PROSPEK LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DALAM MENDUKUNG PEMBIAYAAN USAHA BERSKALA MIKRO UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

PROSPEK LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH DALAM MENDUKUNG PEMBIAYAAN USAHA BERSKALA MIKRO UNTUK PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA

  Oleh : Lasmiatun *) Syariah microfinance institution for micro enterprises, especially Baitul

  Maal wat Tamwil (BMT) have the good future prospect in Indonesia because its

  potential. This form of microfinance institution have two functiona, social function and bussiness function. Elaboration of this, must be supported by government so that its role be more strong at public society, and be able to help government for increasing the level of society welfare.

  Keyword : Baitul Maal wat Tamwil (BMT), prospek, potensi, kesejahteraan, Indonesia

  PENDAHULUAN

  Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara yang mengalami keberhasilan dalam peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita. Semenjak dimulainya pemerintahan dengan tatanan baru hingga dan pada tahun 1997 ketika ekonomi Indonesia mengalami krisis, telah terjadi peningkatan dalam hal pendapatan per kapita hingga kurang lebih empat kali. Peningkatan yang dibandingkan dengan rata-rata penduduk Indonesia juga telah diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan (Hasanah & Yusuf, 2013).

Tabel 1.1. Peranan Wilayah/Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional dalam % (Badan Pusat Statistik, 2012) 2012 Wilayah/Pulau 2010 2011 Triwulan Triwulan

II III

  Sumatera 23,11 23,53 23,57 23,83 Jawa 58,07 57,63 57,62 57,52 Bali dan Nusa Tenggara 2,72 2,55 2,49 2,51 Kalimantan 9,16 9,55 9,49 9,26 Sulawesi 4,52 4,61 4,61 4,75 Maluku dan Papua 2,42 2,13 2,13 2,13 Total 100 100 100 100

  • Dosen di STIE Dharma Putra Semarang

  Secara keseluruhan, ekonomi Indonesia pada triwulan III 2012 tumbuh sebesar 6,17%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan nilai PDB nasional pada triwulan III 2012 dan peran wilayah/daerah, menunjukkan bahwa struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada triwulan tersebut masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa, yang memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 57,52 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 23,83 persen, Pulau Kalimantan 9,26 persen, Pulau Sulawesi 4,75 persen, dan sisanya 4,64 persen di pulau-pulau lainnya.

  Pemerataan pembangunan negara Indonesia masih merupakan hal yang dipertanyakan di seluruh bagian negara ini meskipun data angka kemiskinan nasional telah mengalami penurunan pada tahun yang sama. Asisten Deputi Dukungan Kebijakan Dalam Negeri Kedeputian Bidang Dukungan Kebijakan Kementerian Sekretariat Negara (2013) melaporkan bahwa jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia (1996-2012), secara bertahap terus menurun menjadi 35,10 juta atau 15,97% (2005), 32,53 juta atau 14,15% (2009), dan pada bulan September 2012 menjadi 28,59 juta jiwa atau 11,66% dari populasi penduduk. Angka kemiskinan yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut menggunakan nilai Garis Kemiskinan (GK), dimana penduduk miskin didefinisikan sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan, yaitu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori/kapita/hari dan non makanan, yaitu perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

  60

  55 49,50 47,97

  50

  45 39,30 38,70

  38,40 37,90

a) 37,30 37,17

  40 36,10

35,10

w

  34,96 32,53 ji

  35 31,02 29,89 ta

  28,59 ju

  30 ( h

  25 la m

20 Ju

  15

  10

  5 Gambar 1.1.Perkembangan jumlah penduduk miskin di Indonesia

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tahun

  (Deputi Dukungan Kebijakan Dalam Negeri, 2013)

Gambar 1.1. Perkembangan angka kemiskinan di Indonesia (BPS, 2013)

  Ada beberapa argumen yang mengindikasikan bahwa pengurangan tingkat kemiskinan pada periode setelah krisis keuangan lebih rendah jika dibandingkan dengan krisis keuangan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan pengurangan tingkat kemiskinan selama 11 tahun terakhir (2000-2011) dengan tingkat pengurangan kemiskinan pada tahun 1984-1996, menunjukkan bahwa metode pengurangan kemiskinan yang digunakan memberikan pengaruh signifikan seperti yang diinginkan oleh pemerintah baik terhadap jumlah populasi orang miskin selama periode 2000-2011 yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode 1984-1996, terutama untuk penduduk yang berada di daerah perkotaan (Hasanah & Yusuf, 2013).

