan tertentu terhadap instrumen yang dimainkan agar sesuai dengan pesan, kesan, dan suasana yang diharapkan.

4. WUJUD GARAPAN

4.1 Deskripsi Karya

  Keutuhan karya seni ini merupakan sebuah jawaban dari berbagai tantangan selama menjalani proses kreatif, mulai dari penjajagan pencarian ide, berpikir, berimajinasi, dan terus berusaha mencari inspirasi untuk melahirkan ide hingga pada pengendapan ide. Berikutnya adalah melakukan percobaan perenungan konsep garapan, dan pembentukan sebagai proses terakhir sampai pada penuangan materi pada pendukung hingga terwujud menjadi sebuah komposisi karawitan tradisi yang sarat akan nilai artistik tersendiri sehingga karya ini layak untuk dipersentasikan.

  Wujud mengacu pada kenyataan yang nampak secara konkrit (dapat dilihat dan didengar dengan mata dan telinga) maupun kenyataan yang tidak nampak secara konkrit, abstrak, yang hanya bisa dibayangkan, seperti suatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku (Djelantik dalam Atmaja, 2012:22). Wujud garapan adalah aspek yang menyangkut baik keseluruhan dari karya seni maupun peranan dari masing-masing bagian dalam keseluruhan.

  Komposisi karawitan Tabuh Kreasi Semar Pagulingan Gangsing merupakan sebuah garapan dengan wujud yang nampak secara konkrit, karena dapat dinikmati oleh indera mata dan telinga. DiBalik itu, komposisi karawitan ini juga mengandung tema yang terbungkus oleh pengolahan unsur-unsur seperti melodi, irama, tempo, dan dinamika (Windha dalam Atmaja, 2012:22).

  Konsep penggarapannya berpedoman pada konsep karawitan instrumental dan konsep karawitan tradisi yang merupakan sebuah gambaran dari mainan yang berputar pada poros yang dituangkan ke dalam bentuk musikal kemudian diolah dan dikembangkan sesuai dengan keinginan dan kemampuan penggarap, media yang digunakan, yaitu barungan gamelan Semar Pagulingan.

4.2 Analisa Pola Struktur

  Kata struktur mengandung arti bahwa di dalam karya seni tersebut mengisyaratkan suatu pengorganisasian, pengaturan adanya hubungan tertentu antara bagian-bagian secara keseluruhan dan teori- teori dalam karya seni. Struktur atau susunan dari suatu karya seni adalah aspek yang menyangkut keseluruhan dan meliputi juga peranan masing-masing bagian dalam karya seni. Jika ditinjau lebih spesifik lagi, karya seni tradisi yang berkonsepkan triangga yang berjudul Gangsing terdiri dari tiga bagian, yaitu kawitan, pengawak, dan pengecet yang setiap bagiannya mempunyai tujuan dan maksud tersendiri dalam pengekspresian. Bagian- bagian tersebut anatara lain:

  Bagian Pertama (Kawitan):

  Pada bagian kawitan mengaplikasikan tentang proses pembuatan gangsing. Paling awal dari proses pembuatan gangsing, yaitu pemilihan kayu yang cukup keras dan tidak mudah pecah. Kayu yang cocok untuk dijadikan gangsing, yaitu kayu asem. Setelah pemilihan kayu dilanjutkan proses pembentukan gangsing dengan cara dibubut, dijepit pada mesin yang menyerupai bor namun memiliki dua mata bor berputar. Kemudian gangsing dibentuk memakai pisau khusus mulai dari bubutan ujung gangsing yang kecil runcing/lancip, badan gangsing yang lebar, pembentukan tempat untuk mengikat gangsing, dan ukiran- ukiran yang merupakan kreasi seni, kemudian diwarnai sesuai dengan keinginan pembuat. Dari semua proses pembuatan tersebut, penggarap mengaplikasikan proses pemilihan kayu dalam bentuk

  

ginem/pengrangrang , proses pembentukan gangsing dari bubutan kecil diaplikasikan kedalam bapang I, dan

  pada proses pembentukan badan gangsing yang lebar, ukir-ukiran gangsing, serta pemberian warna gangsing diaplikasikan kedalam bapang II.

  Bagian Kedua (Pengawak):

  Bagian pengawak adalah tahap percobaan gangsing, pada proses ini, tali dililitkan di badan gangsing kemudian dilempar pada permukaan tanah. Gangsing yang berputar membuat lubang pada tempat gangsing itu berputar, sesekali gangsing tersebut ingin keluar seperti senggolan-senggolan yang menggoyahkan keseimbangannya namun tidak bisa karena textur tanah yang mudah terkikis sehingga menjadi dalam. Gangsing yang berputar pada permukaan tanah ternyata lebih cepat berhenti karena textur tanah yang lebih mudah terkikis dengan gesekan dari ujung gangsing sehingga mempengaruhi gangsing itu sendiri. Jika gangsing ingin lebih lama berputar, maka gangsing itu harus dicoba ditempat yang datar dan keras. Gangsing kemBali dilemparkan ke tanah, karena jika langsung dilemparkan ditempat yang keras, benturan dari gangsing tersebut akan menimbulkan retak pada gangsing bahkan bisa membuat ujung pada gangsing menjadi tumpul.

