ATIKA PUSPITA HAPSARI G0009031

KECEMASAN DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL 2012 PADA SISWA SMA SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran ATIKA PUSPITA HAPSARI G0009031

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2012

commit to user

commit to user

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 20 Juli 2012

Atika Puspita Hapsari

NIM G0009031

commit to user

Atika Puspita Hapsari, G0009031, 2012. Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Nasional 2012 pada Siswa SMA. Skripsi. Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional. Kecemasan siswa yang terlewat tinggi dalam menghadapi ujian akan menurunkan kinerja otak siswa dalam belajar. Jika kecemasan itu sampai mengacaukan emosi, mengganggu tidur, menurunkan nafsu makan, dan kebugaran tubuh, maka kemungkinan gagal ujian semakin besar.Jika seseorang dapat mengenali, meregulasi, dan mengelola emosi yang muncul, maka persoalan yang terjadi dalam kehidupannya dapat dengan lebih mudah terselesaikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional 2012 pada siswa SMA.

Metode: Jenis penelitian ini adalah cross sectional dengan pendekatan deskriptif analitik yang dilakukan pada siswa kelas XII SMA Negeri 1 Tanjung, Kabupaten Brebes, tahun pelajaran 2011/2012. Digunakan teknik sampling secara purposive sampling. Jumlah subyek penelitian sebanyak 287 siswa dan sebanyak 51 siswa memenuhi kriteria ketentuan inklusi yang ditetapkan untuk dianalisis. Data diolah dengan menggunakan SPSS 17.0 for Windows.

Hasil: Analisis uji korelasi Product Moment dari Pearson didapatkan hasil r = - 0,681 dan nilai signifikansi 0,000. Dengan demikian α<0,01 ; r = negatif,

Hipotesis diterima. Simpulan: Terdapat hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan

kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional 2012 pada siswa SMA. Kata Kunci: Kecerdasan Emosi, Kecemasan, Ujian Nasional Siswa SMA

commit to user

Atika Puspita Hapsari, G0009031, 2012. The Relationship between Emotional Quotient with Anxiety in the face of National Examination 2012 on High School Students. Mini Thesis. Facultyof Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta.

Background: Anxietycan be experiencedby the students, especially theanxietyin the face ofthe NationalExam. Studentswithhigh anxietyin the examwill degradethe performance ofthe brainin learning.Ifanxiety isto disturbemotions,interfere insleep, decrease appetite, and decrease physical fitness, thepossibility offailing the exam is greater. If someone canidentify, regulate, and managethe emotions, the problems that occurin lifecan bemore easilyresolved. This studyaimed todetermine the relationshipbetween emotional quotientwithanxietyin the face ofthe National Examination2012 onhigh school students.

Methods: The research was crosssectional descriptive analytical approach undertaken in the class XII students of SMA Negeri 1 Tanjung, Brebes, school year 2011/2012. Purposive sampling technique used insampling. The number of study subjects as much as 287 students, and as many as 5 students who meet the inclusion criteria established provisions to be analyzed. Data were processed using SPSS17.0 for Windows.

Ressults: Analysis of test from Pearson Product Moment Correlation results obtained r = -0,681 and a significance value is 0.000. Thus α<0.01 ; r = negative, the hypothesis is accepted.

Conclusion: There is a negative relationship between emotional quotient with anxiety in the face of the National Examination 2012 in high school students.

Keywords: Emotional Quotient, Anxiety, National Examination of High School

Students

commit to user

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecemasan dalam Menghadapi Ujian Nasional 2012 pada Siswa SMA.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kendala dalam penyusunan skripsi ini dapat teratasi atas pertolongan Allah SWT melalui bimbingan dan dukungan banyak pihak. Untuk itu, perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Muthmainah, dr., M.Kes. , selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Mardiatmi Susilohati, dr., Sp. KJ (K) selaku Pembimbing Utama yang telah

memberikan bimbingan, saran,dan petunjuk guna penyusunan skripsi ini.

4. Ruben Dharmawan, dr., Ir., Sp.Park., Ph.D selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberikan bimbingan dan saran.

5. Makmuroch, Dra., MS selaku selaku Penguji Utama yang telah memberikan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Ratih Puspita Febrinasari, dr., M.Sc. selaku Penguji Pendamping yang telah memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

7. Bapak, Ibu, Bunga, dan Mbak Endahyang selalu memberikan semangat dan motivasiserta teman-teman angkatan 2009.

8. Bagian SMF Kedokteran Jiwa RSUD Dr. Moewardi Surakarta, para dosen beserta segenap staf.

9. Tim skripsi, Perpustakaan FK UNS yang banyak membantu dalam

penyelesaian skripsi dan sebagai salah satu tempat mencari referensi.

