Review: Prospek Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kayu Sebagai Bahan Untuk Pewarnaan Kulit

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  

Review: Prospek Zat Warna Alam Dari Ekstrak Kayu Sebagai Bahan Untuk

Pewarnaan Kulit

Emiliana Kasmudjiastuti

  

Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 55166, Indonesia

Telp. (0274) 512929, Fax. (0274) 563655

e-mail: emil_bbkkp@yahoo.com

  

ABSTRAK

  Zat warna alam untuk kulit yang berasal dari bahan kayu atau kulit kayu merupakan zat warna mordan dan dikenal dengan nama wood dyes. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan tersebut umumnya berupa tanin, flavonoid dan kuinon yang menghasilkan warna kuning, coklat dan merah. Penggunaan zat warna alam dari kayu mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihannya adalah mempunyai efek menyamak, mempunyai daya isi pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan warna yang berbeda. Kelemahannya, jika digunakan secara berlebihan, kulit yang dihasilkan bersifat kaku. Makalah ini membahas prospek zat warna alam dari ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L), nangka (Artocarpusheterophyllus), tegeran (Maclura

  

cochichinensis ), kulit kayu tingi (Ceriops tagal) dan mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) untuk

  pewarnaan kulit. Zat warna alam dari ekstrak kayu tersebut dapat diaplikasikan pada berbagai jenis kulit seperti kulit ikan kakap, kulit kaki ayam, kulit ular, kulit biawak, kulit perkamen dari kulit kerbau dan kulit domba. Secara umum hasil uji ketahanan gosok cat (kelunturan warna) menunjukkan hasil yang baik (tidak luntur).

  Kata kunci: zat warna alam, ekstrak kayu secang, nangka, tegeran, tingi, mahoni, mordan

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  

The Prospect of Natural Dyes from Wood Extract asLeather Dyeing: a Review

Emiliana Kasmudjiastuti

  

Balai Besar Kulit, Karet, dan Plastik, Jl. Sokonandi No. 9 Yogyakarta 55166, Indonesia

Telp. (0274) 512929, Fax. (0274) 563655

e-mail: emil_bbkkp@yahoo.com

  

ABSTRACT

Natural dyes for leather from wood or bark are mordant dyes and are known as wood dyes. The

chemical compounds contained in the material are generally tannins, flavonoids and quinones that

produce yellow, brown and red. The use of natural dyes from wood has advantages and

disadvantages. The advantages is having the effect of tanning, has the fullness on the skin, with

different metal salts will give a different color. The disadvantage, if used in excess, the resulting

skin is rigid. This paper discusses the prospects of natural dye from secang wood extract

(Caesalpinia sappan L), jackfruit (Artocarpus heterophyllus), tegeran (Maclura cochichinensis),

bark (Ceriops tagal) and mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) for leather dyeing. Natural dyes

extract of the wood extract can be applied to various skin types such as fish skin, chicken leg skin,

snake skin, lizard skin, parchment skin of buffalo skin and sheep skin. In general the results of the

rub fastness test show good results (not fade). Keywords: natural dyes, wood ekstract, secang, nangka, tegeran, tingi, mahoni, mordan

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017 PENDAHULUAN

  Zat warna alam digunakan sebagai pewarna makanan, katun, sutera, wool dan kulit sejak jaman pra sejarah (Samanta & Agarwal, 2009). Perkembangan selanjutnya penggunaan zat warna alam tergeser dengan diketemukan zat warna sintetis, karena lebih unggul sifat ketahanan warnanya, tidak mudah pudar, mudah diproduksi, arah warna lebih bervariasi, dan harganya lebih murah dibanding zat warna alam (Indrianingsih & Darsih, 2013).Munculnya zat warna sintetis mengurangi konsumsi zat warna alam yang dikonsumsi sebagian besar di industri kulit sampai pertengahan abad ke-19.Aplikasi zat warna sintetis tersebar luas di industri kulit dan memiliki beberapa efek negatif. Zat warna sintetis dihasilkan dari minyak bumi dan sumber-sumber tar batubara (Devi et al., 2013),tidak hanya menghancurkan lingkungan selama sintesisnya namun juga bila limbah dibuang ke badan air setelah proses pewarnaan (Gupta et al., 2013). Limbah tersebut sulit diolah melalui proses pengolahan air limbah secara konvensional karena sangat larut dalam air (Padhi, 2012). Disamping itu berbahaya bagi kesehatan manusia (Sudha et al., 2014),karena dapat menembus ke dalam kulit manusia, menghancurkan ekosistem (Kant,2012) dan beracun bagi keanekaragaman hayati perairan (Danazumi & Bichi, 2010).Beberapa zat warna sintetis mengandung aromatic amines, disinyalir dapat menyebabkan kanker (Bordingnon et al., 2012).

