Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Identifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Identifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

Karim Suryadi

ABSTRACT Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understanding

of the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party) devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society. On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by which a good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election, Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primary roles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Pendahuluan

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKB adalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.

Kemunculan Partai Kebangkitan Bangsa Perolehan suara PKB mendekati raihan suara Partai (PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca Orde NU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihan Baru menarik dikaji karena dua alasan berikut. suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang Pertama, keterlibatan Pengurus Besar Nahdlatul sudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasil Ulama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKB fusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia mengisyaratkan keseriusannya dalam (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), mengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU). dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5 Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNU Januari 1973. dapat dibaca sebagai kesungguhan dalam

Kembalinya NU ke kancah politik menarik melahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasi dikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembali

politik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partai ke khittah 1926. Keputusan ini bukan hanya politik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB. mengharuskan NU menanggalkan atribut partai, Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaran tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai yang mempersatukan dan mendesak warga NU – organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah). untuk sementara – hanya akan berkhidmat pada Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa PKB.

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

basis PKB menjadi daerah penelitian yang utama, serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerah

Metode Penelitian

percontohan pengembangan wawasan kebangsaan ala PKB.

Kemunculan PKB sebagai pemenang ketiga Selain digali melalui wawancara mendalam, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan data primer dihimpun melalui pengamatan terlibat

(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atau terhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untuk terbesar dibandingkan seluruh partai yang muncul kepentingan penelitian ini, telah dilakukan pasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala pengamatan dan wawancara dengan para pelaku “reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna. yang terlibat dalam perumusan calon anggota Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidani legislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004. NU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun, Berbagai forum yang bertujuan mematangkan perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlah calon presiden yang akan dimajukan PKB dan pemilih yang diasumsikan berhaluan NU kampanye pemilihan presiden menjadi peristiwa menyiratkan dukungan warga NU terhadap PKB yang penting. tidak bulat.

Sementara, data sekunder dihimpun dari Selain menguatnya isu primordial, kemunculan informasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnal

partai politik menjelang Pemilu 1999 ditandai ilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baik absennya platform yang dapat menggugah yang diterbitkan untuk umum maupun dokumen partisipasi publik. Fenomena ini memunculkan yang diterbitkan untuk kalangan internal PKB. dugaan bahwa keputusan yang diambil pemilih Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadi saat memberikan suara dan loyalitas yang sumber data yang penting bagi penelusuran pola- terbangun di kalangan para anggota lebih pola partisipasi dan komunikasi politik NU. didasarkan atas pertimbangan di luar pemahaman Penelusuran data dokumenter difokuskan kepada mereka tentang platform partai.

keterlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik serta Penelitian ini menggunakan metode studi akar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunan

kasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell, platform. 1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:

Keseluruhan data dihimpun mulai September 39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas Partai 2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisis

Kebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politik dan disajikan adalah data yang telah diseleksi kiai dalam membentuk identifikasi kepartaian melalui member checking. dijadikan kasus dalam penelitian ini.

melalui wawancara terhadap 16 informan kunci dan Genesis “Platform” dan Filogeni Politik beberapa kelompok informan yang digali dalam PKB

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan

bentuk diskusi (focus group discussion). Untuk Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitas menghindari “bias partai”, informasi dikumpulkan yang benar-benar baru. PKB hanya mewadahi

pula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB, sesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NU seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi, dengan segenap sistem nilai yang dianutnya. dan PAN.

Meskipun tidak terdapat hubungan organisatoris Informan ditentukan secara snowball, antara NU dan PKB, namun di antara keduanya

sehingga lokasi penelitian bergantung kepada di sulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasi mana informan berada atau peristiwa politik yang yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

248 M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

gram-program NU, namun secara embrional PKB meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal ini dan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulit mengisyaratkan bahwa sikap politik warga NU diputus.

tidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yang Keterlibatan PBNU dalam membidani beragam tentang bagaimana seharusnya tradisi kelahiran PKB sampai pada derajat dituduh politik NU ditransformasikan ke dalam praksis melanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-hal politik masa kini. Keragaman tadi telah mendorong berikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padam munculnya beragam partai yang memiliki sejarah karena langkah penarikan diri dari wilayah politik kekerabatan dengan NU (filogeni). praktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidak

Filogeni politik PKB tidak didorong oleh tergerus deideologisasi yang diterapkan rezim Orde perbedaan ideologis di antara empat partai yang Baru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolak lahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanya ploriferasi politik NU.

memperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuan Kedua, keputusan NU memfasilitasi yang sama”. Selain karena friksi yang terjadi di pembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitas kalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebih sikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NU disebabkan perbedaan penafsiran tentang terlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baik bagaimana seharusnya sistem nilai yang dianut sebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyah NU ditransformasikan ke dalam wilayah politik. diniyah) maupun sebagai partai politik, sikap Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU. politik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasus Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutu tertentu NU tampil radikal (seperti menolak kecil yang mudah digilas kekuatan lain. Perjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketika

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelas menolak Mutual Secutity Act dan dewan tentang hakikat PKB dan garis perjuangannya. keamanan bersama yang pro AS pada 1952), namun Ideologi humanisme religius bukan hanya berakar watak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU. pada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkan

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKB taraf perkembangan manusia dalam konteks sosial. dilandasi pandangan bahwa corak partai politik Paradigma humanisme berakar pada hakikat masa depan adalah lintas etnis, jauh melampaui manusia yang suci, cenderung pada hal-hal yang keanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan. baik, keunggulan indrawi dan memiliki akal. Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagai Sedangkan dimensi religius berkaitan dengan asas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagai hidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allah akhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materi swt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yang perundangan.

diturunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-

Beberapa dasar pertimbangan menyangkut nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia. pemilihan nama partai mengisyaratkan bahwa

Mengacu kepada sistem nilai yang secara kultur PKB mengadopsi sikap terkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwa kemasyarakatan yang dikembangkan NU. Kultur partai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka. PKB adalah kultur NU, karena PKB adalah Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU, pengorganisasian kultur NU secara politik. Kultur namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasi Islam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basis Partai NU. Berbeda dengan Partai NU yang pada historis dan ideologis PKB, yang bersenyawa awalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is- dengan sejarah perjalanan kebangsaan dan lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidak kenegaraan Indonesia.

mengusung formalisme Islam. Bagi PKB, Namun, tidak semua warga NU memiliki mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkat pandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB. ke dalam hukum positif lebih diutamakan daripada Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlalu menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara. berorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagai Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil media komunikasi politik. Ke dalamnya termasuk (civil society) menjadi kredo (paham) melakukan politik kultural dengan memanfaatkan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihat opinion leaders, baik dalam wilayah adat maupun dari wacana dan langkah-langkah politik yang agama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat diambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulan NTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dan kepemimpinannya.

kepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir, Ide membangun kemandirian masyarakat lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan struktur sehingga tidak bergantung sepenuhnya kepada masyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadi negara (otonomi relatif warga negara) menjadi patron bukan kepala suku. gagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadi

Keempat, selain menarik simpati masyarakat diterjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur) yang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar dan supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasan PDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yang berbicara, pembelaan hak minoritas, penguatan dihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. Citra posisi masyarakat di hadapan negara, supremasi PKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat di hukum, dan deformalisasi Islam.

benak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidak Selain mengembangkan wacana di atas, menunjang pemasaran politik PKB. Karena itu, Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad” langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakan dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya. citra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dan Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”, demokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadi dicitrakan sebagai terbuka dan dekat dengan berbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol- rakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannya simbol keislaman. melakukan desakralisasi istana dan memajukan

Fenomena terakhir, berbeda kontras dengan informalitas komunikasi politik.

realitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda. Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isu

Identifikasi Kepartaian

agama dan primordial menjadi “kartu” yang menentukan. Inilah dilema PKB dalam membangun

Terlepas dari perolehan suara PKB yang masih demokrasi. Membangun demokrasi tidak bisa kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKB berlandaskan primordialisme, sebab nalar NTT memperlihatkan fenomena menarik. demokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi, Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah- dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang. langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawa dengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figur Pola Komunikasi Politik Kiai

Gus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platform Meskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni yang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilai oleh orang-orang dengan latar belakang budaya mampu memberi keteduhan bagi warga Kristiani yang beragam, namun kultur NU tetap dominan. menawan mereka.

Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di 250

M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NU dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadi masih menjadi mainstream (arus utama). ditransformasikan ke dalam praksis politik PKB Pembacaan shalawat dalam acara-acara yang sehingga menjadi basis identifikasi kepartaian, digelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NU terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU. terhadap budaya komunikasi PKB.

Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkan Budaya NU menjadi rujukan reproduksi sebagai alat transformasi sosial politik NU, PKB simbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalah dituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosial modifikasi simbol-simbol NU yang politik yang relevan dengan kaidah-kaidah yang ditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebih dianut NU. luas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskan

Secara normatif, kerangka berpikir tadi dalam gambar berikut.

ditemukan di dalam dokumen-dokumen historis Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitas PKB, tempat di mana ideologi politik PKB pesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsur dituangkan. Preferensi tentang masyarakat dan ini menjadi sumber dan rujukan dalam proses negara yang dicita-citakan PKB bukan hanya reproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain, berbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan, simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telah tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkan mengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiai kehidupan bernegara dari kehidupan beragama – yang berorientasi politik (political-oriented kiai) meski sejak awal PKB tidak menghendaki menjadi agen yang mempersambungkan proses- formalisasi Islam. proses transformatif tadi.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yang Introduksi cara-cara modern (modernisasi) dianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka, yang melanda warga NU - seperti yang ditandai atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai oleh kahadiran struktur modern - belum mengubah “terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlaku pola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatan sampai pada titik tidak mengganggu sistem nilai terhadap faktor-faktor primordial menguat sejalan yang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifat dengan pelekatan diri mereka terhadap struktur tertutup terhadap anasir-anasir yang merusak formal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yang kaidah dasar yang dianut warga NU. menimbulkan kecenderungan munculnya etnisitas

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKB dalam politik (political ethnicity).

itu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam hal Modernisasi yang dijalani PKB tidak muamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusif ditempuh dengan cara mengikis pola hubungan dalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermakna yang sudah ada, melainkan hanya memfungsikan bahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalah kembali struktur-struktur tradisional yang sudah dan interaksi sosial tanpa membedakan agama dan diwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masih latar belakang sosial budaya. Namun, PKB harus menjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan. membatasi diri pada hal-hal yang menyangkut Diferensiasi antara wilayah politik dan religius ibadah dan akidah. hampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karena

Dalam hubungannya dengan anasir-anasir teologi sosial politik yang dianut amat fleksibel agama yang membentuk konfigurasi dukungan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang bagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagai muncul akibat politik modernisasi yang ditempuh sikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana pun PKB.

tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya Sebagai pengorganisasian kultur NU secara sendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKB politik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU, tidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meski yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan tidak akan pernah terlepas sama sekali. (jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangka

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntut berpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan manajemen komunikasi tersendiri dalam proses

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

dan berlaku universal. Mengacu kepada rumusan Pertama, memelihara dukungan pemilih dari platform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakup kalangan Muslim yang menjadi captive market, beberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAM sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewat dan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu). penampilan sosok partai yang moderat. Sebelum Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya, menarik kelompok kedua, PKB harus setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatanan mempertahankan dukungan kelompok pertama masyarakat yang mampu memecahkan masalah dengan meyakinkan bahwa format “Islam sosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil Kebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKB (al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun), adalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasi konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura), berbagai persoalan, khususnya dalam masalah dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al- relasi agama dan negara.

musawa).

