BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka - ANIS PERMATA DEWI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka Penelitian yang sejenis yang pernah dilakukan sebelumnya sangat penting

  untuk diungkapkan karena dapat dipakai sebagai sumber informasi dan bahan acuan yang sangat berguna. Penelitian tentang implikatur dalam sebuah wacana banyak dilakukan baik itu dalam skripsi, makalah maupun tulisan ilmiah yang lainnya. Pengkajian implikatur dalam wacana dipandang dari berbagai sudut ilmu salah satunya adalah disiplin ilmu pragmatik. Penelitian tentang implikatur dalam sebuah wacana dilakukan oleh Laela ( 2004) dala m skripsinya yang berjudul “ Implikatur dalam Wacana Komik pada Majalah Bobo”. Tulisan ilmiah tersebut menganalisis tentang tuturan dalam wacana komik pada majalah Bobo yang berjumlah 99 tuturan yang mengandung implikatur.

  Persamaan penelitian Nur Laela dengan yang dilakukan peneliti adalah sama-sama mengkaji bidang pragmatik, khususnya masalah implikatur. Adapun perbedaannya adalah sasaran kajian penelitian. Peneliti memilih objek Wacana Pojok Semarangan dalam harian Suara Merdeka, sedangkan peneliti Laela memilih Wacana dalam Komik dalam Majalah Bobo.

  Sementara itu, penelitian lain di bidang pragmatik yang berkaitan dengan kolom pojok juga dilakukan oleh Widyaningsih ( 2006) dalam skripsinya yang berjudul” Analisis Pragmatik Tuturan dalam Kolom Pojok Semarangan Harian

  Suara Merdeka” . Skripsinya tersebut mengemukakan tentang analisis pragmatik

  untuk menentukan bentuk tuturan kolom Pojok Semarangan Harian Suara Merdeka yang terdiri atas bentuk tuturan langsung literal, tuturan tidak langsung literal, dan tuturan tidak langsung tidak literal. Dalam data tersebut lebih banyak ditemukan bentuk jenis tuturan tidak langsung tidak literal. Hal ini dimaksudkan untuk memperhalus tuturan atau mempersopan cara penyampaiannya. Selain bentuk tuturan, skripsi tersebut juga membahas maksud tuturan. Data tentang maksud tuturan meliputi kritikan, sindiran, dan penegasan.

  Penelitian Widyaningsih dan penelitian ini sama-sama mengkaji wacana pojok sebagai salah satu ragam jurnalistik dari segi pragmatik, tetapi objek pembahasan berbeda. Penelitian Widyaningsih membahas bentuk-bentuk tuturan yang terdapat pada kolom Pojok, sedangkan peneliti mengkaji implikatur pada kolom Pojok tersebut.

B. Landasan Teori

1. Hakekat Bahasa

  Hampir dalam semua aspek kehidupan manusia tidak bisa lepas dari penggunaan bahasa. Bahasa sebagai bagian hidup yang bersifat universal memiliki peran penting yang tidak mungkin dilepaskan dari kehidupan manusia. Menurut definisi Kridalaksana ( 2008: 24), bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat arbiter yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri.

  Definisi serupa juga telah dikemukakan Moeliono (1989: 66), yaitu bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang dan konvensional, dan dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.

  Menurut Blonch dan Trager (dalam Parera 1991: 26) bahasa adalah sebuah sistem simbol bunyi yang arbiter sebagai alat yang dipergunakan oleh kelompok sosial untuk bekerja sama.

  Ronald Wardaugh ( dalam Parera 1991: 26) mendefinisikan “ bahasa adalah sistem simbol bunyi yang arbiter yang dipergunakan untuk komunikasi manusia”.

  Dari berbagai definisi di atas, maka kita bisa mengambil hal-hal pokok berkaitan dengan definisi tersebut, yaitu:

  1. Bahasa adalah sebuah sistem vokal atau sistem lambang bunyi.

  2. Bahasa bersifat arbiter atau sewenang-wenang, artinya bahwa antara bunyi bahasa dan yang bersimbolkannya tidak harus berhubungan.

  3. Bahasa memiliki fungsi utama sebagai alat berinteraksi / berkomunikasi antar anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut.

  4. Bahasa adalah sesuatu yang bersumber dari dalam tubuh kita, yang keluar dari tenggorokan, dan diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan.

2. Wacana

  Wacana ( discourse) adalah suatu bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh ( novel, buku, seri ensiklopedi dan sebagainya), paragraf kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap (Kridalaksana, 2008: 259).

  Sebuah tulisan adalah sebuah wacana, akan tetapi apa yang dinamakan wacana itu tidak hanya tulisan. Seperti yang diterangkan pada kamus webters (dalam Sobur, 2006: 10) sebuah pidato pun adalah wacana juga. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (1993: 23) yaitu istilah wacana tidak hanya mencakup percakapan atau obrolan tetapi, juga pembicaraan dimuka umum, tulisan, serta upaya-upaya formal, seperti laporan ilmiah dan sandiwara atau lakon.

  Menurut Stubbs ( dalam Tarigan 1993: 25) wacana adalah organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa. Dengan kata lain wacana adalah unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran- pertukaran percakapan atau teks-teks tertulis. Deese ( dalam Tarigan, 1993: 25) berpendapat bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasikan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.

