2. Personal Profesional Leader ( Chandra and Friends)

  

Peran Penting dari Kepemimpinan Personal dan Profesional

(The importance of personal and proffesional leadership)”

Angelo Mastrangelo et al.

  Abstrak. Kelangsungan hidup organisasi sebagian bergantung pada kepemimpinan yang

  efektif. Pemimpin yang efektif menjalankan perilaku kepemimpinan profesional (misalnya, menyusun misi dan visi organisasi, menciptakan sebuah proses untuk mencapai tujuan organisasi, menyelaraskan proses dan prosedur) dan sekaligus menjalankan perilaku kepemimpinan personal (misalnya, membangun kepercayaan, kepedulian terhadap bawahan, dan berperilaku menurut kaidah moral yang berlaku). Model pengaruh kepemimpinan profesional dan personal terhadap kemauan kerjasama (willing cooperation) dikembangkan dan diuji di sini. Para responden memberikan persepsi tentang kepemimpinan organisasi mereka dan melaporkan sejauh mana mereka mau bekerjasama dengan pemimpin organisasi mereka. Persepsi terhadap kepemimpinan “organisasi” dibanding dengan pemimpin individual diukur di sini. Kepemimpinan personal juga dikaji sebagai mediator pengaruh kepemimpinan personal terhadap kemauan kerjasama. Hasil riset ini mendukung model mediator. Secara khusus, kepemimpinan profesional berhubungan dengan keberadaan kemauan kerjasama (  = 0.44) dan kepemimpinan personal berhubungan dengan keberadaan kemauan kerjasama (  = 0.71). Terakhir, dengan mengikuti strategi yang dikembangkan oleh Baron dan Kenny, kepemimpinan personal diketahui menjadi mediator/penengah hubungan antara kepemimpinan profesional dan keberadaan kemauan kerjasama. Keterbatasan studi ini dan implikasi praktisnya dibahas di sini.

  Pendahuluan

  Kelangsungan hidup organisasi sebagian bergantung pada kepemimpinan yang efektif. Pemimpin yang efektif menjalankan perilaku kepemimpinan profesional (misalnya, menyusun misi, menciptakan sebuah proses untuk mencapai tujuan organisasi, menyesuaikan proses dan prosedur) dan sekaligus menjalankan perilaku kepemimpinan personal (misalnya, membangun kepercayaan, kepedulian terhadap orang lain, dan berperilaku menurut kaidah moral yang berlaku). Menariknya, sebagian besar pengetahuan kita tentang kepemimpinan berasal dari penelitian perihal bagaimana karyawan berhubungan dengan atasan langsung mereka. Akan tetapi, meneliti persepsi individu atas “kepemimpinan” di tingkat organisasi menjadi proposisi yang menarik. Sekilas, perilaku kepemimpinan

  

profesional, seperti menyelaraskan proses dan prosedur, mungkin lebih mudah dikonseptualisasikan

  pada level organisasi jika dibanding dengan perilaku kepemimpinan personal, seperti berperilaku menurut kaidah moral yang berlaku. Akan tetapi, banyak peristiwa saat ini seperti Enron dan WorldCom menunjukkan dampak penting dari kepemimpinan personal. Dalam hal ini, perilaku kepemimpinan personal yang negatif berlangsung di seluruh bagian organisasi dan punya konsekuensi yang signifikan. Dasar pemikiran riset kali ini adalah bahwa terdapat persepsi kepemimpinan profesional dan personal di level organisasi dan dampaknya bagi pengikut atau bawahannya dapat dikaji. Selain itu, meskipun pemimpin bisa datang dan pergi, cara-cara yang tepat bagaimana melaksanakan tugas dan menghadapi orang dapat dan sebaiknya dilembagakan dalam organisasi yang berkinerja-tinggi.

  Tinjauan Pustaka

  Kepemimpinan telah dikaji dalam berbagai perspektif. Dari sifat-sifat (Stogdill, 1948) dan perilaku (Fleishman, 1953) hingga teori contingency (Fiedler, 1967) dan teori situasional (Hersey dan Blanchard, 1977) hingga kepemimpinan transformasional dan karismatik (House, 1977), para peneliti sudah lama mencoba memahami determinant dari kepemimpinan efektif.

  Satu tema dalam riset ini berupa gagasan bahwa perilaku dan tindakan pemimpin menjadi

  

determinant penting efektivitas. Sebagian riset terdahulu dalam bidang ini mengatakan bahwa

pemimpin harus berhadapan dengan isu-isu tugas dan isu-isu yang terkait dengan manusianya.

  Misalnya, studi Ohio State meneliti initiating structure atau struktur pemprakarsa (misalnya, mengartikan dan menyusun kerja) dan consideration atau perhatian yang mendalam (misalnya, menghormati bawahan dan kepekaan terhadap perasaan bawahan) (Fleishman, 1953). Studi Michigan meneliti perilaku task-oriented dan perilaku relation-oriented (Likert, 1961). Berdasarkan riset awal ini, Blake dan Mouton (1964) mengatakan bahwa para manajer bisa ditempatkan pada “ grid” (semacam kisi atau jaringan) berdasarkan perhatian mereka terhadap produksi dan terhadap manusia (karyawan).

  Banyak teori lebih baru tentang kepemimpinan meneliti perilaku dan tindakan pemimpin yang dianggap penting. Misalnya, model LPC Fiedler (1967) meneliti banyak faktor, termasuk hubungan pemimpin-anggota dan struktur tugas. Teori kepemimpinan situasional milik Hersey dan Blanchard (1982) mengatakan bahwa sejauh mana seorang pemimpin mau menjalin hubungan dengan orang lain dan melaksanakan tugasnya, akan bergantung pada kedewasaan pengikutnya. Beberapa teori ini hanya sebagian dari banyak teori yang mengkaji perilaku dan tindakan pemimpin. Meskipun para literatur yang ada bahwa agar bisa berhasil, seorang pemimpin harus mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan tugas dan permasalahan yang berhubungan dengan manusia (karyawan) di tempat kerja.