  Berdasarkan fakta-fakta di atas, artikel kajian pustaka ini akan membahas secara teori tentang potensi dan prospek Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bukan bank sebagai penyedia modal keuangan untuk usaha masyarakat berskala mikro. Usaha berskala mikro ini, menurut Alamsyah (2012) menempati persentase tertinggi dari keseluruhan jumlah usaha berskala lain yang terdapat di Indonesia, yaitu sebesar 98,9%. Hal ini menunjukkan bahwa usaha mikro memegang peranan yang penting dalam perekonomian Indonesia, untuk menurunkan tingkat pengangguran dan meningkatkan pemerataan perekonomian daerah. Batasan bahasan hanya pada LKM bukan bank yang berkonsep syariah karena potensi penerapan konsep syariah yang besar di Indonesia.

  BAHASAN Program Penanggulangan Kemiskinan oleh Organisasi Dunia

  Penanggulangan kemiskinan dalam lingkup internasional, merupakan salah satu dari 8 (delapan) tujuan pembangunan millenium (Millenium

  Development Goals atau disingkat MDG’s). MDG’s adalah upaya untuk

  memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara 189 negara anggota PBB untuk melaksanakan 8 (delapan) tujuan pembangunan, salah satunya adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia memiliki dan ikut melaksanakan komitmen tersebut dalam upaya untuk mensejahterakan masyarakat. Moon (2008) selaku Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan bahwa MDGs merangkum aspirasi pembangunan dunia secara menyeluruh, bukan sebagai tujuan pembangunan semata, namun juga mencakup nilai dan hak universal manusia seperti bebas dari kelaparan, hak untuk mendapatkan pendidikan dasar, hak akan kesehatan dan sebuah tanggung jawab kepada generasi mendatang. Kemajuan yang penting telah dicapai menuju ke delapan tujuan tersebut, namun masih belum berada di jalur yang tepat untuk menyelesaikan komitmen tersebut.

  Selain dalam lingkup program internasional yang dimiliki oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dikerucutkan dalam MDG’s, Colombo

  Plan yang biasa disingkat dengan CP sebagai organisasi inter-pemerintahan

  regional juga mencanangkan program pembangunan ekonomi dan sosial dalam masa yang akan datang pada negara-negara anggotanya. Salah satu program yang dimiliki oleh CP adalah adalah program untuk pembangunan sektor privat. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia menuliskan bahwa CP yang didirikan pada tahun 1951, hingga tahun 2009 telah berkembang menjadi

  1

  organisasi internasional dengan 25 negara anggota di kawasan Asia-Pasifik yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang. Fokus kegiatan CP adalah pembangunan sumberdaya manusia di kawasan Asia Pasifik. Tujuan utama CP adalah mendukung pembangunan ekonomi dan sosial negara anggota, memajukan kerjasama teknik serta membantu alih teknologi antar negara anggota, memfasilitasi transfer dan berbagi pengalaman pembangunan antar negara anggota sekawasan dengan penekanan pada konsep kerjasama Selatan-Selatan.

  Pengentasan kemiskinan juga menjadi salah satu hal yang disorot oleh organisasi tingkat regional Asia Tenggara seperti Association of South-East Asian

  Nations (ASEAN) selain dalam lingkup internasional dan inter-regional di atas,

  dimana Indonesia juga ikut menjadi anggota lembaga tersebut. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang mengalami krisis multidimensi dalam tiga tahun terakhir. Banyak ahli ekonomi dan ekonomi politik mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk bersaing dalam perdagangan bebas. ASEAN sendiri memiliki sebuah visi pada tahun 2020 yang dipersiapkan dalam sebuah pertemuan informal kepala-kepala negara anggota ASEAN di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 15 Desember 1997, yang kemudian diikuti oleh pertemuan di Hanoi, Vietnam sehingga akhirnya menghasilkan rencana Hanoi

  Plan of Action (HPA). Beberapa agenda yang harus diimplementasikan menjadi

  kenyataan dalam visi tahun 2020 tersebut adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia, ekonomi, lingkungan, sosial, teknologi, hak intelektual, keamanan, perdamaian, dan pariwisata melalui tahapan aksi yang dilakukan bersama-sama dalam bentuk hubungan yang baik dan koperatif, serta menguntungkan (pemecahan masalah yang saling menguntungkan). Berdasarkan visi tersebut, pemerintah Indonesia harus menyadari bahwa arah pembangunan ekonomi nasional harus difokuskan pada masayarakat ekonomi tingkat bawah sehingga menghasilkan dasar yang kuat untuk menghadapi tantangan pada 20-30 tahun ke depan melalui kebijakan ekonomi pro-rakyat, pembangunan kualitas pendidikan 1 dan kesehatan (Possumah & Baharuddin, 2012).