  Keseimbangan pada gangsing akan diuji setelah gangsing yang masih berputar dipindahkan dengan pelan-pelan ke tempat yang datar dan keras. Setelah dipindahkan gangsing tersebut menjadi lebih lama berputar. Pada kegiatan ini ditransfer ke dalam 2 bentuk pengawak yaitu pengawak I dan pengawak II.

  

Pengawak I menggunakan patet selisir dengan menggambarkan kegiatan percobaan gangsing pada permukaan

  tanah, senggolan-senggolan pada gangsing diibaratkan dengan memukul nada pemero yang dekat namun tidak berpindah patet. Pada pengawak II perpindahan gangsing dari permukaan tanah ke permukaan yang datar diaplikasikan ke dalam perpindahan patet dari patet selisir ke patet sundaren. Gangsing yang berputarnya lebih lama mengibaratkan durasi pada bangian pengawak II lebih panjang. Semua bagian di atas diungkap pada bagian pengawak dari komposisi karawitan ini.

  Bagian Ketiga (Pengecet):

  Pada bagian ini, mengaplikasikan gangsing yang sudah mulai diadu di dalam arena yang textur permukaannya datar dengan setiap sisi berisi pembatas. Gangsing yang berputar pada tempat yang datar akan berpindah kemana mana, benturan-benturan dari gangsing lawan membuat gangsing yang berputar menjadi berpindah tempat. Permainan gangsing merupakan kegiatan yang nenanamkan rasa semangat, keceriaan pada seseorang yang memainkan gangsing, serta memupuk rasa persahabatan serta menjalin hubungan silahturahmi bagi warga desa. Penggarap mengimajinasikan bagian ini pada pengecet I dan pengecet II.

  Gangsing yang berpindah-pindah serta benturan dari gangsing lain mengibaratkan perpindah patet dari patet pengenter alit ke patemon dan patemon ke tembung dengan berisi hentakan-hentakan dari dinamika yang dimainkan diaplikasikan kedalam pengecet I. Suasana perasaan semangat dari permainan gangsing diaplikasikan ke dalam bentuk melodi yang bernuansa keras, yaitu memakai patet tembung dan keceriaan serta rasa persaudaraan diaplikasikan dengan patet yang bernuansa lembut yaitu memakai patet patemon dan

  

sundaren diaplikasikan ke dalam pengecet II. Melihat putaran gangsing yang sedikit demi sedikit berkurang

  dan terjatuh secara kasar kepermukaan tanah menginspirasi penggarap untuk membuat suatu pekaad pada bagian akhir dengan menggunakan patet tembung.

4.3 Analisa Simbol

  Simbol merupakan tanda agar penikmat seni mengetahui tujuan yang akan diapresiasi dan juga mampu menggungkap ide atau gagasan dalam sebuah karya musik. Selain digunakan dalam notasi, simbol juga digunakan sebagai kode. Pada dasarnya sistem pencatatan notasi ada dua jenis, yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif mengandung arti bahwa memberi suatu petunjuk begitulah yang seharusnya dikerjakan, harus dimainkan sesuai apa yang tercatat. Notasi deskriptif adalah mencatat untuk tidak lupa, artinya tidak semua jenis melodi dan ritme harus dicatat, tetapi pokok melodinya saja. Simbol yang digunakan dalam pencatatan notasi karya musik Gangsing menggunakan satu jenis simbol, yaitu Pengangge Aksara Bali. Di samping simbol Aksara Bali, juga dilengkapi dengan tanda-tanda yang umum dipakai dalam pencatatan atau penotasian karawitan Bali seperti: a. Tanda ( . ) Tanda ini diartikan bahwa nada yang jatuh pada pukulan gong.

  b. Tanda ||…. ….|| Tanda ini adalah garis vertikal yang berada di depan dan di belakang kalimat lagu yang artinya lagu tersebut mengalami pengulangan.

  c. Tanda …. ….

  Tanda ini artinya ketukan tanpa disertai nada.

  d. Garis Nilai …. ….

  Garis ini merupakan garis horisontal yang ditempatkan di atas simbol nada yang menunjukan nilai nada tersebut dalam satu ketukan.

  e. Tanda coret pada simbol nada ( / ) Simbol nada yang mendapat tanda ini mempunyai arti bahwa dalam prakteknya nada tersebut dimainkan dengan cara memukul sambil menutup bilahnya.