  Frith ( dalam Sobur, 2006:10) mengemukakan language as only

  

meaningful in its context situation. Ia berpendapat bahwa pembahasan wacana

  • – pada dasarnya merupakan pembahasan terhadap hubungan antara konteks konteks di dalam teks. Pembahasan itu bertujuan menjelaskan hubungan antara kalimat atau antara ujaran (utterance) yang membentuk wacana.

  Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat dirangkum pengertian wacana, yaitu seperangkat proposisi yang saling berhubungan, dan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar yang dinyatakan dalam bentuk karangan yang utuh ( novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata untuk menghasilkan rasa kepaduan bagi penyimak atau pembaca.

  3. Bahasa Jurnalistik

  Dalam ( Moeliono, 1989: 370) bahasa jurnalistik diartikan sebagai hal-hal yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran. Jadi, bisa dikatakan bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan dalam persuratkabaran.

  Ragam bahasa jurnalistik memiliki karakteristik tersendiri berbeda dengan ragam bahasa yang lainnya. Karateristik bahasa jurnalistik antara lain adalah kalimatnya pendek, ringkas, padat dan berisi. Selain bahasanya itu mudah dimengerti oleh semua kalangan masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Djuroto, ( 2000: 5) yaitu bahasa pers adalah bahasa yang praktis, efisien, dan efektif bagi semua orang.

  Anwar ( 1984: 12) memberitahukan patokan dalam menggunakan bahasa jurnalistik, yaitu gunakan kalimat-kalimat pendek, gunakan bahasa biasa yang mudah dipahami orang, gunakan bahasa tanpa kalimat majemuk, gunakan bahasa dengan kalimat yang aktif, gunakan bahasa yang padat dan kuat dan gunakan bahasa yang positif.

  Kesimpulannya, bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan dalam bidang persuratkabaran atau berkaitan erat dengan dunia kewartawanan yang memiliki ciri-ciri kalimatnya pendek, ringkas, padat, berisi dan mudah dipahami oleh pembacanya.

  4. Wacana kolom “ Pojok Semarangan” dalam Harian Suara Merdeka

  Di dalam Moeliono, ( 1989: 451) dijelaskan kolom pojok merupakan bagian khusus dalam surat kabar atau majalah. Kolom tersebut berupa bagian- bagian vertikal pada halaman cetak yang dipisahkan oleh garis tebal atau ruang kosong seperti dalam surat kabar. Penulis kolom tersebut dinamakan kolumnis. Hal ini yang membedakan tulisan kolom dengan tulisan surat kabar lainnya.

  Dalam surat kabar, kolom dimasukkan dalam jenis tulisan pojok. Pojok “ Semarangan” merupakan tempat dewan redaksi menyatakan sikap dan pandangan budayanya. Dalam Moeliono ( 1989: 778) dinyatakan bahwa pojok dalam surat kabar adalah lajur di sudut surat kabar, tempat karangan yang pendek, berisikan hal-hal yang ringan, tetapi mengandung kritikan atau sindiran.

  Menurut Djuroto, (2000: 81) berpendapat bahwa penulisan pojok biasanya menggunakan huruf yang berbeda dengan huruf yang digunakan penerbitannya.

  Pojok menggunakan kolom kecil dengan kalimat-kalimat pendek yang menggelitik. Rubrik ini biasanya mempunyai penggemar tersendiri. Bahkan ada kalanya pembaca menjadi merah raut mukanya, jika sentilan dari pojok ini mengena padanya. Nama pojok dalam rubrik ini, semula karena penempatannya selalu di pojok atau sudut halaman opini surat kabar.

  Harian Suara Merdeka sebagai salah satu koran yang telah didirikan sejak tanggal 11 Februari 1950 telah memiliki komunitas pembaca yang cukup luas.

  Kolom pojok dihadirkan dalam Harian Suara Merdeka di halaman 7. Adapun pengasuh kolom Pojok Semarangan adalah Sirpong. Tiap hari Redaksi menghadirkan pojok dengan dua topik aktual dari sejumlah berita yang dihadirkan, terkecuali Hari Raya Besar.

  Kesimpulannya, Pojok “Semarangan” adalah opini penerbit yang penyajiannya dilakukan secara humor. Sentilan lucu terhadap sesuatu kejadian yang dimuat dalam penerbitannya. Beda dengan tajuk, pojok ditulis amat singkat, lugas, menohok, tetapi tidak kehilangan ketepatan dan antisipasi permasalahan yang di “pojok” kan. Penulis pojok bisa dilakukan oleh pemimpin redaksi, wartawan senior, atau orang lain yang dipercaya bisa mewakili penerbitnya.

5. Pengertian Pragmatik

  Batasan mengenai pragmatik banyak disampaikan oleh para ahli linguistik baik dari dalam maupun dari luar negeri. Levision ( dalam Suyono, 1990: 1) memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Batasan tersebut mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa.

  Pernyataan tersebut memberi maksud bahwa pemakaian bahasa harus memperhatikan konteks-konteks yang mewadahinya. Konteks-konteks tersebut ikut menentukan makna suatu ujaran.

  Menurut Wijana (1996:1) pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi. Pragmatik adalah aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 2008: 198).

  Sementara itu, Purwo ( 1984: 16) berpendapat bahwa pragmatik adalah telaah mengenai segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik.

  Maksud telaah pragmatik adalah makna setelah dikurangi semantik. Perbedaan yang mendasar diantara keduanya adalah semantik menelaah makna kalimat (sentences), sedangkan pragmatik menelaah makna tuturan ( ulterance).

