ANALISIS PLOIDI SECARA KONVENSIONAL DAN METODA FLOW CYTOMETRY
ANALISIS PLOIDI SECARA KONVENSIONAL DAN METODA
FLOW CYTOMETRY
Zulkarnain*
Abstract
Ploidy analysis, particularly the assessment on the chromosome number, of a species is a very crucial
first step in plant breeding programme. Various ploidy analysis methods have been developed so far.
The simplest method has been the staining of chromosomes in root tip or microspore cells. By this
technique, the number of chromosomes can be determined precisely, and karyotype study of the
chromosomes is likely to be conducted. Other method is by evaluating plant morphology or
anatomical characteristics such as stomatal diameter and density, chlorophyll content within guard
cells, diameter and viability of pollen grains, and leaf thickness, which are different according to the
ploidy levels. Although this method offers a high accuracy, the staining technique or the evaluation of
plant characteristics is not reliable to be used to evaluate the ploidy level of large scale population,
because it is a time-consuming and laborious work. Now, a useful method for large-scale ploidy
analysis, flow cytometry technique, has been developed. Although the initial investment is quite
expensive, the benefit it offers for long-term large-scale ploidy analysis has made this method
economically sound. This method of ploidy analysis rely on the nuclear DNA staining, which are then
analyzed optically using an instrument called flow cytometer. The output of the reading is a histogram
having different G1 peak for different ploidy levels. With the use of standard plant of known ploidy,
the ploidy level of sample plant can be predicted based on the difference of their G1 peaks. This
method is capable to analysis the ploidy level rapidly, but can not determine the number of
chromosome. Both conventional and flow cytometry method have their own advantages and
disadvantages. The choice of which method is going to be used will much depend upon the
availability of resources and the objective of the works.Key words: flow cytometry, chromosome, plant breeding, ploidy.
PENDAHULUAN
kultur jaringan dikarenakan peluang bagi terjadinya keragaman ploidi pada Penentuan tingkat ploidi suatu spesies individu yang diregenerasikan lebih atau kultivar merupakan langkah penting tinggi daripada perbanyakan dalam program pemuliaan tanaman. konvensional. Terjadinya pengurangan Seringkali perubahan pada tingkat ploidi atau penggandaan jumlah kromosom suatu tanaman disertai oleh perubahan- dapat berlangsung sebagai akibat perubahan pada tampilan morfologi, pengaruh zat pengatur tumbuh, respon terhadap kondisi lingkungan komposisi medium atau faktor-faktor tertentu, daya tahan terhadap serangan lain selama periode kultur. hama dan penyakit, atau bahkan Metoda penentuan ploidi yang paling produktifitasnya. Perubahan-perubahan sederhana adalah secara langsung ini dapat bersifat menguntungkan atau menghitung jumlah kromosom di bawah justru sebaliknya. mikroskop cahaya dengan bantuan
Penentuan jumlah ploidi sangat pewarnaan aceto-orcein atau aceto- banyak diterapkan dalam sistem carmine (Prakash, 2000). Jaringan perbanyakan tanaman melalui teknik tanaman atau organ yang dapat
Analisis Ploidi…
digunakan untuk tujuan ini adalah ujung akar dan sel induk mikrospora. Cara lain yang juga masih relatif sederhana adalah dengan metoda pewarnan fluorescein diacetate (FDA) dan diamati di bawah mikroskop ultra violet (Compton et al., 1999). Baik metoda pewarnaan orcein, carmine ataupun FDA dapat digunakan untuk mengkonfirmasi karakteristik organ atau jaringan tanaman yang berbeda sebagai akibat perbedaan tingkat ploidinya. Jaringan atau organ yang dapat dijadikan parameter tingkat ploidi adalah diameter stomata (Borrino dan Powell, 1988; Cramer, 1999), kerapatan stomata per satuan luas (Tan dan Dunn, 1973; Borrino dan Powell, 1988; Cramer, 1999), jumlah kloroplas di dalam sel penjaga (Tenkouano et al., 1998; Compton et al., 1999), diameter serbuk sari serta viabilitas serbuk sari (Tenkouano et al., 1998; Cramer, 1999; Zulkarnain, 2004). Selain itu dapat pula menggunakan parameter morfologi tanaman untuk sebagai indikator tingkat ploidi, seperti ukuran tinggi tanaman, luas daun dan ukuran bunga (Zulkarnain, 2004).