  Zat warna alam dari sumber tanaman (Belemkar & Ramachandran, 2015) adalah ramah lingkungan, renewable, non toxic, sustainable, warna lembut (Pervaiz et al., 2016), secara komersial dapat membantu meningkatkan perekonomian negara (Upadhyay & Choudhary, 2014). Zat warna berbasis tanaman mudah diperoleh, substratnya harum dan lembut (Pervaiz etal., 2016).

  Mengingat adanya konsekuensi penggunaan zat warna sintetis dan standar lingkungan yang ketat, maka penggunaan zat warna alam meningkat dengan cepat di abad 21 (Bose, 2012).Kini zat warna alam dari berbagai sumber tanaman (kayu, daun, bunga, dan biji) telah banyak dimanfaatkan dan diaplikasikan dan dikomersialisasikan khususnya pada produk batik dan makanan, sedang untuk industri kulit kurang diminati, biasanya hanya sebagai produk kerajinan (Lee et al., 2102)dan merupakan niche market. Pecinta alam saat ini, orang-orang yang sadar akan kesehatan dan berpikiran hijau mulai menekankan penggunaan zat warna alam(Karaboyaci, 2014).

  Sumber-sumber zat warna alam dari tumbuhan sangat luas dan tiap-tiap bagian di dunia ini mempunyai jenis-jenis tumbuhan yang berbeda yang menghasilkan zat warna (Mann, 1981). Indonesia kaya akan sumber daya alam berupa tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna dan belum dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit. Selama ini penggunaan bahan dari tumbuhan lokal untuk kulit, hanya sebatas penggunaannya sebagai bahan penyamak (bahan penyamak nabati), walaupun efek sekunder dari proses penyamakan kulit dapat

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  menyebabkan warna ke arah coklat. Sebagai contoh pinang (Areca catechu), gambir (Uncaria gambir ), bakau (Mangrove sp) dan akasia (Acacia decureus wild).

  Beberapa penggunaan zat warna alam untuk pewarnaan kulit yang telah dilakukan antara lain logwood, fustic, dan hypernic. Zat warna logwood menghasilkan berbagai macam warna jika digunakan dengan mordan yang berbeda, dengan alum memberikan warna ungu kemerahan, dengan kapur memberikan warna ungu gelap, dengan ferro sulfat memberikan warna hitam keunguan dan dengan copper memberikan warna merah tua (Koteswara, 1985).Fustic dengan kapur memberikan warna oranye, dengan alum memberikan warna kuning terang, dengan ferro sulfat memberikan warna hijau tua (Mann, 1981). Hypernic dapat menghasilkan warna merah, violet dan coklat (Thorstensen, 1985). Zat warna alam lainnya adalah peach wood, red wood, oak. Tanaman tersebut banyak tumbuh di Amerika selatan, Brazil, Nicaragua, Peru (Sarkar, 1995).

  Indonesia kaya akan sumber zat warna alam dari bahan kayu atau kulit kayu. Oleh karena itu perlu digali dan dikembangkan penggunaannya untuk diaplikasikan pada kulit. Dalam tulisan ini difokuskan pada penggunaan zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L); kayu tegeran (Maclura cochinchinensis), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus), kulit kayu tingi (Ceriops tagal), dan kulit kayu mahoni (Swieteniamahagoni JACQ) untuk pewarnaan kulit, mengingat ketersediaan bahan relatif mudah diperoleh dibandingkan bahan lainnya.

  Karakteristik Zat Warna Alam dari Kayu atau Kulit Kayu

  Menurut Sarkar (1995), zat warna alam (natural dyestuffs) untuk kulit umumnya dalam bentuk kayu (wood) atau kulit kayu (bark) sehingga dikenal dengan wood dyes. Zat warna alam dibagi dalam dua tipe yaitu zat warna alam monochromatic yaitu warna tidak berubah dengan adanya mordan dan zat warna alam polygenetic yaitu warnanya berubah karena adanya mordan (Lee et al., 2012). Umumnya zat warna alam dari sumber kayu merupakan zat warna mordan (Sarkar, 1995).