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji maksud suatu tuturan, baik tersirat maupun tersurat dengan mempertimbangkan makna dan konteks untuk memahaminya.

  Leech ( dalam Wijana, 1996: 12) memberikan asumsi bahwa aspek-aspek yang dipertimbangkan dalam studi pragmatik adalah :

  a. Penutur dan lawan tutur

  Konsep ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan yang bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial, ekonomi, jenis kelamin tingkat keakraban dan lain-lain.

  b. Konteks tuturan

  Konteks tuturan adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks ( cotext) sedangkan konteks setting sosial disebut konteks.

  Dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latarbelakang pengetahuan ( backgrund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

  c. Tujuan tuturan Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya berbagai maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan tindak ujar Gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak

  (wujud statis yang abstrak), seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, sedangkan pragmatik berhubungan dengan tindakan verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu.

  e. Tuturan sebagai produk tindak verbal Tuturan yang digunakan dalam pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenannya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.

6. Implikatur

a. Pengertian Implikatur

  Menurut Grice (dalam Wijana, 1996: 37-38), dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation, sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur ( implicatur). Karena implikatur bukan merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, hubungan kedua proposisi itu bukan merupakan konsekuensi mutlak ( necessarycosequence).

  Sementara itu Lubis ( 1993: 67) berpendapat bahwa implikatur adalah arti atau aspek arti pragmatik. Dengan demikian hanya sebagian saja arti literal (harfiah) yang turut mendukung implikatur dari sebuah kalimat. Selebihnya didukung oleh fakta-fakta di sekeliling kita ( atau dunia ini), situasi dan kondisinya.

  Implikatur tuturan dipahami melalui inferensi terhadap pembicaraan / percakapan. Inferensi tersebut adalah proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Berdasarkan situasi dan kondisi si pendengar dalam percakapan menduga kemauan si pembicara dan dengan itu pula si pendengar memberikan responnya.

  Jadi konsep implikatur ini dipakai untuk menerangkan perbedaan yang sering terdapat antara „apa yang diucapkan‟ dengan apa yang diimplikasikan (atau implikatur).

  Adapun faedah konsep implikatur menurut Levinson (dalam Lubis, 1991: 70-71) adalah sebagai berikut:

  1. Dapat memberikan penjelasan makna atau fakta-fakta kebahasaan yang terjangkau oleh teori linguistik.

  2. Dapat memberikan penjelasan yang tegas tentang perbedaan lahiriah dari yang dimaksud si pemakai bahasa.

  3. Dapat memberikan pemerian semantik yang sederhana tentang hubungan klausa yang dihubungkan dengan kata penghubung yang sama.

  4. Dapat memberikan berbagai fakta yang secara lahiriah kelihatan tidak berkaitan, malah berlawanan ( seperti metafora).

b. Jenis Implikatur

  Dalam sebuah implikatur diketahui ada jenis implikatur yang akan di jelaskan menurut para ahli bahasa antara lain:

  Grice dalam Mulyana ( 2005: 12) menyatakan, bahwa ada dua jenis implikatur, yaitu (1) conventional implicature (implikatur konvensional) dan (2)

  ). conversation implicature ( implikatur percakapan

1) Implikatur Konvensional ( Convensional Implicature)

  Implikatur konvensional adalah pengertian yang bersifat umun dan konvensional ( Mulyana, 2005:12). Sedangkan Grice ( dalam Leech 1993: 17) mengatakan bahwa implikatur konvensional ( conventional implicature), yaitu implikasi pragmatik yang diperoleh langsung dari makna kata, bukan dari prinsip-prinsip percakapan.

  Implikatur konvensional tidak didasarkan pada prinsip kerja sama atau maksim-maksim. Implikatur konvensional tidak harus terjadi dalam percakapan dan tidak tergantung pada konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Seperti halnya presupposisi leksikal, implikatur konvensional diasosiasikan dengan kata- kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan yang disampaikan apabila kata- kata itu digunakan ( Yule, 2006: 78). Contohnya tampak pada wacana berikut ini.

  6 . Muhammmad Ali adalah petarung yang indah.

7.Lestari putri Solo, jadi ia luwes.

  Kata petarung pada (6) tersebut berarti “ atlet tinju”. Pemaknaan ini dipastikan benar, karena secara umum (konvensional), orang sudah mengetahui bahwa Muhammmad Ali adalah atlet tinju, yang legendaris. Jadi dalam konteks wacana tersebut, orang tidak akan memahami kata petarung dengan pengertian lain. Demikian juga implikasi umum yang dapat diambil antara putri Solo dengan

  Luwes pada contoh (7). Selama ini kota Solo selalu mendapatkan predikat sebagai kota kebudayaan yang penuh dengan kehalusan dan keluwesan putra-putrinya. Implikasi yang muncul adalah, bahwa perempuan atau wanita Solo pada umumnya dikenal luwes dalam penampilannya ( Mulyana, 2005:12).

  Implikatur konvensional bersifat nonkontemporer. Artinya, makna atau pengertian tentang sesuatu bersifat lebih tahan lama. Suatu leksem, yang terdapat dalam suatu ujaran, dapat dikenali implikasinya karena maknanya “ yang tahan lama” dan sudah diketahui secara umum ( Mulyana, 2005:12).

2) Implikatur Percakapan ( Conversation Implicature).