  Afganistan, Australia, Bangladesh, Bhutan, Fiji, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Myanmar, Nepal, Selandia Baru, Pakistan, Papua New Guinea, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Amerika Serikat dan Vietnam

  Metode Penanggulangan Kemiskinan melalui LKM bukan Bank Syariah

  Pengentasan kemiskinan merupakan hal penting untuk diwujudkan bersama dalam ketiga organisasi antarnegara di atas. Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan menguatkan peran Lembaga Keuangan Mikro dalam penyediaan modal untuk berwirausaha. UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menjelaskan bahwa sektor keuangan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang memiliki peranan penting dalam mendorong peningkatan perekonomian nasional dan ekonomi masyarakat. Perkembangan dan kemajuan pada sektor keuangan, baik bank maupun lembaga keuangan bukan bank perlu dipertahankan.

  Obaidullah (2008) menyebutkan bahwa ketidakmudahan akses masyarakat miskin dalam sistem keuangan merupakan faktor utama yang berperan dalam ketidakmampuan masyarakat dalam proses pembangunan. Pembangunan sistem keuangan yang berpihak pada masyarakat miskin merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dan perencana kebijakan demi menghadapi globalisasi. Perhatian ini direfleksikan dalam MDGs dan inisiatif pihak Internasional yang mengikuti konsensus tersebut. Ada konsensus global yang mengacu pada pandangan bahwa keuangan mikro dapat membantu mengentaskan kemiskinan melalui keuangan yang tidak hanya mementingkan masyarakat yang bermodal besar. Pelabelan tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro oleh PBB dan penghargaan Nobel Perdamaian yang diterima pada tahun 2006 oleh Dr. Mohammad Yunus (bapak keuangan mikro) merupakan indikator pentingnya pertumbuhan ekonomi melalui keuangan mikro sebagai alat pengentasan kemiskinan (Obaidullah, 2008).

  Peran lembaga keuangan mikro di Indonesia yang memberikan layanan jasa keuangan mikro kepada nasabah masyarakat miskin produktif termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sudah banyak yang dituangkan dalam artikel jurnal dan buku. UMKM merupakan salah satu unit usaha yang sangat vital bagi perekonomian di Indonesia pasca krisis yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Badan UMKM juga berkontribusi di berbagai unit usaha, tenaga kerja hingga output usaha yang dihasilkan oleh UMKM. Usaha berskala mikro khususnya, merupakan usaha yang memiliki porsi tertinggi dibandingkan dengan jenis usaha masyarakat skala yang lain dan tingkatan masyarakat, yaitu sebesar 98, 9% dari total jumlah keseluruhan (Alamsyah, 2012).

  Hendrayana & Bustaman (2007) menuliskan bahwa LKM memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktivitas perekonomian bagi masyarakat yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional. LKM di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan karakteristik masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian. Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal (Obaidullah, 2008). Hendrayana & Bustaman (2007) dan Hasanah & Yusuf (2013) juga melaporkan bahwa LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.

  Visconti (2012) dan Obaidullah (2008) menuliskan bahwa salah satu kelemahan sistem keuangan konvensional adalah adanya pengambilan tambahan dana dari dana pokok yang dipinjamkan kepada pihak pengelola UMKM berupa sistem bunga. Sistem bunga telah menjadi hal yang umum dalam kegiatan ekonomi di negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia. Sistem bunga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga keuangan baik berbentuk bank maupun bukan bank ternyata menuai kontroversi dari para ahli ekonomi. Prawiranegara (2011) dan Visconti (2012) menuliskan bahwa bunga yang telah diberlakukan selama ini di Indonesia merupakan bentuk riba dalam Islam. Riba merupakan segala bentuk penambahan untuk mencapai keuntungan sepihak yang terdapat dalam transaksi pihak-pihak tertentu. Perkembangan bunga bank yang diidentikkan dengan riba dalam Islam tersebut kemudian berpengaruh buruk terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses dan mengembalikan pembiayaan yang telah dipinjam dari sebuah lembaga keuangan yang menerapkan sistem pengembalian berbunga tersebut. Hal ini mendorong dibentuknya sistem pembiayaan dari lembaga keuangan yang baru untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sebagai usaha untuk mendorong perekonomian Indonesia.

