MAKALAH Makalah ini ditulis untuk memenu

MAKALAH
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah
LOGIKA MANTIQ
“KEBENARAN MASALAH-MASALAH KEBENARAN”

Dosen Pengampu :
ZUMROTUS SA’DIYAH M. Pd I
Ditulis oleh:
1. Fatimatuzzahro (2017.5501.26.0212)
2. Ali mustofa

(2017.5501.26.0187)

3. nia ika famila

(2017.5501.26.0178)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI)
SUNAN GIRI BOJONEGORO

2018

BAB I
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempura. Manusia memiliki banyak
kelebihan dibading dengan makhluk yang lain seperti yang terdapat dalam Al Quran surat AtTin ayat 4 yang artinya :
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaikbaiknya”
(QS At-Tin [95]: 4)”
Satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lain adalah
kepemilikan akal. Akal yang dimiliki oleh manusia, digunakan untuk memilih,
mempertimbangkan, dan menentukan jalan pikirannya sendiri. Dengan menggunakan akal,
manusia mampu memahami Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad
sebagai wahyu. Dengan akal pula, manusia mampu menelaah sejarah Islam dari masa ke
masa mulai dari masa lampau. Akal ini juga digunkan untuk memedaan baik dan buruknya
sesuatu.
Tentu saja kemampuan manusia ini tidak diperoleh begitu saja. Melainkan melalui
pengalaman serta pendidikan, dengan begitu lambat laun manusia mampu mamahami tentang
segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Namun, manusia tidak pernah merasa
puas dengan apa yang telah didapatnya. Rasa ingin tahu, ingin mengerti yang merupakan
kodrat manusia membuat manusia selalu bertanya-tanya apa ini? Apa itu? Bagaimana ini?

Bagaimana itu? Mengapa begini? Mengapa begitu? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul sejak
manusia mulai bisa berbicara dan dapat mengungkapkan isi hatinya. Makin jauh jalan
pikirannya maka semakin banyak pula pertanyaan yang muncul dan tentunya semakin besar
pula usaha yang harus dilakukan. Jika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut mencapai
alasan atau dasar, sebab atau keterangan yang sedalam-dalamnya, maka puaslah ia dan tidak
akan bertanya lagi. Akan tetapi, jika jawaban itu belum mencapai dasar, maka manusia akan
mencari lagi jawaban yang memuaskannya.
Untuk apa sebenarnya manusia bertanya-tanya dan mencari jawaban dari pertanyaanpertanyaan tersebut? Semua itu dilakukan karena manusia ingin mencari kebenaran. Jika
ternyata bahwa pengertiannya dan pengetahuannya itu sesuai dengan hal yang diketahuinya,
maka dikatakan orang bahwa pengetahuannya itu benar. Pengetahuan yang benar adalah
pengetahuan yang sesuai dengan objeknya. Namun kebenaran itu ternyata tidaklah abadi,
artinya sesuatu yang pada suatu saat dianggap benar di saat yang lain dianggap tidak benar.
Ini semua terjadi karena dinamika manusia yang selalu bergerak dan ingin mendapatkan
sesuatu yang baru.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Hakekat Manusia

Dalam rumusan ilmu mantiq (logika), kita temukan sebuah rumusan tentang manusia
dari hewan, yaitu al-insan hayawanun nathiq, yang artinya insan itu adalah hewan (bukan
hewan) yang nathiq, yang mengeluarkan pendapat dan berkata-kata dengan mempergunakan
pikirannya. Tegasnya, manusia adalah hewan yang berpikir.
Pada saat-saat tertentu dalam perjalanan hidupnya, manusia mempertanyakan tentang
asal-usul alam semesta dan asal-usul keberadaan dirinya sendiri. Prof. Dr. R. F. Beerling,
mantan Guru Besar Universitas Indonesia mengatakan, “sepanjang zaman telah dicoba orang
menyatakan dengan berbagai macam cara, dimana letak hakikat perbedaan manusia, misalnya
dengan binatang. Bahwa ia pandai tertawa, bahwa ia memiliki perasaan malu, bahwa ia
membedakan antara yang baik dan yang buruk, bahwa ia memiliki kemauan yang bebas.
Semuanya ini adalah sifat-sifat yang mungkin menimbulkan pandangan tentang manusia
secara filsafat yang panjang lebar. Akan tetapi yang tipis sekali ialah bahwa manusia itu
makhluk bertanya.
Ilmu mantiq menyimpulkan “manusia hewan berpikir” dan Beerling menyimpulkan
“manusia adalah hewan bertanya”. Masalahnya bagi kita ialah bagaimana hubungan antara
pikir dan tanya? Apakah ia saling bertentangan? Apakah ia berbeda? Apakah ia sama?
Berkata sebenarnya ialah mengeluarkan pendapat berdasarkan pikiran. Sedang berpikir
itu sendiri hakikatnya adalah bertanya. Berpikir tentang sesuatu berarti bertanya tentang
sesuatu. Bertanya tentang sesuatu artinya mencari jawaban tentang sesuatu yang
dipertanyakan. Mencari jawaban sama juga mencari kebenaran. Jadi pada akhirnya manusia