  Dalam kayu atau kulit kayu pada tumbuhan terdapat jenis pigmen antara lain adalah tanin, flavonoid, dan kuinon. Secara umum tanin dibedakan menjadi dua, yaitu tanin yang dapat dihidrolisis (hydrozable tannin) dan tanin terkondensasi (condensed tannin). Berdasarkan warna

  • yang dihasilkan, tanin diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu clear tannin, yellow tannin, dan red

  

brown tannin (Bechtold, 2009). Penggunaan tanin dari bagian tanaman sebagai bahan penyamak

  nabati akan menimbulkan warna yang merupakan efek sekunder dari proses penyamakan. Menurut Holleman (1985),tanin adalah campuran turunan digalloil dari glukosa yang dapat larut dalam air sebagai koloida, biasanya tidak berwarna, namun kadang-kadang berwarna coklat kekuningan atau coklat. Senyawa yang terkandung didalamnya adalah catechine, asam-asam hidroksi, dan leuco

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  anthocyanin (tak berwarna), akan berwarna setelah bereaksi dengan garam metal, sehingga kadang- kadang digunakan sebagai pewarna disamping sebagai bahan penyamak. Flavonoid merupakan senyawa polifenol yang memiliki 15 atom karbon yang terdiri atas dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh tiga atom karbon, dengan struktur dasar flavon dan flavane yang dapat memberikan warna pada kulit. Sebagai contoh Acaciacatechu, Mangrove sp, Phyllanthus emblica L, dan Terminalia catappa L(Lemmens, 1992) serta Uncaria gambir (Sarkar, 1995). Kuinon merupakan senyawa kimia yang dapat menghasilkan zat warna alami, salah satu tipe kuinon yaitu antrakuinon dapat memberikan warna merah, yaitu alizarin (Bechtold, 2009).

  Penggunaan zat warna alam dari ekstrak kayu atau kulit kayu mempunyai beberapa keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya adalah mempunyai efek menyamak pada kulit, meningkatkan daya isi (fullness) pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan warna yang bervariasi dan dapat memberikan warna yang sama pada bagian daging (flesh) dan nerf (grain). Kelemahannya adalah dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan sifat kulit yang keras (Sarkar, 1995).

Senyawa kimia yang terdapat dalam kayu secang adalah asam galat, brazilin, brazilein, oscimene, resin, delta α phellardrene dan tanin (Hariana, 2006). Brazilin merupakan pigmen warna

  pada secang yang berwarna kuning termasuk flavonoid, bila teroksidasi menjadi brazilein berwarna merah dan larut dalam air. Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terkena sinar matahari. Brazilein termasuk golongan flavonoid sebagai isoflavonoid. Senyawa isoflavonoid merupakan golongan yang mempunyai kerangka C3-C6-C3. Pigmen brazilein, seperti halnya brazilin, memiliki warna berbeda-beda tergantung tingkat keasaman lingkungannya. Warna merah tajam dan cerah didapat pada kondisi pH netral (pH 6-7). Warna ini akan bergesar ke arah merah keunguan dengan semakin meningkatnya pH. Sebaliknya pada pH rendah (pH 2-5) brazilein memiliki warna kuning. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi stabilitas pigmen brazilein. Temperatur dan pemanasan, sinar ultraviolet, oksi-dator dan reduktor, serta keberadaan metal dapat memengaruhi kecepatan degradasi pigmen. Pigmen brazilein akan terdegradasi dengan cepat ketika temperatur lingkungan semakin tinggi (Pewarna alami untuk pangan, 2012).

  Senyawa kimia zat warna dalam kayu tegeran (Maclura cochinchinensis) termasuk golongan flavonoid, alkaloid, steroid, saponin, dan tanin (Swargiary & Ronghang, 2013). Flavonoid utamanya adalah morin (C

  15 H

  10 O 7 ) yang berwarna kuning (Konkiatpaiboon et al., 2016; Swargiary & Ronghang, 2013).

  Senyawa kimia zat warna dalam kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) antara lain morin, sianomaklurin, flavon, tanin, flavonoid: morusin, artokarpin, artonin E, sikloartobilosanton, dan artonol B (Ersam, 2001). Sifat-sifat morin adalah larut dalam air, warna larutan berwarna kuning.,

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  dengan asam akan berwarna kuning pucat dan dengan basa berwarna kuning kearah coklat (Suwadji dkk, 1980).

  Senyawa kimia zat warna dalam kulit kayu tingi (Cerios tagal) adalah tanin, trimeric, dan anthocyanidin (Yemirta, dkk 2000).Senyawa kimia zat warna dalam kayu mahoni (Swietenia

  mahagoni JACQ ) adalah tanin, flavonoid, triterpenoid, alkaloid, dan saponin (Ningsih, 2010).