  Riset Saat ini

  Studi ini berusaha memberikan kontribusi kepada literatur yang ada lewat tiga cara spesifik. Pertama, kami mengupdate atau memperbaruhi konstruk “task” dan “people” berdasarkan teori dan studi yang lebih baru. Kami berpendapat bahwa sebagian konseptualisasi tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan tugas dan manusia dalam riset sebelumnya (misalnya, initiating structure dan consideration) adalah agak sempit. Berangkat dari riset sekarang, kami menyajikan dua konstruk yang memperluas gagasan tentang bagaimana menghadapi tugas yang ada di tangan dan manusia di dalam organisasi. Secara khusus, kami mengartikan kepemimpinan profesional sebagai upaya untuk memberikan pengarahan, proses, dan koordinasi kepada para anggota organisasi dengan tujuan mencapai tujuan organisasi. Hal ini mencakup bagian “formal” kepemimpinan, yaitu menyusun visi dan misi organisasi, menciptakan sebuah proses untuk mencapai tujuan organisasi, dan menyesuaikan atau menyelaraskan proses-proses dan prosedur, manusia dan prasarana atau infrastruktur, untuk mencapai tujuan organisasi. Meskipun kepemimpinan profesional bermula dari initiating structure, tapi ia merupakan konseptualisasi yang lebih luas dari task-related construct (konstruk tugas) ini. Kami mengartikan

  

kepemimpinan personal sebagai perilaku personal pemimpin dalam melaksanakan tanggung jawab

  kepemimpinan profesional, termasuk menunjukkan keahlian, membangun kepercayaan, peduli dan berbagi dengan orang lain, dan berperilaku menurut kaidah moral yang berlaku. Sekali lagi, meskipun berdasarkan konseptualisasi terdahulu seperti consideration, tapi konstruk ini punya cakupan lebih luas.

  Kedua, kami berusaha memperluas literatur dengan meneliti hubungan antara kepemimpinan profesional dengan kepemimpinan personal. Riset terdahulu telah meneliti hubungan antara task-

  

related variable dan person-related variable dengan bauran keberhasilan. Sebagian studi telah

  mengkaji model aditif sedangkan studi yang lain mengkaji model multiplikatif. Model aditif berasumsi bahwa person-oriented behavior dan task-oriented behavior adalah bersifat aditif, sehingga mempunyai efek independen. Model multiplikatif mengasumsikan efek interaktif, dimana efek dari satu tipe perilaku (person-oriented atau task-oriented) difasilitasi oleh level tipe perilaku lain yang lebih tinggi ( person-

  

oriented atau task-oriented) (Yukl, 1998). Kesimpulan dari riset ini masih lemah. Sementara riset

  deskriptif sering berkesimpulan bahwa pemimpin yang sukses menekankan kedua faktor tersebut, sedangkan riset survei empirik dengan kuesioner memberikan dukungan lemah (Yukl, 1998). Kami mengusulkan alternatif ketiga bahwa kepemimpinan personal memperantarai hubungan antara kepemimpinan profesional dan kemauan kerjasama. Intinya, kepemimpinan personal “membawa” pesan profesional ke organisasi, karena tindakan-tindakan yang terjadi dalam proses kepemimpinan profesional akan berpengaruh pada interaksi personal, yang pada gilirannya mempengaruhi kemauan kerjasama. Model ini ditunjukkan dalam Gambar 1, dan digambarkan lebih detail di bagian berikutnya.

  Ketiga, kami meneliti persepsi kepemimpinan organisasi dibanding dengan pemimpin individual. Secara tradisional, riset yang mengkaji perilaku pemimpin berfokus pada perilaku pemimpin individual kepemimpinan karismatik dan kepemimpinan transformasional menekankan upaya membangkitkan semangat dan mentransformasi organisasi, tapi proses ini umumnya masih diteliti dari perspektif pemimpin tunggal yang mempengaruhi pengikutnya (Yukl, 1998). Disamping itu, riset yang mengkaji kepemimpinan dan budaya organisasi (Schein, 1992; Trice dan Beyer, 1991, 1993), meski sebagian menekankan keseluruhan organisasi, juga cenderung berfokus pada pengaruh dari pemimpin individual terhadap budaya organisasi.

  Elemen-Elemen Model Kepemimpinan Outcome/Hasil yang dikehendaki: kemauan kerjasama (willing cooperation)

  Organisasi membutuhkan orang-orang yang mampu berbuat lebih, bukan sekadar mengikuti jalan yang ditetapkan oleh pihak manajemen; organisasi membutuhkan cooperator yang mau menyumbangkan tenaganya untuk mewujudkan tujuan organisasi.

  Personal Leadership Keahlian

  Professional leadership Kepercayaan Pengarahan Kepedulian Proses

  Kemauan kerjasama Berbagi Koordinasi Moral

  Gambar 1: Kepemimpinan personal sebagai mediator kepemimpinan profesional dan kemauan kerjasama Orang-orang yang mau bekerja sama (willing cooperators) berani berbuat lebih, bukan sekadar mengikuti, mereka mau menyumbangkan tenaganya. Rendahnya kemauan kerjasama menandakan bahwa sarana lain untuk memfasilitasi “kerjasama” (pemaksaan, pertukaran materi) harus diimplementasikan untuk memajukan organisasi. Riset pernah menunjukkan bahwa penggunaan metode paksaan dan/atau metode transaksional untuk mencapai kerjasama ini kurang berhasil dalam jangka-panjang jika dibanding dengan meotode-metode yang bertujuan mencapai kemauan kerjasama (Yukl, 1998).