adalah makhluk pencari kebenaran.
B.

KEBENARAN

1.

Pengertian Kebenaran

Maksud hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Kebenaran ini menurut kamus besar Baha
sa Indonesia adalah keadaan (hal dsb) yang cocok dengan keadaan (hal) yang
sesungguhnya. Sementara menurut Syafi’i dikutip oleh Marwar didalam
artikelnya, “Kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu” mengatakan bahwa kebenaran itu
adalah kenyataan. Kenyataan yang dimaksud itu tidak selalu yang seharusnya terjadi.
Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran (keburukan). Jadi, ada dua
pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata di satu pihak, dan kebenaran
dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran).
Kebenaran adalah kenyataan yang benar-benar terjadi. Pernyataan ini pasti, dan tidak dapat
dipungkiri lagi. Manusia selalu ingin tahu kebenaran, karena hanya kebenaranlah yang bias
memuaskan rasa ingin tahu, dengan kata lain tujuan pengetahuan ialah mengetahui

kebenaran.

Kita manusia bukan hanya sekedar ingin tahu, tetapi ingin mengetahui kebenaran. Kita juga
selalu ingin memiliki pengetahuan yang benar. Kebenaran ialah persesuaian antara
pengetahuan dan obyeknya. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan
obyeknya.
2.

Macam-macam Kebenaran

Terdapat banyak pandangan mengenai teori kebenaran dalam kaitannya dengan
pengembangan ilmu, di antaranya adalah kebenaran empiris, kebenaran rasional, kebenaran
ilmiah, kebenaran intuitif,dan kebenaran relegius.
a.

Kebenaran empiris.

Empiris adalah suatu keadaan yang bergantung bukti atau konsekuensi yang
teramati oleh indera.Data empiris yang dihasilkan dari percobaan atau pengamatan
(Wikipedia).Jadi, empiris itu artinyakelihatan jelas, ada pembuktiannya, bias kita dengar,

sentuh, berdasarkan pada hal-hal yang
kelihatan dansudah diuji kebenarannya. Merupakan hal yang dapat diinderawi, hal yang
dirasakan oleh manusia denganinderanya. Secara lebih jelas dengan contoh berikut ini:
1.

Api itu panas.

2.

Es itu dingin.

3.

Daun itu hijau.

b.

Kebenaran Rasional.

Rasional berarti menurut pikiran dan pertimbangan yang logis; menurut pikiran yang

sehat; cocokdengan akal. Rasionalisme adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang
kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran
dengan diri sendiri, atau bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan cara membandingkan ide
dengan akal
Manusia merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir,
sehingga kemampuannya tersebut dapat menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu yang
pada akhirnya sampai kepada kebenaran, yaitukebenaran rasional. Sebagaicontohberikut:
Ketika TV kita tidak berfungsi dengan baik maka dapat dipikir bahwa dan dipastikan kalau
ada komponen di dalam TV yang rusak atau sudah perlu diganti. Pemikiran tentang ada
sesuatu yang tidak beres ini merupakan suatu hal rasional yang timbul dari fenomena TV dan
dapat dipastikan pikiran rasional ini benar.
c.

Kebenaran Ilmiah.

Kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang muncul dari hasil penelitian ilmiah dengan
melalui prosedur baku berupa tahap-tahapan untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang
berupa metodologi ilmiah yang sesuai dengan sifat dasar ilmu.
Oleh karena itu, kebenaran ilmiah sering disebut sebagai kebenaran nisbi atau relatif. Sifat
kebenaran ini sesuai dengan sifat keilmuan itu sendiri yang dapat berubah sesuai dengan

perkembangan hasil penelitian, karena suatu teori pada masa tertentu bisa jadi merupakan

kebenaran, tetapi pada masa berikutnya bisa jadi sebuah kesalahan besar. Contoh kebenaran
ilmiah:
1.