Pesatnya program pemuliaan tanaman menghendaki dukungan metoda analisis ploidi yang cepat, efektif dan efisien, terutama bila seorang pemulia bekerja dengan populasi tanaman yang besar. Hal ini tentu saja tidak mungkin mengandalkan pada teknik pewarnaan konvensional, dan memeriksa ploidi tanaman satu per satu. Oleh karenanya, telah dikembangkan suatu metoda analisis yang sangat handal untuk menentukan tingkat ploidi tanaman dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang cepat, yaitu yang dikenal dengan Flow Cytometry Method (FCM). Metoda ini telah terbukti efektif pada berbagai spesies tanaman (Sgorbati
et al. , 1986; Dickson et al., 1992; Tosca et al. , 1995; Zonneveld dan Iren, 2000;
Azhar dan Rusli, 2000a; 2000b; Lin et
al. , 2001). Tulisan ini bertujuan untuk
membahas prosedur kedua metoda analisis ploidi (konvensional dan flow cytometry) dan melihat keunggulan dan kelemahan dari kedua metoda tersebut.
ANALISIS PLOIDI SECARA KONVENSIONAL Persiapan larutan pewarna
Menurut Prakash (2000), pewarnaan kromosom dengan pewarna orcein memberikan hasil yang lebih baik daripada penggunaan pewarna carmine. Di samping itu pewarnaan dengan orcein tidak menghendaki adanya mordan, sementara pewarna carmine menghendaki adanya mordan (biasanya feri asetat dalam jumlah yang sangat kecil) untuk mendapatkan pewarnaan yang baik. Mordan adalah suatu garam logam yang dapat merubah sifat pewarna tertentu. Dengan adanya mordan akan terbentuk suatu kompleks-pewarna- mordan-jaringan yang tidak larut di dalam alkohol atau pelarut lain yang digunakan dalam mikroteknik.
Baik orcein maupun carmine biasanya dilarutkan di dalam asam asetat glasial panas (Darlington dan LaCour, 1976; Sharma dan Sharma, 1980), namun hasil yang lebih baik akan diperoleh bila dilarutkan di dalam asam propionat (Prakash, 2000). Oleh karena orcein akan mengalami kerusakan dengan cepat bila berada di dalam larutan asam, maka dianjurkan untuk membuat larutan orcein di dalam asam asetat glasial dengan konsentrasi 2,2% (w/v) (sebagai larutan akhir 1% beberapa saat sebelum digunakan. Larutan stok orcein hendaknya disimpan di dalam lemari pendingin.
Berikut adalah prosedur untuk mempersiapkan larutan pewarna aceto- orcein dan aceto-carmine. Siapkan 100 mL asam asetat 45% dengan mencampur asam asetat glasial dengan air suling dan panaskan hingga mendidih (di dalam
fume hood ). Kemudian masukkan 2,2 g
carmine atau orcein, kocok, dan panaskan selama 5
- – 10 menit. Setelah dingin, larutan disaring menggunakan saringan nilon 150 µm. Apabila menggunakan carmine, tambahkan satu larutan ferri asetat jenuh (di dalam asam asetat 45%) sebagai mordan. Apabila menggunakan orcein, langkah ini tidak perlu dilakukan. Larutan pewarna ini dapat disimpan pada suhu 4
o
C sebelum diencerkan dan disaring lagi pada saat akan digunakan.
Siapan ujung akar (root tip squash)
Akar sepanjang lebih-kurang 1 cm diambil dari tanaman setelah kira-kira satu jam tersedia cahaya. Pada kondisi demikian kromosom pada berbagai fase mitosis dapat dijumpai dan diamati dengan jelas di bawah mikroskop.
- – 0,4 mm dari bagian ujung; sisa akar selanjutnya dibuang. Dua tetes aceton-orcein atau aceto-carmine 1% (tanpa HCl) diberikan pada potongan ujung akar tersebut. Kemudian potongan ujung akar dilumatkan dengan menggunakan tangkai spatula sehingga terbentuk larutan berwarna susu. Bila diperlukan dapat ditambahkan satu atau dua tetes larutan pewarna.
Akar yang dipanen segera direndam di dalam larutan kolkisin 0,1% selama kira- kira 4 jam pada suhu kamar. Selanjutnya akar tersebut dibilas dengan air suling dan dapat disimpan di dalam alkohol 70% pada suhu 4
o
C sampai saatnya digunakan, atau dapat langsung digunakan pada prosedur selanjutnya. Pemberian pra-perlakuan dengan larutan kolkisin ditujukan untuk membantu dalam penghitungan jumlah kromosom (Prakash, 2000). Kolkisin adalah senyawa yang menghalangi mitosis dan metafase atau prometafase yang tertambat dengan kromosom yang menyebar atau mengelompok (Vaughan dan Vaughn, 1998), yang dapat diamati dengan mudah menggunakan mikroskop cahaya.
Akar-akar terpilih dikeluarkan dari alkohol dan dicuci bersih dengan air suling untuk membuang sisa-sisa alkohol. Selanjutnya akar tersebut dimasukkan ke dalam botol vial berisi kira-kira 2 mL (sekedar cukup untuk merendam spesimen) campuran antara larutan pewarna dengan asam (9 bagian aceto-orcein atau aceto-carmine 1% plus 1 bagian HCl 1 N) untuk hidrolisasi. Botol vial selanjutnya dihangatkan secara perlahan-lahan pada sebuah lampu alkohol untuk membantu meningkatkan penyerapan bahan pewarna. Kemudian botol berikut akar di dalamnya didinginkan kira-kira 10 menit hingga mencapai suhu kamar.