10. Drs. Masrukhi, M.Pd. selaku Kepala Sekolah yang telah memberikan izin melakukan penelitian di SMA Negeri 1 Tanjung Brebes, para guru dan segenap staf beserta adik-adik kelas XII tahun ajaran 2011/2012.

11. Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Surakarta, 20Juli 2012

Atika Puspita Hapsari

commit to user

PRAKATA ..........................................................................................

vi

DAFTAR ISI .........................................................................................

vii

DAFTAR TABEL ................................................................................

ix

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................

x BAB I

PENDAHULUAN ..........................................................

A. Latar Belakang Masalah ........................................

B. Perumusan Masalah ...............................................

C. Tujuan Penelitian .................................................

D. Manfaat Penelitian ...............................................

8 BAB II

LANDASAN TEORI ....................................................

A. Tinjauan Pustaka ..................................................

1. Kecerdasan Emosi ...........................................

2. Kecemasan ........................................................

19

B. Kerangka Pemikiran .............................................

27

C. Hipotesis ..............................................................

28 BAB III

METODE PENELITIAN ................................................

29

A. Jenis Penelitian ......................................................

29

B. Lokasi Penelitian ....................................................

29

C. Subjek Penelitian ...................................................

29

D. Teknik Sampling ....................................................

30

E. Desain Penelitian ...................................................

31

F. Identifikasi Variabel Penelitian ............................

31

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian ..............

32

H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian ......................

33

I. Cara Kerja ............................................................

36

J.

Teknik Analisis Data ............................................

A. Karakteristik Subjek Penelitian ............................

38

B. Analisis Hasil .......................................................

40

commit to user

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ......................................... .. 46

A. Simpulan .............................................................. .. 46

B. Saran .................................................................... ..

46

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... ..

48

LAMPIRAN ..................................................................................... ..

51

commit to user

Tabel 3.1 Sebaran Item Skala Inventori EQ ............................................ 35

Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Berdasarkan Kriteria Inklusi ........................ 39

Tabel 4.2 Deskripsi Subjek Berdasarkan Skala L-MMPI ........................ 39 Tabel 4.3 Deskripsi Subjek Berdasarkan Kriteria Eksklusi ..................... 40

Tabel 4.4 Deskripsi Statistika Hasil Penelitian ....................................... 40

commit to user

Lampiran 1 Kuesioner Data Pribadi dan Identitas Siswa Lampiran 2 Kuesioner Skala L-MMPI Lampiran 3 Skala Inventori EQ Lampiran 4 Skala T-MAS Lampiran 5 Daftar Hadir Penelitian Lampiran 6 Rekapitulasi Hasil Kuesioner EQ Lampiran 7 Rekapitulasi Hasil Kuesioner T-MAS Lampiran 8 Frekuensi Statistika dan Histogram Lampiran 9 Analisis Data dengan Uji Korelasi Product Moment dari

Pearson Menggunakan SPSS 17.0 for Windows

Lampiran 10 Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran UNS Lampiran 11 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari

SMA Negeri 1 Tanjung Brebes

Lampiran 12 Foto Kegiatan

commit to user

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam suatu sekolah terjadi proses belajar mengajar yang kurang menyenangkan. Salah satu bentuk kecemasan yang dialami siswa dalam suatu sekolah adalah kecemasan menghadapi ujian. Hal ini dikarenakan dalam proses belajar mengajar, siswa tidak dapat terlepas dari ujian sebagai bahan evaluasi dari hasil belajar.

Turmudhi (2004) menyatakan bahwa kecemasan siswa yang terlewat tinggi dalam menghadapi Ujian Tengah Semester (UTS) ataupun Ujian Akhir Semester (UAS) justru akan menurunkan kinerja otak siswa dalam belajar. Daya ingat, daya konsentrasi, maupun daya kritis siswa dalam belajar justru akan berantakan. Jika kecemasan itu sampai mengacaukan emosi, mengganggu tidur, menurunkan nafsu makan, dan menurunkan kebugaran tubuh, bukan saja kemungkinan gagal ujian justru semakin besar, tetapi juga kemungkinan siswa mengalami gangguan psikomatik dan problem dalam berinteraksi sosial.