  Metode Ekstraksi Zat Warna Alam

  Metode ekstraksi adalah suatu metode untuk mendapatkan senyawa kimia dari bahan

  • –bahan alam. Banyak metode ekstraksi yang digunakan untuk mendapatkan zat warna alam dari sumbernya tergantung dari sifat-sifat zat warna maupun komponen lain yang ada bersama zat warna tersebut. Beberapa metode ekstraksi zat warna alam dari tanaman yaitu: metode perkolasi dingin, pelarut yang digunakan adalah air, etanol, atau kombinasi pelarut dan diperlukan waktu untuk perendaman; perkolasi panas, pelarut yang digunakan adalah pelarut organik seperti heksana, bensena, kloroform dan metanol, atau dapat menggunakan kombinasi pelarut dengan suhu tertentu atau sampai mendidih; metode aqueous, pelarut yang digunakan adalah air, dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu; metode super critical fluid extraction, yaitu pengembangan teknologi konvensional untuk ekstraksi, media yang digunakan adalah gas CO2; microwave, merupakan ekstraksi yang lebih cepat, kualitas yang dihasilkan bagus dan energi yang dibutuhkan rendah; dan metode ultrasonik (Indrianingsih & Darsih, 2013).

  Ada beberapa faktor yang memengaruhi proses ekstraksi diantaranya selektifitas, polaritas, dan suhu. Pelarut yang mempunyai derajat polaritas tinggi, cenderung dapat mengekstrak bahan- bahan organik lebih banyak yang ada dalam bahan baku. Pelarut polar seperti ethanol, dan methanol akan menghasilkan rendemen cukup tinggi, namun untuk methanol produk yang dihasilkan tercampur dengan bahan organik lain seperti minyak nabati, sehingga menyulitkan proses pembuatan puder. Penggunaan air sebagai pelarut, meskipun rendemennya lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan methanol atau ethanol (Indrianingsih dan Darsih, 2013), tetapi lebih mudah dalam proses puderisasi dan kualitasnya yang dihasilkan lebih baik (Murbantan et al., 1997).

  Mordanting Wood dyes merupakan zat warna mordan, dengan garam metal akan menghasilkan warna

  yang bervariasi tergantung jenis mordan yang digunakan. Mordan disebut juga dengan striker,

  

mordere, maupunbite yang merupakan bahan kimia berupa garam-garam metal seperti, chrome, tin,

  copper, ferro sulfat, dan alum. Mordan berfungsi sebagai sebagai sarana atau pelekat untuk

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  penyerapan warna (Sarkar, 1995) dan sebagai jembatan kimia antara molekul zat warna dengan molekul jaringan yang diwarnai, sehingga membuat warna menjadi permanen (Musa et al., 2009; Indrianingsih & Darsih, 2013). Garam metal sebagai mordan dapat memperbaiki ketahanan warna seperti ketahanan terhadap pencucian, gosok, sinar matahari dan panas (Mughal et al., 2012). Keberadaan gugus fungsional seperti hidroksil atau karbonil, nitroso yang terdapat pada zat warna alam menyebabkan zat warna tersebut dapat mengikat ion logam pada mordan (Indrianingsih &Darsih, 2013). Penambahan mordan bisa dilakukan sebelum pewarnaan, selama pewarnaan dan setelah pewarnaan, tetapi yang paling baik adalah penggunaan mordan secara simultan (selama pewarnaan) dibandingkan sebelum dan sesudah pewarnaan karena warna menjadi rata (Lee et al., 2012). Lebih lanjut Lee et al.(2012) menyatakan bahwa hasil pewarnaan menggunakan mordan Aluminium (Al2 (SO

  4 )

  3

  18H

  karena tidak membentuk kompon kompleks dengan zat warna alam berbeda dengan penggunaan mordan ferro sulfat ( FeSO

  4

  7H 2 O). Menurut Inayat et al. (2010), untuk mordan bisa digunakan asam oksalat, asam asetat dan asam sitrat dengan perbandingan 1 : 3 (v/v) yang diaplikasikan setelah pewarnaan menggunakan kulit kayu walnut. Sifat ketahanan gosok cat (basah dan kering) sampel kulit paling optimal menggunakan asam oksalat dan asam oksalat merupakan mordan yang ramah lingkungan sebagai alternatif penggunaan metal sebagai mordan. Penggunaan mordan akan memengaruhi sifat-sifat kulit seperti, ketahanan terhadap pencucian, ketahanan keringat dan ketahanan gosok cat. Jeruk nipis dan daun jambu biji juga dapat digunakan sebagai mordan yang ramah lingkungan untuk pewarnaan kulit perkamen (Darmawati, 2016).

  Aplikasi Zat Warna Alam pada Kulit

  Hasil aplikasi zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L); kayu tegeran (Maclura cochinchinensis); kayu nangka (Artocarpus heterophyllus); kulit kayu tingi (Ceriops

  

tagal ), dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) pada beberapa jenis kulit disajikan pada

Tabel 1.