  Elemen terpenting untuk mencapai kemauan kerjasama adalah dengan melibatkan anggota dengan cara menciptakan suatu “manfaat” atau benefit untuk kerjasama. Menurut Barnard (1938), “manfaat” merupakan efek sinergistik yang menghasilkan output lebih besar daripada hasil yang tercipta oleh usaha individual. Meksi demikian, sinergi saja merupakan “manfaat” yang tidak cukup memadai untuk mengajak anggota bekerjasama. Yang juga penting bagi kemauan kerjasama adalah filosofi win/win. Filosofi win/win mengatakan bahwa jika organisasi berkineja baik, individu-individu di dalamnya akan memperoleh manfaat dari keberhasilan organisasi. Tujuan dan outcome win/win akan mengurangi konflik (Covey, 1989; Hill, 1994; Katz dan Kahn, 1966). Untuk alasan ini, kami memilih kemauan kerjasama dari karyawan menjadi penghubung penting antara tindakan pemimpin dan outcome organisasi seperti return on investment (pengembalian investasi) dan profitability (kemampuan menghasilkan keuntungan).

  Kepemimpinan Profesional

  Pengembangan kemauan kerjasama dimulai dengan kepemimpinan profesional, yaitu dengan memberikan pengarahan, proses dan koordinasi kepada para anggota organisasi dengan maksud mencapai tujuan organisasi. Hal ini mencakup bagian “formal” kepemimpinan, yaitu menyusun visi dan misi organisasi, menciptakan sebuah proses untuk mencapai tujuan organisasi, dan menyelaraskan proses dan prosedur, manusia dan prasarana, untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan profesional sebenarnya berfokus pada level organisasi, bukan level dyadic (dua anggota).

  Pengarahan (direction). Bagian terpenting dari memimpin adalah berada di depan dan

  memberikan pengarahan. Mungkin, pengarahan paling penting dari seorang pemimpin merupakan fungsi dari penetapan tujuan bersama (Barnard, 1938). Tujuan bersama inilah yang menggerakkan para anggota organisasi (Burns, 1978). Karena organisasi berupa sistem yang kooperatif dan terkoordinasi (Barnard, 1938), maka pengarahan tersebut akan menentukan “tujuan bersama” (common purpose) yang menyediakan suatu landasan bagi sistem yang efektif. Hal ini juga penting bagi keberhasilan karena ia memulai proses kepemimpinan dengan tujuan di benak (Covey, 1989, 1990).

  Beberapa istilah untuk tujuan/maksud bersama adalah “misi”, “visi” dan “filosofi”. “Pernyataan misi” organisasi harus mengkomunikasikan alasan utama keberadaan organisasi. “Visi” yang efektif akan menetapkan tujuan yang sederhana dan realistis, menyampaikan masa depan yang diinginkan (Bennis dan Nanus, 1985; Kouzes dan Posner, 1995), dan menciptakan “regangan” (Hamel dan Prahalad, 1994). Berwawasan kedepan (visioner) dipilih oleh 71 persen responden dalam jajak pendapat Kouzes dan Posner (1993) tentang karakteristik pemimpin yang dikagumi. Hal ini sejalan dengan riset sebelumnya yang mengatakan bahwa sebuah visi merupakan elemen penting bagi organisasi yang menghendaki keunggulan (Peters dan Austin, 1985). Agar filosofi organisasi itu mampu memberikan inspirasi dan menarik bagi para anggota untuk berpartisipasi, maka filosofi itu harus dipersepsi saling menguntungkan dan efektif dari fokus strategis (Katz dan Kahn, 1966). Pendekatan yang memungkinkan individu untuk memperoleh keuntungan organisasi dan keuntungan individual sekaligus adalah lebih mungkin melahirkan kemauan kerjasama.

  Proses. Yang penting bagi keberhasilan pengarahan pemimpin adalah penyediaan,

  pelaksanaan dan pengelolaan sebuah proses yang sistematis. Yang terpenting, proses, sebagai tujuannya, harus mencapai tujuan bersama organisasi (Beer et al., 1995). Menciptakan “ constancy of

  

purpose” atau konsistensi tujuan merupakan prinsip pertama Deming (1982) dari 14 prinsip untuk

  transformasi manajemen Barat, dimana dia menekankan pelaksanaan proses yang konsisten, berkesinambungan dan efektif yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan bersama organisasi. Ada tiga elemen penting khusus dalam proses sistematis yang efektif: anggota organisasi harus yakin bahwa proses yang disediakan oleh pemimpin adalah efektif untuk mencapai “tujuan bersama” organisasi (Barnard, 1938), masing-masing anggota harus paham bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi membuat pernyataan ini dengan menekankan pentingnya memperbaiki sistem produksi dan pelayanan secara terus-menerus dan konsisten dengan maksud untuk memperbaiki kualitas dan produktivitas. Jika melalui tindakan pemimpin organisasi, para anggota organisasi yakin dengan kemampuan organisasi untuk mencapai tujuan-tujuannya, meyakini proses untuk mencapai tujuan tersebut, maka para anggota tersebut lebih mungkin untuk bersedia bekerjasama dengan pemimpin mereka.