Menurut Franken, tes atau ujian yang dilakukan sehari-hari di sekolah juga dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengancam dan persepsi tersebut menghasilkan perasaan tertekan bahkan panik. Keadaan tertekan dan panik akan menurunkan hasil-hasil belajar (Winarsunu, 2009).

commit to user

penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi psikologis seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, takut gagal, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah. Pada tingkat kronis dan akut, gejala kecemasan dapat berbentuk gangguan fisik (somatik), seperti gangguan pada saluran pencernaan, sering buang air, gangguan jantung, sesak di dada, gemetaran bahkan pingsan (Sudrajat, 2008).

Sedangkan Hasan (2007) menyatakan bahwa siswa mungkin membayangkan tingkat kesulitan soal yang sangat tinggi, sehingga memicu kecemasannya yang tidak hanya soal yang sulit saja yang tidak dapat dijawab, tetapi juga soal-soal yang mudah yang sebenarnya sudah dikuasai. Wujud dari rasa cemas ini bermacam-macam, seperti jantung berdebar lebih keras, keringat dingin, tangan gemetar, tidak bisa berkonsentrasi, kesulitan dalam mengingat, gelisah, atau tidak bisa tidur malam sebelum tes.

Sejak tahun 2003, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Ujian Nasional sebagai salah satu standar kelulusan siswa SMA/Sederajat. Dari tahun ke tahun, angka standar kelulusan yang ditetapkan oleh Pemerintah pun semakin meningkat dan menjadi skor minimal yang harus dipenuhi siswa sekolah di seluruh Indonesia agar dapat lulus dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 59 tahun 2011, tanggal 16 Desember 2011 mengenai Ujian Nasional tahun pelajaran 2011/2012, Ujian Nasional (UN)

commit to user

pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil UN tersebut akan digunakan sebagai pemetaan mutu satuan pendidikan, seleksi masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya, penentuan kelulusan siswa, dan pertimbangan dalam pembinaan serta pemberian bantuan kepada satuan pendidikan, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan secara nasional.

Meskipun UN masih dalam ruang yang kontroversial, namun kenyataannya harus tetap diikuti dan tetap berfungsi sebagai pertimbangan yang dapat memutuskan seorang siswa bernasib baik (lulus) atau buruk (tidak lulus). Siswa yang bernasib buruk konsekuensinya mengulang satu tahun lagi untuk selanjutnya mengikuti UN tahun berikutnya atau mengikuti paket C. Dalam situasi seperti ini, akan muncul perasaan tertekan, kekhawatiran, dan ketakutan akan kegagalan dalam mengerjakan UN. Tentu saja derajat kecemasan siswa berbeda-beda. Namun prinsipnya, tinggi rendahnya kecemasan seorang siswa terhadap sesuatu ditentukan oleh berat ringannya konsekuensi yang akan diterimanya jika mengalami kegagalan. Kenyatan tidak lulus dan harus mengulangi kelas XII lagi jika gagal ujian adalah konsekuensi yang sangat berat bagi siswa yang berkecenderungan besar menimbulkan kecemasan (Winarsunu, 2009).

Penelitian Hill (1980) yang melibatkan 10.000 ribu siswa sekolah dasar dan menengah di Amerika menunjukkan bahwa sebagian besar siswa yang mengikuti tes gagal menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya

commit to user

Sebaliknya, para siswa ini memperlihatkan hasil yang lebih baik jika berada pada kondisi yang lebih optimal, dalam arti unsur-unsur yang membuat siswa berada di bawah tekanan dikurangi atau dihilangkan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya para siswa tersebut menguasai materi yang diujikan tapi gagal memperlihatkan kemampuannya yang sebenarnya karena kecemasan yang dirasakan saat menghadapi Ujian (Hasan, 2007).

Santrock menjelaskan bahwa beberapa siswa yang berhasil dalam ujian adalah siswa-siswa yang memiliki taraf kecemasan yang moderat atau sedang. Sedangkan siswa yang memiliki taraf kecemasan yang tinggi berhubungan dengan rendahnya nilai ujian yang diperolehnya. Pada penelitian meta-analitik mengenai kecemasan terhadap ujian yang dilakukan Hembree ditemukan bahwa 1) siswa perempuan mengalami kecemasan lebih tinggi dari pada yang laki-laki; 2) kecemasan terhadap ujian secara langsung berhubungan dengan perasaan tidak suka terhadap tes, ketakutan dalam mengikuti ujian, dan ketrampilan belajar yang tidak efektif (Winarsunu, 2009).