Satu potongan akar selanjutnya dikeluarkan dari campuran larutan pewarna-asam dan diletakkan di atas kaca objek bersih. Ujung akar dipotong kira-kira 0,2
Kaca penutup berlapis albumin atau berlapis serum darah (ketebalan No. 1) digunakan untuk menutup spesimen. Kelebihan pewarna dapat dibuang dengan cara menyerapnya menggunakan kertas saring (Whatman No. 1). Kaca objek sekali lagi dihangatkan untuk
Analisis Ploidi…
Tetraploid 27,72 ± 0,20 47,35 ± 0,76 Pelargonium × hortorum Diploid 4,41 ± 0,36 - Cramer (1999)
(adaxial) , tergantung pada spesies
Suatu lapisan tipis cat kuku bening dioleskan pada permukaan daun bagian bawah (abaxial) atau bagian atas
s
pada kondisi in vitro atau 650
s
Untuk evaluasi stomata hendaknya gunakan daun-daun dewasa. Pekerjaan ini harus dilakukan pada saat stomata berada dalam keadaan membuka penuh, yakni ketika intensitas cahaya 50 µmol m
Tetraploid 135,00 ± 1,00 90,0 ± 1,10 Karakteristik stomata
Tetraploid 5,90 ± 0,46 - Musa sp. Diploid 100,00 ± 1,00 90,8 ± 1,50 Tenkouano et al.(1998) Triploid 112,00 ± 1,00 49,1 ± 3,30
Referensi Swainsona formosa Diploid 21,27 ± 0,22 65,30 ± 0,83 Zulkarnain (2004)
mungkin terbentuk. Selanjutnya dapat dilakukan pengamatan dan penghitungan jumlah kromosom di bawah mikroskop, dan dilakukan pemotretan bila perlu.
Tanaman Tingkat ploidi Diameter (µm) Viabilitas (%)
Tabel 1. Contoh pengamatan diameter dan viabilitas mikrospora pada beberapa spesies tanaman dengan tingkat ploidi yang berbeda.
Spesimen selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan diamati di bawah mikroskop cahaya sebagaimana halnya dengan siapan ujung akar. Selain menghitung jumlah kromosom, diameter dan viabilitas mikrospora dapat ditentukan dengan menggunakan teknik ini. Mikrospora yang viabel akan menyerap pewarna lebih banyak sehingga berwarna lebih pekat, dan sebaliknya, mikrospora yang tidak viabel memiliki warna yang kurang pekat. Beberapa contoh pengamatan diameter dan viabilitas mikrospora disajikan pada Tabel 1. Pada umumnya, mikrospora tanaman diploid lebih kecil daripada tanaman tetraploid, namun memiliki viabilitas yang lebih tinggi.
Tunas bunga dengan ukuran berbeda (tergantung pada spesies tanaman) dapat diisolasi kapan saja dari tanaman induk tanpa tergantung pada kondisi cahaya. Bagian luar bunga (kelopak dan mahkota) dibuang untuk mendapatkan antera. Satu antera diambil dan diletakkan di atas kaca objek, lalu ditetesi dengan satu atau dua tetes perwarna aceto orcein atau aceto carmine 1% (tanpa HCl) (Prakash, 2000). Bagian tengah antera dipotong menggunakan skalpel bersih dan tajam, lalu kedua ujung antera di tekan untuk memaksa mikrospora keluar. Sisa-sisa antera selanjutnya dibuang.
Siapan antera (anther squash)
C dan keadaan gelap total selama kira-kira satu minggu dengan kualitas pewarnaan yang tetap baik.
o
Apabila spesimen ingin di simpan untuk jangka waktu yang agak lama, maka pada tepi kaca penutup dapat diolesi dengan pewarna kuku (kuteks) bening untuk menghindari terjadinya evaporasi. Dengan menempatkan kaca objek di dalam cawan Petri tertutup yang berisi kertas saring lembab, spesimen dapat disimpan pada suhu 4
- 2
- 1
- – 1200 µmol m
- 2
- 1 untuk kondisi in vivo.
Dengan menggunakan pinset, lapisan cat kuku berikut satu lapis tipis sel-sel epidermis dikelupaskan dan diletakkan pada kaca objek bersih. Kemudian spesimen ditetesi dengan satu atau dua tetes air bersih untuk meregangkannya, lalu ditutup dengan kaca penutup (ketebalan No. 1). Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop cahaya. Untuk diameter stomata, pengukuran dilakukan menggunakan skala mikrometer, yang dipasang pada lensa okuler, terhadap stomata yang membuka penuh. Sementara kerapatan stomata dihitung dengan membandingkan jumlah stomata per satuan luas yang diamati. Dari sejumlah penelitian, didapatkan bahwa pada umumnya tanaman diploid memiliki stomata lebih sempit dengan kerapatan yang lebih tinggi daripada tanaman tetraploid (Tabel 2).