  LKM bukan bank di Indonesia yang melakukan kegiatan usaha bidang keuangan yang banyak membantu masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah telah banyak berkembang. Salah satu contoh LKM bukan bank tersebut adalah bentuk Baitul Maal wat Tamwil (BMT) (Hasanah & Yusuf, 2013). Mohieldin et

  al. (2011) mendefinisikan bahwa BMT merupakan lembaga keuangan bukan bank

  yang unik di Indonesia, yang memiliki fungsi ganda yaitu fungsi sosial dan fungsi bisnis. Suharto (2009) menuliskan bahwa pada pertengahan Februari 2009, Center

  for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED) sebagai

  sebuah lembaga studi yang berpusat di Jakarta, melaporkan bahwa BMT secara nyata telah mampu mendorong masyarakat untuk memiliki budaya menabung, terbukti dari tingkat mobilisasi tabungan dari anggota yang signifikan. Hal tersebut terlihat pula dalam pertumbuhan simpanan dan rasio simpanan terhadap aset pada BMT.

  BMT yang merupakan LKM berkonsep syariah utama di Indonesia juga telah mampu menjawab kebutuhan masyarakat dalam hal akses terhadap dana dari lembaga keuangan (Hasanah & Yusuf, 2013). Hal tersebut terlihat bahwa jumlah portofolio pembiayaan lebih rendah sehingga lebih banyak masyarakat yang mendapatkan pembiayaan, kinerja per kantor menunjukan bahwa BMT mampu melayani masyarakat lebih baik daripada perbankan namun masih relatif sama dengan Credit Union (CU) lembaga pembiayaan jaringan lembaga keuangan bukan bank. Selain itu, sumber dana BMT relatif lebih mandiri karena merupakan dana yang dihimpun dari masyarakat anggota. Riset tersebut juga mengungkapkan bahwa selama tahun 2008, jumlah rata-rata portofolio BMT untuk setiap pembiayaan sangat kecil yaitu Rp 2.714.000,- dan dapat melayani sejumlah 343.289 orang anggota sehingga dapat memberi akses keuangan kepada kelompok yang aktif berusaha atau Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Riset tersebut seolah telah menjadi bukti baru bahwa BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro Syariah telah menepis banyak mitos, sekaligus telah berhasil membangun kategori baru yang sekarang menjadi pokok-pokok bahasan sentral di dalam Industri atau Bisnis Keuangan Mikro yang berlaku secara internasional.

  Potensi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia Industri keuangan syariah global semakin menunjukan performanya.

  Sebagai negara dengan jumlah populasi muslim terbesar di dunia, yaitu sejumlah sekitar 210 juta dari populasi umat Islam terbesar di dunia (1,254 M) pada tahun 2004 (Venardos, 2005), LKM Syariah memiliki potensi yang tinggi di dunia untuk memainkan peranan yang besar dalam aspirasi negara untuk pengurangan kemiskinan. Akan tetapi, faktor utama yang menentukan pembentukan LKM Syariah, khususnya di Indonesia belum secara ekstensif dipelajari.

  BMT merupakan salah satu bentuk LKM Syariah yang utama di Indonesia, yang mendasarkan kegiatan operasionalnya pada konsep saling menguntungkan, kesepakatan, keadilan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

  BMT merupakan lembaga keuangan yang sampai saat ini masih belum memiliki payung hukum yang jelas meskipun mengalami perkembangan yang pesat dari segi jumlah BMT yang berdiri. Kesejahteraan merupakan konsep yang sama-sama dibawa oleh LKM bukan bank yang berbentuk formal (contohnya KSP/USP) maupun informal (contohnya BMT)(Hasanah & Yusuf, 2013).

  Mihajat (2012) melaporkan bahwa studi yang dilakukan oleh Mehmet Asutay (Durham University), total aset keuangan syariah Indonesia menduduki peringkat 13 tertinggi di dunia pada tahun 2010, naik dari peringkat 17 pada tahun 2009. Indonesia dinilai sangat atraktif dalam perkembangan keuangan syariah. Operasional industri keuangan syariah Indonesia memang masih kalah efisien dibandingkan dengan negara lain, namun industri keuangan syariah di Indonesia sangat menguntungkan sehingga akselerasi asetnya dapat meningkat dengan pesat. Diferensiasi produk syariah Indonesia juga masih kurang karena faktor bisnis model perbankan syariah yang belum mengarah ke maqashid

  syariah . Negara lain lebih didorong oleh pasar keuangan, namun di Indonesia lebih dekat dengan sektor riil sehingga basisnya lebih kuat.