  PEMBAHASAN

  Aplikasi zat warna alam pada kulit sudah lama digunakan sejak jaman pra sejarah, kemudian tergeser dengan munculnya zat warna sintetis yang mudah penggunaannya dengan arah warna yang lebih bervariasi dibandingkan dengan zat warna alam. Dalam konteks kembali ke alam (back to

  

nature ), maka kini penggunaan zat warna alam mulai dibangkitkan kembali. Aplikasi zat warna

  alam pada produk tekstil dan batik, serta makanan telah banyak diteliti dan dikembangkan dengan beragam jenis zat warna yang diambil dari bagian tanaman. Sedangkan untuk kulit, belum banyak

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  4 Kasmudjiastuti &Widhiati (2002) Ular kobra Krom, Alum Coklat kemerahan

  4 Kasmudjiastuti &Widhiati (2002) Ular kobra Krom, Alum Kuning

  3

  4 Kasmudjiastuti(2006) Ular python Alum Kuning

  4

  4 Kasmudjiastuti & Widhiati (2000) Biawak Krom, Alum Kuning 4 4/5 Kasmudjiastuti (2006) Tingi Ikan kakap Alum Coklat kemerahan

  3

  4 4/5 Kasmudjiastuti(2006) Biawak Coklat kemerahan 4/5 4/5 Kasmudjiastuti (2006)

  5

  Mahoni Ikan kakap Alum Coklat muda 3/4 4/5 Kasmudjiastuti & Widhiati (2002) Ular kobra Krom, Alum Coklat

  4

  5 Kasmudjiastuti (2006) Biawak Krom, Alum Coklat

  5

  5 Kasmudjiastuti (2006) Kaki ayam Ferro sulfat Coklat tua

  5

  5 Kasmudjiastuti (2011)

  5 Kasmudjiastuti (2006), Nangka Ikan kakap Alum Kuning 3/4

  4 Kasmudjiastuti & Widhiati (2002) Ular kobra Krom,Alum Kuning 4 4/5 Kasmudjiastuti (2006) Biawak Krom, Alum Kuning

  diteliti dan dikembangkan khususnya untuk bahan zat warna alam yang berasal dari kayu atau kulit kayu dari tumbuhan lokal di Indonesia.

  (2015) Sapi Ferro sulfat Merah 4/5 2/3 Lee et al. (2012) Sapi Daun jambu Merah

  Tabel 1. Hasil aplikasi zat warna alam dari kayu secang, tegeran, nangka, tingi dan mahoni

  pada berbagai jenis kulit

  Jenis ekstrak kayu/kulit kayu Jenis kulit Jenis Mordan Warna yang

dihasilkan

Hasil uji ketahanan gosok cat

  Referensi Basah kering Secang Ikan kakap Alum Merah 2/3 3/4 Kasmudjiastuti &Widhiati (2002)

  Ular kobra Krom, Alum Merah 3/4 4/5 Kasmudjiastuti(2006) Biawak Krom, Alum Merah 4/5 4/5 Kasmudjiastuti (2006) Suede Domba

  Daun jambu Merah

  4 4 Darmawati et al.

  4 5 Darmawati et al.

  3

  ( 2016) Perkamen

  Kulit kerbau Daun jambu Merah 4/5

  5 Darmawati et al.

  (2016) Perkamen Kulit kerbau Jeruk nipis Merah

  4 4/5 Darmawati et al.

  (2016) Sapi Ferro sulfat Merah ke hitam- hitaman

  4/5 2/3 Lee et al. (2012) Tegeran Ikan kakap Alum Kuning

  Kandungan pigmen/zat pewarna dalam kayu adalah tanin, flavonoid dan kuinon.Zat warna alam dari sumber kayu bila digunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit, mempunyai keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya selain dapat memberikan warna tertentu pada kulit, dapat pula memberikan efek menyamak karena kandungan tanin yang terkandung di dalam kayu/kulit kayu,

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  meningkatkan daya isi (fullness) pada kulit, dengan garam metal yang berbeda akan memberikan warna yang bervariasi dan dapat memberikan shade yang sama pada bagian daging (flesh) dan nerf (grain). Kelemahannya adalah dalam jumlah yang berlebihan akan memberikan sifat kulit yang keras. Mordan yang digunakan selain garam metal (Aluminium, ferro sulfat), ternyata dapat digunakan asam oksalat, asam asetat, asam sitrat, jeruk nipis, ekstrak daun jambu (Guajava) yang lebih ramah lingkungan. Penggunaan mordan dalam aplikasi zat warna alam sebagai jembatan kimia antara molekul zat warna alam dengan molekul kulit, sehingga akan memperbaiki sifat ketahanan warna terhadap bahan ang diberi warna.