  Implikatur percakapan memiliki makna dan pengertian yang lebih bervariasi. Pemahaman terhadap hal “yang dimaksud” sangat tergantung pada konteks terjadinya percakapan. Implikatur percakapan hanya muncul dalam suatu tindak percakapan (speech act). Oleh karenanya, implikatur tersebut bersifat temporer (terjadi saat berlangsung tindak percakapan) dan nonkonvensional ( sesuatu yang diimplikasikan tidak mempunyai relasi langsung dengan tuturan yang diucapkan ) (Levinson, dalam Mulyana, 2005: 13).

  Dalam suatu dialog (percakapan), sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Hal yang hendak diucapkan justru “disembunyikan”, diucapkan secara tidak langsung, atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud ucapannnya. Perhatikan bentuk-bentuk percakapan di bawah ini.

8.Ibu: Ani, adikmu belum makan.

   Ani: Ya, Bu. Lauknya apa? Percakapan antara Ibu dan Ani pada contoh (8) mengandung implikatur yang bermakna „perintah menyuapi‟. Dalam tuturan itu. Tidak ada sama sekali bentuk kalimat perintah. Tuturan yang diucapkan ibu hanyalah pemberitahuan bahwa „ adik belum makan‟. Namun karena Ani dapat memahami implikatur yang disampaikan ibunya, ia manjawab dan siap untuk melaksanakan perintah ibunya tersebut.

  Grice (dalam Budiman, 1999:50) menyatakan bahwa sebuah percakapan memiliki struktur yang kompleks. Dari sekalian banyak ciri struktur percakapan, terdapat sebuah ciri yang relatif penting, yakni implikatur percakapan. Konsep tentang implikatur percakapan mengaitkan pengertian tradisional tentang kemampuan seseorang dalam menyatakan maksud yang berbeda dari apa yang dikatakan. Sebuah implikatur merupakan proposisi tersirat yang muncul dari sesuatu yang dikatakan, yang tidak dapat diturunkan secara logis atau langsung dari kata-kata yang terucap.

  Dari keterangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa implikatur adalah maksud yang tersembunyi dibalik ujaran atau maksud dari suatu ujaran yang tidak dinyatakan secara langsung. Implikatur konvensional ialah implikatur atau maksud yang tersembunyi dibalik ujaran yang secara konvensional atau secara umum masyarakat telah mengetahuinya. Sedangkan implikatur percakapan ujaran memiliki makna atau pengertian yang lebih bervariasi karena pemahaman terhadap hal yang dimaksudkan dalam suatu tuturan sangat tergantung pada konteks terjadinya percakapan.

7. Maksud implikatur tuturan yang terkandung dibalik komentar wacana kolom Pojok “ Semarangan”.

  Hakikatnya setiap tuturan yang disampaikan penutur kepada lawan tuturnya mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Maksud yang diutarakan oleh seorang penutur tidak selamanya diutarakan secara langsung, akan tetapi adakalanya diutarakan secara tidak langsung. Maksud yang tidak langsung akan lebih sulit penafsirannya dibandingkan dengan maksud yang langsung. Untuk dapat menafsirkan maksud yang tersirat dalam tuturan seorang penutur, maka pendengar harus memperhatikan konteks yang melingkupinya tuturan tersebut. Demikian pula halnya dengan tuturan kolom pojok “Semarangan” Harian Suara Merdeka.

  Maksud tuturan penulis dalam kolom pojok “Semarangan” disampaikan secara tersurat maupun tersirat. Maksud penulis yang tersirat dalam kolom pojok “Semarangan” disampaikan dengan cara menyindir atau mengkritik. Kritikan maupun sindiran dalam kolom pojok “Semarangan” dengan pemilihan tindak tutur tak langsung, sehingga orang yang merasa tersindir atau terkritik tidak akan tersinggung. Oleh karena itu, seorang pembaca harus jeli dan cermat dalam memahami maksud penulis yang terselubung dibalik tuturannya.

  Menurut Rohmadi (2004:103) menyatakan, bahwa berdasarkan maksud implikatur yang terkandung dalam tuturan penulis kolom pojok Semarangan dapat dibedakan menjadi 8, yaitu: a.

   Bermaksud menginformasikan

  Tuturan penulis yang bermaksud menginformasikan disampaikan dengan tindak tutur representatif. Tindak tutur representatif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya pada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya: menyatakan, melaporkan, menunjukkan dan menyebutkan. Sebagai contoh:

  Soal nasib naker nganggur akibat kerusuhan: “ Semoga pemda turun tangan”. (Ivanna, 17 tahun, warga reksoniten, Coyudan). “ Terang aja banyak penganguran wong satu toko aja karyawannya puluhan. Terlebih toko Matahari yang besar, maka para pekerja yang

  nganggur bisa ratusan atau ribuan”. ( RWSNS, 20 mei 1998).

  b. Bermaksud memohon

  Maksud tuturan penulis dalam kolom Pojok “Semarangan” yang bermaksud untuk memerintahkan disampaikan secara langsung mapun tidak langsung.

  Maksud permohonan yang secara langsung disampaikan dengan tindak tutur, misalnya tindak tutur yang bermaksud menginformasikan, disampaikan dengan menggunakan tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar pembaca melakukan tindakan seperti yang disebutkan di dalam ujaran penulis, misalnya: menyuruh, memohon, dan menantang. Sebagai contoh tindak tutur direktif dalam RWSNS adalah:

  Soal pelajar ikut unjuk rasa: “ Kalau masih kecil, ndak usah ikutlah”. (Ny. Wibowo. 31 tahun, warga Pucangsawit). “ Tetapi kalau masih kecil ya sebaiknya tidak usah ikut-ikutan kakaknya yang sudah mahasiswa

  ”. (RWSNS, 30 April 1998).

  c. Bermaksud mengkritik

  Kritik merupakan kecaman, tanggapan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap sesuatu hasil karya pendapat ( Poerwadarminta, 1997:446). Sebagai contoh komentar dalam kolom pojok Semarangan yang bermaksud mengungkapkan kritikan adalah sebagai berikut:

  Menhub Hatta Rajasa memuji angkutan lebaran.