Bumi itu bulat dan tidak datar.

2.

Air mendidih pada 100°C

d.

Kebenaran Intuitif.

Intuitif merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur
utama bagi
pengetahuan adalah kemukinan adanya sesuatu bentuk penghayatan langsung (intuitif)
Bergson dalam Muslih (2004: 68). Pendekatan ini merupakan pengetahuan yang

diperoleh tanpa melalui proses penalaran tertentu.
Intuisi bersifat personal dan tidak bias diramalkan.
Bahwa intuisi yang dialami oleh seseorang bersifat khas, sulit atau tidak bisa dijelaskan, dan
tidak bisa dipelajari atau ditiru oleh orang lain. Bahkan seseorang yang
pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak bias mengulang pengalaman serupa,
misalnya, seorang yang sedang menghadapi suatu masalah secara tibatiba menemukan jalan pemecahan dari masalah yang dihadapi, atau secara tiba-tiba
seseorang memperoleh informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi.
e.

Kebenaran Religius.

Kebenaran religius ialah kebenaran Ilahi, kebenaran yang
bersumber dari Tuhan. Kebenaran ini
disampaikan melalui wahyu. Manusia bukan semata makhluk jasmani yang
ditentukan oleh hukum alam dan kehidupan saja, ia juga makhluk rohaniah sekaligus,
pendukung nilai.
Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu,
akan tetapi harus bisa menjawab
kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak,
berlaku sepanjang sejarah manusia. Contoh kebenaran religius:

1.
C.

Alkitab atau Alquran.

Renungan Tentang Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Hal yang sekarang menjadi pertanyaan
ialah mencari kebenaran tentang apa? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dikemukakan
bahwa: kebenaran yang dicari manusia ialah kebenaran tentang sesuatu yang menjadi
masalah manusia atau yang dimasalahkan manusia. Manusia dari waktu ke waktu selalu
memiliki masalah yang ingin dipecahkan atau ingin dicari jawabannya. Apabila kita cermati
dengan seksama segala sesuatu yang dipermasalahkan manusia itu teramat banyak dan
kompleks. Oleh karenanya untuk memudahkan memahami masalah manusia, berikut ini
dikemukakan tentang teori kebenaran. Ada tiga teori kebenaran yaitu sebagai berikut:
1. Teori Korespondensi (teori persesuaian)

Teori korespondensi tentang kebenaran (the correspondence theory of truth)menyatakan
bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan atau dengan kata
lain pernyataan yang sesuai dengan kenyataan, contoh misalnya ali mustofa adalah
mahasiswa IAI SUNAN GIRI. Pernyataan yang baru saja kita katakan itu sebagai hal yang