  Banyak metode ekstraksi untuk mendapatkan zat warna dari bahan /sumber kayu dengan berbagai macam pelarut, namun paling praktis adalah penggunaan air sebagai pelarut, meskipun rendemennya lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan methanol atau ethanol, tetapi proses puderisasi lebih mudah dan kualitasnya yang dihasilkan lebih baik.

  Indonesia kaya akan sumber daya alam berupa tumbuh-tumbuhan yang dapat menghasilkan zat warna dan belum dimanfaatkan dan didayagunakan sebagai bahan pewarna untuk kulit. Selama ini penggunaan bahan dari dari tumbuhan lokal untuk kulit, hanya sebatas penggunaannya sebagai bahan penyamak (bahan penyamak nabati), walaupun efek sekunder dari proses penyamakan kulit dapat menyebabkan warna ke arah coklat. Sebagai contoh pinang (Areca catechu), gambir (Uncaria ), bakau (Mangrove sp) dan akasia (Acacia decureus wild).

  gambir

  Kayu secang (Caesalpinia sappan), kayu tegeran (Maclura cochichinensis), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) kayu tingi (Ceriops tagal) dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni

  

JACQ ) berasal dari tanaman lokal Indonesia, bahan mudah didapat, kapasitasnya sebagai zat warna

  alam terbukti dapat diaplikasikan kulit. Beberapa penelitian telah dilakukan aplikasinya terhadap kulit sapi, domba dan khususnya pada kulit non konvensional (ular, ikan, biawak, kaki ayam) dan secara umum memberikan hasil ketahanan warna yang baik. Untuk penggunaan zat warna alam, perlu dipikirkan ketersediaan bahan dan kontinyuitas serta kemudahannya diaplikasikan pada kulit dengan hasil yang baik dari segi ketahanan warnanya. Ekstrak kayu secang akan menghasilkan warna merah dengan mordan ferro sulfat akan menghasilkan warna ke unguan dan telah cukup banyak dilakukan penelitian pada berbagai jenis kulit. Sedangkan untuk kayu tegeran dan nangka yang sama-sama memberikan warna kuning, namun berbeda shadenya, kulit kayu tingi yang menghasilkan warna coklat kemerahan, dengan mordan ferro sulfat akan menghasilkan warna coklat tua serta kulit kayu mahoni dengan mordan ferro sulfat akan memberikan warna coklat tua, belum banyak dilakukan penelitian.

  Untuk itu masih diperlukan penelitian-penelitian yang lebih seksama agar kulit yang diwarnai dapat memiliki kualitas baik. Kemungkinan untuk melakukan pencampuran warna dapat

  55

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  membuka peluang untuk meningkatkan jumlah warna. Dengan demikian jumlah macam warna alami itu seakan-akan tak terbatas jumlahnya dan akan menghasilkan suatu warna yang unik. Selama ini untuk memproduksi zat warna alam dalam bentuk siap pakai,belum tersedia di pasar atau siap pakai dalam bentuk puder, sehingga dalam pemakainnya masih dalam bentuk ekstrak larutan, dan kelemahannya adalah kesulitan dalam mencapai keseragaman warna. Namun demikian justru itu yang unik, exotic yang menjadikan keunggulan dari zat warna alam, dapat dijadikan produk hand made, produk kerajinan dan merupakan niche market.

  Penggunaan zat warna alam untuk kulit lebih cocok diaplikasikan pada kulit non konvensional (kulit ikan, reptil) dan kulit suede yang tidak memerlukan pigmen pada perlakuan

  finishing , sehingga warna yang dihasilkan nampak alami.

  KESIMPULAN

  Zat warna alam dari sumber kayu umumnya berupa flavonoid dan tanin, dalam aplikasinya diperlukan mordan yang berfungsi sebagai sarana pelekatan antara molekul zat warna dengan jaringan/serat yang akan diberi warna. Pengambilan zat warna alam yang paling mudah dan ekonomis adalah dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut air. Mordan yang digunakan selain berupa garam-garam metal seperti alum dan ferro sulfat juga dapat digunakan asam oksalat, asam sitrat, asam asetat yang lebih ramah lingkungan. Penggunaan mordan dapat dilakukan sebelum pewarnaan, selama pewarnaan atau setelah pewarnaan yang dapat memperbaiki ketahanan warna. Aplikasi zat warna alam dari kayu secang (Caesalpinia sappan L) sudah banyak diteliti pada berbagai jenis kulit seperti kulit ikan kakap, nila, kulit ular, biawak, domba (suede), kerbau (perkamen) dan sapi (di emboss) yang memberikan warna merah. Sedang zat warna alam dari kayu tegeran (Maclura cochichinensis), kayu nangka (Artocarpus heterophyllus) kayu tingi (Ceriops

  

tagal ) dan kulit kayu mahoni (Swietenia mahagoni JACQ) belum banyak diteliti aplikasinya pada

  kulit. Untuk itu perlu di bangkitkan kembali penggunaan zat warna alam untuk kulit, sekaligus merupakan tantangan bagi para peneliti untuk mengembangkan penggunaan zat warna alam pada produk kulit, karena sementara ini zat warna alam jenis tersebut sudah banyak dikembangkan dan diaplikasikan pada produk tekstil dan batik.