Tabel 2. Contoh pengamatan lebar diameter dan kerapatan stomata pada beberapa spesies tanaman dengan tingkat ploidi yang berbeda.
Tanaman Tingkat ploidi Diameter (µm) kerapatan (mm -2 ) Referensi
Swainsona formosa Diploid 24,19 ± 0,46 116,29 ± 1,80 Zulkarnain (2004)
Tetraploid 36,54 ± 0,44 39,62 ± 1,72Pelargonium × hortorum Diploid 2,46 ± 0,10 30,00 ± 2,36 Cramer (1999) Tetraploid 3,36 ± 0,28 10,50 ± 1,35
Selain diameter dan kerapatan, karakteristik lain dari stomata yang dapat dijadikan pembeda tingkat ploidi adalah jumlah kloroplas yang terdapat di dalam sel-sel penjaga (Tabel 3). Keakuratan parameter ini telah terbukti pada tanaman
Solanum phureja (Singsit dan Veilleux,
1991), Arachis (Singsit dan Ozias-Akins, 1992) dan Citrulus vulgaris (Compton et al., 1999).
Morfologi tanaman
Morfologi tanaman adalah parameter yang paling mudah diamati untuk membedakan tingkat ploidi tanaman. Antara tanaman diploid dan tetraploid terdapat perbedaan morfologi yang nyata
(Cramer, 1999). Variabel morfologi yang dapat diukur adalah tinggi tanaman, luas daun (Zulkarnain, 2004), jumlah daun (Hamill dan Smith, 2002), ukuran umbi (Hamill dan Smith, 2002), ukuran bunga dan panjang tangkai bunga (Zulkarnain, 2004). Pada tanaman tetraploid, luas daunnya cenderung lebih besar daripada tanaman diploid, misalnya pada Alocasia (Thao et al., 2003) dan
Swainsona formosa (Zulkarnain, 2004).
Selain itu, helai daun tanaman tetraploid juga lebih tebal daripada tanaman diploid (Cramer, 1999; Zulkarnain, 2004). Pada tanaman jahe, umbi yang berasal dari tanaman tetraploid lebih besar daripada umbi yang berasal dari tanaman diploid Analisis Ploidi…
(Hamill dan Smith, 2002). Demikian Swainsona formosa tetraploid memiliki pula halnya dengan tangkai bunga dan tangkai yang lebih panjang dengan ukuran bunga, di mana dilaporkan oleh ukuran bunga yang lebih besar daripada Zulkarnain (2004), bahwa tanaman kerabat diploidnya.
Tabel 3. Contoh pengamatan jumlah kloroplas per pasangan sel penjaga pada tanaman semangka dan pisang.
Tanaman Asal tanaman Tingkat ploidi Referensi Σ kloroplas Citrulus vulgaris Kultur pucuk Diploid 9,73 ± 0,46 Compton et al. (1999)
Tetraploid 17,16 ± 0,65 Plantlet Diploid 9,37 ± 0,49 Tetraploid 17,10 ± 0,55 Rumah kaca Diploid 11,19 ± 0,58 Tetraploid 18,71 ± 0,71
- Musa sp. Diploid 10,10 ± 0,20 Tenkouano et al. (1998) Triploid 13,10 ± 0,20 Tetraploid 15,50 ± 0,30
Tabel 4. Contoh pengamatan luas daun, ukuran bunga dan panjang tangkai bunga pada tanaman Swainsona formosa diploid dan tetraploid (Zulkarnain, 2004).