benar, karena memang Ali mustofa kenyataannya adalah mahasiswa IAI SUNAN GIRI
(mahasiswa prodi PGMI semester 2 di IAI SUNAN GIRI bojonegoro).
2. Teori Konsistensi/koherensi (keteguhan)
Teori konsistensi tentang kebenaran (the consistence theory of truth)menjelaskan bahwa
kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah
lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Teori ini juga disebut teori
penyaksian (yustifikasi) tentang kebenaran, karena memang menurut teori ini suatu putusan
dianggap benar apabila mendapat penyaksian (yustifikasi) oleh putusan-putusan lainnya
terdahulu yang sudah diketahui dan diakui sebagai benar, contoh: A adalah ayah B, ini adalah
suatu pernyataan yang sudah kita ketahui, terima dan akui sebagai hal yang benar, selanjutnya
kita sebut sebagai pernyataan pertama. Kemudian kita membuat pernyataan lain misalnya: A
mempunyai putra B atau B adalah putra A. Dua pernyataan berturut-turut yang baru kita
sebut di atas adalah pernyataan yang benar, karena konsisten dengan pernyataan pertana yang
telah kita ketahui, terima dan akui kebenarannya.
3. Teori Pragmatis/inherensi
Teori pragmatis tentang kebenaran (the pragmatic theory of truth) ialah bahwa suatu
ucapan, dalil atau teori itu dianggap benar tergantung berfaedah atau tidaknya ucapan, dalil
atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam penghidupannya. Jadi, kriteria
kebenaran pragmatis adalah:
a.
Adakah kegunaannya (utility)
b. Dapatkah dikerjakan (workability)
c.
Apakah pengaruhnya (satisfactory consequences) memuaskan atau tidak?
. Teori Kebenaran Pragmatis/ Inherensi.
Teori ini menyatakan bahwa suatu kebenaran hanya dalam salah satu konsekwensi saja.
Kelemahan teori ini yaitu apabila kemungkinan-kemungkinannya luas, oleh karena itu harus
dipilih kemungkinannya hanya dua dan saling bertolak belakang. Misalanya, semua yang
teratur ada yang mengatur, dalam hal ini kita tidak membicarakan yang tidak teratur, dari
uraian tersebut dapat difahami hanya ada dua kemungkinan yaitu ada yang mengatur atau
tidak ada yang mengatur, apabila diterima salah satu maka yang lain dicoret karna bertolak
belakang.
Contohnya lagi yaitu pengetahuan naik bis, kemudian akan turun dan berkata kepada
kondektur “kiri-kiri”, kemudian bis berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri,
maka penumpang bis bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan sematamata dilihat karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat
karena berhenti di posisi kiri.[9]
4. Teori Kebenaran Sintaksis.
Para penganut teori kebenaran sintaksis berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau
gramatika yang di pakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan
demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturanaturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat
atau keluar dari yang di syaratkan maka proposisi tersebut tidak mempunyai arti. Teori ini
berkembang diantara filsuf bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian

gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak
ada subjek maka kalimat itu dinyatakn tidak baku atau bukan kalimat. Seperti unkapan
“semua korupsi”, ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.[10]
5. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang
otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang
lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa
rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika
rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki
atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia.
Keinginan hendak mengetahui kebenaran merupakan salah satu dari gerak asli pikiran
manusia, demikian menurut S. Takdir Alisjahbana. Kebenaran dari dunia yang dilihat,
didengar, dan dipikirkan merupakan kebenaran yang hendak dicari oleh manusia. Manusia
belum puas dengan kenyataan yang dihadapinya secara langsung dengan panca inderanya. Ia
mencari kebenaran yang tersembunyi dibaliknya. Manusia akan berusaha mendapatkan
kebenaran yang ia cari dengan pengetahuan yang dimilikinya.
D. Cara Mencari Kebenaran
Menemukan jawaban yang salah terhadap masalah asasi (manusia, alam dan Tuhan)
akan berakibat fatal bagi kehidupan umat manusia tersendiri. Oleh karenanya persoalan
penting dan mendasar adalah dengan cara apa manusia mencari jawaban atau mencari
kebenaran itu. Atau dengan kata lain manusia menemukan kebenaran itu menggunakan cara
seperti apa. Ada tiga cara manusia mencari dan menemukan kebenaran yaitu dengan ilmu
pengetahuan, filsafat, dan agama.
1. Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan atau disingkat ilmu, berasal dari kata arab ‘ilm masdar dari kata
‘alima yang artinya pengetahuan. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan biasa dan
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya
kemanusiaan seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindra, dan intuisi untuk mengetahui
sesuatu tanpa memerhatikan objek, cara dan kegunaannya, pengetahuan ini disebut
knowledge. Pengetahuan ilmiah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan
untuk mengetahui sesuatu dengan memerhatikan objek yang ditelaah. Dengan kata lain,
pengetahuan ilmiah memerhatikan objek antologis, epistemologis, dan landasan aksiologis
dari pengetahuan itu sendiri. Pengetahuan ilmiah inilah yang disebutilmu atau science.
Pada dasarnya ilmu mempunyai tujuan untuk mencari kebenaran, sehingga untuk
mencapai kebenaran yang dimaksud dipakailah metode yang dikenal dengan metode ilmiah.
Metode ini yang membedakan antara pengetahuan dan ilmu, dimana ilmu memerlukan jalan
panjang yang harus dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa menjadi pengetahuan ilmiah.
Perumusan metode ilmiah pada umumnya melalui proses sebagai berikut:
a.
Pengumpulan data dan fakta
b. Pengamatan data dan fakta
c.
Pemilihan data dan fakta
d. Penggolongan data dan fakta
e.
Penafsiran data dan fakta
f.
Penarikan kesimpulan umum

g.
h.
i.
j.
k.

