BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP A. Konsep Dasar Penyakit - BAB II revisi ujian

BAB II TINJAUAN TEORI DAN KONSEP A. Konsep Dasar Penyakit 1. Proses penuaan pada system muskoletal kelainan Rheumatoid arthritis Menurut Dewi (2014) proses penuaan pada system muskoletal

  kelainan Rheumatoid arthritis meliputi: a.

  Jaringan penghubung (kolagen dan elastin).

  Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan ikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile strenght dan kekakuan dari kolagen mulai menurun.

  Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan. Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan

  7 bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, dan hambatan dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari.

  b.

  Kartilago.

  Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut , tetapi juga sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

  Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktifitas sehari- hari.

  c.

  Tulang.

  Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi, adalah bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorpsi kembali. Sebagai akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa menjadi berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah penurunan estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan kekakuan dan kekuatan tulang menurun. Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporisis yang lebih lanjut akan menyebabkan nyeri, deformitas dan

  fraktur.

  d.

  Otot.

  Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.

2. Definisi

   Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit autoimun sistemik (Symmons, 2006).

   Artritis rheumatoid merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta

  melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya

  sinovitis erosive simetrik yang terutama mengenai jaringan persendian,

  seringkali juga melibatkan organ tubuh lainya yang disertai nyeri dan kaku pada sistem otot (musculoskeletal) dan jaringan ikat / connective tissue (Sudoyo, 2007) 3. Etiologi

  Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009) a.

  Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

  b.

  Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental

  Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrostero n (DHEA), yang merupakan substrat penting

  dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulasi esterogen dan

  progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat

  respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

  c.

  Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

  d.

  Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian

  (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009).

  e.

  Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo, 2012).

  Penelitian yang dipimpin oleh Saedis Saevarsdottir, MD, PhD dari Universitas Karolinska untuk mengetahui apa hubungan antara merokok dengan respon terhadap pengobatan RA, obat yang digunakan adalah metotreksat dan tumor necrosis factor (TNF) inhibitor. Peneliti Swedia menganalisis data pada lebih dari 1.430 pasien pada tahun 1996 sampai 2006. Pada kelompok tersebut, 873 menggunakan metotreksat dan 535 menggunakan memakai anti-TNFs.

4. Faktor Resiko Artritis Reumatoid RA merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi.

  Reaksi autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik (Surjana, 2009).

  5. Factor-faktor yang mempengaruhi nyeri pada individual seperti factor usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, anestesi keletihan, pengalaman sebelumnya, dukungan keluarga dan sosian (Potter dan Peerry, 2006)

6. Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

  RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010). Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution, 2011): a.

  Stadium sinovitis . Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi

  pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution, 2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang proksimal dan

  metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

  b.

  Stadium destruksi

  Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan sinovial (Nasution, 2011).

  c.

  Stadium deformitas

  Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,

  deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap

  (Nasution, 2011) 7. Diagnosa Artritis Reumatoid

  Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang digunakan, yaitu kriteria diagnosis RA menurut American College of

  Rheumatology (ACR) tahun 1987 dan kriteria American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR)

  tahun 2010 (Pradana, 2012). Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain, pemeriksaan serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, 19 analisis cairan sinovial, foto polos sendi, MRI, dan ultrasound (Longo, 2012).

8. Terapi Artritis Reumatoid

  RA harus ditangani dengan sempurna, penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (Surjana, 2009). Terapi RA bertujuan untuk : a.

  Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien b. Mempertahakan status fungsionalnya c. Mengurangi inflamasi d. Mengendalikan keterlibatan sistemik e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular f. Mengendalikan progresivitas penyakit g.

  Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi 9. Terapi Farmakologik

  Artritis Reumatoid Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid

  Arthritis In The Year

  2000”, Obat-obatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (Symmons, 2006) : a.

  NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan sendi.

  b.

  Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD.

  Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit 20 dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor dengan hati-hati.

  c.

  Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius d. Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik.

  e.

  Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi RA. Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini mungkin. Hal ini didapat dari beberapa penelitian yaitu, kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, DMARD terbukti memberikan manfaat yang bermakna bila diberi sedini mungkin, manfaat penggunaan DMARD akan bertambah bila diberi secara kombinasi, dan DMARD baru yang sudah tersedia terbukti memberikan efek yang menguntungkan bagi pasien. Sebelumnya, terapi yang digunakan berupa terapi piramida saja dimana terapi awal yang diberikan adalah terapi untuk mengurangi gejala saat diganosis sudah mulai ditegakkan dan perubahan terapi dilakukan bila kedaaan sudah semakin memburuk (Suarjana, 2009).

B. Konsep Asuhan Keperawatan 1.

  Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan. Untuk itu, diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam menangani masalah klien sehingga dapat memberi arah terhadap: a.

  Anamnesis Anamnesis dilakukan untuk mengetahui : Identitas meliputi nama, jenis kelamin, usia,alamat, agama, bahasa yang digunakan, status perkawainan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal masuk rumah sakit, dan diagnosis medis. Pada umunya keluhan utama artritis reumatoid adalah nyeri pada daerah sendi yang mengalami masalah. Untuk mempperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST.

  1) Faktor Pencetus (P: Provoking Incident)

  Pengkajian untuk mengindentifikasi faktor yang menjadi predisposisi nyeri.

  a) Bagaimana peristiwa sehingga terjadi nyeri?

  b) Faktor apa saja yang mengakibatkan nyeri?

  2) Kualitas (Q: Quality of Pain)

  Pengkajian untuk menilai bagaimana rasa nyeri dirasakan secara subyektif. Karena sebagian besar deskripsi sifat dari nyeri sulit ditafsirkan.

  a) Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien?

  b) Bagaimana sifat nyeri yang digambarkan pasien?

  3) Lokasi (R: Region)

  Pengkajian untuk mengindentifikasi letak nyeri secara tepat, adanya radiasi dan penyebabnya.

  a) Dimana (dan tunjukan dengan satu jari) rasa nyeri paling hebat mulai dirasakan? b)

  Apakah rasa nyeri menyebar pada area sekitar nyeri? 4)

  Keparahan (S: Scale of Pain) Pengkajian untuk menentukan seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien. Pengkajian ini dapat dilakukan berdasarkan skala nyeri dan pasien menerangkan seberapa jauh rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya. Berat ringannya suatu keluhan nyeri bersifat subyektif.

a) Seberapa berat keluhan yang dirasakan.

  b) Dengan menggunakan skala ukur numeric skala:

  Nyeri ringan Nyeri Berat

Gambar 1.1 Numeric Rating Scale 0-10 ( Perry & Potter, 2005).

  Keterangan 0 : tidak nyeri 1-3 : nyeri ringan 4-6 : nyeri sedang 7-9 : nyeri berat 10 : nyeri sangat berat 5)

  Waktu (T: Time) Pengkajian untuk mendeteksi berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.

  a) Kapan nyeri muncul?

  b) Tanyakan apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga? c) Tanyakan apakah gejala-gejala timbul secara terus-menerus atau hilang timbul.

  d) Tanyakan kapan terakhir kali pasien merasa nyaman atau merasa sangat sehat (Muttaqin, 2009) b.

  Keluhan utama Keluhan utama sering ditemukan pada klien adalah nyeri RA pada persendian yang terkena, adanya keterbatasan gerak yang menyebabkan keterbatasan mobilitas c. Riwayat penyakit sekarang

  Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai penyakit yang diderita pasien dari mulai timbulnya keluhan yang dirasakan sampai saat ini.

  d.

  Riwayat penyakit dahulu Riwayat kesehatan yang lalu seperti riwayat penyakit muskuloskeletal sebelumnya, riwayat pekerjaan pada pekerja yang berhubungan dengan adanya riwayat muskuloskeletal, penggunaan obat-obatan, riwayat mengkonsumsi alkohol dan merokok.

  e.