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarik Fakta bahwa tidak semua orang yang PKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di Nusa mengidentifikasikan dirinya dengan NU memilih Tenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kota PKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilih Kupang mengaku tertarik pada PKB karena mampu tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan- memberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalam kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwa kehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya, sejumlah non-Muslim yang memutuskan memilih eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslim PKB menunjukkan bahwa tindakan politik mereka tidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secara tidak tunduk pada pencitraan yang mengesankan signifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secara PKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta ini nasional raihan suara PKB menurun bila mengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKB dibandingkan Pemilu 1999.

melibatkan proses interpretatif atas simbol-simbol Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir- yang dipertukarkan ketika proses komunikasi anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulan politik berlangsung. kompetitif yang berlandaskan kultur, program, dan

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik, kepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidak sosialisasi platform pluralitas PKB akan bisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangan bergantung kepada kualitas hubungan dan karena ia menyangkut atribut sosial yang telah kelangsungan interaksi, di mana kedua pihak terlanjur dianggap sebagai pandangan hidup (aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver- (ways of life).

sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB) Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platform saling menukar makna dan kelakuan. Sebuah pluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwa transaksi politik yang di dalamnya melibatkan akidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hak proses penciptaan kesan melalui proses impres- ekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakan sion management (Goffman, 1959: 203). area privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untuk

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilan merekayasanya. Sosialisasi platform pluralitas politisi dalam serangkaian proses transasksi politik, PKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah, karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspek meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi, politik berupa penampilan (appearance). Para bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agama politikus beraksi di depan publik sedemikian rupa, yang ditransformasikan ke dalam gelanggang sehingga mereka menganggapnya sebagai orang politik.

penting, pintar, dan layak dipercaya untuk 252

M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ... 253

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivis partai politik harus memainkan peran seperti yang dibayangkan khalayak. Mereka akan selalu menemukan banyak orang yang siap “dikelabui”. Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga mereka dikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatu serta berpikir dan bertindak menurut apa yang dibayangkan konstituennya.

Kesimpulan

Pertumbuhan politik kepartaian di Indonesia tidak identik dengan sekularisasi, melainkan transformasi kesadaran religius ke dalam wilayah politik. Keyakinan bahwa urusan politik dapat diatur dan ditentukan oleh kehendak manusia sendiri tidak menafikan hak prerogatif Tuhan dalam keseluruhan proses tersebut.

Komunikasi internal dan esksternal yang tidak efektif menyebabkan substansi platform tidak tersosialisasikan dengan baik. Akibatnya keberadaan platform menjadi tidak fungsional. Plat- form menjadi atribut yang menunjang penampilan politisi dalam panggung depan. Kedudukan plat- form tergantikan oleh figur yang menjadi ikon (icon) sekaligus ruh partai. Kondisi ini melahirkan pola komunikasi politik yang melekatkan kredibilitas komunikator pada faktor-faktor yang diwariskan (askriptif) dan menempatkan figur sebagai mesiah. Pola ini mengukuhkan budaya konteks tinggi (high contex) yang ditandai oleh penggunaan kode terbatas (restricted codes). Spektrum komunikasi internal dan eksternal partai yang tidak egaliter bukan hanya menjadikan klaim inklusivitas sebagai keterbukaan semu (quasi terbuka), tetapi juga mempertajam segregasi antarfaksi, sehingga partai menjadi mudah terfragmentasi ke dalam kekuatan sempalan.

Penguasaan sumber daya komunikasi partai politik yang terpusat di tangan figur melahirkan kepemimpinan partai yang mesianik. Pola ini bukan hanya melekatkan otoritas kepemimpinan pada tradisi dan kharisma sebagaimana lazim dianut selama ini, tetapi juga menempatkan figur sebagai mesiah (ratu adil) yang tidak pernah berbuat salah.

Kepemimpinan mesianik dikukuhkan oleh pola orientasi pengikut yang bercorak parokhial dan rekrutmen yang berdasar kepada nasab sehingga kelahiran dan perkawinan menjadi alat promosi karier yang penting. Sedemikian pentingnya peran politik keluarga-penguasa, maka perhatian para pencari kekuasaan tertuju pada pola kekuasaan keluarga sebagai miniatur pola kekuasaan partai. Partai sulit memainkan perannya sebagai representasi kepentingan pengikut, melainkan hanya mengukuhkan dominasi kaukus yang dibentuk tokoh-tokoh senior partai (gerontocracy). Kecenderungan ini mengukuhkan keberlakuan hukum besi oligarkhi, dimana aristokrat tradisional berperan sebagai oligoi-oligoi yang mengendalikan partai.