  Koordinasi. Koordinasi juga menjadi elemen penting dari kepemimpinan profesional. Fungsi

  mendasar dari koordinasi adalah memperoleh atau mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk menjalankan sebuah organisasi (Barnard, 1938). Koordinasi sebagai bagian dari kepemimpinan bersifat individual dan sistematik sekaligus. Bersifat individual, karena setiap pemimpin harus memimpin individu yang diawasinya; bersifat sistematik, tiap pemimpin harus menyumbangkan kepemimpinannya demi terpeliharanya organisasi (Barnard, 1938). Yang terpenting, koordinasi adalah “strategic alignment” atau keselarasan strategi dari organisasi, sumberdayanya dan anggotanya. Relevan dengan riset ini, keselarasan strategi diketahui efektif untuk menyingkirkan hambatan- hambatan yang merintangi kerjasama (Semler, 1997). Disamping itu, bukti menunjukkan bahwa

  

strategic alignment tersebut berkorelasi dengan kepuasan kerja (Dennison, 1992; Kotter dan Heskett,

  1992) dan mungkin efektif untuk menghindari tujuan-tujuan yang bertentangan (Perrow, 1961). Akan tetapi, penyelarasan upaya-upaya pemimpin secara sistematis, penyelarasan tujuan-tujuan mereka dan sistem organisasi sebagai determinant kepemimpinan yang efektif, belum banyak dikaji (Sherman, 1989). Pada level organisasi, kami berpendapat bahwa bawahan akan lebih mungkin mau bekerjasama jika mereka mempersepsi tindakan mereka secara strategik cocok atau selaras dengan misi dan visi organisasi.

  Rangkuman kepemimpinan profesional. Kepemimpinan profesional mencakup bagian “formal”

kepemimpinan, yaitu menyusun visi dan misi organisasi, menciptakan sebuah proses untuk mencapai

tujuan organisasi, dan menyelaraskan proses dan prosedur, manusia dan prasarananya untuk

  

mencapai tujuan organisasi. Riset menunjukkan pentingnya untuk mempunyai tujuan bersama (Peters

dan Austin, 1985) dan juga harus ada proses untuk mencapai tujuan bersama itu (Barnard, 1938).

Meskipun elemen-elemen dari kepemimpinan profesional diketahui meningkatkan kepuasan kerja

(Kotter dan Heskett, 1992) dan menyingkirkan hambatan-hambatan yang merintangi kerjasama

(Semler, 1997), tapi studi kali ini membuat hipotesis bahwa kepemimpinan profesional juga

berpengaruh pada kemauan kerjasama para anggota organisasi. Hampir sama dengan banyak studi

sebelumnya (House, 1971; House dan Dessler, 1974), individu akan lebih mungkin menyumbangkan

tenaganya untuk mencapai tujuan organisasi jika ada pengarahan yang jelas dan juga ada proses

untuk mencapai tujuan tersebut. Karena itu, kami mengusulkan hipotesis berikut:

  H1 Kepemimpinan profesional (yaitu, menyediakan pengarahan, proses dan koordinasi) berkorelasi secara positif dengan kemauan kerjasama.

  Kepemimpinan Personalpembawa pesan

  Kepemimpinan personal bisa dianggap sebagai perilaku personal seorang pemimpin dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan profesional, termasuk keahlian, kepercayaan,

  

“manusia” pemimpin. Melalui perilaku personal ini seorang pemimpin menjamin keberhasilan

  kepemimpinan profesional. Intinya, kepemimpinan personal “membawa” pesan profesional kepada organisasi.

  Keahlian. Keahlian adalah persepsi kemampuan dan kompetensi pemimpin. Kompetensi

  merupakan elemen terpenting yang membuat seorang pemimpin dipersepsi positif oleh anggotanya (Kouzes dan Posner, 1993), serta menjadi karakteristik penting pada pemimpin yang efektif (Kouzes dan Posner, 1983; Yukl, 1938). Selain itu, keahlian menjadi sumber utama dan metode penting untuk meraih kekuasaan (French dan Raven, 1959). Seorang pemimpin memperoleh kekuasaan karena

  

karyawan berpihak/loyal dan mengagumi pemimpin tersebut (French dan Raven, 1959). Keahlian dan

  kekuasaan juga mempunyai manfaat tambahan, yaitu mereka bisa ditukarkan dengan kekuasaan lain (Katz dan Kahn, 1966). Karyawan yang mempercayai keahlian pemimpin organisasi mereka akan lebih mungkin untuk bersedia bekerjasama dengan sang pemimpin dalam mencapai maksud dan tujuan pemimpin tersebut.

  Kepercayaan. Kepercayaan adalah persepsi kejujuran, kesungguhan hati dan sifat dapat

  dipercaya dari seseorang pemimpin. Kepercayaan menjadi komponen penting dari hubungan (Gabarro, 1978; Rempel et al., 1985). Kepercayaan juga menjadi tenaga yang kuat; Covey (1989) menganggap kepercayaan sebagai mata uang untuk “rekening bank emosionalnya”. Elemen pertama dari kepercayaan adalah kejujuran (honesty), yang merupakan jawaban nomor satu (87%) dalam jajak pendapat Kouzes dan Posner (1993, hal 14) tentang karakteristik pemimpin yang dikagumi. Kejujuran tidak hanya menempati posisi nomor satu tapi juga senantiasa menjadi jawaban utama dalam jajak pendapat mereka. “Kesediaan untuk mempercayai orang lain” juga diketahui menjadi faktor penting untuk membangun kepercayaan (Rousseau et al., 1998). Kepercayaan dalam sudut pandang ini mempunyai reliabilitas/sifat dapat dipercaya, yang konsisten dan terukur (Cook dan Campbell, 1979; Deming, 1982; Kerlinger, 1986). Mungkin kalau anggota organisasi punya kepercayaan yang besar

  

kapda pemimpinnya, maka mereka akan lebih mungkin untuk bersedia bekerjasama dengan sang

pemimpin.