  Riwayat penyakit keluarga Yang perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang menderita penyakit yang sama karena faktor genetik/keturunan.

  f.

  Pemeriksaan fisik 1)

  Keadaan umum

  Keadaan umum klien lansia yang mengalami biasanya lemah. 2)

  Kesadaran Kesadaran klien biasanya composmentis dan apatis.

  3) Tanda-tanda vital

  (a) Suhu meningkat (>37ºC)

  (b) Nadi meningkat (N: 70-82x/menit)

  (c) Tekanan darah meningkat dalam batas normal

  (d) Pernafasan biasanya mengalami normal atau meningkat

  4) Pola fungsi kesehatan

  Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang bisa dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri pada persendian, ketidakmampuan mobilisasi (a)

  Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan kesehatan.

  (b) Pola nutrisi

  Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan, mual/muntah, dan makanan kesukaan. (c)

  Pola eliminasi Menjelaskan pola fungsi ekskresi, kandung kemih, defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalah nutrisi.

  (d) Pola tidur dan istirahat

  Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap energi, jumlah jam tidur pada siang dan malam, masalah tidur, dan insomnia. (e)

  Pola aktivitas dan istirahat Menggambarkan pola latihan, aktivitas, dan sirkulasi.

  (f) Pola hubungan dan peran

  Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran kelayan terhadap anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah keuangan. (g)

  Pola sensori dan kognitif Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran, perasaan dan pembau. (h)

  Pola persepsi dan konsep diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran diri, harga diri, peran, identitas diri. (i)

  Pola seksual reproduksi Menggambarkan kepuasan / masalah terhadap seksualitas.

  (j) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress.

  (k) Pola tata nilai dan kepercayaan

  Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual 5)

  Pemeriksaan penunjang Menurut Rubenstan, Wayne dan Brandley (2007) pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada artritis rheumatoid adalah: (a)

  Laboratorium Meliputi reaksi aglutinasi, LED meningkat, protein C reaktif (positif pada masa inkubasi), SDP meningkat pada proses inflamasi, Ig (IgG dan IgM) meningkat menunjukkan proses auti imun. (b)

  Foto rongent Menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai penyempitan rongga sendi.

2. Diagnosa keperawatan

  Berikut adalah diagnosa keperawatan yang sering muncul menurut SDKI (2016): Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi musculoskeletal kronis.

  Devinisi nyeri kronis apabila pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan, yang berlangsung lebih dari 3 bulan (SDKI, 2016).

3. Intervensi keperawatan

  Intervensi keperawatan menurut (Suratun, Haryadi, Manurung dan Raenah, 2008) Nyeri kronis berhubungan dengan kondisi musculoskeletal kronis Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah nyeri dapat teratasi Kriteria hasil: 1)

  Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri.

  2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang menggunakan manajemen nyeri

  3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri). 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. Intervensi keperawatan: 1)

  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, kualitas.

  2) Monitor tanda vital. 3)

  Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan.

  4) Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi seperti relaksasi napas dalam, kompres hangat, kompres sere hangat

  5) Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah

  digunakan.

C. Konsep dasar penerapan evidence based nursing practice

  Pada jurnal iptek terapan Andriani (2016) tentang pengaruh kompres sere hangat terhadap penurunan intensitas nyeri artritis rheumatoid pada lanjut usia, didapatkan hasil ada pengaruh pemberian kompres serei hangat terhadap penurunan intensitas nyeri artritis rheumatoid pada lanjut usia dengan rata-rata penurunan intensitas nyeri yang dirasakan setelah dilakukan kompres sere hangat 1,95 dan nilai signifikansi 0,000 <α 0,05. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh kompres sere hangat terhadap penurunan intensitas nyeri artritis rheumatoid pada lanjut usia