Pola komunikasi politik yang askriptif dan kepemimpinan mesianik menyebabkan tidak terbangunnya wacana kritis di kalangan fungsionaris dan simpatisan partai. Identifikasi kepartaian tidak terbangun atas penguasaan nilai dasar dan cita-cita partai, melainkan merupakan bentuk transformasi kesetiaan primordial ke dalam praksis politik. Involusi politik ini dikukuhkan oleh pola sosialisasi yang menempatkan kepatuhan di atas pertimbangan rasional. Manipulasi simbol- simbol agama dan budaya menjadi unsur primer dalam komunikasi antara pemimpin dengan pengikut sekaligus menjadi alat dominasi dan mobilisasi dukungan yang penting. Pola komunikasi tadi ditandai oleh pemakaian alat-alat retorika (baik verbal maupun nonverbal) yang bersumber dari - atau adaptasi bentuk ritual – agama dan budaya sehingga pemaknaan atas simbol- simbol tersebut bersifat isoterik sesuai dengan pengalaman religio-politik penggunanya.

Proses tersebut bukan hanya memberi peluang terjadinya kesalahpahaman, tetapi juga menguatkan kecenderungan menjadikan agama dan budaya sebagai alat justifikasi keputusan dan tindakan politik. Prinsip “ekonomi pernyataan” bukan hanya dapat mengurangi risiko keterpurukan citra akibat kesalahan manajemen komunikasi, tetapi juga dapat menambah daya persuasi komunikasi politik.

Daftar Pustaka

_____________. 1963. Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia Alwasilah, A. Chaedar. 2002. Pokoknya Kualitatif:

and Africa, The Free Press of Glencoe. Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Goffman, Erving. 1974. The Presentation of Self Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.

ini Everyday Life. USA: Penguin Books. Combs, James E & Dan Nimmo 1981. A Primer of Poli- Lewellen, Ted C. 1982. Political Anthropology,

tics. New York: Macmillan Publishing Company. Berger L. Carey Publisher. Creswell, John W. 1994. Research Design: Quali- Martindale, Don. 1960. The Nature and Types tative & Quantitative Approaches. Califor-

of Sociological Theory, Cambridge, Mas- nia: SAGE Publications.

sachusetts, The Riverside Press. ______________. 1998. Qualitative Inquiry and Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Research Design: Choosing Among Five Tra-

Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu ditions. California: SAGE Publications.

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional

Bandung: Remaja Rosdakarya. Democracy in Indonesia. New York: Cornell Nimmo, Dan D. dan Keith R. Sanders. 1981. University Press.

Handbook of Political Communication. Feith, Herbert & Lance Castles. 1970. Indonesian

California: Sage Publication, Inc. Political Thinking 1945-1965. USA: Cornell _____________. 1978. Political Communica- University.

tion and Public Opinion in America. Cali- Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam

fornia: Goodyear Publishing Company. Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sherman, Arnolk K, dan Aliza Kolker. 1987. The _____________. 1992. Kebudayaan & Agama,

Social Bases of Politics. Belmont: terjemahan Francisco Budi Hardiman.

Wardworth Publishing Company, Yogyakarta: Kanisius.

254 M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Identifikasi Kepartaian: Kasus Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilihan Umum 1999 dan 2004

Karim Suryadi

ABSTRACT Transformation of primordial loyalty into the political sphere rather than understanding

of the substance of the party’s platform is a key factor for PKB’s (National Awakening Party) devotees to adhere to the party. The platform has not been effectively socialized. The practice

of the party has not been believed as a requisite condition to create an order society. On the other hand, adhering to Nahdlatul Ulama (NU) and inclining to submit to orders or wishes of Kiai (Muslim Scholars) is believed among PKB’s voters as a means by which a good community is created (khoerul barriyah). Therefore, since the 2004 General Election, Kiai’s political communication and orientations have become the partisans’ primary roles among PKB’s constituents.

Kata kunci: “platform”, identitas partai, komunikasi politik kiai, partisan, loyalitas primordial

Pendahuluan

Kedua, dibanding partai baru lainnya, PKB adalah peraih suara terbanyak pada Pemilu 1999.

Kemunculan Partai Kebangkitan Bangsa Perolehan suara PKB mendekati raihan suara Partai (PKB) dalam pusaran arus politik partai pasca Orde NU pada Pemilu 1955. Jumlah ini melampaui raihan Baru menarik dikaji karena dua alasan berikut. suara Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang Pertama, keterlibatan Pengurus Besar Nahdlatul sudah hadir sejak Orde Baru dan merupakan hasil Ulama (PBNU) dalam membidani kelahiran PKB fusi NU dengan Partai Muslimin Indonesia mengisyaratkan keseriusannya dalam (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), mengarahkan suara warga Nahdlatul Ulama (NU). dan Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti), pada 5 Lebih dari sekadar merestui, keterlibatan PBNU Januari 1973. dapat dibaca sebagai kesungguhan dalam

Kembalinya NU ke kancah politik menarik melahirkan sang “putra mahkota”. Padahal, aspirasi dikaji, karena sejak 1984 NU memutuskan kembali

politik nahdliyin tidak benar-benar monolit. Partai ke khittah 1926. Keputusan ini bukan hanya politik yang lahir dari rahim NU bukan hanya PKB. mengharuskan NU menanggalkan atribut partai, Hal ini memunculkan dugaan adanya kesadaran tetapi juga menegaskan kembali jati dirinya sebagai yang mempersatukan dan mendesak warga NU – organisasi sosial keagamaan (jam’iyyah diniyah). untuk sementara – hanya akan berkhidmat pada Fenomena ini memunculkan pertanyaan, faktor apa PKB.