Perumusan hipotesia
Pengujian hipotesis melalui riset, eksperimen
Penilaian
Perumusan teori ilmu pengetahuan
Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan
Ilmu memiliki karakteristik tertentu yaitu hasil pemahaman manusia yang disusun
dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum
tentang hal ikhwal yang diselidiki (objek) sejauh yang dapat dijangkau daya akal manusia
melalui pengujian secara empiris, riset dan eksperimen. Dengan singkat dapat dikatakan
bahwa ilmu memiliki ciri-ciri rasional, komulatif, objektif, dan universal. Dengan ciri-ciri
yang demikian dimana akal sebagai tumpuannya maka sudah tentu tidak semua persoalan
manusia, khususnya ultimate problems bisa mampu dijawab oleh ilmu. Karena sejatinya
pencapaian kebenaran ilmu itu tidaklah absolut melainkan nisbi.
2. Filsafat
Kata filsafat atau falsafah berasal dari bahasa yunani “philosophia”. Secara etimologi
berarti cinta pengetahuan atau cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kebijaksanaan disebut
philosophas atau failosuf (filsuf). Pecinta kebijaksanaan atau pengetahuan disini maksudnya
ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya atau dengan
kata lain orang yang mengabdikan hidupnya kepada pengetahuan. Para pakar berbeda dalam
memutuskan batasan filsafat misalnya plato (427-347 SM), filsuf yunani ini menyatakan
bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles (384-322 SM), murid
plato menyatakan bahwa filsafat itu ialah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Al-Farabi
(870-950 M) seorang filsuf muslim memberikan definisi filsafat ialah pengetahuan alam yang
maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya (al-‘ilm bi al-maujudat bima hiya
maujudat).
Harun Nasution sebagai pakar filsafat Indonesia memberikan definisi filsafat ialah
pengetahuan tentang hikmat, pengetahuan tenteng prinsip atau dasar-dasar tentang hal yang
dibahas. Intisari filsafat ialah berpikir menurut tata tertib logika dengan bebas tanpa
terikatpada tradisi, dogma serta agama dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasardasar persoalan. Hasbullah Bakry, penulis Sistematik Filsafat menjelaskan bahwa filsafat
ialah ilmu yang menyelidiki tentang segala sesuatu yang mendalam mengenai ketuhanan,
alam semesta dan manusiasehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana
hakikat sejauh yang dapat dijangkau oleh akal manusiadan bagaimana sikap manusia itu
seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.
Dari definisi-definisi yang ditampilkan diatas dapat disimpulkan secara singkat bahwa
filsafat ialah ilmu istimewa yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat
dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa, yaitu usaha manusia dengan akal budinya untuk
memahami secara radikal dan integral serta sistematik hakikat segala yang ada, yaitu hakikat
Tuhan, alam, dan manusia.
Endang Saifuddin Anshari menjelaskan bahwa filsafat tidak menghasilkan keyakinan
oleh karena alat filsafat satu-satunya yang dipakai adalah akal. Sedangkan akal hanyalah satu
bagian dari rohani manusia dan tidak mungkin mengetahui sesuatu keseluruhan hanya dengan
satu bagian. Maka keseluruhan kebenaran dapat diketahui dengan seluruh rohani manusia
(perasaannya, akalnya, intuisinya, nalurinya). Karena satu-satunya alat yang digunakan dalam
filsafat ialah akal yaitu satu bagian dari rohani manusia, kiranya belum mampu menjangkau

3.

a.
b.
c.