Tingkat Luas daun Panjang Lebar mahkota Lebar bendera Panjang tangkai
2ploidi (mm ) mahkota (mm) (mm) (mm) bunga (mm)
Diploid 572,04 37,91 86,07 0,27 32,37 0,30 34,12 0,32 122,30 1,74Tetraploid 1347,24 34,61 85,96 0,25 37,93 0,27 42,54 0,29 150,38 1,58
ANALISIS PLOIDI DENGAN sel dikeluarkan dari sel-sel di dalam METODA FLOW CYTOMETRY jaringan daun yang mengalami
perlukaan, langsung ke dalam 2 mL
Persiapan bahan tanaman bufer lisis LBO1 yang dilengkapi dengan
Jaringan tanaman yang digunakan pewarna fluorochrome 4’,6-diamidino-2-
dalam analisis flow cytometry (FCM) phenylindole (DAPI). Pewarna DAPI harus bebas dari penyakit dan berbagai lebih banyak digunakan daripada stres. Penggunaan daun-daun atau pewarna fluorochrome lainnya (misalnya pucuk-pucuk muda biasanya propidion iodida, PI) karena memiliki memberikan hasil yang sangat baik intensitas dan kekhasan ikatan DNA- (Azhar dan Rusli, 2000a). DAPI dan relatif lambat pudar
Sebanyak 50
- – 100 mg daun-daun (Kapuściński dan Skoczylas, 1977; muda diambil dari tanaman sampel dan James dan Jope, 1978; Coleman et al., dicacah di dalam cawan petri 1981). menggunakan pisau skalpel yang bersih Pewarna DAPI memberikan dan tajam (Galbraith et al., 1983). Inti fluoresensi dan resolusi yang tinggi,
Persiapan bufer lisis
Komposisi bufer lisis mempengaruhi efisiensinya untuk menghambat aktifitas enzim nuklease dan mempertahankan integritas inti. Bufer lisis yang paling umum digunakan di dalam analisis FCM adalah LBO1, yang dibuat dengan mencampur 363,4 mg Tris, 148,8 mg Na
tetrahydrate, 1,193 g KCl, 233,8 g NaCl dan 0,2 mL Triton X-100 di dalam 200 mL air suling pada pH 7,5. Selanjutnya, sebanyak 0,22 mL
-mercaptoethanol ditambahkan pada campuran tersebut sebelum disaring menggunakan saringan nilon berdiameter 0,22 µm. Campuran tersebut dapat disimpan pada suhu
o
C dalam bentuk 10 mL aliquot sebelum digunakan.
Standar
FCM menggunakan standar, baik internal maupun eksternal. Bila menggunakan standar internal, maka inti dari tanaman standar (tingkat ploidi telah diketahui) dan inti dari tanaman sampel diisolasi, diwarnai dan dianalisis secara simultan. Metoda ke-dua menggunakan standar eksternal di mana inti dari tanaman sample diisolasi, diwarnai, dan dianalisis secara individual. Pada kedua metoda tersebut, homogenat inti yang diwarnai disaring menggunakan mesh nilon 50 µm. Tidak ada ketentuan umum mengenai standar yang digunakan. Namun demikian, tanaman yang akan digunakan sebagai standar hendaknya mudah ditumbuhkan dengan keragaman yang rendah dan latar belakang genetiknya diketahui. Akan sangat menguntungkan apabila tanaman standar memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan tanaman sampel.
Kandungan DNA selanjutnya dikuantifikasi menggunakan rasio puncak G1 menggunakan rumus berikut, sehingga tingkat ploidinya dapat ditentukan: i fluoresens rasio
- –10
(pg) diketahui telah yang inti DNA kandungan
2C (pg) inti DNA kandungan
2C di mana C adalah kandungan DNA pada kromosom haploid. Tabel 5 menyajikan kandungan DNA inti dari beberapa spesies tanaman berdasarkan pengukuran menggunakan FCM.
Pada sejumlah tanaman, puncak histogram dapat berubah nomor salurannya sebagai akibat terjadinya
Sehingga, dianjurkan penggunaan standar internal untuk mengeliminir resiko timbulnya error sebagai akibat keragaman dalam persiapan sampel dan ketidakstabilan instrumen. Akan tetapi, untuk skrining dalam skala besar, penggunaan standar internal kurang memberikan hasil yang akurat (Azhar Analisis Ploidi…
Tabel 5. Kandungan DNA inti pada jaringan daun sejumlah spesies tanaman berdasarkan pengukuran dengan metoda flowcytometry (Galbraith et al., 1983).
Tanaman Kandungan DNA inti (pg) KK puncak G1 (%)
Nilai 2C (pg) Agropyron smithii 0,81 7,3 Antirrhinum majus 1,03 7,1 3,7 Bouteloua gracilis 39,38 6,4 Capsicum annuum 5,52 4,7 Catharanthus roseus 4,84 9,7 Coleus blumei 3,43 6,3 Elymus canadensis 21,60 4,4 Euphorbia pulcherima 2,62 10,8 Helianthus annuus 3,57 6,2 6,3 Ipomoea purpurea 1,08 8,1 Lycopersicon esculentum 1,48 6,7 2,0 - 5,1 Nicotiana glauca 6,91 5,7 Nicotiana glutinosa 4,08 5,9 Nicotiana knightiana 6,04 6,4 Nicotiana nesophila 10,15 6,9 9,7 Nicotiana paniculata 5,53 6,4 Nicotiana paniculata (haploid, dari kultur antera) 2,74 7,1 Nicotiana sylvestris 5,43 4,8 Nicotiana sylvestris (haploid, dari kultur antera) 2,74 6,9 Nicotiana tabacum cv. Xanthi 9,67 3,8 Nicotiana stocktonii 9,45 6,3 Panicum thermale 2,12 10,8
Pisum sativum 7,72 5,2 9,8 - 10,5
Solidago canadensis 3,13 7,0 Solanum melongena var. esculentum 2,33 4,7 Zea mays5,99 5,2 4,7 - 11,0
Oleh karena rasio antara standar dan sampel mencerminkan perubahan kandungan DNA, abnormalitas tanaman setelah perubahan tingkat ploidi, misalnya setelah iradiasi, juga dapat diidentifikasi. Misalnya, menurut Azhar
et al. (2000), ada perbedaan yang
signifikan antara tanaman padi varietas MR84 (Mardi Rice 84) dengan galur mutannya. Kandungan DNA inti tanaman mutan lebih tinggi daripada tanaman kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa analisis FCM dapat digunakan untuk studi keragaman pada induksi mutasi.