Ujian Nasional merupakan salah satu proses belajar di sekolah yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi yang tinggi dalam ujian, seseorang harus memiliki Intelligence Quotient (IQ) yang tinggi, karena inteligensi merupakan bekal potensial yang akan memudahkan dalam belajar dan

commit to user

Binet dalam Winkel (1997) hakikat inteligensi adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan itu, dan untuk menilai keadaan diri secara kritis dan objektif.

Kenyataannya, dalam proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah, namun ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Menurut Goleman (2000), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.

Hasil beberapa penelitian di University of Vermont mengenai analisis struktur neurologis otak manusia dan penelitian perilaku oleh LeDoux (1970) menunjukkan bahwa dalam peristiwa penting kehidupan seseorang, EQ selalu mendahului intelegensi rasional. EQ yang baik dapat

commit to user

kesuksesan karir, mengembangkan hubungan suami-istri yang harmonis, dan dapat mengurangi agresivitas, khususnya dalam kalangan remaja (Goleman, 2002).

Kemunculan istilah kecerdasan emosi dalam pendidikan, bagi sebagian orang mungkin dianggap sebagai jawaban atas kejanggalan tersebut. Teori Daniel Goleman, sesuai dengan judul bukunya, memberikan definisi baru terhadap kata cerdas. Walaupun EQ merupakan hal yang relatif baru dibandingkan IQ, namun beberapa penelitian telah mengisyaratkan bahwa kecerdasan emosi tidak kalah penting dengan IQ (Goleman, 2002).

Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence ); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Menurut Goleman, khusus pada orang-orang yang murni hanya memiliki kecerdasan akademis tinggi, orang tersebut cenderung memiliki rasa gelisah yang tidak beralasan, terlalu kritis, rewel, cenderung menarik diri, terkesan dingin dan cenderung sulit mengekspresikan kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Bila didukung dengan rendahnya taraf kecerdasan emosinya, maka orang-orang seperti ini sering menjadi sumber

commit to user

namun taraf kecerdasan emosinya rendah maka cenderung akan terlihat sebagai orang yang keras kepala, sulit bergaul, mudah frustrasi, sering merasa cemas, tidak mudah percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan dan cenderung putus asa bila mengalami stres. Kondisi sebaliknya, dialami oleh orang-orang yang memiliki taraf IQ rata-rata namun memiliki kecerdasan emosi yang tinggi.

Jika seseorang dapat mengenali, meregulasi, dan mengelola emosi yang muncul, maka persoalan yang terjadi dalam kehidupannya dapat dengan lebih mudah terselesaikan. Kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih, dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, serta mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual didefinisikan sebagai kecerdasan emosi (Salovey, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan dalan menghadapi Ujian Nasional pada siswa SMA.

B. Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini, yaitu: Adakah hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional 2012 pada siswa SMA?

commit to user

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional 2012 pada siswa SMA.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritik

a. Menambah wawasan psikiatri mengenai apakah ada hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan

b. Memberikan tambahan informasi ada atau tidaknya hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecemasan

2. Manfaat Aplikatif Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pembanding atau

pustaka bagi para peminat masalah yang berhubungan dengan kecerdasan emosi dan kecemasan, atau sebagai bahan penelitian selanjutnya.

commit to user

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecerdasan Emosi

a. Pengertian Emosi

Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis (Goleman, 2002).

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti meningkatkan, tetapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia (Prawitasari, 1995).

Menurut Descrates, emosi terbagi atas : desire (hasrat), hate (benci), sorrow (sedih/duka), wonder (heran), love (cinta) dan

commit to user

macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), rage (kemarahan), love (cinta). Daniel Goleman (2002) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan kedua tokoh di atas, yaitu :

1) Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati

2) Kesedihan : pedih, sedih, muram, melankolis, mengasihi diri,

putus asa

3) Rasa takut : cemas, gugup, khawatir, was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri

4) Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang,

terhibur, bangga

5) Cinta

: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih

6) Terkejut

: terkesiap, terkejut

7) Jengkel

: hina, jijik, muak, mual, tidak suka

8) malu

: malu hati, kesal Menurut Mayer, orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosinya, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu, maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosi agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang dijalani menjadi sia-sia (Goleman, 2002).

commit to user

emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.

b. Perkembangan Emosi

Perkembangan emosi dikendalikan oleh proses pematangan dan proses belajar. Perkembangan emosi sesuai dengan pertumbuhan fisik dan psikis, semakin bertambahnya usia seseorang diharapkan semakin mampu mengontrol emosi yaitu adanya organisasi dan integrasi dari semua aspek emosi yang merupakan bagian integral dari keseluruhan pribadi sehingga mampu menyatakan emosi secara tepat dan wajar (Hurlock, 1999).

c. Pengertian Kecerdasan Emosi

Istilah “kecerdasan emosi” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Salovey dari Harvard University

dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan.

Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi atau yang sering disebut EQ sebagai :

“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan

commit to user

menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998).

Kecerdasan emosi sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosi.

Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998).

Sebuah model pelopor lain tentang kecerdasan emosi diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, yang mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000).

Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of Mind (Goleman, 2000) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik, matematika/logika,

commit to user

Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosi.

Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri dari: ”kecerdasan antarpribadi yaitu kemampuan untuk memahami

orang lain, apa yang memotivasi dirinya, bagaimana dirinya bekerja, bagaimana bekerja bahu-membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri-sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002).

Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi, dan hasrat oran g lain.” Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan diri, kecerdasan mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku”.

(Goleman, 2002).

commit to user

tersebut, Salovey (Goleman, 2002) memilih kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap kecerdasan emosi pada diri individu. Menurutnya, kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

Menurut Goleman (2002), kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression ) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

Menurut Mayer dan Caruso (2002), kecerdasan emosi memiliki dua sisi penting dalam perkembangannya. Pada satu sisi kecerdasan emosi melibatkan akal untuk memahami emosi, di sisi lain melibatkan emosi itu sendiri untuk dapat mencapai sistem intelektual dan menyempurnakan pemikiran kreatif serta berbagai gagasan.

commit to user

emosi adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi

Goleman mengutip Salovey (2002) menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima kemampuan utama, yaitu :

1) Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood , yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi (Goleman, 2002).

commit to user

Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan orang (Goleman, 2002). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri- sendiri,

melepaskan

kecemasan,

kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.

3) Memotivasi Diri Sendiri

Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis, dan keyakinan diri.

4) Mengenali Emosi Orang Lain

Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman (2002) kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan

commit to user

kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga dirinya lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuiakan diri secara emosi, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka (Goleman, 2002). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002). Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain.

5) Membina Hubungan

Kemampuan dalam membina hubungan merupakan

menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antarpribadi (Goleman, 2002). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan

commit to user

untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.

Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002).

e. Aspek-Aspek Kecerdasan Emosi

Menurut Salovey dan Mayer, kualitas emosi yang tercakup dalam kecerdasan emosi (EQ) meliputi: empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan

menyesuaikan

diri,

disukai, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (Saphiro, 1997). Sedangkan Reuver Bar On membagi kecerdasan emosi ke dalam lima area atau ranah, yaitu intrapribadi, antarpribadi, penyesuaian diri, pengendalian stres, dan ranah suasana hati (optimisme dan kebahagiaan) (Stein, 2002).

Senada dengan Reuven Bar On, Salovey membagi kecerdasan emosi menjadi lima wilayah pula, yaitu : 1) mengenali emosi diri, yakni suatu kemampuan memantau perasaan dari

commit to user

terungkap dengan tepat, ini merupakan sebuah kecakapan yang tergantung pada kesadaran diri; 3) memotivasi diri sendiri, kendali diri dari emosi, menahan diri terhadap kepuasan, dan mengendalikan dorongan hati; 4) mengenali emosi orang lain, misalnya empati yang merupakan keterampilan dalam bergaul sangatlah bergantung pada kecerdasan emosi; dan 5) membina hubungan yang sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain (Goleman, 2002).

2. Kecemasan

a. Definisi

Istilah kecemasan atau anxietas mulai diperbincangkan pada permulaan abad ke-20. Kata dasar anxietas dalam bahasa Indo

Jerman adalah “angh” yang dalam bahasa Latin berhubungan dengan kata “angustus, ango, angor, anxius, anxietas, angina.” Kesemuanya mengandung arti “sempit” atau “konstriksi” (Idrus, 2006).

Kecemasan adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang tidak riil atau yang tak terbayangkan, secara nyata disebabkan oleh konflik intrapsikis yang tidak diketahui. Penyerta fisiologis berupa denyut jantung bertambah cepat, kecepatan pernapasan tidak teratur, berkeringat, gemetar, lemas, dan lelah ;

commit to user

tidak berdaya, terancam, dan takut (Dorland, 2006).

Menurut Hutagalung (2007) kecemasan adalah perasaan yang difus, yang sangat tidak menyenangkan, agak tidak menentu, dan kabur tentang sesuatu yang akan terjadi. Perasaan ini disertai dengan satu atau beberapa reaksi badaniah yang khas dan yang akan datang berulang bagi seseorang tertentu. Perasaan ini dapat berupa rasa kosong di perut, dada sesak, jantung berdebar, keringat berlebihan, sakit kepala, rasa ingin buang air kecil atau buang air besar, perasaan ini disertai dengan rasa ingin bergerak atau gelisah.