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

basis PKB menjadi daerah penelitian yang utama, serta Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai daerah

Metode Penelitian

percontohan pengembangan wawasan kebangsaan ala PKB.

Kemunculan PKB sebagai pemenang ketiga Selain digali melalui wawancara mendalam, di bawah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan data primer dihimpun melalui pengamatan terlibat

(PDIP) dan Partai Golongan Karya (Golkar), atau terhadap sejumlah objek dan peristiwa. Untuk terbesar dibandingkan seluruh partai yang muncul kepentingan penelitian ini, telah dilakukan pasca-Orde Baru, mengisyaratkan adanya gejala pengamatan dan wawancara dengan para pelaku “reinkarnasi” politik NU yang tidak sempurna. yang terlibat dalam perumusan calon anggota Dugaan ini muncul karena kelahiran PKB dibidani legislatif dan kampanye menjelang Pemilu 2004. NU, sehingga PKB menjadi anak emas NU. Namun, Berbagai forum yang bertujuan mematangkan perolehan suara PKB yang jauh di bawah jumlah calon presiden yang akan dimajukan PKB dan pemilih yang diasumsikan berhaluan NU kampanye pemilihan presiden menjadi peristiwa menyiratkan dukungan warga NU terhadap PKB yang penting. tidak bulat.

Sementara, data sekunder dihimpun dari Selain menguatnya isu primordial, kemunculan informasi kepustakaan, baik dari buku teks, jurnal

partai politik menjelang Pemilu 1999 ditandai ilmiah, hasil penelitian, laporan, dan dokumen; baik absennya platform yang dapat menggugah yang diterbitkan untuk umum maupun dokumen partisipasi publik. Fenomena ini memunculkan yang diterbitkan untuk kalangan internal PKB. dugaan bahwa keputusan yang diambil pemilih Keseluruhan hasil penelitian kepustakaan menjadi saat memberikan suara dan loyalitas yang sumber data yang penting bagi penelusuran pola- terbangun di kalangan para anggota lebih pola partisipasi dan komunikasi politik NU. didasarkan atas pertimbangan di luar pemahaman Penelusuran data dokumenter difokuskan kepada mereka tentang platform partai.

keterlibatan ulama/kiai dalam wilayah politik serta Penelitian ini menggunakan metode studi akar-akar tradisi yang menjadi rujukan penyusunan

kasus sebagai salah satu tradisi kualitatif (Creswell, platform. 1998: 63) dengan pendekatan proses (Combs, 1981:

Keseluruhan data dihimpun mulai September 39-66). Proses sosialisasi platform pluralitas Partai 2003 hingga Juni 2005. Data final yang dianalisis

Kebangkitan Bangsa (PKB) dan komunikasi politik dan disajikan adalah data yang telah diseleksi kiai dalam membentuk identifikasi kepartaian melalui member checking. dijadikan kasus dalam penelitian ini.

melalui wawancara terhadap 16 informan kunci dan Genesis “Platform” dan Filogeni Politik beberapa kelompok informan yang digali dalam PKB

Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan

bentuk diskusi (focus group discussion). Untuk Bila dilihat dari kulturnya, PKB bukan entitas menghindari “bias partai”, informasi dikumpulkan yang benar-benar baru. PKB hanya mewadahi

pula dari politisi NU yang berkiprah di luar PKB, sesuatu yang sudah ada, yakni komunitas NU seperti di PPP, Golkar, Partai Bintang Reformasi, dengan segenap sistem nilai yang dianutnya. dan PAN.

Meskipun tidak terdapat hubungan organisatoris Informan ditentukan secara snowball, antara NU dan PKB, namun di antara keduanya

sehingga lokasi penelitian bergantung kepada di sulit dipisahkan. PKB memang bukan organisasi mana informan berada atau peristiwa politik yang yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pro-

248 M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

gram-program NU, namun secara embrional PKB meneruskan tradisi politik Partai NU. Hal ini dan NU dihubungkan oleh “plasenta” yang sulit mengisyaratkan bahwa sikap politik warga NU diputus.

tidak monolit. Mereka memiliki pemahaman yang Keterlibatan PBNU dalam membidani beragam tentang bagaimana seharusnya tradisi kelahiran PKB sampai pada derajat dituduh politik NU ditransformasikan ke dalam praksis melanggar Khittah 1926, mengimplikasikan hal-hal politik masa kini. Keragaman tadi telah mendorong berikut. Pertama, hasrat politik NU tidak padam munculnya beragam partai yang memiliki sejarah karena langkah penarikan diri dari wilayah politik kekerabatan dengan NU (filogeni). praktis. Hasrat berpolitik warga nahdliyin pun tidak

Filogeni politik PKB tidak didorong oleh tergerus deideologisasi yang diterapkan rezim Orde perbedaan ideologis di antara empat partai yang Baru. Bahkan langkah ini terbukti menjadi titik tolak lahir di kalangan NU. Perbedaan tadi hanya ploriferasi politik NU.