  Kepedulian (caring). Kepedulian diartikan sebagai empati, mendengarkan, dan kesopanan

  kepada karyawan apapun posisi karyawan tersebut dalam organisasi. Kepedulian hampir sama dengan perhatian yang mendalam (consideration), suatu parameter outcome yang digunakan dalam banyak sekali studi kepemimpinan (Bass, 1990; Fisher dan Edwards, 1988; Yukl, 1998), tapi lebih komprehensif. Perhatian mendalam dari seorang pemimpin mempunyai dukungan empiris jika berkorelasi dengan kepuasan kerja (Yukl, 1998). Perilaku suportif atau memberikan dukungan kepada bawahan, sebuah konstruk lain yang hampir sama dengan kepedulian meski tidak begitu komprehensif, merupakan inti dari perilaku memberikan perhatian mendalam (Bowers dan Seashore, 1966; Fleishman, 1953; House dan Mitchell, 1974; Stogdill, 1974). Greenleaf (1996) menjelaskan bahwa di masa lalu, kepedulian dianggap sebagai kepedulian seseorang kepada orang lain. Saat ini, kepedulian itu bersifat institusional. Anggota organisasi akan mempersepsi organisasi punya kepedulian jika ada usaha untuk membangun sikap kepedulian yang sistematis dan kolektif (Covey, 1990). Kami berpendapat, para anggota organisasi akan lebih mungkin bersedia bekerjasama jika mereka punya

  Berbagi bersama (sharing). Sharing di sini diartikan sebagai berbagi kekuasaan atau

  wewenang dan informasi. Berbagi kekuasaan (authority) menjadi dasar bagi pemberdayaan, komponen terpenting dari kepemimpinan partisipasif, yang diketahui berkorelasi dengan kepemimpinan efektif (Likert, 1961). Pemberdayaan akan berlangsung dengan efektif jika kekuasaan acuan dan kekuasaan keahlian dari para anggota dimanfaatkan (Katz dan Kahn, 1996). Kegagalan untuk berbagi wewenang bisa sangat merusak semangat karyawan. Dalam hal ini, kegagalan untuk berbagi kekuasaan ini menyebabkan perasaan tidak berdaya dan tidak dapat berbuat sesuatu pada karyawan di Amerika (Ashforth, 1989). Berbagi informasi penting menjadi alat yang efektif dalam komunikasi (Barnard, 1938; Stinchombe, 1990) karena pengendalian dan penguasaan informasi dianggap menjadi dasar untuk berkuasa (Yukl, 1998). Berbagi informasi itu juga dilihat sebagai aspek penting dari pengawasan dalam “hubungan antara pemimpin dan bawahan” (Stinchombe, 1990).

  Dengan kata lain, jika para anggota organisasi percaya bahwa pemimpin mereka mau berbagi

informasi penting dengan mereka, maka mereka akan lebih mungkin untuk mau bekerjasama.

  

Alternatifnya, karyawan yang merasa tidak diberi tahu informasi apa-apa kurang mungkin untuk mau

bekerjasama dengan sang pemimpin tersebut.

  Moral. Perilaku bermoral diartikan sebagai menetapkan aturan moral (moral code) yang menjadi

  pedoman bagi pemimpin dan anggota organisasi dalam melaksanakan tanggung jawab dan tugas mereka dalam organisasi. Aturan moral yang efektif umumnya didasarkan pada prinsip-prinsip yang sudah diterima secara umum seperti memperlakukan orang lain secara adil, integritas, kejujuran dan keadilan. Kami berfokus pada prinsip-prinsip yang sudah diterima secara umum oleh karyawan. Prinsip-prinsip dibutuhkan untuk melanggengkan kepemimpinan, karena prinsip itu menyediakan suatu jarum kompas bagi perilaku bermoral (Covey, 1990). Moral seorang pemimpin tiba-tiba menjadi tema yang ramai dibicarakan sebagai akibat dari beberapa skandal belakangan ini (misalnya, Enron, WorldCOm). Moral menjadi sangat penting untuk riset kali ini karena banyak peristiwa saat ini memberikan dukungan empiris dan prakmatis mengenai hubungan antara perilaku moral pemimpin dan kinerja organisasi dalam bidang bisnis. Perilaku moral seorang pemimpin yang terlibat dalam skandal akan mempengaruhi seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) organisasi disebabkan rusaknya kredibilitas mereka dan juga kredibilitas organisasi mereka. Begitu kuatnya dampak dari perilaku moral seorang pemimpin ini sehingga berpengaruh negatif pada seluruh pasar saham yang ada.

  Rangkuman kepemimpinan personal. Kepemimpinan personal adalah perilaku personal

seorang pemimpin dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan profesionalnya, termasuk

keahlian, kepercayaan, kepedulian, berbagi kekuasaan atau wewenang dengan bawahan dan moral.

  

Anggota organisasi harus mempercayai keahlian pemimpin mereka, dan harus percaya bahwa

pemimpinnya melakukan hal yang terbaik bagi semua orang. Pemimpin juga harus memperlihatkan

kepeduliannya kepada anggota organisasi, harus berbagi kekuasaan dan informasi dengan para

anggota organisasi, dan harus bermoral. Pelaksanaan perilaku ini berkontribusi signifikan kepada

kepemimpinan efektif (Likert, 1961). Studi ini membuat hipotesis bahwa kepemimpinan personal

mendorong dan memotivasi individu untuk mau menyumbangkan tenaganya demi keberhasilan

organisasi. Sehingga, diusulkan hipotesis berikut: berperilaku menurut kaidah moral) berkorelasi secara positif dengan kemaunan kerjasama.

  Hubungan antara kepemimpinan profesional dan kepemimpinan personal

  Banyak penelitian sudah sering mengkaji kedua kategori perilaku pemimpin yang luas ini (Fleishman, 1953; Halpin dan Winer, 1957; Hemphill dan Coons, 1957; Likert, 1961) dengan hasil yang kontroversial dan kurang meyakinkan. Satu temuan yang konsisten dan agak kuat adalah bahwa

  

pemimpin yang suka memberikan perhatian mendalam kepada karyawannya (considerate leader) akan

menyebabkan karyawannya merasa lebih puas (Yukl, 1998) . Disamping itu, Likert (1961) menemukan

bahwa manajer yang efektif menekankan kedua faktor ini (kepemimpinan profesional dan personal),

bukan salah satunya saja . Blake dan Mouton (1964) mengatakan bahwa pemimpin efektif

mementingkan kedua faktor tersebut, dan riset ini mengatakan bahwa pemimpin efektif sekurang-

kurangnya memberikan titik tekan moderat pada kedua aspek kepemimpinan tersebut (Yukl, 1998).