Pada manusia, kecemasan bisa jadi berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah atau resah), maupun respon fisiologis tertentu. Kecemasan bersifat kompleks dan merupakan keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa yang akan datang dengan ditandai dengan adanya kekhawatiran karena tidak dapar memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang (Durland dan Barlow, 2007).

Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosi terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya

commit to user

patologis bilamana mengganggu fungsi sehari-hari, pencapaian tujuan, dan kepuasan atau kesenangan yang wajar (Maramis, 2005). Walaupun merupakan hal yang normal dialami, tetapi kecemasan tidak boleh dibiarkan karena lama-kelamaan dapat menjadi neurosa cemas melalui mekanisme yang diawali dengan kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun akibat represi dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus dapat menyebabkan penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas (Maramis, 2005).

b. Epidemiologi

Beberapa kelompok yang mempunyai risiko mengalami gangguan kecemasan adalah usia muda, wanita, mempunyai masalah sosial, dan yang sebelumnya pernah mempunyai masalah psikiatrik (House dan Stark, 2002).

Survai terkini di Amerika pada tahun 1996 melaporkan bahwa 15-33% pasien yang datang berobat ke dokter nonpsikiater merupakan pasien dengan gangguan mental. Dari jumlah tersebut minimal sepertiganya menderita gangguan kecemasan (Romadhon, 2002).

Beberapa tahun yang lalu, hasil penelitian yang pernah dilakukan pada kelompok perempuan yang tinggal di rumah susun

commit to user

sebesar 9,8%. Penelitian lainnya yang dilakukan pada sejumlah karyawan pada tingkat eksekutif di beberapa instansi pemerintah, maupun instansi swasta di Jakarta, menunjukkan prevalensi fobia sosial (satu di antara gangguan anxietas), sebesar 10-16%. Penelitian yang dilakukan pada kelompok laki-laki dan perempuan pada murid SMA di dua kawasan Jakarta yaitu Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, prevalensi anxietas sebesar 8-12% (Ibrahim, 2002).

Paparan di atas menunjukkan bahwa gangguan anxietas di Indonesia terutama di Kota Jakarta, menunjukkan prevalensi yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata umum (Ibrahim, 2002).

c. Etiologi

Menurut Trismiati (2004), sumber-sumber ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan bersifat lebih umum. Dapat berasal dari berbagai kejadian dalam kehidupan atau dalam diri seseorang itu sendiri.

Beberapa macam teori penyebab kecemasan yaitu :

1) Teori psikoanalitik: Freud menyatakan bahwa kecemasan sebagai sinyal, kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam diri. Misalnya dengan menggunakan mekanisme represi, bila berhasil maka terjadi pemulihan keseimbangan psikologis tanpa adanya gejala anxietas. Jika represi tidak berhasil sebagai suatu

commit to user

misalnya konvensi.

2) Teori perilaku: teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan terhadap stimuli lingkungan spesifik. Contoh: seseorang dapat belajar untuk dapat memiliki respon kecemasan internal dengan meniru respon kecemasan orang tuanya.

3) Teori eksistensial: konsep dan teori ini adalah bahwa seseorang menjadi menyadari adanya kehampaan yang menonjol di dalam dirinya. Perasaan ini lebih mengganggu daripada penerimaan tentang kenyataan/kematian seseorang yang tidak dapat dihindari. Kecemasan adalah respon seseorang terhadap kehampaan eksistensi tersebut.

4) Sistem saraf otonom: stimuli sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu. Sistem kardiovaskular: takikardi, muskular nyeri kepala; gastrointestinal: diare.

utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang dan respon terhadap terapi obat yaitu norepinefrin, serotonin dan gamma-aminobutyric acid.

6) Penelitian genetika: penelitian ini mendapatkan hampir separuh dan semua pasien dengan gangguan panik memiliki

commit to user

gangguan.

7) Penelitian pencitraan otak: contohnya pada gangguan anxietas didapati kelainan di korteks frontalis, oksipital, temporalis. Pada gangguan panik didapati kelainan pada girus para hipokampus (Hutagalung, 2007).

d. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan

Dalam kehidupan, siswa dipengaruhi oleh keluarganya. Pada berbagai penelitian telah dikemukakan bahwa siswa yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik akan mengalami gangguan kepribadian yang menjadi kepribadian anti sosial dan berperilaku menyimpang dibandingkan dengan siswa yang dibesarkan dalam lingkungan harmonis (Hawari, 1997).