1. Tanaman serei a.

  Karateristik tanaman sere Sere atau Cymbopogon citratus atau sering disebut Cymbopogon

  nardus (Lenabatu) merupakan tumbuhan yang masuk ke dalam famili

  rumput-rumputan atau Poaceae. Dikenal juga dengan nama sere dapur (Indonesia), sereh (Sunda), bubu (Halmahera), sere dan sere dapur (Malaysia); tanglad dan salai (Filipina); balioko (Bisaya), slek krey

  sabou (Kamboja), si khai/ shing khai (Laos), sabalin (Myanmar), cha khrai (Thailand). Tanaman ini dikenal dengan istilah Lemongrass

  karena memiliki bau yang kuat seperti lemon, sering ditemukan tumbuh alami di negara-negara tropis. Tanaman serai mampu tumbuh sampai 1-1,5m. Panjang daunnya mencapai 70-80cm dan lebarnya 2- 5cm, berwarna hijau muda, kasar dan mempunyai aroma yang kuat (Wijayakusuma, 2007).

  b.

  Komposisi sere Tanaman sere genus Cymbopogon mengandung suatu enzim, yaitu enzim siklo-oksigenase yang dapat mengurangi peradangan yang diserap melalui kulit pada daerah yang meradang/ bengkak pada penderita artritis rheumatoid, selain itu sere juga memiliki efek farmokologis yaitu rasa pedas yang bersifat hangat, efek hangat ini akan meransang sistem efektor sehingga mengeluarkan signal yang akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan aliran darah kesetiap jaringan khususnya yang mengalami radang dan nyeri bertambah, sehingga terjadi penurunan nyeri sendi pada jaringan yang meradang (Hyulita, 2014) c. Manfaat sere

  Dalam buku Herbal Indonesia disebutkan bahwa khasiat tanaman sere mengandung minyak atsiri yang memiliki sifat kimiawi dan efek farmakologi yaitu rasa pedas dan bersifat hangat sebagai anti radang

  (anti inflamasi) dan menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang bersifat analgetik serta melancarkan sirkulasi darah, yang di indikasikan untuk menghilangkan nyeri otot dan nyeri sendi pada penderita artritis rheumatoid, badan pengalinu dan sakit kepala (Wiajayakusuma, 2007).

  Masukkan 6 gelas blimbing air, masukkan sere 7 batang yang sudah di cuci 3)

  Handuk kecil 3)

  Waslap 2)

  Persiapan alat 1)

  Tunggu rebusan sere sampai hangat dan tuangkan dalam baskom 2. Prosedur Kompres sere Hangat (Hyulita, 2013) a.

  Matikan api dan turunkan panci dari kompor 5)

  Rebus hingga mendidih 4)

  Menyiapkan wadah perebus (Panci) 2)

  d.

  Cara Pembuatan sere Hangat 1)

  4) Air 6 gelas blimbing b.

  3) Sere 7 batang

  2) Kompor

  1) Panci (untuk merebus)

  Teknik Pembuatan sere Hangat (Hyulita, 2013) a. Persiapan alat :

  Pengalas atau perlak

  4) Baskom berisi rebusan sere hangat b.

  Prosedur kompres sere hangat 1)

  Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan lakukan kepada pasien 2)

  Dekatkan dengan klien air sere yang sudah direbus dan handuk kecil 3)

  Instruksikan kepada klien untuk duduk dengan kaki menggantung 4)

  Memasang alas perlak di area yang akan dilakukan kompres sere hangat 5)

  Celupkan handuk kecil kedalam baskom berisi air sere Kompres pada bagian sendi yang terasa sakit selama 20 menit 6)

  Jika terasa handuk sudah dingin, celupkan kembali handuk ke dalam baskom berisi air sere lalu kompres kembali 7)

  Membersihkan pasien dan tempat setelah selesai tindakan 3. Pemberian Kompres sere hangat

  Pemberian kompres sere hangat diberikan selama 20 hari dengan perlakuan kompres sere yang diberikan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore hari (Hyiulita, 2013).