  Tak ada pujian, memuji diri sendiri pun jadi....

  Wacana di atas merupakan kritikan terhadap permasalahan arus mudik lebaran dalam penanganan pemerintah.

  d. Bermaksud menyindir

  Sindiran berarti perkataan (gambaran) yang bermaksud menyindir orang celaan (ejekan) yang tidak langsung ( Poerwadarminta, 1976: 843). Maksud redaksi dalam tuturan kolom pojok Semarangan yang berupa sindiran, sebagai berikut:

  Lebaran di LP nusakambangan : Tommy Soeharto dapat remisi, Amrozi dilarang keluar.

  Beda nasib pengeran cendana dan pangeran tenggulun.

  Data tersebut merupakan bentuk sindiran terhadap perbedaan perlakuan hukum adil antara Tommy dan Amrozi.

  e. Bermaksud menegaskan dan mendukung

  Dukungan berarti gendongan; sokongan; bantuan (Poerwadarminta, 1976: 21). Penegasan berarti kejelasan; kepastian; keterangan yang jelas dan pasti (Poerwadarminta. 1976: 931). Sebagai contoh:

  Ditanya soal reshuffle kabinet Yusuf Asy‟ari mengatakan siap angkat koper.

  Istilahnya tereliminasi, Pak...

   Tanggapan redaksi pada data di atas merupakan dukungan pada sikap Yusuf Asy‟ari yang dengan profesional menagggapi kebijakan reshuffle.

  f. Bermaksud mengeluh

  Keluhan berarti apa yang dikeluhkan dan keluh kesah (Poerwadarminta, 1976: 413). Bentuk keluhan terlihat dalam tuturan kolom Pojok Semarangan, yaitu:

  Mantan ketua MPR Amien Rais berpendapat, reshuffle tidak penting.

  Takut titipannya digusur ya. Tanggapan pada data di atas merupakan bentuk keluhan terhadap sikap Amien Rais dalam menanggapi reshuffle.

  g. Bermaksud menyarankan

  Saran adalah pendapat; usul; anjuran; cita-cita tersebut yang dikemukakan untuk dipertimbangkan (Poerwadarminta, 1976: 784). Sebagai contoh: Usulan Agung Laksono soal reshuffle kabinet, orang partai 50 persen saja.

  Yang 50 persen untuk simpatisan partai... .

  Komentar pada data tersebut merupakan saran agar kebijakan presiden SBY dalam melakukan reshuffle memeperhatikan proposi menteri yang akan menjabatnya.

  h. Bermaksud mengejek

  Mengejek berarti mengolok-olok untuk menghina; mencemooh; mempermaiankan dengan tingkah laku ( Moeliono, 2008: 353). Sebagai contoh: MU dikalahkan Blackburn tepat pada ultah ke-70 Alex Ferguson.

  Unhappy birthday to you, Sir...

  Komentar pada data tersebut merupakan bentuk mengejek kepada Alex Ferguson yang dikalah Blackburn dalam pertandingan sepak bola.

  Penafsiran maksud implikatur yang terkandung dibalik komentar kolom Pojok “Semarangan” Harian Suara Merdeka berhubungan erat dengan skemata, konteks, dan prinsip-prinsip percakapan, antara lain seperti prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.

8. Skemata: Referensi Pengetahuan

  Teori skemata adalah teori tentang pengetahuan, tentang bagaimana pengetahuan disajikan, dan tentang bagaimana sajian itu memberikan kemudahan dalam memahami pengetahuan itu sendiri ( Alwi, 2003: 443). Menurut teori ini, semua pengetahuan dikemas dalam satuan-satuan yang disebut skemata.

  Skemata adalah kumpulan konsep yang digunakan individu ketika berinteraksi dengan lingkungan (Zumaroh, 2008:2). Skemata berkembang seiring bertambahnya usia, dengan demikian skemata merupakan struktur kognitif yang selalu berkembang dan berubah. Semakin banyak pengalaman yang diperoleh oleh seseorang maka akan bertambah pula skemata yang terbentuk dalam struktur kognitifnya. Sedang proses pemahaman wacana adalah proses menemukan konfigurasi skemata yang menawarkan uraian yang memadai tentang bacaan yang bersangkutan. Namun terkadang pembaca gagal memahami bacaan itu secara tepat. Hal ini paling tidak disebabkan tiga hal, yaitu: a) pembaca mungkin tidak mempunyai skemata yang sesuai.

  b) pembaca mungkin mempunyai skemata yang sesuai tetapi petunjuk yang disajikan penulis mungkin tidak cukup memberi saran kepada pembaca tentang skemata itu.

  c) pembaca mungkin mendapatkan penafsiran wacana secara tetap, tetapi mungkin tidak menemukan apa yang diinginkan oleh penulisnya.