keseluruhan kebenaran tentang manusia, alam dan Tuhan. Dengan kata lain kebenaran yang
dicapai filsafat adalah tidak mutlak atau nisbi.
Agama
Kata agama dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din” dalam bahasa Arab dan
semit, atau dalam bahasa Inggris religion. Secara bahasa agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Sedangkan kata
“din” memiliki arti yaitu menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.
Dalam pengertian teknis terminologis, ketiga istilah tersebut memiliki makna yang
sama, yaitu:
Agama, din, region adalah satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas
adanya Yang Maha Mutlak di luar diri manusia;
Agama juga adalah satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya
Yang Maha Mutlak tersebut;
Disamping merupakan satu sistema credo dan satu sistema ritus, agama juga adalah satu
sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia sesama
manusiadan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata
keimanan dan tata peribadatan
Menurut Durkheim, agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang telah
dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus. Bagi Spencer, agama adalah
kepercayaan terhadap sesuatu Yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan bahwa
agama adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun dihadapkan
pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan manusia terhadap
kekuatan gaib yang hebat. Dengan demikian mengikuti pendapat Smith, tidak berlebihan jika
kita katakan bahwa hingga saat ini belum ada definisi yang benar dan dapat diterima secara
universal.
Kebenaran agama bersifat mutlak karena itu berasal dari Allah SWT. Manusia
memperoleh kebenaran agama dengan melihat kitabsuci, apa yang dikatakan benar oleh kitab
suci adalah benar, dan apa yang dikatakan salah oleh kitab suci adalah salah.
E. Masalah-masalah dalam filsafat ilmu
Seperti ilmu-ilmu lainnya, filsafat ilmu juga memiliki masalah-masalah yang sistematis yang
dapat digolongkan berdasarkan pada 6 hal (Gie, 2000) yaitu: pengetahuan, keberadaan,
metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Sedangkan masalah atau problem yang
dihadapi filsafat ilmu yang tidak sistematis juga ada 6 yaitu:
Pertama, Problem epistemologi tentang ilmu; problem tersebut membahas tentang segi-segi
pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula, sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan,
validitas dan reliabilitas sampai soal kebenaran.
Kedua, Problem metafisis tentang ilmu: metafisika adalah teori mengenai apa yang ada. Segi
filsafat ilmu ini mempersoalkan tentang eksistensi dari entitas-entitas dalam sesuatu ilmu
khusus atau status dari kebenaran ilmu.
Ketiga, Problem metodologis tentang ilmu; metodologi ilmu merupakan penelahaan terhadap
metode yang dipergunakan dalam suatu ilmu. Validitas dan reliabilitas hasil ilmu sangat
ditentukan oleh kuatnya metode yang dipakai.
Keempat, Problem logis tentang ilmu; dalam menentukan kesimpulan pada suatu ilmu
haruslah memenuhi syarat-syarat logika dengan standar ketelitian logis yang tinggi.

Kelima, Problem etis tentang ilmu; problem etis dari ilmu tersebut mengandung implikasi
baik atau buruk bagi kehidupan manusia.
Keenam, Problem estetis tentang ilmu; aspek estetis mempermasalahkan tentang keindahan
atau kejelekan dari analisis, pemaparan, penilaian dan penafsiran peranan suatu ilmu dalam
peradaban manusia.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Manusia adalah makhluk paling sempurna yang pernah diciptakan oleh Allah SWT, karena
manusia manusia disempurnakan oleh akal pikiran yang tidak dimiliki oleh mahkluk hidup
lainnya.
2. Manusia dari waktu ke waktu selalu memiliki masalah yang ingin dipecahkan atau ingin
dicari jawabannya. Oleh karenanya ada tiga teori untuk mempermudah memecahkan masalah
yang dialami manusia, yaitu: teori korespondensi, teori konsistensi, dan teori pragmatis.
3. Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran, tentulah akan melakukan segalanya uncuk
mencapai kebenaran yang diinginkan, ada tiga cara manusia untuk mencari dan menemukan
kebenaran yaitu: melalui pengetahuan, filsafat dan agama.
DAFTAR PUSTAKA
Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam: pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem
islam, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 2004)
Supadie, Didiek Ahmad, Sajuni. Pengantar Studi Islam,cet. II, (Jakarta: Rajawali Pers. 2012)
Alisjahbana, S. takdir, "Pembimbing ke Filsafat" dalam Anshari, Endang Saifuddin, Wawasan Islam:
pokok-pokok pikiran tentang paradigma dan sistem islam, cet. I, (Jakarta: Gema
Insani, 2004)
http://kerangkang143.blogspot.co.id/2015/03/manusia-sebagai-makhluk-pencari.html
https://eviayunita.wordpress.com/2016/10/18/masalah-masalah-dalam-filsafat-ilmu/(di
posting 18 oktober 2016)
http://arfin19.blogspot.co.id/2013/11/makalah-filsafat-kebenaran.html (di posting selasa 12
november 2013)
http://bettand90.blogspot.co.id/2013/06/logika-kebenaran.html(di posting12 juni 2013)