  Mihajat (2012) juga melaporkan bahwa dengan berbagai potensi yang dimilikinya, Indonesia selayaknya menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan syariah di dunia. Global Islamic Financial Report (GIFR) pada tahun 2011 melaporkan bahwa indeks potensi/iklim pengembangan keuangan syariah dalam urutan ke-4 di dunia setelah Iran, Malaysia, dan Saudi Arabia. Iran, Malaysia, Saudi Arabia dan Indonesia masing-masing memiliki Indeks Keuangan Syariah Negara (Islamic Finance Country Index/IFCI) sebesar 63, 40, 35 dan 29. Indonesia diproyeksikan akan menduduki peringkat ke-1 dalam tahun 2012/2013. Pengembangan keuangan syariah di Iran dan Malaysia sangat didominasi oleh peranan pemerintah. Sementara di Saudi Arabia, lebih didorong oleh wind fall

  profit dari minyak. Pengembangan keuangan syariah di Indonesia lebih “market driven” dan “bottom up” dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di sektor riil.

  Akselerasi yang tinggi keuangan syariah di Indonesia dan peningkatan peranan seluruh stakeholder (termasuk pemerintah) dapat mendorong lompatan ranking Indonesia ke posisi ke-1.

  Diantara fakta-fakta tersebut, Mohieldin et al. (2011) menuliskan bahwa konsep pembangunan dalam Islam memiliki tiga dimensi, yaitu pembangunan diri secara individu, pembangunan fisik, pembangunan fisik bumi, dan pembangunan manusia secara kolektif, yang termasuk keduanya. Pembangunan pertama mengkhususkan proses dinamis pertumbuhan dari manusia menuju kesempurnaan. Pembangunan yang kedua mengacu pada penggunaan sumberdaya alam untuk membangun bumi dalam menyediakan kebutuhan material individu dan seluruh masyarakat. Dimensi pembangunan yang ketiga adalah pembangunan yang mengacu pada kemajuan masyarakat secara keseluruhan menuju integrasi penuh dan persatuan. Kebahagiaan dan pemenuhan kebutuhan dalam kehidupan seseorang tidak ditentukan oleh peningkatan pendapatan, namun dengan pembangunan yang menyeluruh dalam diri seseorang tersebut sepanjang ketiga dimensi pembangunan tersebut. Dalam waktu yang sama, kemajuan ekonomi dan kemakmuran didukung dalam Islam karena hal ini memberikan makna dimana manusia dapat merasa puas terhadap kebutuhan material mereka sehingga menghilangkan penghalang-penghalang ekonomi pada pola kemajuan spiritual masyarakat. Transaksi ekonomi berdasarkan pada kebebasan untuk memilih dan kebebasan untuk melakukan perjanjian, yang membutuhkan hak-hak kepemilikan atas barang milik yang dapat ditukarkan. Kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat untuk menghilangkan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan salah satu tujuan dari implementasi keberadaan LKM bukan bank yang tengah berkembang dalam masyarakat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya BMT (Obaidullah, 2008).

  Kritik atas Metode Pengukuran Kemiskinan saat ini

  Kemiskinan merupakan masalah bangsa yang utama. Menurut Human

  Development Report 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia yang hidup dalam

  kondisi multidimensional poverty mencapai angka 48,35juta jiwa. Menurut BPS hingga bulan September 2011, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai angka 29,89 juta jiwa. Perbedaan angka kemiskinan tersebut disebabkan karena adanya perbedaan paramater kemiskinan yang digunakan.

  Sejauh ini, tingkat kemiskinan di Indonesia ditentukan oleh BPS dengan menggunakan perhitungan Garis Kemiskinan (GK). Besar GK pada bulan September 2011 adalah sebesar Rp.243.729,00/kapita/bulan atau Rp. 8.124,30/kapita/hari (GK makanan menyumbang 73,5% dan GK bukan makanan 26,5%). Hal ini mengakibatkan adanya kritik terhadap GK yang ditentukan oleh BPS tersebut. Kritik tersebut antara lain bahwa perhitungan sebesar itu tidak rasional karena angkanya terlalu rendah yaitu USD 0,86/hari sehingga perlu dilakukan evaluasi dan tinjauan kembali.

  Konsep syariah memiliki definisi yang berbeda terhadap kemiskinan. Kemiskinan dikelompokkan lagi menjadi kemiskinan spiritual yang bisa jadi berlawanan dengan kemiskinan material. Kemiskinan absolut bisa jadi berlawanan dengan kemiskinan relatif. Pendekatan kemiskinan menurut konsep syariah dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penggunaan konsep had al dan nishab zakat penghasilan. Konsep pertama dapat digunakan sebagai

  kifayah

  dasar perhitungan batas kebutuhan minimal sedangkan konsep kedua digunakan sebagai dasar perhitungan garis kemiskinan.