2 Singkatan nama-nama patet

  Untuk memudahkan dalam penulisan notasi, nama-nama patet yang dipergunakan disingkat sebagi berikut: Sd : Sundaren Tb : Tembung Sl : Selisir Pal : Pengenter alit Pag : Pengenter agung Pt : Patemon

4.4 Analisa Materi

   Sebagai sebuah bentuk karya seni, tentu terdapat materi yang menunjang terwujudnya karya seni

  tersebut. Dalam garapan karya seni tradisi Gangsing, selain dibentuk berdasarkan unsur-unsur musikal seperti: melodi, ritme, tempo, harmoni, dan dinamika juga dibentuk oleh beberapa materi yang memperkuat seperti: motif-motif pada gending, teknik pukulan, dan eksplorasi sumber bunyi.

  Mengacu pada pembentukan garapan karya seni tradisi Gangsing, ini tidak terlepas dari materi terutama yang terdapat dalam unsur-unsur musik yang melebur menjadi satu kesatuan yang utuh dan memberikan jiwa garapan ini antara lain:

  4.4.1 Melodi

  Melodi merupakan lagu pokok daripada suatu karya seni musik atau karawitan (Banoe, 2003:270). Melodi dalam garapan ini dapat diartikan sebagai hasil dari terjalinnya nada-nada yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk suatu jalinan melodi.

  4.4.2 Tempo Tempo menujukkan mengenai beberapa cepat atau lambat suatu lagu yang dimainkan atau dinyanyikan. Menyangkut masalah cepat lambatnya suatu pola permainan yang dilakukan atau dimainkan, dalam garapan ini penggarap memakai tempo yang meliputi: tempo lambat, sedang, dan cepat. Dari segi pengolahannya, penata mengarap tempo yang dinamis dengan perubahan tempo yang sangat drastis pada beberapa pola permainannya. Pada tiap bagian dari garapan ini memiliki permainan tempo yang seimbang. Berawal dari tempo cepat kemudian sedikit demi sedikit beralih ke tempo sedang.

  4.4.3 Ritme Ritme atau irama merupakan langkah yang teratur atau langkah yang ritmis (Banoe, 2003:357) bisa juga disebut kondisi yang menunjukan kehadiran sesuatu yang terjadi berulang-ulang secara teratur. Dalam garapan ini lebih ditonjolkan suatu bentuk ritme atau irama dengan membuat pola-pola ritme yang berbeda dan dijalin menjadi satu sehingga menghasilkan ritme atau irama yang terkesan rumit.

  4.4.4 Dinamika Dinamika adalah keras lembutnya dalam cara memainkan musik (Banoe, 2003:116). Dengan demikian dinamika merupakan salah satu bagian penting dari garapan ini untuk menghindari kesan monoton. Panjang pendeknya pola permainan yang dilakukan juga patut diperhitungkan untuk menghasilkan kesan dinamis. Dinamika salah satu cara untuk memberikan ekspresi dalam garapan ini, menyangkut hentakkan atau aksen pada bagian tertentu pada setiap pola permainan.

  4.4.5 Harmoni Dengan harmoni dimaksudkan adanya keselarasan antara bagian-bagian atau komponen-komponen yang tersusun menjadi kesatuan. Keharmonisan memperkuat rasa keutuhan karena memberikan rasa tenang, nyaman, dan enak serta tidak mengganggu penangkapan oleh panca indera. Harmoni timbul akibat adanya perpaduan atau bertemunya beberapa nada yang tidak sama atau istilahnya ngempyung atau chord yang bisa saja terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja dalam komposisi ini yang dapat memperkuat rasa keutuhan dan keindahan karya. Di samping itu, pada analisa materi ini juga diungkapkan berbagai teknik- teknik pukulan dalam gamelan Bali yang disebut ubit-ubitan. Ada beberapa jenis ubit-ubitan yang digunakan dalam karya seni tradisi Gangsing, yaitu: a.

  Teknik Kabelit Istilah kabelit yang berarti membandel merupakan sebuah ubit-ubitan yang berpangkal pada sebuah melodi atau tema lagu Gegaboran yang memiliki 4 (empat) ketuk dalam satu kempul atau gong. Lagu ini merupakan pula sebuah ostinato pendek yang permainannya bisa diulang-ulang sesuai sifat alami dari lagu yang digunakan untuk mengiringi tari-tarian Bali.