  Belemkar, S., & Ramachandran, M.(2015). Recent trends in Indian textile industry- Exploring novel Natural dye products and resources. International Journal on Textile Engineering and

  processes, I(3), 33 -41

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  N.Baboby et al/1 st

  Hariana dan Arief (2008). Tumbuhanobat dan khasiatnya Seri 3, Penebar Swadaya, Depok Holeman (1985). Kimia Organik. Jakarta-Groningen Inayat, A., Khan, S.R., Waheed, A.,Deeba, F. (2010). Applications of Eco friendly natural dyes on leather using different mordants. Proc. Pakistan Acad. Sci. 47(3): 131-135 Indrianingsih, A.W and Darsih,C.(2013). Natural Dyesfrom Plants Extract and its Applications in

  Interface Science, 193, 24-34. https://doi.org/10.1016/j.cis.2013.03.003

  Gupta, V.K., Kumar, R.,Nayak, A., Saleh, T.A., and Barakat, M.A. (2013). Adsorptive removal of dyes from aqueous solution onto carbon nanotubes: a Review. Advances in Colloid and

  Tropika Sumatera Barat. (Thesis). ITB Bandung

  Ersam, T. (2001). Senyawa Kimia Makromolekul Beberapa Tumbuhan Artocarpus Hutan

  Devi, M., Ariharan, V.N., Nagendra,P.P.( 2013), Annato: Eco friendly and potensial source for natural dye. International Research Journal of Pharmacy 4(6). http://doi:10.7897/2230- 8407.04623

   International Conference Biodiversity Proceedings 22-23 November 2016, 1-6

  Darmawati, E., Santosa, U., Sudarmadji. (2016). The application of Natural Dye from Secwood (Caesalpinia sappan L) on crust cattle leather by dyeing methods using techniques.

  57 Bechtold, T., Mussak, R., Mahmud, A.A., Ganglberger, S.(2006). Extraction of Natural Dyes for Textile dyeing from coloured plant wastes released from the food and beverage industry.

  International Seminar on Tropical Animal Production Intregated Approach in Developing Sustainable Tropical Animal Production, 778-784. October 20-22,2015, Yogyakarta Indonesia .

  6 st

  Darmawati, E., Triatmojo, S., Arief, D.R. (2015). Application of Natural Dye Substances on Crust Suede Sheep Skin by Dyeing Methods using Jumputan Techniques. Proceedings of The

  Dan’Azumi, S and Bichi,M.H. (2010).Industrial pollution and heavy metals profile of Challawa River in Kano, Nigeria. Journal of Applied Sciences in Environmental Sanitation, (5(1)

  American Journal of Pharmtech Research, 2, 762-770

  (2012). Novel Natural Dyes for Eco-Friendly Leather Articles. Aqeic, Vol 63 (4), 2012 Bose, S., and Nag, S.(2012). Isolation of Natural Dyes from the flower of Hibiscus Rosasinensis.

  Journal of Science of Food and Agriculture, 86(2), 233-242 Bordingnon, S., Gutterres, M.,Velho, S.K.,Fuck, W.F., Schor, A.V.,Cooper, M., Bresolin, L.

  Indonesian.Textile Small Medium Scale Enterprise. 11(1), Juni 2013 Kant, R. (2012). Textile dyeing industry an environmental hazard. Natural Science, 4(1),22-30. Karaboyaci, M.(2014). Recycling of rose wastes for use in natural plant dye and industrial application. The Journal of Textille Institute 105(11), 1160-1166. http://dx.doi.org/10.1080/00405000.2013.876153

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  Kasmudjiastuti, E., dan Widhiati (2000). Kajian Penggunaan Alum terhadap sifat-sifat kulit ular tersamak dengan warna kayu nangka. Prosiding Seminar Nasional Industri Kulit, Karet dan

  Plastik, 166-172. Yogyakarta 8 Juli 2000

  Kasmudjiastuti, E., dan Widhiati (2002). Pengaruh penggunaan bahan pewarna alam dari ekstrak kayu terhadap sifat fisis kulit ikan kakap. Majalah barang Kulit, Karet dan Plastik Vol

  VIII(2), 3-9. http://dx.doi.org/10.20543/mkkp.v18i1.265

  Kasmudjiastuti, E.(2006). Penggunaan zat warna alam untuk kulit non konvensional, Majalah Kulit,