  Karena para manajer menekankan kedua faktor ini (hubungan kepemimpinan profesional dan personal), kami ingin meneliti lebih lanjut bagaimana kedua faktor ini saling berhubungan satu sama lain. Seperti dibahas di depan, riset terdahulu tentang model aditif dan model multiplikatif hasilnya kurang meyakinkan (Yukl, 1998), sehingga hal ini memberikan alasan lebih kuat untuk meneliti lebih mendalam hubungan di antara kedua faktor.

  Karena kami berfokus pada persepsi kepemimpinan organisasi, maka kami berpendapat bahwa kepemimpinan personal memperantarai hubungan antara kepemimpinan profesional dan kemauan kerjasama. Kami berpendapat, keberadaan kepemimpinan profesional akan menyebabkan keberhasilan interaksi pemimpin-karyawan, yang pada gilirannya menyebabkan kemauan kerjasama mereka. Intinya, ketika organisasi telah menciptakan pengarahan (direction) yang meningkatkan keberhasilan individu dan organisasi; membangun sebuah proses yang menghargai perbaikan berkesinambungan dan menjelaskan kepada karyawan perihal peran apa yang dapat mereka mainkan dalam membantu menciptakan keberhasilan organisasi; dan juga telah mengkoordinasikan upaya-upaya untuk menciptakan keselarasan strategi (strategic alignment) antara aktivitas karyawan dan outcome organisasi; maka hal ini akan melahirkan persepsi karyawan atas keahlian, kepercayaan, kepedulian, berbagi kekuasaan dan informasi dan moralitas pemimpin, yang merupakan komponen dari kepemimpinan personal. Mungkin ketika karyawan merasa organisasi mereka adalah cukup profesional, mereka akan lebih mungkin untuk memberikan penilaian positif atas keahlian dan kepercayaan dalam kepemimpinan organisasi. Dasar pemikiran kami adalah bahwa karyawan berinteraksi sehari-hari dengan sisi personal seorang pemimpin. Lewat interaksi inilah, kepemimpinan profesional berpengaruh nyata pada kemauan kerjasama. Intinya, visi profesional dari seorang pemimpin disampaikan kepada para anggota atau pengikutnya melalui tindakan personal dan tindakan nyata serta interaksi. Menurut konseptualisasi ini, baik kepemimpinan personal maupun kepemimpinan profesional adalah penting, tapi adalah aspek personal pemimpin yang memberikan pesan profesional kepada para anggota organisasi. Pesan profesional (kepemimpinan profesional) akan menyebar melalui kepemimpinan personal. Karena itu, kami mengusulkan hipotesis beriktu: H3 Kepemimpinan personal akan memperantarai hubungan antara kepemimpinan profesional dan kemauan kerjasama.

  Metode Tinjauan luas

  Sebuah pilot study dilakukan untuk mengidentifikasi item-item yang reliable dan valid untuk beberapa alat ukur yang dikembangkan secara khusus untuk studi ini. Selanjutnya, main study dilakukan untuk mengkaji hubungan di antara variabel kepemimpinan profesional, kepemimpinan personal, dan kemauan kerjasama.

  Pilot Study (Studi Percontohan) untuk Pengembangan Alat Ukur

  Total 131 item atau butir dikembangkan untuk mengukur kepemimpinan profesional (yaitu, berdasarkan pengarahan, proses dan koordinasi), kepemimpinan personal (yaitu, keahlian, kepercayaan, kepedulian, berbagi kekuasaan dan informasi penting dengan bawahan, dan moral), dan kemauan kerjasama. Item-item ini disampaikan kepada sampel 40 orang yang bekerja full-time yang kuliah dalam kelas sore di community college setempat.

  Variabel social desirability/kebutuhan sosial 8-item (Paulhus, 1984) dimasukkan dalam pelaksanaan pilot study tersebut. Instrumen ini mencakup dua subskala:

  1. Kesan baik, yang menunjukkan kebohongan dengan maksud untuk menciptakan kesan baik; dan

  2. Self-deception, kecurangan, yang menunjukkan pendapat yang sangat tidak realistis tentang atribut personal seseorang. Item-item ditolak jika mereka punya korelasi yang sangat tinggi dengan variabel social desirability ini.

  Skala kepuasan kerja 5-item (Hackman dan Oldman, 1975) dan skala komitmen organisasi 15- item (Porter dan Smith, 1981) juga dimasukkan dalam pelaksanaan pilot study untuk mengevaluasi validitas konstruk variabel kemauan kerjasama. Validitas dan konsistensi internal dari skala ini diketahui sangat konsisten dalam riset sebelumnya (Cook et al. 1981). Kemauan kerjasama berkorelasi dengan kepuasan kerja (r = 0.56, p < 0.01) dan komitmen organisasi sekaligus (r = 0.73, p < 0.01). Hal ini memberikan bukti awal tentang validitas konstruk variabel baru ini.

  Seluruh item asli dianalisis masalah base rate-nya, konsistensi internalnya, validitas diskriminannya dengan alat-ukur sosial desirability, dan dianalisis validitas konstruknya dengan konstruk kepuasan kerja dan komitmen organisasi. Item ditolak karena alasan base rate jika item itu sangat didukung atau sangat ditolak oleh 90% sampel atau lebih. Item ditolak karena rendahnya validitas diskriminan jika ia mempunyai kesamaan variansi 10% dengan indeks social desirability (yaitu, berkorelasi sebesar 0.33 dengan salah satu variabel). Untuk item-item sisanya yang mewakili konstruk yang ada, matriks korelasi di antara item-item dikaji untuk mengidentifikasi item-item yang menunjukkan tingkat homogenitas tinggi satu sama lainnya. Lima item dengan interkorelasi tertinggi dan yang tampak cocok dengan landasan teoritis konstruk ini dipertahankan untuk alat-ukur final.