memperlihatkan “jalan yang berbeda menuju tujuan Kedua, keputusan NU memfasilitasi yang sama”. Selain karena friksi yang terjadi di pembentukan PKB merupakan bentuk adaptabilitas kalangan elit NU, kemunculan partai tersebut lebih sikap politik NU. Fleksibilitas sikap politik NU disebabkan perbedaan penafsiran tentang terlihat di sepanjang sejarah pertumbuhan NU. Baik bagaimana seharusnya sistem nilai yang dianut sebagai organisasi kemasyarakatan (jam’iyyah NU ditransformasikan ke dalam wilayah politik. diniyah) maupun sebagai partai politik, sikap Perbedaan tadi melemahkan barisan politik NU. politik NU terkenal lentur. Meskipun dalam kasus Kekuatan NU terpecah ke dalam sekutu-sekutu tertentu NU tampil radikal (seperti menolak kecil yang mudah digilas kekuatan lain. Perjanjian “Linggarjati” dan “Renville” atau ketika

Mabda Siyasiy memberikan gambaran jelas menolak Mutual Secutity Act dan dewan tentang hakikat PKB dan garis perjuangannya. keamanan bersama yang pro AS pada 1952), namun Ideologi humanisme religius bukan hanya berakar watak akomodatif lebih mewarnai sikap politik NU. pada fitrah manusia, tetapi juga mempertimbangkan

Keterbukaan yang digagas para pendiri PKB taraf perkembangan manusia dalam konteks sosial. dilandasi pandangan bahwa corak partai politik Paradigma humanisme berakar pada hakikat masa depan adalah lintas etnis, jauh melampaui manusia yang suci, cenderung pada hal-hal yang keanggotaan sebuah organisasi kemasyarakatan. baik, keunggulan indrawi dan memiliki akal. Pandangan ini menempatkan Pancasila sebagai Sedangkan dimensi religius berkaitan dengan asas partai, sekaligus menempatkan Islam sebagai hidayah wahyu, pertolongan, dan petunjuk Allah akhlak masyarakat (etika sosial), dan sumber materi swt. Artinya, selain menerima nilai-nilai yang perundangan.

diturunkan Allah swt, PKB pun menyerap nilai-

Beberapa dasar pertimbangan menyangkut nilai yang tumbuh dari perkembangan manusia. pemilihan nama partai mengisyaratkan bahwa

Mengacu kepada sistem nilai yang secara kultur PKB mengadopsi sikap terkandung di dalam Mabda Siyasiy jelas bahwa kemasyarakatan yang dikembangkan NU. Kultur partai yang dikehendaki adalah partai yang terbuka. PKB adalah kultur NU, karena PKB adalah Meski naskah ini dirumuskan para tokoh NU, pengorganisasian kultur NU secara politik. Kultur namun PKB tidak dimaksudkan sebagai reinkarnasi Islam ahlussunnah wal Jama’ah menjadi basis Partai NU. Berbeda dengan Partai NU yang pada historis dan ideologis PKB, yang bersenyawa awalnya mencita-citakan terwujudnya syari’at Is- dengan sejarah perjalanan kebangsaan dan lam dalam tatanan kenegaraan, PKB tidak kenegaraan Indonesia.

mengusung formalisme Islam. Bagi PKB, Namun, tidak semua warga NU memiliki mengambil sari pati nilai-nilai Islam untuk diangkat pandangan yang sejalan dengan para pendiri PKB. ke dalam hukum positif lebih diutamakan daripada Beberapa ulama mengritik karakter PKB yang terlalu menjadikan syari’at Islam sebagai dasar negara. berorientasi kebangsaan dan tidak secara tegas

Kiai menjadi simbol signifikan dalam

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

Ketiga, pemanfaatan pranata budaya sebagai Demokrasi dan penguatan masyarakat sipil media komunikasi politik. Ke dalamnya termasuk (civil society) menjadi kredo (paham) melakukan politik kultural dengan memanfaatkan pemerintahan Abdurrahman Wahid. Hal ini terlihat opinion leaders, baik dalam wilayah adat maupun dari wacana dan langkah-langkah politik yang agama. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat diambil Abdurrahman Wahid dalam 21 bulan NTT terstruktur secara hierarkhis dengan raja dan kepemimpinannya.

kepala suku sebagai patronnya. Realitas terakhir, Ide membangun kemandirian masyarakat lagi-lagi, memiliki kemiripan dengan struktur sehingga tidak bergantung sepenuhnya kepada masyarakat Jawa yang sentris, meski yang menjadi negara (otonomi relatif warga negara) menjadi patron bukan kepala suku. gagasan besar Abdurrahman Wahid. Gagasan tadi

Keempat, selain menarik simpati masyarakat diterjemahkan ke dalam wacana (kesatuan tutur) yang terlanjur jatuh hati pada Partai Golkar dan supremasi sipil, kemerdekaan pers dan kebebasan PDIP (orientasi merah-kuning) tantangan yang berbicara, pembelaan hak minoritas, penguatan dihadapi kader PKB NTT adalah pencitraan. Citra posisi masyarakat di hadapan negara, supremasi PKB sebagai partai Islam melekat cukup kuat di hukum, dan deformalisasi Islam.

benak masyarakat NTT. Citra seperti ini tidak Selain mengembangkan wacana di atas, menunjang pemasaran politik PKB. Karena itu, Abdurrahman Wahid pun melakukan “ijtihad” langkah yang ditempuh adalah mengarusutamakan dalam hal hubungan penguasa dan rakyatnya. citra PKB sebagai partai terbuka, nasionalis, dan Kepala negara yang sebelumnya “sulit disentuh”, demokratis. Namun dalam praktiknya, strategi tadi dicitrakan sebagai terbuka dan dekat dengan berbentuk deislamisasi, yakni mengurangi simbol- rakyat. Hal ini paling tidak terlihat dari tindakannya simbol keislaman. melakukan desakralisasi istana dan memajukan

Fenomena terakhir, berbeda kontras dengan informalitas komunikasi politik.

realitas PKB di Jawa, khususnya Tapal Kuda. Namun, keduanya menemukan titik temu, yakni isu

Identifikasi Kepartaian

agama dan primordial menjadi “kartu” yang menentukan. Inilah dilema PKB dalam membangun

Terlepas dari perolehan suara PKB yang masih demokrasi. Membangun demokrasi tidak bisa kecil, langkah-langkah yang ditempuh kader PKB berlandaskan primordialisme, sebab nalar NTT memperlihatkan fenomena menarik. demokrasi menuntut egalitarianisme, transparansi, Fenomena tadi dalam beberapa hal mirip langkah- dan tanpa diskriminasi dalam semua bidang. langkah yang ditempuh pengurus PKB di Jawa dengan spektrum yang berbeda.