Analisis FCM
Presisi analisis FCM dalam memberikan data yang tidak mengambang dan signifikan secara statistik membutuhkan setidak-tidaknya 5000 hingga 20000 inti untuk dianalisis. Selain itu, teknik ini juga memiliki tingkat resolusi yang tinggi, dengan Koefeisien Keragaman berkisar antara 1 hingga 3%. Kira-kira 2 mL homogenat inti dianalisis di dalam Cell Counter Analyzer (Model Partec CCA-II) dengan lampu merkuri 100 W (HBO00W/22) sebagai sumber cahaya, pada laju 20 sel per detik. Penting untuk melakukan analisis pada laju yang rendah agar diperoleh resolusi tertinggi.
Oleh karena DNA mengikat pewarna fluorescein secara spesifik dan stoikiometrik, untuk analisis FCM menggunakan pewarna DAPI dan pewarna PI menghendaki susunan rangkaian optik yang berbeda. Pewarna DAPI membutuhkan kombinasi filter eksitasi UG1, cermin dichroic TK420 serta okuler GG435 dan GG515 pada eksitasi Ultra Violet. Sementara pewarna PI memerlukan kombinasi filter eksitasi EM520, cermin dichroic TK560 dan TK500 serta okuler RG610 ditambah satu filter emisi RG590 pada eksitasi warna hijau. Pada kedua rangkaian optik ini, digunakan pula filter KG1 dan BG38. Fokus dengan resolusi tinggi dapat diperoleh pada pembesaran 10 x 1,25 dibantu oleh minyak emersi. Pemantulan cahaya oleh inti yang diwarnai keluar sebagai pulsa yang dikonversi menjadi pulsa listrik oleh suatu sensor optik. Sinyal puncaknya sebanding dengan amplitudo maksimum dari pulsa dan sinyal integralnya secara langsung sebanding dengan output cahaya fluorescent total dari suatu partikel. Output sinyal analog didigitasi oleh peubah analog-to-digital dan disimpan dalam bentuk histogram (Gambar 1).
Penentuan ploidi tanaman secara jumlah kromosom secara langsung (Hamill et al., 1992; Osuji et al., 1996; Zulkarnain et al., 2002) dengan bantuan berbagai metoda pewarnaan, seperti aceto-carmine, aseto-orcein atau teknik Feulgen. Meskipun metoda ini dapat menghitung jumlah kromosom secara tepat, dan bahkan hasilnya dapat digunakan untuk analisis karyotipe, namun tidak dapat diandalkan untuk skrining skala besar (Tenkouano et al., 1998). Selain itu, dalam beberapa hal, teknik root tip squash pada beberapa spesies tanaman tidak praktis karena kecilnya ukuran kromosom, seperti pada
Atriplex bellardierei (de-Lange, 1996)
dan Swainsona formosa (Zulkarnain et
al. , 2002). Di samping itu, baik metoda
siapan ujung akar maupun siapan antera sangat tergantung pada penentuan tahap pembelahan sel yang tepat agar kromosom dapat terlihat dengan jelas. Tahap yang paling baik adalah metafase, di mana kromosom tersebar secara individual dan terpisah satu sama lain (Ohkawa dan Yokota, 1998).
Walaupun metoda siapan antera relatif lebih sederhana dan lebih mudah daripada metoda siapan ujung akar, metoda ini dihadapkan pada kendala lamanya waktu yang diperlukan sampai tersedianya antera yang memenuhi syarat untuk tujuan analisis. Setidak-tidaknya seorang peneliti harus menunggu sampai tanaman memasuki fase pertumbuhan reproduktif untuk mendapatkan bahan antera yang diperlukan. Pada tanaman yang pembungaannya musiman, seperti tanaman buah-buahan tropis, seorang peneliti harus menunggu setidak-tidak satu tahun. Bahkan pada tanaman bambu yang bersifat monokarpik, kita harus menunggu setidak-tidaknya 12 hingga 24 tahun untuk mendapatkan mikrosporanya
Analisis Ploidi…
Gambar 1. Skema protokol analisis FCM untuk penentuan tingkat ploidi (Zulkarnain, 2003).