  Karet dan Plastik, 22(1) 20-25. http://dx.doi.org/10.20543/mkkp.v22i1.330

  Kasmudjiastuti, E. (2011). Penggunaan Mordan Ferro Sulfat pada proses Pewarnaan Kulit Kaki Ayam menggunakan Limbah Kayu Mahoni. Prosiding Workshop Penelitian dan

  Pengembangan Kulit, Karet dan Plastik, Yogyakarta 19 Oktober 2011

  Konkiatpaiboon,S., Tungsukruthai, P.,Sriyakool, K.,Pansuksan, K., Tunsirikongkon, A., & Pandith, H. (2016). Determination of Morin in Maclura cochinchinensis Heartwood by HPLC. Journalof Chromatograpic Science, 55(3), 346-350. https://doi.org/10.1093/chromsci/bmw191

  Lee,S.C., Shin, E.C., Kim, W.J., and Park, S.M.(2012). Dyeing Process for Improving Properties of Black Color using Natural Dyes and Mordant, The Journal of American Leather Chemistry

  Association , Vol 107 (2), 33-69

  Koteswara (1985). Dyeing and Finishing of Leather, Central Leather Research Institute, Adyar Madras 600-020

  Lemmens and Soetjipto, W.(1992). Dye and Tannin Producing Plants, Prosea Bogor Mann, I.(1981). Teknik Penyamakan Kulit untuk pedesaan. Penerbit Angasa Bandung Mughal, A.T., Shamsheer, B., Zaheer, S. (2012). Eco friendly leather dyes extracted from Plants

  Bark (Book Lambart). Publisher IAP Lambert Academic Publishing, Publication Saarbrucken, Germany.

  Murbantan, A. M., Rosjidi, M., & Saputra, H. (1997). Proses ekstraksi dan powderisasi zat warna alam. Laporan Penelitian Industri Kecil dan Menengah, ISSN, 1410-9891. Musa, A.E., Madhan, B., Madhulatha, W., Raghava Rao, J., Gasmelseed, G.A., & Sadulla, S.

  (2009). Coloring of Leather using Henna Natural alternative material for dyeing. The Journal of American Leather Chemists Association, 104(5), 183-190. Ningsih, F. (2010). Kandungan Flavonoid kulit kayu mahoni (Swietenia macrophylla King) dan toksisitas akutnya terhadap mencit. Thesis. Fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan alam. Institut Pertanian Bogor. Padhi., B.S. (2012).Pollution due to synthetic dyes toxicity & carcinogenicity studies and remediation, International Journal of Enviromental Science. 3 (3), 940

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017

  Pervaiz, S., Mughal, T.A., Khan, F.Z. (2016). Green Fashion Colours: A Potential Value for Punjab Leather Industry to Promote Sustainable Development. Pakistan Journal of

  Contemporary Sciences A Multidisciplinary Journal I(I): 28 -36

  Pewarna alami untuk pangan(2012). Seafast center 2012 Samanta, D.A.,& Agarwal, P. (2009). Application of natural Dyes on textiles. Indian Journalof Fibre & Textile Research, Vol 34, December 2009, pp 384-399.

  Sarkar, K.T. (1995). Theory Practice Leather Manufacture, The CLS Press Madras Sudha, M., Saranya, A.,Selvakumar, G., Sivakumar, N.(2014), Microbial degradation of Azo

  Dyes: A. Review. International Journal of Current Microbiology and Applied Science, 3(2), 670-690. Suwadji, Sutikno, &Handayani, D. (1980). Inventarisasi tanaman yang menghasilkan zat warna guna keperluan Industri makanan, minuman. Departemen Perindustrian, BPPI, Laporan

  Penelitian Balai Penelitian Kimia Semarang.

  Swargiary, A., & Ronghang, B. (2013). Screening of Phytochemical Constituents, Antioxidant and Antibacterial Properties of Methanolic Bark Extracts of Maclura cochinchinensis. Corner International Journal of Pharma and Bio Science (IJPBS), 4(4), 449-459.

  Thorstensen, T.C. (1985). Practice Leather Technology. Robert E.Krieger Publishing Co. New York

  Upadhyay, R.,&Choudhary, M.S.(2014). The Barks as a source og natural dyes from the forest of Madhya Pradesh. Global Journal of Bioscience and Biotechnology, 3(1), 97-99 Yemirta, H., K., Indra, F.N. (2000). Isolasi zat aktif pewarna alam dari berbagai jenistanaman.

  Laporan Penelitian. Balai Besar Industri Kimia dan Kemasan Departemen Perindustrian.

  Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet, dan Plastik ke-6 Yogyakarta, 25 Oktober 2017