  Main Study

Partisipan. Ada 248 orang dari berbagai latar belakang (118 pria, 127 wanita, dan 3 orang yang tidak

  menyebutkan jenis kelaminnya). Rata-rata usia partisipan adalah 36.22 tahun (SD = 14.22); range usia partisipan adalah 17 – 79 tahun. Partisipan ini mempunyai rata-rata pengalaman kerja ful-time 14.86 tahun (SD = 12.82) dalam berbagai posisi. Partisipan telah bekerja dengan employer atau atasan mereka masing-masing rata-rata selama 7.55 tahun (SD = 8.89). mengisi angket dan mengembalikannya kepada peneliti. Dari 150 angket yang dibagikan, 131 atau 87% angket dikembalikan dan dianggap bisa diterima. Responden yang lain dikirimi angket lewat pos dan mereka diminta untuk mengisi angket tersebut dan mengirimkannya kepada pimpinan proyek secara langsung atau lewat pos dengan menggunakan amplop berperangko yang ada alamatnya. Dari 410 angket yang dibagikan, 117 atau 28% angket dikembalikan dan dianggap bisa diterima. Analisis terhadap kedua kelompok ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik dalam hal responnya terhadap variabel-variabel yang dicantumkan dalam angket.

  Bias jawaban lewat pos. Supaya bisa menguji kemungkinan bias jawaban dari angket yang

  dikembalikan, sebuah angket pendek dan tidak ada namanya yang terdiri dari alat ukur kepuasan kerja 5-item dan alat ukur komitmen organisasi 15-item, beserta pertanyaan tentang variabel demografik, diberikan kepada seluruh individu pada waktu pembagian angket. Pertanyaan yang sama ini dicantumkan dalam angket utama yang diposkan responden kepada peneliti. Jika hanya tipe orang tertentu saja yang mengeposkan angket (misalnya, individu yang sangat puas atau sangat kecewa dengan pekerjaan mereka), maka sebaran jawaban untuk pertanyaan umum seharusnya berbeda dalam kedua set data tersebut. Hal ini tidak terjadi. Pada beberapa perbandingan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara responden dari angket pendek dan responden yang mengembalikan angket panjang.

  Alat Ukur

Umum. Tujuan dari instrumen survei ini adalah untuk mengumpulkan informasi tentang persepsi

  kepemimpinan profesional, kepemimpinan personal, dan evaluasi individu atas kemauan kerjasama. Beberapa alat ukur dibuat (lihat bawah) untuk mengumpulkan informasi tentang masing-masing konstruk ini.

  

Kemauan Kerjasama. Sebuah alat ukur 6-item digunakan untuk menilai kemauan kerjasama, yang

  diartikan sebagai “keinginan untuk bekerjasama”, dengan melibatkan anggota sedemikian rupa sehingga menghasilkan kemauan kerjasama. Contoh itemnya: “Saya mau bekerjasama dengan pemimpin karena saya mempercayai visinya tentang masa depan kami,” dan “Saya mau bekerjasama dengan pemimpin karena saya sangat tertarik dengan visinya untuk perusahaan kami”. Subjek menjawab berdasarkan alat ukur Likert 5-poin dengan patokan jawaban “sangat tidak setuju” (1) sampai “sangat setuju” (5). Untuk alat ukur ini, semakin tinggi skor, semakin besar kemauan kerjasamanya. Koefisien  untuk alat ukur ini adalah 0.90.

  

Kepemimpinan profesional. Alat ukur 15-item digunakan untuk menilai kepemimpinan profesional, yang

diartikan sebagai menyediakan fungsi kepemimpinan, yang berupa pengarahan, proses dan koordinasi.

  Analisis faktor menunjukkan bahwa subfactor ini loading ke faktor tunggal yang lebih tinggi, yang diistilah “kepemimpinan profesional”.

  Delapan item digunakan untuk mengukur pengarahan pemimpin, yang mencakup misi, visi dan filosofi organisasi. Contoh itemnya: “Pemimpin menjelaskan misi organisasi kami”, “Pemimpin menjelaskan visi organisasi kami,” “Pemimpin menjelaskan bagaimana para anggota organisasi akan mendapatkan manfaat jika organisasi mencapai keberhasilan”, dan “Pemimpin menjelaskan mengapa mencapai visi pemimpin itu sangat penting bagi kepentingan karyawan”. Tiga item digunakan untuk mengevaluasi proses. Contoh item proses adalah: “Pemimpin menjelaskan bagaimana program- program kami disusun untuk memperbaiki kepuasan pelanggan” dan “Pemimpin menjelaskan bagaimana proses-proses kami disusun untuk memelihara misi organisasi kami”. Empat item digunakan untuk menilai koordinasi. Contoh item koordinasi: “Pemimpin menjelaskan bagaimana pekerjaan saya akan berkontribusi dalam mencapai visi pemimpin”, dan “Pemimpin menjelaskan bagaimana departemen kami berkontribusi dalam mencapai visi pemimpin”. Subjek menjawab berdasarkan skala Likert 5-poin mulai dari “Sangat tidak setuju” (1) sampai “Sangat setuju” (5). Koefisien  untuk alat ukur ini adalah 0.96.

  Kepemimpinan personal. Alat ukur 25-item digunakan untuk mengevaluasi kepemimpinan

  personal, yang diartikan sebagai perilaku personal pemimpin dengan bawahannya dalam melaksanakan tanggung jawab kepemimpinan profesional yang mencakup keahlian, kepercayaan, kepedulian, berbagi kekuasaan dan informasi penting dengan bawahan, dan moral. Analisis faktor menunjukkan bahwa subfaktor ini loading ke faktor tunggal lebih tinggi yang disebut “kepemimpinan personal”.