Kriteria keluarga yang tidak sehat menurut para ahli adalah:

1) Keluarga yang tidak utuh (broken home by death or

separation ).

2) Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan

orang tua dan anak di rumah.

3) Hubungan interpersonal antaranggota keluarga (ayah, ibu, dan

anak) yang tidak baik.

commit to user

orang tua tercurahkan semakin sedikit (Hawari, 1997).

Kualitas kesehatan siswa juga mempengaruhi timbulnya kecemasan, antara lain :

1) Gaya hidup, misalnya merokok, olah raga, penggunaan

alkohol.

2) Status ekonomi sosial dimana terdapat hubungan yang positif

antara status ekonomi dan kesehatan mental.

3) Jenis kelamin, dimana wanita lebih sering mencari pelayanan

kesehatan daripada laki-laki.

4) Lingkungan, gangguan mental bisa timbul misalnya dari masyarakat pinggiran kota yang berpindah ke kota (Kaplan dan Saddock, 1997).

e. Manifestasi Klinis

Penderita tegang terus-menerus dan tidak mau santai, pemikirannya penuh tentang kekhawatiran. Kadang-kadang bicaranya cepat, tetapi terputus-putus. Pada pemeriksaan fisik terdapat nadi yang sedikit lebih cepat. Gejala-gejala lain seperti depresi, amarah, perasaan tidak mampu, dan gangguan psikosomatik (Maramis, 2005).

commit to user

1) Sistem urogenital dengan sering ingin kencing, atau bahkan

sulit kencing.

2) Sistem kardiovaskuler (jantung dan sistem pembuluh darah) dengan gejala darah tinggi, keringat dingin, debaran jantung berdetak lebih kencang, sakit kepala, kaki, dan tangan terasa dingin.

3) Sistem gastrointestinal: diare, kembung, lambung terasa perih, perasaan sebah. Kemungkinan dapat terjadi obstipasi.

4) Sistem respiratorius ditandai dengan gejala susah bernapas dan

hidung tersumbat.

5) Gangguan pada sistem muskuloskeletal dalam bentuk kejang- kejang pada otot, gangguan pada sendi (mirip gejala rematik).

6) Gangguan psikologis dengan tanda-tanda akan pingsan, takut sekali akan menjadi gila, dan takut mati. Gejala psikologis lainnya berupa derealisasi (merasa apa yang di luar dirinya berubah menjadi lain), serta dengan gejala depersonalisasi (dirinya bukan dirinya).

7) Gangguan anxietas cenderung menimbulkan kebingungan, disertai distorsi persepsi, gangguan orientasi (ruang dan waktu). Distorsi yang semacam ini akan mengganggu

commit to user

asosiatif (Ibrahim, 2002).

f. Diagnosis

Diagnosis kecemasan dapat ditegakkan berdasarkan gejala- gejala yang muncul sesuai dengan kriteria Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III atau dengan menggunakan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA), The Taylor Minnesota Anxiety Scale (TMAS), dan instrumen lainnya.

B. Kerangka Pemikiran

Tidak Mampu Mampu

Kecemasan

Tinggi

Kecemasan Rendah

 Memahami perasaan  Mengenali emosi diri  Mengendalikan amarah

 Mengelola emosi  Mandiri

 Memotivasi diri sendiri  Menyesuaikan diri

(Salovey – Goleman, 2002) (Salovey & Mayer – Saphiro, 1997)

 Mempertahankan sikap positif masa sulit  Bertahan meghadapi stress  Mengendalikan impuls  Optimisme (Reuven Bar On – Stein, 2000)

Siswa Kelas XII SMA Negeri 1 Tanjung Brebes

Menghadapi Ujian Nasional

Kecerdasan Emosi Rendah

Kecerdasan Emosi Tinggi

commit to user

Ada hubungan negatif antara kecerdasan emosi dengan kecemasan dalam menghadapi Ujian Nasional 2012 pada siswa SMA.

commit to user

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan merupakan observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dengan variabel terikat (efek) yang diobservasi hanya sekali pada saat yang sama (Taufiqurohman, 2004). Dalam studi ini, variabel bebas dan terikat dinilai secara simultan pada suatu saat. Jadi, tidak ada follow up pada studi ini (Pratiknya, 2001).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Tanjung Brebes dengan alasan :