Metoda lain yang cukup dapat diandalkan adalah dengan mengamati parameter-parameter seperti karakteristik stomata, jumlah klorofil di dalam sel penjaga, serta ukuran dan viabilitas serbuk sari. Metoda ini relatif mudah dan sederhana, namun tidak dapat digunakan untuk menentukan tingkat kromosom). Lagi pula parameter ini tidak sepenuhnya berlaku universal untuk semua spesies tanaman. Pada sejumlah tanaman terdapat perbedaan yang signifikan dalam ukuran dan kerapatan stoma antara individu diploid dan tetraploid, misalnya pada tanaman jahe (Hamill dan Smith, 2002) dan individu tetraploid memiliki stomata yang lebih besar dengan kerapatan lebih rendah daripada individu diploid. Namun demikian, parameter ini tidak dapat diandalkan untuk penentuan tingkat ploidi pada tanaman pisang (Vandenhout et al., 1995).
KESIMPULAN
Metoda siapan ujung akar dan siapan antera adalah cara yang paling dapat diandalkan untuk menentukan tingkat ploidi tanaman secara akurat, sekaligus mempelajari karyotipe kromosomnya. Akan tetapi, untuk penentuan ploidi dalam skala besar cara ini tidak efisien dan tidak ekonomis.
Metoda lain adalah dengan mempelajari morfologi (seperti ukuran tanaman, luas daun, ketebalan daun, ukuran bunga, dan panjang tangkai bunga) dan karakteristik anatomi tanaman (seperti ukuran dan kerapatan stomata, jumlah klorofil pada sel penjaga, serta ukuran dan viabilitas serbuk sari). Namun cara ini juga dinilai tidak efektif untuk pekerjaan skala besar. Lagipula, informasi ploidi yang diperoleh hanya bersifat qualitatif, dan tidak dapat mengetahui karakteristik kromosom secara detail.
Walaupun analisis FCM tidak dapat digunakan untuk menentukan tingkat ploidi tanaman berdasarkan jumlah kromosomnya, metoda FCM sangat efektif untuk analisis ploidi tanaman dalam skala besar. Metoda analisis ini sederhana, cepat, dan memungkinkan untuk menganalisis ribuan tanaman dalam waktu singkat. Dewasa ini metoda FCM telah memberikan kontribusi nyata bagi analisis DNA analisis FCM diperkirakan akan menjadi alat analisis ploidi tanaman yang makin penting pada masa mendatang. Analisis FCM sangat potensial dalam indentifikasi dini tanaman yang memiliki genom yang tidak stabil (aneuploid, poliploid) yang diregenerasikan dari kultur jaringan, dan dengan bantuan teknik ini tingkat keseragaman serta kualitas agronomi tanaman akan dapat diperbaiki.
DAFTAR PUSTAKA Azhar, M., A. H. Rahim, A. Saad dan D.
Kamarudin. 2000. Variation in rice mutant lines of MR84 variety after Gamma iradiation. Prosiding Biotechnology National Seminar. Lumut, Perak, Malaysia. Azhar, M. dan I. Rusli. 2000a. Flow cytometric analysis of nuclear DNA content in higher plants. Prosiding Malaysian Institute for Nuclear Technology Research and Development Seminar. Selangor: 19- 25. Azhar, M. dan I. Rusli. 2000b.
Optimising flow cytometric analysis for nuclear DNA in Musa spp.
Tropical Plant Biology Research in Malaysia: Fruit and Vegetables 9:
345-349. Borrino, E. M. dan W. Powell. 1988.
Stomatal guard cell length as an indicator of ploidy in microspore- derived plants of barley. Genome 30: 158-160. Coleman, A. W., M. J. Maguire dan J. R.
Coleman. 1981. Mithramycin and 4',6-diamidino-2-phenylindole (DAPI) DNA staining for fluorescence microspectrophotometric measure- Analisis Ploidi…
virus particles. Journal of
Chromosome numbers and their variation patterns of Carex in the Ryukyu Islands. Cytologia 63: 447- 457. Osuji, J. O., B. E. Okoli dan R. Ortiz.
Cellular Biology 79: 623-630.
Kapuscinski, J. dan B. Skoczylas. 1977.
Simple and rapid fluorometric method for DNA microassay. Annals of
Biochemistry 83: 252-257.
Lin, S., H.-C. Lee, W.-H. Chen, C.-C.
Chen, Y.-Y. Kao, Y.-M. Fu, Y.-H. Chen dan T.-Y. Lin. 2001. Nuclear DNA contents of Phalaenopsis sp. and Dorotis pulcherima. Journal of
American Society for Horticultural Science 126: 195-199.
Ohkawa, T. dan M. Yokota. 1998.
1996. An improve procedure for mitotic studies of the Eumusa section of the genus Musa L. (Musaceae).
James, T. W. dan C. Jope. 1978.
Infomusa 5: 12-14.
Prakash, N. 2000. Methods in Plant Microtechnique. University of New England, Armidale, Australia.
Sgorbati, S., M. Levi, E. Sparvoli, F.