  Pendekatan had al kifayah merupakan pendekatan yang seharusnya ditetapkan oleh negara. Pendekatan ini telah ditetapkan oleh lembaga zakat di Malaysia (contoh Lembaga Zakat Selangor). Pendekatan ini diukur dengan memperhatikan maqashid as-syariah sebagai dasar kalkulasi. Perbedaan dengan GK yang ditetapkan oleh BPS, maka GK hanya berfokus pada pendapatan minimal sedangkan had al kifayah berfokus pada kebutuhan minimal berdasarkan

  maqashid syariah . Maqashid syariah menurut Imam Syatibi adalah proteksi terhadap agama, akal, keturunan, harta dan jiwa.

  Perhitungan dengan menggunakan pendekatan had al kifayah adalah pada satuan rumah tangga. Satuan dasar adalah GK per rumah tangga dimana GK yang berada di bawah had al kifayah dianggap rumah tangga miskin dan layak untuk diberikan bantuan. Satu rumah tangga dibagi menjadi 5 (lima) kelompok yaitu kepala rumah tangga, orang dewasa yang bekerja, orang dewasa yang menganggur (lebih dari 18 tahun), kelompok anak usia 7-17 tahun dan kelompok anak usia 1-6 tahun. Setiap kelompok tersebut memiliki standar kebutuhan hidup bulanan yang berbeda-beda karena kebutuhan yang berbeda pula. Hal ini berdasarkan prinsip keadilan yang terdapat dalam nilai-nilai syariah itu sendiri. Misal di Malaysia, kepala rumah tangga, orang dewasa bekerja, anak7-17 tahun dan anak 1-6 tahun masing-masing memiliki standar kebutuhan tiap bulan sebesar RM680, RM 420, RM 180 dan RM 130. Total kebutuhan per rumah tangga per bulan adalah RM 1.650. Jika memiliki anak cacat atau penyakit kronis, ada tambahan RM 590/bulan sehingga total dapat menjadi RM 2.240/bulan atau RM 74,67/hari.

  2 Dalam pendekatan nishab, nishab merupakan pembeda antara Muzakki

  3

  dan Mustahiq . Fakir miskin termasuk 2 (dua) kelompok Mustahiq yang mendapatkan prioritas utama. Standar nishab zakat penghasilan profesi ada 2 (dua) pilihan, yaitu zakat emas perak senilai 85 gram emas/tahun, dan zakat pertanian senilai 524 kg beras/bulan. GK yang dihitung dengan standar nishab emas, jika diasumsikan harga emas adalah Rp. 500.000,00/gram dan rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 3,9 orang/rumah tangga, maka GK rumah tangga adalah Rp. 3,54 juta/bulan/rumah tangga dan GK individu adalah Rp. 907.692,3 /bulan/kapita atau 30.256,41/hari/kapita (USD 3,19/hari). Angka USD 3,19/hari tersebut merupakan standar angka di atas GK World Bank.

  Bank Dunia mengelompokkan GK yang sering dijadikan rujukan internasional adalah sebesar USD 2 per kapita per hari. Saat ini garis kemiskinan yang bisa dipakai secara luas tanpa memperhatikan perbedaan wilayah adalah Rp 18.000,00 per kapita per hari. Akan tetapi, jika GK dihitung berdasarkan standar nishab beras, dengan asumsi harga beras standar Rp. 6.000,00/kg dan rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 3,9 orang/rumah tangga, maka GK rumah tangga sebesar Rp. 3,14 juta/bulan dan GK individu adalah sebesar Rp. 805.128,21/bulan/kapita atau Rp. 26.837,61/hari/kapita (USD 2,83/hari). Angka USD 2,83 merupakan angka yang berada di atas GK World Bank.

  GK nishab zakat penghasilan lebih rasional dan lebih mudah dari sisi perhitungan. Kendala utama adalah dari sisi politik. GK nishab akan menaikkan jumlah orang miskin. GK nishab emas lebih besar dari GK nishab pertanian. Dalam hal penetapan GK had al kifayah, pemerintah Indonesia harus menentukan standar kebutuhan hidup. Hingga saat ini, belum ada standar kebutuhan hidup 2 hingga kini. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi saat ini sedang 3 Pihak yang berkewajiban untuk mengeluarkan zakat Pihak yang berhak menerima zakat (ada 8 golongan) membuat Indeks Kebutuhan Hidup Layak (KHL) meskipun penetapan indeks ini rentan dengan perdebatan, terutama antara pengusaha dan buruh.