  Untuk memperoleh implikatur sebuah ujaran, penutur harus memiliki akses terhadap pengetahuan di luar pengetahuan proposisi. Khususnya, mitra tutur harus mengetahui prosedur tentang bagaimana caranya memperoleh implikatur ujaran seorang penutur. Dalam hal ini perhatikan percakapan antara Sally dan Tomy berikut ini:

  Tom : Apakah kau ingin pergi ke taman?

  Sally : Aku yakin bunga-bunganya sedang mekar Tom harus menggunakan pengetahuan prosedural agar dapat memastikan implikatur tuturan Sally yaitu, bahwa Sally tidak ingin datang ke taman. Dia harus tahu, misalnya, kapan saat yang tepat untuk memproses ujaran di luar tingkat makna semantisnya ( kapan ujaran tersebut kekurangan relevansi dan sebagainya dalam konteks) dan bagaimana proses semacam ini harus dilakukan (dengan menggunakan prinsip-prinsip dan maksim-maksim pragmatik). Agar Tom dapat memahami implikatur ujaran Sally, dia harus tahu tentang fakta-fakta berikut: a. Sally tidak senang terkena hayfever ( alergi yang disebabkan oleh tanaman),

  b. Sally punya sapu tangan dan obat,

  c. jika Sally menghirup serbuk sari,maka dia akan terkena hayfever ,

  d. Sally terkena hayfever atau masuk angin,

  e. semua bunga menghasilkan serbuk sari,

  f. serbuk sari menyebabkan hayfever, g. beberapa taman tidak memiliki bunga.

  Masing-masing dari fakta di atas bersifat kompleks. Fakta-fakta yang kompleks ini dioperasikan oleh kaidah-kaidah inferensi yang kompleks pula.

  Suatu skemata merupakan struktur data yang mewakili konsep-konsep generik yang tersimpan dalam ingatan ( Alwi, 2003: 443). Seandainya, kita diberi kata Soekarno, maka terlintas pada ingatan kita segala ikhwal yang berkaitan dengan nama ini: Proklamator RI, Presiden RI yang pertama, pendiri PNI, Insinyur tamatan Bandung, Orator ulung dan sebagainya. Itu berarti bahwa skemata mewakili pengetahuan kita tentang semua konsep yang berkaitan dengan

  .

  objek, situasi, peristiwa, dan urutan peristiwa, serta tindakan dan urutan tindakan

9. Konteks Tuturan

  “Konteks tuturan merupakan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau latar belakang sosial yang relevan dari tuturan yang bersangkutan. Dalam pragmatik konteks itu pada hakekatnya adalah semua latar belakang oleh pengetahuan ( backround knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur” ( Rohmadi, 2004: 24). Konteks pemakaian bahasa dapat dibedakan menjadi empat macam yaitu: (1) konteks fisik ( psysical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa dalam suatu komunikasi, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran komunikasi itu dan tindakan atau perilaku dari para peran dalam peristiwa komunikasi, (2) konteks epistemis (epistemis context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh pembicara maupun pendengar. (3) konteks linguistik ( linguistict context) yang terdiri dari kalimat-kalimat atau tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi,(4) konteks sosial ( social context) yaitu relasi sosial dan latar belakang yang melengkapi hubungan antara pembicara atau penutur dengan pendengar ( Imam Syafi‟ie dalam Lubis, 1993:58).

  Menurut Sobur ( 2009: 57), untuk mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan konteks, perhatikan contoh berikut:

  1) Dengan pemogokan kami yang hanya tiga jam itu, telah menyebabkan majikan menyetujui tuntutan buruh, dengan mengeluarkan ketua cabang dari perusahaan. Kurasa majikan tidak rugi apa-apa. 2) Ketua berhenti atau tidak, tak ada arti apa-apa buat majikan. Itulah dampaknya yang kulihat. Tinggal sekarang organisasi harus mencari ketua baru yang tak dapat disuap. Siapa yang akan dicalonkan dan bagaimana caranya aku belum tahu.

  3) Hanya kata Otong, anggota-anggota mencalonkan ketua ranting, Masrun menjadi Ketua Cabang, sebab dia benar-benar akan membela kepentingan buruh. Dan Otong akan menggantikan sebagai Ketua Ranting.

  Dalam teks kedua, banyak yang tidak kita pahami jika tidak ada teks pertama. Kata „ketua‟ pada teks itu tidak jelas. Begitu pula kata „majikan‟, dan

  

organisasi . Makna dan apa yang terjadi referensi dari kata-kata itu kita ketahui

  apabila kita baca teks pertama. Ketua yang dimaksud adalah ketua cabang, majikan adalah majikan buruh-buruh itu, dan organisasi tentulah organisasi buruh- buruh itu juga.

  Demikian pula di teks ketiga. Kata-kata anggota, ketua ranting, ketua cabang, buruh akan jelas referensinya kalau kita baca teks sebelumnya. Kata anggota pada teks ini adalah anggota organisasi buruh itu; ketua ranting adalah ketua ranting organisasi mereka; dan demikian pula ketua cabang adalah ketua cabang organisasi buruh itu.

  Dell Hymes ( dalam Lubis, 1993: 84) mengemukakan adanya faktor- faktor yang menandai terjadinya peristiwa itu dengan singkatan SPEAKING, yaitu: S :Setting atau scene, yaitu tempat bicara dan suasana bicara ( ruang diskusi dan suasana diskusi).

  P :Participan : pembicara, lawan bicara dan pendengar. Dalam diskusi, adalah seluruh peserta diskusi.

  E : End atau tujuan : tujuan akhir diskusi. A : Act: suatu peristiwa di mana seseorang pembicara sedang mempergunakan kesempatan bicaranya.