Trezzi dan G. Lucchini. 1986. Cytometry and flow cytometry of 4',6- diamidino-2-phenylindole (DAPI)- stained suspension of nuclei released from fresh and fixed tissue of plants.
Physiologia Plantarum 68: 471-476.
Sharma, A. K. dan A. Sharma. 1980.
Chromosome Techniques: Theory and Practice (3
rd
Visualisation by fluorescence of chloroplast DNA in higher plants by means of DNA-specific probe 4',6- diamidino-2-phenylindole. Journal of
Dodd. 1992. In vitro induction of banana autotetraploids by colchicine diploids. Australian Journal of Botany 40: 887-896.
Histochemistry and Cytochemistry 29: 959-968.
Atriplex billardierei , Chenopodiaceae. New Zealand Journal of Botany 35.
Compton, M. E., N. Barnett dan D. J.
Gray. 1999. Use of fluorescein diacetate (FDA) to determine ploidy of in vitro watermelon shoots. Plant
Cell, Tissue and Organ Culture 58: 199-203.
Cramer,
C. S. 1999. Laboratory techniques for determining ploidy in plants. HortTechnology 9: 594-596. Darlington, C. D. dan L. F. LaCour.
1976. The Handling of Chromosomes (6
th edition). Willey, New York.
de-Lange, P. J. 1996. Chromosome number of New Zealand specimens of
Dickson, E. E., K. Arumuganathan, S.
Hamill, S. D., M. K. Smith dan W. W.
Kresovich dan J. J. Doyle. 1992. Nuclear DNA content variation within the Rosaceae. American Journal of
Botany 79: 1081-1086.
Esau, K. 1965. Plant anatomy (2
nd
edition). John Wiley and Sons, Inc, New York. Galbraith, D. W., K. R. Harkins, J. M.
Maddox, N. M. Ayres, D. P. Sharma dan E. Firoozabady. 1983. Rapid flow cytometric analysis of the cell cycle in intact plant tissues. Science 220: 1049-1051. Hamill, S. dan M. Smith. 2002. In Vitro
Induction and Field Selection of Stable Autotetraploid Ginger Variety.
Dalam
A. Taji dan R. Williams [eds.], The Important of Plant Tissue Culture and Biotechnology in Plant Sciences, 171-178. University of New England, Armidale.
edition). Butterworths, London. Singsit, C. dan P. Ozias-Akins. 1992.
vitro -regenerated interspecific Arachis hybrids and fertile triploids. Euphytica 64: 183-188.
Reports 14: 455-458.
Swainsona formosa (Fabaceae). New Zealand Journal of Botany 40: 331-
2002. Chromosome number in
tetraploid relatives obtained from oryzalin treatment. Hayati 11: 6-10. Zulkarnain, Z., A. Taji dan N. Prakash.
Swainsona formosa and their
Zulkarnain. 2004. Comparison of diploid
Sturt's Desert Pea, Swainsona formosa (G.Don) J.Thompson, Using In Vitro and In Vivo Techniques. Tesis PhD, University of New England, Armidale.
Flow cytometric analysis of DNA content in Hosta reveals ploidy chimeras. Euphytica 111: 105-110. Zulkarnain. 2003. Breeding Strategies in
1998. Mitotic disrupters from higher plants and their potential uses as herbicides. Weed Technology 2: 533- 539. Zonneveld, B. J. M. dan F. V. Iren. 2000.
Effect of ploidy on stomatal and other quantitative traits in plantain and banana hybrids. Euphytica 83: 117- 122. Vaughan, M. A. dan K. C. Vaughn.
Vandenhout, H., R. Ortiz, D. Vuylsteke, R. Swennen dan K. V. Bai. 1995.
Fasoli dan S. Sgorbati. 1995. Determination by flow cytometry of the chromosome doubling capacity of colchicine and oryzalin in gynogenetic haploids of gerbera. Plant Cell
Singsit, C. dan R. E. Veilleux. 1991.
oryzalin treatments. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 72: 19-25. Tosca, A., R. Pandolfi, S. Citterio, A.
Alocasia through colchicine and
Induction of tetraploids in ornamental
Thao, B. T. P., K. Ureshino, I. Miyajima, Y. Ozaki dan H. Okubo. 2003.
HortScience 33: 889-890.
Crouch dan D. Vuylsteke. 1998. Ploidy determination in Musa germplasm using pollen and chloroplast characteristics.
Relationship of stomatal length and frequency and pollen-grain diameter to ploidy level in Bromus inermis Leyss. Crop Science 13: 332-334. Tenkouano, A., J. H. Crouch, H. K.
2002. In Vitro Plant Breeding. Haworth Press, Inc., New York. Tan, G.-Y. dan G. M. Dunn. 1973.
Taji, A., P. Kumar dan P. Lakshmanan.
HortScience 26: 592-594.
Chloroplast density in guard cells of leaves of anther-derived potato plants grown in vitro and in vivo .
333.