  Ada 5 item untuk masing-masing kelima subfaktor ini. Contoh item yang dipakai untuk mengevaluasi keahlian adalah: “Pemimpin mampu menjalankan program-programnya”, dan “Pemimpin punya skill yang tinggi ketika melaksanakan tugas-tugas mereka”. Contoh item yang dipakai untuk mengevaluasi kepercayaan adalah: “Pemimpin kami jujur ketika melaksanakan tugas-tugasnya”, dan “Pemimpin melaksanakan tugas sesuai janjinya, apa yang mereka katakan untuk dikerjakan, pasti dikerjakannya”. Contoh item untuk menilai kepedulian: “Pemimpin berusaha sungguh-sungguh untuk memahami apa keinginan kami ketika membahas isu-isu penting”, dan “Pemimpin menghargai hak-hak karyawan”. Contoh item untuk menilai sharing: “Pemimpin mau membagi kekuasaannya (authority) dengan karyawan mengenai keputusan sehari-hari yang mempengaruhi karyawan” dan “Pemimpin mengajak karyawan untuk menyusun tujuan”. Contoh item untuk menilai moral: “Karyawan selalu merasa ada keadilan ketika ada masalah”, dan “Pemimpin sangat antusias untuk melakukan sesuatu yang benar”. Subjek menjawab berdasarkan skala Likert 5-poin mulai dari “sangat tidak setuju” (1) sampai “sangat setuju” (5).

  Hasil

  Mean, SD, dan interkorelasi untuk seluruh alat ukur dilaporkan dalam Tabel 1. Perkiraan koefisien  dilaporkan dalam diagonal. Tabel II dan III menampilkan hasil dari H1-H3. H1 mengatakan bahwa kepemimpinan profesional berkorelasi dengan keberadaan kemauan kerjasama. Tabel II menunjukkan 2 adalah 0.19 (F (1.206) = 48.32, p < 0.01; standard error (SE) bobot  terkait ( = 0.44). Keseluruhan R perkiraan = 0.69), sehingga memperkuat H1.

  H2 menyatakan bahwa kepemimpinan personal berkorelasi dengan keberadaan kemauan 2 (1.204) adalah 0.50 (F = kerjasama. Tabel II menunjukkan bobot  terkait ( = 0.71). Keseluruhan R 203.52, p < 0.01; standard error (SE) perkiraan = 0.54), sehingga memperkuat H2.

  Tabel I: Koefisien korelasi di antara beberapa variabel

  Mean SD

  1

  2

  3

  3.22 0.83 (0.96) - - Kepemimpinan profesional Kepemimpinan personal

  3.23 0.99 0.58* (0.97) - Kemauan kerjasama

  3.48 0.75 0.44* 0.71* (0.90) Catatan: *P < 0.01; Koefisien  disajikan dalam diagonal.

  Tabel II: Analisis regresi untuk pengaruh kepemimpinan terhadap kemauan kerjasama

   2 Mean SE t 95% CI Kepemimpinan profesional R = 0.19 2

  0.44 0.06 6.95* 0.28 – 0.51 Kepemimpinan personal R = 0.50

  0.71 0.04 14.27* 0.47 – 0.62 Catatan: p < 0.01

  Tabel III: Analisis regresi yang diperantarai

  Kepemimpinan personal Kemauan kerjasama  

  SE t 95% CI SE t 95% CI Step 1 Kepemimpinan profesional 2

  0.58 0.07 10.53* 0.57- R = 0.34

  0.84 Step 2 Kepemimpinan profesional 2 0.4 0.0 6.95* 1.82-

  R = 0.19

  4

  6

  2.57 Step 3 Kepemimpinan profesional

  0.0

  0.0 0.84 -0.06- Kepemimpinan personal 2

  5

  6

  11.0

  0.16 R = 0.51 0.6 0.0 6* 0.43-

  8

  5

  0.61 Catatan: *P < 0.01.

  Kepemimpinan personal sebagai variabel mediator (Mediating Variable)

  H3 mengatakan bahwa kepemimpinan personal memperantarai hubungan antara kepemimpinan profesional dengan kemauan kerjasama. Untuk menguji hipotesis ini, analisis regresi yang diperantarai (mediated regression analysis) dilakukan berdasarkan sebuah proses tiga-step yang digambarkan oleh Baron dan Kenny (1986).

  1. Step 1. Variabel mediator diregresi ke variabel bebas. Hubungan ini seharusnya signifikan secara statistik.

  2. Step 2. Variabel terikat diregresi ke variabel bebas. Hubungan ini juga seharusnya signifikan secara statistik.

  3. Step 3. Variabel terikat diregresi ke variabel mediator dan variabel bebas sekaligus. Variabel mediator ini seharusnya signifikan secara statistik, dan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat seharusnya direduksi dari Step 2. Jika hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat direduksi sampai nol, maka variabel mediator bisa dianggap sebagai mediator sempurna. Temuan yang lebih mungkin adalah bahwa hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat direduksi secara bermakna (tapi tidak sampai nol), yang menunjukkan bahwa variabel mediator tersebut merupakan mediator parsial. Proses 3-langkah yang digambarkan Baron dan Kenny (1986) dipakai untuk menguji apakah kepemimpinan personal menjadi mediator hubungan antara kepemimpinan profesional dan kemauan kerjasama (lihat Tabel III untuk masing-masing step). Pada Step 1, kepemimpinan personal diregresi 2 (1.214) adalah 0.34 (F = 110.90, p < 0.01; SE ke kepemimpinan profesional ( = 0.58, p < 0.01), R perkiraan = 0.82). Pada Step 2. kemauan kerjasama diregresi ke kepemimpinan profesional (  = 0.44, 2 (1.206)

  

p < 0.01). Bagian analisis ini hampir sama dengan analisis yang menguji H1. R adalah 0.19 (F =