  Wacana tentang Pengukuran Kesejahteraan Masyarakat

  Parameter keberhasilan perkembangan suatu lembaga keuangan terhadap kehidupan masyarakat adalah kesejahteraan masyarakat baik dalam lingkup anggota maupun masyarakat dalam lingkup yang lebih luas. Chief Executive

  Officer (CEO) PT. Permodalan BMT Ventura Saat Suharto memaparkan saat

  Studium General di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2011 bahwa maqosid syariah (tujuan diturunkan syariah) adalah untuk kesejahteraan masyarakat, dimana tingkat kesejahteraan masyarakat tidak dapat diukur secara menyeluruh jika hanya berdasarkan pada tingkat konsumsi masyarakat.

  Beliau kembali menegaskan bahwa maqashid syar’i dari sisi fikih adalah sebagai alat untuk menjaga lima parameter kesejahteraan, yaitu Al-Aql (akal pikiran), Addien (agama), Nasl (keturunan), Nafs (kemanusiaan) dan Maal (harta benda). Kelima parameter ini kemudian diartikan tidak dalam kerangka penjagaan, namun sebagai titik fokus pertumbuhan paramater-parameter tersebut. Gagasan beliau adalah indeks kemanfaatan lembaga keuangan dalam masyarakat dengan pengukuran pada Aql, Dien, Nasl, Nafs dan Maal. Kelima aspek ini kemudian ditulis dalam Buku Anggota Tahunan BMT Ventura tahun 2009 sebagai aspek pendidikan, aspek spiritualitas, aspek kesehatan, aspek sosial dan aspek finansial.

  Kelima aspek tersebut diukur pada tingkat keluarga karena menurut beliau, keluarga merupakan satuan fungsional terkecil organisasi atau perkumpulan yang terdapat dalam suatu negara, bukan individu, desa atau kelurahan, kecamatan, kabupaten atau bahkan provinsi. Beliau menganggap dengan adanya kelima aspek/parameter yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan ini, maka kritik tentang bias materialisme dalam pengukuran pertumbuhan telah dapat dipatahkan, karena perhitungan yang digunakan dianggap komprehensif. Hal ini disebabkan karena telah malampaui batas materi (karena meliputi spiritualitas pula) dan individu (dan meliputi aspek sosial juga).

  Beliau menegaskan lagi bahwa parameter keberhasilan lembaga keuangan dengan mengukur kesejahteraan berbasis maqashid syar’i pada keluarga-keluarga yang tergabung dalam LKM Syariah, khususnya BMT akan lebih komprehensif dan mencerminkan sifat Islam sebagai rahmat bagi alam, serta parameter pembangunan akan menjadi lebih profetis dan sesuai dengan sifat dasar dari manusia.

  Model tersebut digambarkan dalam diagram dan terdapat bangun segi lima yang berpusat pada suatu titik. Pengukuran dilakukan dari model tersebut. Setiap radian mewakili satu parameter yang diukur, dimana pada satu radian dibuat skala pengukuran dari 5 sampai 25, dimana pada waktunya nanti dibuat ukuran-ukuran yang digunakan untuk mengukur tiap skala pada parameter tersebut. Berbeda dengan model keluarga utama yang kelima parameternya menunjukkan skala 25 semuanya, maka menunjukkan bangun segilima sempurna dengan ukuran terbesarnya. Akan tetapi, jika kelima parameter suatu keluarga tersebut setelah diukur ternyata berada dalam prasejahtera 2 yang ditunjukkan dalam skala 5 maka keluarga tersebut dapat digambarkan dalam suatu bangun segilima sempurna, akan tetapi bentuknya kecil.

  Beberapa keluarga jika diukur, maka beberapa parameter mungkin berada pada skala 5, akan tetapi beberapa parameter yang lain dalam skala 10, 15, 20 atau bahkan 25 sehingga tidak menunjukkan bangu segilima sempurna. Jika kita ingin mengukur dalam suatu masyarakat, maka dapat dijumlahkan dan kemudian dibagi kedalam jumlah keluarga untuk dapat diketemukan reratanya.