Pertama, seperti halnya di Jawa, di NTT figur Pola Komunikasi Politik Kiai

Gus Dur menjadi faktor penentu. Bukan platform Meskipun PKB bersifat terbuka dan dihuni yang memikat mereka. Figur Gus Dur yang dinilai oleh orang-orang dengan latar belakang budaya mampu memberi keteduhan bagi warga Kristiani yang beragam, namun kultur NU tetap dominan. menawan mereka.

Dalam berbagai acara yang digelar PKB, baik di 250

M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

pusat maupun di daerah, kultur dan simbol NU dalam kiprah politiknya. Ciri-ciri primer tadi masih menjadi mainstream (arus utama). ditransformasikan ke dalam praksis politik PKB Pembacaan shalawat dalam acara-acara yang sehingga menjadi basis identifikasi kepartaian, digelar PKB adalah indikasi penetrasi kultur NU terutama di daerah-daerah yang dikenal basis NU. terhadap budaya komunikasi PKB.

Namun, sebagai partai politik yang dimaksudkan Budaya NU menjadi rujukan reproduksi sebagai alat transformasi sosial politik NU, PKB simbol-simbol PKB. Simbol-simbol PKB adalah dituntut memiliki sensitivitas terhadap nilai sosial modifikasi simbol-simbol NU yang politik yang relevan dengan kaidah-kaidah yang ditransformasikan ke dalam lingkungan yang lebih dianut NU. luas. Proses transformatif tadi dapat dilukiskan

Secara normatif, kerangka berpikir tadi dalam gambar berikut.

ditemukan di dalam dokumen-dokumen historis Kiai menjadi nucleus (unsur inti) komunitas PKB, tempat di mana ideologi politik PKB pesantren dan NU. Pada gilirannya, ketiga unsur dituangkan. Preferensi tentang masyarakat dan ini menjadi sumber dan rujukan dalam proses negara yang dicita-citakan PKB bukan hanya reproduksi simbol-simbol PKB. Dengan kata lain, berbasis pada etika dan nilai-nilai keagamaan, simbol PKB adalah simbol-simbol NU yang telah tetapi juga tidak sekuler – dalam arti memisahkan mengalami metamorfosis. Di dalam proses ini, kiai kehidupan bernegara dari kehidupan beragama – yang berorientasi politik (political-oriented kiai) meski sejak awal PKB tidak menghendaki menjadi agen yang mempersambungkan proses- formalisasi Islam. proses transformatif tadi.

Dilihat dari konteks di atas, sifat terbuka yang Introduksi cara-cara modern (modernisasi) dianut PKB berkonotasi sebagai quasi terbuka, yang melanda warga NU - seperti yang ditandai atau dalam bahasa para kiai di Jawa Timur sebagai oleh kahadiran struktur modern - belum mengubah “terbuka yang tertutup”. Keterbukaan PKB berlaku pola-pola relasi yang sudah ada. Bahkan, ikatan sampai pada titik tidak mengganggu sistem nilai terhadap faktor-faktor primordial menguat sejalan yang dianut NU. Sederhananya, PKB bersifat dengan pelekatan diri mereka terhadap struktur tertutup terhadap anasir-anasir yang merusak formal yang mereka ciptakan. Fenomena inilah yang kaidah dasar yang dianut warga NU. menimbulkan kecenderungan munculnya etnisitas

Dengan kata lain, quasi terbuka bermakna PKB dalam politik (political ethnicity).

itu inklusif sekaligus ekslusif. Inklusif dalam hal Modernisasi yang dijalani PKB tidak muamalah dan interaksi sosial, tetapi eksklusif ditempuh dengan cara mengikis pola hubungan dalam hal ibadah dan akidah. Kaidah ini bermakna yang sudah ada, melainkan hanya memfungsikan bahwa PKB dapat menggelar kegiatan muamalah kembali struktur-struktur tradisional yang sudah dan interaksi sosial tanpa membedakan agama dan diwarisi. Faktor nasab, etnis, dan usia, masih latar belakang sosial budaya. Namun, PKB harus menjadi unsur primer dalam alokasi kekuasaan. membatasi diri pada hal-hal yang menyangkut Diferensiasi antara wilayah politik dan religius ibadah dan akidah. hampir tidak terjadi. Hal ini dimungkinkan karena

Dalam hubungannya dengan anasir-anasir teologi sosial politik yang dianut amat fleksibel agama yang membentuk konfigurasi dukungan dalam menghadapi perubahan-perubahan yang bagi PKB, keterbukaan harus dipahami sebagai muncul akibat politik modernisasi yang ditempuh sikap toleran (tasamuh) terhadap agama mana pun PKB.