1. SMA Negeri 1 Tanjung Brebes belum pernah menjadi sampel dalam penelitian sejenis

2. Kemudahan akses dalam pengambilan data

C. Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XII SMA Negeri 1 Tanjung Brebes Tahun Pelajaran 2011/2012 dengan kriteria sebagai berikut :

commit to user

a. berjenis kelamin laki-laki atau perempuan

b. usia 17-20 tahun

c. masih mempunyai dua orang tua secara lengkap

d. tidak terjadi kecelakaan atau kematian anggota keluarga dalam

kurun waktu 3 bulan

e. jumlah saudara kandung tidak lebih dari 3 orang

f. tidak ada masalah ekonomi dalam keluarga

2. Kriteria eksklusi :

a. siswa memiliki skor L-MMPI ≥ 10

b. siswa dengan stressor psikososial yang tinggi/psikotik/depresi berat

c. siswa dengan cacat tubuh, penyakit fisik yang berat atau menahun

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Teknik ini termasuk dalam non-probability sampling dimana pemilihan subjek berdasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi (Taufiqurohman, 2004).

commit to user

dianalisis dengan analisis bivariat membutuhkan sampel minimal 30 sampel subjek penelitian (Murti, 2006).

E. Desain Penelitian

F. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : kecerdasan emosi

2. Variabel terikat : kecemasan

Siswa Kelas XII SMA Negeri 1 Tanjung Brebes

Purposive Sampling

Subjek Penelitian

Kecerdasan Emosi dengan Menggunakan Skala Inventori Kecerdasan Emosi dan Kecemasan dengan Menggunakan Skala T-MAS

Analisis Korelasi  Product Moment dari Pearson

Skor Skala L-MMPI < 10

commit to user

a. Terkendali : kelengkapan orang tua, penyakit menahun, kecacatan tubuh, jumlah saudara kandung, masalah ekonomi keluarga, dan kematian anggota keluarga.

b. Tidak terkendali : faktor genetik, gaya hidup, stressor

psikososial yang tinggi/psikotik/depresi berat.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas Kecerdasan emosi atau Emotional Quotient (EQ) adalah kemampuan

untuk mengenali perasaan baik diri sendiri maupun orang lain dan kemampuan mengendalikan perasaan dengan baik sehingga mampu untuk melakukan hubungan sosial yang sehat dengan orang lain dan mampu mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Nilai kecerdasan emosi diperoleh dari skor jawaban subjek pada skala EQ. Semakin tinggi jumlah skor yang diperoleh subjek maka semakin tinggi kecerdasan emosi, demikian pula sebaliknya. Skala kecerdasan emosi termasuk dalam skala interval.

2. Variabel Terikat Kecemasan adalah perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas

respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang tidak riil

commit to user

intrapsikis yang tidak diketahui. Nilai kecemasan diukur dengan menggunakan skala TMAS, sebagai cut off point yaitu:

a. cemas

: bila skor TMAS ≥ 21

b. tidak cemas : bila skor TMAS < 21 Skala kecemasan termasuk dalam skala interval.

H. Instrumentasi dan Bahan Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Mengingat pengukuran dalam penelitian ini adalah kuantitatif maka kuesioner yang digunakan merupakan skala psikologi sehingga setiap respon terhadap jawaban dapat diberi skor melalui proses penskalaan (scalling) (Saifuddin, 2003).

1. Kuesioner data pribadi dan identitas siswa

2. Skala L-MMPI Kuesioner Lie Scale Minnesota Multiphasic Personality

Inventory (L-MMPI) merupakan skala validitas yang berfungsi utuk mengidentifikasi hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran subjek penelitian. Tes ini bertujuan untuk menguji

ketidakjujuran responden. Responden harus menjawab “ya” bila

commit to user

Menurut Handi (2004), nilai batas skala adalah 10, sehingga jika responden memiliki skor ≥ 10, maka data yang diukur dari responden

tersebut dinyatakan invalid dan tidak diolah/diikutkan dalam penelitian.

3. Skala Inventori Kecerdasan Emosi/Emotional Quotient (EQ)

Peneliti menggunakan Skala Inventori EQ yang telah digunakan oleh Martina (2007) yang disusun berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi menurut Salovey dan Mayer (2007), yaitu meliputi kemampuan mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri-sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Skala ini telah divalidasi oleh Martina (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Pola Attachment dengan Kecerdasan Emosi pada Remaja dengan item valid sebanyak 40 item. Pada penelitian Martina (2007) didapatkan koefisien korelasi validitas r xy = 0,507 dengan p < 0,05 dan koefisien reliabilitas r xx = 0,878.