  Di dalam jenis ubit-ubitan seperti kabelit ini terdapat hanya satu motif ubit-ubitan yang secara mudah dapat kita sebutkan sebagai motif A saja. Motif diulang dua kali atau berulang-ulang untuk memenuhi finalis gong. Adapun motif ubit-ubitan yang terdapat dalam tema kabelit ini ialah 34 · 3 · 43 untuk polosnya, sedangkan 575 · 757 untuk sangsihnya. Nada-nada yang membendung motif pada pukulan polos adalah 3 (ding) yang terdapat di tengah-tengah, sehingga motif ascending 57 tidak bisa diteruskan pada unit berikutnya. Hal yang sama berakibat pula pada motif ubit-ubitan sangsihnya yang terpaksa tidak bisa mengulang 575 untuk motif selebihnya. Kabelit kalau dikaji dari sistem polos- sangsihnya menggunakan sistem ngempat atau kempyung, yaitu jarak nada 4 (empat) yang mana nada polos 3 (ding) bertemu dengan nada sangsih 7 (dung) (Bandem 1993:72).

  b.

  Teknik Kabelet

  Istilah "kabelet" berasal dari kata "belet ” mendapat awalan "ka" berarti terhalang, kehabisan akal atau tak menemui jalan keluar. Ubitan kabelet perpangkal pada lagu Legong Kraton merupakan sebuah ostinato 4 (empat) ketukan yang mana lagu-lagu itu dapat diulang-ulang sesuai dengan kebutuhan. Pada umumnya lagu Gegaboran ini digunakan untuk mengiringi tari atau bagian-bagian tari lainnya dalam tari Legong Keraton. Sistem yang digunakan dalam ubit-ubitan kabelet ini adalah sistem "ngempat ” yaitu pertemuan antara nada 3 (ding) dalam polos dan nada 7 (dung) dalam sangsih. Dalam kabelet terdapat hanya satu motif ubitan yaitu ubitan descending · 43 · yang secara cepat menjadi

  ascending 34 · 3 dan nada 3 (ding) yang kedua dalam motif · 43 · 34 · 4 menjadi penghalang dari unit

  · 43 untuk mengulang motif yang sama. Kalau tiada unit penghalangnya maka unit ubit-ubitan ini bisa menjadi · 43 · 43 · 3 (Bandem 1993:73).

  c.

  Teknik Oles-olesan Secara harfiah kata "oles-olesan" berarti poles atau gosok. Ubit oles-olesan dimaksudkan sebagai teknik permainan yang di dalam istilah musik Barat di sebut sliding. Sistem sliding pada ubit-ubitan ini tertera pada nada-nada pukulan · 57 · 75 · 57 · 75 dan teknik memoles ini dilaksanakan dengan cara memukul tanpa bertekanan keras berbeda dengan teknik-teknik yang lain yang mana setiap pukulan nada ditandai dengan ritme stacatto terputus-putus dengan tekanan berat (Bandem 1993:74).

  d.

  Teknik Ubitan Nyendok Dikaji dari segi istilah bahwa kata "nyendok" berarti mengambil sesuatu dengan sendok. Dalam konteks ubitan kata ini memiliki pula konotasi menyentuh satu nada berturut-turut dua kali seperti nampak dalam pukulan ·57 · · 75 · 7 dan seterusnya. Bentuk dari ubit-ubitan ini cukup sederhana yaitu hanya memiliki satu motif saja seperti · 57 · 75 · 5· namun pola ini dapat diulang berkali-kali. Dalam tema Bapang Gegaboran, motif yang sederhana ini diulang empat kali untuk memenuhi ostinato 8 peniti giying di atas (Bandem 1993:74).

  e.

  Teknik Neliti/Nyelah Memukul kerangka/bantang gending secara polos dalam arti tidak berisi pariasi (Mustika, 1996:57).

  f.

  Teknik Oncang-oncangan/Nyogcag Nama dari salah satu pola pukulan yang menggunakan pukulan yang saling bergantian dengan memukul dua buah nada yang berbeda diselingi oleh satu nada. Hasil dari pukulan ini akan bisa terjalin searah, sehingga susunan nada-nadanya kedengaran selalu berurutan. Disamping itu ada juga pukulan oncang-oncangan yang memukul tiga buah nada yang diselingi satu buah nada juga. Pukulan ini biasanya dapat dilakukan pada bagian gending-gending yang iramanya tanggung dan cepat (Mustika, 1996:58).

  g.

  Teknik Norot,Ngosot, dan Ngodot Nama dari salah satu pola pukulan pada instrument pemade dan kantil. Pukulan ini ada dua macam yaitu: norot pelan (adeng) dan norot cepat (gencang) (Mustika, 1996:58).

  h.

  Teknik Pukulan Ngoret Memukul tiga buah nada yang mendapat dua buah ketukan ditarik dari nada yang rendah ke arah nada yang lebih tinggi (Mustika, 1996:56). i.