  K : Key : nada suara dan ragam bahasa yang dipergunakan dalam menyampaikan pendapatnya dan cara mengemukakan pendapatnya.

  I : Instrumen : alat untuk menyampaikan pendapat. Misalnya secara lisan, tertulis, leawat telepon dan sebagainya.

  N : Norma : yaitu aturan permainan yang mesti ditaati oleh setiap peserta diskusi. G : Genre: jenis kegiatan diskusi yang mempunyai sifat-sifat lain dari jenis kegiatan yang lain.

10. Prinsip Percakapan

  Setiap peristiwa komunikasi antara penulis dan pembaca selalu mengharapkan kelancaran dalam berkomunikasi. Kelancaran komunikasi dalam kegiatan berbahasa tidak hanya ditentukan oleh unsur-unsur kebahasaan secara struktural, akan tetapi juga ditentukan oleh prinsip-prinsip percakapan, yaitu prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan. Meskipun demikian, seorang penutur atau penulis tidak selamanya mematuhi prinsp-prinsip percakapan tersebut.

  Adakalanya justru seorang penulis atau penutur sengaja melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap prinsip tersebut, untuk menunjukan adanya maksud-maksud tertentu yang ingin dicapainya. Jika penulis tidak mempunyai maksud atau tujuan tertentu dari penyimpangan tersebut, maka

  mengalami hambatan.

  komunikasi antara penulis dan pembaca Penulis kolom Pojok “Semarangan” sengaja melakukan penyimpangan- penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Penyimpangan ini memang sengaja dilakukan dengan tujuan untuk mengutarakan maksudnya secara halus. Hal tersebut dilandasi dari permikiran penulis bahwa dengan maksud-maksud yang terselubung dalam tuturannnya, maka pembaca yang merasa tersindir atau terkritik tidak akan tersingung. Penyimpangan yang dilakukan oleh penulis dalam kolom Pojok “Semarangan” adalah penyimpangan terhadap prinsip kerjasama dan prinsip kesopanan.

a. Prinsip Kerja Sama

  Berbahasa adalah aktivitas sosial. Seperti halnya aktivitas-aktivitas sosial yang lain, kegiatan berbahasa baru terwujud apabila manusia terlibat di dalamnya.

  Di dalam berbicara, penutur dan lawan tutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, interpretasi- interpretasinya terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya. Setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu, pendapat dari Allan ( dalam Wijana, 1996: 45). Adapun prinsip kerjasama adalah prinsip yang mengharuskan kerjasama yang baik antara pihak yang melakukan komunikasi agar komunikasi berjalan lancar (Rahardi, 2000: 50 ).

  Di dalam komunikasi yang wajar agaknya dapat diasumsikan bahwa seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicaranya, dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas dan selalu pada persoalan, sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Misalnya, orang akan menggunakan bentuk tuturan Tolong! dan Dapatkah anda menolong saya? untuk situasi dan keperluan berbeda. Di dalam keadaan darurat orang akan cenderung menggunakan bentuk ujaran yang pertama, sedangkan orang memohon bantuan orang lain di dalam situasi yang tidak begitu mendesak, ia akan cenderung menggunakan ujaran yang kedua. Akan sangat anehlah bila seseorang yang akan tenggelam di kolam renang, misalnya meminta bantuan dengan menggunakan ujaran yang kedua. Sebaiknya, seseorang yang memohon bantuan tidak selayaknya mengucapkan ujaran yang pertama dengan volume suara dan intonasi yang sama dengan orang yang tenggelam. Bila terjadi penyimpangan, ada implikasi-implikasi tertentu yang hendak dicapai oleh penuturnya. Bila implikasi itu tidak ada, maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif. Jadi, secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ada semacam prinsip kerja sama yang harus dilakukan pembicara dan lawan bicara agar komunikasi itu berjalan secara lancar.

  Grice ( dalam Rahardi, 2000: 50) menjelaskan prinsip kerja sama dalam kegiatan bertutur meliputi empat maksim, yaitu:

  1) Maksim kuantitas

  Maksim kuantitas mengharapkan seorang penutur dapat memberikan informasi yang cukup, relatif, memadai dan seinformatif mungkin. Informasi yang demikian tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan si mitra tutur. Misalnya tuturan di bawah ini:

  SBY tegaskan ada reshufle, tapi tidak bongkar habis kabinet.

  Tiru KDI saja, pakai pola “ dijemput”...

  Tuturan tersebut dapat dikatakan tidak bersifat informatif. Hal ini dilihat dari tuturan yang ada yaitu Presiden SBY telah menegaskan jika akan diadakan reshufle. Tuturan tapi tidak dibongkar habis kabinet bertujuan untuk memberikan informasi tambahan. Tuturan tersebut dapat dikatakan berlebihan.

  2) Maksim kualitas

  Maksim kualitas mengharapkan seorang penutur dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Contoh: Presiden SBY mempertemukan Ketua MA dan KPK yang sedang “ tegang”.

  Bakat mempromotori Chrisjon nih...

  Tuturan tersebut diutarakan berdasarkan fakta yang ada. Masalah Ketua MA dan KPK akhirnya diselesaikan dalam musyawarah dengan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Penutur menyampaikan informasi dikaitkan dengan konteks dan berita yang sebenarnya.