  Dengan metode pengukuran yang demikian ini, maka akan memudahkan kita untuk melihat seperti apakah model rumah tangga atau keluarga dalam masyarakat tersebut.dan dapat dilihat dari kelima aspek tersebut, manakah, atau manakah saja yang memiliki indeks kesejahteraan yang paling rendah, dengan demikian akan memudahkan kita dalam melakukan treatmen pada masyarakat tersebut aspek mana yang perlu diperbaiki. Apakah spiritualitasnya, ekonominya, kohesifitas sosialnya, atau kesehatannya dan sebagainya. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan selama ini. Berkenaan dengan cara mengukur kesejahteraan tersebut, sebelumnya kita lihat gambar tentang contoh pengukuran dan proyeksi diatas. Meskipun dalam hal ukuran-ukurannya masih perlu dieksplorasi lebih lanjut, dibuat ukuran dengan skala lima mulai dari 0, 5, 10, 15, 20 dan 25.

  PENUTUP

  LKM untuk pembiayaan usaha berskala mikro, khususnya yang berbentuk Baitul Maal wat Tamwil (BMT) memiliki prospek yang baik untuk terus dikembangkan di Indonesia mengingat potensi-potensi yang dimiliki oleh negeri ini. LKM tersebut dapat memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu sebagai fungsi sosial dan fungsi bisnis. Pengembangan LKM bukan bank bentuk ini harus didukung oleh pemerintah sehingga peranannya menjadi semakin kuat di masyarakat, dan dapat membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

DAFTAR PUSTAKA

  Alamsyah H. 2012. Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2011. Jakarta Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2012. Berita Resmi Statistik BPS No. 73/11/Th.XV : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan III-2012 . Jakarta : BPS.

  Beik IS. 2012. Definisi Kemiskinan dan Penetapan Had Al Kifayah .

  http://www.imz.or.id/new/uploads/2012/08/IMZ-ISB-Workshop-Tafsir- Ashnaf.pdf . 22 April 2013.

  Hasanah A & Yusuf AA. 2013. Determinants of the Establishment of Islamic

  

Micro Finance Institutions : The Case of Baitul Maal wat Tamwil (BMT)

in Indonesia. Working Paper in Economics and Development Studies No.

201308. Bandung : Departement of Economics Padjadjaran University.

  Hendrayana R & Bustaman S. 2007. Fenomena Lembaga Keuangan Mikro dalam

  Perspektif Pembangunan Pedesaan . Bogor : Balai Beasr Pengkajian dan Pembangunan Teknologi Pertanian.

  Mihajat IS. 2012. Indonesia sebagai Kiblat Industri Keuangan Syariah : Prospek

  dan Tantangan : Seminar Nasional. Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia.

  Mohieldin M, Iqbal Z, Rostom A & Fu X. 2011. The Role of Islamic Finance in

  Enhancing Financial Inclusion in Organization of Islamic Cooperation (OIC) Countries . Policy Research Working Paper 5920. The World Bank

  Islamic Economics and Finance Working Group. Moon BK. 2008. The Millenium Development Goals Report 2008.

  http://www.targetmdgs.org/download/MDG_Report_2008_En.pdf.

  20 April 2013. Possumah BT & Baharuddin G. 2012. Governing Baitul Maal towards 2020;

  Issues and Challenges : Indonesia Experiences. International Journal of Bussines and Management Tomorrow 2(10). ISSN : 2249-9962. Prawiranegara S. 2011. Hakikat Ekonomi Islam : Apakah Bunga Bank Riba?.

  Semarang : Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Report Training on Operational Management of Microfinance Focusing on Non-

  Interest Based (Sharia) Microfinance for the Colombo Plan Member Countries. 2010. Joint Training Programme on Microfinance of the Colombo Plan and NAM CSSTC . Bandung.

  http://www.csstc.org/report/egm/TR-MF-CP/Report_TR_CP.pdf.

  16 April 2013. Sakai M & Marijan K. 2008. Policy Briefs 9 : Memberdayakan Pembiayaan

  Mikro Islami. Crawford School of Economics and Goverment : Australian National University.

  Sakti A. 2007. Analisis Teoritis Ekonomi Islam : Jawaban Atas Kekacauan Ekonomi Modern . Aqsa Publishing. Jakarta. Shehabuddin, R. 1992. Empowering Rural Women : The Impact of Grameen Bank in Bangladesh . Chittagong : Packages Corporation Limited. Suharto S. 2009. Permodalan BMT : Annual Report 2008. Jakarta : PT Permodalan BMT Ventura. Venardos AM. 2005. Islamic Banking & Finance in South-East Asia : Its

  Development & Future. Yoh Tuck Link Singapore : World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.

  Visconti RM. 2012. A Survey on Microfinance fro Developing Countries: A

  Social Responsible Investment Opportunity. Milano Italia : Università Cattolica del Sacro Cuore.