tanpa meninggalkan keyakinan teologisnya Sebagai pengorganisasian kultur NU secara sendiri. Di dalam wilayah ibadah dan akidah, PKB politik, PKB mewarisi kerangka berpikir khas NU, tidak memiliki otoritas untuk ikut campur, meski yang tidak lain adalah organisasi sosial keagamaan tidak akan pernah terlepas sama sekali. (jam’iyyah ijtima’iyyah diniyyah). Kerangka

Karena itu, platform pluralitas PKB menuntut berpikir tadi tampak dalam ciri-ciri primer NU dan manajemen komunikasi tersendiri dalam proses

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ...

dan berlaku universal. Mengacu kepada rumusan Pertama, memelihara dukungan pemilih dari platform PKB, nilai-nilai dasar dimaksud mencakup kalangan Muslim yang menjadi captive market, beberapa hal. Kesatu, jaminan penegakan HAM sekaligus menarik dukungan non-Muslim lewat dan kejujuran besumber hati nurani (as-shidqu). penampilan sosok partai yang moderat. Sebelum Kedua, mengembangkan sikap dapat dipercaya, menarik kelompok kedua, PKB harus setia dan tepat janji. Ketiga, menciptakan tatanan mempertahankan dukungan kelompok pertama masyarakat yang mampu memecahkan masalah dengan meyakinkan bahwa format “Islam sosial (al-amanah wa al-wafau bi al-ahdli), adil Kebangsaan” yang dianut NU dan diwarisi PKB (al-‘adalah), tolong-menolong (al-ta’awun), adalah salah satu bentuk jawaban dalam mengatasi konsisten (al-istiqamah), musyawarah (al-syura), berbagai persoalan, khususnya dalam masalah dan kesamaan kedudukan di muka hukum (al- relasi agama dan negara.

musawa).

Sosok partai yang moderat menjadi daya tarik Fakta bahwa tidak semua orang yang PKB di kalangan non-Muslim, paling tidak di Nusa mengidentifikasikan dirinya dengan NU memilih Tenggara Timur. Beberapa pemilih PKB di kota PKB menunjukkan bahwa keputusan untuk memilih Kupang mengaku tertarik pada PKB karena mampu tidak semata-mata ditentukan oleh kekuatan- memberi kesejukan bagi warga Kristiani, yang dalam kekuatan dari luar. Demikian pula fakta bahwa kehidupan nasional menjadi minoritas. Sayangnya, sejumlah non-Muslim yang memutuskan memilih eksperimen PKB menarik dukungan non-Muslim PKB menunjukkan bahwa tindakan politik mereka tidak dapat meningkatkan raihan suara PKB secara tidak tunduk pada pencitraan yang mengesankan signifikan dalam Pemilu 2004. Bahkan, secara PKB sebagai partai orang Islam. Kedua fakta ini nasional raihan suara PKB menurun bila mengisyaratkan bahwa tindakan politik warga PKB dibandingkan Pemilu 1999.

melibatkan proses interpretatif atas simbol-simbol Kedua, menggeser kekuatan PKB dari anasir- yang dipertukarkan ketika proses komunikasi anasir yang bersifat primordial ke arah keunggulan politik berlangsung. kompetitif yang berlandaskan kultur, program, dan

Dikaji dari perspektif interaksi simbolik, kepemimpinan. Namun, transformasi nilai tadi tidak sosialisasi platform pluralitas PKB akan bisa dilakukan secepat membalikkan telapak tangan bergantung kepada kualitas hubungan dan karena ia menyangkut atribut sosial yang telah kelangsungan interaksi, di mana kedua pihak terlanjur dianggap sebagai pandangan hidup (aktivis, politisi, dan komunikator profesional ver- (ways of life).

sus khalayak, simpatisan, dan konstituen PKB) Dikaji dari perspektif tadi, sosialisasi platform saling menukar makna dan kelakuan. Sebuah pluralitas PKB bertolak dari keyakinan bahwa transaksi politik yang di dalamnya melibatkan akidah dan ritus ibadah setiap agama adalah hak proses penciptaan kesan melalui proses impres- ekslusif setiap pemeluknya. Wilayah ini merupakan sion management (Goffman, 1959: 203). area privat, yang tidak menjadi otoritas PKB untuk

Penataan kesan menjadi kunci keberhasilan merekayasanya. Sosialisasi platform pluralitas politisi dalam serangkaian proses transasksi politik, PKB tidak menjangkau wilayah akidah dan ibadah, karena sejak lama diyakini bahwa banyak aspek meskipun senantiasa mendapatkan penetrasi, politik berupa penampilan (appearance). Para bahkan dengan sengaja menyerap, nilai agama politikus beraksi di depan publik sedemikian rupa, yang ditransformasikan ke dalam gelanggang sehingga mereka menganggapnya sebagai orang politik.

penting, pintar, dan layak dipercaya untuk 252

M EDIA T OR, Vol. 6 No.2 Desember 2005

Karim Suryadi. Transformasi Loyalitas Primordial sebagai Basis Indentifikasi Kepartaian: ... 253

Terakreditasi Dirjen Dikti SK No. 56/DIKTI/Kep/2005

mengemban amanah. Para pemimpin dan aktivis partai politik harus memainkan peran seperti yang dibayangkan khalayak. Mereka akan selalu menemukan banyak orang yang siap “dikelabui”. Mereka menjanjikan sesuatu, sehingga mereka dikesani sebagai sosok yang merasakan sesuatu serta berpikir dan bertindak menurut apa yang dibayangkan konstituennya.

Kesimpulan