  3) Maksim relevansi

  Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta tutur memberikan konstribusi yang relevan dengan masalah yang dibicarakan. Contoh : Pelatih asal Belanda, Guus Hiddink menjadi pahlawan dibalik sukses Australia menembus putaran final piala Dunia 2006.

  Melihat Gusnya, kok mirip orang Jombang.

  Kedua dialog tersebut terkait pembicaraan pelatih sepakbola dari Australia. Tanggapan yang diberikan oleh mitra tutur dalam hal ini redaksi tidak relevan dengan masalah yang akan dibicarakan. Berita tersebut terkait masalah olahraga akan tetapi tanggapan yang disampaikan terkait masalah tokoh politik dan agama.

4) Maksim pelaksanaan

  Maksim pelaksanaan ini mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Kita dapat melihat tindak tutur berikut ini: Ditanya soal reshuffle kabinet, Yusuf Asy‟ari mengatakan siap angkat koper.

  Istilahnya tereliminasi, Pak....

  Tuturan tersebut mengandung pernyataan yang tidak jelas. Tuturan tersebut tidak mengandung maksud bahwa Yusuf Asy‟ari mengangkat koper karena kepentingan tertentu, akan tetapi mengandung maksud bahwa dirinya akan melepaskan jabatan. Ungkapan angkat koper sebenarnya untuk mengaburkan maksud berhenti dari jabatan. Jadi, tuturan tersebut telah melanggar maksim pelaksanaan karena tidak menggunakan tuturan yang langsung dan jelas.

b. Prinsip Kesopanan

  Dalam melakukan tindak tutur, seorang penutur kadang berbicara secara tidak langsung kepada lawan tutur. Hal demikian terjadi agar terpelihara kesopanan atau perasaan lawan tuturnya.

  Sebelum membicarakan lebih jauh keenam maksim kesopanan ada baiknya terlebih dahulu diterangkan mengenai bentuk-bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim kesopanan. Bentuk-bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, eskpresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan perjanjian atau penawaran. Ujaran imposif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan.

  Wijana ( 1996: 56) memberikan penjelasan tentang prinsip kesopanan yang memiliki sejumlah maksim, yaitu sebagai berikut:

  1) Maksim kebijaksanaan

  Maksim kebijaksanaan mengharuskan setiap peserta tuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain.

  Maksim kebijaksanaan diungkapkan dengan tuturan impositif dan komisif.

  Tuturan impositif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, dan sebagainya. Kita dapat melihat ujaran dibawah ini: Budayawan Sudiyatmana menyatakan perlunya digagas Perda Penggunaan Bahasa Jawa.

  Sumangga Rama....

  Tuturan tersebut menunjukkan bentuk kesopanan. Tuturan Sumangga bentuk ucapan yang memiliki tingkat kesopanan yang tinggi. Kata

  Rama... Sumangga untuk menyebutkan penghormatan.

  2) Maksim penerimaan

  Maksim penerimaan mengharuskan peserta tutur untuk memaksimalkan kerugian diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Maksim penerimaan diutarakan dengan kalimat komisif dan impositif. Kita dapat melihat dalam contoh dibawah ini: Angie pernah bintangi iklan antikorupsi

  Ah, “ Katakan tidak untuk iklan!”

  Tuturan di atas diutarakan dengan kalimat impositif yaitu memerintahkan agar pembaca tidak lagi mengikuti iklan antikorupsi. Tampak pada tuturan “Ah,

  “Katakan tidak untuk iklan” dirasa kurang sopan karena penutur berusaha memaksimalkan keuntungan diri sendirinya dengan menyusahkan orang lain.

  Sebaliknya, pada tuturan tersebut penutur berusaha memaksimalkan kerugian orang lain dengan meminimalkan kerugian diri sendiri.

  3) Maksim kemurahan

  Maksim kemurahan mengharuskan peserta tutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain.

  Maksim kemurahan yang diutarakan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Contoh : Hari pertama masuk kerja, 3 persen PNS Pemprov jateng absen.

  Mungkin jadi panitia kupatan di desa.

  Tuturan tersebut diungkapkan untuk mengejek kepada para PNS yang absen. Tanggapan yang disampaikan menggunakan adalah tuturan yang tetap menghormati keadaan para PNS tersebut. Hali ini dapat dilihat dari tuturan mungkin jadi panitia kupatan di desa.

  4) Maksim kerendahan hati.

  Maksim kerendahan hati mengharuskan peserta tutur memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, atau meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.

  Contoh: Tommy bebas bersyarat

  Ah. Sudah lama didugakan?

  Tuturan tersebut bertujuan untuk memberikan sikap hormat kepada Tommy yang mendapatkan hukuman pembebasan tanpa syarat ( remisi). Tuturan ah,

  

sudah lama didugakan?. diungkapkan dengan memaksimalkan rasa hormat

kepada orang lain, dan meminimalkan rasa hormat kepada diri sendiri.

  5) Maksim kecocokan

  Maksim kecocokan mengharuskan setiap peserta tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka dan meminimalkan ketidakcocokan.

  Maksim kecocokan juga diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Kita dapat melihat dialog dibawah ini: Budayawan Sudiyatmana menyatakan perlunya digagas Perda penggunaan Bahasa Jawa.

  Sumangga Rama...

  Tuturan tersebut menunjukan bentuk kecocokan. Sudiyatmana menyatakan

  usulan untuk mengadakan Perda Bahasa Jawa. Usulan tersebut ditanggapi dengan bentuk persetujuan yang terlihat dari tuturan Sumangga Rama...

  6) Maksim kesimpatian